1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR LATAR BELAKANG Dift Difter erii adal adalah ah peny penyak akit it salur saluran an pern pernafa afasan san yang yang diseb disebab abka kan n oleh oleh
Corynebacterium diphtheria, suatu bakteri gram positif fakultatif anaerob. Hal ini ini
dita ditan ndai dai
den dengan gan
sak sakit
ten tenggo ggoroka rokan n,
demam emam
ren rendah, dah, dan suat suatu u
pseudomembrane pada tonsil, faring, dan / atau rongga hidung. Difteri adalah penyakit menular yang menular melalui kontak fisik langsung atau terhirup droplet dari napas individu yang terinfeksi. Difteri umumnya telah diberantas di negara-negara industri dan beberapa negara berkembang. Pemeriksaan yang khas menunukkan pseudomembran yang khas yang terdapat pada daerah diatas tonsil dan meluas ke struktur yang berdekatan. !embr !embran an tampa tampak k koto kotorr dan dan ber" ber"arn arnaa puti putih h yang dapa dapatt meny menyeb ebab abka kan n penyumbatan karena peradangan tonsil. Perdarahan dapat teradi ika dilakukan pengangkatan membran. Diag Diagno nosa sa dibu dibuat at lebi lebih h a"al a"al dan dan pena penang ngan anan an dimu dimulai lai sege segera ra keti ketika ka diketahui bah"a teradi epidemic difteri. #ediaan apus nasofaring dan tonsil diperoleh dan diletakkan dalam medium transport yang kemudian dibiakkan pada agar !acConkey atau media $oeffler. #train yang diduga kemudian diui untuk toksigenitas. Penanganan penyakit terdiri dari dua fase % &1' Penggunaan antitoksin spesifi spesifik k dan &(' eliminas eliminasii organis organisme me penye penyebab bab dari dari orofari orofaring ng.. #ebelu #ebelum m antitoksin diberikan, sebaiknya dilakukan ui sensitivitas terhadap serum. )omplikasi dari difteri dapat menyebabkan obstruksi alan napas dan membutuhkan trakeostomi. )egagalan antung dan paralisis otot dapat teradi dan peradangan dapat menyebar ke telinga, menyebabkan otitis media dan uga dapat menyebar ke paru-paru menyebabkan pneumonia. pneumonia. 1.2 TUJUAN TUJUAN *ntuk memberikan "a"asan kepada penulis, dan pembaca tentang penyakit
difteri. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defini Definisi si
(
Difteria adalah infeksi toksin akut yang disebabkan oleh spesies dari Corynebacterium,
khususnya
Corynebacterium
diptheriae
dan
arang
disebabkan oleh strain dari Corynebacterium ulcerans.1 Difteria adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit dan atau mukosa.( Penyakit difteria merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan pemberian imunisasi &PD+'.+
2.2 Etiologi Corynebacterium diphtheriae merupakan kuman batang ram-positif,
tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan oC, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan pe"arnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk 0, $ atau , atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf Cina. (,2 )uman tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang mengandung K-tellurit atau media Loeffler . Pada membran mukosa manusia C. Diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kani, glukosa, maltosa dan sukrosa. ( )uman C. diphtheriae merupakan satu-satunya spesies dari genus Corynebacterium yang bersifat patogen bagi manusia. )etiga biotip C. diphtheriae adalah gravis, mitis dan intermedius. 3ama-nama ini diberikan berdasarkan beratnya penyakit yang ditimbulkannya &gravis 4 berat/parah5 mitis 4 lunak/ringan5 intermedius 4 pertengahan'. )ini nama-nama ini sudah tidak sesuai lagi mengingat terdapatnya strain-strain baik yang toksigenik maupun yang tidak pada ketiga biotip tersebut, tetapi nama-nama ini masih dipergunakan karena penting dalam identifikasi seperti dalam morfologi kuman, morfologi sel serta sifat-sifat biokimia"i yang berguna dalam epidemiologi.(,2 Ciri khas C. diptheriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo maupun in vitro. 6ksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul ( kD, tidak tahan panas / cahaya, mempunyai ( fragmen yaitu fragmen 7 &amino terminal' dan fragmen 8 &karboksi terminal'. )emampuan
+
suatu strain untuk membentuk / memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh C. diptheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung to9igene. ( 2.3 Epie!iologi :idak seperti kuman diptheroid lainnya, yang tersebar di alam, C.
