BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang
Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering ditemukan pada pria yang memasuki usia lanjut. Istilah BPH atau benign prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat1,2,3 Suatu penelitian menyebutkan bahwa prevalensi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) yang bergejala pada pria berusia 40 – 49 49 tahun mencapai hampir 15%. Angka ini meningkat
dengan bertambahnya usia, sehingga pada usia 50 – 59 59 tahun prevalensinya
mencapai hampir 5% dan pada usia 60 tahun mencapai angka sekitar 43%. Angka kejadian BPH di Indonesia sebagai gambaran hospital prevalensi di dua Rumah Sakit besar di Jakarta yaitu RSCM dan Sumberwaras selama 3 tahun (1994 – 1999) 1999) terdapat 1040 kasus. 1 Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari pembesaran kelenjar prostat yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher buli-buli dan uretra atau dikenal sebagai bladder outlet obstruction (BOO). Obstruksi yang khusus disebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat disebut sebagai benign prostate obstruction obstruction (BPO)1,5. Obstruksi ini lama kelamaan dapat menimbulkan perubahan struktur buli-buli maupun ginjal sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah. Adanya BPH ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran kemih dan untuk mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara mulai dari tindakan yang paling ringan yaitu secara konservatif (non operatif) sampai tindakan yang paling berat yaitu pembedahan. 1 Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan pemeriksaan yang penting pada penting pada pasien BPH, disamping pemeriksaan fisik pada regio suprapubik untuk mencari kemungkinan adanya distensi buli-buli. Dari pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat 5. Kecurigaan suatu keganasan pada pemeriksaan colok dubur, ternyata hanya 26-34% yang positif kanker prostat pada pemeriksaan biopsi. Sensitifitas pemeriksaan ini dalam menentukan adanya karsinoma prostat sebesar 33%.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 ANATOMI PROSTAT
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli dan membungkus uretra posterior. Prostat berbentuk seperti pyramid terbalik dan merupakan organ kelenjar fibromuskuler yang mengelilingi uretra pars prostatica. Bila mengalami pembesaran organ ini menekan uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urin keluar dari buli-buli. Prostat merupakan kelenjar aksesori terbesar pada pria; tebalnya ± 2 cm dan panjangnya ± 3 cm dengan lebarnya ± 4 cm, dan berat 20 gram. 2,3
Alat Reproduksi Pria
Kelenjar prostat terbagi atas 5 lobus : 3 a. Lobus medius b. Lobus lateralis (2 lobus) c. Lobus anterior d. Lobus posterior Pada kelenjar prostat juga dibagi dalam 5 zona :
3
a. Zona Anterior atau Ventral : Sesuai dengan lobus lobus anterior, tidak punya punya kelenjar, terdiri atas stroma fibromuskular. Zona ini meliputi sepertiga kelenjar prostat.
2
b. Zona Perifer : Sesuai dengan lobus lateral dan posterior, meliputi 70% massa kelenjar prostat. Zona ini rentan terhadap inflamasi dan merupakan tempat asal karsinoma terbanyak. c. Zona Sentralis : Lokasi terletak antara kedua duktus ejakulatorius, sesuai dengan lobus tengah meliputi 25% massa glandular prostat. Zona ini resisten terhadap inflamasi. d. Zona Transisional : Zona ini bersama-sama dengan kelenjar periuretra disebut juga sebagai kelenjar preprostatik. Merupakan bagian terkecil dari prostat, yaitu kurang lebih 5% tetapi dapat melebar bersama jaringan stroma fibromuskular anterior menjadi benign prostatic hyperpiasia (BPH). e. Kelenjar-Kelenjar Periuretra : Bagian ini terdiri dari duktus-duktus kecil dan susunan sel-sel asinar abortif tersebar sepanjang segmen uretra proksimal.
Zona Kelenjar Prostat
2.2. FISIOLOGI PROSTAT
Sekret kelenjar prostat adalah cairan seperti susu yang bersama-sama sekret dari vesikula seminalis merupakan komponen utama dari cairan semen. Semen berisi sejumlah asam sitrat sehingga pH nya agak asam (6,5). Selain itu dapat ditemukan enzim yang bekerja sebagai fibrinolisin yang kuat, fosfatase asam, enzim-enzim lain dan lipid. Sekret prostat dikeluarkan selama ejakulasi melalui kontraksi otot polos. kelenjar prostat juga menghasilkan cairan dan plasma seminalis, dengan perbandingan cairan prostat 13-32% dan cairan vesikula seminalis 46-80% pada waktu ejakulasi. 3
3
2.3. BPH
Hiperplasia Prostat Benigna sebenarnya adalah suatu keadaan dimana kelenjar periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer. Selain itu, BPH merupakan pembesaran kelenjar prostat yang bersifat jinak yang hanya timbul pada laki-laki yang biasanya pada usia pertengahan atau lanjut.
