Reaksi Hipersensitivitas Tipe 1 dan Tipe 2 Oleh Rahma Novitasari, 0806320830
Berdasarkan mekanisme reaksi imunologik yang terjadi, Gell dan Coombs membagi reaksi hipersensitivitas menjadi 4 golongan, golongan, yakni hipersens hipersensitivita itivitass menjadi menjadi 4 golongan, golongan, yakni reaksi hipersensitivi hipersensitivitas tas tipe I, II, III, IV, kemudian kemudian akhir-akhir ini dikenal satu golongan lain yang disebut tipe V atau stimulatory hypersensitivity. Reaksi tipe I, II, III, dan IV terjadi karena interaksi antara antigen dengan reseptor yang terdapat pada permukaan limfosit sehingga termasuk reaksi seluler. Sesuai dengan waktu yang diperlukan untuk timbulnya reaksi, reaksi tipe I, II, III, dan IV disebut reaksi tipe segera (immediate), walau reaksi yang satu timbul lebih cepat dari yang lain, yaitu antara beberapa detik atau menit pada tipe I hingga beberapa jam pada tipe II dan III. Sebaliknya tipe IV disebut reaksi tipe lambat ( delayed type hypersensitivity reaction) karena reaksi berlangsung lebih lambat diband dibanding ingkan kan tipe yang yang lain, lain, yaitu yaitu umumny umumnyaa lebih lebih dari dari 12 jam. jam. Wa Walau laupun pun demiki demikian, an, dalam dalam prakte praktek, k, mekani mekanisme sme reaksi reaksi hipersensitivitas tidak selalu berdiri sendiri atau terpisah satu dari yang lain, tetapi sering melibatkan lebih dari satu mekanisme reaksi imunologik. 1
Reaksi tipe 1 yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaktik atau reaksi alergi, timbul segera sesudah terpajan dengan alergen. Pada reaksi tipe 1, alergen yang masuk kedalam tubuh menimbulkan respons imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rhinitis alergi, asma, dan dermatitis atopi. Urutan kejadian reaksi tipe 1 adalah sebagai berikut: 1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikat silang oleh reseptor spesifik (Fcε-R) yang
terdapat pada permukaan sel mast dan basofil. 2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast maupun basofil
melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh karena ikatan silang antara antigen dengan IgE.
3. Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang di lepas sel
mast/basofil dengan aktivitas farmakologik. 1 Alerge Alergen n dipres dipresent entasi asikan kan ke sel T CD4+ CD4+ naïve oleh sel dendritik dendritik (yang menangkap menangkap alergen dari tempat
masuknya:selaput
lendir
hidung,paru,konjungtiva). Sel T kemudian berubah menjadi sel Th2. Sel T CD4+ ini berperan penting dalam patogenesis patogenesis hipersensi hipersensitivita tivitass tipe I karena karena sitokin yang disekresikannya (khususnya IL-4 dan IL-5) menyebabkan menyebabkan diproduksinya diproduksinya IgE oleh sel B, yang bertindak sebagai faktor pertumbuhan untuk sel mast, serta merekrut dan mengaktivasi eosinofil. Antibodi IgE berikatan pada reseptor Fc berafinitas tinggi tinggi (Fcε-R (Fcε-R1) 1) yang yang terdap terdapat at pada pada sel mast dan basofil; begitu sel mast dan basofil “dipersenjatai”, individu individu yang bersangkuta bersangkutan n diperlengka diperlengkapi pi untuk menimbulkan hipersensitivitas tipe I. Pajanan yang ulang terhadap antigen yang sama mengakibatkan pertautan pertautan-silan -silang g antara antara antigen antigen dengan dengan IgE yang terikat sel dan memicu suatu kaskade sinyal intrasel sehingga terjadi pelepasan beberapa mediator kuat. Mediat Mediator or primer primer untuk untuk respon responss awal awal sedang sedangkan kan mediator sekunder untuk fase lambat. 2
Mediator Primer
Setelah pemicuan IgE, mediator primer di dalam granula sel mast dilepaska dilepaskan n untuk memulai tahapan tahapan awal reaksi hipersens hipersensitivita itivitass tipe 1. Histamine merupakan komponen utama granul sel mast . histamine yang merupakan merupakan mediator primer yang dilepas akan diikat diikat oleh reseptornya. reseptornya. Ada 4 resept reseptor or histam histamine ine (H1,H2 (H1,H2,H3 ,H3,H4 ,H4)) dengan dengan distri distribus busii yang yang berbe berbeda da dalam dalam jaring jaringan an dan bila bila berika berikatan tan dengan dengan histam histamine ine akan akan menunjukkan berbagai efek, yaitu meningkatnya permeabilitas vaskular, vasodi vasodilat latasi asi,,
bronko bronkokon kontrik triksi, si,
dan mening meningkat katnya nya sekres sekresii
mukus. mukus.