diptheriae merupakan kuman yang hidup pada membran mukosa dan kulit manusia. Penularan disebarkan melalui airborne droplet, kontak langsung dengan sekresi respiratorik dari penderita. )arier asimtomatis respiratorik uga berperan penting dalam penularannya. Pada "aktu difteria endemis, +-;< orang sehat bisa memba"a organisme yang toksigenik. nfeksi kulit dan karier kulit merupakan silent reservoir dari C. diptheriae dan kuman ini dapat bertahan hidup dalam debu atau fomites sampai dengan bulan. 1 Pada tahun 1=(, lebih dari (;. kasus difteria dengan kematian 1. kasus dilaporkan di 7merika #erikat dengan tingkat fatalitas tertinggi pada anak kecil dan pada lansia. nsidensi difteria menurun dengan meluasnya penyebaran toksoid diptheriae di 7merika #erikat setelah Perang Dunia , menurun dengan tetap pada akhir tahun 1=>-an. #eak saat itu, ? ; kasus teradi setiap tahunnya di 7merika #erikat dengan tidak adanya difteria traktus respiratorik epidemik. Penurunan uga teradi di 6ropa. !eskipun insidensi penyakit ini menurun di seluruh dunia, namun difteria masih teradi pada negara berkembang dengan tingkat imunisasi yang buruk dalam mela"an difteria.1 Pada "aktu teradinya endemis difteria, terutama menyerang anak @ 1; tahun. dengan diperkenalkannya imunisasi to9oid, penyakit ini berpindah ke orang de"asa yang tidak memiliki kekebalan alami terhadap C. diptheriae yang toksigenik pada era vaksin dan pada individu yang memiliki tingkat booster imunisasi yang rendah.1 Difteria kulit merupakan hal yang ditakutkan bila terdapatnya difteria, berperan pada lebih dari ;< dari C. diptheriae yang diisolasi di 7merika #erikat pada tahun 1=>;. Aokal infeksi indolent ini bila dibandingkan dengan infeksi mukosal, berhubungan dengan perkembangan bakteri yang lama, peningkatan kontaminasi lingkungan, dan meningkatnya transmisi ke faring dan kontak kulit. 6pidemi yang teradi dihubungkan dengan tuna "isma,
2
padatnya lingkungan tempat tinggal, kemiskinan, alkoholisme, hygiene yang buruk, makanan yang terkontaminasi, penyakit kulit yang mendasari, dan pengenalan strain baru dari sumber eksogen.1 Pada suatu saat ketika angka keadian difteria faucial di beberapa negara mulai memudar, difteria kulit dilaporkan meningkat. Hal yang penting bah"a dalam suatu populasi tertentu dengan karier kulit dalam proporsi yang cukup tinggi terdapat kekebalan terhadap difteria fausial, namun sebaliknya berperan pula dalam teradinya "abah difteria faucial.(
2." P#togenesis C. diptheriae yang toksigenik maupun yang non-toksigenik menyebabkan
infeksi kulit dan mukosa, arang menyebabkan fokal infeksi setelah teradinya bakterimia. 8akteri ini biasanya terdapat pada lapisan superfisial dari lesi kulit atau mukosa traktus respiratorik dan menyebabkan teradinya peradangan lokal. 0irulensi utama dari bakteri ini yaitu dengan membentuk eksotoksin polipeptida poten ( kD yang bisa menghambat sintesis protein dan menyebabkan nekrosis aringan lokal. Pada beberapa hari pertama infeksi traktus respiratorius &biasanya pada faring', koagulan padat dari bakteri ini, sel epitel, fibrin, leukosit, ber"arna kemerahan yang akan berubah menadi coklat kelabu, yang dikenal sebagai pseudomembran. !elepas membran ini sulit dan menyebabkan perdarahan. Paralisis dari palatum dan hipofaring merupakan a"al dari efek lokal toksin. Penyerapan toksin bisa menyebabkan manifestasi sistemik% kidney tubular necrosis, trombositopenia, kardiomiopati, dan atau demielinisasi saraf. Dua komplikasi terakhir di atas bisa teradi setelah ( sampai 1 minggu pasca infeksi mukokutan, patofisiologi pada beberapa kasus dikaitkan dengan adanya mediasi imunologi. 1 6fek toksin pada aringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan ( asam amino yang telah diikat ( transfer B37 yang mendapati kedudukan P dan 7 dalam ribosom. 8ila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru B37, diperlukan proses translokasi. :ranslokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer B37 dipeptida dari kedudukan 7 ke kedudukan P. proses
;
translokasi ini memerlukan enim translokase &elongation factor-(' yang aktif. :oksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen 8 dan selanutnya fragmen 7 akan masuk, mengakibatkan inaktivasi enim translokase melalui proses% 37D6A( &aktif' toksin 7DP-ribosil-6A( &inaktif' H( 3ikotimanid 7DA-ribosil-6A( yang inaktif ini menyebabkan proses translokasi tidak beralan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, akibatnya sel akan mati. 3ekrosis tampak elas di daerah kolonisasi kuman. #ebagai respons, teradi inflamasi lokal bersamasama dengan aringan nekrotik membentuk eksudat yang semula mudah dilepas.( Pada pseudomembran kadang-kadang dapat teradi infeksi sekunder dengan bakteri. !embran dan aringan edematus dapat menyumbat alan nafas. angguan pernafasan atau sufokasi bisa teradi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang trakeo-bronkus.
