AKUNTANSI FORENSIK “GATHERING EVIDENCE” “PENGUMPULAN BARANG BUKTI”
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 5:
1.
Farras Salsabila Maharani
NIM 12030118410007 12030118410007
2. Novita Anugrah Listiyana
NIM 12030118410019 12030118410019
3.
NIM 12030118410035 12030118410035
Tsania Rahmawati
MAGISTER AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2018
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb Puji Syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa memberikan rahmat serta karunian-Nya. Sehingga Sehingga penulis dapat menyelesaikan menyelesaikan makalah ini. Makalah yang berjudul “ GATHERING EVIDENCE”
ini disusun untuk
memenuhi tugas Mata Kuliah Akuntansi Forensik. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya. Penulis juga menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan kearah yang lebih baik. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu dan menyelesaikan makalah ini. Wassalamualaikum Wr. Wb. Semarang, 22 November 2018
Kelompok 5
DAFTAR ISI
HALAMAN COVER KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................................1
Pendahuluan .................................................................................................................1 BAB II PENGERTIAN BUKTI ..........................................................................................2
Pengertian Bukti ...........................................................................................................2 Alat Bukti.................................................................................................................2 Barang Bukti ............................................................................................................3 BAB III ATURAN BUKTI ..................................................................................................5
Aturan Bukti .................................................................................................................5 1. Relevan ................................................................................................................5 2. Materil..................................................................................................................6 3. Kompeten.............................................................................................................6 4.Aturan Hearsay .....................................................................................................7 5. Bukti Primer ......................................................................................................... 8 6. Bukti Sekunder ....................................................................................................8 Hersay Exception..........................................................................................................9 BAB IV ATURAN BUKTI LAINNYA ..............................................................................11
Kriteria Lain Mengenai Bukti Berkualitas yang Dapat Meyakinkan ...........................11 1. Chain of Custody (CoC) ......................................................................................11 2. Komunikasi Istimewa ..........................................................................................12 3. Interogasi atau Wawancara ..................................................................................14 4. Penyerahan Diri dan Pengakuan ..........................................................................16 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................18
BAB I PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Pengetahuan tentang aturan pengadilan, sistem hukum, dan khususnya bukti diperlukan untuk penyelesaian penyelidikan penipuan yang efektif oleh akuntan forensik atau auditor penipuan. Akuntan forensik secara khusus biasanya terlibat dengan tahap akhir dari penyelidikan penyidikan-penipuan. Akuntan forensik juga sering bekerja dengan pengacara pada kasus yang melakukan layanan dukungan litigasi. Dengan demikian, akuntan forensik harus tahu aturan dasar sistem peradilan tentang bukti. Seperti yang dikatakan sebelumnya dalam buku ini. setiap investigasi penipuan harus menganggap itu akan berakhir di pengadilan sejak awal. Maka jika itu terjadi, bukti akan forensik-efektif untuk keperluan di pengadilan. Ketidaktahuan di ujung depan bisa dengan mudah mengkompromikan bukti, merusak kemampuan korban untuk mendapatkan hasil terbaik dari kasus perdata, atau penuntutan yang sukses dalam kasus pidana.
1
BAB II PENGERTIAN BUKTI
Pengertian Bukti
Apa yang dimaksut dengan ‘Bukti’? Bukti adalah hal yang sangat penting dalam kasus hukum. Seorang investigator atau analisis fraud akan selalu berhubungan dengan bukti-bukti dokumen. Bukti sangat diperlukan untuk memecahkan suatu kasus hukum. Dokumen atau bukti dapat memperjelas kasus yang tengah diungkap tetapi juga dapat juga memperlemah pemeriksaan tergantung dokumen dan bukti yang didapatnya. Hal ini dibuktikan dengan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 183 yang menyebutkan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pada dasarnya bukti adalah segala sesuai yang bisa membuktikan atau tidak membuktikan tentang segala hal yang masih menjadi pertanyaan. Menurut kamus besar bahasa indonesia, bukti/buk·ti/ n 1 adalah sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa, keterangan nyata. Sedangkan terdapat perbedaan mengenai alat bukti dengan barang bukti, perbedaan antara kedua tersebut yaitu :
Alat Bukti
Menurut Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 184, alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Sedangkan hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan lagi. 1. Keterangan ahli, Menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP, keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang. 2. Surat, Menurut Pasal 187 KUHAP, Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
2
a) berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan t egas tentang keterangannya itu; b)
surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.
c)
surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya;
d)
surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
3. Petunjuk Menurut Pasal 188 KUHAP ayat (1), Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. 4. Keterangan terdakwa, Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP, Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri.