4
Benign Prostat Hyperplasia 2.3.1
ETIOLOGI
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat jinak adalah : Teori Dihidrotestosteron, Adanya ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron, Interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat, Berkurangnya kematian sel (apoptosis), dan Teori Stem sel. 5 a) Teori Dihidrotestosteron (DHT) : Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit
androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel- sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di dalam sel prostat oleh enzim 5α-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti dan sel selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5α-reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan pada BPH lebih 4
sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal. 5 b) Ketidakseimbangan estrogen dan testosteron : Pada usia yang semakin tua, kadar
testosterone menurun, sedangkan kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen : testosterone relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel- sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel- sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel- sel prostat (apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah, meskipun rangsangan terbentuknya sel- sel baru akibat rangsangan testosterone menurun, tetapi sel – sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar. 5 c) Interaksi stroma epitel : Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan
pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel- sel stroma melalui suatu mediator ( growth factor ) tertentu. Setelah sel- sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel- sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel- sel stroma itu sendiri secara intrakin dan autokrin, serta mempengaruhi sel- sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel- sel epitel maupun stroma. 5 d) Berkurangnya kematian sel prostat ( Apoptosis) : Apoptosis sel pada sel prostat
adalah mekanisme fisiologik homeostatis kelenjar prostat. Pada jaringan nomal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian sel. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan makin meningkat sehingga mengakibatkan pertambahan massa prostat. Diduga hormon androgen berperan dalam menghambat proses kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat.1 e) Teori stem cell : Isaac dan Coffey mengajukan teori ini berdasarkan asumsi bahwa
pada kelenjar prostat, selain ada hubungannya dengan stroma dan epitel, juga ada hubungan antara jenis-jenis sel epitel yang ada di dalam jaringan prostat. Stem sel yaitu sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi secara ekstensif. Kehiduoan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormon androgen sehingga jika hormon ini kadar menurun menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel. 5
2.3.2
PATOFISIOLOGI
Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional , sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer. Pertumbuhan kelenjar ini sangat bergantung pada hormon testosteron, yang di dalam sel- sel kelenjar prostat hormon akan dirubah menjadi metabolit
aktif
dihidrotestosteron
(DHT)
dengan
bantuan
enzim
5α
reduktase.
Dihidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel- sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth factor yang memacu pertumbuhan kelenjar prostat. 5 Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli- buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli- buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli- buli. Perubahan struktur pada buli- buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatimus. 5 Tekanan intravesika yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli- buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli- buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal. 5 2.3.3. MANIFESTAS KLINIS a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS)5
Terdiri atas gejala obstruksi dan iritasi : Obstruksi
Iritasi
Hesistansi
Frekuensi
Pancaran miksi lemah
Nokturi
Intermitensi
Urgensi
Miksi tidak puas
Disuria
Terminal dribbling (menetes)
Urgensi dan disuria jarang terjadi, jika ada disebabkan oleh
6
Mengejan saat berkemih
ketidakstabilan detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter.
Tabel 1. Gejala Obstruksi dan Iritasi Benigna Prostat Hiperplasia
Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot buli-buli untuk mengeluarkan urine. Pada suatu saat, otot buli-buli mengalami kepayahan (fatigue) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi urin akut. Timbulnya dekompensasi buli-buli ini didahului oleh factor pencetus antara lain : 1) Volume buli-buli tiba-tiba penuh (cuaca dingin, konsumsi obat-obatan yang mengandung diuretikum, minum tertalu banyak) 2) Massa prostat tiba-tiba membesar (setelah melakukan aktivitas seksual/ infeksi prostat) 3) Setelah mengkonsumsi obat-obat yang dapat menurunkan kontraksi otot detrusor (golongan antikolinergik atau adrenergic-α) Untuk menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan dengan penentuan jenis pengobatan BPH dan untuk menilai keberhasilan pengobatan BPH, dibuatlah suatu skoring yang valid dan reliable. Terdapat beberapa sistem skoring, di antaranya skor International Prostate Skoring System (IPSS) yang diambil berdasarkan skor American Urological Association (AUA). Skor AUA terdiri dari 7 pertanyaan. Pasien diminta untuk menilai sendiri derajat keluhan obstruksi dan iritatif mereka dengan skala 0-5. Total skor dapat berkisar antara 0-35. Skor 0-7 ringan, 8-19 sedang, dan 20-35 berat.
