1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kusta/ Lepra/ Morbus Hansen merupakan penyakit menular yang dapat disembuhkan tetapi menyebabkan morbiditas tinggi terkait kecacatan atau disabilitas. Meskipun prevalensi kusta telah menurun secara bermakna selama 50 tahun terakhir, namun kusta masih menjadi masalah di masyarakat terkait stigma negatif yang melekat pada pasien kusta dan kecacatan permanen yang dapat terjadi pada pasien kusta. Indonesia merupakan salah satu negara endemis kusta dan menduduki peringkat ketiga jumlah pasien kusta terbanyak pada tahun 2009 setelah India dan Brazil dengan prevalensi 1,7 per 10.000 penduduk. Pada akhir tahun 2012, dilaporkan sebanyak 20.023 kasus kusta baru di Indonesia. Sekitar 80% dari kasus kusta baru merupakan kusta multibasiler, bentuk infeksius dari kusta yang belum diterapi; 10% dari kasus kusta baru terjadi pada anak-anak yang menunjukkan bahwa penyakit tersebut masih memiliki transmisi tinggi di masyarakat; dan hampir 8% pasienkasus kusta baru mengalami kecacatan yang signifikan (Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2013). Kusta merupakan penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae yang bersifat obligat intraseluler. Multiplikasi M. leprae bersifat sangat lambat menyebabkan inkubasi penyakit kusta cukup lama (5-7 tahun). Bakteri tersebut awalnya menyerang sel Schwann pada sistem saraf perifer, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa, saluran pernapasan bagian
2
atas, sistem retikulo-endothelial, mata, otot, tulang, hingga testis. Lesi pada sistem saraf perifer dapat menyebabkan kehilangan fungsi saraf meliputi sensorik, motorik, dan otonom. Lesi pada kulit menyebabkan gangguan integritas dan estetika kulit (Djuanda dkk., 2010). Kusta merupakan penyakit yang ditakuti masyarakat karena dapat menyebabkan ulserasi, mutilasi, dan deformitas. Jenis kusta pada tiap-tiap pasien berbeda-beda tergantung respon imun terhadap infeksi tersebut. Dua tujuan utama dari penatalaksanaan kusta adalah menyembuhkan dari penyakitnya dan mencegah kecacatan. WHO merekomendasikan Multi Drug Therapy (MDT) berupa rifampicin dan dapsone untuk kusta tipe PB, serta rifampicin, dapsone, dan clofazimine untuk kusta tipe MB. Durasi terapi yang direkomendasikan adalah 6 bulan untuk kusta tipe PB dan 12 bulan untuk kusta tipe MB. MDT telah terbukti secara efektif mengeradikasi M. leprae pada sebagian besar pasien kusta. Keberhasilan terapi kusta hingga dinyatakan Release From Treatment (RFT/ sembuh) tergantung pada penegakan diagnosis dan terapi sedini mungkin, kepatuhan pasien kusta untuk berobat secara teratur, dukungan keluarga dan masyarakat sekitar, serta keterampilan petugas dalam upaya pencegahan kecacatan (WHO, 2012b). Meskipun MDT telah terbukti secara efektif dapat melawan kusta, namun hingga kini kesulitan utama dalam manajemen kusta adalah penatalaksanaan reaksi kusta. Reaksi kusta merupakan konsekuensi dari sifat dinamik dari respon imun tubuh terhadap M. leprae yang dapat terjadi sebelum, selama, dan bahkan setelah MDT. Reaksi kusta merupakan episode akut dari penyakit kusta dengan gejala konstitusi, aktivasi, kadang- kadang disertai timbulnya efloresensi baru di kulit. Reaksi kusta terdiri dari dua tipe yaitu tipe-1 atau disebut sebagai reaksi
3
reversal (RR) yang didasari oleh perubahan mendadak dari imunitas seluler. Sedangkan reaksi kusta tipe-2 atau disebut sebagai eritema nodosum leprosum (ENL) yang didasari oleh proses imunitas humoral. Reaksi kusta baik tipe-1 maupun tipe-2 terjadi pada 30% pasien kusta tipe MB selama dan setelah MDT. Studi kohort membuktikan bahwa 16-56% kecacatan yang terjadi pada kusta terkait dengan reaksi kusta. Bahkan setelah terapi adekuat, 40% pasien dengan reaksi reversal menunjukkan kerusakan saraf yang permanen. Reaksi Reversal merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IV yang sering terjadi pada kusta tipe borderline sebagai akibat respon imun seluler terhadap antigen M. leprae dan dikarakteristikan sebagai inflamasi akut dari lesi kulit yang sebelumnya sudah ada. Sekitar 95% dari RR terjadi secara simultan bersamaan dengan diagnosis kusta atau selama MDT. Reaksi Reversal pada umumnya terjadi pada saat 6 bulan pertama pengobatan MDT, terutama pada kusta tipe BT dan BB. Pada tipe BL juga dapat ditemukan dengan interval yang lebih lama saat pemberian MDT. Manifestasi klinis dari RR berupa lesi kusta yang menjadi lebih banyak dan lebih aktif secara mendadak dengan atau tanpa ulserasi, oedema, dan dapat terjadi neuritis hingga kerusakan saraf permanen. Pada pemeriksaan bacterial index (BI) saat RR seringkali negatif atau terjadi penurunan drastis dari BI yang sebelumnya positif. Secara klinis pasien kusta seringkali mengeluh karena secara kosmetik terlihat adanya lesi kulit yang membengkak. Hal tersebut sering menyebabkan putusnya terapi karena pasien menganggap reaksi reversal sebagai kegagalan terapi (Scollard, Joyce dan Gillis, 2006; Lockwood, Colston dan Khanolkar-Young, 2002). Atas dasar tersebut mengapa RR bisa menimbulkan cacat permanen maka kami meneliti pada RR bukan pada ENL.
4
Terjadinya oedema pada RR menunjukkan adanya ekstravasasi cairan di daerah keradangan. Ekstravasasi tersebut kemungkinan merupakan manifestasi dari efek kerja beberapa produk dari sel mast antara lain histamin. Antunes dkk (2003) melaporkan adanya peningkatan densitas sel mast di jaringan pada saat reaksi, namun mereka tidak meneliti bagaimana peran sel mast pada RR. Reaksi Reversal berhubungan dengan aktivitas cell mediated immunity (CMI) berupa sel T-helper (Th)1 dan Th2, dikarakteristikan dengan ekspansi granuloma, oedema, rekrutmen limfosit CD4+, peningkatan reseptor interleukin IL-2, IL-10, IL-12, dan ekspresi reseptor human leukocyte antigens-D pada infiltrat seluler. Reaksi Reversal juga dikarakteristikan dengan adanya interferongamma (IFN-) dan tumour necrosis factor alpha (TNF-) yang berperan penting dalam ekspresi enzim nitric oxide synthase dan bertanggung jawab dalam efisiensi aktivitas makrofag. Selain itu, IFN-γ dan TNF-α memproduksi sel CD4+ dan sel T-sitotoksik yang berperan dalam peningkatan pembasmian bakteri sekaligus bersamaan dengan rusaknya jaringan. Pada kusta tipe BT yang mengalami reaksi reversal didapatkan kadar TNF-α yang lebih tinggi daripada kusta tipe BL dengan reaksi reversal. CMI pada reaksi reversal bersifat spontan dan hingga kini mekanisme pencetusnya belum diketahui. Proses imunoinflamasi yang terjadi pada lesi kusta RR bersifat tidak stabil dan hingga kini terus diteliti aspek imunologi yang berperan di dalamnya (Pandhi dan Chhabra, 2013;Verhagen et al., 1997;Yamamura et al., 1992). Sel mast merupakan sel yang berasal dari prekursor tertentu dalam sumsum tulang dan maturitasnya bergantung faktor mikroenviromental jaringan lokal. Sel mast merupakan komponen seluler konstan pada dermis, lamina propria mukosa, serosa, dan jaringan ikat (Abraham dan St John, 2010). Pada kerusakan jaringan,
5
histamin sebagai produk degranulasi sel mast menyebabkan vasodilatasi lokal dan kebocoran plasma yang mengandung perantara inflamasi akut (komplemen, protein C reaktif), antibodi, dan sel inflamasi (netrofil, eosinofil, basofil, monosit, dan limfosit). Berbagai penelitian telah membuktikan peranan histamin dalam respon imunoinflamasi khususnya pada sel dengan reseptor histamin H4 (terdapat pada sel mast, eosinofil, sel T, dan sel dendrit) yaitu mengaktivasi maturasi sel imun, meningkatkan migrasi eosinofil, meningkatkan rekrutmen sel mast secara selektif, meningkatkan produksi sitokin oleh sel mast, dan meningkatkan respon kemotaktik sel (Zampeli dan Tiligada, 2009, Dy and Schneider, 2004). Chowdury dan Gosh menyatakan bahwa densitas yang berbeda pada lesi kusta berkaitan dengan terjadinya reaksi dengan menemukan sel mast dengan densitas rendah pada biopsi lesi tuberkuloid reaktif dibandingkan lesi tuberkuloid non reaktif. Beberapa studi mendukung hipotesis tersebut dengan menemukan bahwa lesi granulomatosa kusta berdensitas sel mast tinggi lebih rentan terjadi reaksi reversal yang lebih berat (Chowdury dan Gosh, 1968, Chatura dan Sangeetha 2012). Secara teoritis sel mast yang teraktivasi akan menstimulasi menginduksi proses inflamasi yang lebih jauh melalui pelepasan berbagai mediator seperti peningkatan permeabilitas vaskuler, oedema lokal, aktivasi leukosit, destruksi jaringan, dan pada akhirnya memproduksi lesi kulit sebagai akibat respon inflamasi. Regulasi cell mediated immunity (CMI) pada RR bersifat spontan dan hingga kini mekanisme pencetusnya belum diketahui. Proses imuno-inflamasi yang terjadi pada lesi kusta reaksi reversal bersifat tidak stabil dan hingga kini terus diteliti aspek imunologi yang berperan di dalamnya.
6
Gschwandtner et al., menyatakan bahwa histamin merupakan molekul yang memiliki peranan penting dalam reaksi imun kompleks pada respon inflamasi kulit meskipun mekanisme yang mendasari masih harus diteliti. (Zampeli dan Tiligada, 2009; Gschwandtner et al., 2012) Reaksi Reversal berhubungan dengan aktivitas cell mediated immunity (CMI) berupa sel T-helper (Th)1 dan dikarakteristikan dengan ekspansi granuloma, oedema, rekrutmen berbagai sel imuno-inflamasi, dan berbagai sitokin(TNF-, IL-1. IL-6, dan IL-8). Bukan tidak mungkin histamin merupakan produk sel mast yang berperan penting dalam respon inflamasi RR (Zampeli dan Tiligada, 2009; Nakamura et al., 2000; Baumer et al., 2008). TNF-α adalah polipeptida yang diproduksi berbagai macam sel secara luas termasuk di dalamnya sel mast, fibroblast, sel NK, sel T, dan sel B. TNF-α berperan dalam proses inflamasi yang dapat memediasi inflamasi akut, mengaktivasi makrofag, meningkatkan fagositosis, menstimulasi inflamasi pada sel endothel, dan chemoatractan untuk leukosit. TNF-α juga mengaktivasi endothel vaskuler dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah (Akdis et al., 2011; Malaviya et al., 1996). TNF alpha adalah salah satu sitokin yang telah dilaporkan meningkat pada keadaan reaksi kusta baik di jaringan maupun di serum pasien kusta. Peningkatan sitokin ini kemungkinan juga merupakan produk dari sel mast yang teraktivasi (Akdis et al., 2011). Interleukin-6 (IL-6) merupakan sitokin yang juga diproduksi oleh sel mast di samping beberapa sel lainnya, sebagai respon terhadap berbagai stimuli. Sitokin ini juga merupakan sitokin multifungsional yang terlibat dalam regulasi respon imun, respon fase akut, inflamasi dan hematopoiesis. Meskipun belum banyak
7
literatur yang melaporkan IL 6 pada pasien kusta, secara teoritis IL 6 juga akan meningkat pada RR lewat aktivasi sel mast (Akdis et al., 2011; Kishimoto, 2003). Interleukin-8 (IL-8) merupakan faktor kemotaktik spesifik neutrofil dan juga diklasifikasikan sebagai anggota keluarga kemokin CXC. IL-8 diproduksi berbagai macam sel seperti sel mast, monosit, makrofag, neutrofil, limfosit, sel endothel, dan sel epitel setelah stimulasi dengan IL-1a, IL-1b, IL-17, TNF-, atau TLRs. Reseptor IL-8 adalah CXCR1 (IL-8RA) dan CXCR2 (IL8RB). Efek utama dari IL-8 adalah aktivasi dan rekrutmen neutrofil ke lokasi infeksi. Selain itu, IL-8 juga menarik sel natural killer, sel T, basofil, dan GMCSF-primed atau eosinofil IL3-primed (Bickel, 1993; Akdis et al., 2011). Dalam penelusuran literatur IL8 pada pasien kusta juga tidak banyak dilaporkan meskipun secara teoritis sel mast yang teraktivasi akan memproduksi IL8. Reaksi reversal didasari oleh respon CMI sangat dipengaruhi oleh sitokin pro-inflamasi hasil degranulasi sel mast. Penelitian membuktikan adanya peningkatan aktivitas sitokin IL-6, IL-8, dan TNF- pada reaksi reversal kusta. Efek pro-inflamasi dari sitokin IL-6, IL-8, dan TNF- pada reaksi reversal kusta merupakan penanda adanya peningkatan aktivitas sel mast dalam proses inflamasi yang terus berjalan dan dapat memperparah lesi kusta yang dapat menjadi lebih banyak dan lebih aktif secara mendadak dengan atau tanpa ulserasi, oedema, dan dapat terjadi neuritis hingga kerusakan saraf permanen (Moraes et al., 1999; Huang et al., 2002). Pada penelitian ini RR yang terjadi melalui jalur Hsp70 sedangkan pada penelitian menurut Moraes et al., belum menyinggung Hsp70. Pasien kusta dengan reaksi reversal telah terbukti memiliki respon antibodi yang kuat terhadap antigen M. leprae yaitu protein antigen dengan berat molekul 70-kDa yang telah teridentifikasi memiliki sekuensi yang homolog sebesar 47%
8
dengan Hsp-70 pada manusia. Fenomena tersebut merupakan fenomena yang dikenal sebagai antigenic mimicry yang merupakan penjelasan yang paling mungkin terkait manifestasi klinis dan imunopatologis pada reaksi reversal. Pelepasan Hsp70 pada lingkungan ektraseluler akan membangkitkan respon imun dengan bertindak sebagai red flag terhadap sistem imun. Peningkatan Hsp70 memacu aktivitas pertahanan terhadap patogen dengan peningkatan TNF- pada lesi kusta dengan reaksi reversal. Hsp70 telah dibuktikan dapat berperan sebagai pemicu sekresi IL-6 yang kuat. Namun, hingga kini masih terus diteliti apakah usaha Hsp70 untuk menjaga jaringan dari M. leprae melalui respon inflamasi atau keberadaan Hsp70 sendiri memicu reaksi imunopatologi terkait proses yang terjadi pada reaksi reversal. Dalam hal ini, Hsp70 memfasilitasi respon inflamasi tersebut dengan menginduksi aktivitas sel mast. Mortaz et al., telah membuktikan Hsp70 memiliki peranan dalam proses degranulasi sel mast. Induksi heat shock pada bone marrow derived mast cell (BMCC) memicu pelepasan Hsp70 ke ekstraseluler dan merangsang peningkatan produksi TNF- dan IL-6 melalui jalur reseptor TLR4 yang kita ketahui ada pada permukaan sel mast (Young et al.,1994; Mortaz et al., 2007) Peran sel mast terhadap proses imuno-inflamasi pada reaksi reversal belum pernah disimpulkan secara detail terkait dengan pemicu sel mast itu sendiri (Hsp70 dan TLR-4), mekanisme kerja, maupun mediator inflamasi yang diproduksi sel mast dalam reaksi reversal kusta. Penelitian lebih lanjut mengenai keterkaitan sel mast terhadap proses inflamasi pada reaksi reversal kusta menjanjikan pemahaman lebih lanjut mengenai reaksi reversal dan kemungkinan pencegahan maupun target terapi baru.
9
1.2 Rumusan Masalah 1.2.1
Rumusan masalah umum Bagaimana peran sel mast pada reaksi reversal pasien kusta ?
1.2.2
Rumusan masalah khusus
1.2.2.1 Bagaimana perbedaan ekspresi Hsp70 pada sel mast pasien kusta dengan dan tanpa reaksi reversal ? 1.2.2.2 Bagaimana perbedaan ekspresi TLR4 pada sel mast pasien kusta dengan dan tanpa reaksi reversal ? 1.2.2.3 Bagaimana perbedaan ekspresi sel mast pasien kusta dengan dan tanpa reaksi reversal ? 1.2.2.4 Bagaimana perbedaan ekspresi histamin pada sel mast pasien kusta dengan dan tanpa reaksi reversal 1.2.2.5 Bagaimana perbedaan ekspresi TNF-α pada sel mast pasien kusta dengan dan tanpa reaksi reversal ? 1.2.2.6 Bagaimana perbedaan ekspresi IL6 pada sel mast pasien kusta dengan dan tanpa reaksi reversal ? 1.2.2.7 Bagaimana perbedaan ekspresi IL8 pada sel mast pasien kusta dengan dan tanpa reaksi reversal ?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan umum
10
Menganalisis peran sel mast pada reaksi reversal penyakit kusta lewat perbandingan ekspresi dari beberapa variabel yang berkaitan dengan aktivasi sel mast. 1.3.2
Tujuan khusus
1.3.2.1 Membandingkan ekspresi Hsp70 pada sel mast pasien kusta dengan dan tanpa reaksi reversal 1.3.2.2 Membandingkan ekspresi TLR4 pada sel mast pasien kusta dengan dan tanpa reaksi reversal 1.3.2.3 Membandingkan ekspresi sel mast pasien kusta dengan dan tanpa reaksi reversal 1.3.2.4 Membandingkan ekspresi histamin pada sel mast pasien kusta dengan dan tanpa reaksi reversal 1.3.2.5 Membandingkan ekspresi TNF-α pada sel mast pasien kusta dengan dan tanpa reaksi reversal 1.3.2.6 Membandingkan ekspresi IL6 pada sel mast pasien kusta dengan dan tanpa reaksi reversal 1.3.2.7 Membandingkan ekspresi IL8 pada sel mast pasien kusta dengan dan tanpa reaksi reversal
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1
Manfaat teoritis Manfaat teoritik yang dapat diperoleh dari penelitian adalah memberi konstribusi pada teori tentang reaksi reversal.
