RESUME DISERTASI YUDI LATIF “THE MUSLIM INTELLIGENTSIA OF INDONESIA: A Genealogy of lts Emergence in the 20 Century ” Disusun Oleh: Pepen Irpan Fauzan (31161200000063) A. Pengantar Disertasi Yudi Latif—yang berjudul The Muslim Intelligentsia Of Indonesia: A Indonesia: A Genealogy of lts Emergence In The 20 Century—ini adalah karya sosiologi-politik, sekaligus karya sejarah intelektual. Perhatian Yudi Latif memang hendak menggabungkan pendekatan diakronik dengan sinkronik dalam membahas perkembangan kaum intelligentsia muslim Indonesia, bahwa diachronic and synchronic presentation of the Muslim intelligentsia 1 deserves serious academic intention . Oleh karena itulah, Yudi Latif sendiri menegaskan karyanya sebagai bagin dari kajian sejarah sosial-intelektual: “The genealogy of the Indonesian Muslim intelligentsia can be incorporated 2 academically into the tield of the 'social history oi intellectuals .” Hal ini memang menjadi titik fokus kajian sejarah intelektual, yang didefinisikan Kuntowijoyo sebagai “the study of ideas in historical events and 3 process.” Aspek yang sangat menarik bagi sejarah intelektual ialah dialektika yang terjadi antara ideologi dan praktik-penghayatan oleh penganutnya. Seberapa jauh formasi ide atau ideologi ditentukan atau dipengaruhi oleh faktor sosiologis pada aktor atau pelaku yang memilikinya. Struktur pemikiran khususnya dan struktur kesadaran pada umumnya perlu dipahami dalam hubungan dengan latar belakang sosio-kultural masyarakat masyarakat di mana si pemikir itu hidup, telah secara khusus dipelajari dalam sosiologi pengetahuan. Merupakan hal yang wajar apabila sejarah intelektual juga mencoba 4 mengungkap latar-belakang sosial-kultural yang mempengaruhinya. Disertasi ini terfokus pada “inteligensia” Muslim Indonesia. Yudi menyebutnya, “the Indonesian intelligentsia has been the ruling stratum of 5 .” Argumennya adalah bahwa stratum masyarakat Muslim Indonesian society .”
1
Yudi Latif. The Muslim Intelligentsia of Indonesia: A Genealogy of lts Emergence In The 20 Century. Canberra: Australian National University, 2004. Hlm. 3. 2 Yudi Latif, The Muslim Intelligentsia… , hlm. 44. 3 Lihat Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah Edisi Kedua , (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003). 4 Nor Huda. Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia . (Yogyakarta: Rajagrafindo Persada, 2015). Sebagai perbandingan umum, lihat Sartono Kartodirjo. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993). 5 Yudi Latif, The Muslim Intelligentsia… , hlm. i.
1
ini, yaitu kaum intelligentsia, telah menyediakan wacana Islam kritis dalam ruang publik yang memungkinkan masyarakat Muslim untuk mendefinisikan diri mereka sendiri dan memberikan arah kepada bangsa Indonesia. Kajian ini menawarkan sebuah persepsi baru terhadap sejarah Indonesia, dengan memperhitungkan baik sentralitas ide maupun peran figur-figur kunci di Indonesia yang telah menghidupkan diskursus intelektual yang berlangsung: “The main concern of the thesis is with the genealogy of the collective entity of Muslim 'intelligentsia'. Even so, attention will also be given to the role of individual 'intellectuals' as formulators and articulators of the Muslim 6 intelligentsia's collective identities and ideologies. ” Sebagai sebuah kajian tentang sejarah intelektual, disertasi ini bertitik tolak dari abad ke-19, memotret konteks kolonial yang di dalamnya individuindividu intelektual Muslim mendapatkan pendidikan dan menciptakan ruang aktualisasi bagi diri mereka sendiri di tengah masyarakat kolonial. Pembahasan kemudian bergerak ke abad 20 dengan kemunculan “inteligensia” dan pelbagai pergulatannya dalam mencari pengakuan dan otoritas politik. Disertasi ini memetakan peralihan antargenerasi yang identifikasi populernya, di setiap periode, memberikan pengertian tentang keterlibatan historis dari horizon intelektual mereka. Dari kaoem moeda, bangsawan pemikir, pemoeda peladjar, hingga sarjana dan cendekiawan Muslim Indonesia dari generasi ke generasi bergumul dengan persoalan bagaimana menentukan posisi mereka di tengah arena nasional dan 7 merespons isu-isu penting di dunia Muslim. Disinilah, menurut penulis, letak signifikansi karya disertasi Yudi Latif ini. Dengan mempertimbangkan fondasi-fondasi dari diskursus publik pada abad ke-19 dan melacak perkembangannya dari abad ke-20 hingga sekarang, disertasi ini menjadi kunci penting bagi diskusi mutakhir tentang peran Islam pada abad ke-21. Lebih dari sekedar tinjauan atas masa lalu, disertasi ini merupakan titik tolak untuk memikirkan masa depan. B. Pendekatan dan Metodologi Penelitian Dalam Disertasi Yudi Latif Sebagai kajian sosilogi-politik sekaligus sejarah intelektual, kajian ini 8 menggunakan “a dynamic, interactive and intertextual approach ”. 6
Lihat bagian Abstract . Bandingkan dengan Howard M. Federspiel. Indonesian Muslim Intellectual of The 20th Century. Singapore: ISEAS, 2006. Dalam bukunya ini, Federspiel juga menyoroti peran kaum intellectual muslim, khususnya dalam memberikan pencerahan terhadap proses perubahan social yang terjadi pada abad ke-20. 8 Sebagai karya sejarah intelektual, ditegaskan bahwa: This thesis will examine the historically structured intellectual traditions and identities and the possibilities of action and the desires of individual or collective agencies to reproduce and reformulate these 7