7
b. Gejala pada saluran kemih bagian atas 5 : Merupakan penyulit dari hiperplasi
prostat, berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (hidronefrosis), demam (infeksi/ urosepsis). c. Gejala di luar saluran kemih : Keluhan pada penyakit hernia inguinalis /
hemoroid sering mengikuti penyakit hipertropi prostat. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal.
8
2.3.4
PEMERIKSAAN FISIK
Buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa di daerah supr a simfisis akibat retensi urine. Kadang-kadang didapatkan urine yang selalu menetes yang merupakan pertanda dari inkontinensia paradoksa. 6 1) Pemeriksaan colok dubur / digital rectal examination ( DRE )
Merupakan pemeriksaan yang sangat penting, DRE dapat memberikan gambaran tonus sfingter ani, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan di dalam rektum dan prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan : -
Konsistensi pada pembesaran prostat kenyal
-
Simetri antar lobus
-
Adakah nodul pada prostat
-
Apakah batas atas dapat diraba dan apabila batas atas masih dapat diraba biasanya besar prostat diperkirakan <60 gr.
Pemeriksaan Colok Dubur
Pada BPH akan ditemukan prostat yang lebih besar dari normal, permukaan licin dan konsistensi kenyal.12 Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pielonefritis akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total, buli-buli penuh (ditemukan massa supra pubis) yang nyeri.1
9
2.3.5
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium 5,7,9: a. Sedimen urin : Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi pada saluran kemih. Mengevaluasi adanya eritrosit, leukosit, bakteri, protein atau glukosa. b. Kultur urin : Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan sensifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan c. Faal ginjal : Mencari kemungkinan adanya penyulit yang mengenai saluran kemih bagian atas. Elektrolit, BUN, dan kreatinin berguna untuk insufisiensi ginjal kronis pada pasien yang memiliki postvoid residu (PVR) yang tinggi . d. Gula darah : Mencari kemungkinan adanya penyakit diabetes mellitus yang dapat
menimbulkan
kelainan
persarafan
pada
buli-buli
(buli-buli
neurogenik) e. Penanda tumor PSA (prostat spesifik antigen) : Jika curiga adanya keganasan prostat
2. Pencitraan pada Benigna Prostat Hiperplasia: a. Foto polos5 Berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, adanya batu/kalkulosa prostat dan kadangkala menunjukan bayangan buli-buli yang penuh terisi urine, yang merupakan tanda suatu retensi urine b. Pemeriksaan ultrasonografi transrektal (TRUS)5,7,9,10 -
Adanya fokus keganasan prostat berupa area hipoekoik
-
Sebagai penunjuk / guidance dalam melakukan biopsi prostat
c. Ultrasonografi trans abdominal (TAUS)8,10,11 Gambaran sonografi benigna hyperplasia prostat menunjukan pembesaran bagian dalam glandula, yang relatif hipoechoic dibanding zona perifer. Zona transisi hipoekoik cenderung menekan zona central dan perifer. Batas yang memisahkan hyperplasia dengan zona perifer adalah “surgical capsule”. USG transabdominal mampu pula mendeteksi adanya hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang lama.
10
3. Pemeriksaan lain5,12 : Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara mengukur:
Residual urin : Jumlah sisa urin setelah miksi, dengan cara melakukan kateterisasi/USG setelah miksi
Pancaran urin/flow rate : Dengan menghitung jumlah urine dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat uroflometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin. Aliran yang berkurang sering pada BPH. Pada aliran urin yang lemah, aliran urinnya kurang dari 15mL/s dan terdapat peningkatan residu urin. Post-void residual mengukur jumlah air seni yang tertinggal di dalam kandung
kemih setelah buang air kecil. PRV kurang dari 50 mL umum menunjukkan pengosongan kandung kemih yang memadai dan pengukuran 100 sampai 200 ml atau lebih sering menunjukkan sumbatan. Pasien diminta untuk buang air kecil segera sebelum tes dan sisa urin ditentukan oleh USG atau kateterisasi.