2.$ %#nifest#si Klinis :ergantung pada berbagai faktor, manifestasi penyakit ini bisa bervariasi
dari tanpa geala sampai keadaan atau penyakitt yang hipertoksik serta fatal. #ebagai faktor primer adalah imunitas peamu terhadap toksin difteria, virulensi serta toksigenitas C. diphteriae &kemampuan kuman membentuk toksin' dan lokasi penyakit secara anatomis.1,( Difteria mempunyai masa tunas (- hari. Pasien umumnya datang untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam arang melebih +E,= FC dan keluhan serta geala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteria. (
2.$.1
Difte&i# T't(s Respito&i(s Aokus infeksi primer yang sering yaitu terdapat pada tonsil atau pharynx
kemudian hidung dan larynx. #etelah (-2 hari masa inkubasi, tanda dan geala lokal dari peradangan muncul. nfeksi dari nares anterior lebih sering teradi pada bayi, menyebabkan sekret serosanguinis, purulen dan rhinitis erosiva dengan pembentukan membran. *lkus dangkal dari nares eksternal dan bibir atas merupakan tanda khas. Pada difteria tonsilar dan pharyngeal, sakit tenggorokan merupakan geala yang pertama kali muncul, separuh dari pasien memiliki geala
demam, dan sebagian lagi mengeluhkan disfagia, suara serak, malaise atau sakit kepala. neksi pharyngeal ringan diikuti dengan pembentukan membran tonsilar baik uni maupun bilateral yang bisa meluas ke uvula &bisa mengakibatkan paralisis yang dimediasi oleh toksin', palatum molle, oropharynx posterior , hypopharynx, atau area glotis.1 2.$.1.1 Difte&i# Hi(ng Difteria hidung pada a"alnya menyerupai common cold, dengan geala
pilek ringan tanpa atau disertai geala sistemik ringan. #ekret hidung berangsur menadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen, menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. 7bsorpsi toksin sangat lambat dan geala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat. 2.$.1.2 Difte&i# Tonsil )#&ing eala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan, dan
nyeri menelan. Dalam 1-( hari kemudian timbul membran yang melekat, ber"arna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke ba"ah ke laring dan trakea. *saha melepaskan membran akan mengakibatkan perdarahan. Dapat teradi limfadenitis servikalis dan submandibular, bila limfadenitis teradi bersamaan dengan edema aringan lunak leher yang luas, timbul bullneck. #elanutnya, geala tergantung dari deraat penetrasi toksin dan luas membran. Pada kasus berat, dapat teradi kegagalan pernafasan dan sirkulasi. Dapat teradi paralisi palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. #tupor, koma, kematian bisa teradi dalam 1 minggu sampai 1 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan teradi berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membran akan terlepas dalam >-1 hari dan biasanya teradi penyembuhan sempurna.
2.$.1.3 Difte&i# L#&ing Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteria faring. Pada difteria
faring primer geala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga geala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. eala klinis difteria laring sukar
>
dibedakan dari tipe infectious croups yang lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular. 8ila teradi pelepasan membran yang menutup alan nafas bisa teradi kematian mendadak. Pada kasus berat, membran dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. 7pabila difteria laring teradi sebagai perluasan dari difteria faring, maka geala yang tampak merupakan campuran geala obstruksi dan toksemia.