1.4.2
Manfaat praktis
11
Sebagai dasar pencegahan dan penanganan lebih lanjut reaksi reversal pada pasien kusta. Diharapkan dapat ditemukan suatu angka dari salah satu variabel yang diteliti yang bisa menjadi prediktor akan timbulnya reaksi reversal. Kemungkinan pencegahan tersebut dapat dilaksanakan pada tahap sebelum mediator – mediator tersebut dilepaskan oleh sel mast. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kusta 2.1.1 Definisi dan etiologi kusta Kusta merupakan penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae yang bersifat obligat intraseluler. Multiplikasi M. leprae bersifat sangat lambat menyebabkan inkubasi penyakit kusta cukup lama (5-7 tahun). Bakteri tersebut awalnya menyerang sel Schwann pada sistem saraf perifer, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa, saluran pernapasan bagian atas, sistem retikulo-endothelial, mata, otot, tulang, hingga testis. Lesi pada sistem saraf perifer dapat menyebabkan kehilangan fungsi saraf meliputi sensorik, motorik, dan otonom. Lesi pada kulit menyebabkan gangguan integritas dan estetika kulit (Djuanda dkk., 2010). Kuman penyebab kusta adalah M.leprae yang ditemukan oleh G.A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia. M. leprae berbentuk basil dalam ukuran 3– 8 Um x 0,5 Um, tahan asam dan alkohol. Basil ini merupakan batang gram positif, tidak bergerak, tidak berspora, dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok. Pada pemeriksaan langsung secara mikroskopis, tampak bentukan khas adanya basil yang mengerombol seperti ikatan cerutu, sehingga
12
disebut packet of cigars (globi). Basil ini berkapsul tetapi dapat rusak pada pewarnaan menggunakan karbon fukhsin. Penyakit kusta bersifat menahun karena bakteri kusta memerlukan waktu 12-21 hari untuk membelah diri dan masa tunasnya rata-rata 2-5 tahun (Djuanda dkk., 2010; WHO, 2012c).
M. leprae memiliki lima sifat khas yaitu a. M.leprae merupakan parasit intra seluler obligat yang tidak dapat dibiakkan dimedia buatan. b. Sifat tahan asam M.leprae dapat diektraksi oleh piridin. c. M.leprae merupakan satu- satunya mikobakterium yang mengoksidasi D-Dopa (D-Dihydroxyphenylalanin). d. M.leprae adalah satu-satunya spesies mikobakterium yang menginvasi dan tumbuh dalam saraf perifer. e. Ekstrak terlarut dan preparat M.leprae mengandung komponen antigenikyang stabil dengan aktivitas imunologis yang khas, yaitu uji kulit positif pada pasientuberculoid dan negatif pada pasienlepromatous.
2.1.2 Patogenesis kusta Seseorang yang terinfeksi M. leprae belum tentu akan menderita penyakit kusta. Bakteri harus memenuhi jumlah minimum agar dapat tumbuh dan menimbulkan manifestasi klinis. Manifestasi klinis yang ditimbulkan-pun tergantung dari sistem imunitas seluler yang dimiliki host. Pada dasarnya, M. leprae memiliki patogenitas dan daya invasi rendah karena pasienyang terinfeksi lebih banyak kuman belum tentu menimbulkan manifestasi klinis yang lebih parah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa derajat penyakit lebih dipengaruhi
13
oleh reaksi imunitas host dibandingkan derajat infeksinya (Legendre, Muzny dan Swiatlo, 2012). Masuknya M. leprae dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama serta kedua. Signal pertama adalah tergantung pada TCR- terkait antigen (T cell Receptor) yang dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC, sedangkan signal kedua adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28. Adanya kedua signal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan berdiferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF dan IL-12 akan membantu diferensiasi To menjadi Th1 (Walker dan Lockwood, 2006; Wolff et al., 2008). Th1 akan menghasilkan IL-2 dan IFN- yang akan meningkatkan fagositosis makrofag (fenolat glikolipid I yang menrupakan lemak dari M. leprae akan berikatan dengan C3 melalui reseptor CR1, CR3, CR4 pada permukaannya lalu difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain itu, IL-2 juga akan mengaktifkan CTL lalu CD8+. Dalam fagosit, fenolat glikolipid akan melindungi bakteri dan penghancuran oksidatif oleh anion superoksida dan radikal hidroksil yang dapat menghancurkan secara kimiawi. Kegagalan membunuh antigen tersebut membuat sitokin dan growth factor terus dihasilkan dan akan merusak jaringan, akibatnya makrofag akan terus diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan organella makrofag akan membesar menjadi sel epiteloid yang akan bersatu membentuk granuloma yang penuh kuman. Granuloma dapat ditemukan tertama pada area tubuh yang suhunya lebih dingin, seperti cuping telinga, hidung, penonjolan tulang pipi, alis mata, dan kaki (Walker dan Lockwood, 2006).
14
Th2 akan menghasilkan IL4, IL-10, IL-5, IL-13 dimana IL-5 akan mengaktivasi eosinofil, IL-4 dan IL0-10 mengaktivasi makrofag, IL-4 sendiri akan mengaktivasi sel B untuk menghasilkan IgG dan IgE, selain itu IL-4, IL-10, dan IL-13 akan mengaktivasi sel mast. Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi sel T anergi dan membuat tidak teraktivasinya APC secara lengkap sehingga menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Leprosi Tuberkuloid Th1 akan lebih tinggi dibandingkan Th2, sedangkan pada Leprosi Lepromatous Th2 akan lebih tinggi dibandingkan Th1 (Walker dan Lockwood, 2006; Wolff et al., 2008).
2.1.3 Diagnosis dan klasifikasi kusta a. Diagnosis (Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2013; Djuanda dkk., 2010) Diagnosis penyakit kusta ditegakkan dengan mencari tanda-tanda utama atau cardinal sign. Pada waktu dilakukan pemeriksaan fisik akan ditemukan tandatanda sebagai berikut: 1. Adanya kelainan kulit dapat berupa hipopigmentasi (bercak putih seperti panu), bercak eritema (kemerahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). 2. Berkurang sampai hilang rasa pada kelainan kulit tersebut. 3. Penebalan saraf tepi. 4. Adanya Bakteri Tahan Asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (BTA positif). Seseorang dinyatakan sebagai pasien kusta apabila terdapat sekurangkurangnya dua dari tanda utama cardinal sign. Bila ragu-ragu orang tersebut
15
dianggap sebagai suspek dan diperiksa ulang setiap tiga bulan sampai diagnosis dapat ditegakkan. Diagnosis secara lengkap meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik yaitu pemeriksaan kulit dan saraf tepi serta fungsinya, pemeriksaan bakteriologis, pemeriksaan histopatologis, dan imunologis. b. Klasifikasi (Ridley dan Jopling, 1966) Terdapat banyak jenis klasifikasi penyakit kusta diantaranya adalah klasifikasi Madrid, klasifikasi Ridley-Jopling, klasifikasi India, dan klasifikasi menurut WHO. Pada klasifikasi Madrid (1953), penyakit kusta dibagi atas Indeterminate (I), Tuberculoid (T), Borderline-Dimorphous (B), Lepromatous (L). Klasifikasi ini merupakan klasifikasi paling sederhana berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan bakteriologis, dan pemeriksaan histopatologi, sesuai rekomendasi dari International Leprosy Association. Pada klasifikasi Ridley-Jopling (1966), kusta dianggap sebagai suatu spektrum klinis mulai dari daya kekebalan tubuhnya rendah pada suatu sisi sampai mereka yang memiliki kekebalan yang tinggi terhadap M.leprae di sisi yang lainnya. Kekebalan seluler (cell mediated imunity = CMI) seseorang yang akan menentukan apakah dia akan menderita kusta apabila individu tersebut mendapat infeksi M.leprae dan tipe kusta yang akan dideritanya pada spektrum penyakit kusta. Sistem klasifikasi ini banyak digunakan pada penelitian penyakit kusta, karena bisa menjelaskan hubungan antara interaksi kuman dengan respon imunologi seseorang, terutama respon imun seluler spesifik. Kelima tipe kusta menurut Ridley-Jopling adalah tipe Lepromatous (LL), tipe Borderline Lepromatous (BL), tipe Mid-Borderline (BB), tipe Borderline Tuberculoid (BT), dan tipe Tuberculoid (TT).
16
Gambar 2.1 Spektrum Klinis Lepra Berdasarkan Klasifikasi RidleyJopling (Ridley dan Jopling, 1966) Tuberculoid polar (TT) dan lepromatous polar (LL) merupakan tipe yang stabil dan tidak mungkin berubah. Sedangkan borderline tuberculoid (BT), mid borderline (BB), dan borderline lepramatous (BL) merupakan bentuk yang tidak stabil sehingga dapat berubah tipe sesuai derajat imunitas. Tipe indeterminate (I) tidak dimasukkan ke dalam spektrum. Pada fase ini, kemungkinan untuk kembali sembuh sebesar 70%. Sementara 30% sisanya kemungkinan dapat berkembang menjadi tipe-tipe di dalam spektrum diatas.
17
WHO mengembangkan klasifikasi untuk memudahkan pengobatan di lapangan. Sampai saat ini Departemen Kesehatan Indonesia menerapkan klasifikasi menurut WHO sebagai pedoman pengobatan pasienkusta. Dasar dari klasifikasi ini berdasarkan manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan bakteriologi. Klasifikasi tersebut bertujuan untuk menentukan rejimen pengobatan, prognosis, dan komplikasi, menentukan operasional, misalnya menemukan pasien-pasean yang menular yang mempunyai nilai epidemiologis tinggi sebagai target utama pengobatan dan untuk identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat (WHO, 2012). Ridley- Jopling (1962)
WHO (1980)
Tuberculoid Boderline Tuberculoid Boderline Boderline Boderline Lepromatous Lepromatous (TT) (BT) (BB) (BL) (LL)
Paucibacillary
Multibacillary
Gambar 2.2 SkemaKlasifikasi Ridley-Jopling dengan Klasifikasi WHO (WHO, 2012)
Klasifikasi WHO ditentukan oleh jumlah basil yang ditemukan dari pemeriksaan slit skin smear. Tipe TT dan BT memiliki jumlah BTA yang rendah oleh karena itu diklasifikasikan ke dalam pausibasilar. Sementara tipe BB, BL, dan LL memiliki jumlah BTA yang tinggi sehingga diklasifikasikan ke dalam multibasilar. Pemeriksaan slit skin smear yang tidak selalu tersedia, membuat WHO pada tahun 1995 menyederhanakan klasifikasi klinis kusta berdasarkan lesi di kulit dan kerusakan saraf (WHO, 2012).
18
Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995) (WHO, 2012) Pausibasilar (PB) Lesi Kulit (makula datar, papul yang meninggi, nodus)
-
Kerusakan Saraf
-
Multibasilar (MB)
Jumlah : 1-5 lesi Warna : Hipopigmentasi / eritema Distribusi : asimetris Anestesia : jelas
-
Hanya satu cabang saraf
-
-
Jumlah : 1-5 lesi Distribusi : simetris Anestesia : kurang jelas
Banyak cabang saraf
2.1.4 Terapi kusta (WHO, 2012; Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2007) Tujuan terapi kusta adalah memutus mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit,dan mencegah terjadinya cacat. WHO merekomendasikan pengobatan kusta dengan menggunakan regimen MDT (Multi Drug Therapy). Prinsip penatalaksanaan dengan MDT adalah vaksinasi BCG dimana vaksin BCG dipercaya
memiliki
faktor pengaruh
menurunnya
insidens
kusta pada
populasi,pemendekan masa pengobatan MDT (dibandingkan dengan guideline sebelumnya), dan pengobatan MDT yang fleksibel.
19
Karena daerah endemik kusta merupakan daerah-daerah yang kurang berkembang dan memiliki fasilitas kesehatan yang kurang baik, maka konsumsi 1 blister pack MDT lebih dari 1 bulan dapat dilakukan, namun pasien harus diinformasikan mengenai pentingnya penggunaan obat terkait dosis, frekuensi, dan durasi dari regimen tersebut. Pasien juga harus diinformasikan untuk kontrol apabila ada gejala yang muncul, atau gejala yang tidak membaik.
a. MDT untuk Multibasilar Pasien akan dibagikan 12 strip obat, dimana setiap strip dihabiskan dalam 28 hari. Walaupun begitu, 12 strip tersebut dapat dihabiskan minimal selama 18 bulan. Pengobatan hari pertama dilakukan dengan pengawasan oleh petugas: kombinasi Klofazimin, Rifampisin, dan Dapson/DDS. Pengobatan hari ke-2 sampai hari ke-28 dilakukan tanpa pengawasan. Obat yang dikonsumsi pada periode ini adalah Klofazimin dan Dapson. Pengonsumsian Klofazimin dapat dilakukan dengan 3 cara : (1) 50 mg/ hari, (2) 100 mg/2 hari, (3) 3x100 mg per 1 minggu. Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan secara bakterioskopis setiap 3 bulan. Setelah pengobatan selesai, maka disebut RFT (Release from treatment). Setelah RFT dilakukan tindak lanjut secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Apabila negatif, maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau RFC (Release from control). Namun, yang dilakukan sekarang, apabila secara klinis sudah tidak ada keluhan, maka dapat dihentikan pemberian obat, tanpa memperhatikan bakterioskopis b. MDT untuk Pausibasilar
20
Pengobatan MDT untuk pausibasilar adalah Rifampisin 600 mg setiap bulan, dengan pengawasan dan Dapson/DDS 100 mg setiap hari. Pengonsumsian Rifampisin diberikan setiap hari pertama penggunaan blister baru dan dilakukan didepan petugas. Selama pengobatan diberikan pemeriksaan klinis setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan (pada akhir pengobatan). Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis. Apabila negatif, dinyatakan RFC. Anjuran terbaru dari WHO mengatakan RFC tidak diperlukan, walau ada perdebatan untuk mengawasi adanya reaksi dan relaps.
c. Pengobatan Lesi Tunggal Kasus PB dengan lesi tunggal ditatalaksana dengan Rifampisin 600 mg + Ofloksasin 400 mg + Minosiklin 100 mg (dosis tunggal). d. Pengobatan Situasi Khusus 1) Pasien yang tidak dapat mengonsumsi rifampisin (karena efek-samping atau resisten rifampisin). Dilakukan pengobatan selama 24 bulan : -
6 bulan pertama : Setiap hari mengonsumsi 50 mg Clofazimin ditambah dengan dua dari antara (1) Ofloxacin 400 mg, (2) minosiklin 100 mg, dan (3) claritromisin 500 mg
-
18 bulan berikutnya : setiap hari konsumsi 50 mg Clofazimin, ditambah dengan 100 mg minosiklin ATAU ofloksasin 400 mg. apabil tersedia, ofloxacin dapat diganti dengan moksifloksasin 400 mg.