Barang Bukti
Menurut Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nomor 8 Tahun 1981 pasal 39, barang yang dapat dikenakan pen yitaan adalah : 1. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tinda pidana; 2. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; 3. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; 4. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; 5. benda lain yang mempunyai hubungan lansung dengan tindak pidana yang dilakukan. 3
Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1). Menurut Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nomor 8 Tahun 1981 pasal 40, dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti. Dari berbagai definisi mengenai bukti diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa fungsi barang bukti dan alat bukti dalam sidang pengadilan untuk mengungkap suatu perkara ad alah sebagai 1.
Bukti mengungkap kebenaran materiil terhadap perkara.
2.
Barang bukti menguatkan kedudukan alat bukti yang sah.
3.
Alat bukti sah yang sudah dikuatkan dengan barang bukti dapat digunakan oleh hakim sebagai landasan dalam menyelesaikan perkara.
4
BAB III — ATURAN BUKTI RULES OF E VI DENCE
Aturan Bukti
Sidang pengadilan bertujuan untuk melakukan deduksi atau menyimpulkan kebenaran dari permasalahan atau kasus yang ada. Dalam kasus kriminal, masalah yang diajukan adalah orang yang dituduh bersalah atau tidak. Bukti-bukti yang diberikan dan diterima oleh pengadilan harus berada di atas keraguan yang beralasan (reasonable doubt ) — tidak selalu karena keyakinan moral — dan kualitas - kuantitas bukti harus dapat meyakinkan warga (juri) yang jujur dan berakal sehat (reasonable) bahwa terdakwa bersalah setelah semua dipertimbangkan dan ditimbang secara adil tidak memihak. Namun apa dan bagaimana bukti itu dapat diterima? Dalam arti luas, bukti adalah sesuatu yang dapat dimengerti oleh panca indera seperti kesaksian saksi, catatan, dokumen, fakta, data, atau benda-benda konkret — secara hukum disajikan di persidangan untuk membuktikan pertikaian dan menginduksi keyakinan dalam pikiran pengadilan atau juri. Dalam menimbang bukti, pengadilan atau juri dapat mempertimbangkan hal-hal seperti sikap saksi, kesaksian mereka terhadap terdakwa, dan hubungan dengan terdakwa. Jadi, bukti dapat sebagai kesaksian langsung maupun tidak, demonstratif, inferensial, dan bahkan teoritis bila diberikan oleh ahli yang berkualifikasi. Bukti adalah sesuatu yang membuktikan atau menyanggah masalah apa pun yang dipertanyakan. Agar bukti-bukti dapat diterima secara legal, maka testimonial, dokumen, objek atau fakta-fakta harus relevan, material bersifat penting, dan kompeten terhadap masalah yang sedang diperkarakan dan dikumpulkan secara sah. Jika tidak, bukti tersebut tidak dapat diterima. Berikut adalah aturan-aturan bukti sehingga dapat membantu seseorang dalam memahami cara mengumpulkan bukti-bukti forensik dalam investigasi fraud.
1.
Relevan
Relevansi bukti fraud tidak bergantung pada keunikan testimoni yang diberikan, tapi bukti dikatakan relevan pada kecenderungan keabsahannya untuk menetapkan fakta yang dipertentangkan. Berbagai hal yang dirasa relevan dan dapat diterima diantaranya: a.
Motif kejahatan
b.
Kemampuan terdakwa untuk melakukan kejahatan
c.
Kesempatan terdakwa untuk melakukan kejahatan 5
d.
Ancaman atau ekspresi dari niat buruk terdakwa
e.
Cara-cara melakukan kejahatan (kepemilikan senjata, alat, atau kemampuan yang digunakan dalam melakukan tindak kriminal)
f.
Bukti fisik di tempat kejadian perkara (TKP) yang mengaitkan antara terdakwa dengan tindak kejahatannya
2.
g.
Perilaku (etika) dan komentar tersangka ketika ditangkap
h.
Upaya untuk menyembunyikan identitas
i.
Upaya untuk menghancurkan bukti
j.
Pengakuan yang valid
Material
Aturan material mengharuskan bukti memiliki nilai penting terhadap kasus atau membuktikan
suatu
permasalahan.
