REFERAT CLINICAL KNOWLEDGE OF NEUROSURGERY
PROSEDUR SHUNTING VENTRIKEL Rabu, 25 Oktober 2017
Penyaji
: dr. Muhammad Azhary Lazuardy
Pembimbing 1
: dr. Mirna Sobana, SpBS., M.Kes
Pembimbing 2
: dr. Farid Yudhoyono, SpBS., M.Epid
Pembimbing 3
: dr. Selfy Oswari, SpBS., S.Si
Referensi
: Youmans Neurological Surgery, 7th Edition. H. Richard Winn.
A. PENDAHULUAN
Tatalaksana hidrosefalus merupakan salah satu masalah yang menantang dan sering dijumpai pada kasus Bedah Saraf, terutama pada pasien pediatrik. Prevalensi hidrosefalus pada pasien pediatrik berkisar antara 0,5 – – 0,8 per 1000 kelahiran hidup. Konsep tatalaksana kasus hidrosefalus adalah diversi cairan serebrospinal (LCS) dari sistem ventrikel dan rongga subarakhnoid ke lokasi anatomis alternatif lain, seperti rongga peritoneum, pleural, atau subgaleal. B. SEJARAH
Penjabaran ilmiah mengenai hidrosefalus dikemukakan pertama kali oleh Hippocrates pada abad ke-5 SM. Galen kemudian mengemukakan manifestasi klinis hidrosefalus dan berhasil menjabarkan struktur choroid plexus. Abu al-Qasim Al-Zahrawi (963-1013) menggambarkan hidrosefalus sebagai sebuah penyakit yang harus ditangani secar a operatif. Pada abad 18 sampai awal abad 20, pemahaman mengenai sirkulasi CSF mengalami kemajuan pesat. Anatomi dan fisologi sistem LCS dikemukakan oleh Domenico Cotugno (1736-1822), Alexander Monro secundus (1733-1817), Francois Magendie (1783-1855), dan Hubert Von Luschka (1820-1875). Mereka berhasil menggambarkan sistem ventrikel, ruang subarakhnoid, sisterna, arakhnoid vili, dan juga berhasil membuktikan bahwa LCS dihasilkan oleh choroid plexus, mengalir melalui sistem ventrikel, dan direabsorbsi oleh arakhnoid vili. Pada tahun 1 744, LeCat mempublikasikan pungsi ventrikel. Lalu pada tahun, Wernicke memperkenalkan pungsi ventrikel steril dan drainase LCS eksternal. Penemuan ini dilanjutkan oleh Quincke pada tahun 1891 yang memperkenalkan pungsi lumbal serial, dan pada tahun 1893 oleh Mikulicz yang berhasil melakukan ventrikulostomi dan drainase ke subarachnoidsubgaleal. Antara tahun 1898 dan 1925, lumboperitoneal dan ventriculoperitoneal, -venous, -pleural, dan -ureteral diperkenalkan, namun masih dengan tingkat kegagalan tinggi. Dandy dan Blackfan (1913) lalu berhasil membuat model hewan hewan dengan hidrosefalus obstruktif. obstruktif. Pada tahun 1949, Nulsen dan Spitz berhasil melakukan pemasangan selang ke dalam vena. Tahun 1960, penemuan dari katup buatan dan silikon menjadi terobosan paling berarti bagi perkembangan shunting ventrikel. C. KOMPONEN SISTEM SHUNT
Komponen utama dari sistem alat shunting LCS adalah: 1. Kateter ventrikular/ proximal catheter 2. Katup/ valve 3. Kateter distal/ distal catheter Kateter ventrikel disebut juga kateter proksimal karena letaknya berada hulu dari katup dan berfungsi mengalirkan LCS dari sistem ventrikel. Katup shunt berfungsi meregulasi aliran CSF melalui
1
sistem shunt dengan konsep perbedaan tekanan atau mekanisme kontrol aliran. Mekanisme kerja ini menghasilkan drainase LCS satu arah menjauhi ventrikel. Kateter distal terletak di hilir dari katup, dan menghubungkan katup ventrikel dengan lokasi anatomis alternatif untuk koleksi dan reabsorpsi LCS. Beberapa lokasi tersebut di antaranya adalah peritoneum, atrium jantung (kanan), dan peritoneum. Saat ini tatalaksana standar untuk hidrosefalus adalah ventriculoperitoneal shunt (VP Shunt). Konfigurasi sistem shunt dapat dimodifikasi pada beberapa kasus hidrosefalus kompleks, di antaranya adalah hidrosefalus dengan lokulasi, yang mencegah hubungan antara bagian ventrikel satu dengan lainnya. Pada kasus tersebut dibutuhkan kateter ventrikular multipel dimana setiap ruang yang terisolasi membutuhkan kateter tersendiri yang dihubungkan dengan konektor T, Y, atau X. D. PILIHAN KATETER DISTAL DAN VENTRIKEL