2) Pasien yang tidak dapat mengonsumsi klofazimin (efek samping)
21
Dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg, atau monisiklin 100 mg, atau moksifloksasin 400 mg dalam regiemen MB 12 bulan. Dapat juga diganti regimen MDT 12 bulan dengan konsumsi rifampisin 600 mg + ofloksasin 400 mg + minosiklin 100 mg setiap bulan selama 24 bulan. 3) Pasien yang tidak dapat konsumsi dapson/DDS Pada regimen pengobatan MB, DDS distop segera. Pada regimen pengobatan PB, klofazimin dapat digunakan untuk menggantikan DDS, dengan dosis yang sama dengan dosis pada regimen pengobatan MB. 2.2. Reaksi Reversal Reaksi kusta merupakan konsekuensi dari sifat dinamik dari respon imun tubuh terhadp M. leprae yang dapat terjadi sebelum, selama, dan bahkan setelah MDT. Kejadian reaksi pada pasienkusta lebih sering terjadi pada umur 15 tahun lebih. Kejadian reaksi kusta umumnya sebesar 30,9% pada saat awal kunjungan. Insiden paling tinggi terjadi antara 6 sampai 12 bulan setelah dimulai pengobatan MDT (Worobec, 2012). Reaksi kusta merupakan episode akut dari penyakit kusta dengan gejala konstitusi, aktivasi, dan atau timbul efloresensi baru di kulit. Reaksi kusta terdiri dari dua tipe yaitu tipe-1 atau disebut sebagai reaksi reversal yang merupakan imunitas seluler dan tipe-2 atau disebut sebagai eritema nodosum leprosum yang merupakan imunitas humoral. Studi kohort membuktikan bahwa 16-56% kecacatan yang terjadi pada kusta terkait dengan reaksi kusta. Bahkan setelah terapi adekuat, 40% pasien dengan reaksi reversal menunjukkan kerusakan saraf yang permanen. Berbagai faktor pencetus yang dianggap sering mendahului timbulnya reaksi kusta yaitu, setelah pengobatan anti kusta yang intensif, infeksi rekuren, pembedahan, emosi, kelelahan, stress fisik, imunisasi, kehamilan, dan
22
saat - saat setelah melahirkan (Walker dan Lockwood, 2008; Scollard, Joyce dan Gillis, 2006). Menurut Jopling, reaksi kusta tipe I merupakan delayed hypersensitivity reaction seperti halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV. Antigen yang berasal dari kuman yang telah mati (breaking down leprosy bacilli) akan bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan sistem imun seluler yang cepat. Jadi pada dasarnya reaksi kusta tipe I terjadi akibat perubahan keseimbangan antar imunitas dan basil. Hasil reaksi tersebut dapat berupa
upgrading reaction/ reaksi reversal
apabila menuju ke arah bentuk lepromatosa (terjadi penurunan sistem imun seluler) dan dapat pula terjadi down grading reaction meskipun lebih jarang dijumpai oleh karena berjalan lebih lambat dan umumnya dijumpai pada kasuskasus yang tidak mendapat pengobatan. Pada kenyataannya, reaksi kusta tipe I lebih sering diartikan sebagai reaksi reversal oleh karena paling sering dijumpai terutama pada kasus-kasus yang mendapatkan pengobatan. Reaksi reversal pada umumnya terjadi pada saat 6 bulan durasi MDT dan terutama terjadi pada kusta tipe BT, BB, BL, dan LL (Lockwood, Colston dan Khanolkar-Young, 2002; Kahawita, Walker dan Lockwood, 2008; Little et al., 2001). Reaksi reversal berhubungan dengan aktivitas cell mediated immunity (CMI) berupa sel T-helper (Th)1, dikarakteristikan dengan ekspansi granuloma, oedema, rekrutmen limfosit CD4+, peningkatan reseptor interleukin IL-1b, IL-2, IL-6, IL-10, IL-12, dan ekspresi reseptor human leukocyte antigens-D pada infiltrat seluler, serta sitokin immunoregulatory seperti TGF-β dan L-10 selama terjadi aktivasi makrofag. Reaksi reversal juga dikarakteristikan dengan adanya interferon-gamma (IFN-) dan tumor necrosis factor alpha (TNF-) yang berperan penting dalam ekspresi enzim nitric oxide synthase dan bertanggung
23
jawab dalam efisiensi aktivitas makrofag. Selain itu, IFN-γ and TNF-α memproduksi sel CD4+ dan sel T-sitotoksik yang berperan dalam peningkatan pembasmian bakteri sekaligus bersamaan dengan rusaknya jaringan. Pada kusta tipe BT yang mengalami reaksi reversal didapatkan kadar TNF-α yang lebih tinggi daripada kusta tipe BL dengan reaksi reversal. Yamamura dkk menggunakan polymerase chain (PCR) menunjukkan bahwa mRNA untuk produksi sitokin terkait dengan respon Th1 seperti IL-2 dan IFN- banyak didapat pada lesi kusta tuberkuloid, sedangkan mRNA terkait dengan respon Th2 seperti IL-4, IL-6, IL-8, dan IL-10 dominan pada lesi kusta lepromatous. Regulasi CMI pada reaksi reversal bersifat spontan dan hingga kini mekanisme pencetusnya belum diketahui. Proses imuno-inflamasi yang terjadi pada lesi kusta reaksi reversal bersifat tidak stabil dan hingga kini terus diteliti aspek imunologi yang berperan di dalamnya (Pandhi dan Chhabra, 2013; Verhagen et al., 1997; Moubasher et al., 1998; Bochud et al., 2008). Reaksi reversal secara histopatologi dikarakteristikan dengan adanya influks fagosit mononuklear dengan diferensiasi epitheloid. Infiltrasi limfosit juga didapatkan pada granuloma. Oedema merupakan karakteristik konstan di dalam maupun mengelilingi granuloma yang mengarah pada distorsi jaringan ikat serta saraf setempat. Sitologi reaksi reversal menunjukkan diferensiasi epitheloid dengan pengurangan jumlah basil dan dapat ditemukan sel giant tipe Langhans yang membentuk granuloma dengan karakteristik hipersensitivitas tipe lambat. Sel inflamasi banyak ditemukan menginvasi epidermis dan didapatkan pula destruksi saraf (Nery et al., 2013). Manifestasi klinis dari reaksi reversal berupa lesi kusta yang menjadi lebih banyak dan lebih aktif secara mendadak dengan atau tanpa ulserasi, oedema, dan
24
dapat terjadi neuritis hingga kerusakan saraf permanen. Terdapat keluhan seharihari seperti susah memasang kancing baju, memegang pulpen, atau mengambil benda kecil, atau kesulitan berjalan. Penegakan diagnosis dari reaksi reversal hanya berdasarkan parameter klinis karena perubahan histopatologi yang terjadi sulit didiferensiasi dengan kondisi relaps dan reaktivasi. Namun, bacterial index (BI) pada reaksi reversal negatif atau terjadi penurunan drastis dari BI yang sebelumnya positif. Reaksi reversal lebih sulit dikontrol daripada eritema nodosum leprosum. Hal tersebut sering menyebabkan putusnya terapi karena pasienmenganggap reaksi reversal sebagai kegagalan terapi (Walker dan Lockwood, 2008).
Tabel 2.2 Manifestasi Klinis Reaksi Kusta Organ Target Kulit
Reaksi Ringan Lesi kulit yang telah ada menjadi lebih eritematosa
Reaksi Berat - Lesi yang telah ada menjadi eritematosa - Timbul lesi baru yang kadang-kadang disertai panas dan malaise (gejala prodormal)
Syaraf Tepi
- Membesar, tidak ada nyeri tekan syaraf dan gangguan fungsi (silent neuritis) - Berlangsung kurang dari 6 minggu
- Membesar, nyeri tekan dan gangguan fungsi. - Berlangsung lebih dari 6 minggu
Kulit dan Syaraf
- Lesi yang telah ada akan menjadi lebih eritematosa, nyeri pada syaraf - Berlangsung kurang dari 6 Minggu
- Lesi kulit yang eritematosa disertai ulserasi atau edema pada tangan/kaki - Syaraf membesar, nyeri dan fungsinya terganggu - Berlangsung lebih dari 6 minggu
25
Terapi yang digunakan untuk reaksi reversal hingga kini adalah kortikosteroid. Rekomendasi dosis insisial untuk prednison adalah 40 mg. Namun, pasien dengan keterlibatan saraf membutuhkan dosis lebih tinggi dari 1mg/kgBB – 2mg/kgBB per hari. Dosis kortikosteroid dan tappering off bersifar individual dan harus berdasarkan monitoring fungsi sensorik melalui pemeriksaan monofilamen dan motorik. Meskipun kortikosteroid merupakan terapi utama untuk reaksi reversal, namun ternyata hanya tiga review sistematis yang membuktikan efektivitas steroid untuk reaksi kusta. Selain itu, relaps setelah terapi steroid masih dapat terjadi dengan angka kejadian sebesar 20-50% mengarahkan pada kebutuhan akan target terapi baru (Walker dan Lockwood, 2008; Bhat dan Prakash, 2012; Nery et al., 2013). Menurut Kahawita IP, et all 2011 pengobatan reaksi kusta tipe 1 pada individu dengan inflamasi pada kulit, neuritis, atau gangguan fungsi saraf, diberikan terapi kortikosteroid oral yaitu penggunaan prednisolone 30-40 mg/hari diberikan selama 1 bulan. Kemudian, dosis diturunkan per 5 mg jika ditemukan perbaikan. Pada pasien kusta yang sudah mengalami kerusakan fungsi saraf lebih dari 6 bulan, tidak merespon dengan pemberian steroid. Pada penelitian di Nepal, penggunaan kombinasi Azatriopin dengan Prednisolone dalam jangka waktu pendek dapat memberikan hasil yang sama efektifnya dengan terapi Prednisolone dalam jangka panjang (12 minggu). Studi lain di Nepal, Etiopia dan Brazil menunjukan penggunaan siklosporin mempunyai efektifitas yang sama. Pada suatu studi kasus Oxford oleh Biosca G, et al 2010 terdapat seorang pasien yang memiliki tanda-tanda sindroma Cushing akibat konsumsi steroid jangka panjang, maka dosis kortikosteroid dapat diturunkan secara perlahan namun dapat ditambahkan Methotrexate agar reaksi kusta tipe 1 tidak makin
26
memburuk. Methotrexate pada awal diberikan dalam dosis 5 mg/ minggu, diberikan bersamaan dengan asam folat dan pasien dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan darah untuk mendeteksi level toksisitas. Satu bulan kemudian, pasien merasakan keluhannya membaik. Dua bulan setelah pengobatan Methotrexate, kortikosteroid dihentikan dan dosis Methotrexate ditingkatkan menjadi 7,5 mg/ minggu. Setelah pengobatan selama 6 bulan, terdapat perbaikan yang signifikan pada lesi kulit pasien tersebut, dan pemeriksaan Indeks Bakteri menunjukan hasil +1. Penelitian menunjukan bahwa reaksi terpenting dari Methotrexate dosis rendah adalah efek peningkatan level adenosin, mengurangi produksi sitokin proinflamatori dan meningkatkan sitokin anti-inflamatori.
Semua efek tersebut
berkontribusi terhadap kesuksesan penggunaan Methotrexate dalam mengatasi reaksi kusta tipe 1 ini.Penelitian menunjukan bahwa reaksi terpenting dari Methotrexate dosis rendah adalah efek peningkatan level adenosin, mengurangi produksi sitokin pro-inflamatori dan meningkatkan sitokin anti-inflamatori. Semua efek tersebut berkontribusi terhadap kesuksesan penggunaan Methotrexate dalam mengatasi reaksi kusta tipe 1 ini. 2.2.1 Reaksi ENL (Eritema Nodusum Leprosum) Eritema nodusum leprosum (ENL) atau reaksi kusta tipe 2 terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada tipe BL, berarti makin tinggi tingkat multibasiliarnya makin besar kemungkinan timbulnya ENL. ENL termasuk respon imun humoral berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M.Leprae ditambah dengan antibody (IgM, IgG) ditambah dengan komplemen (kompleks imun). Pada ENL dengan lesi eritemadosum sehingga disebut reaksi lepra nodular.
27
Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid antara lain prednisone dengan dosis yang bergantung pada berat ringannya reaksi biasanya prednisone 15 – 30 mg / hari . makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya, sebaliknya bila reaksi terlalu ringan tidak perlu diberikan. Dapat ditambahkan obat analgetik , antipiretik dan sedativa. Menurut Kahawita, et al 2008, terapi ENL menggunakan obat kortikosteroid biasanya yang digunakan adalah obat prednisolone untuk kasus sedang sampai berat biasanya diberikan dosis prednisolone 40 – 60 mg / hari namun biasanya ahli lepra menggunakan dosis yang lebih tinggi. Lalu dosis diturunkan sesuai dengan responnya. Obat lain yang digunakan adalah thalidomide, obat ini sangat efektif untuk terapi ENL sedang sampai berat, memiliki onset kerja yang cepat dalam mengurangi jumlah lesi kulit, penurunan demam dan gejala sistemik dibandingkan dengan pentoxifylinne, aspirin dan placebo. Dosis awal yang disarankan adalah 400 mg pada malam hari untuk ENL yang berat, dan diturunkan menjadi 300 mg secepatnya. Untuk dosis pemeliharaan dapat diturunkan 100mg per bulan untuk pasien kronis. Namun penggunaan obat ini tidak boleh digunakan pada obat hamil karena berpotensi untuk teratogenik. Efek samping pada penggunaan thalidomide biasanya pasien jadi mengantuk dan pusing. Efek samping yang jarang terjadi adalah eritema multiforme dan NET. Obat Klofazimine adalah agen anti inflamasi yang bisa digunakan untuk terapi ENL yang sedang sampai berat tetapi onset kerjanya lambat, dosis maksimal Klofazimine 300 mg/hari untuk mengontrol ENL, efek sampingnya adalah peningkatan pigmentasi dan memungkinkan pembentukan Kristal Klofazimine enteropati. Penggunaan dosis tinggi tidak bole lebih dari 12 bulan.
28
Menurut Indian Journal of Drugs in Dermatology, Klofazimine sangat berguna dalam memberikan hasil yang baik dan memuaskan pada pasien kusta yang memiliki kondisi yang buruk. (Pai V V, 2015) Sebuah jurnal Oxford oleh Ramien ML, et al 2011 mengusulkan penggunaan TNF Inhibitor – Etanercept untuk mengatasi kasus refrakter ENL yang berat. Kadar TNF- α dan IL 6 sering ditemukan tinggi pada pasien dengan penyakit berat, sehingga penggunaan TNF-inhibitory agents dapat digunakan sebagai terapi alternatif jika pasien memberikan respon terhadap terapi konvensional. Etarnecept diberikan dalam dosis injeksi 50 mg / minggu secara subkutan. Pada studi kasus yang dilakukan, penggunaan Prednisone dan Thalidomide berhasil dihentikan setelah administrasi Etarnecept selama 6 bulan. 2.3. Biologi Sel Mast Sel mast pertama kali diidentifikasi oleh Paul Ehrlich tahun 1878 dan dinamakan sel mast karena sitoplasmanya penuh dengan granula. Kitamura et al., pada tahun 1977 menemukan bahwa sel mast merupakan turunan dari prekursor sumsum tulang yang dibuktikan oleh rekonstitusi sel mast pada tikus dengan defisiensi sel mast yang diberikan transfer adaptif sel mast wild type. Perkembangan sel mast dalam sumsum tulang terjadi dalam jalur myeloid. Sel mast berkembang dari sel progenitor granulositik/ monositik dan proliferasi sel mast terutama diatur oleh stem cell factor (SCF), berupa faktor pertumbuhan yang berikatan dengan reseptor c-Kit tyrosine-kinase pada membran sel mast. Interleukin (IL) – 3 juga dapat memicu perkembangan sel mast tergantung SCF pada konsentrasi oksigen normal. Nerve growth factor (NGF) memfasilitasi diferensiasi dan proliferasi sel mast dengan adanya IL-3. Spesifikasi turunan sel mast diatur oleh ekspresi faktor transkripsi GATA binding protein 2 (GATA 2)
29
dan CCAAT/ enhancer-binding protein alpha (C/EBP-). Sel mast berbeda dengan sel lain yang berasal dari sel stem pluripoten hematopoietik sumsum tulang dimana sel mast disirkulasikan dalam bentuk imatur dan maturitasnya bergantung faktor mikroenviromental jaringan lokal/ target (Ribatti dan Crivellato, 2014). Sel mast tersebar luas dalam jaringan ikat, berkelompok kecil-kecil dekat pembuluh darah. Sel mast Ø + 12 um, berbentuk lonjong, tidak teratur dan kadang-kadang memiliki pseudopodia pendek, menunjukkan mobilitasnya yang lambat. Inti sel berbentuk bulat, relatif kecil dan berwarna basofil/kebiruan, sering tertutup granula sitoplasma. Granula bersifat refraktil dan larut dalam air. Secara ultrastruktur, granula sel mast berbentuk bulat atau oval, diliputi unit membran, mengandung partikel padat dan matriks yang kurang padat. Sitoplasma sel mast mengandung ribosom bebas, mitokondria dan glikogen, sementara itu pada permukaan sel ada tonjolan yang tumpul dan tidak beraturan yang merupakan reseptor untuk immunoglobulin pada waktu sel mast terangsang oleh suatu antigen (Abraham dan St John, 2010; Dawicki dan Marshall, 2007). Sel mast merupakan bagian dari sel pengembara jaringan ikat yang memiliki pseudopodia untuk melakukan mobilisasi. Pada dasarnya sel mast terdapat pada semua organ, terutama pada jaringan mukosa paru-paru, traktus digestivus, dan kulit. Kepadatan sel mast di dalam kulit normal manusia sekitar 10.000/mm 3. Sel mast matur pada jaringan telah diidentifikasi dalam dua sub-kelas utama yaitu connective tissue distributed mast cells (CTMCs) yang ditemukan pada kulit, cairan sinovial, dan jaringan perivaskuler; serta mucosal mast cells (MMCs) yang ditemukan pada mukosa paru dan intestinal (Gilfillan dan Tkaczyk, 2006). Sel
30
mast juga dapat berkembang dari sel mast yang sudah ada dengan melakukan pembelahan mitosis.
Gambar 2.3. Lokasi sel mast pada kulit
Berdasarkan isi proteinase yang dimiliki, sel mast dibagi menjadi tiga klasifikasi yaitu MCTC yang mengandung triptase, kinase, karboksipeptia, dan cathepsin G-like proteinase; MCT mengandung hanya triptase; dan MCC mengandung hanya kinase dan karboksipeptidase. Kebanyakan sel mast pada manusia merupakan MCTC, sedangkan MCT banyak ditemukan di paru-paru dan mukosa saluran cerna. Permukaan sel mast diliputi oleh berbagai macam reseptor
31
yang jika berikatan dengan ligand yang tepat akan memicu eksositosis granula sel mast berupa mediator inflamasi.