Detail-detail
yang
tidak
penting
hanya
akan
memperpanjang waktu persidangan. Dengan demikian, juri dalam persidangan harus membuat aturan tentang penyajian bukti yang berulang atau penambahan (yang sesungguhnya hanya membuktikan poin yang sama dengan cara yang berbeda), atau bukti yang cenderung jauh atau tidak terjangkau meski bukti tersebut relevan. Sebagai contoh, kehadiran secara fisik dari tersangka di dalam ruang komputer atau rekaman perpustakaan atau dekat dengan terminal komputer pada hari transaksi yang mencurgakan itu terjadi mungkin relevan dan material. Namun kehadiran seseorang dalam area tanpa komputer dari bangunan tersebut mungkin relevan, tapi tidak material.
3.
Kompeten
Kompetensi bukti berarti bahwa bukti tersebut cukup, memadai, dapat dipercaya dan relevan terhadap kasus, serta disajikan oleh saksi yang berkualitas dan berakal sehat (dan waras). Adanya karaktersitik yang membuat saksi layak secara hukum untuk memberikan testimoni atau kesaksian di pengadilan memiliki arti yang sama dengan dokumen atau bukti tertulis lainnya. Namun kompetensi berbeda dengan kredibilitas. Kompetensi adalah pertanyaan-pertanyaan yang muncul sebelum kesaksian dari saksi dapat dipertimbangkan, sedangkan kredibilitas adalah kejujuran dari saksi tersebut. Kompetensi berkaitan dengan penilaian hakim, sedangkan kredibilitas adalah berkaitan dengan keputusan juri. Aturan kompetensi juga memerintahkan bahwa kesimpulan atau opini dari saksi nonahli dalam hal yang membutuhkan keahlian teknis dapat dikecualikan. Sebagai contoh, 6
kesaksian dari petugas yang melakukan investigasi pada penyebab kematian mungkin tidak layak atau kompeten dalam pengadilan pembunuhan, karena petugas tersebut tidak memiliki kemampuan pendidikan, pembelajaran atau pengalaman untuk membuat penilaian tersebut. Namun kesaksian petugas bahwa “tidak ada tanda-tanda kehidupan yang terlihat” ketika mayat tersebut ditemukan mungkin dapat diterima. Contoh tersebut menunjukkan perbedaan antara CPA atau akuntan forensik yang berperan sebagai “saksi fakta” dengan “saksi ahli”. Ketika memberikan kesaksian tentang fakta-fakta yang diamati, seorang saksi mata atau saksi lainnya dapat bersaksi sesuai dengan fakta yang ada. Namun jika seseorang memberikan opini (misalnya penyebab kematian), maka orang tersebut sedang berperan sebagai saksi ahli. Peran saksi ahli mengandung lebih banyak ketelitian (detail), kriteria, dan kredensial dari pada saksi fakta. Ketika seorang saksi ahli dipanggil untuk bersaksi, suatu dasar atau fondasi harus ditetapkan sebelum kesaksian diterima atau dipersilakan. Melandaskan fondasi berarti bahwa keahlian saksi harus ditetapkan sebelum opini profesional diberikan. Memutuskan bahwa saksi merupakan ahli berarti menunjukkan pada hakim bahwa dengan pendidikan formal, pembelajaran lanjutan, dan pengalaman, saksi memiliki pengetahuan yang luas mengenai topik yang akan diusung oleh kesaksiannya. Kesaksian ahli adalah pengecualian untuk aturan hearsay.
4.
Aturan H earsay atau Kesaksian yang Didengar dari Orang lain
Aturan hearsay (desas-desus) didasarkan pada teori bahwa kesaksian yang hanya mengulang apa yang dikatakan orang lain tidak boleh diterima karena adanya kemungkinan penyimpangan atau kesalahpahaman. Apalagi, orang yang sebenarnya membuat pernyataan tidak dapat dilakukan pemeriksaan silang dan tidak disumpah sebagai saksi. Secara umum, saksi dapat bersaksi hanya ketika ia memiliki pengetahuan pribadi dan langsung terhadap hal yang dikatakan, dan tidak memberikan kesimpulan atau pendapat. Tetapi ada beberapa kesempatan atau pengecualian ketika bukti hearsay diterima. Beberapa contoh adalah: a.
Deklarasi kematian, baik lisan maupun tulisan
b.
Pengakuan yang valid
c.
Pengakuan yang dilakukan secara diam-diam
d.
Catatan publik yang tidak membutuhkan pendapat tetapi sudah jelas sesuai fakta
e.