Seluruh kateter shunt dibuat dari bahan silikon elastomer atau polyurethan dan sebagian besar disertai dengan barium atau tentalum agar dapat diidentifikasi pada pemeriksaan radiologis. Barium pada kateter distal seringkali meluruh dan menyebabkan reaksi lokal jaringan dan kalsifikasi, sehingga menghilangkan elastisitas dari selang kateter. Oleh karena itu, tersedia kateter distal dengan hanya satu lapisan tipis barium. Kateter ventrikel memiliki ujung rostral berbentuk bulat disertai dengan lubang multiple pada batang proksimalnya. Terdapat beberapa kateter ventrikel dengan panjang, bentuk, diameter internal, dan ketebalan selang yang berbeda. Penyebab paling sering dari kegagalan shunt mekanis adalah obstruksi kateter proksimal, biasanya disebabkan oleh pertumbuhan choroid plexus ke dalam kateter atau reaksi inflamasi dari jaringan gl ia. Sebagian besar design kateter ventrikel saat ini memiliki lubang dengan diamater 500 µm yang tersusun sepanjang axis sentral dari kateter. Lubang kateter ini sering menjadi sumber dari obstruksi proksimal dikarenakan ukuran diameter yang berkurang akibat adanya adhesi astrosit dan makrofag. Kateter distal dapat memiliki ujung yang terbuka atau tertutup dengan satu atau lebih katup distal yang berfungsi dengan mekanisme perbedaan tekanan. Ujung kateter distal yang terbuka menurunkan angka kejadian obstruksi. Kateter shunt juga dapat memiliki kandungan antibiotik pada material kateternya. Kateter Codman Bactiseal adalah kateter yang memiliki kandungan rifampicin dan klindamicin. Kateter tersebut secara lambat melepaskan antibiotik dalam beberapa minggu setelah pemasangan. Kateter PS Medical dari Medtronik juga memiliki kandungan antibiotik. Meskipin penyertaan antibiotik dapat mencegah infeksi paska pemasangan shunt, namun juga dapat menimbulkan jenis bakteri baru yang resisten terhadapap antibiotik, dan pada akhirnya menyebabkan infeksi shunt. E. JENIS KATUP
Secara umum, katup shunt dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis: 1. Fixed differential pressure valves 2. Flow-regulating valves 3. Programmable differential pressure valves 1. Fixed Differential Pressure Valves
Katup ini merupakan jenis pertama dikembangkan dan digunakan untuk shunt LCS. Katup tersebut menutup ketika perbedaan tekanan pada katup ( driving pressure) turun di bawah ambang batas yang telah ditentukan ( closing pressure of the valve ). Sebaliknya, pada saat driving pressure 2
melebihi tekanan bukaan/ o pening Pressure of the Valve (OPV), katup terbuka dan terjadi aliran LCS melalui shunt dengan laju sesuai rumus Q = ΔP/R (Q: laju aliran LCS; ΔP: driving pressure. R: resistensi total dari sistem shunt, yaitu katup dan selang). Driving pressure sendiri dapat diukur dengan menggunakan persamaan: ΔP = IVP + ρ gh - (OPV + DCP) (IVP: tekanan intraventrikel; ρgh/ tekanan hidrostatik: densitas x konstanta gravitasi x [heightproximal - heightdistal]); OPV; tekanan bukaan dari katup; DCP: tekanan kavitas distal). Katup fixed differential pressure valves beroperasi melalui 4 mekanisme umum: 1. Ball in cone dan spring 2. Diafragma 3. Slit 4. Miter
Gambar 1. Mekanisme kerja fixed differential pressure valves
‘ Meskipun terdapat perbedaan design, katup-katup tersebut memiliki tujuan yang sama, yakni mempertahankan rentang normal dari tekanan intrakranial. S ecara umum, fixed differential pressure valves ini tersedia dalam pengaturan tekanan low, medium, dan high-pressure.