2
Pendekatan dinamis dari studi ini terletak dalam upayanya untuk menempatkan kondisi-kondisi sinkronik dalam sebuah konteks diakronik. Pendekatan interaktif dari studi ini terletak dalam usahanya untuk melukiskan gerak perkembangan inteligensia Muslim dan kuasa sebagai akibat dari pergulatan dinamis antara masa lalu dan masa kini, antar dan di dalam beragam tradisi politik dan intelektual, serta antara beragam arena relasi kuasa, yang memanjang dari pertengahan abad ke-19 hingga akhir abad ke20: The aim of this approach is to sec continuity and change in the development of Muslim intelligentsia and power, especially in the performance of its education, associations, discursive practices, identities, ideologies and political achievement, within the time concept of the longue durce; that is from the inception of the Western education system in the East 9 Indies in the second half of the 19th century until the end of the 20th century. Disertasi ini memberikan perhatian pada jaringan-jaringan masa lalu (vertical networks) dari ingatan-ingatan dan tradisi-tradisi politik dan intelektual lintas generasi, juga pada interpretasi dan ketegangan hubungan antara dan di dalam beragam tradisi politik dan intelektual. Selain itu, perhatian disertasi ini juga diberikan pada lingkungan internasional, struktur peluang politik (political opportunity structure), faktor-faktor ekonomi, pendidikan, praktik-praktik diskursif (discursive practices), ruang publik (public sphere) dan ‘permainan permainan kuasa’ (power games) sebagai manifestasi dari pertarungan politik yang nyata.
Gambar Model Pendekatan Interaktif
10
traditions and identities, within specific conditions of the public sphere . Lihat Yudi Latif, The Muslim Intelligentsia… , hlm. 37. 9 Yudi Latif. The Muslim Intelligentsia…, hlm. 37. 10 Yudi Latif. The Muslim Intelligentsia… , hlm. 44.
3
Dengan menggunakan konsep longue durée, studi penelitian ini juga mengikuti penekanan ala Braudelian mengenai pentingnya sebuah 11 pendekatan interdisipliner. Dalam pandangan Braudel, tak ada disiplin ilmu tertentu yang memiliki hak monopoli terhadap kebenaran tentang eksistensi manusia atau alam. Dia berargumen bahwa semua ilmu sosial haruslah dikerahkan secara bersama-sama karena adalah sesuatu yang hakiki bahwa sejarah yang berlangsung dalam kerangka longue durée itu sesungguhnya 12 bersifat banyak-segi. Pendekatan interdisipliner dari studi ini akan didasarkan secara umum pada sosiologi (terutama sosiologi pengetahuan dan sosiologi politik, termasuk juga sosiologi gerakan-gerakan sosial), cultural studies, kajian postkolonial, sosio-linguistik, dan analisis wacana ( discourse analysis). Sosiologi pengetahuan yang baru, karena perhatiannya yang besar terhadap mikrososiologi, dengan kehidupan intelektual sehari-hari dari kelompokkelompok kecil, lingkaran-lingkaran, jaringan-jaringan, dan komunitas epistemik, berfaedah penting untuk memahami unit-unit fundamental yang 13 membentuk dan menyebarluaskan pengetahuan dan ideologi. Sebagai kajian sosiologi politik yang baru, penekanan disertasinya terletak pada pertarungan relasi sosial dalam medan kebudayaan, yaitu dalam kehidupan sehari-hari, dalam media, dan dalam praktik-praktik institusional, selain juga perhatian tradisionalnya terhadap relasi-relasi antara masyarakat dan negara, membantu memahami politik sebagai sebuah ruang kemungkinan yang ada dalam setiap aspek kehidupan sosial. Politik dalam 11
Dalam disiplin sejarah, ini yang kemudian berkembang menjadi Mazhab Annales di Prancis. Sebagai contoh pada kajian Indonesia, lihat buku 3 jilid karya monemenlat Dennys Lombard. Nusa Jawa Silang Budaya . Yang membedakan studi Dennys Lombard dengan Yudi Latif adalah penekanan pada panggung sejarah yang bersifat geografis. Dalm konteks inilah, ada satu jilid khusus pada Lombard yang membahas setting geografis yang menjadi dasar terjadinya peristiwa sosial, politik, pendidikan dan budaya. Dalam konteks ini, misalnya, struktur masyarakat Indonesia terbelah menjadi dua: antara masyarakat pesisir dengan masyarakat pedalaman. Penjelasan lebih lanjut, lihat Dennys Lombard. Nusa Jawa Silang Budaya . Jakarta: Gramedia, 2009. 12 Dalam usaha untuk menempatkan kondisi-kondisi sinkronik dalam sebuah konteks diakronik, susunan penulisan sejarah ini didasarkan pada kronologi. Namun, untuk menghadirkan suatu pendekatan interaktif, metode kronologis ini dikombinasikan dengan penyusunan penulisan secara tematik. Alhasil, ini merupakan penulisan kronologis berdasarkan sub-sub topik dari setiap bab. Jadi, setiap sub-topik mungkin saja akan kembali pada awal kronologi. Sub-sub topic dari setiap bab akan meliputi bahasan tentang setting politik dan ekonomi sebagai latar belakang, pendidikan, praktik-praktik diskursif, ruang publik, permainan-permainan kuasa, serta kaitan antargenerasi dalam tradisi-tradisi intelektual Muslim. Lihat Yudi Latif, The Muslim Intelligentsia… , hlm. 42. 13 Yudi Latif, The Muslim Intelligentsia… , hlm. 45.