Pernyataan res gestae — penjelasan spontan, jika diucapkan sebagai bagian dari tindakan kriminal atau diikuti langsung oleh tindakan kriminal setelahnya 7
5.
f.
Kesaksian sebelumnya yang diberikan di bawah sumpah
g.
Entri bisnis yang dibuat dalam bisnis normal
Bukti Primer
Fotokopi dokumen bisnis asli dan tulisan lain serta cetakan lainnya sering dibuat untuk menyimpan bukti. Penyelidik menggunakan barang-barang cetakan tersebut sehingga catatan asli yang diperlukan untuk menjalankan bisnis tidak dihapus, dan untuk memastikan bahwa jika terjadi kerusakan yang tidak disengaja pada dokumen asli, maka salinan asli yang sah dari dokumen tersebut masih tersedia sebagai bukti. Penyelidik juga dapat menggunakan salinan resmi untuk mendokumentasikan laporan kasus mereka. Namun, di persidangan, dokumen asli — jika masih tersedia — adalah bukti terbaik dan harus disajikan. Bukti terbaik dalam konteks ini berarti bukti utama, bukan sekunder (bukti asli, bukan substitusi), bukti tertinggi dari suatu kasus. Instrumen tertulis selalu dianggap sebagai bukti utama atau terbaik dari keberadaan dan isinya; sedangkan salinan, at au mengumpulkan saksi, akan menjadi bukti sekunder. Selanjutnya, isi dokumen harus dibuktikan dengan dokumen itu sendiri.
6.
Bukti Sekunder
Untuk menyajikan bukti sekunder di pengadilan, seseorang harus memberikan penjelasan yang memuaskan dan tidak ada jalan lain untuk mendapatkan dokumen asli. Bukti sekunder tidak terbatas pada fotokopi dokumen, tapi juga kesaksian saksi atau transkrip isi dokumen. Meski pengadilan federal tidak memberikan preferensi untuk jenis bukti sekunder, sebagian besar yurisdiksi tidak memberikan pilihan. Karena mayoritas berkuasa, maka kesaksian (bukti parol [kata-dari-mulut] tidak akan diizinkan untuk membuktikan isi dokumen jika ada bukti dokumenter sekunder yang tersedia untuk membuktikan isinya. Namun, sebelum bukti sekunder dari dokumen asli dapat disajikan di pengadilan, pihak yang akan menyajikannya harus telah menggunakan semua cara yang masuk akal untuk mendapatkan bukti yang asli. Sekali lagi, opsi ini adalah masalah yang harus diputuskan oleh pengadilan. Ketika dokumen asli telah dihancurkan oleh pihak yang berusaha membuktikan isinya, bukti sekunder akan diterima jika penghancuran itu dalam kegiatan bisnis biasa, atau karena kesalahan, atau bahkan disengaja, asalkan itu tidak dilakukan untuk tujuan penipuan.
8
H earsay E xceptions — Pengecualian Pernyataan yang Didengar dari Orang Lain Dalam makna yang ideal, persidangan pengadilan dilakukan untuk mencari kebenaran. Namun, dalam memperoleh bukti tersebut dilakukan dengan cara yang berbeda-beda berbeda-beda. Beberapa cara dilakukan secara legal, sedangkan cara lain dilakukan secara ilegal; misalnya, penyelidik mungkin melanggar jaminan konstitusional terhadap pencarian dan penyitaan yang tidak masuk akal, pengakuan paksa, atau kegagalan diwakili oleh pengacara. Oleh karena itu, secara realistis, pengadilan dapat menghasilkan hanya ukuran kebenaran dan bukan kebenaran absolut dalam pengertian filosofis. Namun dalam tradisi Anglo-Amerika, para saksi selain para ahli umumnya tidak dapat bersaksi tentang probabilitas, pendapat, asumsi, kesan, generalisasi, atau kesimpulan (hal-hal yang terbatas pada saksi ahli), tetapi hanya untuk hal-hal, orang-orang, dan peristiwa yang telah mereka lihat, rasakan secara emosi, mereka rasakan secara inderawi, atau didengar secara langsung (misalnya saksi fakta). Hal-hal itu harus relevan secara hukum dan logis. Relevansi logis berarti bahwa bukti yang ditawarkan harus cenderung