2.3.6
2.3.7
KOMPLIKASI
Retensi urine
Batu buli
Hidronefrosis - gangguan pada fungsi ginjal
ISK
PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi hyperplasia prostat adalah (1) memperbaiki keluhan miksi, (2) meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi intravesika, (4) mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi volume residu urine setelah miksi dan (6) mencegah progresivitas penyakit. Hal ini dapat dicegah dengan medikamentosa, pembedahan atau tindakan endourologi yang kurang invasif.
11
Pilihan Terapi pada Hiperplasia Prostat Benigna
Observasi Watchful waiting
Medikamentosa Penghambat adrenergik α Penghambat reduktese α
Operasi Prostatektomi terbuka Endourologi
Fisioterapi
Invasive minimal
TUMT
TUBD
Stent uretra
TUNA
1. TURP 2. TUIP 3. TULP Elektovaporasi
Penatalaksanaan Benigna Prostat Hiperplasia 14
Riwayat Pemeriksaan fisik & DRE Urinalisa PSA (meningkat/tidak)
Indeks gejala
Gejala ringan (AUA≤7)/ tdk ada
Gejala sedang
Retensi urinaria+gejala yang berhubungan dg BPH Hematuria persistent Batu buli Infeksi saluran urinaria berulang
Tes diagnostic Uroflow
Operasi
Pilihan terapi
Terapi non-invasif
Watchful waiting
Terapi invasif
Terapi medis
Tes diagnostic Pressure flow Uretrosistoskopi USG prostat
Terapi minimal invasif
Operasi
12
a. Watchful waiting 5
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien tidak mendapat terapi namun hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya : jangan mengkonsumsi kopi atau alcohol setelah makan malam, kurangi konsumsi makanan atau minuman yang mengiritasi buli-buli (kopi/cokelat),
batasi
penggunaan
obat-obat
influenza
yang
mengandung
fenilpropanolamin, kurangi makanan pedasa dan asin, dan jangan menahan kencing terlalu lama. Secara periodik pasien diminta untuk datang control dengan ditanya keluhannya apakah menjadi lebih baik (sebaiknya memakai skor yang baku), disamping itu dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu urin, atau uroflometri. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada sebelumnya, mungkin perlu dipikirkan terapi yang lain.
b. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk : (1) mengurangi resistansi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika dengan obatobatan penghambat adrenergic alfa (adrenergic alfa blocker dan (2) mengurangi volume prostat
sebagai
komponen
static
dengan
cara
menurunkan
kadar
hormone
testosterone/dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5α-reduktase. 1) Penghambat reseptor adrenergik α. 5, Mengendurkan otot polos prostat dan leher kandung kemih, yang membantu untuk meringankan obstruksi kemih disebabkan oleh pembesaran prostat di BPH. Efek samping
dapat
termasuk
sakit
kepala,
kelelahan,
atau
ringan.
Umumnya digunakan alpha blocker BPH termasuk tamsulosin (Flomax), alfuzosin (Uroxatral), dan obat-obatan yang lebih tua seperti terazosin (Hytrin) atau doxazosin (Cardura). Obat-obatan ini akan meningkatkan pancaran urin dan mengakibatkan perbaikan gejala dalam beberapa minggu dan tidak berpengaruh pada ukuran prostat.
2) Penghambat 5 α reduktase
5
Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan dihidrotestosteron (DHT) dari testosterone yang dikatalisis oleh enzim 5 α reduktase di dalam sel prostat. Menurunnya kadar DHT menyebabkan sintesis protein dan replikasi sel-sel prostat menurun. Pembesaran prostat di BPH secara langsung tergantung pada DHT,
13
sehingga obat ini menyebabkan pengurangan 25% perkiraan ukuran prostat lebih dari 6 sampai 12 bulan.
c. Terapi Invasif Minimal
Diperuntukan untuk pasien yang mempunyai risiko ti nggi terhadap pembedahan 1) Microwave transurethral. Pada tahun 1996, FDA menyetujui perangkat yang menggunakan gelombang mikro untuk memanaskan dan menghancurkan jaringan prostat yang berlebih. Dalam prosedur yang disebut microwave thermotherapy transurethral (TUMT), perangkat mengirim gelombang mikro melalui kateter untuk
memanaskan bagian prostat dipilih untuk setidaknya 111 derajat Fahrenheit. Sebuah sistem pendingin melindungi saluran kemih selama prosedur. Prosedur ini memakan waktu sekitar 1 jam dan dapat dilakukan secara rawat jalan tanpa anestesi umum. TUMT belum dilaporkan menyebabkan disfungsi ereksi atau inkontinensia. Meskipun terapi microwave tidak menyembuhkan BPH, tapi mengurangi gejala frekuensi kencing, urgensi, tegang, dan intermitensi.13,14,15
Microwave Transurethral
2) Transurethral jarum ablasi. Juga pada tahun 1996, FDA menyetujui transurethral jarum ablasi invasif minimal (TUNA) sistem
untuk
pengobatan BPH. Sistem TUNA memberikan energy radiofrekuensi tingkat rendah melalui jarum kembar untuk region prostat yang membesar. Shields melindungi uretra dari kerusakan akibat panas. Sistem TUNA meningkatkan aliran urin dan mengurangi gejala dengan efek samping yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan reseksi transurethral dari prostat (TURP).