Salah satu masalah yang muncul pada penggunaan katup ini adalah over drainase yang terjadi akibat proses “siphoning”. Pada posisi terlentang, ujung proksimal dan distal memiliki tinggi yang hampir sama, dan tekanan hidrostatic (ρgh) pada shunt mendekati 0. Berdasarkan persamaan sebelumnya, shunt akan mencapai titik equlibrium ( ΔP = 0) pada saat IVP menjadi OPV + DCP. Sebaliknya, ketika ujung proksimal terletak lebih tinggi dibandingkan ujung distal (pada saat pasien duduk atau berdiri), terjadi proses “siphoning”. Pada kondisi ini, tekanan hidrostatik tidak lagi m enjadi 0 dan berkontribusi terhadap driving pressure melalui shunt. Pada akhirnya, terjadi aliran cepat LCS melalui shunt untuk menyeimbangkan tekanan ini. Aliran LCS terus bertahan sampai IVP menjadi (OVP+DCP) – ρgh. Jika tekanan hidrostatik melebihi OPV + DCP, IVP akan menjadi negatif. Pada pasien rentan, fenomena “siphon” dapat menyebabkan overdrainase, dan lebih lanjut mengakibatkan tekanan intrakranial yang rendah. Gejala over drainase di antaranya adalah gejala low pressure (nyeri kepala, mual, muntah, diplopia); robeknya bridging vein (subdural hematoma); penutupan prematur sutura kranialis (craniosynostosis); dan sindrom slit ventricle. 3
Gambar 2. Efek perubahan postural tubuh terhadap laju aliran LCS pada sistem shunt Perangkat Anti-Siphon (ASD)
ASD merupakan perangkat tambahan dari katup standar dan bertujuan untuk mencegah over shunting. Secara umum, alat ini berhubungan langsung dengan kulit kepala dan karakteristik alirantekanannya bergantung pada perbedaan tekanan antara lumen internal shunt dan atmosfer sekitarnya. Perbedaan tekanan ditransmisikan melalui kulit dan membran ASD. Jika tekanan internal shunt jatuh di bawah tekanan atmosfer (contoh: pada saat perubahan postural ke posisi berdiri), membran ASD tertarik ke dalam sehingga meningkatkan resistensi dan lebih lanjut menurunkan aliran LCS melalui sistem shunt. Contoh shunt yang menggunakan anti-siphon adalah katup PS Medical Delta dan PS Medical Strata II.
Gambar 3. Mekanisme kerja perangkat Anti Siphon
Tabel 1. Jenis shunt fixed differential pressure valves
4
Perangkat Gravitasi
Perangkat gravitasi serupa dalam hal mencegah over drainase, namun dengan mekanisme yang berbeda dengan ASD. Perangkat anti gravitasi bekerja menggunakan mekanisme perbedaan 5
gravitasi untuk mengubah tekanan bukaan pada shunt berdasarkan posisi tubuh, dari terlentang ke duduk/berdiri. Design “switcher” merupakan jenis yang paling sering, yaitu DualSwitch valve (Aesculap-MIETHKE). Perangkat ini menyajikan 2 buah tekanan bukaan, satu saat posisi terlentang dan satu lagi posisi vertikal. Design lainnya, “counterbalance” (Aesculap-MIETHKE ShuntAssistant) bekerja dengan mengubah gradien tekanan bukaan berdasarkan sudut elevasi.