membuktikan atau menyangkal fakta konsekuensi. Bahkan jika secara logis relevan, pengadilan dapat mengecualikan bukti jika itu mungkin untuk mengobarkan atau membingungkan juri atau mengkonsumsi terlalu banyak waktu. Kesaksian tentang kemungkinan kesalahan secara statistik dianggap terlalu merugikan dan tidak dapat diandalkan untuk diterima. Kesaksian mengenai karakter dan reputasi terdakwa dapat diterima dalam kondisi tertentu, meskipun mungkin melanggar aturan hearsay. Kesaksian seperti itu dapat diterima ketika terdakwa mengalami kondisi mental atau kompetensi hukum yang dipertanyakan. Bukti kejahatan lain yang dilakukan oleh terdakwa secara umum tidak dapat digunakan untuk membuktikan karakter. Bukti itu mungkin dapat diterima untuk tujuan lain, seperti bukti motif, peluang, atau niat untuk melakukan suatu tindakan. Kredibilitas saksi juga dapat dipertanyakan ketika saksi dinyatakan bersalah atas kejahatan serius (dapat dihukum mati atau dipenjara selama lebih dari setahun) atau karena kejahatan seperti pencurian, ketidakjujuran, atau pernyataan palsu. Keyakinan seperti itu seharusnya terjadi dalam beberapa tahun terakhir — biasanya dalam 10 tahun terakhir. Bukti bisa berupa bukti langsung atau tidak langsung. Bukti langsung membuktikan fakta secara langsung; jika bukti itu diyakini, maka sudah dapat dibentuk suatu fakta dari bukti tersebut. Bukti tidak langsung membuktikan fakta yang diinginkan secara tidak langsung dan bergantung pada kekuatan kesimpulan yang ditimbulkan oleh bukti. Misalnya, 9
surat yang ditujukan, dicap, dan dikirim dengan benar diasumsikan (disimpulkan) telah diterima oleh penerima. Kesaksian bahwa surat itu begitu diperhatikan, dicap, dan dikirim menimbulkan inferensi yang diterima. Kesimpulannya dapat dibantah oleh kesaksian bahwa itu tidak benar-benar diterima. Aturan bukti terbaik berkaitan dengan dokumen tertulis yang disodorkan sebagai bukti. Aturan mengharuskan asli, jika tersedia, dan bukan salinannya, disajikan di persidangan. Jika dokumen asli dihancurkan atau berada di tangan pihak lawan dan tidak tunduk pada proses hukum oleh surat perintah penggeledahan atau panggilan pengadilan, salinan yang terautentikasi dapat diganti. Catatan dan ocuments bisnis yang disimpan dalam kegiatan bisnis biasa dapat disajikan sebagai bukti juga, bahkan jika orang yang membuat entri atau menyiapkan dokumen tidak tersedia.
10
BAB V ATURAN BUKTI LAINNYA
Kriteria Lain Mengenai Bukti Berkualitas yang Dapat Meyakinkan
Selain memperoleh bukti forensik, aspek bukti yang paling penting adalah upaya untuk mengemukakan bukti itu di pengadilan dengan baik. Hal ini dapat dibantu atau diberatkan oleh chain of custody (CoC). Barang bukti lainnya juga mempengaruhi kualitas bukti dalam investigasi kecurangan agar efektif, yaitu forensik. 1.
Chain of Custody (CoC) — Pengelolaan Barang Bukti Yang Sudah Diperoleh CoC adalah kronologis pendokumentasian barang bukti, dari mulai di temukan di TKP hingga penduplikasian dan penyimpanannya baik secara fisik ataupun digital. Dengan kata lain, CoC adalah sebuah dokumentasi dari barang bukti yang harus dijaga tingkat keasliannya sesuai dengan kondisi ketika pertama kali ditemukan. Ketika bukti dalam bentuk dokumen atau benda (yang berarti) disita di TKP, atau sebagai akibat dari surat perintah pemeriksaan (untuk dokumen), atau yang ditemukan
dalam
proses
pemeriksaan
dan
penyelidikan,
harus
ditandai,
diidentifikasi, diinventarisasi, dan dipelihara untuk mempertahankan kondisi aslinya dan untuk membangun chain of custody yang jelas sampai diperkenalkan pada
persidangan.
