puyer adalah sediaan obat yang berbentuk bubuk. Biasanya dibuat dari obat sediaan tablet yang kemudian digerus. Pada prakteknya, sediaan puyer sering berupa racikan beberapa obat yang dicampur menjadi satu. Kadang diberikan begitu saja dalam bentuk bubuk, atau kemudian dikemas dalam bentuk kapsul. Kenapa banyak dokter meresepkan puyer? Alasan yang pertama adalah, (sebagian besar) dokter memang diajari cara membuat puyer! Ketika saya masih berstatus mahasiswa kedokteran, saya mendapatkan mata kuliah Farmakologi 1, Farmakologi 2, dan Farmakologi 3. Di mata kuliah tersebut kami belajar mulai dari asal usul obat, bahan aktifnya, farmakodinamik dan farmakokinetiknya, cara kerjanya, efek sampingnya, termasuk juga reaksinya dengan obat/makanan/zat lainnya. Di mata kuliah Farmakologi 3 (atau disebut juga Farmasi), kami antara lain diajarkan cara menulis racikan puyer. Poin paling penting pada saat itu adalah kami harus tahu mana obat yang boleh dibuat puyer mana yang tidak boleh, dan interaksi obat satu sama lain (dengan kata lain, obat A boleh dicampur dengan obat apa saja, tidak boleh dicampur dengan obat apa saja.). Bahkan di kepaniteraan klinik (ko-as), saya mendapatkan kesempatan untuk belajar membuat puyer secara praktek, mulai dari menulis resepnya, menggerus dan mencampur obatnya, sampai belajar membagi dan memasukkan puyer tersebut ke dalam bungkusnya. Saya tidak tahu kurikulum kedokteran sekarang, namun dulu (saya lulus dokter tahun 2002) membuat puyer masuk dalam kurikulum, dan semua dokter mempelajarinya. Jadi jelaslah, alasan pertama kenapa banyak dokter membuat resep puyer karena mereka memang diajari cara membuat puyer, dan legal (sejauh ini belum ada larangan dari otoritas kesehatan tentang penggunaan puyer di Indonesia). Alasan kedua, untuk mempermudah pemberian obat. Kadang seorang pasien membutuhkan beberapa obat. Karena minum obat lebih dari 1 itu menambah stress, maka beberapa obat tersebut dicampur menjadi satu. Alasan ketiga, dst tidak akan ditulis di sini, untuk mempersempit pembahasan. Sebenarnya, dalam pembuatan puyer ada protokolnya, mulai dari penulisan resep sampai pembuatannya. Kalau protokol/kaidah-kaidah ini dipenuhi, puyer itu aman. Sebagai contoh, tidak semua obat boleh digerus menjadi puyer. Obat yang didesain untuk larut perlahan di lambung akan hilang kemampuannya untuk larut secara perlahan jika digerus, karena itu, tidak boleh diracik menjadi puyer. Karena dalam proses pembuatan puyer ada tahap membagi dan memasukkan ke dalam bungkusnya, maka obat yang diracik ke dalam bentuk puyer tersebut tidak boleh dari golongan yang batas keamanannya sempit. Artinya, dosis tidak harus persis sama, selisih beberapa mg tidak menyebabkan perubahan yang bermakna. Obat yang batas keamanannya sempit seperti golongan digitalis tidak boleh dibuat puyer (karena selisih nol koma sekian mg saja efeknya bisa berbeda/berbahaya). Selain itu, tidak sembarang obat boleh dicampur menjadi satu (jangankan dicampur dalam bentuk puyer, beberapa obat tertentu meskipun tetap dalam bentuk aslinya belum tentu boleh diminum secara bersamaan). Proses pembuatannya pun ada protokolnya, untuk menghindari kontaminasi, salah ukur, dst. Karena itu, amankah puyer? Jika protokolnya dipenuhi, kenapa tidak aman? Jadi saya agak bingung jika ada yang bermain paham “pokoknya no puyer, karena tidak aman”. Lha kalau semua kaidah dipenuhi, apanya yang