Gambar 4. Mekanisme kerja perangkat gravitasi 2. Flow-Regulating Valves
Penggunaan flow-regulating valves menyajikan strategi lain untuk mengatasi masalah overdrainase. Katup ini bekerja dengan meningkatkan resistensi katup pada saat driving pressure meningkat sehingga mempertahankan laju aliran LCS relatif stabil. Flow-regulating valves bekerja dalam 3 tahap:
1. Bekerja seperti differential pressure valve yang low pressure, sehingga LCS mengalir sesuai perbedaan tekanan sampai mencapai 20 cc/jam 2. Saat perbedaan tekanan terus meningkat, katup bekerja dengan mekanisme resistensi tertentu sehingga mempertahankan aliran pada laju yang konstan tanpa bergantung pada tekanan. Laju aliran mendekati aliran L CS normal sehingga mencegah overdrainase 3. Jika perbedaan tekanan mencapai ambang batas tertentu (biasanya 300 mm H2), mekanisme resistensi tersebut kembali membuka katup dan pada akhirnya terjadi aliran kembali.
Gambar 5. Tahapan mekanisme kerja flow-regulating valves
6
Tabel 2. Jenis shunt flow regulating valves
3. Programmable Differential Pressure Valves
Katup programmable bekerja hampir sama dengan differential pressure valve standar, namun ambang batas tekanan bukaan dapat diatur dari eksternal. Katup ini bekerja dengan mekanisme ballin-cone dan spring. Programmer elektromagnetik transkutan digunakan untuk menjalankan rotor
magnetik sehingga dapat mengatur tekanan dari spring dan lebih lanjut mengubah tekanan bukaan dari katup. Jenis katup programmable yang saat ini dijual di pasaran adalah Codman HAKIM valve, Strata II valve, dan Aesculap MIETHKE proGAV valve. Jenis katup programmable sangat membantu pada tatalaksana pasien yang rentan akan terjadinya under atau over drainase. Pada dewasa, katup programmable berguna pada pasien dengan Normopressure Hydrocephalus (NPH). Pasien dengan NPH memiliki tekanan bukaan yang cenderung normal dan sebelum operasi tidak dapat ditentukan jenis shunt berdasarkan tekanan bukaan (low/medium/high). Salah satu permasalahan pada penggunaan programmable shunt adalah harga yang mahal dan kompatibilitas resonansi magnetik, yaitu rotor katup dapat terganggu oleh medan magnetik yang besar, sehingga dapat mengubah pengaturan tekanan. Oleh karena itu, perlu dilakukan kalibrasi berkala dari katup. 7
Tabel 3. Jenis shunt programmable differential pressure valves
8
F. PEMILIHAN KATUP
Penggunaan katup fixed differential pressure standar memiliki perbedaan yang tidak signifikan dalam hal laju reduksi ventrikel, ukuran ventrikel akhir, dan angka kegagalan shunt dibandingkan dengan katup dengan ASD atau flow regulating valve. Penggunaan katup programmable juga tidak menentukan apakah shunt tersebut berhasil atau tidak. Sebuah uji trial randomisasi yang membandingkan katup programmable Codman HAKIM dengan katup konvensional menunjukan tidak ada perbedaan berarti dari keberlangsungan shunt atau komplikasi shunt. Pada akhirnya, pemilihan katup shunt disesuaikan dengan skenario klinis masing-masing individu dan bergantung pada keputusan setiap ahli bedah saraf. G. PROSEDUR SHUNTING 1. Prinsip Umum
Tindakan pemasangan shunt dilakukan di ruang operasi dalam anestesi umum dan intubasi endotrakeal. Pasien diposisikan supine dengan kepala diletakan di atas donat, horseshoe, atau fikasi 3 titik, dan mata pasien harus dilindungi. Prosedur time out dilakukan berdasarkan standar Surgical Safety Checlist dari WHO.