2.$.2
Difte&i# K(lit Difteria kulit merupakan infeksi nonprogresif yang ditandai dengan ulkus
superficial, ektimic, indolent dengan membran coklat kelabu di atasnya. 1,( )ulit infeksi difteritik tidak selalu bisa dibedakan dari impetigo akibat stapyllococcus / streptococcus dan biasanya bersamaan dengan infeksi kulit ini. Pada kebanyakan kasus, proses primer seperti dermatosis, laserasi, terbakar, tersengat atau impetigo mendapatkan infeksi sekunder oleh C. diphteriae. 6kstremitas lebih sering terkena daripada leher atau kepala. 3yeri, tegang, eritema dan eksudasi merupakan keluhan yang biasa teradi. ang tidak biasa teradi yaitu hiperestesia atau hipestesia lokal. nfeksi simtomatik atau kolonisasi kuman di traktus respiratorius dengan komplikasi toksin teradi pada sebagian kecil penderita difteria kulit. 1
2.$.3
Difte&i# p## Lo'#si L#in C. diphteriae biasanya menyebabkan infeksi mukokutaneus pada tempat
lain, seperti di telinga &otitis eksterna', mata &purulen dan ulseratif konungtivitis' dan traktus genitalis &purulen dan ulseratif vulvovaginitis'. :anda klinis di mana ulserasi, pembentukan membran dan perdarahan submukosa membantu dalam membedakan difteria dari penyebab bakteri lain dan virus. 1 Difteria pada mata dengan lesi pada konungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.(
2.* Di#gnosis
Diagnosis difteria ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, oleh karena penundaan pengobatan akan membahayakan i"a pasien. Penentuan
E
kuman difteria dengan pe"arnaan ram secara langsung kurang dapat dipercaya.1,( Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara flourescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. ( Diagnosis pasti dengan isolasi C. diphteriae dengan pembiakan pada media $oeffler dilanutkan dengan tes toksinogenitas secara in vivo &marmut' dan in vitro &tes Elek '.(
2.+ Di#gnosis B#ning - Difteria Hidung, penyakit yang menyerupai difteria hidung ialah
rhinorrhea &common cold, sinusitis, adenoiditis', benda asing dalam -
hidung, snuffles &lues kongenital'. Difteria Aaring, harus dibedakan dengan tonsilitis mebranosa akut yang disebabkan oleh #treptokokus &tonsilitas akut, septic sore throat', mononukleosis infeksiosa, tonsilitis membranosa non-bakterial, tonsilitis
-
herpetika primer, moniliasis, blood dyscrasia, pasca tonsilektomi. Difteria $aring, geala difteria laring menyerupai laringitis, dapat menyerupai infectious croups yang lain yaitu spasmodic croup,
-
angioneurotic edema pada laring, dan benda asing dalam laring. Difteria )ulit, perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh streptokokus atau stafilokokus.
2., Pen-(lit
Penyulit difteria dapat teradi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat aktivitas eksotoksin. !aka penyulit difteria dapat dikelompokkan dalam obstruksi alan nafas, dampak eksotoksin terutama ke otot antung, saraf dan ginal, serta infeksi sekunder oleh bakteri lain.( a
Fbstruksi alan nafas, disebabkan oleh tertutupnya alan nafas oleh membran difteria atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah
b
submandibular dan servikal. Dampak toksin, dampak toksin dapat bermanifestasi pada antung berupa miokarditis yang dapat teradi baik pada difteria ringan maupun berat dan biasanya teradi pada pasien yang terlambat mendapatkan pengobatan antitoksin. Pada umumnya penyulit atau lebih lambat pada minggu ke-(, tetapi bisa lebih dini pada minggu pertama atau lebih lambat pada minggu
=
ke-. !anifestasi miokarditis dapat berupa takikardia, suara antung redup, terdengar bising antung, atau aritmia. 8isa uga teradi gagal antung. )elainan pemeriksaan elektrokardiogram dapat berupa elevasi segmen #:, perpanangan interval PB, dan heart block. Penyulit pada saraf biasanya teradi lambat, bersifat bilateral, terutama mengenai saraf motorik dan sembuh sempurna. 8ila teradi kelumpuhan pada palatum molle pada minggu ke-+, suara menadi sengau, teradi regurgitasi nasal, kesukaran menelan. Paralisis otot mata biasanya teradi pada minggu ke-;, meskipun dapat teradi antara minggu ke-; dan ke->. Paralisis ekstremitas bersifat bilateral dan simetris disertai hilangnya deep tendon refle9es, peningkatan kadar protein dalam likuor serebrospinal. Paralisis diafragma dapat teradi pada minggu ke-; dan ke-> sebagai akibat neuritis saraf frenikus. Hal ini dapat menyebabkan kematian apabila tidak dibantu dengan ventilator mekanik. 8ila teradi kelumpuhan pada pusat vasomotor dan teradi hipotensi dan gagal antung. c nfeksi sekunder bakteri, setelah era penggunaan antibiotik secara luas, penyulit ini sudah sangat arang teradi.
