Prinsip – Prinsip Pragmatik
Disusun sebagai pemenuhan salah satu
tugas program Magister Linguistik
dalam mata kuliah Pragmatik
Oleh:
Riantino Yudistira
160120201004
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Jember
Prinsip – Prinsip Pragmatik
Dalam aktivitas berkomunikasi, terdapat aturan dan kaidah yang seolah menjadi guide line yang wajib di pertimbangkan agar pesan yang disampaikan dari penutur kepada mitra tuturnya, diterima dengan baik. Dengan kata lain, berkomunikasi bukanlah aktivitas yang terjadi secara liar tanpa aturan. Komunikasi merupakan tindakan sosial yang terjadi dengan bantuan prinsip prinsip dan norma yang berlaku, dan hal-hal demikian di pahami dengan baik oleh penutur maupun mitra tuturnya. Komunikasi yang terjadi, seharusnya terkontrol dengan prinsip pragmatis dan penuturan kata yang sesuai dengan konsep grammatikal.
Tentu saja bilamana kaidah dan aturan kebahasaan tidak terpenuhi, pesan dalam komunikasi tidak tersampaikan dengan baik. Seringkali komunikan sebagai receiver salah memahami maksud dari pesan yang ingin di sampaikan oleh penutur.
Prinsip dan Aturan
Dalam pemahaman grammar kita selalu menggunakan aturan dalam penyusunan kalimat. Jika aturan-aturan konstitutif gramatikal tidak di aplikasikan, maka kalimat yang disusun akan tidak beraturan, audience tidak akan dapat memahami pesan yang di maksudkan. Sedangkan aturan sosio-gramatikal menentukan pesan tersampaikan atau tidak dengan tanpa menganggu tatanan sosial antara penutur dan mitra tuturnya.
Berhubungan dengan aturan konvensional, maka ada empat prinsip pragmatik, antara lain:
Metapragmatic axiom;
Statemen mendalam bersangkutan dengan hubungan antar penutur dan mitra tutur, yang tidak perlu dibuktikan.
Communicational ideals;
Presumsi-presumsi oleh pelaku tutur tentang bagaimana proses komunikasi yang seharusnya terjadi, presumsi tersebut berkenaan dengan aturan dan tujuan komunikasi.
Maxims
Garis haluan tentang bagaimana kalimat seharusnya tersusun agar informasi yang disampaikan ter-terima dengan baik
Motivated super rules and norms for politeness and processability. Tindak tutur tidak langsung yang menginterpretasikan sikap dan norma berkomunikasi.
Prinsip-prinsip Metapragmatik
Berdasarkan Watzlawick, et al.(1968) berikut adalah prinsip metapragmatik atau axioma berkomunikasi;
Seseorang tidak dapat tidak berkomunikasi. Semua tingkah laku di interpretasikan sebagai 'berkomunikasi' oleh orang lain dalam berbagai macam konteks dan situasi.
Setiap komunikasi memiliki makna dan aspek inter-relasi yang mana tuturan tentang suatu informasi menjelaskan perihal tindak tutur yang sebelumnya telah di komunikasikan.
Pemaknaan setiap tindak tutur sangat bergantung pada faktor-faktor pemengaruh proses komunikasi. Maka dari itu, untuk memahami setiap tindak tutur dalam berkomunikasi, mempertimbangkan konteks yang berlaku ketika komunikasi terjadi ialah penting adanya.
Manusia berkomunikasi baik dengan menggunakan kemampuan verbal dan analogi. Bahasa verbal memiliki kompleksitas dan sangat mempertimbangkan logika sintaksis, namun kurang mencukupi kebutuhan semantik. Sedangkan kemampuan berbahasa analogis, memberikan kemampuan bertutur dengan menitik beratkan pada semantik, namun tidak mencukupi persyaratan sebuah tuturan yang secara sintaksis dapat di terima.
Semua model reaksi terhadap tindak tutur, terjadi baik secara simetris maupun complementary.