Pencegahan infeksi shunt merupakan prioritas utama pada prosedur shunting, dikarenakan insidensi komplikasi, morbiditas, dan mortalitas yang tinggi, terutama pada kasus pediatrik. Hydrocephalus Clinical Research Network telah menguji standar protokol yang bertujuan mengurangi
insidensi infeksi shunt. Sebuah marka petunjuk harus diletakan di pintu ruang operasi bahwa operasi shunting sedang dilaksanakan untuk membatasi jumlah orang yang terlibat. Antibiotik profilaksis harus diberikan 30 menit sebelum insisi, dan disarankan dengan cefazolin dosis 30 mg/kgBB atau vancomisin 15 mg/kgBB bila pasien al ergi terhadap sefalosforin. Sebelum operasi, rambut sekitar area insisi lebih baik dilakukan penjepitan, karena pencukuran rambut terbukti meningkatkan risiko infeksi dengan cara menyebabkan luka pada kulit. Di ruang perawatan, kulit kepala dibersihkan dari debris, keropeng, atau eschar, dan dicuci dengan sampo chlorhexidine. Sesaat sebelum operasi, kulit kepala kembali dicuci dengan chlorhexidine dan dibiarkan selama 3 menit agar efek antimikrobial bekerja. Seluruh anggota tim operasi diasarankan mencuci tangan dengan chlorhexidine atau povidone iodine dan menggunakan sarung tangan rangkap. Area operasi juga lebih baik ditutup dengan drape steril. Prinsip handling shunt adalah untuk tidak memegang langsung seluruh perangkat shunt dengan tangan, dan diwajibkan untuk menggunakan instrumen bedah yang steril. S esaat sebelum penutupan luka, diinjeksikan antiobiotik campuran dari 1 ml (10 mg/ml) vankomisin dan 2 ml (2 mg/ml) gentamicin pada reservoir shunt. Standar prosedur yang disebutkan di atas berhasil menurunkan risiko infeksi secara signifikan. Ragel dkk juga mengemukakan bahwa penambahan antiobiotik intraventricular berupa gentamicin dan vancomisin intraoperatif menurunkan risiko infeksi shunt sebesar 6,7 – 0,4%. Setelah operasi, pasien dapat dimobilisasi secara bertahap. Hal ini dilakukan untuk mencegah siphoning dengan kemungkinan pembentukan perdarahan subdural. Antibiotik post operatif direkomendasikan untuk diberikan selama 24-48 jam paska operasi. 2. Akses Ventrikel
Akses ventrikel dapat diperoleh melalui 2 approach, yaitu frontal dan occipitoparietal. Pada frontal (coronal) approach, kepala dirotasikan sedikit ke sisi kontralateral dari lokasi insisi untuk
memungkinkan ekspos dari area retroaurikular untuk lewatnya kateter distal. Insisi linier atau curvilinear dilakukan dan lubang bur hole dibuat pada titik Kocher, yaitu 1 cm anterior sutura 9
koronaria dan 2-3 cm lateral dari midline (segaris dengan garis midpupil). Pada bayi, area frontal yang dapat digunakan sebagai akses adalah sisi lateral dari fontanel anterior. Selanjutnya, kateter proksimal ditujukan ke arah meatus akustikus eksterna (penampang koronal) dan kantus medialis ipsilateral (penampang sagittal). Kateter diinsersikan menggunakan stylet sedalam 4-5 cm, kedalaman dimana seharusnya ventrikel sudah dapat diakses. Selanjutnya stylet dilepaskan dan kateter kembali diinsersikan sampai kedalaman maksimal sekitar 6 cm dari tabula eksterna. Pada occipitoparietal approach, kepala dirotasikan 80-900 ke sisi kontralateral. Dilakukan insisi linier atau curvilinear, untuk kemudian dibuat lubang bur hole pada tonjolan parietal. Pada pasien anak yang lebih tua dan orang dewasa, dapat digunakan titik Frazier (5-7 cm superior dari inion dan 34 cm lateral dari midline). Dari titik masuk, trajektori kateter yang o ptimal adalah menuju titik di atas nasion. Untuk memfasilitasi palpasi dari nasion dan garis midline pada kain drapping, dibuat marker palpable pada glabella. Kateter diinsersikan sedalam 4-5 cm sampai dirasakan masuk ke ventrikel, kemudian stylet dilepas dan kateter secara lembut diinsersikan lebih lanjut sedalam 7 -8 cm dari tabula eksterna. 3. Pertimbangan Teknis