4
artian ini bisa dilihat sebagai sesuatu yang bersifat kultural. Sosiologi gerakangerakan sosial karena perhatiannya pada jaringan interaksi-interaksi informal di antara beragam individu, kelompok dan/atau organisasi berguna untuk memahami proses penciptaan dan reproduksi dari seperangkat keyakinan dan rasa kepemilikan bersama. Pendekatan cultural studies dengan perhatiannya pada pembentukan, interpenetrasi, dan transformasi budaya dan identitas memberikan suatu wawasan yang mendalam mengenai proses penciptaan dan perubahan dalam identitas-identitas individu dan kelompok Muslim. Studi post-kolonial sendiri dipergunakan karena memberikan suatu wawasan mengenai implikasi implikasi jangka panjang dari hirarki pengetahuan yang bersifat kolonial, serta sisa-sisa ingatan yang tersubordinasikan bagi gerak perkembangan inteligensia Muslim. Sosio-linguistik berguna untuk memahami kondisi spesifik dari realitas sosial dan transformasi bahasa, atau dengan kata lain, bahasa dalam dimensidimensi sosialnya yang merefleksikan dan mentransformasikan kepentingankepentingan kelas, institusi, dan kelompok. Yang terakhir, analisis wacana penting untuk mengidentifikasi pergulatan kuasa setelah dan dalam, dan efek-efek konstruktifnya terhadap identitas-identitas sosial, relasirelasi sosial dan ideologi-ideologi inteligensia Muslim. Mengenai pengumpulan data, data primer akan dieksplorasi manakala data mengenai persoalan-persoalan tertentu tidak tersedia dalam sumber-sumber sekunder. Mengenai data primer, beberapa bahan dikumpulkan melalui penggunaan teknik survei dokumen dan database, 14 wawancara, kuesioner, dan pengamatan langsung. Semua data primer dan sekunder dianalisa dengan menggunakan metode-metode deskriptif-analitik yang dikombinasikan analisis wacana serta analisis ‘interdiskursif’ dan ‘ekstradiskursif’-nya Foucault yang telah dimodifikasi. Analisis yang pertama ialah analisis interdiskursif yang mempelajari perbedaan, dan seringkali pertentangan di antara wacana-wacana akademis: misalnya mengenai interdependensi antara perspektif-perspektif sejarah, sosiologi, politik, cultural studies, dan sosio-linguistik. Analisis yang kedua, yaitu analisis ekstradiskursif, mempelajari ketergantungan antara transformasitransformasi diskursif dengan transformasi-transformasi yang berlangsung di
14
Metode pengumpulan data yang dilakukan Yudi ini sedikit berbeda dengan metode sejarah pada umumnya yang menekankan pada pentingnya sumber primer yang berasal dari pelaku atau saksi peristiwa se-zaman. Lihat Louis Gottschalk. Mengerti Sejarah (Jakarta: UI Press, 1990).
5
luar diskursus, sebagai misal korelasi antara diskursus keagamaan dengan 15 segenap perubahan ekonomi, politik dan sosial. C. Ringkasan Disertasi Per Bab 1. Bab Pendahuluan ( Chapter Introduction) Disertasi Yudi Latif terdiri dari tujuh (7) bab. Bab pertama (introduction) berisi dasar-dasar analisis dalam penelitian (Foundations of Analysis); studi literature terdahulu (Previous Studies of the Indonesian (Muslim) Intelligentsia and Intellectuals ); serta pendekatan, tujuan dan metodologi yang dipergunakan dalam penelitiannya ( Alternative Approach, Aim and Methodology ). Bab ini juga ditambah terkait penjelasan ejaan ( A Note on the Spelling ). Yang terpenting pada bab satu ini adalah istilah-istilah kunci yang dijelaskan Yudi Latif, sebagai berikut: pertama, istilah “Genealogi”. Yudi Latif menggunakan istilah ‘genealogi’ di sini didefinisikan baik dalam artian konvensional maupun artian Foucauldian. Mengikuti studi-studi sejarah dan antropologi tradisional, ‘genealogi’ bisa didefinisikan sebagai studi mengenai evolusi dan jaringan dari sekelompok orang sepanjang beberapa generasi. Konsep genealogi ini berguna untuk memperhatikan gerak perkembangan diakronik dan rantai intelektual antar-generasi dari inteligensia Muslim 16 Indonesia. Dalam artian Foucauldian, ‘genealogi’ merupakan sejarah yang ditulis dalam terang penglihatan dan kepedulian (concerns) masa kini. Dalam pandangan Foucault, sejarah selalu ditulis dari perspektif masa kini. Sejarah merupakan pemenuhan atas sebuah kebutuhan masa kini. Fakta bahwa masa kini selalu berada dalam sebuah proses transformasi mengandung implikasi bahwa masa lalu haruslah terus-menerus dievaluasi-ulang. Dalam artian ini, ‘genealogi tak berpretensi untuk kembali ke masa lalu dengan tujuan untuk memulihkan sebuah kontinuitas yang tak terputus.’ Justru sebaliknya, ‘genealogi berusaha mengidentifikasi hal-hal yang menyempal (accidents), mengidentifikasi penyimpangan-penyimpangan yang kecil (the minute deviations)’. Genealogi memfokuskan diri pada retakan-retakan, pada kondisikondisi sinkronik dan pada tumpang tindihnya pengetahuan yang bersifat akademis dengan kenangan-kenangan yang bersifat local. ‘Genealogi’ dalam artian ini berguna untuk memperhatikan dinamika, transformasi dan 17 diskontinuitas dalam gerak perkembangan historis dari inteligensia Muslim.