Contohnya dalam kompetisi debat, pola pergantian penutur dan tuturannya terjadi secara simetris tanpa ada titik temu, sedangkan reaksi dan interreaksi tindak tutur antar ibu dan anaknya ataupun guru dan siswanya, disebut sebagai complementary.
Teori lain yang mirip dengan axioma meta pragmatik yaitu Searle (1969) yang mengatakan: apapun yang dapat di artikan dapat dikatakan. Ini berarti bila komunikasi verbal dapat di analisis dan dijelaskan maka tipe komunikasi lain dapat juga di analisis dan dijelaskan.
Situasi tutur yang ideal
Menurut Habermas (1971) yang dapat disebut benar adalah ucapan-ucapan yang diterima berdasarkan konsesus rasional di antara semua pihak yang bersangkutan. Selanjutnya Consensus bisa dikatakan rasional jika semua peserta diskusi dapat mengemukakan semua argument yang relevan pada saat itu. Jika syarat-syarat tersebut dipenuhi maka consensus tersebut bisa dikatakan sebagai consensus rasional, asalkan disertai dengan argument-argumen yang terbaik. Lalu bagaiamana argument-argumen terbaik tersebut dapat menyakinkan. Maka syarat-sayarat yang harus dipenuhi adalah dibutuhkan situasi percakapan yang ideal (the Ideal Speech situation). Situasi yang tidak terdistorsi sedikit pun ini terwujud, jika;
· a. Semua peserta mempunyai peluang yang sama untuk memulai suatu diskusi dan dalam
diskusi itu mempunyai peluang yang sama untuk mengemukakan argument-argumen
dan mengkritik argument-argumen lain;
· b. Diantara peserta tidak ada perbedaan kekuasaaan yang dapat menghindari bahwa
argument-argumen yang mungkin relevan sungguh-sungguh diajukan juga;
· c. Semua peserta mengungkapkan pemikirannya dengan ikhlas, sehingga tidak mungkin
terjadi yang satu memanipulasi yang lain tanpa disadarinya.
Prinsip Kerjasama Grice
Dalam komunikasi yang wajar agaknya dapat diasumsikan bahwa seorang penutur mengartikulasikan ujaran dengan maksud untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada lawan bicaranya, dan berharap lawan bicaranya dapat memahami apa yang hendak dikomunikasikan itu. Untuk itu penutur selalu berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas, mudah dipahami, padat dan ringkas (concise), serta selalu pada persoalan (straight forward), sehingga tidak menghabiskan waktu lawan bicaranya.
Bila dalam suatu percakapan terjadi penyimpangan, ada implikasi-implikasi tertentu yang hendak dicapai oleh penuturnya. Bila implikasi itu tidak ada, maka penutur yang bersangkutan tidak melaksanakan kerjasama atau tidak bersifat kooperatif. Jadi, secara ringkas dapat diasumsikan bahwa ada semacam prinsip kerja sama yang harus dilakukan pembicara dan lawan bicara agar proses komunikasi itu berjalan lancar.
Grice berpendapat bahwa di dalam rangka melaksanakan prinsip-prinsip kerja sama itu, setiap penutur harus mematuhi empat maksim percakapan (conversational maxim), yakni maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim pelaksanaan (maxim of manner)
.
1. Maksim Kuantitas (The Maxim of Quantity)
Berikan jumlah informasi yang tepat, yaitu :
a) Sumbangan informasi Anda harus seinformatif yang dibutuhkan.
b) Sumbangan informasi Anda jangan melebihi yang dibutuhkan
Di dalam maksim kuantitas, seorang penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup, relative memadai, dan seinformatif mungkin. Informasi demikian itu tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan si mitra tutur. Tuturan yang mengandung informasi yang sungguh-sungguh diperlukan mitra tutur, dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas dalam Prinsip Kerja Sama Grice. Demikian sebaliknya, apabila tuturan itu mengandung informasi yang berlebihan akan dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas. Perhatikan contoh percakapan berikut ,
Contoh yang sesuai:
1. A : Apakah Anda sudah mengerjakan tugas?
B : Ya, sudah.
