BAB I PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang
Seorang geologist memiliki peranan penting dalam memberikan informasi tentang kondisi geologi pada suatu daerah yang memiliki dampak baik langsung maupun tidak langsung terhadap masyarakat sekitar. Karena berkembangnya kondisi itu lah yang membuat para ahli di bidang ini melakukan penelitian langsung ke daerah tersebut agar diperoleh data yang lebih detil. Penelitian tersebut akan mendapatkan suatu data detil yang mencakup kondisi geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi dan aspek aspek geologi lainnya. Desa Somoleter dan sekitarnya, Kecamatan Bruno, yang terdapat pada cekungan Jawa Tengah Selatan ini telah diteliti sebelumnya, baik mengenai data stratigrafi maupun struktur geologi. Namun, berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, data yang ada masih kurang karena hanya meliputi beberapa daer ah saja. Hal lain yang menarik untuk dibahas adalah adanya sesar di daerah tersebut dan bagaimana pengaruhnya terhadap stratigrafi daerah tersebut. Maka dari itu, diperlukan pengamatan dan pemetaan yang lebih detil pada skala yang lebih besar pada daerah tersebut. I.2
Maksud dan Tujuan
Maksud dari pemetaan di daerah Somoleter dan sekitarnya, Kecamatan B runo, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah adalah untuk mendapatkan suatu data yang detil mengenai keadaan geologi suatu daerah yang meliputi: geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, sejarah geologi dan evaluasi geologi yang disajikan dalam bentuk peta lintasan, peta peta dan penampang geomorfologi, geomorfologi, peta dan penampang geologi serta kolom stratigrafi terukur, serta potensi maupun kendala alamnya. Tujuan dari pemetaan ini adalah untuk merekonstruksi ulang bagaimana pengaruh geologi terhadap daerah yang dijadikan lokasi pemetaan dan mengetahui dasar pembentukan daerah tersebut yang erat kaitannya dengan bidang geologi.
1
I.3
Lokasi Daerah Pemetaan
Secara geografis, daerah pemetaan ini terletak pada 109 o 57’ 16,7” – 110 110o 00’ 00” Bujur Timur dan 07o 34’ 19” – 07 07 o 37’ 34” Lintang 34” Lintang Selatan dengan luas 30 km 2. Secara administratif, daerah pemetaan ini terletak di Desa Somoleter dan Puspo, Kecamatan Bruno; Desa Prumben, Tiogosono, Ngaglik, dan Kalitengkek, Kecamatan Gebang; Desa Jatiwangsan, Sutoragan, Girijoyo, Girimulyo, dan Winong, Kecamatan Kemiri; Desa Gadingsukuh, Kecamatan Kepil, yang termasuk dalam Kabupaten Purworejo dan Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah.
Gambar 1.1 Citra landsat daerah pemetaan (Google Earth, 2017)
I.4
Studi Pustaka
Kondisi geologi daerah penelitian ini telah dipelajari oleh para peneliti terutama dalam aspek tatanan stratigrafi dan tektoniknya, antara lain: 1. Van Bemmelen (1949) dalam “The Geology of Indonesia” yang membahas kondisi geologi secara umum, dan membagi zona fisiografi Jawa Timur dan Madura menjadi tujuh zona fisiografi, antara lain Zona
2
Pegunungan Selatan Bagian Timur, Zona Solo, Zona Kendeng, Zona Randublatung, Zona Rembang, Dataran Aluvial Jawa Utara, Gunung Api Kuarter. 2. Asikin, S., dkk. (1992) membuat Peta Geologi Lembar Kebumen dengan skala 1:1.000.000 yang memperlihatkan kondisi struktur dan stratigrafi yang kompleks. 3. Irmah Jumawar (2008), melakukan pemetaan geologi pada daerah Kali Rebug dan sekitarnya, Kecamatan Kemiri, Kabupaten Purworejo, Propinsi Jawa Tengah, yang secara geografis terletak pada 109° 54' 57.17232" – 109° 57' 40.8204 " BT dan 07° 35' 52.999332" – 07° 07° 39' 7.952724" LS. Menyimpulkan bahwa daerah pemetaan memiliki 3 satuan geomorfologi, yaitu subsatuan geomorfologi perbukitan tersayat tajam denudasional, subsatuan geomorfologi perbukitan bergelombang denudasional, dan subsatuan geomorfologi bergelombang denudasional. Berdasarkan ciri litologi dan umur, startigrafi daerah pemetaan dari tua menuju muda adalah: Satuan batulempung karbonatan, diendapkan pada Akhir Miosen Tengah – Tengah – Miosen Miosen Akhir atau N15-N16, dan diendapkan pada lingkungan pengendapan laut dengan mekanisme turbidit, mempunyai hubungan selaras dengan satuan batupasir yang berada diatasnya. Satuan batupasir ini, diendapkan pada Awal Miosen Akhir – Pliosen Pliosen Awal atau N17-N19 yang disertai satuan breksi polimik dan mempunyai hubungan menjemari denga satuan batupasir dan diendapkan pada lingkungan pengendapan laut dengan mekanisme turbidit. Struktur geologi pada daerah pemetaan ialah sesar mendatar Rebug dan sesar mendatar menurun Gede (Oblig). Aspek geologi tata lingkungan menyangkut sumberdaya alam dan tata guna lahan. Bencana alam pada daerah ini rawan longsor jika hujan turun. 4. Tito Rus Arjendro (2009), melakukan pemetaan geologi pada Daerah Gunung Muncar dan sekitarnya, Kecamatan Bruno, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, yang secara geografis terletak pada 109° 54' 57.989" – 57.989" – 109° 57' 41.598 " BT dan 07° 30' 27.406" – 07° 07° 33' 42.365" LS. Menyimpulkan bahwa daerah pemetaan memiliki 3 satuan geomorfologi, yaitu satuan pegunungan tersayat tajam, perbukitan tersayat tajam dan satuan
3
perbukitan
bergelombang.