15
Penjelasan selengkapnya, lihat Yudi Latif, The Muslim Intelligentsia… , hlm. 47-49. Yudi Latif, The Muslim Intelligentsia… , hlm. 47-49. 17 Yudi Latif, The Muslim Intelligentsia… , hlm. 4-5. 16
6
Kedua, istilah “Intelligentsia”. Yudi Latif membedakan antara konsep inteletual dengan intelligentsia: “In contrast to groups of intellectuals, the 18 intelligentsia appeared from its beginning as a social stratum .” Berbeda dengan intelektual, inteligensia tampil sejak awal sebagai sebuah strata sosial. Baginya, istilah ‘inteligensia’ merujuk pada sebuah strata sosial dan mengindikasikan suatu ‘respons kolektif’ dari identitas kolektif tertentu, sebagai refleski dari kesamaan kriteria pendidikan, psiko sosiografis, sistem nilai, habitus, dan ingatan kolektif yang sama. Di sisi lain, istilah ‘intelektual’ pada awalnya merujuk pada ‘individualitas’ dari para pemikir dan mengindikasikan respons individual dari para pemikir terhadap sebuah 19 ‘panggilan’ historis tertentu atau fungsi sosial tertentu. Ketiga, istilah Power atau Kuasa. Istilah ini Yudi Latif sandarkan pada ilmuwan kontemporer Michael Foucault. Mengikuti pandangan Foucault, istilah ‘kuasa’ (power) di sini merujuk pada ‘totalitas struktur tindakan’ untuk mengarahkan tindakan dari individu-individu yang merdeka. Kuasa dijalankan terhadap mereka yang berada dalam posisi untuk memilih, dan ditujukan untuk mempengaruhi pilihan mereka. Maka, kuasa melibatkan ‘permainanpermainan strategis di antara pihak-pihak yang memiliki kebebasan memilih’ 20 (strategic games between liberties). 2. Bab Pembentukan Kaum Inteligensia ( Chapter 2 The Formation of the Intelligentsia ) Bab 2 berisi penjelasan tentang The Formation of the Intelligentsia , terfokus pada terbentuknya generasi pertama dari inteligensia Hindia 21 Belanda. Meskipun penekanan diberikan kepada formasi inteligensia Hindia Belanda pada dua dekade pertama abad ke-20, bab ini mengamati akar-akar kemunculan tersebut dalam diperkenalkannya system pendidikan Barat dan ruang publik yang terpengaruh Barat pada era Liberal pada akhir abad ke-19. Saat melacak akar-akar pendidikan Barat dari inteligensia Hindia Belanda ini, bab ini mengarahkan perhatiannya pada proses modernisasi sekolah-sekolah Islam sebagai basis bagi terbentuknya inteligensia Muslim. Pembahasan kemudian diarahkan pada kemunculan inteligensia sebagai sebuah strata baru dari masyarakat Hindia Belanda bersama dengan ide-ide, identitas-identitas kolektif dan ruang publiknya. Pembahasan ini diikuti oleh pembahasan mengenai dampak dari perbedaan-perbedaan dalam relasi-relasi ekonomi dan orientasi-orientasi kultural dan ideologis terhadap fragmentasi awal inteligensia Hindia-Belanda. 18
Yudi Latif, Yudi Latif, 20 Yudi Latif, 21 Yudi Latif, 19
The Muslim Intelligentsia… , hlm. 11. The Muslim Intelligentsia… , hlm. 18. The Muslim Intelligentsia… , hlm. 25. The Muslim Intelligentsia… , hlm. 52-151.