tidak aman? Paling kemudian dilanjutkan, “Apa dokter bisa menjamin kaidah-kaidahnya dipenuhi?”*smile*. Kalau sudah begitu jaka sembung bawa golok. P oin saya, kalau kaidah/protokol pembuatan puyer dipatuhi, kenapa puyer dibilang tidak aman? Tidak amannya dimana? Protokol
Lalu kenapa puyer dipermasalahkan? Alasan yang paling mendasar adalah karena protokol/kaidah pembuatan puyer sering tidak dipenuhi. Pertama, dari mulai penulisan resep. Ketika beberapa obat dicampur menjadi satu, pertanyaannya, betulkah pasien tersebut membutuhkan beberapa obat tersebut? Bahkan pertanyaan pertama seharusnya, betulkah pasien membutuhkan obat? Kenyataannya, pasien belum tentu butuh obat. Kemudian, sering resep berisi daftar dari sekian banyak obat, yang tidak jelas indikasinya. Bahkan yang lebih parah, obat-obat yang seharusnya tidak boleh dibuat menjadi puyer ditulis dalam resep tersebut diracik menjadi puyer (human error?). Namun janganlah langsung menghakimi dokter yang memberikan resep puyer ini sebagai dokter yang “ingin mencelakai pasiennya” atau dokter yang “dagang obat”, dsb. Masalahnya, sudah menjadi kebiasaan bahwa ketika periksa ke dokter pulangnya harus membawa resep. Lalu yang namanya obat haruslah manjur, satu obat, sekali diminum, penyakit langsung hilang…wuzz..wuzz..wuzz…! Dokter juga sering larut dalam kebiasaan ini. Semua pasien yang datang diberi resep, dan karena takut pasien tidak segera sembuh (lalu mencap dirinya sebagai dokter bodoh), maka diberilah pasien obat super lengkap. Belum beban dokter (karena begitu banyaknya pasien) sering menyebabkan beliau-beliau kurang dapat memahami pasiennya secara menyeluruh. Akibatnya sering puyer menjadi sarana pengobatan yang tidak rasional. Seorang kerabat saya yang terganggu karena batuk akibat obat hipertensi yang diminumnya, ketika konsultasi ke dokter spesialis paru diberi resep yang isinya sederet penuh obat antibatuk dari golongan A-Z, dicampur menjadi 1 kapsul besar. Begitu diminum, tentu saja batuknya langsung mereda, tapi begitu obatnya berhenti bekerja, batuknya kambuh. Padahal, begitu obat hipertensinya diganti obat lain yang tidak menyebabkan batuk, batuknya langsung hilang. Ini hanyalah contoh, betapa puyer (di kasus ini dalam bentuk kapsul) sering menjadi sarana pengobatan yang tidak rasional. Dalam kasus yang saya contohkan ini, semua obat yang tertulis di resepnya adalah obat generik, puyer (kapsul)-nya harganya sangat murah, jadi beliau tidak “dagang obat”. Tapi beliau menjadi tidak rasional pengobatannya hanya karena tidak ingin pasiennya lari….(plus kurang sabar dalam menganamnesis). Kemudian, bagaimana dengan pembuatannya? Betulkah protokol pembuatan puyer benarbenar dijalankan dengan sebaik-baiknya di lapangan? Yang ini biarlah rekan dari farmasi yang menjawabnya. Lalu bagaimana sikap kita, sebagai pemberi jasa kesehatan, dalam menyikapi kontroversi ini? Yang paling penting adalah berkaca pada diri sendiri, bagaimana cara pengobatan kita.