Daerah
berdasarkan
litologi
litostratigrafi
pemetaan batuan
memiliki
yang
4
dominan
satuan dengan
menggunakan kesebandingan Asikin (1992). Pembentukan struktur pada daerah pemetaan ini termasuk kedalam struktur regional Jawa Tengah bagian Selatan, memiliki gaya relative berarah utara-selatan. Sejarah Geologi daerah pemetaan dimulai dari Kala Miosen Tengah – Miosen Akhir, Miosen Akhir – Pliosen Awal, Pliosen Awal – Pleistosen. Sebagian besar daerah pemetaan dimanfaatkan sebagai areal perkebumam pinus, dan sebagian kecil digunakan untuk pemukiman, persawahan dan areal pertambangan.
4
BAB II GEOMORFOLOGI REGIONAL
II.1
Fisiografi Regional
Menurut Van Bemmelen (1949), fisiografi Pulau Jawa dibagi menjadi 6 bagian, yaitu:
Dataran Aluvial Jawa Utara, mempunyai lebar maksimum 40 km kea rah selatan. Semakin ke arah timur, lebarnya menyempit hingga 20 km.
Gunung api Kuarter di Jawa Tengah antara lain G. Slamet, G. Dieng, G. Sundoro, G. Sumbing, G. Ungaran, G. Merapi, G. Merbabu, dan G. Muria.
Zona Serayu Utara memiliki lebar 30-50 km. Di selatan tegal, zona ini tertutupi oleh produk gunungapi kwarter dari G. Slamet. Di bagian tengah ditutupi oleh produk volkanik kwarter G. Rogojembangan, G.Ungaran, dan G.Dieng. Zona ini menerus ke Jawa Barat menjadi Zona Bogor dengan batas antara keduanya terletak di sekitar Prupuk, Bumiayu hingga Ajibarang, persis di sebelah barat G. Slamet, sedangkan ke arah timur membentuk Zona Kendeng. Zona Antiklinorium Bogor terletak di selatan Dataran Aluvial Jakarta berupa Antiklinorium dari lapisan Neogen yang terlipat kuat dan terintrusi. Zona Kendeng meliputi daerah yang terbatas antara Gunung Ungaran hingga daerah sekitar Purwodadi dengan singkapan batuan tertua berumur Oligosen-Miosen Bawah yang diwakili oleh Formasi Pelang.
Zona Depresi Jawa Tengah menempati bagian tengah hingga selatan. Sebagian merupakan dataran pantai dengan lebar 10-25 km. Morfologi pantai ini cukup kontras dengan pantai selatan Jawa Barat dan Jawa Timur yang relatif lebih terjal.
Pegunungan Selatan Jawa memanjang di sepanjang pantai selatan Jawa membentuk morfologi pantai yang terjal. Namun di Jawa Tengah, zona ini terputus oleh Depresi Jawa Tengah.
5
Pegunungan Serayu Selatan terletak di antara Zona Depresi Jawa Tengah yang membentuk kubah dan punggungan. Di bagian barat dari Pegunungan Serayu Selatan yang berarah barat-timur dicirikan oleh bentuk antiklonorium yang berakhir di timur pada suatu singkapan batuan tertua terbesar di Pulau Jawa, yaitu daerah Luk Ulo, Kebumen.
Gambar 2.1 Fisiografi Regional Jawa Tengah dan Timur (modifikasi dari Van
Bemmelen, 1949)
II.1.1 Fisiografi Daerah Penelitian
Berdasarkan fisiografi regional Pulau Jawa (Van Bemmelen, 1949), daerah pemetaan termasuk dalam Zona Pegunungan Serayu Selatan. Zona ini mencakup bagian tengah Pulau Jawa, membentang barat-timur Jawa Tengah dari Purwokerto s.d. Purworejo. Daerah ini memiliki morfologi pegunungan lipatan dengan litologi melange pada kompleks Luk Ulo, Karangsambung, Kebumen. (Van Bemmelen, 1949). II.2
Geomorfologi Daerah Pemetaan
Pengklasifikasian bentang alam dilakukan dengan mengacu pada parameter – parameter relief yang disusun oleh Van Zuidam (1983) (Tabel 2.1) serta Hidartan dan Handaya (1994). Sedangkan untuk menentukan suatu stadia daerah (Tabel 2.2) atau
6
stadia sungai (Tabel 2.3) digunakan parameter – parameter yang disusun oleh Nugroho (2001). Tabel 2.1. Klasifikasi Van Zuidam (1983)
Satuan Relief
Kelerengan (%) 0 – 2
Beda Tinggi (m)
Bergelombang/Miring Landai
3 – 7
5 – 50
Bergelombang/Miring
8 – 13
25 – 75
Berbukit – Bergelombang
14 – 20
50 – 200
Berbukit Tersayat Tajam/Terjal
21 – 55
200 – 500
56 – 140
500 – 1000
> 140
> 1000
Datar/Hampir Datar
Pegunungan Tersayat Tajam/Sangat Terjal Pegunungan Sangat Curam
<5
Analisa geomorfologi secara genetik dapat menggunakan klasifikasi Verstappen (1983): 1. Bentuk lahan asal struktural, 2. Bentuk lahan asal vulkanik, 3. Bentuk lahan asal denudasional, 3. Bentuk lahan asal fluvial, 5. Bentuk lahan asal marine, 6. Bentuk lahan asal glasial, 7. Bentuk lahan asal Aeolian, 8. Bentuk lahan asal solusional/pelarutan (karst), 9. Bentuk lahan asal organik, 10. Bentuk lahan asal antropenik. Bentang alam akibat proses endogen meliputi:
Bentuk lahan asal struktural Terbentuk karena proses tektonik yang berupa pengangkatan, perlipatan dan patahan.