7
Meski terdapat heterogenitas dan konflik, terdapat beberapa landasan bersama dan faktor pemersatu. Terdapat dua faktor yang bisa diidentifikasi. Yang pertama ialah adanya titik temu dalam agenda publik yang berpusat pada isu kemadjoean, kesejahteraan umum dan pentingnya persatuan nasional yang dibangun oleh wacana-wacana dalam pers vernakular. Yang kedua ialah adanya afiliasi (keanggotaan) berganda (multiple affiliations) yang berfungsi sebagai jembatan di antara perhimpunanperhimpunan. Yang terakhir, bab ini membahas munculnya proto-nasionalisme. Selain ada “bangsawan pikiran” yang berbeda dengan bangsawan tradisional, muncul juga kaoem moeda yang berorientasi sekuler, kaoem moeda yang berorientasi adat, dan kaoem moeda yang berorientasi Islam, yang berkontribusi dalam menciptakan ‘aneka suara’ ( poliphony ) dari ruang publik Hindia. Aneka suara tersebut menjadi semakin ramai karena peluberan pertarungan persaingan ideologi di negeri Belanda ke dalam ruang publik Hindia berbarengan dengan semakin menguatnya semangat orang-orang keturunan Cina untuk menegaskan identitas diri mereka, intensifikasi revivalisme keagamaan dan aktivitas-aktivitas misionaris, introduksi bentukbentuk spiritualisme yang baru, dan kian menguatnya rasa ketidakpuasan dari orang-orang Indo-Eropa. Polivalensi ruang publik ini pada gilirannya turut memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan kesadaran proto-nasionalis. Dalam hal keanekaragaman kesadaran proto-nasionalisme ini, justru kaum Muslim lah yang dominan waktu itu. Yudi menegaskan: the intensifying clash of discourses stimulated the formation of distinct collective identities. Thus there emerged the prototype of Indies nationalism, nationalism based on IndiesNetherlands association, ethnic (Javanscse) nationalism, and Islamic 22 mlionalism, with the last, at this stage, appearing tobe the most influential . 3. Bab Pembentukan Indonesia dan Ragam Tradisi Politik Inteletual (Chapter 3 Making Indonesia, Making Intellectual Political Traditions) Bab 3 menjelaskan terkait pembentukan Indonesia sebagai sebuah komunitas imajiner dan sebagai sebuah ‘blok historis’ (historical bloc), selain juga pada pembentukan beragam tradisi politik dan intelektual yang saling 23 bersaing. Bab ini mencakup rentang waktu antara 1920 sampai dengan 1945, sebuah periode dimana konsepsi mengenai nasionalisme dan negara Indonesia diperbincangkan di kalangan kelompok-kelompok inteligensia yang
22
Yudi Latif, The Muslim Intelligentsia… , hlm. 146-147. Yudi Latif, The Muslim Intelligentsia… , hlm. 152-241.
23
8
saling bersaing dan pada saat inteligensia berpendidikan tinggi (universitas) mulai memainkan peran utama dalam kepemimpinan bangsa. Pembahasan dalam bab ini menunjukkan bahwa sepanjang periode ini konsepsi ‘Muslim inteligensia’ mulai terkonsolidasi dengan terbentuknya tradisi-tradisi politik dan intelektual Muslim. Batas antara ‘Muslim’ dan ‘nonMuslim’ mulai terbangun melalui praktik-praktik diskursif, formulasi ideologiideologi politik Islam, serta kemunculan partai-partai Islam dan perhimpunanperhimpunan pelajar Muslim. Dalam usaha menanamkan ideologi ke dalam tubuh partai politik yang terstruktur (yang memiliki aturan-aturan tertentu, kode perilaku tertentu, rantai komando, dan disiplin partai), maka batasbatas mental, linguistik dan spasial secara otomatis tercipta yang memisahkan antara “kita” dari “mereka”, identitas kelompok-dalam (ingroup) dan kelompok-luar (outgroup). Pada tahap ini, identitas-identitas kolektif yang telah tercipta pada saat bangkitnya gerakan-gerakan protonasional pada tahun 1910-an mulai berubah menjadi identitas-identitas politik. Bab ini juga menunjukkan bahwa periode ini dipenuhi dengan sebuah proses fragmentasi internal yang akut dalam ummat Islam. Bab ini diakhiri dengan pembahasan mengenai gagalnya Islam politik di Indonesia pada awal kemerdekaan. Menurut Yudi, pada saat proklamasi kemerdekaan, keunggulan kompetitif dari inteligensia Muslim masih tetap kalah dibandingkan dengan inteligensia sekuler. Hal ini menyebabkan rendahnya representasi Islam politik dalam komunitas politik dari Republik yang baru lahir itu. Dengan kelemahan kubu Islam dalam medan politik Republik Indonesia yang baru berdiri itu, Islam tetap menjadi pihak luar dalam ranah politik Indonesia. Kondisi ini memunculkan sindrom “mayoritas dengan mentalitas minoritas”. Jenis kenangan dan mentalitas kolektif seperti inilah yang akan membentuk konstruksi politik makna (politics of meaning) umat Muslim dalam dekadedekade berikutnya: “Under the shadow of this cognitive structure, a new generation of the Muslim Intelligentsia was bam with the burden of a painful 24 remembering.” 4. Bab Peran Kaum Inteligensia Sebagai Elit Politik ( Chapter 4 Intelligentsia as the Political Elite of the New Nation ) Bab 4 terfokus pada peran inteligensia sebagai sebuah elit politik di Republik Indonesia yang berdaulat sepenuhnya, yang terentang mulai dari bulan-bulan pertama kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 sampai 25 dengan kejatuhan rezim Sukarno pada tahun 1965. Sepanjang periode ini, pertarungan dari beragam tradisi intelektual diterjemahkan ke dalam 24
Yudi Latif, The Muslim Intelligentsia… , hlm. 241. Yudi Latif, The Muslim Intelligentsia… , hlm. 249-325.