Rasional atau irasional? Sesuai kaidah ilmu yang kita pelajari ketika kuliah dulu, atau ikut arus? Puyer sendiri hanyalah bentuk sediaan obat. Tujuan awalnya adalah mempermudah pemberian obat, bukan sarana mencampur 10 lebih obat untuk mendapatkan ramuan super lengkap dan super manjur. Dari rekan farmasi juga perlu berkaca, sudahkah protokol pembuatan puyer dijalankan dengan baik? Misalnya, sudahkah wadah untuk membuat puyer dibersihkan dari bekas bahan yang digunakan membuat puyer sebelumnya? Bahkan, bagaimana peran apotoker di apotik? Jika ada resep yang tidak memenuhi kaidah yang benar, apa yang dilakukan? Konfirmasi ke dokter pemberi resepkah? Atau….? Yang tidak kalah penting peran otoritas kesehatan. Mau dilarang atau tetap diperbolehkan membuat puyer? Menurut saya pribadi, puyer hanyalah bentuk sediaan obat. Yang penting adalah rasionalitas pengobatannya dan proses pembuatannya. Selama protokol dipenuhi dan masih legal (masih diijinkan oleh pemegang otoritas), kenapa tidak boleh? Penjelasan Dokter
Lalu bagaimana sikap kita sebagai pasien dalam menyikapinya? Poin paling penting adalah perubahan cara pandang kita dalam memandang hubungan dokter-pasien. Yang pertama, yang namanya ke dokter itu tidak harus pulang bawa resep. Yang kedua, jangan menuntut dokter memberikan obat yang super manjur karena penyakit apapun sebenarnya butuh waktu untuk sembuh. Saya pernah bertemu dengan seorang mantri kesehatan yang pasiennya ratusan setiap harinya (mantri kok boleh praktek seperti dokter ya? tanya kenapa). Dia dianggap pandai sekali oleh pasiennya, karena obatnya dinilai sangat manjur. Anda tahu apa obatnya? SEMUA pasien yang datang padanya selalu diberi antibiotik dosis tinggi+penghilang rasa sakit dosis tinggi+ kortikosteroid, diracik jadi 1 kapsul! Benar-benar super ngawur tapi sayangnya disukai pasien… Yang ketiga, hak kita sebagai pasien untuk meminta penjelasan dari dokter tentang penyakit yang kita derita. Jika dokter akan memberikan suatu tindakan termasuk obat, kita berhak bertanya indikasinya, bahkan cara kerja dan efek sampingnya. Bahkan seharusnya, seorang dokter menjelaskan terlebih dahulu informasi-informasi penting tentang tindakan atau obat yang akan diberikannya dan meminta persetujuan pasien terlebih dahulu sebelum memutuskan tindakan atau menulis resep. Lagipula, sudah bukan jamannya dokter duduk diam membisu jika ditanya pasiennya. Kalau kita bertemu dengan dokter seperti ini, ya jangan kembali ke dia. Selama kita tetap mau datang ke dokter seperti itu ya selama itu pula beliau-beliau akan selalu duduk diam membisu setiap kita tanya. *smile* Lalu, puyernya sendiri bagaimana? Haruskah dihapus dari muka bumi nusantara ini? Puyer hanya macam sediaan obat. Yang penting rasionalitas pengobatannya. Jika protokol pembuatan puyer memang selalu dilanggar, ya kenapa tidak dilarang saja? Kalau kasus pelanggaran protokol sudah sulit diatasi (dengan kata lain, daripada repot-repot memantau dan atau menertibkan pembuatan puyer) paling mudah ya dilarang sekalian saja (tentu saja setelah melalui pengkajian yang mendalam dari pihak-pihak yang terkait). Tapi sekali lagi, jika semua kaidah dipenuhi , puyer itu aman. Karena itu, jika protokol pembuatan puyer selalu dipatuhi, ya kenapa dilarang? Tapi sebenarnya selanjutnya ya terserah Anda sebagai pasien, sebagai pengguna jasa. Masih mau diberi puyerkah, Anda? Selama masih mau dan
atau minta diberi puyer (dan selama tidak dilarang oleh otoritas kesehatan) ya selama itu pula puyer akan selalu ada… (Ditulis oleh Afie untuk NetSains.Com., pendapat pribadi)