Contoh yang tidak sesuai:
2. X : Apakah Anda sudah mengerjakan tugas?
Y : Belum. Kemarin saya berlibur di rumah nenek di Yogya. Sampai rumah sudah larut
sehingga saya tidak sempat mengerjakan tugas.
Percakapan(1) dalam contoh di atas merupakan tuturan yang sudah jelas dan sangat informative isinya. Dapat dikatakan demikian, karena tanpa harus ditambah dengan informasi lain, tuturan itu sudah dapat dipahami maksudnya dengan baik dan jelas oleh si mitra tutur.
Penambahan informasi seperti ditunjukkan pada percakapan (2) justru akan menyebabkan tuturan menjadi berlebihan dan terlalu panjang. Sesuai dengan yang digariskan maksim ini, tuturan seperti pada percakapan (2) di atas tidak mendukung atau bahkan melanggar Prinsip Kerja Sama Grice.
Pernyataan yang demikian dalam banyak hal, kadang-kadang tidak dapat dibenarkan. Dalam masyarakat dan budaya Indonesia, khususnya di dalam kultur masyarakat Jawa, justru ada indikasi bahwa semakin panjang sebuah tuturan akan semakin sopanlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin pendek sebuah tuturan, akan semakin tidak sopanlah tuturan itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa untuk menunjukkan maksud kesantunan tuturan dalam bahasa Indonesia, dalam hal tertentu penutur harus melanggar dan tidak menepati Prinsip Kerja Sama Grice. Tuturan (A), (B), dan (C) berikut secara berturut-turut menunjukkan perbedaan tingkat kesantunan tuturan sebagai akibat dari perbedaan panjang-pendeknya tuturan. Perhatikan Contoh dibawah:
A : "Bawalah Koran itu ke tempat lain!"
B : "Tolong bawalah Koran itu ke tempat lain!"
C : "Silahkan Koran itu dibawa ke tempat lain dahulu!"
Keterangan :
Tuturan A, B, dan C, dituturkan oleh seorang Direktur kepada sekretarisnya di dalam ruangan yang kebetulan mejanya berserakan dengan Koran-koran bekas di atasnya.
2. Maksim Kualitas (The Maxim of Quality)
Usahakan agar sumbangan informasi Anda benar, yaitu :
a) Jangan mengatakan suatu yang Anda yakini bahwa itu tidak benar.
b) Jangan mengatakan suatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan.
Dengan maksim kualitas, seorang peserta tutur diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta sebenarnya di dalam bertutur. Fakta itu harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas.
Contoh yang sesuai:
1. A : Kamu tahu, Eko kuliah dimana?
B : Di UGM.
Contoh yang tidak sesuai:
2. A : Kamu tahu, Eko kuliah dimana?
B : Dia tidak kuliah di STKIP seperti kita, tapi di UGM.
Dalam komunikasi sebenarnya, penutur dan mitra tutur sangat lazim menggunakan tuturan dengan maksud yang tidak senyatanya dan tidak disertai dengan bukti-bukti yang jelas. Bertutur yang terlalu langsung dan tanpa basa-basi dengan disertai bukti-bukti yang jelas dan apa adanya justru akan membuat tuturan menjadi kasar dan tidak sopan. Dengan perkataan lain, untuk bertutur yang santun maksim kualitas ini seringkali tidak dipatuhi dan tidak dipenuhi. Tuturan (X), (Y), dan (Z) berikut secara berturut-turut berbeda dalam peringkat kesantunannya dan dapat dipertimbangkan untuk memperjelas pernyataan di atas.Perhatikan Contoh berikut:
X : "Pak, minta uangnya untuk besok!"
Y : "Bapak, besok beli bukunya bagaimana?"
Z : "Bapak, besok aku jadi ke Gramedia, bukan?"