Pada bayi, lubang bur hole dibuat menggunakan pisau atau Kerrison rongeur, sedangkan pada anak yang lebih tua dapat digunakan high-speed drill. Pada bayi digunakan bisturi ukuran 15 yang secara lembut dirotasikan pada permukaan tulang tengkorak sehingga mengikis tulang di sekitarnya. Kerrison digunakan untuk membuat lubang kecil di tulang. Setelah duramater terekspos, dilakukan koagulasi dengan bipolar. Duramater diinsisi berbentuk silang/salib menggunakan bisturi no. 11. Koagulasi dari tepi dura dilakukan dengan bipolar. Lapisan piamater selanjutnya dibuka menggunakan bisturi no. 11. Alternatif lain adalah dengan menggunakan monopolar pada bayonet yang diletakan pada duramater. 4. Komplikasi
Salah satu risiko dari kanulasi ventrikel adalah perdarahan. Perdarahan dapat terjadi sepanjang kateter dan menyebabkan perdarahan intraventrikular. Risiko perdarahan meningkat pada pasien dengan koagulopati dan tumor intrakranial. Mekanisme yang terjadi adalah kerusakan langsung dari struktur internal atau akibat efek dekompresi dari ventrikel. H. VENTRICULOPERITONEAL SHUNT (VP SHUNT) 1. Indikasi
Indikasi utama VP Shunt pada pasien pediatrik adalah kasus hidrosefalus yang tidak memenuhi syarat untuk dilakukan Endoscopic Third Ventriculostomy (ETV). Keunggulan ETV dibandingkan dengan VP Shunt adalah tidak ada shunt permanent yang dipasang sehingga mengurangi risiko komplikasi jangka panjang. Pertimbangan pemilihan ETV dapat dilakukan dengan menilai ETV Success Score. 2. Komplikasi Shunt
Pada VP Shunt, penempatan kateter distal akan lebih sulit pada pasien yang telah menjalani operasi abdomen sebelumnya (termasuk revisi shunt berulang), obesitas, atau adanya infeksi abdomen. Faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan lokasi kateter distal menjadi terletak di preperitoneal fat, bukan rongga peritoneum. Kateter distal juga seiring berjalannya waktu dapat
10
mengikis organ visera intra abdomen sehingga bermigrasi ke lokasi lain (empedu, rongga mulut, anus, skrotum, umbilikus, jantung, dll). Komplikasi lain dari penempatan kateter distal adalah pembentukan pseudokista intraabdomen, dengan insidensi berkisar sekitar 1-4,5%. Patogenesis pembentukan pseudokista adalah adanya reaksi inflamasi, baik steril mapun infeksi, yang menyebabkan pembentukan dinding pseudokista. 3. Teknik Operasi
Secara umum, tahapan operasi VP Shunt adalah sebagai berikut: 1) Eksposure kranial dan abdomen
Pasien diposisikan supine dan diberikan bantalan agar mastoid, klavikula, dan xiphoid berada dalam satu bidang untuk mempermudah tunneling. 2) Akses abdomen
Akses abdomen dapat diperoleh melalui 3 cara, yaitu: a. Minilaparotomy Minilaparotomy merupakan cara tradisional yang dilakukan dengan melakukan insisi melintang pada superolateral dari umbilikus. Lapisan rektus anterior diinsisi dan otot rektus abdominis dipisahkan secara longitudinal (berdasarkan arah serat otot). Selanjutnya lapisan rektus posterior dijepit dengan menggunakan 2 buah Crile hemostat yang ditarik berlawanan dan diinsisi menggunakan gunting Metzenbaum. Seringkali peritoneum melekat pada lapisan ini, sehingga rongga peritoneum langsung dapat terlihat. Jika tidak langsung terekspos, lapisan peritoneum dapat diangkat dengan menggunakan 2 buah klem dan diinsisi dengan gunting Metzenbaum. Untuk memeriksa apakah tidak ada konten usus atau mesenterium yang tertarik, dapat digunakan disektor Penfield no. 4 dan inspeksi visual secara hati-hati. Tepi peritoneum selanjutnya dijepit dengan menggunakan 2 buah klem. b. Metode laparoscopic-assisted Pada metode ini, 2 buah insisi dibuat untuk masing-masing laparoskop dan