Dalam beberapa tahun belakangan ini kontroversi tentang pemberian obat sediaan bubuk yang sering disebut puyer selalu menghangat, apalagi RCTI dalam beberapa minggu belangakan ini meliput secara serial. Kelebihan dan kekurangan dalam pemberian obat bentuk sediaan puyer ternyata menjadi bahan komoditas kontroversi di antara klinisi yang berakibat kebingungan dalam masyarakat penggunanya. Apalagi belakangan ini hal itu dimanfaatkan oleh media masa untuk membuka kontroversi ini dalam masyarakat. Selain membuat bingung masyarakat kontroversi ini juga rawan dapat ditunggangi oleh beberapa pihak demi kepentingan kelompoknya. Seperti diketahui bahwa bisnis farmasi ternyata cukup terpukul dengan adanya bentuk sedian obat puyer ini. Dalam beberapa survey didapatkan penggunaan puyer jauh melampaui penggunaan sediaan sirup. Bahkan terdapat supervisor sebuah perusahaan farmasi hengkang dari pekerjaaanya gara-gara omzet obat sirupnya hancur dikalahkan penggunaan obat puyer. Dalam pengobatan modern barat, pada awalnya puyer merupakan salah satu bentuk sediaan yang luas digunakan di seluruh dunia, terutama untuk penggunaan obat racikan/campuran. Puyer (powder) atau pulvis adalah salah satu bentuk sediaan obat yang biasanya didapat dengan menghaluskan atau menghancurkan sediaan obat tablet atau kaplet yang biasanya terdiri atas sedikitnya dua macam obat. Namun, dengan kemajuan teknologi sediaan obat yang diberikan berkembang dalam bentuk sediaan capsul, sirup atau injeksi. Terdapat berbagai kekurangan dan kelebihan dari berbagai bentuk sediaan obat tersebut. Bentuk sediaan obat puyer lebih sering digunakan oleh dokter anak karena selain lebih mudah memberikan takaran dosis, lebih praktis, lebih murah atau kadang tidak ada sedian obat sirup pada jenis obat tertentu.. Sedangkan sediaan capsul atau sirup jadi lebih mahal, kadang tidak praktis karena kesulitan mengatur dosis tetapi rasanya lebih enak. Di samping itu masih banyak terdapat beberapa kelebihan dan kekurang masing-masing sediaan obat tersebut. Tapi faktanya, ilmu meracik puyer adalah pelajaran wajib bagi pendidikan mahasiswa kedokteran di tingkat awal. Bahkan banyak didapatkan kepustakaan dan buku pegangan untuk ilmu meracik puyer yang ditulis oleh ahli farmasi dan kedokteran. Dalam hal ini ilmu meracik puyer adalah hal legal dan menjadi tindakan medis yang wajar dilakukan dalam dunia kedokteran. Sampai saat ini belum ada penelitian yang membuktikan bahwa penggunaan puyer berdampak buruk. Tampaknya kontroversi yang timbul dalam penggunaan puyer ternyata bila disimak dengan cermat tidak pada substansinya. Ternyata, kontroversi yang ditakutkan tersebut ternyata tidak hanya dialami oleh pengguna puyer tetapi juga pada pengguna obat sediaan lainnya. Opini yang ditakutkan tersebut bukan karena masalah puyernya sendiri tetapi kelemahan knowledge (pengetahuan) dokter atau skil (ketrampilan) apoteker dalam
penyajiannya, bukan dari kelemahan sediaan puyer itu sendiri. Terdapat beberapa hal yang kami rangkum dalam kontroversi tersebut yang disampaikan oleh para klinisi dalam suatu seminar dan opini di media tentang masalah kelemahan puyer yang ternyata tidak pada substansi masalah utama bahaya obat puyer itu sendiri. 1. Menurunnya kestabilan obat karena obat-obatan yang dicampur tersebut punya kemungkinan berinteraksi satu sama lain. Sebenarnya bila dicermati interaksi obat tidak hanya pada pemberian puyer pemberian sedian capsul atau sirup mempunyai resiko interaksi obat satu dengan yang lain. Dokter dibekali limu farmasi tentang masalah interaksi dan kestabilan obat. Kalaupun ada interaksi obat mungkin, dokter sudah memperhitungkan hal tertsebut tidak terlalu berbahaya. Bila dokter tidak memahami farmakoterapi dari suatu jenis obat, sebaiknya dokter tidak menuliskan resep obat baik puyer maupun sirup. 