Keterangan:
Tuturan X, Y, dan Z, dituturkan Oleh seorang anak yang sedang minta uang kepada Bapaknya. Tuturan-tuturan tersebut dituturkan dalam konteks situasi tutur yang berbeda-beda.
3. Maksim Relevansi (The Maxim of Relevance)
Usahakan agar perkataan Anda ada relevansinya.
Di dalam maksim relevansi, dinyatakan bahwa agar terjalin kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan (sesuai) tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan itu. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip kerja sama.
Contoh yang sesuai:
1. A : Dimana kotak permenku?
B : Di kamar belajarmu.
Contoh yang tidak sesuai:
2. A : Dimana kotak permenku?
B : Saya harus segera pergi kuliah
Cuplikan percakapan pada (1) di atas dapat dikatakan mematuhi dan menepati maksim relevansi. Dikatakan demikian, karena apabila dicermati lebih mendalam, tuturan yang disampaikan tokoh (B) yakni "Dikamar belajarmu"benar-benar merupakan tanggapan atas percakapan yang disampaikan tokoh (A) yang dituturkan sebelumnya, yakni "Dimana kotak permenku"Dengan perkataan lain, tuturan itu patuh dengan maksim relevansi dalam Prinsip Kerja Sama Grice, sedangkan percakapan (2) merupakan percakapan atau tuturan yang tidak relevan dan tidak mematuhi maksim relevansi karena tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan. Untuk maksud-maksud tertentu, misalnya untuk menunjukkan kesantunan tuturan, Ketentuan yang ada pada maksim itu seringkali tidak dipenuhi oleh penutur. Berkenaan dengan hal ini, tuturan (3) antara seorang direktur dengan sekretarisnya pada contoh berikut dapat dipertimbangkan.
3. Direktur : "Bawa sini semua berkasnya akan saya tanda tangani dulu!"
Sekretaris : "Maaf Bu, kasihan sekali nenek tua itu."
Keterangan :
Dituturkan oleh seorang Direktur kepada sekretarisnya pada saat mereka bersama-sama bekerja di sebuah ruang kerja Direktur. Pada saat itu,ada seorang nenek tua yang sudah menunggu lama.
Di dalam cuplikan percakapan di atas, tampak dengan jelas bahwa tuturan sang sekretaris, yakni "maaf Bu, kasihan sekali nenek tua itu" tidak memiliki relevansi dengan apa yang diperintahkan sang Direktur, yakni "Bawa sini semua berkasnya akan saya tanda tangani!" Dengan demikian tuturan (3) di atas dapat dipakai sebagai salah satu bukti bahwa maksim relevansi dalam prinsip kerja sama tidak selalu dipenuhi dan dipatuhi dalam pertuturan sesungguhnya. Hal seperti itu dapat dilakukan, khususnya, apabila tuturan tersebut dimaksudkan untuk mengungkapkan maksud-maksud tertentu yang khusus sifatnya.
4. Maksim Pelaksanaan (The Maxim of Manner)
Usahakan agar mudah dimengerti, yaitu :
a. Hindarilah pernyataan-pernyataan yang samar.
b. Hindarilah ketaksaan.
c. Usahakan agar ringkas
d. Usahakan agar Anda berbicara dengan teratur.
Maksim pelaksanaan ini mengharuskan peserta pertuturan bertutur secara langsung, jelas dan tidak kabur. Orang bertutur dengan tidak mempertimbangkan hal-hal itu dapat dikatakan melanggar Prinsip Kerja Sama Grice karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan.
Contoh yang sesuai:
1. A : Siapa teman Anda yang Pesepakbola itu?
B : CRISTIANO RONALDO
Contoh yang tidak sesuai:
2. X : "Ayo, cepat dibuka!"
Y : "Sebentar dulu, masih dingin."