Bentuk lahan asal volkanik Terjadi karena pengaruh aktifitas volkanik berupa kepundan, kerucut semburan, medan lava, medan lahar dan sebagainya yang umumnya berada pada wilayah gunung api.
Sedangkan bentang alam akibat proses eksogen meliputi:
Bentuk lahan asal fluvial
7
Bentuk lahan yang berkaitan dengan aktifitas sungai dan air permukaan yang berupa pengikisan pengangkutan, dan penimbunan pada daerah rendah seperti lembah, ledok, dan daratan alluvial.
Bentuk lahan asal marine Akibat kegiatan marine yaitu abrasi, sedimentasi, pasang surut dan pertemuan terumbu karang.
Bentuk lahan asal pelarutan (karst) Dihasilkan oleh proses solution/pelarutan pada batuan yang mudah larut. Mempunyai karakteristik relief dan drainase yang khas, yang disebabkan oleh tingkat pelarutan batuan yang tinggi.
Bentuk lahan asal aeolian (angin) Dipengaruhi oleh udara dan angin yang dapat membentuk medan yang khas dan berbeda bentuknya dari daerah lain.
Bentuk asal glasial Adalah bentuk lahan yang berkaitan dengan aktifitas dihasilkan oleh aktivitas gletser.
Bentuk asal denudasional Merupakan proses denudasional (penelanjangan), yaitu kesatuan dari proses pelapukan, pegerakan tanah, erosi dan kemudian diakhiri dengan proses pengendapan. Tabel 2.2. Klasifikasi Stadia Daerah (Nugroho, 2001)
Parameter
Stadia Sungai Relief
Muda Muda
Sedikit – Bergelombang
Stadia Daerah Dewasa Muda – Dewasa
Tua Tua
Maksimum
Hampir Datar
V
U – Datar
Bentuk Penampang
U – V
Lembah
8
Kenampakan Lain
Bentang alam
Bentang alam
umumnya datar
bergelombang
Bentang
sampai
sampai
alamnya datar.
bergelombang.
maksimum.
Hasil proses
Tidak ada
Mulai ada gawir.
pengendapan.
Gawir.
Relief sedang –
Tidak ada relief.
Relief kecil.
maksimum.
U - Datar
V
V – U
Tabel 2.3. Klasifikasi Stadia Sungai (Nugroho, 2001)
Parameter
Slope Gradient
Muda Besar
Kecepatan Aliran
Tinggi
Jenis Aliran Air
Jenis Erosi Proses yang Bekerja Bentuk/Pola Sungai Bentuk Penampang Kerapatan/Anak Sungai
Stadia Sungai Dewasa Relatif Kecil
Sedang
Turbulent
Turbulent – Laminar Vertikal –
Vertikal
Horizontal Erosi dan
Erosi
Deposisi
Lurus
V
Kecil/Jarang
Tua Tidak Ada
Rendah Laminer
Horizontal
Deposisi
Lurus –
Bermeander –
Bermeander
Komplek
V – U
U – Datar
Sedang/Mulai Banyak
Besar/Banyak
Berdasarkan klasifikasi Howard (1967), pola aliran sungai terbagi menjadi: a) dendritic, b) parallel c) trellis, d) rectangular, e) ra dial, f) annular, g) multibasinal, dan h) contorted.
9
Gambar 2.2 Klasifikasi Pola Aliran Sungai Berdasarkan Howard (1967)
Pola Dendritik, bentuk umum seperti daun, berkembang pada batuan dengan kekerasan relatif sama, perlapisan batuan sedimen relatif datar serta tahan akan pelapukan,kemiringan landai, kurang dipengaruhi struktur geologi. Umumnya anakanaksungainya (tributaries) cenderung sejajar dengan induk sungainya, dimana anakanak sungainya bermuara pada induk sungai dengan sudut lancip.Pola ini biasanya terdapat pada daerah berstruktur plain, atau pada daerah batuan yang sejenis (seragam, homogen) dengan penyebaran yang luas. Pola Paralel, bentuk umum cenderung sejajar, berlereng sedang sampai agak curam, dipengaruhi struktur geologi, terdapat pada perbukitan memanjang dipengaruhi
10
perlipatan, merupakan transisi pola dendritik dan trelis. Beberapa wilayah di pantai barat Sumatera memperlihatkan pola pengaliran parallel. Pola Trelis, bentuk memanjang sepanjang arah strike batuan sedimen. Biasanya dikontrol oleh struktur lipatan. Batuan sedimen dengan kemiringan atau terlipat, batuan vulkanik serta batuan metasedimen berderajat rendah dengan perbedaan pelapukan yang jelas. Jenis pola pengalirannya berhadapan pada sisi sepanjang aliran subsekuen.Induk sungai mengalir sejajar dengan strike, mengalir di atas struktur synclinal,sedangkan anak-anak sungainya mengalir sesuai diping dari sayap-sayap synclinaldan anticlinal-nya. Jadi, anak-anak sungai juga bermuara tegak lurus terhadapinduk sungainya. Pola pengaliran trellis mencirikan daerah pegunungan lipatan (folded mountains). Pola Radial, bentuk menyebar dari satu pusat, biasanya terjadi pada kubah intrusi, kerucutvulkanik dan bukit yang berbentuk kerucut serta sisa-sisa erosi. Memiliki duasistem, sentrifugal dengan arah penyebaran keluar dari pusat (berbentuk kubah)dan sentripetal dengan arah penyebaran menuju pusat (cekungan). Pola Anular, bentuk seperti cincin yang disusun oleh anak-anak sungai, sedangkan induk sungai memotong anak sungai hampir tegak l urus. Mencirikan kubah dewasa yang sudah terpotong atau terkikis dimana disusun perselingan batuan keras dan lunak. Jugaberupa cekungan dan kemungkinan stocks. Terdapat pada daerah berstruktur