2. Pemberian puyer beresiko terjadi pemberian polifarmasi. Sebenarnya penggunaan polifarmasi bisa juga terjadi pada penggunaan obat kapsul dan sirup. Seorang dokter ada juga yang meresepkan berbagai macam botol sirup dalam satu kali pemberian. Bahkan seorang ibu sempat mengeluh ketakutan karena anaknya dalam sekali berobat diberikan sekaligus 6 botol sirup. Padahal dalam satu botol sirup itu juga kadang terdiri dari dua atau lebih kandungan obat. Pengalaman lain beberapa penderita yang berobat di luar negeri khususnya Singapura, penderita memang tidak mendapatkan puyer tetapi membawa segepok obat sirup dan kapsul kalo dijumlah lebih dari 7 macam. Masalah pemberian polifarmasi ini juga tergantung knowledge dan pengalaman dokter 3. Sulitnya mendeteksi obat mana yang menimbulkan efek samping – karena berbagai obat digerus jadi satu dan terjadi reaksi efek samping terhadap pasien, akan sulit untuk melacak obat mana yang menimbulkan reaksi. Hal ini juga tidak akan terjadi, karena dalam penulisan obat puyer pasien dapat meminta kopi resep dari apoteker atau apotik tempat pembelian obat. Di Puskesmas memang menjadi masalah karena seringkali tidak disertai kopi resep, tetapi bila pasien meminta hal itu pasti akan diberikan oleh dokter yang memberikan di psukesmas. Adalah sesuatu yang tidak etis bila dokter tidak mau memberikan kopi resepnya 4. Pembuatan puyer dengan cara digerus atau diblender, sehingga akan ada sisa obat yg menempel di alatnya. Hal itu wajar terjadi, dalam ilmu meracik obat itu sudah diperhitungkan dengan menambah sekian prosen untuk kemungkinan hal tersebut. Kalaupun ada kekurangan dan kelebihannya sebenarnya hanya dalam jumlah kecil yang tidak terlalu bermakna, kecuali pada obat tertentu. Dalam pemakaian obat sirupun pasti wajar bila kelebihan atau kekurangan seperti terjadi sisa sedikit sewaktu memberikan obat dalam sendok sirupnya atau kelebihan sedikit dalam menuang obat dalam sendok. Bahkan seorang peneliti pernah melaporkan bahwa sekitar 20% obat paten ternyata sewaktu diteliti lebih cermat sering membulatkan jumlah dosis seperti yang tercantum dalam kemasannya atau tidak sesuai dengan kandungan yang ada, Seperti pesudoefedrin yang seharusnya dikapsul 17 mg dibulatkan menjadi 20 mg. 5. Proses pembuatan obat itu harus steril. Memang dalam penyajian dan penyediaan obat harus higenis dan bersih, dan itu sudah merupakan prosedur tetap yang harus dilakukan
oleh semua apoteker. Meskipun dalam penyediaan obat oral tidak harus super steril seperti penyediaan obat suntik. Obat oral mungkin relatif sama seperti penyajian makanan lain yang masuk ke mulut, beda dengan obat injeksi yang harus melalui pembuluh darah yangb harus sangat steril. 6. Bisa jadi obatnya sudah rusak sebelum mencapai sasaran karena proses penggerusan. Masalah tersebut sebenarnya masalah knowledge (pengetahuan) dan ketrampilan dokter Hal itu juga tidak akan terjadi karena dokter sudah diberikan ilmu farmasi bahwa terdapat beberapa obat yang tidak boleh digerus. Kalaupun ada yang tidak boleh digerus tapi digerus, mungkin tidak membahayakan tetapi hanya membuat kasiat obat tidak optimal. 7. Dosis yang berlebihan karena dokter tidak mungkin hafal setiap merek obat. Jadi akan ada kemungkinan dokter meresepkan 2 merek obat yang berbeda, namun kandungan aktifnya sama. Hal seperti ini juga sebenarnya masalah knowledge (pengetahuan) dan ketrampilan dokter. Setiap dokter tidak boleh menuliskan resep obat bila tidak hafal dosis dan merek obatnya. Kekawatiran inipun juga terjadi pada penulisan resep sediaan sirup. 