Dalam percakapan (1) dapat dikatakan mematuhi dan menepati maksim pelaksanaan pada prinsip Kerja Sama Grice karena dalam percakapan tersebut penutur maupun mitra tutur menyampaikan tuturan secara langsung, jelas dan tidak kabur. Sedangkan pada Cuplikan tuturan (2) di atas pada maksim pelaksanaan memiliki kadar kejelasan yang rendah. Karena berkadar kejelasan rendah dengan sendirinya kadar kekaburannya menjadi sangat tinggi. Tuturan si penutur (X) yang berbunyi "Ayo, cepat dibuka!" sama sekali tidak memberikan kejelasan tentang apa yang sebenarnya diminta oleh si mitra tutur. Kata dibuka dalam tuturan di atas mengandung kadar ketaksaan dan kekaburan sangat tinggi. Oleh karenanya, maknanya pun menjadi sangat kabur. Dapat dikatakan demikian, karena kata itu dimungkinkan untuk ditafsirkan bermacam-macam. Demikian pula tuturan yang disampaikan si mitra tutur (Y), yakni "sebentar dulu, masih dingin" mengandung kadar ketaksaan cukup tinggi. Kata dingin pada tuturan itu dapat mendatangkan banyak kemungkinan persepsi penafsiran Karena di dalam tuturan itu tidak jelas apa sebenarnya yang masih dingin itu. Tuturan-tuturan demikian itu dapat dikatakan melanggar prinsip kerja sama karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan dalam Prinsip Kerja Sama Grice.
Dalam kegiatan bertutur yang sesungguhnya pada masyarakat bahasa Indonesia, ketidakjelasan, kekaburan, dan ketidaklangsungan merupakan hal yang wajar dan sangat lazim terjadi. Sebagai contoh, di dalam masyarakat tutur dan kebudayaan Jawa, ciri-ciri bertutur demikian hampir selalu dapat ditemukan dalam percakapan keseharian pada masyarakat tutur ini, justru ketidaklangsungan merupakan salah satu ceritra kesantunan seseorang dalam bertutur. Tuturan (3) dapat digunakan sebagai ilustrasi untuk memperjelas hal ini.
3. Anak : "Bu, besok saya akan pulang lagi ke kota."
Ibu : "Itu sudah saya siapkan di laci meja."
5. Prinsip Relevansi
Teori relevansi dikemukakan oleh Sperber dan Wilson dengan dasar pemikiran bahwa komunikasi bergantung pada kognitif. Keberlangsungan komunikasi berjalan seiring dengan bagaimana prinsip relevansi ini dimanfaatkan. Komponen komunikasi dalam prinsip relevansi ini sesungguhnya merupakan pemampatan dari keempat prinsip kerjasama Grice ke dalam satu prinsip. Prinsip tersebut harus dimiliki oleh setiap partisipan percakapan dengan berasumsi bahwa penutur lain telah berusaha bersikap serelevan mungkin. Asumsi ini pun kemudian diharapkan dapat mendapatkan implikasi yang sebesar-besarnya dengan usaha pemrosesan yang semudah-mudahnya.
Komponen kognitif dari teori relevansi memandang proses kognisi sebagai proses untuk mendapatkan informasi yang relevan. Yang dimaksud dengan informasi yang relevan, yakni informasi yang memiliki efek kontekstual terhadap tuturan.
Teori relevansi yang dikemukakan Sperber-Wilson ini lebih cenderung menekankan pada 'rasionalitas'. Rasionalitas cenderung terlihat tidak lagi bersifat mutlah dan universal melainkan bersifat sementara dan konvensional saja. Para filsafat bahasa beranggapan bahwa bahasa tidak dapat dikaji dengan menggunakan pendekatan rasionalitas karena bahasa harus bersifat komunikatif.
Prinsip kesopanan dan Processability
Prinsip kesopanan memiliki beberapa maksim, yaitu maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahan (generosity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), maksim kerendahhatian (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy maxim). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur.
A. Model Kesantunan Leech
1. Maksim Kebijaksanaan (tact maxim)
Gagasan dasar maksim kebijkasanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Leech (dalam Wijana, 1996) mengatakan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung. Pelaksanaan maksim kebijaksanaan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.