2. P&ognosis
Prognosis difteria setelah ditemukannya 7D# dan antibiotik lebih baik daripada sebelumnya. )eadaan demikian telah teradi di negara-negara lain. Di ndonesia pada daerah kantong yang belum teramah imunisasi masih diumpai kasus difteria berat dengan prognosis buruk. !enurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena &1' obstruksi alan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya membran difteria, &(' 7danya miokarditis dan gagal antung, dan &+' paralisis diafragma sebagai akibat neuritis nervus frenikus. 7nak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa geala sisa, "alaupun demikian pernah dilaporkan kelainan antung yang menetap. (,;
2.1/
I!(nis#si
1
munitas pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap difteria sampai bulan dan suntikan antitoksin yang dapat bertahan selama (-+ minggu. #edangkan imunitas aktif diperoleh setelah menderita aktif yang nyata atau inapparent infection serta imunisasi toksoid difteria. munitas terhadap difteria dapat diukur dengan ui chick dan ui !oloney. munisasi
DP:
merupakan
vaksin
mati,
sehingga
untuk
mempertahankan kadar antibodi menetap tinggi di atas ambang pencegahan, kelengkapan ataupun pemberian imunisasi ulangan sangat diperlukan. munisasi DP: lima kali harus dipatuhi sebelum anak berumur tahun. 7pabila belum pernah mendapat DP:, diberikan imunisasi primer DP: tiga kali dengan interval masing-masing 2 minggu. 7pabila imunisasi belum lengkap segera dilengkapi &lanutkan dengan imunisasi yang belum diberikan, tidak perlu diulang', dan yang telah lengkap imunisasi primer &@ 1 tahun' perlu dilakukan imunisasi DP: ulangan 19. Gaktu pasien dipulangkan % •
DP: ,; ml, i.m, untuk anak @ > tahun
•
D: ,; ml, i.m, untuk anak > tahun
:est kekebalan % •
chick test % !enentukan kerentanan &suseptibilitas' terhadap difteri. :es dilakukan dengan menyuntikan toksin difteri &dilemahkan' secara intrakutan. 8ila tidak terdapat kekebalan antitoksik akan teradi nekrosis aringan sehingga test positif.
•
!oloney test % !enentukan sensitivitas terhadap produk kuman difteri. :es dilakukan dengan memberikan ,1 ml larutan fluid difteri to9oid secara suntikan intradermal. Beaksi positif bila dalam (2 am timbul eritema I1 mm. ni berarti bah"a % -
pernah terpapar pada basil difteri sebelumnya sehingga teradi
-
reaksi hipersensitivitas. pemberian toksoid difteri bisa mengakibatkan timbulnya reaksi yang berbahaya.
11
2.11
Pengo0#t#n
:uuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang teradi minimal, mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
1,(
2.11.1 U!(! Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif ( kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama (-+ minggu. stirahat tirah baring selama kurang lebih (-+ minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. )husus pada difteria laring diaga agar nafas tetap bebas serta diaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.
2.11.2 K(s(s 1 7ntitoksin % 7nti Diptheriar #erum &7D#' ( 7ntitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1<. 3amun dengan penundaan lebih dari hari ke- menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai +<. #ebelum pemberian 7D# harus dilakukan ui kulit atau ui mata terlebih dahulu, oleh karena pemberian 7D# dapat teradi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1%1 dalam semprit. *i kulit dilakukan dengan penyuntikan ,1 m$ 7D# dakam larutan garam fisiologis 1%1 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam ( menit treadi indurasi I 1 mm. *i mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1%1 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam ( menit tampak geala hiperemis pada konungtiva bulbi dan lakrimasi. 8ila ui kulit atau mata positif, 7D# diberikan dengan cara desensitisasi &8esredka'. 8ila ui hipersensitivitas tersebut di atas negatif, 7D# harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis 7D# ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara (. J
1(
1(. ). Pemberian 7D# intravena dalam larutan garam fisiologis atau 1 ml glukosa ;< dalam 1-( am. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat / reaksi sakal dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama ( am berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor teradinya reaksi hipersensitivitas lambat &serum sickness'. :abel Dosis 7D# menurut $okasi !embran dan $ama #akit
Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Difteria Hidung (. Difteria Tonsil 2. Difteria Faring 2. Difteria Laring 2. Kombinasi Lokasi di E.