Gambar 2.4. Permukaan sel mast dengan berbagai macam reseptor
Pelepasan mediator dapat dipicu oleh substansi kimia seperti toksin, senyawa 48/80, peptida dan amin polimer seperti mastoparan yang diisolasi dari racun lebah, oktapeptida dari cairan selom Echinometra lucunter (sea urchin) yang disebut echinometrin, protease; mediator endogen seperti protease jaringan, turunan protein kationik dari eosinofil dan netrofil; dan mekanisme imunologi yang dapat berupa IgE-dependent atau IgE-independent (Gilfillan dan Tkaczyk, 2006; Galli, 2005; Sciani et al., 2014). Spesies Ciona intestinalis (sea squirt) memiliki sel mast yang secara morfologi dan histokimia mirip dengan sel mast pada kulit manusia. Sel mast pada C. intestinalis dapat distimulasi oleh senyawa 48/80 yang menginisiasi aktivasi sinyal jalur transduksi melalui protein G yang
32
menyebabkan pelepasan histamin dan berbagai kompleks heparin-serine protease (Wong et al., 2014). Mekanisme aktivasi sel mast dalam melepaskan mediator berupa preformed granule-associated mediators mediator yaitu mediator yang telah dibentuk sebelumnya (preformed) dan dikeluarkan pada waktu aktivasi, mediator ini dilepaskan segera setelah sel mast teraktivasi (1 – 30 menit), dan menimbulkan respon segera. Mediator tersebut dikarakteristikan sebagai kumpulan granula sekretori yang mengisi sitoplasma sel mast dan mengandung berbagai macam mediator seperti amin biogenik (histamin dan 5-hydroxytryptamine), growth factors, dan enzim. Selain itu juga berupa mediator yang baru disintesis pada waktu aktivasi (newly synthesized), termasuk lipid-derived mediators dan sitokin yang dilepaskan 24 jam setelah sel mast teraktivasi, dengan demikian reaksi hipersensitivitas tipe IV/ delayed hipersensitivity merupakan kelanjutan dari reaksi hipersensitivitas tipe I. Dalam hal ini, sel mast memiliki kapasitas untuk mensintesis prostaglandin dan leukotrien dengan cepat dari asam arakhidonat (AA) yang dapat mengaktivasi phospholipase A2 (PLA2). Sedangkan sitokin inflamasi-imunoregulator merupakan mekanisme paling lambat terkait aktivasi gen yang bertanggungjawab mengoding mediator tersebut. Ketiga mekanisme tersebut dikontrol oleh mekanisme pensinyalan sel mast yang berbeda-beda meliputi jalur pensinyalan FcεRI, GPCR (G-protein coupled receptors), reseptor Toll, dan FcγRIII (Gali et al., 2001; Reber dan Frossard, 2014)
33
Gambar 2.5. Aktivasi sel mast dalam melepaskan mediator yang dapat dikategorikan dalam 3 mekanisme utama: preformed granule-associated mediators, lipid-derived mediators, dan sitokin inflamasi-imunoregulator. Mediator-mediator tersebut berkontribusi dalam respon pro-inflamasi dan pertahanan host (Galli, 2005; Krishnaswamy, 2001). Tabel 2.3. Mediator sel mast dan efek fisiologi maupun patofisiologinya (Galli et al., 2005) Mediator Efek Fisiologi/ Patofisiologi Preformed mediators Biogenik amine - Histamin Vasodilatasi, permeabilitas vaskuler, peristaltik, angiogenesis, mitogenesis - Serotonin (5-hidroksi-triptamin) Vasokontriksi, nyeri
34
Enzim - Triptase - Kinase - Karboksipeptidase A - Peroksidase - β-Hexoaminidase - Phospholipase - Matrix metalloproteinase Proteoglikan - Heparin - Kondroitin sulfat Kemokin - IL-8 (CXCL8) - MCP-1 (CCL2) - MCP-3 (CCL7) - MCP-4 - RANTES (CCL5) - Eotaxin (CCL11) Polipeptida - Renin - Substansi P - CRH (Corticotropin Releasing Hormone) - Urocortin - VIP (Vasoactibe intestinal polypeptide) - Angiogenin
Aktivasi dari reseptor yag diaktivasi protease, pembentukan bradikinin, inflamasi, nyeri, kerusakan jaringan, degradasi antigen Kerusakan jaringan, nyeri, sintesis angiotensin II Pemprosesan peptida (sintesis angiotensin II, pemecahan bradikinin dan substansi P) Produksi radikal oksigen bebas Pemprosesan karbohidrat Pembentukan asam arakhidonat, inflamasi Kerusakan jaringan Angiogenesis, stabilisasi triptase, faktor pertumbuhan histamin dan saraf, antikoagulan Komponen jaringan ikat, anti-inflamasi Kemoatraksi dan infiltrasi leukosit ke jaringan
Sintesis angiotensin Inflamasi, nyeri, aktivasi sel mast Inflamasi, vasodilatasi, pelepasan faktor pertumbuhan sel mast endotel vaskuler Inflamasi, vasodilatasi, aktivasi sel mast Vasodilatasi, aktivasi sel mast Aktivitas angiogenik dan ribonukleolitik
Newly synthesized mediators Metabolit fosfolipid - LTB4 (Leukotriene B4) - LTC4 (Leukotriene C4) - PGD2, PGE2 (Prostaglandin D2, E2) - PAF (Platelet activating factor) Sitokin - IL1,3,4,5,6,8,9,10,12,13,14,16,18,2 5 - MIP-1 dan 1β (Macrophage
Kemotaksis leukosit Vasokontriksi, nyeri Bronkokontriksi, nyeri Aktivasi platelet, vasodilatasi, inflamasi Inflamasi, migrasi leukosit, proliferasi/aktivasi leukosit, nyeri
35
inflammatory protein) - MCP-1 (Monocyte chemoattractant protein) - Interferon , β, - TNF- (Tumor necrosis factor) - Leptin Growth factors - SCF (Stem cell factor) - GM-SCF (Granulocyte monocyte- colony stimulatory factor) - VEGF (Vascular endothelial growth factor) - FGF (Fibroblast growth factor) - NGF (Nerve growth factor) - PDGF (Platelet derived growth factor) Nitric oxide (NO)
Proliferasi sel mast, pertumbuhan berbagai tipe sel
Vasodilatasi, neuromodulasi
2.4. Sel Mast Sebagai Agen Inflamasi Inflamasi merupakan proses yang sangat vital untuk semua organisme dan berperan penting baik dalam
mempertahankan kesehatan maupun terjadinya
berbagai penyakit, berupa respon protektif tubuh invasi mikroba berbahaya yang dikarakteristikan sebagai perubahan seluler, vaskuler, dan biokimia, serta termanifestasi sebagai gejala sakit (dolor), panas (kalor), merah (rubor), bengkak (tumor), dan hilangnya fungsi (fungsio lesa). Fenomena tersebut terjadi untuk mengeliminasi toksin dan merespon antibodi, komplemen, leukosit, dan substansi kemotaktik menuju ke titik radang. Kejadian ini tidak terlepas dari peran zat-zat yang berfungsi sebagai mediator kimia yang dilepaskan oleh sel-sel yang mengalami kerusakan. Mediator kimia tersebut antara lain histamin yang dihasilkan oleh sel mast. Aktivasi sel mast selain dapat menghasilkan histamin, juga menghasilkan beberapa proinflamasi dan sitokin seperti TNF-α, IL-1, IL-4, IL-6, IL-8, IL-13, dan tumor growth factor (TGF)-β1. Sel mast merupakan sel
36
penting dalam proses inflamasi yang telah dikenal selama lebih dari 130 tahun, tetapi perannya masih terus diteliti hingga kini (Fireman, 1999; Galli et al., 2005). Peran sel mast yang paling telah lama dikenal adalah reaksi inflamasi pada alergi yang merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I dimana dengan adanya reseptor permukaan sel untuk mengikat IgE (FcεRI) yang mengarah ke degranulasi klasik dan pelepasan mediator vasoaktif, pro-inflamasi, dan nosiseptif meliputi histamin, sitokin, dan enzim proteolitik. Aktivasi sel mast oleh ikatan IgE dengan alergen membutuhkan akses dari alergen untuk masuk dalam jaringan (sebagai contoh karena ada kerusakan pada barier mukosa oleh sebab inflamasi non spesifik dari patogen atau akibat mekanisme defensif seperti defensins) serta membutuhkan input dari respon imun adaptif agar efektif. Aktivasi sel mast tidak hanya membutuhkan sintesis IgE spesifik oleh sel B yang diregulasi oleh IL-4 dan IL-14 turunan TH-2 dan basofil, tetapi juga oleh priming sel mast oleh IL-4 untuk meningkatkan pelepasan mediator. Akibat pelepasan mediator oleh sel mast berupa histamin, leukotrien C4, dan prostaglandin D2 mengarah pada reaksi awal berupa reaksi wheal and flare yang terjadi pada kulit dan mukosa dimana mediator sel mast tersebut akan berefek pada mukosa, pembuluh darah, dan saraf sensori (nyeri). Pelepasan histamin dan mediator vasoaktif lain meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan aliran darah lokal, serta dapat meningkatkan kerja otot polos untuk mengekspulsi patogen di mukosa. Selain itu, histamin memicu produksi mukus sel epitel yang memfasilitasi imobilisasi patogen dan sitoproteksi. Selanjutnya, sel mast memproduksi faktor kemotaktik seperti IL-3, IL-5, IL-6, IL-8, TNF-, neurotofin-3, dan protease yang meningkatkan rekrutmen berbagai sel inflamasi seperti eosinofil, neutrofil, dan sel TH2 yang berkontribusi dalam inisiasi reaksi fakultatif fase lanjut, serta berinteraksi dengan
37
sel jaringan seperti sel saraf, otot polos, endotel, dan epitel. Selama proses disregulasi tersebut terjadilah gejala dari alergi, disfungsi organ, hilangnya fungsi barier, dan peningkatan translokasi bakterial. Hal tersebut semakin memicu sel mast, sel dendrit, dan sel lain (Theoharides, 2006).
38
Gambar 2. 6 Peran sel mast dalam reaksi inflamasi pada alergi (reaksi hipersensitivitas tipe I) (Bischoff, 2007) Pada berbagai penelitian yang berkembang, keterlibatan sel mast ditemukan pada banyak penyakit dan organ sehingga didapatkan kesimpulan bahwa sel mast dapat berpartisipasi di berbagai kondisi tanpa proses degranulasi klasik, sebagai contoh sel mast pada kulit dapat mengekspresikan reseptor FcεRI dan FcγRIII yang diaktivasi oleh mekanisme tergantung IgG. Selain itu, peran sel mast dalam produksi sitokin dan kemokin yang terlibat dalam regulasi diferensiasi sel T serta memiliki fungsi efektor membuat sel mast terus diteliti sebagai respon imun adaptif. Pada ulasan terkait peran sel mast pada penyakit inflamasi kulit sel mast bahkan dijuluki sebagai jack of all trades dalam berbagai kondisi patologis tanpa harus melibatkan IgE. Jalur novel melalui CD30L pada dermatitis atopi dan psoriasis hingga kini masih terus diteliti dimana CD30 dapat menginduksi sintesis de novo dan sekresi IL-8, macrophage inflammatory protein-1 (MIP-1), dan MIP-1β (Fischer et al., 2006). Hingga kini, sel mast diketahui memiliki spektrum biologik yang sangat luas seperti immediate hypersensitivity, delayed hypersensitivity, immune regulation, fibrosis, myelopoisis, angiogenesis, tissue repair, bronchial constriction, cytotoxicity, dan interstinal hypermotility (Krishnaswamy, 2001; Theoharides, 2006; Metcalfe, Baram dan Mekori, 1997). Sel mast secara fisiologi telah diketahui dapat mensekresi mediator tanpa proses degranulasi dengan melalui pelepasan diferensial atau selektif yang diregulasi oleh aksi dari protein kinase tertentu pada fosfoprotein yang unik. Proses tersebut disebut sebagai “aktivasi”, “aktivasi intragranular”, atau “degranulasi piecemeal”. Mediator selektif yang dapat dilepaskan tanpa proses degranulasi adalah serotonin, eikosanoid, dan IL-6 (dimana IL-1 dapat menstimulasi sel mast pada manusia untuk melepaskan IL-6 tanpa proses
39
degranulasi). Hal tersebut membuat peran sel mast semakin besar dalam berbagai proses inflamasi pada berbagai penyakit. Sebagai contohnya adalah pada penyakit autoimun dan proses inflamasi kronis seperti multiple sclerosis, arthritis, migrain, penyakit kardiovaskuler, sistitis interstitial, dan Irritable Bowel Syndrome. Selain itu, kemampuan afinitas alami sel mast pada membran mukosa dan epitel diyakini berperan sentral dalam patofisiologi berbagai penyakit kulit seperti psoriasis, dermatitis atopi, dan penyakit bula (pemfigus dan pemfigoid).
Tabel 2.4. Peran sel mast pada berbagai macam penyakit (Theoharides, 2004) Penyakit Asma Dermatitis atopi Penyakit kardiovaskuler Prostatitis kronis Fibromyalgia Irritable Bowel Syndrome Sistitis interstitial Migrain Multiple sclerosis Neurofibromatosis Osteoarthritis Arthritis rheumatoid Skleroderma
Efek Patofisiologi Akibat Sel Mast Bronkokontriksi, inflamasi pulmo Vasodilatasi kulit, rekrutmen sel T, inflamasi, gatal Inflamasi coroner Inflamasi prostat Inflamasi otot Iritasi otot polos dan plexus myentericus Inflamasi dan kerusakan mukosa kandung kemih Inflamasi dan vasodilatasi meningeal Inflamasi otak dan peningkatan permeabilitas Blood Brain Barrier Pertumbuhan saraf kulit, fibrosis Inflamasi dan erosi artikuler Inflamasi sendi dan erosi kartilago Inflamasi kulit dan fibrosis
Sel mast kini tak hanya sekedar efektor dari respon alergi, bahkan beberapa penelitian terkait sepsis telah membuktikan peran sel mast pada systemic inflammatory response syndrome (SIRS). Telah diketahui bahwa IL-6 dan TNF- dilepaskan oleh sel mast dan berperan penting dalam eliminasi bakteria pada
40
sepsis. Aktivasi sel mast pada kondisi infeksi bakterial dicetuskan oleh aktivasi komplemen terkait TLR4 atau endothelin-1. Sel mast dapat berpartisipasi pada pemberantasan langsung organisme patogen melalui fagositosis dan produksi spesies oksigen reaktif, serta dapat memproduksi peptida antimikrobial seperti cathelicidin yang merupakan respon dari lipopolisakarida atau paparan asam lipoteikoik. Sel mast juga dapat memfasilitasi respon imun adaptif dengan produk turunan sitokin dan kemokin yang dapat memicu migrasi sel dendrit (DCs; TNF dan CCL20) serta sel T efektor (CXCL10/IP10 dan CCL5/RANTES) ke situs infeksi dan limfonodi terkait. Sel mast dapat berfungsi sebagai antigen presenting cells (APC) untuk sel T CD8+. Hal yang menarik adalah sel mast memfasilitasi sel T menjadi Th2 dengan mengurangi produksi DC yaitu IL-12 dan meningkatkan sekresi IL-10 sebagai respon dari LPS yang kemudian memproduksi sitokin seperti IL-4 dan IL-13. Namun, yang terpenting adalah adanya respon sel mast dapat meningkatkan ketahanan host secara lokal pada situs infeksi dan dapat pula meningkatkan respon inflamasi yang memicu kerusakan jaringan host yang dapat memperburuk kondisi pasien selama infeksi (Sutherland et al., 2008. Mazzoni et al., 2001). Studi lain menyatakan bahwa sel mast merupakan komponen seluler penting yang berkontribusi dalam patobiologi trauma berat dengan manifestasi berupa respon inflamasi yang berlebihan dan kerusakan organ tahap akhir. Trauma berat menginisiasi kaskade inflamasi dan produksi sitokin berlebihan yang merupakan salah satu dari dasar terjadinya SIRS dan kerusakan organ multipel (Cai et al., 2011). Sel mast telah diketahui memiliki peran esensial dalam resolusi infeksi bakteri melalui mobilisasi neutrofil ke lokasi infeksi. Sel mast dikenal berperan
41
dalam inisiasi proses inflamasi dimana reseptor Toll-like receptor (TLR) atau reseptor dectin-1 dapat memicu eksositosis ketika berinteraksi dengan PathogenAssociated Molecular Patterns (PAMPs) pada bakteri (seperti lipopolisakarida dari bakteri gram negatif dengan TLR-4 dan peptidoglikan dari bakteri gram positif dengan TLR-2). Selain itu, reseptor untuk fragmen komplemen juga dapat memicu eksositosis seperti interaksi dengan C3a, C5a, dan bakteri yang dilingkupi C3b. Sel mast berperan dalam inisiasi respon imun innate (migrasi sel imun) dan dipercaya juga berperan penting dalam stimulasi respon imun adaptif. Peran tersebut disebabkan oleh kemampuan sel mast dalam melepaskan mediator inflamasi secara cepat tepat beberapa menit setelah aktivasinya. Lebih jauh lagi, sel mast selalu tampil dalam jaringan yang mengalami kontak pertama dengan antigen dan menjadi sel pertama yang berperan ketika jaringan mengalami trauma. Adanya berbagai proses yang dimediasi dalam inflamasi menyebabkan aktivasi oleh sel mast yang juga melepaskan mediator lain akan memperpanjang fase inflamasi. Pada penelitian dengan injeksi echinometrin, didapatkan penurunan ambang nyeri setelah dua jam pasca injeksi (Sciani et al., 2014). Degranulasi sel mast dapat terjadi baik oleh karena aktivasi protein G atau melalui lisis membran sel mast atau bahkan oleh karena kedua proses tersebut secara simultan. Ketika sel mast teraktivasi, sel mast akan melepaskan histamin dan mediator inflamasi lain termasuk protease seperti triptase dan kinase, mediator lipid (prostaglandin dan leukotrien), dan sitokin. Sel mast memiliki banyak molekul aktif pada permukaannya yang menyebabkan sel mast dapat bereaksi terhadap stimulus terkait IgE maupun non-IgE untuk melepaskan mediator yang akan menarik sel inflamasi lain (Ribatti dan Crivellato, 2014; McLachlan et al., 2008).