25
9
pertarungan dari beragam partai politik dalam perjuangan untuk merebut kepemimpinan negara. Pada saat berkuasa, para pemimpin Islam politik memang dapat melupakan pengalaman-pengalaman politik traumatik mereka. Antara 1950 dan 1954, para pemimpin Islam menunjukkan penolakannya terhadap gagasan mendirikan sebuah Negara Islam dengan perjuangan bersenjata, dan sekaligus kesediaan mereka untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara. Namun, klaim mereka terhadap pendirian negara Islam dihidupkan kembali selama dan setelah kampanye pemilihan umum sebagai refleksi dari posisi politik mereka yang sulit dan rasa kekecewaan mereka terhadap upaya kaum 26 komunis untuk tidak mengakui Pancasila. Bab ini membahas ‘kegagalan’ dari inteligensia sipil untuk menjalankan demokrasi parlementer pada tahun 1950-an, dan juga kesulitankesulitan yang muncul dari eksperimen-eksperimen demokrasi dalam periode ini. Semua perselisihan dan problem politik ini menunjukkan bahwa implemetasi demokrasi membutuhkan waktu bagi penyesuaian struktural dan pembelajaran sosial. Namun, bagi para pelaku politik yang telah dimarginalkan di bawah sistem demokrasi, perselisihan-prselisihan dan problem-problem itu dianggap sebagai bukti ketidakcocokan demokrasi ala Barat dengan kondisi-kondisi Indonesia. Kegagalan Dewan Konstituante untuk mengakhiri perselisihan mengenai dasar negara, di tengah perpolitikan nasional yang masih dibayang-bayangi krisis ekonomi dan gerakan pemberontakan kedaerahan, menjadi dalih bagi para pelaku politik untuk menerapkan sistem politik yang otoriter. Pada saat yang bersamaan, bab ini juga memberikan perhatian kepada akselerasi perkembangan pendidikan yang memungkinkan meningkatnya jumlah kuantitatif dari inteligensia Muslim. Perhatian khusus diberikan pada pasang-surutnya inteligensia Muslim sebagai pemimpin politik bangsa Indonesia. Pembahasan mengenai gelombang pasang generasi baru inteligensia Muslim menjadi klimaks dari bab ini. 27 Menurut Yudi, kemerosotan peran politik Islam dikompensasikan oleh keterlibatan-kembali mereka di dunia pendidikan dan dakwah Islam. Sementara itu, ketiadaan batasan-batasan dan diskriminasi sosial di dunia pendidikan di Indonesia setelah merdeka telah membuat anak-anak dari keluarga santri berbondong-bondong masuk ke sekolah/universitas negeri dan swasta. Hal ini membuat organisasi-organisasi mahasiswa Muslim berkembang pesat dalam kadar yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada pertengahan 1960-an, HMI dan PII menjadi organisasi mahasiswa dan pelajar 26
Yudi Latif, The Muslim Intelligentsia… , hlm. 276. Lihat Yudi Latif, The Muslim Intelligentsia… , hlm. 292-308.
27
10
terbesar. Kemudin diikuti perkembangan IMM, IPNU dan PMII, serta Persami. Organisasi kemahasiswaan ini, khususnya HMI dan PII, memainkan peran sangat menentukan dalam demonstrasi-demonstrasi mahasiswa pada pertengahan 1960-an yang akhirnya membawa kejatuhan rezim Sukarno. 5. Bab Formasi Orde Baru dan Respon Kaum Intelek Muslim ( Chapter 5 The New Order’s Repressive-Developmentalism and the Islamic Intellectual Response ) Bab 5 berupa pembahasan kemunculan Orde Baru sebagai sebuah rezim represif-developmentalis serta dampaknya terhadap perkembangan 28 inteligensia Muslim. Dalam kosmologi politik Orde Baru, pertikaian politik sipil dan mobilisasi politik massa dianggap bertanggung jawab atas kekacauan ekonomi dan politik. Hal ini menjadi justifikasi bagi perwujudan kehendak kuat yang telah lama ada dari militer untuk memegang peran dominan dalam politik Indonesia. Dengan janji menjamin stabilitas politik demi kepentingan modernisasi ekonomi, militer menjadi broker kekuasaan utama dalam politik Orde Baru, yang berkolaborasi dengan teknokrat sipil dan masyarakat kapitalis internasional. Pembahasan kemudian diarahkan pada beragam respons intelektual Muslim yang saling bertentangan terhadap modernisasi Orde Baru dan marjinalisasi Islam politik. Perhatian diarahkan pada beragam respons yang didasarkan pada kriteria generasional, selain juga pada fragmentasi internal yang belangsung dalam generasi baru inteligensia Muslim. Ini diikuti dengan pembahasan mengenai implikasi dari perbedaan-perbedaan respons ini terhadap gerakan-gerakan intelektual Muslim dan polarisasi yang ada dalam komunitas inteligensia Muslim. Pelbagai respons dari pilihan yang diambil telah menyulut perdebatan-perdebatan ideologis internal di kalangan Muslim dalam merespons “modernisasi-cum-sekulerisasi” Orde Baru. Generasi kedua intelektual Muslim (generasi Natsir) cenderung memilih pilihan nonkooperatif. Ketika mendapati bahwa peran politik mereka dihalang-halangi, mereka beralih ke gerakan pendidikan dan dakwah. Di antara kontribusi besar terakhir mereka kepada gerakan intelektual Islam ialah terbentuknya kaderkader yang dilatih untuk menjadi pemimpin gerakan dakwah di masa depan 29 dan dukungan motivasi dan dana bagi terbentuknya masjid-masjid kampus. Generasi ketiga dari intelektual Muslim (generasi Pane), sebagai anak dari zaman revolusi kemerdekaan, cenderung memilih opsi kooperatif. Mereka memiliki pandangan nasionalistik dan politik yang sama dengan yang dianut oleh kaum inteligensia militer. Namun, peran politik dari generasi ini 28
Yudi Latif, The Muslim Intelligentsia… , hlm. 326-415. Yudi Latif, The Muslim Intelligentsia… , hlm. 345.