Mediator lain yang segera dilepaskan meliputi adenosin (menyebabkan bronk bronkoko okonst nstrik riksi si dan mengha menghamba mbatt agrega agregasi si trombo trombosit sit)) serta serta faktor faktor kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil. Mediator lain ditemukan dalam matriks matriks granula granula dan meliputi heparin serta protease protease netral (misalnya, (misalnya, trip tripta tase se). ). Prote Proteas asee meng mengha hasi silk lkan an kinin kinin dan dan meme memeca cah h komp kompon onen en komple komplemen men untuk untuk mengha menghasil silkan kan faktor faktor kemota kemotaksi ksiss dan inflam inflamasi asi tambahan (misalnya, C3a). 2
Mediator Sekunder
Mediator ini mencakup dua kelompok senyawa mediator lipid dan sitokin. Mediator lipid dihasilkan melalui aktivitas fosfolipase A2, yang yang memec memecah ah fosfol fosfolipi ipid d membra membrane ne sel mast mast untuk untuk mengha menghasil silkan kan asam asam arakhi arakhidon donat. at. Selanj Selanjutn utnya ya asam asam arakhi arakhidon donat at merupakan senyawa induk untuk menyintesis leukotrien dan prostaglandin. •
Leukotrien berasal dari hasil kerja 5-lipoksigenase pada prekusor asam arakhidonat dan sangat penting pada patognesis
hipersensitivitas tipe 1. Leukotrien C 4 dan D4 merupakan agen vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal paling poten, agen ini beberapa ribu kali lebih aktif daripada histamin dalam meningkatkan permeabilitas vaskular dan dalam menyebabkan kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B 4 sangat kemotaktik untuk neutrofil, eosinofil, dan monosit. •
Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur siklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini
menyebabkan bronkospasme hebat serta meningkatkan sekresi mukus. •
Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain, mengakibatkan agregasi trombosit, pelepasan histamin
dan bronkospasme. Mediator ini juga bersifat kemotaktik untuk neutrofil dan eosinofil.meskipun produksinya diawali oleh aktivasi fosfolipase A2, mediator ini bukan produk metabolisme asam arakhidonat. •
Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6) dan kemokin berperan penting pada reaksi
hipersensitivitas tipe I melalui kemampuannya merekrut dan mengaktivasi mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF merupakan merupakan mediator yang sangat poten dalam adhesi, emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor pertumbuhan sel mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B. IL-5 mengaktifkan eosinofil. 1,2 Secara ringkas, berbagai senyawa kemotaksis, vasoaktif, dan bronkospasme memerantai reaksi hipersensitivitas tipe 1. Beberapa senyawa ini dilepaskan secara cepat dari sel mast yang tersensitasi dan bertanggung jawab terhadap reaksi segera yang hebat yang berhubungan dengan kondisi seperti anafilaksis sistemik. Senyawa lain, seperti sitokin, bertanggung jawab terhadap reaksi fase lambat, termasuk rekrutmen sel radang. Sel radang yang direkrut secara sekunder tidak hanya melepaskan mediator tambahan, tetapi juga menyebabkan kerusakan epitel setempat.