42
Sel mast berperan sebagai pusat dan berefek pada berbagai macam tipe sel yang terlibat dalam respon imun adaptif. Sel mast dapat memfasilitasi respon imun adaptif melalui pelepasan granuler dan sekresi mediator. Pelepasan histamin dan mediator vasoaktif lain meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan aliran darah lokal, serta meningkatkan aktivitas otot polos. Sebagai tambahan, histamin meningkatkan produksi mukus sel epitel yang memfasilitasi imobilisasi patogen serta sitoproteksi. Pada akhirnya, produksi sel mast berupa faktor kemotaktik dapat memicu rekrutmen sel-sel inflamasi seperti eosinofil (eotaxin), natural killer (NK), neutrofil, IL-8, IL-1, IL-6, dan TNF-. Sel mast juga dapat memfasilitasi respon imun adaptif dengan produk turunan sitokin dan kemokin yang dapat memicu migrasi sel dendrit (DCs; TNF- dan CCL20) serta sel T efektor (CXCL10/IP10 dan CCL5/RANTES) ke situs infeksi dan limfonodi terkait. Sel mast dapat berfungsi sebagai antigen presenting cells (APC) untuk sel T CD8+. Hal yang menarik adalah sel mast memfasilitasi sel T menjadi Th2 dengan mengurangi produksi DC yaitu IL-12 dan meningkatkan sekresi IL-10 sebagai respon dari LPS yang kemudian memproduksi sitokin seperti IL-4 dan IL-13. Namun, yang terpenting adalah adanya respon sel mast dapat meningkatkan ketahanan host secara lokal pada situs infeksi dan dapat pula meningkatkan respon inflamasi yang memicu kerusakan jaringan host yang dapat memperburuk kondisi pasien selama infeksi (Boesiger, Tsai dan Maurer, 1998; Galli, Nakae dan Tsai, 2005; Conti, Pang dan Boucher, 1997).
43
Gambar 2.7. Peran sel mast dalam respon imun innate dan adaptif (Theoharides dan Kalogeromitros, 2006) Sel mast dapat berperan dalam respon cell mediated inflamation (CMI) secara langsung terkait dengan sel T. Sel mast berinteraksi dengan sel T melalui
44
dua mekanisme. Pertama, melalui produksi materi kemotaktik seperti CCL 2-4-510, CXCL10, dan sitokin tertentu yang berkontribusi pada migrasi dan aktivasi sel T. Sel mast melepaskan TGFβ, IL-6, dan TNF yang menginduksi fenotip Th17 dan memicu respon inflamasi secara terus menerus. Lebih jauh lagi, ketika sel mast beriteraksi dengan sel T via kontak sel ke sel secara langsung, molekul HLA kelas 1 pada permukaan sel mast dengan adanya antigen akan mengaktivasi sel T via reseptor sel T. Sel mast juga mempengaruhi molekul ko-stimulan seperti ligand untuk reseptor OX40 dan 4-1BB pada sel T yang memfasilitasi efektor fenotip sel T. Via sistem OX40L-OX40, sel mast mendapatkan fenotip peregulasi dan dapat berinteraksi dengan sel T peregulasi. Sel T peregulasi nantinya dapat memodulasi aktivasi sel mast itu sendiri terutama dengan melemahkan ekspresi reseptor FcεRI (Frenzel dan Hermine, 2013). Sel mast juga berperan dalam respon imun humoral dengan memproduksi faktor terlarut (histamin, prostaglandin [PGD, PGE], dan sitokin pro-inflamasi [TNF, IL-1, IL-16, IL-18, dan lainnya] yang terlibat dalam pengaturan migrasi, maturasi, dan aktivasi sel dendrit (APC/ antigen presenting cells utama terhadap limfosit). Pelepasan IL-4, IL-6, dan IL-13 oleh sel mast juga berkontribusi terhadap perkembangan respon imun humoral melalui aktivasi sel B. Akhirnya, interaksi ligand CD40 pada permukaan sel mast dengan CD40 pada sel B menyebabkan berbagai efek seperti regulasi rekombinasi imunoglobulin isotipik yang menyebabkan produksi IgE dan memicu aktivasi sel mast terus menerus. IgE tersebut juga melakukan timbal balik dengan mengaktivasi sel mast via reseptor.
45
Gambar 2. 8. Respon imuno-inflamasi sel mast (Frenzel dan Hermine, 2013) Produk degranulasi sel mast yang sangat menonjol peranannya dalam inflamasi serta telah diteliti lebih lanjut adalah histamin dan beberapa sitokin proinflamasi yaitu IL-6, IL-8, dan TNF-. Histamin adalah amin aktif secara biologi
46
yang dijumpai di berbagai jaringan terutama sel mast yang mempunyai efek fisiologik dan patologik yang kompleks secara lokal. Histamin dapat menimbulkan efek bila berinteraksi dengan reseptor, histaminergik yaitu reseptor H1, H2, H3, dan H4. Histamin endogen mempunyai peranan sebagai modulator dalam berbagai respon imuno-inflamasi. Pada kerusakan jaringan, histamin sebagai produk degranulasi sel mast menyebabkan vasodilatasi lokal dan kebocoran plasma yang mengandung perantara inflamasi akut (komplemen, protein C reaktif), antibodi, dan sel inflamasi (neutrofil, eosinofil, basofil, monosit,dan limfosit). Umumnya fungsi ini dikerjakan melalui perantara reseptor H2, dengan meningkatkan cAMP intraselulaer. Pelepasan peptida dari saraf sebagai respon terhadap inflamasi juga dimodulasi oleh histamin yang dalam kasus ini melalui reseptor presinaptik reseptor H3. Berbagai penelitian telah membuktikan peranan histamin dalam respon imunoinflamasi khususnya pada sel dengan reseptor histamin H4 (terdapat pada sel mast, eosinofil, sel T, dan sel dendrit) yaitu mengaktivasi maturasi sel imun, meningkatkan migrasi eosinofil, meningkatkan rekrutmen sel mast secara selektif, meningkatkan produksi sitokin oleh sel mast, dan meningkatkan respon kemotaktik dari sel. H4 telah terbukti terlibat dalam penyakit kulit terkait inflamasi seperti pruritus dan dermatitis kronik. Ekspresi reseptor H4 telah teridentifikasi di sel mast kulit manusia, inflammatory dendritic epidermal cells, dan fibroblas dermal. Bukan tidak mungkin histamin merupakan produk sel mast yang berperan dalam repon inflamasi reaksi reversal. Histamin dapat menyebabkan respon inflamasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Respon inflamasi secara langsung dihasilkan setelah sel mast teraktivasi oleh antigen, histamin meningkatkan permeabilitas pembuluh darah di daerah lesi yang menyebabkan oedema dan
47
memfasilitasi leukosit dalam reaksi imun. Respon inflamasi secara tidak langsung berupa peningkatan produksi mediator inflamasi dan sitokin pro-inflamasi (TNF, IL-1. IL-6, dan IL-8) oleh histamin (Zampeli dan Tiligada, 2009; Nakamura et al., 2000; Baumer et al., 2008). Cree et al., dalam penelitian terkait densitas sel mast pada lesi lepra menyatakan bahwa meskipun degranulasi sel mast secara total terjadi secara in vitro, aktivasi sel mast pada jaringan dapat memprovokasi degranulasi parsial dan meningkatkan produksi prostaglandin dan histamin. Peningkatan kadar histamin pada lesi kulit yang mengalami inflamasi dan peningkatan reseptor fungsional histamin pada sel imun yang menginfiltrasi serta pada keratinosit dan neuron sensorik semakin mendukung teori kontribusi histamin pada patogenesis respon inflamasi kluit. Histamin terbukti mereduksi produksi IL-27 tetapi tidak TNF- IL-6, dan IL-10 pada tingkat mRNA dan protein tanpa memperhatikan TLR yang mengaktivasi monosit. Gschwandtner et al., menyatakan bahwa histamin merupakan molekul yang memiliki peranan penting dalaman reaksi imun kompleks pada respon inflamasi kulit meskipun mekanisme yang mendasari masih harus diteliti (Gschwandtner et al., 2012; Cree, Coghill, dan Beck, 1990). Interleukin-6 (IL-6) bersama faktor inhibitor leukimia, faktor neutropik silier, dan onkostatin-M merupakan keluarga sitokin tipe IL-6. Reseptor IL-6 terdiri dari IL-6 binding chain (IL-6Ra) dan komponen yang menginduksi sinyal (gp130). IL-6 diproduksi oleh sel mast, sel endothel, fibroblast, monosit, dan makrofag sebagai respon terhadap berbagai stimuli (contoh: IL-1, IL-17, dan TNF-) selama inflamasi sistemik. IL-6 merupakan sitokin multifungsional yang terlibat dalam regulasi respon imun, respon fase akut, inflamasi, dan hematopoiesis. IL-6 juga memicu proliferasi sel T, diferensiasi sel B, dan
48
produksi IgG, IgA, serta IgM plasma. IL-6 telah lama dianggap sebagai sitokin pro-inflamasi yang diinduksi oleh lipopolisakarida bakteri bersama dengan TNF dan IL-1. IL-6 sering digunakan sebagai penanda untuk aktivasi sistemik dari sitokin pro-inflamasi. IL-6 memiliki kedua sifat, baik proinflamasi, maupun antiinflamasi. Meskipun IL-6 memiliki sifat anti-inflamasi, tetapi IL-6 merupakan penginduksi kuat dari respon protein fase akut pada proses inflamasi. Pada respon fase akut IL-6 menginduksi leukositosis, sintesis hepatik berupa protein fase akut (fibrinogen, complement components, C reactive protein) yang semakin memperparah proses inflamasi. Efek IL-6 pada endothel berupa peningkatan sintesis molekul adhesi permukaan, adhesi leukosit ke endothel, elaborasi PGI1 dan AGEPC, serta meningkatkan trombogenisitas pada permukaan endothel. Efek IL-6 pada fibroblas berupa peningkatan proliferasi dan sintesis kolagen, sintesis kolagenase dan protease, serta sintesis PGE2 (Akdis et al., 2011; Kishimoto, 2003). Interleukin-8 (IL-8) merupakan faktor kemotaktik spesifik neutrofil dan juga diklasifikasikan sebagai anggota keluarga kemokin CXC. IL-8 diproduksi berbagai macam sel seperti sel mast, monosit, makrofag, neutrofil, limfosit, sel endothel, dan sel epitel setelah stimulasi dengan IL-1a, IL-1b, IL-17, TNF-, atau TLRs. Reseptor IL-8 adalah CXCR1 (IL-8RA) dan CXCR2 (IL-8RB). Efek utama dari IL-8 adalah aktivasi dan rekrutmen neutrofil ke lokasi infeksi. Selain itu, IL-8 juga menarik sel natural killer, sel T, basofil, dan GM-CSF-primed atau eosinofil IL3-primed (Bickel, 1993; Akdis et al., 2011). TNF-α adalah polipeptida yang diproduksi utamanya dengan stimulasi makrofag tetapi dibuat oleh berbagai macam sel secara luas termasuk di dalamnya sel mast, fibroblast, sel NK, sel T, dan sel B. Sel mast merupakan satu-
49
satunya tipe sel yang menyimpan TNF preformed, yang secara cepat dapat dilepaskan dan mempengaruhi rekrutmen sel T, serta aktivasi CCL2 dan CXCL-8 (IL-8) yang kemudian memicu rekrutmen sel imun ke lokasi inflamasi. TNF-α berperan dalam proses inflamasi yang dapat memediasi inflamasi akut, mengaktivasi makrofag, meningkatkan fagositosis, menstimulasi inflamasi pada sel endothel, dan kemoatraktan untuk leukosit. TNF-α pada sel dendrit menstimulasi migrasi ke limfonodi dan maturasi sel yang dapat menginisiasi respon imun adaptif. TNF-α juga mengaktivasi endothel vaskuler dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah yang mengarah pada peningkatan entri IgG, komplemen, dan sel ke jaringan, serta meningkatkan drainase cairan ke limfonodi. Meskipun sebenarnya efek TNF- ditujukan untuk melindungi jaringan yang terinfeksi, tetapi produksi yang berlebihan dapat meningkatkan patologi dan dapat menyebabkan kematian sel. Pada kadar rendah, TNF- bekerja terhadap leukosit dan endotel, menginduksi inflamasi akut. Pada kadar sedang, TNF- berperan dalam inflamasi sistemik dan pada kadar tinggi menimbulkan kelainan patologik hingga syok septik. TNF- juga memodulasi sel mast dalam kaitannya dengan influx neutrofil (Akdis et al., 2011; Malaviya et al., 1996). Reaksi reversal didasari oleh respon CMI sangat dipengaruhi oleh sitokin pro-inflamasi. Penelitian membuktikan adanya peningkatan aktivitas sitokin IL-6, IL-8, dan TNF- pada reaksi reversal. Efek pro-inflamasi dari sitokin IL-6, IL-8, dan TNF- pada reaksi reversal merupakan penanda inflamasi yang terus berjalan dan dapat memperparah proses inflamasi yang bermanifestasi klinis berupa lesi kusta yang menjadi lebih banyak dan lebih aktif secara mendadak dengan atau tanpa ulserasi, oedema, dan dapat terjadi neuritis hingga kerusakan saraf
50
permanen (Moraes et al., 1999; Huang et al., 2002). Oleh karena adanya berbagai stimulasi maka sel mast akan melepaskan mediator yang tersimpan dalam granulasi sekretorinya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Adanya kemampuan sel mast untuk melepaskan berbagai mediator tersebut menyebabkan sel mast dapat secara aktif berinteraksi dengan tipe sel lain di lingkungan sekitarnya serta berpartisipasi dalam induksi, propagasi, atau keduanya pada berbagai respon imun maupun inflamasi seperti pada keadaan mastositosis, asma, dermatitis atopik, dan psoriasis. Kemampuan tersebut menyebabkan inhibisi aktivasi sel mast dapat menjadi target terapi potensial.
Penelitian dan
pengembangan medikasi dengan sel mast sebagai target semakin berkembang, di antaranya adalah disodium cromoglycate (cromolyn), senyawa flavone, saponin dalam ekstrak teh hijau (Camellia sinensis), dan lainnya (Weng et al., 2014; Vieira et al.; Balaji et al., 2014).
2.5. Peran Sel Mast Pada Reaksi Reversal Sel mast merupakan sel yang berasal dari prekursor tertentu/ sel stem dalam sumsum tulang dan maturitasnya bergantung faktor mikroenviromental jaringan lokal. Infiltrasi dan proliferasi sel mast dalam kulit dapat dipicu oleh stem cell factor (SCF) yang dilepaskan oleh fibroblast dan sel nerve growth factor (NGF) yang dilepaskan oleh akhiran saraf, atau RANTES (regulated on activation, normal T cells, expressed and secreted). Sel mast memproduksi histamin dan sitokin pro-inflamasi (IL-1,IL-6,IL-8, dan TNF-), selain itu sel mast juga memproduksi sitokin yang dilepaskan oleh sel T-helper2 (Th2) seperti IL-4 dan IL-13 yang dapat memfasilitasi perkembangan infeksi kulit dengan menginhibisi
51
produksi peptida anti mikroba dari keratinosit (De Paulis et al., 1999; Conti, 1998). Sel mast distimulasi oleh anafilatoksin (fragmen komplemen C3a dan C5a) dan aktivitas bakteri melalui Toll-like receptor 2 (TLR-2) dan TLR-4 yang dapat memicu sekresi sitokin spesifik, kemokin, dan TNF- dari sel mast. Induksi BclxL oleh bakteri juga mencegah apoptosis sel mast. Triptase turunan sel mast dapat menstimulasi protease-activated receptor 2 (PAR2) pada sel endothel, memicu kebocoran mikrovaskuler dan semakin mengaktivasi sel mast. Sel mast juga memicu respon inflamasi dengan memproduksi kemokin (IL-8) dan sitokin (IL-6 dan TNF-). Sebagai tambahan, aktivasi sel T dapat memproduksi RANTES yang kemudian merekrut makrofag, limfosit, dan sel mast (Wedemeyer et al., 2000; Babina et al., 2004; Woolhiser et al., 2004). Sel mast berpartisipasi dalam infeksi bakteri melalui aktivasi TLR dan berperan penting dalam respon inflamasi dalam pertahanan terhadap bakteri. Sebagai contoh, Peptidoglycan (PGN) dari Staphylococcus aureus dapat menstimulasi sel mast melalui TLR2 dan memproduksi TNF-, IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-13. Selain itu Lipopolysaccharide (LPS) dari Escherichia coli menstimulasi sel mast melalui TLR4 dan memproduksi TNF-, IL-1β, IL-6, dan IL-13 (Misch, Berrington dan Hawn, 2010).