dome (kubah) yang topografinya telah beradapada stadium dewasa. Daerah dome yang semula (pada stadium remaja) tertutup oleh lapisan-lapisan batuan endapan yang berselang-seling antara lapisan batuan keras dengan lapisan batuan lembut. Pola Multibasinal, endapan permukaan berupa gumuk hasil longsoran dengan perbedaanpenggerusan atau perataan batuan dasar, merupakan daerah gerakan tanah, vulkanisme, pelarutan gamping serta lelehan salju atau permafrost. Pola Kontorted, terbentuk pada batuan metamorf dengan intrusi dike, vein yang menunjukkan daerah yang relatif keras batuannya, anak sungai yang lebih panjang ke arah lengkungan subsekuen, umumnya menunjukkan kemiringan lapisan batuan metamorf dan merupakan pembeda antara penunjaman antiklin dan sinklin. Berdasarkan Lobeck (1939), genetik sungai dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
11
a. Subsekuen, sungai yang mengalir mengikuti arah jurus lapisan batuan. b. Konsekuen, merupakan sungai yang mengalir mengikuti kemiringan lapisan batuan yang dilaluinya. c. Obsekuen, merupakan sungai yang mengalir berlawanan kemiringan lapisan yang dilalui. Pada dasarnya, stadia daerah berkaitan dengan ciri-ciri geomorfologi suatu daerah dan ciri-ciri dari sungai yang ada pada daerah pemetaan. Stadia daerah ini dapat menentukan sejauh mana tingkat erosi atau proses denudasi/penelanjangan yang sedang terjadi pada daerah pemetaan. Lobeck (1939) membagi stadia daerah menjadi tiga, yaitu:
Stadia muda mempunyai ciri-ciri dataran yang masih tinggi dengan lembah sungai yang relatif curam dengan genetik sungai dominan konsekuen. Kondisi geologi masih pada tahap awal atau origin.
Gambar 2.3 Stadia Daerah Muda (Lobeck, 1939)
Stadia dewasa dicirikan dengan relief terbesar atau maksimum dan genetik sungai sudah mulai berubah menjadi subsekuen. Topografi dari bentang alam stadia ini dipengaruhi oleh variasi dari batuan, sehingga akan terbentuk jurang apabila sungai mengalir di batuan yang resisten dan sebaliknya akan terbentuk lembah sungai berbentuk U atau open valleys pada batuan yang lemah.
12
Gambar 2.4 Stadia Daerah Dewasa (Lobeck, 1939)
Stadia tua dicirikan permukaan relatif datar, terbentuk monadnock dan peneplan
Gambar 2.5. Stadia Daerah Tua (Lobeck, 1939)
13
BAB III STRATIGRAFI REGIONAL
Secara regional di Jawa Tengah dapat dikenali adanya 2 zona pegunungan, yaitu zona Pegunungan Serayu Selatan terletak di bagian selat an dan zona Pegunungan Serayu Utara di bagian Utara (Van Bemmelen, 1949). Perbedaan yang nyata antara kedua zona tersebut terletak pada stratigrafi, lingkungan pengendapan, genesa, dan tektoniknya. Menurut Asikin (1981), Formasi yang ada di Jawa Tengah dibagi atas tiga rangkaian stratigrafi, yaitu rangkaian stratigrafi formasi-formasi sebelum Tersier, selama Tersier dan Kwarter. Terdiri atas Formasi Karangsambung, Formasi Totogan, Formasi Waturanda, Formasi Penosogan, Formasi Halang, Anggota Breksi Formasi Halang dan Formasi Peniron. Berdasarkan letak geografis daerah penelitian, secara regional menurut Van Bemmelen (1949), daerah penelitian terletak pada bentang fisiografis Pegunungan Serayu Selatan dan termasuk ke dalam cekungan Jawa Tengah yang memanjang dari barat ke timur, dan dibatasi oleh paparan sunda di utara dan rangkaian gunung api kuarter di selatan (Van Bemmelem, 1949). Penelitian mengenai stratigrafi jalur Pegunungan Serayu Selatan telah banyak dilakukan, dan telah banyak mengalami penyempurnaan. Selain peneliti terdahulu, telah banyak pula lembaga-lembaga pendidikan pemerintah dan swasta yang melakukan penelitian geologi detail di daerah jalur Pegunungan Serayu Selatan, mempelajari tatanan tektonik yang kompleks di daerah ini. Secara singkat, berikut diuraikan urut-urutan pengendapan sedimen yang berumur tertua sampai termuda yang menempati zona Pegunungan Serayu Selatan menurut Asikin (1992). Acuan ini yang dijadikan sebagai data bagi penulis menguraikan stratigrafi pada daerah penelitian.
14
Gambar 3.1 Kolom Stratigrafi Regional Daerah Kebumen (Asikin, 1992). Tanpa skala.
III.1
Formasi Karangsambung
Dicirikan oleh litologi batulempung yang terkesikkan dengan kuat, dengan bongkahan batulempung, batupasir, konglomerat aneka bahan, batugamping dan batuan beku; bersisipan batupasir gampingan, napal tufan dan tuf kaca. Satuan ini merupakan kumpulan endapan olisostrom yang terjadi akibat pelongsoran karena gaya berat di bawah permukaan laut, yang melibatkan sedimen yang belum mampat, dan berlangsung pada lereng parit dibawah pengaruh pengendapan turbidit. Umur satuan ini adalah Eosen Tengah-Oligosen dan diendapkan pada lingkungan laut dalam dan batial.