Jika
ada
permasalahan
dalam
kepemilikan
atau
pendokumentasian barang bukti, bukti dapat ditentang pada persidangan atas teori bahwa penulisan atau objek yang diperkenalkan mungkin bukan yang asli atau tidak dalam kondisi aslinya dan oleh karena itu keasliannya diragukan. Agar dokumen yang disita dapat diterima sebagai bukti, perlu untuk membuktikan bahwa dokumen tersebut sama dengan dokumen yang disita dan berada dalam kondisi yang sama seperti saat disita. Karena beberapa orang dapat memanipulasinya dalam jangka waktu antara pada saat penyitaan dan pemeriksaan bukti dipersidangan, harus cukup ditandai pada saat penyitaan untuk identifikasi kemudian, dan pemeliharaannya harus ditunjukkan sejak saat itu sampai diperkenalkan di pengadilan. 11
Penyidik atau auditor yang menyita atau mengamankan dokumen harus mengidentifikasi dokumen-dokumen tersebut secara cepat dan memberikan tanda tertentu, sehingga mereka dapat memberikan keterangan bahwa dokumendokumen tersebut adalah dokumen-dokumen yang disita dan juga masih dalam kondisi yang sama seperti saat dilakukan penyitaan. Penyelidik bisa saja, misalnya, menulis inisial dan tanggal penyitaan di margin (pinggiran atau garis tepi), di sudut, atau di beberapa tempat lain yang tidak mencolok di depan atau belakang setiap dokumen. Jika keadaan menunjukkan, bahwa pemberian tanda tersebut dapat membuat pembantahan dokumen tersebut dengan alasan bahwa telah dirusak atau tidak dalam kondisi yang sama seperti ketika disita, para penyeledik atau auditor dapat membuat salinan untuk perbandingan atau untuk digunakan sebagai barang bukti dalam laporan, memasukkan dokumen ke dalam amplop, menulis deskripsi dan yang lain memberikan identifikasi informasi di bagian depan amplop, dan menyegelnya. Teknik-teknik ini harus selalu diterapkan oleh para penyidik atau auditor penerima dokumen asli yang dapat digunakan sebagai bukti dalam pengadilan. Jika auditor membuat salinan bukti dokumenter, mereka harus mengambil langkahlangkah untuk menjaga keaslian bukti-bukti yang didapatkan. Jika bukti-bukti tersebut diperlukan sebagi bukti sekunder, dan jika dokumen asli tidak tersedia untuk persidangan.
2.
Komunikasi Istimewa
Aturan yang mendukung komunikasi istimewa didasarkan pada keyakinan bahwa perlu menjaga kerahasiaan komunikasi tertentu. Ini hanya mencakup komunikasi yang merupakan hasil dari hubungan khusus yang dilindungi. Alasan dasar dibalik komunikasi yang terlindungi ini adalah keyakinan bahwa perlindungan hubungan tertentu
lebih
penting bagi
masyarakat
daripada
kemungkinan kerugian akibat hilangnya bukti tersebut. Yurisdiksi hukum berbeda beda mengenai komunikasi apa yang dilindungi. Beberapa hubungan istimewa itu adalah: a.
Pengacara – Klien
b.
Suami – Isteri 12
c.
Dokter – Pasien
d.
Pendeta – Jemaat
e.
Petugas penegak hukum – Informan
Saat berhadapan dengan komunikasi istimewa, perhatikan prinsip-prinsip dasar berikut ini: a.
Hanya pemegang hak istimewa, atau seseorang yang diberi wewenang oleh pemegangnya, dapat menyatakan hak istimewa tersebut.
b.
Jika pemegangnya tidak menyatakannya setelah mendapat pemberitahuan dan kesempatan untuk menyatakannya, hak istimewa tersebut akan dihapuskan.
c.
Hak istimewa juga dapat diabaikan jika pemegangnya mengungkapkan bagian penting dari komunikasi kepada pihak yang tidak berada dalam hubungan yang dilindungi.
d.
Komunikasi, agar berada dalam hak istimewa, harus cukup terkait dengan hubungan yang dilindungi (misalnya, komunikasi antara pengacara dan klien harus terkait dengan konsultasi hukum. Di bawah common law seseorang tidak dapat bersaksi melawan pasangannya
dalam pengadilan pidana. Ketika mereka sudah menikah, tidak dapat melepaskan ketidakmampuan testimonial ini. Percakapan dalam kehadiran pihak ketiga yang diketahui tidak terlindungi. Komunikasi terlindungi adalah kenyataan yang sebenarnya bersifat rahasia atau disebabkan oleh pernikahan atau hubungan lainnya. Percakapan biasa yang berkaitan dengan hal-hal yang tidak dianggap sebagai rahasia tidak berada dalam lingkup hak istimewa. Hukum negara yang berbeda sangat bervariasi dalam penerapan prinsip prinsip komunikasi istimewa. Bergantung pada hubungan yang dilindungi, peraturan yang berbeda mungkin berlaku mengenai komunikasi apa yang dilindungi, metode pengabaian, dan durasi hak istimewa. Kapan pun seorang auditor atau penyidik dihadapkan pada kebutuhan untuk menggunakan bukti yang terdiri dari komunikasi antara pihak-pihak dalam salah satu hubungan ini, dia harus berkonsultasi dengan seorang pengacara, terutama jika bukti tersebut sangat penting untuk kasus ini.