52
Gambar 2.9 Respon inflamasi reaksi kusta (Misch, Berrington, dan Hawn, 2010) Pada studi dengan binatang coba ditemukan bahwa IL-3 yang diproduksi oleh limfosit-T memicu maturasi prekursor sel mast dan pembelahan sel mast, serta adanya mediator lain menyebabkan degranulasi sel mast tanpa bergantung IgE. Lokasi sel mast pada kulit dekat dengan akhiran saraf sensoris dan telah diketahui dapat diaktivasi oleh neuropeptida seperti substansi-P (SP), neurotensin (NT), dan Pituitary Adenylate Cyclase Activating Polypeptide (PACAP) yang dilepas neuron dermal pada manusia. Sel mast kulit dapat mengekspresikan reseptor FcγRI- dan FcγRIIa yang diaktivasi oleh mekanisme yang bergantung IgG. Antigen asing seperti produk mikrobial juga dapat diikat oleh beragam tolllike receptors (TLRs) yang diekspresikan oleh sel mast. Galli dkk menemukan bahwa sel mast berperan penting dalam ekspresi berbagai proses inflamasi seperti infiltrasi leukosit, oedema, dan deposisi fibrin (Theoharides dan Cochrane, 2004; Galli, Kalesnikoff, Grimbaldeston et al., 2005). Adanya aktivasi sel mast dengan degranulasi klasik maupun degranulasi piecemeal (sekresi mediator tak tergantung degranulasi), menghasilkan pelepasan berbagai mediator terlarut baik secara cepat maupun lambat seperti protease
53
serine, kemokin, dan growth factors. Sel mast dapat mengekspresikan reseptor dan ligand yang berbeda-beda pada permukaan sel, serta molekul yang dapat mengaktivasi sistem imunitas dari sel seperti sel T yang berbeda-beda. Semua mediator dan molekul tersebut dapat memicu inflamasi berkelanjutan pada kulit. Sel mast secara strategis berlokasi di dermis bagian atas dari kulit normal, dimana sel mast dapat mengalami paparan eksogen dan endogen seperti antigen dan mikroba. Pada berbagai proses patologis yang mengganggu homeostasis kulit sebagai contoh perlukaan, infeksi mikroba, inflamasi seperti pada dermatitis atopi, psoriasis, dan sklerosis, jumlah dan reaktivitas sel mast meningkat dan membentuk homeostasis baru. Infiltrasi dan proliferasi sel mast dalam kulit dapat dipicu oleh stem cell factor (SCF) yang dilepaskan oleh fibroblast dan sel nerve growth factor (NGF) yang dilepaskan oleh akhiran saraf, atau RANTES (regulated on activation, normal T cells, expressed and secreted). Sel mast memproduksi histamin dan sitokin pro-inflamasi (IL-1,IL-6,IL-8, dan TNF-), selain itu sel mast juga memproduksi sitokin yang dilepaskan oleh sel T-helper2 (Th2) seperti IL-4 dan IL-13 yang dapat memfasilitasi perkembangan infeksi kulit dengan menginhibisi produksi peptida anti mikroba dari keratinosit. Rekrutmen sel mast dapat meningkat pada kondisi kulit yang patologis dimana mekanisme ini dapat dibuktikan dengan adanya ekspresi berbagai reseptor kemokin sel mast. Lebih jauh lagi, SCF, TGF-β, RANTES, dan stromal cell-derived factor-1 (CXCL-12) dapat memicu migrasi sel mast manusia in vitro secara efisien. Produksi kemoatraktan pada jaringan kulit yang terinflamasi dapat menjelaskan akumulasi sel mast. Sebagai tambahan, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, thrombopoietin, nerve growth factor, dan sel endotel dapat memodulasi survivalitas sel mast (Harvima et al., 2011).
54
Secara umum, dalam granula sel mast mengandung tryptase dan chymase proteases (TCMC) dan tryptase tanpa chymase (TMC). TCMC terdapat pada sel mast jaringan ikat yang ada di kompartemen dermis kulit, sedangkan TMC terdapat pada sel mast mukosa. β-triptase yaitu proteinase trypsin-like serine adalah protein TMC mayor. Pada penelitian binatang, injeksi triptase menginduksi akumulasi neutrofil, eosinofil, dan sel sistem imun lain pada kulit. Selain itu, reseptor Protease Activated Receptor-2 (PAR-2) yang diekspresikan sel mast pada manusia dilaporkan meningkat pada lesi kulit (contoh: psoriasis) mengarahkan kemungkinan adanya potensiasi parakrin dari inflamasi. Triptase dapat berinteraksi dengan epidermis dan dapat mendegradasi fibronektin pada membran basalis ex vivo. Triptase juga mengaktivasi keratinosit secara langsung melalui aktivasi PAR-2, serta mengaktivasi metalloproteinase dan pro-urokinase. Triptase menyediakan tempat bagi sel T dan neutrofil pada matrix ekstraseluler dan membran basalis untuk bermigrasi ke epidermis. Kinase pada sel mast juga merupakan kandidat poten dalam rekrutmen sel inflamasi. Pada penelitian binatang, injeksi kinase dapat menstimulasi akumulasi neutrofil, eosinofil, monosit, dan limfosit in vitro. Kinase meregulasi inflamasi dengan mendegradasi IL-6, IL-13, IL-5, dan TNF-. Kinase juga mendegradasi eotaxin dan neuropeptida substansi-P. Kinase merupakan enzim poten, tetapi efeknya bergantung pada kadar kinase yang aktif pada kulit terinflamasi. Kinase juga dapat berefek pada epidermis dengan menginduksi pembentukan bula karena dapat melepaskan keratinosit dari substratum dan mendegradasi fibronektin (Harvima et al., 1999; Li et al., 2006; Compton et al., 1998).
55
Gambar 2.10. Model hipotesis terkait fungsi sel mast sebagai pro-inflamasi atau sel imunosupresif pada proses inflamasi kulit (Harvima et al., 2011) Penelitian terbaru menemukan peran sel mast terhadap respon nyeri patologis/ maladaptif pada proses inflamasi terutama inflamasi kronis. Lokasi sel mast yang dekat dengan saraf berpotensi menyebabkan terjadinya hubungan antar molekul yang menghasilkan kontribusi sinergis dalam inisiasi dan propagasi respon nyeri jangka panjang via jaringan kerja antara neurotransmitter, sitokin, dan molekul adhesi. Pada penelitian hewan coba, didapatkan peningkatan aktivitas sel mast dalam mekanisme CMI yang mendasari kaskade nyeri maladaptif. Penelitian lain membuktikan bahwa injeksi IL-1β, IL-6, IL-8, dan TNF- dari sekresi sel mast secara independen dapat menyebabkan hiperalgesia. Keterlibatan sel mast dalam respon nyeri maladaptif telah dibuktikan pada penyakit seperti dermatitis atopi, vulvodinia, dan self-injurious behaviour associated with pain. Reaksi reversal tipe berat telah diketahui memiliki manifestasi berupa nyeri saraf yang didahului oleh silent neuritis (tidak nyeri) sehingga menimbulkan teori apakah timbulnya respon nyeri maladaptif pada reaksi reversal didasari oleh aktivitas sel mast (Chatterjea dan Martinov, 2014).
56
Limfosit, sel plasma, makrofag, dan fibroblas telah diketahui berperan dalam proses imunologi pada infeksi kusta. Penelitian yang terus berkembang saat ini adalah terkait peranan sel mast yang diketahui banyak ditemukan pada granuloma lepra tuberkuloid. Pada penelitian yang meneliti hubungan sel mast dan basil lepra pada kulit kaki tikus imunosupresif yang diinokulasi basil lepra 105. Pada penelitian tersebut dilaporkan adanya perubahan struktur dan morfologi sel mast dimana perubahan struktur disebabkan oleh infeksi langsung basil lepra, sedangkan perubahan morfologi berupa mastositosis dan degranulasi masif merupakan respon terhadap basil lepra. Perubahan densitas dan degranulasi masif tersebut banyak ditemukan pada sel mast di kulit, saraf yang terkena, otot, dan pembuluh darah. Pada penelitian terhadap manusia yang menilai densitas dan distribusi sel mast pada biopsi kulit 118 kasus leprosi yang tidak diterapi dan 20 individu sehat sebagai kontrol, didapatkan jumlah sel mast yang minim pada individu sehat. Jumlah sel mast meningkat secara signifikan pada kasus kusta (p < 0,01) dan peningkatan lebih besar didapatkan pada tipe LL (p < 0,05). Pada tipe LL juga didapatkan peningkatan degranulasi dan perubahan morfologi. Perubahan ini dapat disebabkan oleh adanya pelepasan sitokin dari limfosit T. Sebagai tambahan, pelepasan protease dari sel mast dapat berperan sebagai protein plasma seperti albumin untuk membentuk peptida pelepasan histamin yang akan semakin memicu aktivasi sel mast dan inflamasi. Studi lain menemukan bahwa kusta tipe LL memiliki sel mast dengan densitas terendah dibanding tipe BT maupun BB. Sel mast dengan densitas tinggi pada kusta tipe BT dan BB mengacu pada peran sel mast dalam aktivasi repon imun terhadap infeksi basil lepra (Kumar dan Vaidya, 1982; Mysorekar et al., 2001).
57
Hipotesis dari Chowdhury dan Ghosh menyatakan bahwa densitas yang berbeda pada lesi kusta berkaitan dengan terjadinya reaksi dengan menemukan sel mast dengan densitas rendah pada biopsi lesi tuberkuloid reaktif dibanding lesi tuberkuloid nonreaktif. Beberapa studi mendukung hipotesis tersebut dengan menemukan sel mast dengan densitas tinggi pada granulomata kusta lebih rentan terjadi reaksi reversal yang lebih berat mengacu pada pelepasan mediator dari sel mast tersebut. Studi lain menemukan bahwa kusta tipe LL memiliki sel mast dengan densitas terendah dibanding tipe BT maupun BB. Sel mast dengan densitas tinggi pada kusta tipe BT dan BB mengacu pada peran sel mast dalam aktivasi repon imun terhadap infeksi M. leprae (Chowdhury dan Ghosh, 1968). Sel mast telah lama dikenal menginduksi beragam sitokin seperti TNF-, IL-1, IL-4, IL-5, IL-6, dan GM-CSF. Bagwan dkk menemukan bahwa densitas sel mast pada tipe LL lebih tinggi daripada tipe TT yang berkaitan dengan predominansi sel Th2 sebagai respons dari sitokin yang diinduksi oleh sel mast pada tipe LL, sedangkan pada tipe TT didapatkan predominansi sel Th1. Selain itu, didapatkan bahwa Pada tipe BL baik Th1 dan Th2 diproduksi sesuai dengan tingginya densitas sel mast pada lesi kusta yang dapat menjelaskan tingginya kejadian reaksi reversal pada tipe BL. Pada tipe BT ditemukan banyak bentuk spindeloid dan elongasi dari sel mast yang mengindikasikan sel mast siap untuk berdegranulasi (Bagwan et al., 2004). Pada penelitian lain yang membandingkan biopsi lesi kusta saat reaksi kusta dan pasca reaksi, didapatkan peningkatan relatif dari TMC pada infiltrat inflamasi reaksi kusta. Selain itu, jumlah total dari sel mast dan rasio TMC/TMCC pada infiltrat inflamasi juga meningkat secara signifikan. Berbagai penelitian telah mengindikasikan peran penting sel mast pada perubahan dinamis dalam respon
58
imunitas yang dimediasi sel (cell mediated immunity) dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Hal tersebut menyebabkan berkembangnya penelitian terkait peran sel mast terhadap lesi kusta terutama pada reaksi kusta yaitu reaksi reversal. Pada reaksi reversal yang merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat, respon inflamasi yang terjadi melibatkan sel T dan menstimulasi faktor-faktor terkait yaitu histamine-releasing factors (HRF), IL-3, interferon- (IFN-), dan sel mast yang kemudian menstimulasi pelepasan mediator kimia yang menyebabkan inflamasi lokal. Sel T yang tersensitisasi mampu melepaskan faktor-faktor yang memiliki aktivitas pengikatan dua arah terhadap antigen dan reseptor putatif membran sel mast. Stimulasi sel mast akan menginduksi proses inflamasi yang lebih jauh seperti peningkatan permeabilitas vaskuler, oedema lokal, aktivasi leukosit, destruksi jaringan, dan pada akhirnya memproduksi lesi kulit sebagai akibat respon inflamasi (Antunes et al., 2003; Mahaisavariya et al., 2000).
2.6. Aktivasi Sel Mast Oleh Heat Shock Protein (HSP)–70 melalui Toll Like Receptor-4 (TLR-4) Heat shock protein (Hsp) adalah keluarga protein yang pada kondisi normal melindungi sel dari rangsangan stres eksternal. Pada keadaan stres, sel menggunakan berbagai mekanisme termasuk berperan dalam memperantarai pengikatan polipeptida, pensinyalan, mendampingi (chaperoning), dan menjaga keutuhan seluler. Hsp telah dikenal sejak tahun 1962 dengan bentuk kompleks multi molekul dan berperan sebagai chaperone atau molekul pendamping yang berikatan dengan protein linier. Molekul chaperone bekerja sebagai pengatur nasib protein linier melalui berbagai cara yaitu mengatur pelipatan protein di dalam sitoplasma, retikulum endoplasma atau mitokondria yang juga akan
59
berperan sebagai protein transpor intraseluler, memperbaiki atau mendegradasi, mengontrol regulasi protein, dan melipat kembali protein yang salah melipat. Hsp dibedakan sesuai lokalisasi dan fungsi dan dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa famili sesuai ukuran molekul yaitu Hsp90, Hsp70, Hsp60 dan Hsp40, serta small Hsp (Hsps) seperti Hsp27. Hsp dapat diekspresikan dalam keadaan normal (Hsp konstitutif) atau muncul jika ada stressor (Hsp inducible). Hsp inducible dapat muncul oleh beberapa stressor lingkungan seperti tampak pada tabel berikut (Morimoto et al., 1997). Hsp 70 adalah salah satu anggota Hsp yang paling banyak diteliti. Peningkatan Hsp70 dapat dicetuskan oleh paparan berbagai kondisi stres lingkungan dengan mengaktifkan faktor transkripsi heat shock yang kemudian mengalami translokasi ke nukleus dan berikatan dengan elemen heat shock pada bagian promoter dari gen HSP. Hal ini menghasilkan induksi cepat Hsp yang berfungsi dalam folding dan perbaikan protein, transportasi protein ke berbagai organela intraseluler, proteksi, dan sinyal seluler (Christians et al., 2002). Dalam sel manusia, HSP 70 banyak ditemukan di dalam sitosel, nukleus, mitokondria, dan retikulum endoplasma. Induksi terhadap Hsp 70 sebagian besar terjadi karena berlebihannya jumlah rantai polipeptida yang belum terlipat. Kelas Hsp 70 mempunyai tingkat konversi yang tinggi dalam evolusinya. Semua anggota dari kelas Hsp 70 mempuyai dua domain yang berbeda, yaitu domain ATPase yang terletak dekat ujung N-Terminal dan bagian C-Terminal yang terdapat domain yang mengikat peptida. Semua anggota Hsp 70 mengikat ATP. Hsp 70 dan Hsp 75 terikat pada protein saat protein memasuki matriks dari sitosol. Hsp 70 yang terdapat di sitosol terdiri dari Hsp 73 yang konstitutif dan Hsp 72 yang mudah terinduksi, keduanya berkaitan dengan sintesis, pelipatan,
60
dan sekresi protein. Selain itu, Hsp 70 juga mempuyai cochaperon berupa Bip (GRP78) yang berada di lumen retikulum endoplasma dan GRP 75 yang berada di mitokondria (McKenzie et al., 1991; Davenport et al., 1992).
Gambar 2.11 Struktur Hsp 70 (Morimoto et al., 1997)
Hsp70 berperan penting dalam respon imun dan peranannya bergantung dari lokasinya; apakah di intraseluler, permukaan sel, atau sirkulasi. Hsp70 intraseluler berperan dalam proteksi sel dan retriksi produksi sitokin, sedangkan Hsp70 ekstraseluler malah menstimulasi produksi sitokin dan memberikan penanda agar terjadi destruksi sel atau bertindak sebagai red flag terhadap sistem imun. Sel T sendiri dapat secara aktif melepaskan Hsp 70 ke lingkungan ektraseluler. Hsp70 ekstraseluler berperan baik dalam respon imun innate dan adaptif tetapi berbeda domain dimana domain C-terminal menstimulasi produksi kemokin, IL-12, TNF-, NO, dan berikatan dengan CD14, TLR4, dan CD40 pada APC yang kemudian memicu respon imun innate. Domain substrat berikatan dengan peptida antigen dan menstimulasi presentasi antigen serta respon imun adaptif. Sedangkan domain N-terminal ATPase melalui pergantian ADP/ATP meregulasi kedua respon imun. Reseptor pensinyalan seperti toll-like receptor (TLR) memberikan kemampuan HSP70 untuk mengaktivasi produksi sitokin dan menstimulasi respon inflamasi innate, sementara itu reseptor scavenger
61
membantu Hsp70 untuk mengirim antigen ke antigen-presenting cells (APC) yang kemudian menstimulasi respon inflamasi adaptif (Malyshev, 2013). Kluger et al., menemukan bahwa terdapat hubungan antara peningkatan kadar Hsp70 intraselular dengan penurunan kadar pro-inflamasi sitokin seperti TNF-α tetapi tidak pada IL-6. Namun, penelitian lain membuktikan bahwa peningkatan Hsp70 meningkatkan aktivitas pertahanan terhadap patogen dengan peningkatan TNF- pada lesi dengan reaksi reversal. Hsp70 telah dibuktikan dapat berperan sebagai pemicu sekresi IL-6 yang kuat (Kluger et al., 1997; Asea et al., 2000).