15
III.2
Formasi Totogan
Formasi ini terdiri dari breksi denngan komponen batu lempung, batu pasir, batu gamping, dan napal, massa dasar batulempung bersisik dan terdapat campuran yang tidak beratur dari batulempung, napal, tuff, strukturnya juga tidak teratur. Tebal lapisan ini melebihi 150 meter dan menipis kearah selatan dan terletak selaras dengan formasi Karangsambung. Umur formasi ini adalah Oligosen sampai Miosen awal dengan lingkunan pengendapan batial atas.
III.3
Formasi Waturanda
Formasi ini terdiri atas breksi gunung api dan batupasir wacke dengan sisipan batulempung dibagian atas. Sisipan batupasir wacke tebal antara 60-300 cm dan ketebalan breksi rata-rata 5 meter. Breksi berkomponen andesit dan basal berukuran 3 cm sampai beberapa meter, massa dasar batupasir dan tuff, mempunyai struktur sedimen perlapisan bersusun, perlapisan sejajar dan konvolut. Di beberapa tempat ada permukaan erosi yang jelas, umur satuan ini Miosen awal dan endapkan di lingkungan laut dalam. Dilihat dari struktur sedimennya dapat disimpulkan bahwa sebagian dari formasi ini diendapkan oleh arus turbidit.
III.4
Formasi Penosogan
Formasi ini terdiri atas perselingan batupasir, batulempung, tuff, napal, kalkarenit, berlapis baik dengan tebal lapisan 5-60 meter. Bagian bawah terdiri dari batupasir wacke, makin keatas terdapat komponen batulempung, batupasir, dan pecahan koral berukuran kerikil. Bagian tengah terdiri dari napal dan kalkarenit denga sisipan tuff, komponen kalkarenitnya umumnya berupa kepingan cangkang koral dan foraminifera. Bagian atas terdiri dari tuff kaca berselingan dengan napal tuffaan. Struktur sedimen diantaranya lapisan bersusun, perlapisan s ejajar, konvolut, gelembur gelombang dan flute cast. Umur formasi ini diperkirakan Miosen Tengah dan diendapkan di lingkungan batial atas.
16
Analisis arus purba di daerah Tambak (bagian Barat daerah Kebumen) dengan cara mengukur sumbu struktur sedimen tikas seruling pada batu pasir dan kalkarenit di bagian bawah formasi ini, menghasilkan tafsiran bahwa arus serta sumbernya dating dari Utara (Iskandar, 1974). Bagian bawah formasi ini berupa sedimen turbidit proksimal, kemudian distal dan bagian atas kembali prksimal. Formasi ini terletak selaras diatas Formasi Waturanda.
III.5
Formasi Peniron
Peneliti terdahulu menamakan sebagai horizon breksi III. Formasi ini menindih selaras diatas formasi haling dan merupakan sedimen turbidit termuda yang diendapkan di Zona pegunungan serayu selatan. Litologinya terdiri dari breksi aneka bahan dengan komponen andesit, batulempung, batupasir dengan masa dasar batupasir sisipan tufa, batupasir, napal, dan batulempung.
III.6
Formasi Halang
Formasi ini terdiri dari perselingan batupasir, batugamping, napal dan tuf dengan sisipan breksi. Dipengaruhi oleh arus turbid dan pelengseran bawah air laut.
17
BAB IV STRUKTUR GEOLOGI REGIONAL
4.1.
Struktur Geologi Pulau Jawa
Proses tektonik yang terjadi di sebagian besar Pulau Jawa dipengaruhi oleh pergerakan Lempeng Indo Australia yang menujam ke bawah Lempeng Mikro Sunda. Berdasarkan penelitian lapangan, foto udara dan citra satelit, Pulau Jawa memiliki tiga arah kelurusan struktur yang utama. Tiga arah kelurusan itu adalah Pola Meratus, Pola Sunda dan PolaJawa.
Gambar 4.1 Pola Struktur Pulau Jawa yang terdiri dari Pola Meratus, P ola Sunda dan Pulau Jawa (Pulunggono dan Martodjodjo, 1994) dalam Tugas Akhir Muhammad Farabi, 2010 dengan judul “Geologi daerah Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah”.
Pola dengan arah timur laut – barat daya disebut sebagai Pola Meratus. Pola Meratus merupakan pola struktur yang dominan di Pulau Jawa (Pulunggono dan Martodjodjo, 1994). Pola ini diperkirakan terbentuk sekitar 53 – 80 juta tahun yang lalu. Pola Meratus ini berumur Kapur Akhir sampai Eosen Awal.