14
Transurethral Jarum Ablasi Invasif Minimal
d. Bedah 1) Operasi transurethral. 5,11,13,16,17
Pada jenis operasi, sayatan eksternal tidak diperlukan. Setelah memberikan anestesi, ahli bedah mencapai prostat dengan memasukkan instrumen melalui uretra. Prosedur yang disebut reseksi transurethral dari prostat (TURP) digunakan untuk 90 persen dari semua operasi prostat dilakukan untuk BPH. Dengan TURP, alat yang disebut resectoscope dimasukkan melalui penis. The resectoscope, yaitu panjang sekitar 12 inci dan diameter 1 / 2 inci, berisi lampu, katup untuk mengendalikan cairan irigasi, dan loop listrik yang memotong jaringan dan segel pembuluh darah. Cairan irigan yang dipakai adalah aquades . kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonis sehingga dapat masuk melalui sirkulasi sistemik dan menyebabkan hipotermia relative atau gejala intoksikasi air yang dikenal dengan sindrom TURP. Ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, somnolen dan tekanan darah meningkat dan terdapat bradikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema otak dan jatuh ke dalam koma. Untuk mengurangi risiko timbulnya sindroma TURP operator harus membatasi diri untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam dan baru memasang sistostomi terlebih dauhlu sebelum reseksi diharapkan dapat mengurangi penyerapan air ke sistemik. Selama operasi 90-menit, ahli bedah menggunakan loop kawat resectoscope untuk menghilangkan jaringan obstruksi satu bagian pada suatu waktu. Potongan-potongan jaringan dibawa oleh cairan ke kandung kemih dan kemudian dibuang keluar pada akhir operasi. Prosedur transurethral kurang traumatis daripada bentuk operasi terbuka dan memerlukan waktu pemulihan lebih pendek. Salah satu efek samping yang mungkin TURP adalah ejakulasi retrograde, atau ke belakang. Dalam kondisi ini, semen mengalir mundur ke dalam kandung kemih selama klimaks bukannya keluar uretra.
15
Selama operasi Perdarahan Sindrom TURP Perforasi
Pasca bedah dini Perdarahan Infeksi lokal/sistemik
Pasca bedah lanjut Inkontinensi Dinsfungsi ereksi Ejakulasi retrograde Striktur uretra
Berbagai Penyulit TURP, Selama maupun Setelah Pembedahan
(a)
c
(b)
(a) alat TURP, (b) cara melakukan TURP, (c) uretra prostatika pasca TURP
Prosedur bedah yang disebut insisi transurethral dari prostat (TUIP), prosedur ini melebar urethra dengan membuat beberapa potongan kecil di leher kandung kemih, di mana terdapat kelenjar prostat. Prosedur ini digunakan pada hiperplasi prostat yang tidak tartalu besar, tanpa ada pembesaran lobus medius dan pada pasen yang umurnya masih muda.
16
2) Open surgery. 5,12
Dalam beberapa kasus ketika sebuah prosedur transurethral tidak dapat digunakan, operasi terbuka, yang memerlukan insisi eksternal, dapat digunakan. Open surgery sering dilakukan ketika kelenjar sangat membesar (>100 gram), ketika ada komplikasi, atau ketika kandung kemih telah rusak dan perlu diperbaiki. Prostateksomi terbuka dilakukan melalui pendekatan suprarubik transvesikal (Freyer) atau retropubik infravesikal (Millin). Penyulit yang dapat terjadi adalah inkontinensia uirn (3%), impotensia (5-10%), ejakulasi retrograde (60-80%) dan kontraktur leher buli-buli (305%). Perbaikan gejala klinis 85100%. 3) Operasi laser
5, 7,11
Teknik laser menimbulkan lebih sedikit komplikasi sayangnya terapi ini membutuhkan terapi ulang 2% setiap tahun. Kekurangannya adalah : tidak dapat diperoleh jaringan untuk pemeriksaan patologi (kecuali paad Ho:YAG coagulation), sering banyak menimbulkan disuri pasca bedah yang dapat berlangsung sampai 2 bulan, tidak langsung dapat miksi spontan setelah operasi dan peak flow rate lebih rendah daripada pasca TURP. Serat laser melalui uretra ke dalam prostat menggunakan cystoscope dan kemudian memberikan beberapa semburan energi yang berlangsung 30 sampai 60 detik. Energi laser menghancurkan jaringan prostat dan menyebabkan penyusutan.