Gambar 2.12. Protein heat shock (HS) dapat bertindak sebagai sitoproteksi (jika HSP teraktivasi sebelum inflamasi dimulai) maupun agen pro-inflamasi (jika sebelumnya sudah ada proses inflamasi) (Malyshev, 2013) Berdasarkan hal tersebut, reaksi reversal pada kusta yang merupakan respon inflamasi kronik dapat menjadi stressor sel dan memicu Hsp70 untuk selanjutnya semakin memperberat proses inflamasi pada reaksi reversal. Dalam penelitian
62
tentang polimorfisme yang meneliti tiga gen pengode Hsp70 yaitu HSP70-1, HSP70-2, dan HSP70-hom, didapatkan alel HSP70-1 terinvestigasi pada kusta tipe TT yang menyebabkan kerentanan individu terhadap infeksi basil lepra lebih lanjut termasuk reaksi reversal. Fenomena “antigenic mimicry” merupakan fenomena dimana ditemukannya determinan antigen yang sama baik pada patogen maupun pada inang. Fenomena tersebut merupakan penjelasan yang paling mungkin terkait manifestasi klinis dan imunopatologis pada reaksi reversal. Pasien dengan reaksi reversal telah terbukti memiliki respon antibodi yang kuat terhadap antigen M. leprae. Berbagai protein antigen M. leprae telah diidentifikasi dengan monoclonal antibodies (MAbs) termasuk anggota keluarga Hsp. Hsp yang dimiliki patogen termasuk M. leprae merupakan target dari respon imun seluler. Dalam hal ini, protein dengan berat molekul 70-kDa pada M. leprae telah teridentifikasi memiliki sekuensi yang homolog sebesar 47% dengan Hsp70 pada manusia. Respon antibodi dominan terhadap Hsp70 M. leprae terkait pada regio C-terminal. Reaksi imunopatologis tersebut telah terbukti pada kusta yang mengalami reaksi reversal, dimana terjadi peningkatan aktivitas CMI terhadap antigen M. leprae dan terjadi formasi granuloma yang destruktif disertai oedema. Hsp70 inducible banyak terdeteksi dalam makrofag dengan infiltrat inflamasi menunjukkan selain karena adanya infeksi M. leprae, Hsp70 juga terinduksi oleh adanya proses inflamasi yang tinggi pada reaksi reversal. Adanya sekuensi homolog pada Hsp70 menyebabkan peningkatan ekspresi Hsp70 dikenali sebagai target respon imun seluler sehingga memperpanjang respon inflamasi pada reaksi reversal. Namun, hingga kini masih terus diteliti apakah usaha Hsp70 untuk menjaga jaringan dari M. leprae melalui respon inflamasi atau keberadaan Hsp70 sendiri memicu reaksi imunopatologi terkait proses yang
63
terjadi pada reaksi reversal (Rajalingam et al., 2000; Young et al., 1994; Aroni et al., 1996). Selain pathogen-associated molecular pattern (PAMP), Hsp70 yang merupakan protein damage-associated molecular pattern (DAMP) juga dapat mengaktivasi reseptor TLR4 contohnya pada monosit. Sebagaimana diketahui, sel mast memiliki reseptor TLR4 dan bukan tidak mungkin dapat teraktivasi oleh Hsp70 dalam reaksi reversal kusta. TLR4 merupakan glikoprotein yang bertindak sebagai reseptor permukaan transmembran yang pertama kali ditemukan pada manusia yang dapat mengenali lipopolisakarida bakteri Gram negatif, protein yang dikode oleh virus pada traktus respiratorius, serta self-protein seperti Hsp dan β-defensin. Selain itu, protein matriks yaitu fibronektin dan fibrinogen protein plasma juga dapat dikenali melalui TLR4. Jalur penandaan/ pathway TLR4 terdiri atas jalur yang tergantung pada myeloid differentiation factor 88 (MyD88) dan jalur yang tidak tergantung pada myeloid differentiation factor 88 (MyD88). Jalur yang tergantung pada myeloid differentiation factor 88 (MyD88) akan menginduksi sitokin inflamasi atau TRIF (Toll-IL-1R domain containing adaptor-inducing interferon β) yang akan menginduksi produksi interferon tipe 1 yang juga merupakan sitokin inflamasi. TLR 4 akan mengaktifkan jalur yang tidak bergantung pada MyD88, yang akan menyebabkan produksi IFN-β. Aktivasi MyD88 memulai kaskade penandaan, yang menyebabkan aktivasi berkesinambungan kinase dan translokasi faktor transkripsi sentral dari nuclear factor (NF)-кB dan interferon regulatory factor (IRF)-3. Akhirnya MyD88 berhubungan dengan toll/interleukin (IL)-1 receptor (TIR) adaptor-containing adapter protein erhadap kompleks yang akan menarik IL-1 receptor associated kinase dan tumor necrosing factor (TRAF)-6, yang selanjutnya akan
64
mengaktivasi kompleks IкB Kinase (IKK). Pada penandaan MyD88, molekul adaptor TIR domain-containing adaptor-inducing interferon (IFN)-β (TRIF) ditarik ke bagian intrasel TLR4 secara langsung melalui TRIF-related adaptor molecule (TRAM), yang selanjutnya menyebabkan aktivasi tankbinding kinase 1 (TBK-1) dan TRAF-6. Keduanya merupakan tempat terjadinya induksi respons imun yang didominasi oleh (NF)-кB atau respons imun yang didominasi oleh IRF-3 dengan pola aktivasi IFN tipe 1. Karakteristik terpenting aktivasi ligand TLR4 adalah terbentuknya kondisi proinflamasi yang disajikan oleh sitokin dan kemokin tertentu, didominasi oleh TNF-α dan IL-12 pada (NF)-кB dan IFN α/β pada IRF-3 penanda ligan TLR, serta menyebabkan ko-induksi nitric oxide synthesis (NOSII) dan TNF-α (Emertcan A, Öztürk F, dan Gündüz, 2001). Mortaz et al., telah membuktikan Hsp70 memiliki peranan dalam proses degranulasi sel mast. Induksi heat shock dan asam asetilsalisilat pada bone marrow derived mast cell (BMCC) memicu pelepasan Hsp70 ke ekstraseluler dan merangsang peningkatan produksi TNF- dan IL-6 melalui jalur reseptor TLR4. Secara singkat, Hsp70 bertanggung jawab dalam aktivasi sel mast untuk memproduksi sitokin pro-inflamasi (TNF-, IL-1. IL-6, dan IL-8), melalui stimulasi autokrin atau parakrin dari reseptor TLR. Penelitian terbaru dari Shabelnikov et al.,.mendukung teori tersebut dengan ditemukan adanya Hsp70 dalam granula sekretori dari sel mast berkaitan dengan adaptasi sel mast terhadap stressor (Malyshev, 2013; Mortaz et al., 2007; Shabelnikov, Bystrova dan Martynova, 2012). Mortaz et al., kemudian melanjutkan penelitian tersebut dan memastikan bahwa Hsp70 disekresi aktif oleh sel mast setelah induksi oleh heat shock dan asam asetilsalisilat secara spesifik. Ekspresi Hsp70 melalui TLR4 pada sel mast
65
dimulai dalam 5 jam dan persisten pada kadar rendah selama 18 jam. Hasilnya adalah peningkatan produksi sitokin pro-inflamasi (IL-6, IL-8, dan TNF-) yang bergantung produksi Hsp70 itu sendiri. Lebih jauh lagi, sitokin pro-inflamasi tersebut mengarah ke aktivasi faktor nuklear-kB (NF-kB) dan mitogen-activated protein kinases (MAPKs) yang berperan dalam respon imun innate. Penelitian lain membuktikan bahwa Hsp70L1 (anggota keluarga Hsp70) dapat berikatan dengan TLR4 pada permukaan sel 293-TLR4 yang memicu fosforilasi ERK (p42 and p44 extracellular signal-regulated kinases) 1/2, JNK (c-Jun NH2-terminal kinase) 1/2, p38, dan 1-kB dimana aktivasi kinase tersebut esensial dalam orkestra respon imuno-inflamasi (Mortaz et al., 2006; Fang et al., 2011; Tsan dan Gao, 2004).
Gambar 2.13. Hipotesis sederhana dimana Hsp70 berikatan dengan reseptor TLR4 dan mengaktivasi sel mast untuk melepaskan mediator inflamasi dan terus berlanjut memperparah reaksi reversal pada kusta (Pockley, 2001 dengan modifikasi)
66
67
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Konsep
Antigen Protein M. leprae
MAKROFAG (berisi M.leprae)
Hsp 70 Aktifasi limfosit Th1
TLR-4
Sel Mast Reaksi Coomb & Gell IV Histamin
TNF - α
IL-8
IL-6
INFLAMASI Non RR RR
Penelitian sebelumnya
Diteliti Tidak diteliti
68
Gambar 3.1 Kerangka konsep 3.2. Penjelasan Kerangka Konsep Teori yang sudah ada menerangkan mekanisme terjadinya RR adalah lewat teori hipersensitifitas Coomb & Gell tipe 4 yang didasari dengan pelepasan Ag protein dari M. leprae yang akan memicu aktivitas dari limfosit memori yang telah tersensitisasi sebelumnya. M. leprae yang berada di dalam sel makrofag akan mengalami stres oleh proses fagolisosom yang berusaha membunuh mikro organisme yang difagosit, sehingga Hsp70 terbentuk. Pemberian obat anti kusta juga menambah stres dari basil kusta yang berada di dalam makrofag tersebut. Penumpukan Hsp70 di dalam sel makrofag ini akan diikuti pengiriman sinyal oleh makrofag untuk mengundang sel limfosit sitotoksik untuk melisiskan makrofag. Setelah makrofag lisis Hsp70 akan terurai keluar dari sel dan akan menempel pada reseptor TLR4 yang berada di permukaan sel mast. Proses selanjutnya adalah pengaktifan sel mast oleh TLR4 yang ditandai dengan terbentuknya histamin, TNFα, IL6, IL8. Keempat produk sel mast tersebut akan memicu terjadinya proses inflamasi . Proses di atas terjadi pada semua penderita kusta yang mendapat pengobatan MDT. Keradangan yang terjadi pada pasien kusta tanpa RR kemungkinan bersifat ringan karena jumlah Hsp70 yang mengawali proses tersebut tidak terlalu banyak. Sehingga TLR4 yang terpapar oleh Hsp70 tidak banyak dan juga aktivasi sel mast tidak terlalu tinggi. Selanjutnya pembentukan histamin, TNFα , IL6, IL8 juga tidak terlalu banyak sehingga proses peradangan yang terjadi bersifat minimal. Dalam keadaa reaksi reversal kuman kusta yang terbunuh banyak sekali sehingga terjadi peningkatan Hsp70 berlipat ganda. Akibatnya keaktivan TLR4
69
juga sangat meningkat dan aktivasi sel mast juga sangat meningkat. Produk dari sel mast akan keluar sangat banyak sehingga menghasilkan respon inflamasi yang sangat hebat termasuk di antaranya edema akibat ekstravasasi cairan yang disebabkan oleh banyaknya histamin yang diproduksi. Penelitian atas ketujuh variabel di atas dengan membandingkan kelompok RR dan non RR diharapkan akan memperjelas peran sel mast dalam terjadinya reaksi RR.
3.3 Hipotesis Penelitian 3.3.1. Terdapat perbedaan ekspresi Hsp70 pada sel mast pasien kusta dengan dan tanpa reaksi reversal 3.3.2. Terdapat perbedaan ekspresi TLR4 pada sel mast pasien kusta dengan dan tanpa reaksi reversal 3.3.3
Terdapat perbedaan ekspresi sel mast pasien kusta dengan dan tanpa
reaksi reversal 3.3.4 Terdapat perbedaan ekspresi histamin pada sel mast pasien kusta dengan dan tanpa reaksi reversal 3.3.5 Terdapat perbedaan ekspresi TNF-α pada sel mast pasien kusta dengan dan tanpa reaksi reversal 3.3.6 Terdapat perbedaan ekspresi IL6 pada sel mast pasien kusta dengan dan tanpa reaksi reversal 3.3.7 Terdapat perbedaan ekspresi IL8 pada sel mast pasien kusta dengan dan tanpa reaksi reversal
70
BAB 4 METODE PENELITIAN
4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional analitik dengan rancangan cross sectional karena semua variabel diperiksa pada orang yang sama dan saat pemeriksaannya bersamaan yaitu pada lesi kulit pasien kusta yang sedang mengalami RR dan yang tidak mengalami RR (sebagai pembanding).
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin RS Donorojo dan Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara mulai bulan Juni 2014 — Agustus 2014. Pemeriksaan imunohistokimia dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
4.3 Populasi dan Sampel Target populasi pada pasien kusta usia 20-60 tahun, pasien kusta yang berkunjung ke Poliklinik Kulit di RS Donorojo Jepara. Sampel yang diteliti
71
adalah mereka yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dan dipilih sampai jumlah sampel terpenuhi (consecutiv sampling)
4.3.1 Kriteria inklusi 1. Pasien Kusta yang memenuhi kriteria WHO berusia 20-60 tahun dalam keadaan RR sebagai kelompok kasus. 2. Pasien kusta yang tidak dalam keadaan RR sebagai kelompok pembanding (kontrol). 3. Menyetujui dan menandatangani formulir informed concent.
4.3.2 Kriteria eksklusi 1. Pasien kusta dalam keadaan hamil 2. Pasien kusta dengan adanya penyakit inflamasi akut yang lain.
4.3.3 Besar sampel
n 2
2
( Z 1 Z 1 ) 2 ( 1 2 ) 2
Perkiraan
besar
sampel
berdasarkan
pengujian hipotesis data kontinyu pada dua sampel (Lemeshow, 1990) :
72
Keterangan: = simpangan baku mast cell pada kelompok reaksi = 11.036911 (diperoleh dari studi pendahuluan yang dilakukan peneliti) Z1-α = nilai tabel Z yang sesuai = 1,645( = 5%) Z1-β =nilai tabel Z yang sesuai = 1,282 ( = 90%) 1 = rata-rata mast cell pada kelompok reaksi = 19,2 2 = rata-rata mast cell pada kelompok tidak reaksi = 10,6
4.4 Definisi Operasional -
Pasien kusta adalah pasien yang didiagnosis sebagai kusta sesuai kriteria WHO (ditemukan salah satu dari tiga cardinal sign )
-
Reaksi Reversal (RR) adalah episode akut dalam perjalanan klinis penyakit kusta, yang ditandai dengan menjadi aktifnya lesi kusta secara mendadak yang sebelumnya relatif tenang.
73
-
Hsp70 (Heat Shock Protein 70) adalah molekul protein yang dibentuk oleh sel yang mengalami stres. Diperiksa secara imunohistokimia menggunakan antibodi monoklonal terhadap HSP70 dan divisualisasi menggunakan DAB . Dihitung dengan melihat 20 lapangan pandang dengan perbesaran 1000x .
-
TLR4 (Toll Like Receptor) adalah reseptor untuk Hsp70 yang berada di permukaan sel mast. Diperiksa secara imunohistokimia menggunakan antibodi monoklonal terhadap TLR4 dan divisualisasi menggunakan DAB . Dihitung dengan melihat 20 lapangan pandang dengan perbesaran 1000x.
-
Sel Mast (mast cell / mastocyte) adalah sel yang mengandung granula yang kaya histamin dan heparin. Diamati secara immunohistokimia menggunakan antibodi monoklonal terhadap Human Mast Tryptase antibody (Leica Biotech) , divisualisasi menggunakan DAB dan dihitung dengan mengamati 20 lapangan pandang pembesaran 1000x.
-
Histamin adalah amina biogenik yang terlibat dalam respon imun lokal. Diamati secara immunohistokimia, menggunakan antibodi monoklonal terhadap histamin , divisualisasi menggunakan DAB dan dihitung dengan mengamati 20 lapangan pandang pembesaran 1000x.
-
TNF-α adalah sitokin yang dihasilkan oleh sel mast dan beberapa sel lainnya. Diamati secara immunohistokimia menggunakan antibodi monoklonal terhadap TNF-α , divisualisasi menggunakan DAB dan dihitung dengan mengamati 20 lapangan pandang pembesaran 1000x.
-
IL8 adalah sitokin yang dihasilkan oleh sel mast dan beberapa sel lainnya , Diamati secara immunohistokimia menggunakan antibodi monoklonal terhadap
74
IL8 , divisualisasi menggunakan DAB dan dihitung dengan mengamati 20 lapangan pandang pembesaran 1000x. -
IL6 adalah sitokin yang dihasilkan oleh sel mast dan beberapa sel lainnya , Diamati secara immunohistokimia menggunakan antibodi monoklonal terhadap IL6 , divisualisasi menggunakan DAB dan dihitung dengan mengamati 20 lapangan pandang pembesaran 1000x.
4.5
Bahan dan Alat Penelitian
4.5.1 Bahan penelitian : Untuk imunohistokimia - Antibodi monoklonal Hsp70 - Antibodi monoklonal TLR4 - Human Mast Cell Tryptase Antibody (Leica Biotech) - Antibodi monoklonal histamin - Antibodi monoklonal TNF alpha - Antibodi monoklonal IL6 - Antibodi monoklonal IL8 - Immunohistokimia kit yang terdiri dari 3% H2O2
75
- Antibodi sekunder berlabel biotin - Antibodi sekunder berlabel AP (alkalin phosphatase) - Strep Avidin Horse Radis Peroxidase (SA-HRP) - Diamino benzidine (DAB) - Gliserin - Mayer Hematoxilen.
4.5.2 Alat penelitian : - punch biopsi - mikrotom PA - mikroskop
4.6.
Prosedur Penelitian, Pengambilan dan Pengumpulan data
4.6.1. Prosedur penelitian Subjek penelitian yang telah menandatangani informed consent dilakukan pengambilan sampel biopsi lesi kulit. Bahan biopsi dikirimkan ke laboratorium Patologi untuk pemeriksaan imunohistokimia.
A. Pengambilan sampel biopsi jaringan kulit
76
1. Pada area lesi atau ektensor lengan bawah pasienkusta dilakukan disinfeksi dengan alkohol 70 % 2. Kemudian dilakukan anstesi lokal dengan Lidocaine 0,25 ml pada area subkutan yang akan dilakukan biopsi. 3. Pada area yang telah dianatesi dilakukan biopsi dengan metode punch berdiameter 3 mm. 4. Jaringan kulit hasil biopsi dimasukkan dalam eppendorf yang berisi larutan formalin 10 % . 5. Pada kulit bekas luka biopsi dilakukan pembersihan dengan larutan NaCl 0,9 % , diberi antibiotika topikal asam fusidat dan ditutup dengan kasa steril 6. Pengecatan Hematoxilen-Eosin sebagai konfirmasi struktural dilakukan dengan cara sebelumnya dilakukan pemrosesan jaringan (fiksasi dan parafinisasi), pemotongan jaringan dengan mikrotom dan kemudian pemulasan.