13
3.
Interogasi atau Wawancara
Kejahatan adalah risiko bagi korban dan pelaku. Risiko korban adalah hilangnya hal-hal yang berharga, seperi hidup, anggota badan, atau harta benda. Sedangkan risiko pelaku adalah kehilangan kebebasan, status sosial, dan kemungkinan hidup, anggota badan, dan juga harta benda. Tapi penjahat berniat untuk mendapatkan sesuatu sebagai akibat dari kejahatan, sesuatu yang tidak mereka sebutkan secara legal. Jadi penjahat, yang paling rasional setidaknya, harus memperhatikan diri mereka sendiri dengan mempertimbangkan risiko penemuan, ketakutan, dan keyakinan terhadap keuntungan yang diinginkan. Jika risiko penemuan dan jumlah keuntungan yang mungkin besar, maka semakin banyak waktu dan pemikiran yang harus dihabiskan untuk merencanakan, menyamar, mengejutkan, melarikan diri, dan mungkin menutupi kejahatan. Keuntungan bagi aparat kepolisian, yaitu penjahat cenderung bertindak tergesagesa sehingga menyebabkan rencana mereka sering kacau. Mereka tidak mengantisipasi segala hal yang bisa terjadi. Mereka biasanya membela diri atas kesalahan mereka, atau alibi. '' Bukan aku; Saya ada di tempat lain. '' '' Iblis membuat saya melakukannya. '' '' Saya miskin dan salah paham, korban penindasan. '' '' Dia [korban] memintanya datang. '' '' Saya pasti gila karena melakukan apa yang saya lakukan. '' Rasionalisasi ini adalah apa yang dimaksudkan oleh interogasi polisi untuk dipilah. Di sini sekali lagi, intuisi mungkin memainkan peran penting. Penjahat biasanya memberikan alasan atau pembenaran atas apa yang mereka lakukan. Terkadang mereka berpura-pura tidak tahu atau sakit. Terkadang mereka bahkan berpura-pura amnesia. Interogasi dapat terpotong melalui pertahanan, alasan, dan rasionalisasi ini. Selama interogasi, penting untuk tetap sensitif tidak hanya kecurigaan terhadap apa yang dikatakan, namun juga mengenai cara mengatakannya, dan untuk mengamati ekspresi wajah, gerakan tubuh dan mata, pilihan kata, dan postur tubuh. Pagar lisan dengan tersangka tidak membantu. Menantang komentar tersangka berdasarkan logika murni dan rasionalitas tidak membujuk sebagian besar penjahat untuk mengakuinya. Tersangka bisa tinggal dengan alasan yang 14
lemah selamanya dan hampir percaya setelah beberapa saat. Alasan mereka bertahan dalam berbohong adalah bahwa kejahatan mereka tidak dilakukan karena logika, tapi terutama karena alasan emosional, seperti nafsu, keserakahan, kemarahan, atau rasa iri. Jadi saat menginterogasi tersangka, seseorang harus siap menghadapi emosi mereka. '' Mengapa Anda melakukannya? '' Bukan pertanyaan yang sangat bagus sejak dini. Ini menyerukan untuk intelektualisasi oleh tersangka, atau merasionalisasi, dan bukan respons emosional. Pilihan yang lebih baik adalah mengajukan pertanyaan yang sama sekali tidak sampai ke masalah utama (buruan utama) kejahatan-pertanyaan tentang perasaan dan emosi tersangka: “Bagaimana perasaanmu?” “Bolehkah saya memberikan sesuatu untuk anda?” “Apakah Anda merasa ingin berbicara?” “Dapatkah saya memanggil seseorang untuk Anda?” Tujuan dari pertanyaan-pertanyaan yang tidak berbahaya ini adalah untuk membangun hubungan baik, pertama pada tingkat emosional dan kemudian pada tingkat rasional. Tidak semua tersangka kriminal merasa terdorong untuk membicarakan kejahatan mereka, tapi kebanyakan, jika seorang interogator dapat menjalin hubungan baik dengan mereka. Dan hubungan baik bisa terjalin bahkan setelah mereka diberi tahu hak mereka untuk tetap diam. Tersangka yang ditangkap, atau yang hanya diwawancarai secara informal sebelum ditangkap, berada dalam tekanan