Operasi Laser pada Prostat
a) Potoselectif vaporisasi prostat (PVP). PVT a-energi laser tinggi untuk menghancurkan jaringan prostat. Cara sama dengan TURP, hanya saja teknik ini memakai roller ball yang spesifik dengan mesin diatermi yang cukup kuat, sehingga mampu membuat vaporasi kelenjar prostat. Teknik ini cukup aman tidak menimbulkan perdarahan pada saat operasi. Namun teknik ini hanya diperuntukan pada prostat yang tidak terlalu besar (<50 gram) dan membutuhkan waktu operasi yang lebih lama.
17
Fotoselectif vaporisasi prostat e. Kontrol berkala
5
Watchfull waiting Kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk mengetahui apakah terdapat perbaikan klinis
Pengobatan penghambat 5α-reduktase Dikontrol pada minggu ke-12 dan bulan ke-6
Pengobatan penghambat 5α-adrenegik Setelah 6 minggu untuk menilai respon terhadap terapi dengan melakukan pemeriksaan IPSS uroflometri dan residu urin pasca miksi
Terapi invasive minimal `etelah 6 minggu, 3 bulan dan setiap tahun. Selain dilakukan penilaian skor miksi, juga diperiksa kultur urin
Pembedahan Paling lambat 6 minggu pasca operasi untuk mengetahui kemungkinan penyulit.
2.4 KANKER PROSTAT
Kanker prostat adalah pertumbuhan tumor ganas dari jaringan parenkim kelenjar prostat dan merupakan kanker kedua pada pria di Amerika. 1,7
2.4.1 ETIOLOGI
Etiologi kanker prostat belum diketahui dengan tepat. Sekitar 75 % kanker prostat ditemukan pada bagian posterior pada lobus medius.11,13 a. Usia Sering ditemukan pada pria dewasa (50% dari seluruh tumor ganas usia diatas 50 tahun dan akan meningkat tajam pada usia di atas 80 tahun.
18
b. Ras Penderita prostat tertinggi ditemukan pada pria dengan ras Afrika – Amerika.Pria kulit hitam memiliki resiko 1,6 kali lebih besar untuk menderita kanker prostat dibandingkan dengan pria kulit putih . c. Riwayat keluarga Kanker
prostat
didiagnosa pada
15%pria yang memiliki ayah atau
saudara
lelaki yang menderita kanker prostat, bila dibandingkan dengan 8% populasi kontrol yang tidak memiliki kerabatyang terkena kanker prostat. d. Hormonal Beberapa teori menyimpulkan bahwa kanker prostat terjadi karena adanya peningkatan kadar testosteron pada pria, tetapi hal ini belum dapat dibuktikan secara ilmiah. Beberapa penelitian menemukan terjadinya penurunan kadar testosteron pada penderita kanker prostat. Selain itu, juga ditemukan peningkatan kadar DHT pada penderita prostat, tanpa diikuti dengan meningkatnya kadar testosteron.
2.4.2 GEJALA KLINIS
Tahap awal (early stage) yang mengalami kanker prostat umumnya tidak menunjukkan gejala klinis
atau
asimptomatik. Pada
tahap
berikutnya
(locally
advanced)
didapatkan obstruksi sebagai gejala yang paling sering ditemukan. Pada tahap lanjut (advanced) penderita yang telah mengalami metastase di tulang sering mengeluh sakit tulang dan sangat jarang mengalami kelemahan tungkai maupun kelumpuhan tungkai karena kompresi kordaspinalis.7,9 . 2.4.3 PATOFISIOLOGI
Kelenjar prostat normal
PIN (Prostate Intraepitelial Neoplasia) merupakan proliferasi
epitel yang atipikal pada duktus dan kelenjar prostat prostat metastasis
Ca prostat stadium lanjut
Ca
HRPC (Hormone Refractory Prostate Cancer). Pertumbuhan sel yang
abnormal ( adenokarsinoma ) yang berdeferensiasi di sel parenchym kelenjar prostat secara infiltrat dibagian kapsul / pembungkusnya. Yang sering terserang adalah di bagian lobus posterior dan membentuk massa sehingga prostat membesar seperti hyperplasia kemudian dapat terjadi penekanan di semi vesika urinaria atau penyempitan urethra. Kurang lebih 75% terdapat pada zona perifer,diikuti oleh zona central pusat dan zona peralihan. Anak sebar
19
menyebar ke lateral yaitu menuju otot anus / rectum melalui hematogen dankelenjar lymphe sehingga dapat metastasi ke paru - paru, otak, tulang dan organ-organ lain.