Tuan rumah : "Silakan makan saja dulu, nak! Tadi kami sudah mendahului."
Tamu : "Wah, saya jadi tidak enak, Bu."
Di dalam tuturan tersebut, tampak dengan sangat jelas bahwa apa yang dituturkan si Tuan Rumah sungguh memaksimalkan keuntungan sang Tamu.
2. Maksim Kedermawanan
Dengan Maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Pelaksanaan maksim kedermawanan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.
Anak kos A : "Mari saya cucikan baju kotormu. Pakaianku tidak banyak kok yang kotor"
Anak kos B : "Tidak usah, mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga kok."
Dari tuturan tersebut, dapat dilihat dengan jelas bahwa Anak kos A berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal itu dilakukan dengan cara menawarkan bantuan untuk mencucikan pakaian kotornya si B
3. Maksim Penghargaan
Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa seseorang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Peserta tutur yang sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian karena tindakan mengejek merupakan tindakan tidak menghargai orang lain. Pelaksanaan maksim penghargaan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.
Dosen A : "Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Business English."
Dosen B : "Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu bagus sekali."
Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekan dosennya pada contoh di atas ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan pujian dari dosen B.
4. Maksim Kesederhanaan
Di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati jika di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Pelaksanaan maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.
Ibu A : "Nanti ibu yang memberikan sambutan dalam rapat Dasa Wisma ya."
Ibu B : " Waduh..nanti grogi aku."
Dalam contoh di atas ibu B tidak menjawab dengan: "Oh, tentu saja. Memang itu kelebihan saya." Ibu B mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri dengan mengatkan: " Waduh..nanti grogi aku."
5. Maksim Pemufakatan/Kecocokan
Di dalam maksim ini, diharapkan para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka dapat dikatakan bersikap santun. Pelaksanaan maksim pemufakatan/Kecocokan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.
Guru A : "Ruangannya gelap ya, Bu."
Guru B : "He'eh. Saklarnya mana ya?"
Pada contoh di atas, tampak adanya kecocokan persepsi antara Guru A dan B bahwa ruangan tersebut gelap. Guru B mengiyakan pernyataan Guru A bahwa ruangan gelap dan kemudian mencari saklar yang member makna perlu menyalakan lampu agar ruangan menjadi terang.
6. Maksim Kesimpatian
Maksim ini diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Di dalam maksim kesimpatian, diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapat kesusahan, atau musibah penutur layak berduka, atau mengutarakan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian.Sikap antipati terhadap salah satu peserta tutur akan dianggap tindakan tidak santun. Pelaksanaan maksim kesimpatian dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.
Mahasiswa A : "Mas, aku akan ujian tesis minggu depan."
Mahasiswa B : "Wah, selamat ya. Semoga sukses."
B. Model Kesantunan Brown-Levinson
1. Face Wants
Di dalam interaksi sosial sehari-hari, orang pada umumnya berperilaku seolah-olah ekspektasi mereka terhadap public self-image yang mereka miliki akan dihargai orang lain. Jika seorang penutur mengatakan sesuatu yang merupakan ancaman terhadap ekspektasi orang lain mengenai self-image mereka, tindakan tersebut dikatakan sebagai Face Threatening Act (FTA). Sebagai alternatif, seseorang dapat mengatakan sesuatu yang memiliki kemungkinan ancaman lebih kecil. Hal ini disebut sebagai Face Saving Act (FSA). Perhatikan contoh berikut:
Seorang tetangga sedang memainkan musik sangat keras dan pasangan suami istri sedang mencoba untuk tidur. Si suami dapat melakukan FTA: "Aku akan mengatakan padanya untuk mematikan musik berisik itu sekarang juga!" atau si istri dapat melakukan FSA: "Barangkali kita dapat memintanya untuk berhenti memainkan musik itu karena sekarang sudah mulai larut dan kita perlu tidur".