Manifestasi Klinis
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Sering kali hal ini ditentukan oleh rute pajanan antigen. Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, bisa lebah atau penisilin) secara sistemik (parental) menimbulkan Dalam beberapa beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu pejamu yang tersensitisas tersensitisasii akan muncul rasa gatal, urtikaria anafilaksis sistemik. Dalam (bintik merah dan bengkak), dan eritema kulit, diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat diperkuat dengan hipersekre hipersekresi si mukus. Edema laring dapat memperbera memperberatt persoalan persoalan dengan menyebabka menyebabkan n obstruksi obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik ( syok anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami mengalami kegagalan kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit. Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, (kontak, menyebabka menyebabkan n urtikaria), urtikaria), traktus traktus gastrointes gastrointestinal tinal (ingesti, (ingesti, menyebabka menyebabkan n diare), diare), atau paru (inhalasi, (inhalasi, menyebabka menyebabkan n bronkokonstriksi). Bentuk umum alergi kulit, hay fever, serta bentuk tertentu asma merupakan contoh reaksi anafilaktik yang terlokalisa terlokalisasi. si. Kerentanan Kerentanan terhadap reaksi tipe 1 yang terlokalisasi terlokalisasi sepertinya dikendalikan dikendalikan secara genetic genetic dan istilah istilah atopi digunakan untuk menunjukkan kecenderungan familial terhadap reaksi terlokalisasi semacam itu. Pasien yang menderita alergi nosobronkial sering kali mempunyai riwayat keluarga yang menderita kondisi serupa. Dasar genetic atopi belum dimengerti secara jelas, namun suatu studi menganggap adanya suatu hubungan dengan gen sitokin pada kromosom 5q yang mengatur pengeluaran IgE dalam sirkulasi. 2
Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid
Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi sistemik umum yang melibatkan penglepasan mediator oleh sel mast yang terjadi tidak melalui IgE. Secara klinis reaksi ini menyerupai reaksi tipe 1 yaitu syok, urtikaria, bronkospasme, anafilaksis, dlltetapi tidak berdasarkan atas reaksi imun. Reaksi ini tidak memerlukan pajanan terlebih dahulu untuk menimbulkan sensitasi. Reaksi anafilaktoid dapat ditimbulkan antimikroba, protein, kontras dengan yodium, penisilin, pelemas otot, dll. 1
Alergi
Pseudoalergi (anafilaktoid)
Perlu sensitasi
Tidak perlu sensitasi
Reaksi setelah pajanan berulang
Reaksi pada pajanan pertama
Jarang (<5%)
Sering (>5%)
Gejala Klinis khas
Gejala tidak khas
Dosis pemicu kecil
Tergantung Tergantung dosis
Ada kemungkinan kemungkinan riwayat riwayat keluarga keluarga Tidak ada riwayat riwayat keluarga keluarga
Reaksi Hipersensitivitas Tipe 2 atau sitotoksik
Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk melawan antigen target pada permukaan sel atau komponen komponen jaringan jaringan lainnya. lainnya. Antigen tersebut tersebut dapat dapat merupakan merupakan molekul intrinsic normal bagi membrane sel atau matriks ekstraselu ekstraseluler ler atau dapat dapat merupakan merupakan antigen eksogen eksogen yang diabsorbs diabsorbsii (misalnya (misalnya metabolit metabolit obat).
Respon Respon hipersensitivita hipersensitivitass
disebabkan oleh pengikatan antibodi yang di ikuti salah satu dari tiga mekanisme bergantung antibodi, yaitu: 2
Opso soni nisa sasi si 1. Op dipe dipera rant ntar arai ai
dan dan
Fago Fagossitos itosis is
Kompl Komplem emen en
dan dan
yang yang Fc
Receptor
SelSel-se sell
yang yang menj menjad adii targ target et anti antibo bodi di
diopsonisasi oleh molekul-molekul yang mampu menarik fagosit, sehingga sel-sel tersebut mengalami deplesi . Saat antibodi (IgG/IgM) terikat pada permukaan sel, terjadi pengaktifan sistem komplemen. Aktivasi komplemen terutama menghasilkan C3b dan C4b, yang akan terikat pada permukaan sel. C3b dan C4b ini akan dikenali oleh fagosit yang mengekspresikan reseptor C3b dan C4b. Sebagai tambahan, sel-sel yang di-opsonisasi oleh antibodi IgG dikenali oleh fagosit reseptor reseptor Fc. Hasil akhirnya yaitu fagositosis dari sel yang diopsonisasi, opsonisasi, kemudian sel tersebut tersebut dihancurka dihancurkan. n. Aktivasi Aktivasi komplemen komplemen juga menyebabkan menyebabkan terbentukny terbentuknyaa membrane membrane attack
complex, yang mengganggu integritas membran dengan membuat ‘lubang-lubang’ menembus lipid bilayer, sehingga terjadi lisis osmotik sel. 2 Kerusakan sel yang dimediasi antibodi dapat terjadi melalui proses lain yaitu antibody-dependent cellular cytotoxicity (ADCC). Bentuk jejas yang ditimbulkan tidak melibatkan fiksasi komplemen melainkan membutuhkan kerjasama leukosit. Sel yang di selubungi dengan IgG konsentrasi rendah lalu dibunuh oleh berbagai macam sel efektor yang berikatan pada sel target dengan reseptor untuk fragmen Fc dari dari IgG dan sel akan lisis tanpa mengalami fagositosis. ADCC dapat diperantarai oleh berbagai macam leukosit, termasuk neutrofil, eosinofil, makrofag, dan sel NK. Meskipun secara khusus ADCC diperantarai oleh antibodi IgG, dalam kasus tertentu (misalnya, pembunuhan parasit yang diperantarai oleh eosinofil) yang digunakaan adalah IgE. Peran dari ADCC dalam hipersensitivitas masih belum dapat dipastikan 2
Secara klinis, reaksi yang diperantarai oleh antibodi terjadi pada keadaan sebagai berikut:
Reaksi transfusi, sel darah merah dari seorang donor yang tidak sesuai dirusak setelah diikat oleh antibodi resipien yang diarahkan untuk melawan antigen darah donor. Reaksi dapat cepat atau lambat. Reaksi cepat biasanya disebabkan oleh inkompatibi inkompatibilitas litas golongan darah ABO yang dipacu dipacu oleh IgM. Antibodi Antibodi golongan golongan ini menimbulkan menimbulkan aglutinasi aglutinasi,, aktivasi aktivasi komplemen, dan hemolisis intravaskular.Dalam beberapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam plasma dan di saring melalui ginjal (hemoglobinuria). Beberapa hemoglobin diubah menjadi bilirubin yang pada kadar tinggi dapat bersifat toksik. Gejala khasnya dapat berupa demam, menggigil, nausea, demam, nyeri pi nggang dan hemoglubinuria.