29
11
terbatas karena kurangnya keuntungan kompetitif mereka terutama dalam 30 hal kualifikasi-kualifikasi pendidikan mereka. Generasi keempat intelektual Muslim (generasi Madjid) terbelah secara umum menjadi dua kubu: yaitu antara menjadi tokoh-tokoh dakwah ataukah tokoh-tokoh gerakan pembaharu. Yang pertama cenderung bersikap kritis terhadap ortodoksi negara, sementara yang kedua cenderung bersikap mendukung. Para pendukung gerakan dakwah terutama berasal dari para aktivis masjid di universitas-universitas sekuler, sementara para pendukung dari gerakan pembaruan terutama berasal dari IAIN, HMI, kelompokkelompok politisi yang pragmatis, dan juga dari para intelektual NU dan yang 31 lebih kemudian dari para intelektual Muhammadiyah. Meski berbeda, namun kedua kubu itu memiliki kepentingan yang sama dalam bertindak di medan kebudayaan. Keduanya juga menemukan titik pertemuan dalam gerakan-gerakan ‘jalan ketiga’ (gerakan masyarakat sipil dan seni) dan gerakan-gerakan ‘sektor kedua’. Gerakan dakwah memberikan kontribusi besar terhadap Islamisasi komunitas-akademis sekuler, sedangkan gerakan pembaruan memberikan kontribusi besar terhadap fenomena ‘penghijauan’ atau Islamisasi di dunia birokrasi dan politik Indonesia. Sinergi dari pencapaian-pencapaian ini yang berbarengan dengan struktur peluang politik yang kondusif bermuara pada kelahiran 32 Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI). 6. Bab Perkembangan dan Kemunduran ICMI ( Chapter 6 The Rise and Decline of the Association of Indonesian Muslim Intelligentsia (ICMI) Bab 6 terfokus pada sebuah kasus spesifik: yaitu pasang dan surutnya 33 ICMI. Bab ini mencakup periode historis mulai dari berdirinya ICMI pada tahun 1990 sampai dengan akhir abad ke-20. Menurut Yudi, rasa frustasi ummat Muslim terhadap dunia politik telah menggeser perjuangan Muslim ke bidang pendidikan dan kebudayaan. Sebagai akibatnya, pada tahun 1990-an, inteligensia Muslim memiliki sebuah keuntungan kompetitif dalam hal pendidikan dibandingkan dengan di masa lalu. Dengan keuntungan kompetitif dalam hal pendidikan itu, para intelektual Muslim dari beragam latar belakang mulai menuntut partisipasi politik yang lebih besar. Karena program modernisasi Orde Baru tidak menyertakan perubahan dalam struktur kekuasaan politik, hasrat inteligensia Muslim akan kekuasaan mengharuskan mereka untuk menempuh jalan akomodasionisme dengan struktur kekuasaan
30
Yudi Latif, Yudi Latif, 32 Yudi Latif, 33 Yudi Latif, 31
The Muslim Intelligentsia… , hlm. 348-352. The Muslim Intelligentsia… , hlm. 353-397. The Muslim Intelligentsia… , hlm. 398-415. The Muslim Intelligentsia… , hlm. 416-465.
12
yang ada. Untuk memperkuat daya tawarnya, mereka membentuk sebuah ensemble intelektual Muslim yang pada gilirannya melahirkan ICMI. Perhatian diarahkan pada perubahan-perubahan dalam struktur kesempatan politik yang memungkinkan pasang-surutnya ICMI, serta pada penciptaan modal cultural oleh inteligensia Muslim. Pembahasan diarahkan pada kontroversi seputar kelahiran dan manuver-manuver politiknya, yang diikuti dengan penilaian terhadap prestasi-prestasi politik dan kultural ICMI. Kekuatan ICMI terletak pada factor Habibie, intelektual yang sebenarnya bukan berasal dari kalangan santri. Begitu juga, kemunduran peran-politik ICMI dimulai dengan berakhirnya kekuasaan-politik Habibi: “The end of Habibie's presidency marked the end of ICMI's political role in the Indonesian polity. As political parties became the major means for the actualisation of the 34 intellectuals' preoccupation with politics, JCMI lost its political atraction .” Bab ini diakhiri dengan sebuah pembahasan mengenai peran dari para intelektual Muslim dalam gerakan reformasi serta dampak dari pengunduran diri Suharto terhadap posisi dan sikap politik inteligensia Muslim: “The inception of the refomt era marked the strong emergence of Muslim intellectuals as a political and functional elite, a situation that had never occurred in any political transition in Indonesian history. At the same time, Muslim intellectuals' encounter with intellectuals with different identities, especially during the resistance movement, provided them with a new experience in dealing with ‘identity in difference' and 'difference in identity'. As a result, they bcc,me more willirg to share substantial consensus with other political groups. Insofar as political fairness and correctness continue to prevail, there is room for optimism that Indonesia will achieve the virtue of 35 political civility .” 7. Bab Kesimpulan (Chapter Conclusion) 36 Bab 7 menyajikan kesimpulan-kesimpulan dari studi ini. Kesimpulan ini berupaya untuk menyoroti persoalan-persoalan penting dan kemungkinan-kemungkinan implikasinya bagi perkembangan inteligensia Muslim dan politik Indonesia di masa depan. Sepanjang abad ke-20, kaum Muslimin Indonesia telah berhadapan dengan tantangan serius dari begitu cepatnya arus modernisasi dan sekularisasi yang telah mengubah beberapa aspek fundamental dari sistem religio-politik mereka. Di sisi lain, menguatnya pengaruh Islam dalam medan pendidikan dan wacana publik dan terus munculnya partai-partai politik dan gerakan-gerakan Muslim juga merupakan sebuah fakta. Dialektika antara sekularisasi dan Islamisasi terus berlanjut 34
Yudi Latif, The Muslim Intelligentsia… , hlm. 445. Yudi Latif, The Muslim Intelligentsia… , hlm. 469. 36 Yudi Latif, The Muslim Intelligentsia… , hlm. 466-483. 35
13
menjadi isu utama dari politik dan masyarakat Indonesia, dan kedua proses itu berlangsung secara simultan. Dalam konteks inilah, Yudi menyimpulkan adanya The Continuity and Discontinuity in the Historical Development of 37 Muslim Intelligentsia.