2. Negative dan Positive Face
Menurut Brown dan levinson, negative face adalah the basic claim to territories, personal preserves, and rights to non-distraction dan positive face adalah the positive and consistent image people have of themselves, and their desire for approval. Dengan kata lain, negative face adalah kebutuhan untuk mandiri dan positive face adalah kebutuhan untuk terkoneksi (menjalin hubungan). Sehubungan dengan negative dan positive face, maka dapat disimpulkan bahwa FSA berorientasi pada negative face dan mementingkan kepentingan orang lain, bahkan termasuk permintaan maaf atas gangguan yang diciptakan. FSA seperti ini dinamakan negative politeness. Sedangkan FSA yang berorientasi terhadap positive face seseorang akan cenderung menunjukkan solidaritas dan menekankan bahwa kedua pihak (penutur dan mitra tutur) menginginkan hal yang sama dan tujuan yang sama pula. FSA dalam bentuk ini dinamakan positive politeness.
Secara singkat, Yule (2010:135)membedakan positive face dan negative face sebagai berikut.
Positive Face
Negative Face
Keinginan
Pendekatan sosial
Kebebasan dari pembebanan
Kebutuhan
untuk terhubung
Untuk diterima sebagai anggota kelompok yang memiliki tujuan yang sama
untuk mandiri
Untuk memiliki kebebasan bertindak, dan tidak terbebani
Penekanan
Pada solidaritas dan kesamaan
pada penghormatan dan kepedulian
3. Negative and Positive Politeness
Negative politeness memberikan perhatian pada negative face, dengan menerapkan jarak antara penutur dan mitra tutur dan tidak mengganggu wilayah satu sama lain. Penutur menggunakannya untuk menghindari paksaan, dan memberikan mitra tutur pilihan. Penutur dapat menghindari kesan memaksa dengan menekankan kepentingan orang lain dengan menggunakan permintaan maaf, atau dengan mengajukan pertanyaan yang memberikan kemungkinan untuk menjawab "tidak". Misal, di sebuah gedung student center, Anda meminta pertolongan untuk menyebutkan alamat situs yang Anda perlukan dengan berkata pada David,
"Maaf, saya tidak bermaksud mengganggu, tapi barangkali Anda bisa memberitahukan alamat situs yang dosen bicarakan tadi pagi?"
Contoh yang lain,
"Maaf mengganggu, Bisakah saya meminjam uang lima ratus ribu, ehmm, jika kamu Anda tidak membutuhkannya sekarang?
Adanya pemberian pilihan berpengaruh pada tingkat kesantunan. Semakin besar kemungkinan pilihan jawaban "tidak" diberikan, maka semakin sopan lah tuturan tersebut.
Positive politeness bertujuan untuk menyelamatkan dengan menerapkan kedekatan dan solidaritas, biasanya dalam pertemanan atau persahabatan, membuat orang lain merasa nyaman dan menekankan bahwa kedua pihak (penutur dan mitra tutur) memiliki tujuan yang sama. Misal Anda masih berada di student center dan masih memerlukan bantuan, kali ini Anda meminta bantuan pada teman dekat Anda, Rudi.
"Rudi, kamu kan punya memori yang baik dan keren, akan lebih keren jika kamu memberitahu saya alamat situs yang dimaksud pak Handano tadi pagi."
Processability
Salah satu problem soling solution super-rules yang rasional ialah prinsip processability:
Pesan yang disampaikan dalam berkomunikasi seharusnya komprehensif, jelas, tersusun sesuai aturan kebahasaan dan mudah di proses ataupun diberikan reaksi lanjutan. Fokus ahir dari prinsip processability ini menitik beratkan pada keteraturan informasi yang disampaikan dalam proses komunikasi.
Dalam proses memberikan informasi dalam berkomunikasi, penutur memilih menggunakan pengetahuan yang telah di ketahui sebelumnya oleh pendengar dan kemudian mengimbuhkan pengetahuan baru yang relean dan informasi utama yang hendak disampaikan dari penututr kepada mitra tuturnya. (Leech, 1983).