Hal serupa serupa terjad terjadii pada pada hemolytic ketidaksesuaia suaian n faktor faktor Rhesus Rhesus ( Rhesus hemolytic diseases of the newborn (HDN) akibat ketidakse
Incompatibility) dimana anti-D IgG yang berasal dari ibu menembus plasenta masuk ke dalam sirkulasi darah janin dan melapisi permukaan eritrosit janin kemudian mencetuskan reaksi hipersensitivitas tipe II. HDN terjadi apabila seorang ibu Rh- mempunyai janin Rh+. Sensitisasi pada ibu umumnya terjadi pada saat persalinan pertama, karena itu HDN umumnya tidak timbul pada bayi pertama. Baru pada kehamilan berikutnya limfosit ibu akan membentuk anti-D IgG yang yang dapat dapat menemb menembus us plasen plasenta ta dan mengad mengadaka akan n intera interaksi ksi dengan dengan faktor faktor Rh pada pada permuk permukaa aan n eritro eritrosit sit janin janin (eritroblastosis fetalis).
Anemia hemolitik autoimun, agranulositosis, atau trombositopenia yang disebabkan oleh antibodi yang dihasilkan oleh seorang individu yang menghasilkan antibodi terhadap sel darah merahnya sendiri.
Reaksi obat, antibodi diarahkan untuk melawan obat tertentu (atau metabolitnya) yang secara nonspesifik diabsorpsi pada permukaan sel (contohnya adalah hemolisis yang dapat terjadi setelah pemberian penisilin).
2. Inflamasi yang diperantarai Komplemen dan Fc Receptor
Saat Saat antibo antibodi di terika terikatt pada pada jaring jaringan an ekstra ekstrasel selula ularr (membr (membran an basal basal dan matrik matriks), s), kerusa kerusakan kan yang yang dihasi dihasilka lkan n merupa merupakan kan akibat akibat dari dari inflam inflamasi asi,, bukan bukan fagositosis/lisis sel. Antibodi yang terikat tersebut akan mengaktifkan komplemen, yang selanjutnya menghasilkan terutama C5a (yang menarik neutrofil dan monosit). Sel yang sama juga berikatan dengan antibodi melalui reseptor Fc. Leukosit aktif, melepa melepaska skan n bahanbahan-bah bahan an perusa perusak k (enzim (enzim dan interm intermedi ediate ate oksige oksigen n reakti reaktif), f), sehi sehing ngga ga
meng mengha hasi silk lkan an
keru kerusa saka kan n
jari jaring ngan an..
Reak Reaksi si
ini ini
berp berper eran an
pada pada
glomerulonefritis dan vascular rejection dalam organ grafts.
3.
Disfungsi sel yang diperantarai oleh antibody
Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor permukaan sel merusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas sel atau inflamasi. Oleh karena itu, pada miastenia gravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolin dalam motor end-plate otot-otot rangka mengganggu transmisi neuromuskular disertai kelemahan otot.
2
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pri nsip dari reaksi hipersensitivitas tipe II adalah adanya mediasi dari antibodi untuk menyebabkan sitolitik pada sel terinfeksi melalui opsonisasi antigen yang menempel pada permukaan membran sel. Kasus pada pemicu akibat adanya pengaruh obat bisa menjadi reaksi hipersensitivitas tipe II melalui adanya pembentukan kompleks antigen-antibodi. Namun, hal tersebut sulit untuk dibuktikan karena efek reaksi obat yang begitu cepat lebih mengarah pada adanya anafilaktik obat yang merupakan manifestasi dari reaksi hipersensitivitas tipe I Daftar Pustaka 1. Baratawidjaja KG. Imunologi dasar. Edisi 9. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.p.370-83 2. Kumar, Abbas, Fausto. Robbins and Cotran: Pathologic basis of disease. 7 th ed. China: Elsevier Saunders; 2005.