2.4.4
PEMERIKSAAN DAN PENEGAKAN DIAGNOSIS
Pemeriksaan utama dalam menegakkan kanker prostat adalah anamnesis, perjalanan penyakit, pemeriksaan, colok dubur, PSA, PAP. Diagnosa pasti didapatkan dari hasil biopsi prostat atau spesimen operasi berupa adenokarsinoma. Selain itu pemeriksaan histopatologis akan menentukan derajat dan penyebaran tumor. 2.4.4.1 PEMERIKSAAN COLOK DUBUR
Kebanyakan kanker prostat terletak di zona perifer prostat dan dapat dideteksi dengan colok dubur jika volumenya sudah > 0.2 ml. Jika terdapat kecurigaan dari colok dubur berupa: nodul keras, asimetrik, berbenjol-benjol; maka kecurigaan tersebut dapat menjadi indikasi biopsi prostat. Delapan belas persen dari seluruh penderita kanker prostat terdeteksi hanya dari colok dubur saja, dibandingkan dengan kadar PSA. Penderita dengan kecurigaan pada colok dubur dengan disertai kadar PSA > 2ng/ml mempunyai nilai prediksi 5-30%.
2.4.4.2 PSA (PROSTATE SPECIFIC ANTIGEN)
PSA adalah serine-kalikrein protease yang hampir seluruhnya diproduksi oleh sel epitel prostat. Pada prakteknya PSA adalah organ spesifik namun bukan kanker spesifik. Maka itu peningkatan kadar PSA juga dijumpai pada BPH, prostatitis, dan keadaan non-maligna lainnya. Kadar PSA secara tunggal adalah variabel yang paling bermakna dibandingkan colok dubur atau TRUS. Sampai saat ini belum ada persetujuan mengenai nilai standar secara internasional. Kadar PSA adalah parameter berkelanjutan semakin tinggi kadarnya, semakin tinggi pula kecurigaan adanya Kanker prostat. Nilai baku PSA di Indonesia saat ini yang dipakai adalah 4ng/ml.
2.4.4.3 PAP (PROSTATIC ACID PHOSPHATASE)
PAP adalah marker tumor yg diproduksi oleh lisosom sel epitelial prostat. PAP tampil pada bagian apikal dari epitel kelenjar sel-sel sekresi. Level PAP tinggi sekitar 60% pada kanker prostat dengan metastasis. Namun, PAP dalam serum dapat normal atau menaik sedikit ketika kanker berada localized dalam kelenjar prostat dan dapat meningkat pada BPH dan osteoporosis.