8. Kesalahan dalam peracikan obat – bisa jadi tulisan dokter bisa jadi nggak kebaca sama apoteker, sehingga bisa membuat salah peracikan. Hal inipun juga terjadi pada sediaan sirup. Penulisan dokter tidak jelas memang sering terjadi, dalam hal ini apoteker harus menamnyakan lagi kepada dokter Bila dilihat berbagai opini yang diungkapkan oleh beberapa pihak tadi menjadikan kontroversi melebar kemana-mana tidak pada subtansinya bahwa obat puyer sebenarnya tidak berbahaya dan bukan sesuatu yang harus dikawatirkan. Kekawatiran tersebut sebenarnya juga terjadi pada pemberian sediaan yang lain seperti sediaan sirup dan kapsul. Substansi kontroversi yang lain sebenarnya masalah skill dan knowledge dokter dalam penulisan resep dan skill apoteker dalam penyajiannya. Sebenarnya masalah ini bukan konsumsi publik, tetapi seharusnya menjadi topik bahasan dikalangan intern dokter. Sebaiknya media sebagai penyebar informasi dan dokter sebagai narasumber dalam mengemukakan kontroversi ilmiah harus berdasarkan bukti dan fakta ilmiah ataupun paling tidak hasil rekomendasi dari institusi yang kredibel seperti WHO (World Health Organization), CDC (Centers for Disease Control), AAP American Academy of Pediatrics, IDI (Ikatan Dokter Indonesia) atau IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia). Bila masalah itu masih belum ada rekomendasi resmi dari instansi berwenang yang kredibel sebaiknya dokter sebagai narasumber jangan terlalu gegabah menyampaikan atau terpancing untuk menyebarluaskan opininya sendiri atau kontroversi ke masyarakat. Sebaiknya dilakukan workshop atau diskusi ilmiah dikalangan berbagai disiplin ilmu untuk menyatukan pendapat. Bila perilaku itu diteruskan hal tersebut secara tidak disadari akan dapat ditunggangi oleh pihak yang tertentu untuk mengeruk keuntungan. Dokter juga mirip politisi, harus cermat dalam mengeluarkan informasi ke masyarakat. Sekali kontroversi itu keluar ke media masa akan menjadi milik opini publik yang dapat membingungkan masyarakat. Kemajuan informasi tehnologi, bak pisau bermata dua. Satu sisi menguntungkan, sisi lain bila salah mencerna informasi tersebut akan membuat persepsi masyarakatt diputarbalikkan. Bila klinisi berdebat pada kontroversi yang tidak substansial
sebaiknya media harus cermat dalam memilih atau menyajikan berita. Karena bila masyarakat salah dalam mencerna kontroversi itu maka banyak hal negatif yang bisa terjadi. Hal ini akan menurunkan kredibilitas dan kepercayaan media dan nara sumbernya, bahwa informasi yang tidak berdasarkan evidence base medicine atau kejadian ilmiah berbasis bukti menjadikan sekedar kontroversi yang tidak berujung. Berbeda dengan tradisi dalam bidang ilmu kedokteran dahulu. Dalam ilmiah kedokteran modern, pendapat seorang pakar atau professor sekalipun sekarang tidak boleh dijadikan acuan atau pedoman utama bila tidak disertai fakta evidence base medicine. Hal yang lebih buruk lagi bila hal ini terjadi maka persepsi yang salah ini akan menggiring opini masyarakat untuk menyudutkan dokter sebagai pemberi advis pengobatan. Tanpa disadari pada persepsi yang salah itu akan merusak citra dokter di Indoenesia di mata masyarakat. Dalam kontroversi tersebut sebaiknya pihak yang berwenang dalam hal ini IDI, IDAI dan Departemen Kesehatan harus mengeluarkan rekomendasi resmi tentang masalah keamanan puyer sebagai salah satu bentuk sediaan obat. Meskipun secara informal lewat wawancara sebuah stasiun televisi ketua umum IDAI dr Badriul Hegar SpAK, telah menyatakan bahwa puyer adalah bentuk sediaan obat yang tidak berbahaya dan aman, karena sampai saat ini belum ada penelitian yang menunjukkan keburukannya. Bila diibaratkan kontroversi itu seperti dokter sebagai penyedia puyer dan penjual sate menjual satenya.Bila kualitas satenya tidak bagus yang dikambinghitamkan jangan satenya tapi penjual satenya harus diperbaiki cara penyajiannya secara baik dan benar. Padahal bila dikemas dengan baik dan benar maka sate tersebut sangat bergizi dan masih menjadi pilihan masyarakat. Meskipun sebenarnya dokter tidak bisa disamakan dengan tukang sate. Provided by DR WIDODO JUDARWANTO SpA CLINIC FOR CHILDREN JL TAMAN BENDUNGAN ASAHAN 5 JAKARTA PUSAT, JAKARTA INDONESIA 10210 PHONE : (021) 70081995 – 5703646 email :
[email protected], www.childrenclinic.wordpress.com/