kateter distal. Untuk menciptakan kondisi pneumoperitoneum, sebuah insisi periumbilical dibuat dan peritoneum dipungsi menggunakan jarum Veress, dilanjutkan dengan insuflasi menggunakan CO2 dengan tekanan 12-15 mmHg. c. Metode trokar Pada metode trokar, sebuah insisi kecil dibuat di superior dan lateral dari umbilikus. Kulit abdomen ditarik ke anterior menggunakan 2 buah klem untuk menciptakan tension dari dinding abdomen anterior. Selanjutnya trokar diarahkan ke sisi ipsilateral dari iliac crest. Tanda yang terasa dalah 2 buah “pop” dimana trokar telah menembus fascia anterior dan posterior/peritoneum rektus. Risiko dari metode ini adalah cedera pada organ viseral yang mungkin terjadi. 3) Tunneling subkutan
Proses tunneling diawali dengan membuat kantong subgaleal di sekitar insisi kranial. Tunneling biasanya dilakukan dari kaudal ke rostral menggunakan tunneler/ogrok. Tunneler merupakan batangan baja yang dibungkus lapisan plastik. Ujung tunneler agak sedikit dibengkokan 11
agar berbentuk seperti stik hoki. Tunneler diinsersikan di sepanjang subkutan dengan pergerakan “small back-and-forth rotatory movement”. Setelah insisi kranial dan abdomen berhubungan, kateter distal dilewatkan dengan arah rostral ke kaudal. 4) Akses ventrikel, perakitan dan pengujian shunt, dan penutupan luka operasi
Kateter distal dihubungkan ke katup/pompa shunt dan difiksasi kuat menggunakan benang silk 2-0. Sistem shunt dibilas menggunakan saline untuk memastikan aliran di dalam kateter tidak terganggu. Pungsi ventrikel dilakukan dan diligasi ke katup menggunakan silk 2-0. Setelah itu dilakukan konfirmasi aliran pada ujung distal. Kateter distal selanjutnya diinsersikan ke dalam rongga peritoneum dengan cara yang telah dijelaskan sebelumnya. Pada saat penutupan, seluruh luka operasi diirigasi menggunakan saline. Insisi scalp ditutup primer menggunakan benang polyglactin secara interrupted untuk galea dan benang absorbable untuk kulit. Insisi abdomen ditutup primer menggunakan benang polyglactin secara interrupted untuk peritoneum/fascia, benang polyglactin subcuticular dengan 3M Steri-Strips untuk kulit. I. VENTRICULOPLEURAL SHUNT (VPI Shunt) 1. Indikasi
Indikasi VPI Shunt adalah kasus hidrosefalus pada pasien yang bukan kandidat dari ETV dan pasien dengan rongga peritoneum dan jantung yang tidak memenuhi syarat sebagai tempat diversi LCS. 2. Komplikasi Spesifik
Komplikasi pada kateter distal berkisar 10-20%, biasanya berupa efusi pleura dan pneumothoraks. 3. Teknik Operasi
Secara umum tahapan VPI Shunt adalah (1) eksposure kranial dan thoraks, (2) tunneling subkutan, (3) akses ventrikel, (4) perakitan dan pengujian shunt, (5) akses pleura, dan (6) penutupan luka operasi. 1) Eksposur kranial dan thoraks, tunneling subkutan, akses ventrikel, serta perakitan dan pengujian shunt
Pasien diposisikan supine dengan insisi kranial sama dengan VP Shunt. Insisi melintang kecil (1,5-2 cm) dibuat pada ICS 3-5 pada garis aksilari anterior atau midaksilari. Tunneling subkutan dilakukan di antara 2 buah insisi. Kateter distal dilewatkan dari rostral ke kaudal. Kateter distal dipotong sehingga panjang di dalam rongga thoraks mencapai 20-40 cm. Shunt kemudian dirakit dan diuji. 2) Akses pleural
Akses pleura dapat diperoleh melalui 3 cara, yaitu torakotomi, metode thoracoscopy-assisted, atau menggunakan trokar. Pada torakotomi (metode terbuka), tahapannya berupa insisi, diseksi lemak subkutan, fascia profunda, dan otot pektoralis mayor. Otot interkostalis dipisahkan di antara tepi superior dari costa inferior untuk mencegah cedera struktur neurovaskular. Selanjutnya dilakukan visualisasi dari lapisan pleura parietalis, deflasi paru oleh anestesiologis, dan insisi pleura parietal.