emosional yang hebat. Ketakutan akan hukuman dan kurungan penjara semakin parah. Ketakutan ini harus diatasi sebelum percakapan yang bagus bisa tercapai. Nada dan sikap interogator / pewawancara harus meyakinkan, jika tidak ramah. Intuisi memasuki proses ini hanya jika penyidik tetap tenang, tidak memihak, dan peka terhadap kebutuhan emosional dan kekhawatiran tersangka atau saksi. Intuisi tidak bekerja ketika pikiran penyidik itu berantakan dengan fakta-fakta yang terisolasi atau daftar pertanyaan tentang rincian kejahatan. Begitu peneliti telah mengetahui sesuatu tentang sejarah, keluarga, teman, dan perasaan tersangka, mereka dapat memahami teknik interogasi yang paling tepat. Jika tersangka tetap dingin, menyendiri, dan tidak komunikatif sementara pertanyaan tidak berbahaya diajukan, dia akan menjadi sama saat pertanyaan 15
menjadi lebih serius. Dalam kasus seperti itu, penyidik membutuhkan perintah dari semua fakta kejahatan yang diketahui untuk mendapatkan pengakuan. Jika tersangka menanggapi secara terbuka tawaran penyidik tentang kebaikan dan kesopanan, yang terakhir dapat dipimpin oleh pertanyaan umum. Penyidik akan membiarkan tersangka menggambarkan kejahatan tersebut dan tidak menghalangi pembalasan, tuduhan, atau pertengkaran lisan. Tersangka harus diijinkan menceritakan kisahnya dengan caranya sendiri, bahkan jika penyidik mengetahui bahwa beberapa fakta adalah tidak benar. Penyidik selalu bisa kembali dan meminta klarifikasi dan kemudian membandingkan konflik dengan kesaksian saksi atau konfederasi. Pentingnya pengakuan dan penerimaan dalam menyelesaikan kejahatan seharusnya tidak terlalu penting. Tanpa pengakuan dan penerimaan semacam itu, banyak kejahatan tidak akan pernah bisa dipecahkan. Dalam beberapa kasus penipuan, buku dan catatan akuntansi tidak memberikan cukup bukti untuk menghukum
tersangka.
Jadi
pengakuan
dari
pencuri,
penggusuran,
atau
penggelapan membuat penuntutan penipuan menjadi lebih mudah. Pengakuan yang diberikan secara bebas sering merinci skema ini, akun-akun tersebut dimanipulasi, dan kegunaan yang digunakan dana yang diambil tanpa izin tersebut. Bukti yang dikumpulkan setelah sebuah pengakuan dapat menguatkan kejahatan tersebut. Sebuah pengakuan saja tidak akan mendukung sebuah keputusan kriminal, jadi auditor harus mengambil dari data yang tersedia di dalam sistem akuntansi dan dari sumber pihak ketiga cukup menguatkan bukti untuk mendukung pengakuan tersebut.
4.
Penyerahan Diri dan Pengakuan
Tujuan seorang akuntan forensik dalam penyelidikan fraud akhirnya mendapatkan pengakuan tertulis oleh fraudster, jika terjadi fraud. Tujuannya adalah mengapa proses penyelidikan kecurangan sengaja menghindari menghadapi tersangka sampai tahap terakhir pengumpulan bukti. Fase terakhir mungkin termasuk wawancara, namun proses terakhir dalam penyelidikan adalah mewawancarai fraudster . Pada saat itu, akuntan forensik telah mengumpulkan bukti forensik yang cukup untuk mengidentifikasi fraudster tersebut dan berhasil 16
menyelesaikan kasus tersebut. Wawancara mulai jauh dari “target”, kemudian secara bertahap akuntan forensik mewawancarai orang-orang yang dekat dengan tersangka. Ketika akhirnya tiba saatnya untuk mewawancarai target, tujuan dari wawancara tersebut adalah untuk mendapatkan pengakuan yang ditandatangani dan dengan demikian disebut sebagai wawancara.
17
DAFTAR PUSTAKA
Singleton, TM and Singleton, AJ, 2010, Fraud Auditing and Forensic Accounting , 4th ed., New Jersey : John Wiley & Sons, Inc. Republik Indonesia.1981. Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana. Jakarta.
18