38
Skema Genelaogi Inteligensia Muslim Indonesia Genealogi dari inteligensia Muslim Indonesia berakar pada munculnya prototipe ulama-intelek dan intelek-ulama. Syeikh Achmad Khatib bisa disebut sebagai prototip dari ulama-intelek (‘clerical-inteligentsia’) Indonesia. Sebelum melanjutkan studi ke Mekkah, dia pernah mengenyam pendidikan Barat. Namun, yang menjadi kepedulian dan erudisi utamanya ialah pengetahuan agama. Sementara Agus Salim bisa disebut sebagai prototip intelek-ulama Indonesia. Latar belakang pendidikannya yang utama ialah 37
Yudi Latif, The Muslim Intelligentsia… , hlm. 470-478. Yudi Latif, The Muslim Intelligentsia… , hlm. 470.
38
14
sekolah Barat (yaitu HBS, sekolah prestisius pada masanya). Namun dia sanggup mengembangkan pengetahuan agamanya saat berada di Mekkah di bawah bimbingan Achmad Khatib. Selain terpelajar dalam pengetahuan saintifik modern, dia juga fasih dalam pengetahuan agama. SElengkapnya digambarkan dalam skema genealogi dalam gambar di atas. Selain adanya kontinuitas diakronik, perkembangan historis dari inteligensia Muslim menunjukkan adanya perubahan-perubahan dan penyimpangan-penyimpangan kecil yang terusmenerus terjadi seiring dengan kelahiran setiap generasi baru inteligensia. Perubahan dan transformasi ini tampak nyata dalam formulasi ideologi dan identitas Islam. Konsepsi mengenai ideologi dan identitas Islam berbeda-beda untuk setiap generasi sebagai akibat dari perbedaan dalam struktur peluang politik, struktur konflikkonflik intelektual, struktur-struktur kognitif, formasi-formasi diskursif serta kondisi ruang publik. Perubahan dalam formulasi-formulasi ideologis ini mencerminkan adanya perubahan dalam formasi diskursif. ‘Islam dan sosialisme’ menjadi wacana intelektual yang dominan dari generasi pertama. ‘Islam dan nasionalisme/negara-bangsa’ menjadi wacana intelektual yang dominan dari generasi kedua. ‘Islam dan revolusi kemerdekaan’ menjadi wacana intelektual yang dominan dari generasi ketiga. ‘Islam dan modernisasi-sekulerisasi’ menjadi wacana intelektual yang dominan dari generasi keempat. ‘Islam alternatif dan pembangunan alternatif’ menjadi wacana intelektual yang dominan dari generasi kelima. ‘Islamisasi modernitas’ dan ‘liberalisasi Islam’ 39 menjadi wacana intelektual yang dominan dari generasi keenam. Menutup tulisannya, Yudi Latif menyarankan apa yang harus dilakukan kaum Inteligensia Muslim Indonesia ke depan: As the intelligentsia continues to be the political elite of the nation, it is in their hands that the future of the nation resides. For a better future for the nation, the main responsibility of the intelligentsia is to transform populism from discursive consciousness into practical consciousness. II is unlikely that the main source of national political problems lies in the backwardness of the people, but rather in the reluctance of the elite to free itsclffrom the past and the status quo. The politicisalion of the past and the mystification of the status quo have to give a way for the release of national reconciliation and reconstruction. II is time for the Indonesian intelligentsia of a diverse groups to unite in a common historical calling: 40 to serve and save the nation.
39
Yudi Latif, The Muslim Intelligentsia… , hlm. 463-470. Yudi Latif, The Muslim Intelligentsia… , hlm. 472.
40
15
D. Penutup Sejarah merupakan sebuah gerak kesinambungan dan perubahan yang terjadi pada kehidupan masyarakat. Inilah yang bisa kita simpulkan dari karya disertasi Yudi Latif. Gambaran perjalanan panjang kaum inteligensia Muslim Indonesia menunjukkan bahwa, antara awal dan akhir abad ke-20, generasi demi generasi inteligensia muncul silih berganti. Setiap generasi hadir dengan perbedaan dalam kerangka pikir dan minat-minat pengetahuan, perbedaan dalam akses dan prestasi pendidikan, perbedaan dalam peluangpeluang politik, perbedaan dalam wacana dominan dan derajat partisipasi di ruang publik, perbedaan dalam kodekode simbolik, serta perbedaan dalam ideologi dan identitas. Dengan kata lain, di sepanjang gerak kontinuitas yang bersifat diakronik, terjadi perubahan-perubahan yang bersifat sinkronik. Wallahu A’lam.
16