Cara Pemberian ntramuskular ntramuskular atau ntravena ntramuskular atau ntravena ntramuskular atau ntravena ntravena
atas Difteria pen!ulit"
E. J 1(.
ntravena
bullne#k Terlambat berobat
E. J 1(.
ntravena
($ %& 'am)" lokasi di mana sa'a
(
7ntibiotik 7ntibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk
membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin.1,( Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin &2-; mg/kg88/hari, dosis terbagi setiap am PF atau 0, maksimum ( gram per hari', Penisilin 0 Fral 1(;-(; mg, 2 kali sehari ;, kristal aKueous pensilin &1. J 1;. */kg/hari, dosis terbagi setiap am 0 atau !', atau Penisilin prokain &(;.-;. */kg88/hari, dosis terbagi setiap 1( am !'. 1
:erapi diberikan untuk 12 hari. 8eberapa pasien
dengan difteria kutaneus sembuh dengan terapi >-1 hari. 6liminasi bakteri harus dibuktikan dengan setidaknya hasil ( kultur yang negatif dari hidung dan tenggorokan &atau kulit' yang diambil (2 am setelah terapi selesai. :erapi dengan eritromisin diulang apabila hasil kultur didapatkan C. diphteriae.1
+
)ortikosteroid(
1+
8elum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteria. Dianurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai geala. -
Fbstruksi saluran nafas bagian atas &dapat disertai atau tidak bullneck' 8ila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti. Prednison ( mg/kg88/hari selama ( minggu kemudian diturunkan
dosisnya bertahap.
2.11.3 Pengo0#t#n Pen-(lit Pengobatan terutama dituukan untuk menaga agar hemodinamika tetap
baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. 8ila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi. (
2.11." Pengo0#t#n Kont#' Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan
berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta geala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi harian. 7nak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria. 1,(
2.11.$ Pengo0#t#n K#&ie& )arier adalah mereka yang tidak menunukkan keluhan, mempunyai ui
chick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 1 mg/kg88/hari oral/suntikan, atau eritromisin 2 mg/kg88/hari selama satu minggu. !ungkin diperlukan tindakan tonsilektomi / adenoidektomi.
12
:abel Pengobatan terhadap )ontak Difteria Bi#'#n 456 476 476 456
2.12
Ui Si' &-'
Tin#'#n 8ebas isolasi% anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan
&-'
booster toksoid difteria Pengobatan karier% penisilin 1 mg/kg88/hari oral/suntikan, atau
&'
eritromisin 2 mg/kg88/hari selama 1 minggu Penisilin 1 mg/kg88/hari oral/suntikan, atau eritromisin 2
&'
mg/kg88 7D# (. ) :oksoid difteria &imunisasi aktif', sesuaikan dengan status imunisasi
Peneg##n
Pencegahan
secara
umum
dengan
menaga
kebersihan
dan
memberikan pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seorang anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi. Pencegahan secara khusus terdiri dari imunisasi DP: dan pengobatan karier. #eorang anak yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi terhadap organismenya. )eadaan demikian memungkinkan seseorang menadi pengidap difteria dalam nasofaringnya &karier' atau menderita difteria ringan.(
1;
DA)TAR PUSTAKA
1
8uescher, 6 #tephen. (>. Diphtheria in "elson #extbook of $ediatrics
(
%&th Chapter %&' . *#7% #aunders 7nonim. ( 1. Difteria pada (uku )*ar +nfeksi , $ediatri #ropis al
+
%/-/%. Lakarta% 8adan Penerbit D7 $ubis, 8idasari. (;. $enelitian tatus +munitas terhadap $enyakit Difteri dengan chick #est pada )nak ekolah #aman Kanak-kanak Kotamadya !edan pada 0epository 1niversitas umatera 1tara (;.
2
!edan% e*#* 7bdul Bahim, !athilda $intong, #uharto dan #uharno Losodi"ondo. 1==2. Corynebacterium pada (uku )*ar !ikrobiologi Kedokteran edisi
0evisi al. %/&-2. Lakarta% 8inarupa 7ksara. ; Gharton, !elinda. (2. Diphtheria in Krugman3s +nfectious Diseases of Children4 %%th ed . *#7% !osby.