18
Pola struktur dengan arah utara – selatan disebut sebagai Pola Sunda. Pola ini diwakili oleh sesar yang membatasi Cekungan Asri, Cekungan Sunda dan Cekungan Arjuna. Pola Sunda terbentuk sekitar 32 – 53 juta tahun yang lalu. Pola Sunda ini berumur Eosen Awal – Oligosen Awal. Pola struktur dengan arah barat – timur disebut sebagai Pola Jawa. Pola Jawa ini diwakili oleh sesar baribis dan sesar – sesar dalam Zona Bogor yang berupa sesar naik (van Bemmelen, 1949). IV.2
Struktur Geologi Jawa Tengah
Struktur geologi Jawa Tengah mengacu kepada Asikin (1974). Seperti umumnya perkembangan tektonik di Jawa, evolusi tektonik di Jawa Tengah juga dapat dibagi tiga, yaitu Tektonik Akhir Paleogen, Tektonik intra Neogen dan Tektonik akhir Neogen. Tektonik akhir Paleogen seperti di tempat – tempat lain hampir di seluruh Daratan Sunda (Lempeng Mikro Sunda), dicirikan oleh pembentukan sesar – sesar regangan yang menghasilkan tinggian dan deperesi. Berdasarkan data seismik dimana dapat diamati dengan jelas adanya gejala – gejala ketidakselarasan, maka diyakini bahwa pada akhir Paleogen hampir sebagian besar daerah mengalami pengangkatan dan muncul dip ermukaan dan mengalami pengikisan yang kuat. Pada Eosen Akhir, pusat kegiatan magma berada di Pegunungan Serayu Selatan hingga ke Bayat dan Parangtritis di selatan. Kegiatan magma Eosen ini ditandai dengan dijumpainya singkapan – singkapan batuan beku dan vulkanik berupa aliran lava, jenjang, sumbat vulkanik dan sejumlah korok yang memotong batuan Pra – Tersier dan Eosen. Di Bayat dan Parangtritis, terdapat sejunlah singkapan korok dan intrusi yang sebagian besar bersusunan basaltis yang memotong batuan Pra – Tersier dan batugamping Eosen. Penentuan umur secara radiometri memberikan angka yang berkisar antara 33,1 – 24,3 Ma. Susunan kimiawinya menunjukkan asosiasi batuan kalk – alkalin andesit basaltis Pusat kegiatan magma Eosen Akhir-Miosen Awal ini sekaligus merupakan pusat tinggian di Jawa Selatan (Busur magmatis). Kegiatan magma yang lebih muda lagi (Miosen Akhir-Pliosen) nampaknya agak bergeser keutara dengan dijumpainya singkapan batuan volkanik di daerah Karangkobar (sebelah Utara Luh-Ulo, daerah
19
Banjarnegara). Dijumpai dalam bentuk korok-korok, jenjang dan sumbat vulkanik, aliran lava serta intrusi-intrusi dangkal. Umurnya secara radiometrik berkisar antara 11.16 Ma, 8.9 Ma dan 3 Ma. Batuan vulkanik Tersier muda juga didapatkan di daerah Cilacap berupa korok dan sill yang memotong Fm.Halang yang berumur N16-N18. Secara petrografis memperlihatkan kesamaan dengan batuan andesit dan basalt di daerah Karangkobar. Penentuan umur memberikan angka 8.7 dan 5.1 Ma. Pada Tersier Awal, pusat pengendapan terjadi di utara (Depresi Bobotsari) sebagai cekungan belakang busur dan di selatan (Depresi Kebumen) seba gai cekungan depan busur dengan diisi oleh endapan gravitasi (turbidit) yang sebagian besar terdiri dari bahan klastika gunung api. Kegiatan vulkanisme Tersier tersebut berlangsung hingga Pliosen dengan pergeseran lebih ke utara. Dari data gaya berat, pola struktur Jawa Tengah memperlihatkan adanya 3 (tiga) arah utama, yaitu : baratlaut – tenggara di dekat perbatasan dengan Jawa Barat, timurlaut – baratdaya di selatan sekitar G. Muria, dan barat – timur yang umumnya berupa perlipatan.
20
BAB V METODOLOGI PENELITIAN Pemetaan ini dilakukan dengan melewati beberapa tahapan, yaitu tahap persiapan dan perencanaan, tahap pemetaan lapangan, tahap penelitian laboratorium, dan tahap penyusunan laporan.
Gambar 5.1 Diagram Alir Tahapan dan Metode Penelitian
21
V.1
Tahap Persiapan dan Perencanaan
Tahap ini terdiri dari 4 kegiatan, antara lain: 1. Studi literatur mengenai daerah pemetaan dari peneliti – peneliti terdahulu. 2. Perencanaan lintasan lokasi pengamatan yang sesuai dengan efesiensi dan efektifitas seorang geologi yang bekerja di lapangan, yaitu dengan pertimbangan sebagai berikut:
Lintasan tegak lurus dengan jurus
Diutamakan lintasan yang melewati sungai dan memotong seluruh formasi yang terdapat di daerah pemetaan.
Perencanaan
lintasan
harus
mempertimbangkan
faktor
resiko
keselamatan. 3. Analisis peta topografi, digunakan untuk prediksi awal indikasi adanya struktur geologi dan variasi geologi yang dijumpai di daerah pemetaan. 4. Persiapan perlengkapan dan pemilihan base camp Perlengkapan yang dibutuhkan antara lain:
V.2
Peta Topografi 1: 12.500
Kompas Geologi
Buku Lapangan & Alat Tulis
Kantong Contoh Batuan
Plastik Peta
Larutan HCL 10%
Loupe
Palu Geologi
Kamera Digital
Komparator Batuan
Tahap Penelitian Lapangan
Hal – hal yang perlu dilakukan di lapangan adalah sebagai berikut:
Menentukan lokasi pengamatan dan “plotting” pada peta topografi.
Pengamatan dan pengukuran singkapan batuan serta pengambilan contoh batuan untuk analisis laboratorium.
Pengukuran struktur geologi.
22
V.3
Pencatatan data observasi dalam buku lapangan.
Pengambilan foto geomorfologi dan singkapan batuan.
Pembuatan penampang tektonik.
Tahap Penelitian Laboratorium
Tahap
penelitian
laboratorium
dilaksanakan
untuk
melengkapi
dan
memperkuat data lapangan. 1. Analisis mikropaleontologi dan stratigrafi Analisis ini bertujuan untuk interpretasi umur relatif dari batuan serta untuk mengetahui lingkunagn pengendapan daerah pemetaan. 2. Analisis petrografi Analisis ini bertujuan untuk mengetahui tekstur dan komposis mineral dari batuan serta penentuan jenis dan nama batuan. 3. Analisis kalsimetri Analisis ini dilakukan untuk menentukan kadar karbonat dalam batuan. V.4
Tahap Penyusunan Laporan Geologi
Penyusunan laporan merupakan tahap akhir pemetaan geologi daerah x sebagai suatu dokumen yang berisi laporan pemetaan dan menggabungkan hasil – hasil penelitian lapangan, laboratorium, analisis dan kesimpulan V.5
Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan dalam penulisan laporan ini terdiri dari:
BAB I PENDAHULUAN Pada BAB I, berisi penejlasan tentang latar belakang, maksud dan tujuan lokasi pemetaan dan kesampaian daerah, metode pengelitian, sistematika pembahasan dalam laporan dan peralatan yang dibutuhkan pemetaan.