12
3) Penutupan luka operasi
Kateter distal diinsersikan ke dalam rongga pleura dan difikasi dengan jahitan purse-string untuk mengamankan posisi kateter di dalam pleura. Otot dan kulit dijahit lapis demi lapis sesuai lapisan anatomis normal. J. VENTRICULOSUBGALEAL SHUNT (VSG SHUNT) 1. Indikasi
VSG Shunt biasanya diindikasikan pada pasien yang sebenarnya merupakan kandidat VP Shunt, namun kondisinya belum memungkinkan untuk dilakukan tindakan VP Shunt. Kondisi tersebut di antaranya adalah pasien dengan kelainan patologis di abdomen, seperti necrotizing enterokolitis, omfalokel, dan infeksi intraperitoneal. Pasien pediatrik yang dinilai belum dapat menoleransi VP Shunt, seperti bayi prematur dengan perdarahan intraventrikular, juga merupakan kandidat VSG Shunt. VSG Shunt bersifat sementara dan berfungsi biasanya selama 8-12 minggu. 2. Komplikasi Spesifik
VSG shunt biasanya sering menyebabkan leakage LCS dan dehisen luka operasi akibat akumulasi LCS pada subgaleal. 3. Teknik Operasi
VSG shunt biasanya diinsersikan melalui frontal approach , dengan titik masuk pada verteks lateral dari fontanel anterior. Panjang kateter ventrikel berkisar sekitar 3-4 cm yang dihubungkan ke kateter distal dengan katup sepanjang 2-3 cm melalui konektor right-angle. Rongga subgaleal didiseksi ke arah anterolateral dan posterolateral dari insisi menggunakan Metzenbaum. Kateter distal difiksasi di dalam rongga subgaleal. Luka dijahit water tight. K. RESERVOIR VENTRIKEL 1. Indikasi
Indikasi pemasangan reservoir ventrikel adalah bayi prematur dengan perdarahan intraventrikular yang disertai dilatasi ventrikel. Pada pasien ini hidrosefalus terkontrol sementara dengan serial tapping dari reservoir. Indikasi lain penggunaan reservoir adalah kasus malignansi yang membutuhkan kemoterapi intratekal. Tujuannya adalah untuk tatalaksana metastasis leptomeningeal atau profilaksis pada kasus tumor dengan angka relaps tinggi (leukemia limfoblastik akut). 2. Komplikasi Spesifik
Komplikasi yang paling sering adalah infeksi yang disebabkan serial tapping. 3. Teknik Operasi
Reservoir intraventrikel biasanya diinsersikan melalui frontal approach. Insisi curvilinier dibuat dengan ukuran lebih besar dibandingkan ukuran reservoir. L. OUTCOME PADA SHUNTING VENTRIKEL
Pitfall terbesar dari shunting ventrikel adalah durabilitasnya yang relatif buruk. Pada Shunt Design Trial , hanya 61% pasien bebas dari kegagalan shunt pada 1 tahun pertama, dan 47% pada tahun
kedua. Sebagian besar kasus kegagalan shunt disebabkan oleh kegagalan mekanis (obstruksi), infeksi, atau over drainase. 13
Tabel 4. Penyebab kegagalan shunt
Pasien hidrosefalus memiliki angka morbiditas yang tinggi dan kualitas hidupnya akan terganggu sepanjang hidupnya. Pasien pediatrik dengan hidrosefalus seringkali memiliki defisit fisik, kognitif, sosial, dan emosional, termasuk gangguan mobilitas, IQ rendah, defisit sensoris, disfungsi endokrin, epilepsi, depresi, nyeri, atau fungsi sosial y ang buruk.
14