20
2.4.4.4 BIOPSI PROSTAT & Transrectal ultrasonography (TRUS)
Tindakan biopsi prostat sebaiknya ditentukan berdasarkan kadar PSA, kecurigaan
pada
pemeriksaan colok dubur. Sangat dianjurkan bila biopsi prostat dengan guided TRUS, bila tidak mempunyai TRUS dapat dilakukan biopsi transrektal menggunakan jarum trucut dengan bimbingan jari. Untuk melakukan biopsi, lokasi untuk mengambil sampel harus diarahkan ke lateral. Jumlah Core dianjurkan sebanyak 10-12. Core tambahan dapat diambil dari daerah yang dicurigai pada colok dubur atau TRUS. Tingkat komplikasi biopsi prostat rendah. Komplikasi minor termasuk makrohematuria dan hematospermia. Infeksi berat setelah prosedur dilaporkan <1 % kasus. Indikasi biopsi ulang:
PSA yang meningkat dan atau menetap pada pemeriksaan ulang setelah 6 bulan
Kecurigaan dari colok dubur
Proliferasi sel asinar kecil yang atipik (ASAP)
High Grade Prostatic intraepithelial (PIN) lebih dari satu core
Penentuan waktu yang optimal untuk biopsi ulang adalah 3-6 bulan. 13
2.5 PENGOBATAN
Pengobatan terhadap adenokarsinoma prostat sangat efektif apabila belum menyebar ke organ sekitarnya dan belum metastasis. Pengobatan terhadap adenokarsinoma prostat yang masih terbatas pada organ prostat adalah prostatektomi, radiasi dan brachyterapi. Apabila adenokarsinoma prostat telah metastasis maka digunakan terapi hormon dengan cara ablasi hormonal
secara bedah
reseptor androgen,
(kastrasi),
ablasi
inhibitor 5α-reductase)
hormonal atau
dengan
gabungan
obat-obatan
(antagonis
keduanya
(combined
androgenblockade).7,13
21
BAB III KESIMPULAN
Hiperplasia kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada populasi pria lanjut usia. Dengan bertambah usia, ukuran kelenjar dapat bertambah karena terjadi hiperplasia jaringan fibromuskuler dan struktur epitel kelenjar (jaringan dalam kelenjar prostat). Gejala dari pembesaran prostat ini terdiri dari gejala obstruksi dan gejala iritatif. Penatalaksanaan BPH berupa watchful waiting, medikamentosa, terapi bedah konvensional, dan terapi minimal invasif. Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap individu walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak segera ditindak memiliki prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi kanker prostat.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Kozar Rosemary A, Moore Frederick A. Schwartz’s Principles of Surgery 8 th Edition. Singapore: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2005 2. Mansjoer A, Suprahaita, Wardhani. 2000. Pembesaran Prostat Jinak. Dalam: Kapita selekta Kedokteran. Media Aesculapius, Jakarta ; 329-344. 3. Mulyono, A. 1995. Pengobatan BPH Pada Masa Kini. Dalam : Pembesaran Prostat Jinak. Yayasan penerbit IDI, Jakarta ; 40-48.5. 4. Purnomo, Basuki B. Dasar – Dasar Urologi. Edisi Kedua. Jakarta : Sagung Seto. 5. Rahardjo, J. 1996. Prostat Hipertropi. Dalam : Kumpulan Ilmu Bedah. Binarupa aksara, Jakarta ; 161-703. 6. Ramon P, Setiono, Rona, Buku Ilmu Bedah, Fakultas KedokteranUniversitas Padjajaran ; 2002: 203-75. 7. Sabiston, David. Sabiston : Buku Ajar Bedah. Alih bahasa : Petrus. Timan. EGC. 1994. 8. Sjafei, M. 1995. Diagnosis Pembesaran Prostat Jinak. Dalam : Pembesaran Prostat Jinak. Yayasan Penerbit IDI, Jakarta ; 6-17 9. Sjamsuhidajat R, De Jong W. 1997. Tumor Prostat. Dalam: Buku ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta, 1997; 1058-64. 10. Umbas, R. 1995. Patofisiologi dan Patogenesis Pembesaran Prostat Jinak . Yayasan penerbit IDI, Jakarta ; 1-52. 11. McAninch, J.; Tanagho E. Smith's General Urology. 16 th Edition. San Fransisco: McGraw-Hill/Appleton & Lange; 2007. 12. Roehrborn, C.; McConnell, J. Etiology, Pathophysiology, Epidemiology, and Natural History
of
Benign
Prostatic
Hyperplasia.
In:Campbell's
Urology.
8th edition. Philadelphia: Elsevier; 2002. 13. Reynard,
J.;
Brewster,
S.;
Biers, S.
Oxford Handbook
of
Urology.
1st Edition. Oxford: Oxford University Press; 2006. p. 70-111 14. Dawson C., Whitfield H. Bladder outflow obstruction. In: ABC of Urology. UK: British Medical Journal. p. 26-33 15. Zeman, Peter A.; Siroky, Mike B.; Babayan, Richard K. Lower Urinary Tract Symptoms. In: Siroky, MB, Oates RD, Babayan RK, editors. Handbook of Urology:
23
Diagnosis and Therapy. 3 rd edition. Boston: Lippincott Williams & Wilkins; 2004. p. 99 – 119 16. Resnick, M. Benign Prostatic Hyperplasia. In: Resnick M., Elder J., Spirnak J., editors. Critical Decision in Urology. London: BC Decker; 2004. p. 190-191 17. Brant, William E. Genital Tract: Radiographic Imaging and MR. In: Brant, William E.;
Helms, Clyde A.,
editors.
Fundamentals
of
Diagnostic
Radiology.
3rd Edition. Virginia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. p. 911-920
24