BAB II GEOMORFOLOGI Pada BAB II, berisi penjelasan tentang kenampakan bentang alam (geomorfologi)
di
daerah
pemetaan
geomorfologi secara regional.
BAB III STRATIGRAFI
23
ditunjang
oleh
kenampakan
Pada BAB III, berisi penjelasan tentang runtunan satuan batuan berurutan dari tua ke muda yang dijumpai di daerah pemetaan yang ditunjang oleh stratigrafi regional.
BAB IV STRUKTUR GEOLOGI Pada BAB IV, berisi penjelasan tentang berbagai kenampakan struktur geologi di daerah pemetaan yang ditinjau dari struktur geologi regional.
BAB V SEJARAH GEOLOGI Pada BAB V, menjelaskan tentang setiap aspek dan peristiwa geologi (satuan batuan dan struktur geologi) yang terjadi di daerah pemetaan secara kronologis.
BAB VI EVALUASI GEOLOGI Pada BAB VI, evaluasi geologi berisi penjelasan mengenai evaluasi geologi (bahan galian dan bencana alam) daerah pemetaan.
BAB VII KESIMPULAN Pada BAB VII, berisi kesimpulan geologi daerah pemetaan.
DAFTAR PUSTAKA Berisi semua referensi buku, makalah, dan sumber referensi lain yang digunakan selama melakukan pemetaan dan menyusun laporan.
LAMPIRAN Berupa peta, analisis kalsimetri dan analisis petrografi.
24
V.6 Waktu dan Rencana Tabel 5.1 Waktu dan Rencana Kegiatan Pemetaan
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Tahapan 1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
Tahapan I
Pembuatan proposal dan studi pustaka Tahapan II
Kegiatan lapangan Tahapan III
Laboratorium: 1. Sayatan 2. Fosil 3. Analisis Tahapan IV
Penyusunan laporan Kolokium
25
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3 4
BAB VI ANALISIS PENDAHULUAN DAERAH PEMETAAN
Bab ini akan menjelaskan kondisi daerah pemetaan yang berskala 1:12.500 dengan menunjukan lokasi daerah pemetaan menggunakan citra landsat, peta geologi regional, peta geomorfologi, peta struktur geologi, dan peta pola aliran sungai.
VI.1 Daerah Pemetaan Secara geografis, daerah pemetaan ini terletak pada 109 o 57’ 16,7” – 110o 00’ 00” Bujur Timur dan 07 o 34’ 19” – 07 o 37’ 34” Lintang Selatan dengan luas 30 km 2. Secara administratif, daerah pemetaan ini terletak di Desa Somoleter dan Puspo, Kecamatan Bruno; Desa Prumben, Tiogosono, Ngaglik, dan Kalitengkek, Kecamatan Gebang; Desa Jatiwangsan, Sutoragan, Girijoyo, Girimulyo, dan Winong, Kecamatan Kemiri; Desa Gadingsukuh, Kecamatan Kepil, yang termasuk dalam Kabupaten Purworejo dan Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah.
Gambar 6.1 Daerah Pemetaan (Berdasarkan Google Earth)
26
VI.2 Stratigrafi Daerah Pemetaan
Peta geologi lembar Kebumen yang dibuat oleh Asikin, dkk (1992) menerangkan bahwa daerah Kebumen dahulunya mempunyai tatanan tektonik yang disebut kompleks Luk-Ulo. Asikin, dkk (1992) membagi beberapa formasi seperti Formasi Karangsambung, Formasi Totogan, Formasi Penosogan, Formasi Halang, Formasi Peniron dan Endapan pantai serta Alluvium. Khusunya pada daerah pemetaan, terdapat Formasi Halang, Formasi Peniron dan Endapan Alluvium.
Gambar 6.2 Peta Geologi Regional Lembar Kebumen (Asikin, S. Dkk, 1992). Daerah pemetaan
ditandai dengan kotak merah. Pembesaran ada pada Gambar 6.3
27
Gambar 6.3 Kondisi Geologi Daerah Pemetaan Berdasarkan P eta Geologi Regional Lembar
Kebumen (Asikin, S. Dkk, 1992)
Berdasarkan Peta Geologi Regional Lembar Kebumen (Asikin, S., dkk, 1992), pada daerah pemetaan terdapat 2 formasi dan 1 anggota yang terendapkan, yaitu:
Anggota Tuf Formasi Waturanda (Tmwt), terdiri dari perselingan tuf kaca, t uf kristal, batupasir gampingan, dan napal tufan.
Formasi Peniron (Tpp), terdiri dari breksi aneka bahan dengan komponen andesit, batulempung, batugamping; masa dasar batupasir tufan, bersisipan tuf.
Formasi Halang (Tmph), terdiri dari perselingan batupasir, batugamping napal, dan tuf dengan sisipan breksi; dipengaruhi oleh arus turbid dan pelengseran.
28
VI.3
Geomorfologi Daerah Pemetaan
Berdasarkan klasifikasi Van Zuidam (1983), diketahui bahwa daerah penelitian terbagi menjadi 3 satuan geomorfologi, yaitu satuan miring, satuan berbukit – bergelombang, dan satuan berbukit terjal.
Gambar 6.4. Peta Geomorfologi Daerah Penelitian berdasarkan Van Zuidam ( 1983).
29
VI.4
Struktur Geologi Daerah Pemetaan
Berdasarkan Peta Geologi Regional Lembar Kebumen ( Asikin, S. Dkk, 1992) terdapat 1 struktur di daerah pemetaan, yang mana terletak di sebelah barat laut peta, struktur tersebut adalah sesar mendatar mengiri ( sinistral ). Selain itu jika dilihat dari kelurusan kontur, adanya sungai, dan morfologi perbukitan, terdapat indikasi sesar naik dan sesar mengiri ( sinistral ).
Gambar 6.5. Struktur Geologi Daerah Pemetaan Berdasarkan Peta Geologi Regional Lembar Kebumen (Asikin, S. Dkk, 1992) dan interpretasi penulis.
30
VI.5
Pola Aliran Sungai Daerah Pemetaan
Dilihat dari pola sungai daerah pemetaan, maka penulis membagi pola aliran sungai menjadi 2 zona, yaitu pola paralel dan trelis.
Gambar 6.6. Pola Aliran Sungai Daerah Pemetaan menunjukan pola parallel dan trelis.
31
VI.6
Peta Rencana Lintasan Daerah Pemetaan
Peta lintasan merupakan rangkaian pengamatan yang didapatkan dengan cara melintasi suatu wilayah, yang hasilnya akan disajikan dalam penampang geologi atau peta lintasan. Pada lintasan bertujuan untuk membantu penulis dalam melakukan pemetaan, didasari dengan pemilihan jalur yang mudah dilewati, memotong jurus umum perlapisan batuan, mewakili perubahan bentuk morfologi, dan lai n-lain.
Gambar 6.7. Rencana Lintasan pada Daerah Pemetaan
32
BAB VII PENUTUP
Demikian proposal ini disusun sebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan Penelitian Pemetaan Geologi pada Desa Somoleter dan sekitarnya, Kecamatan Bruno, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Proposal ini diajukan sebagai bahan pertimbangan dan semoga mendapat perhatian dan dukungan dari berbagai pihak. Kegiatan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif bagi Kecamatan Bruno dan sekitarnya, serta secara khusus memberikan pandangan bagi pengembangan sumber daya manusia dan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang.
33
DAFTAR PUSTAKA Bemmelen, R.W Van. 1949. The Geology of Indonesia Vol. I A. The Hague: General Geology. Asikin, S.,1987, Geologi Struktur Indonesia, Departemen Teknik Geologi ITB, Bandung. Mulhadiyono. 1973. Petroleum Possibilities of the Banyumas Area, Indonesian Pet. Assoc., 2nd Annual Convention Proceeding. Mulyaningsih, Eris. 2013. Laporan Kuliah Lapangan Morfologi Stratigrafi dan Litologi serta Pengukuran Strike dan Dip di Sebagian Daerah di Karangsambung. Sujanto, F.X., Sumantri, Yanto R.. 1977. Preliminary Study on the Tertiary Depositional Patterns of Java, Indonesian Pet. Assoc., 6th Annual Convention Proceeding. Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996, Sandi Stratigrafi Indonesia, IAGI. Modul Pemetaan Geologi., Jurusan Teknik Geologi – Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi – Universitas Trisakti., Jakarta. BAKOSURTANAL, 1999, Peta Rupabumi Digital Indonesia Skala 1:25000, Edisi 1, Lembar 1408-144, Daerah Bruno. BAKOSURTANAL, 1999, Peta Rupabumi Digital Indonesia Skala 1:25000, Edisi 1, Lembar 1408-142, Daerah Kutoarjo. Wibowo, Pradana Adi. 2013. Laporan Observasi Geologi Karangsambung Kebumen.
34
LAMPIRAN
35
Tabel 1 Perhitungan Persen Kelerengan Menggunakan Klasifikasi Van Zuidam (1983)
NO
Banyaknya Kontur
Panjang Garis
%
Klasifikasi
1 2
5 3
0,55 0,65
36,36363636 15,38461538
3 4 5 6 7 8 9 10 11
4 6 3 3 3 4 4 5 4
1,33 0,85 1,88 0,81 0,8 0,36 0,71 0,56 0,85
11,27819549 29,41176471 5,319148936 12,34567901 12,5 41,66666667 21,12676056 35,71428571 17,64705882
12
3
0,5
20
13 14 15
5 5 3
0,52 0,77 0,56
38,46153846 25,97402597 17,85714286
16 17 18 19 20 21
3 4 4 6 4 4
0,39 0,67 0,49 0,61 0,47 0,85
25,64102564 22,3880597 30,6122449 40,98360656 31,91489362 17,64705882
22 23
5 4
0,64 0,73
31,25 20,54794521
24
4
0,87
17,24137931
25
4
1,02
14,70588235
26 27 28
5 4 3
0,83 0,61 0,56
24,09638554 24,59016393 17,85714286
29 30
4 4
0,57 0,88
26,31578947 17,04545455
31
4
0,66
22,72727273
Berbukit Terjal Berbukit Bergelombang Miring Berbukit Terjal Miring Landai Miring Miring Berbukit Terjal Berbukit Terjal Berbukit Terjal Berbukit Bergelombang Berbukit Bergelombang Berbukit Terjal Berbukit Terjal Berbukit Bergelombang Berbukit Terjal Berbukit Terjal Berbukit Terjal Berbukit Terjal Berbukit Terjal Berbukit Bergelombang Berbukit Terjal Berbukit Bergelombang Berbukit Bergelombang Berbukit Bergelombang Berbukit Terjal Berbukit Terjal Berbukit Bergelombang Berbukit Terjal Berbukit Bergelombang Berbukit Terjal
32 33
4 5
0,64 0,89
23,4375 22,47191011
Berbukit Terjal Berbukit Terjal
36
Satuan Geomorfologi
Struktural Miring
Struktural Berbukit Terjal Struktural Berbukit Bergelombang
Struktural Berbukit Terjal
Struktural Berbukit Bergelombang
Struktural Berbukit Terjal
Struktural Berbukit Bergelombang