B. Pembuatan sediaan histopatologi I. Pembuatan sediaan parafin blok 1. Jaringan dicuci dengan PBS 3-5 x untuk membersihkan dari kontaminan. 2. Kemudian difiksasi pada formalin 10%. 3. Setelah itu dilakukan dehidrasi menggunakan alkohol bertingkat (30%, 50%, 70%, 80%, 96% dan absolut) masing-masing 60 menit. 4. Dilakukan Clearing menggunakan xilol 2 kali masing-masing 60 menit. 5. Kemudian dilakukan infiltrasi dengan parafin lunak selama 60 menit pada suhu 48oC. 6. Kemudian dilakukan block dalam parafin keras pada cetakan dan didiamkan selama sehari.
77
7. Keesokan harinya ditempelkan pada holder dan dilakukan pemotongan setebal 46um dengan rotary microtome. 8. Dilakukan mounting pada gelas objek dengan gelatin 5%.
II. Proses Deparafinisasi 1.
Gelas obyek hasil parafin block direndam dalam xilol 2 kali masingmasing selama 5 menit.
2.
Setelah itu dilakukan rehidrasi menggunakan alkohol berseri (absolut, 96%, 80%, 70%, 50% dan 30%) masing-masing selama 5 menit.
3.
Kemudian dibilas dalam dH2O selama 5 menit.
III. Proses Pewarnaan Hematoxilen-Eosin 1. Slide dicuci dengan PBS pH 7,4 selama 5 menit. 2. Kemudian diwarnai dengan hematoxilen selam 10 menit. 3. Setelah itu, direndam dalam tap water selama 10 menit. 4. Kemudian dibilas dengan dH2O. 5. Dilakukan dehidrasi dengan alcohol berseri 30% dan 50% masing-masing selama 5 menit. 6. Kemudian diwarnai dengan larutan Eosin selama 3 menit. 7. Setelah itu dibilas dengan alcohol 30%. 8. Dicuci dengan dH2O selama 5 menit dan dikering anginkan. 9. Kemudian dilakukan mounting dengan entelan dan tutup dengan cover glass.
78
IV. Imunohistokimia Teknik Imunohistokimia dilakukan teknik imunomultistaining. Teknik ini untuk melihat ekspresi HSP70, Il6, Il8, TNFa dan Histamine pada Mast cells. Pertama tetesi dengan double staining boking selam 10 menit dan bilas dengan PBS pH7.4 sebanyak 3 kali masing-masing selama 5 menit. Tetesi antibosi pertama, monoclonal anti Tryptase antibody dan inkubasi pada suhu ruang selama 1 jam , kemudian bilas dengan PBS pH7.4 sebanyak 3 kali masing-masing selama 5 menit. Tetesi dengan antibodi kedua, anti HSP70, Il6, Il8, TNFa dan Histamine dan inkubasi pada suhu ruang dan selama 1 jam, kemudian bilas dengan PBS pH7.4 sebanyak 3 kali masing-masing selama 5 menit. Tetesi dengan double staining sekunder antibody polimer labeled, dan inkubasi selama 1 jam pada suhu ruang, kemudian bilas dengan PBS pH7.4 sebanyak 3 kali masing-masing selama 5 menit. Tetesi dengan Fulcan fast Red dan inkubasi selama 40 menit, kemudian bilas dengan PBS pH7.4 sebanyak 3 kali masing-masing selama lima menit. Tetesi dengan DAB dan inkubasi selama 10 menit, kemudian bilas dengan PBS pH7.4 sebanyak 3 kali masing-masing selama 5 menit. Tetesi dengan mayer hematoxilen sebagi pewarna inti sel. Amati pada mikroskop Nikon dengan perbesaran 400x.
C. Metode Perhitungan terhadap hasil pewarnaan imunohistokimia dan histokimia Setiap sampel jaringan dibuat sediaan irisan dengan ketebalan 4um, kemudian dideteksi: Pemeriksaan Hematoxilen-Eosin pengamatan struktur sel Mast dan pemeriksaan immunohistokimia terhadap ekspresiHSP70, Il6, Il8, TNFa dan Histamine pada sel Mast. Untuk keperluan perhitungan, slide yang sudah berkode
79
ditutup nomer kodenya dan diberi nomer baru secara acak. Sehingga pemeriksa tidak mengetahui slide yang diperiksa merupakan sample kelompok apa (Blind). Pemeriksa terdiri dari 2 orang. Pemeriksaan dan perhitungan sample dilakukan secara terpisah antara kedua pemeriksa. Dan perhitungan ekspresi protein HSP70, Il6, Il8, TNFa dan Histamine pada sel Mast dengan melihat adanya warna coklat pada sitoplasmasel pada sel Mast yang ditandai dengan membrane plasma terwarna Merah muda, kemudian dihitung menurut Soini et al., (1998) dan Pizem and Cor (2003) yang dimodifikasi untuk kepentingan sel Mast, dengan masing-masing slide pada bidang pandang dengan perbesaran 1000x. Hasil setiap perhitungan ditulis pada lembar kerja dan diambil nilai rata-rata per lapang pandang. Dilakukan pemulasan Hematoxilen-Eosin yang digunakan sebagai pembanding struktur. Analisis statistik bila semua hasil sudah dikembalikan ke kode sebenarnya.Dalam rangka menjamin representasi dan mengurangi kesalahan hasil, diperlukan pengamatan pada kurang lebih sejumlah 20 lapang pandang dengan perbesaran 1000x yang masing-masing berisi lebih kurang 50 sel (Soini et al., 1998; Pizem and Cor, 2003).
D. Pemeriksaan Hapusan Sayatan Kulit Pemeriksaan hapusan sayatan kulit yang diperlukan untuk memeriksa adanya Basil Tahan Asam (BTA) digunakan dalam penelitian ini untuk mendiagnosa kusta (Depkes RI, 2007) Indek Morfologi (MI) adalah presentasi bakteri hidup, yang ditandai dengan bentuk solid dibandingkan jumlah bakteri keseluruhan baik dalam bentuk solid ataupun terpecah. MI berguna untuk menentukan daya penularan kuman, potensi penularan dan membantu menentukan resistensi terhadap obat .
80
4.6.2 Pengambilan dan pengumpulan data Data imunohistokimia, merupakan data eskpresi sel perlapang pandang yang dihitung berdasarkan referensi (Soini et al., 1998; Pizem and Cor, 2003).
4.6.3 Pengolahan dan analisis data Analisisi data dilakukan setelah semua kelompok selesai dilakukan ELISA (pg/mL) dan imunohistokimia serta dihitung jumlah HSP 70, TLR4, sel Mast yang mengekspresikan HSP70, Histamine, IL6, IL8 dan TNFa. Analisis dilakukan menggunakan program spss 17 versi windows, dengan menguji: 1.
Uji Distribusi normal menggunakan Kolmogorov-Smirnov: untuk meyakinkan bahwa sampel berasal dari populasi yang terditribusi normal
2.
Uji Beda menggunakan uji t 2 sampel bebas : untuk meyakinkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan Antara kelompok reversal dan non-reversal.
81
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS PENELITIAN
5.1 Subjek Penelitian. Penelitian ini menggunakan sampel dari pasien pasien kusta MB (multi basiler) yang mengalami reaksi reversal (RR) sebanyak 28 orang, sedangkan pasienkusta yang tidak mengalami RR sebagai kontrol berjumlah sama. Penelitian ini mengkaji peran HSP70 dalam meregulasi aktivasi sel mast melalui ekspresi berbagai parameter inflamasi seperti Histamin, TNF alpha, IL6 dan IL8 melalui peningkatan ekspresi TLR4. Pengamatan ekspresi masingmasing parameter dilakukan dengan menggunakana teknik imunohistokimia, dengan menggunakan metode immunodoublestaining. Distribusi sel mast ditandai dengan reaksi positip terhadap anti tryptase antibody yang divisualisasi menggunakan DAB (ditunjukkan dengan warna coklat), sedang parameter yang diekspresikan ditandai dengan reaksi positip terhadap masing-masing parameter terkait (anti HSP70, anti Histamin, anti TLR4, anti TNF alpha, anti IL6 dan anti IL8) yang divisualisasi menggunakan fast red (ditunjukkan dengan warna merah).
Tabel 5. 1. Karakteristik sampel penelitian Umur
Jenis Kelamin
N Rata-rata Simpangan Baku Laki-laki Perempuan
Kontrol 28 41,00 8,255
Reaksi Reversal 28 42,43 9,126
15 (53,6%)
12 (42,9%)
13 (46,4%)
16 (57,1%)
82
Dari tabel terlihat bahwa rata-rata usia hampir sama antara kelompok kontrol dan kelompok reaksi . Dari jenis kelaminnya terlihat seimbang antara laki – laki dan perempuannya.
5.2 Ekspresi Variabel pada Jaringan 5.2.1 Ekspresi Hsp70 pada jaringan
A
B
Gambar 5.1 Pada gambar ini menunjukkan sel mast yang memberikan reaksi positif terhadap anti Hsp 70 melalui pewarnaan imunohistokimia, x400, Gambar A kelompok non RR Gambar B kelompok RR . Tanda panah hitam menunjukkan double stain terhadap anti Hsp 70, tanda panah merah menunjukkan sel mast tidak menghasilkan reaksi positif.
Gambar 5.2 Gambaran histogram diatas menunjukkan peningkatan ekspresi Hsp 70 pada sel mast kelompok reaksi reversal dibandingkan dengan kelompok non reaksi reversal.
Tabel 5.2 Hasil uji beda data ekspresi HSP70 pada jaringan menggunakan uji t 2 sampel bebas Kelompok
n
Rerata
Kontrol
28
Simpangan baku 2,54 0,922
Reaksi Reversal
28
9,71 2,432
p
0,000
83
Terdapat peningkatan yang signifikan (p<0.05) eskpresi HSP70 pada sel mast kelompok reaksi reversal dibandingkan dengan kelompok kontrol
5.2.2 Ekspresi TLR-4 pada sel mast
B A
A
Gambar 5.3. Pada gambar ini menunjukkan sel mast yang memberikan reaksi positif terhadap anti TLR - 4 melalui pewarnaan imunohistokimia, x400, Gambar A kelompok non RR Gambar B kelompok RR . Tanda panah hitam menunjukkan double stain terhadap anti TLR - 4, tanda panah merah menunjukkan sel mast tidak menghasilkan reaksi positif.
Gambar 5.4 Gambaran histogram diatas menunjukkan peningkatan ekspresi TLR-4 pada sel mast kelompok reaksi reversal dibandingkan dengan kelompok non reaksi reversal. Tabel 5.3 Hasil uji beda data ekspresi TLR-4 pada jaringan menggunakan uji t 2 sampel bebas n
Rerata Simpangan baku
Kontrol
28
5,96 1,598
Reaksi Reversal
28
13,07 3,276
Kelompok
p
0,000
Terdapat peningkatan yang signifikan (p<0.05) eskpresi TLR-4 pada sel mast kelompok reaksi reversal dibandingkan dengan kelompok kontrol
84
5.2.3 Ekspresi sel mast pada sel mast
A
B
Gambar 5.5. Pada gambar ini menunjukkan sel mast yang memberikan reaksi positif terhadap anti sel mast melalui pewarnaan imunohistokimia, x400, Gambar A kelompok non RR Gambar B kelompok RR . Tanda panah hitam menunjukkan double stain terhadap anti sel mast, tanda panah merah menunjukkan sel mast tidak menghasilkan reaksi positif.
Gambar 5.6 Gambaran histogram diatas menunjukkan peningkatan ekspresi sel mast pada kelompok reaksi reversal dibandingkan dengan kelompok non reaksi reversal.
Tabel 5.4 Hasil uji beda data ekspresi sel mast pada jaringan menggunakan uji t 2 sampel bebas n
Rerata Simpangan baku
Kontrol
28
9,29 2,070
Reaksi Reversal
28
20,86 4,919
Kelompok
p 0,000
Terdapat peningkatan yang signifikan (p<0.05) ekspresi Sel Mast pada jaringan kelompok reaksi reversal dibandingkan dengan kelompok control.
85
5.2.4 Ekspresi histamin pada sel mast
A
B
Gambar 5.7. Pada gambar ini menunjukkan sel mast yang memberikan reaksi positif terhadap anti histamin melalui pewarnaan imunohistokimia, x400, Gambar A kelompok non RR Gambar B kelompok RR . Tanda panah hitam menunjukkan double stain terhadap anti histamin, tanda panah merah menunjukkan sel mast tidak menghasilkan reaksi positif.
86
Gambar 5.8 Gambaran histogram diatas menunjukkan peningkatan ekspresi histamin pada sel mast kelompok reaksi reversal dibandingkan dengan kelompok non reaksi reversal. Tabel 5.5 Hasil uji beda data Histamin pada menggunakan uji t 2 sampel bebas Kelompok
n
Rerata Simpangan baku
Kontrol
28
5,65 4,909
Reaksi Reversal
28
20,38 4,669
p 0,000
Terdapat peningkatan yang signifikan (p<0.05) ekspresi Sel Mast pada jaringan kelompok reaksi reversal dibandingkan dengan kelompok non reaksi reversal . 5.2.5 Ekspresi TNF-α pada sel mast
B
A
Gambar 5.9. Pada gambar ini menunjukkan sel mast yang memberikan reaksi positif terhadap anti TNF-α melalui pewarnaan imunohistokimia, x400, Gambar A kelompok non RR Gambar B kelompok RR . Tanda panah hitam menunjukkan double stain terhadap anti TNF-α, tanda panah merah menunjukkan sel mast tidak menghasilkan reaksi positif.
Gambar 5.10. Gambaran histogram diatas menunjukkan peningkatan ekspresi TNF- pada sel mast kelompok reaksi reversal dibandingkan dengan kelompok non reaksi reversal. Tabel 5.6.Hasil uji beda data TNF- pada jaringan menggunakan uji t 2 sampel bebas Kelompok Kontrol
n
Rerata Simpangan baku
28
2,89 1,257
p 0,000
87
Reaksi Reversal
9,43 2,911
28
Terdapat peningkatan yang signifikan (p<0.05) ekspresi TNF- pada jaringan kelompok reaksi reversal dibandingkan dengan kelompok non reaksi reversal
5.2.6 Ekspresi IL-6 pada jaringan
B
A
Gambar 5.11. Pada gambar ini menunjukkan sel mast yang memberikan reaksi positif terhadap anti IL-6 melalui pewarnaan imunohistokimia, x400, Gambar A kelompok non RR Gambar B kelompok RR . Tanda panah hitam menunjukkan double stain terhadap anti IL-6, tanda panah merah menunjukkan sel mast tidak menghasilkan reaksi positif . Gambar 5.12 Gambaran histogram diatas menunjukkan peningkatan ekspresi IL6 pada sel mast kelompok reaksi reversal dibandingkan dengan kelompok non reaksi reversal. Tabel 5.7 Hasil uji beda data IL-6 pada jaringan menggunakan uji t 2 sampel bebas
88
Kelompok Kontrol
n
Rerata Simpangan baku
28
3,68 1,090
p
0,000 Terdapat peningkatan yang signifikan (p<0.05) ekspresi IL-6 pada jaringan kelompok reaksi reversal dibandingkan dengan kelompok non reaksi reversal
5.2.7 Ekspresi IL-8 pada jaringan
B
A
Gambar 5.13. Pada gambar ini menunjukkan sel mast yang memberikan reaksi positif terhadap anti IL-8 melalui pewarnaan imunohistokimia, x400, Gambar A kelompok non RR Gambar B kelompok RR . Tanda panah hitam menunjukkan double stain terhadap anti IL-8, tanda panah merah menunjukkan sel mast tidak menghasilkan reaksi positif.
Gambar 5.14 Gambaran histogram diatas menunjukkan peningkatan ekspresi IL8 pada sel mast kelompok reaksi reversal dibandingkan dengan kelompok non reaksi reversal. Tabel 5.8. Gambaran histogram diatas menunjukkan peningkatan ekspresi IL-8 pada sel mast kelompok reaksi reversal dibandingkan dengan kelompok non reaksi reversal. n
Rerata Simpangan baku
Kontrol
28
2,68 0,905
Reaksi Reversal
28
6,64 1,420
Kelompok
p 0,000
Terdapat peningkatan yang signifikan (p<0.05) ekspresi IL-6 pada jaringan kelompok reaksi reversal dibandingkan dengan kelompok non reaksi reversal
Gambar 5.15. Gambaran histogram diatas menunjukkan pada semua terjadinya peningkatan yang signifikan.
89
BAB 6 PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Dalam penelitian ini dilakukan menggunakan rancangan penelitian cross sectional karena tidak mungkin memilih rancangan penelitian kohort dan case control study karena beberapa keterbatasan dan masalah etik. Penelitian mengenai RR pada penyakit kusta telah banyak dilaporkan , namun hanya sedikit yang membahas tentang peran sel mast dalam kejadian
90
tersebut. Umumnya sel mast banyak dihubungkan dengan proses alergi yang berkaitan dengan imunoglobulin E, misalnya pada pasien atopik. Di samping itu banyak dilaporkan keterlibatan sel mast pada beberapa penyakit dengan peradangan. Penelitian ini dilaksanakan untuk menjelaskan bagaimana sesungguhnya peran sel mast dalam proses terjadinya RR pada penyakit kusta. Secara teoritis reaksi reversal dilihat dari segi penghancuran kuman merupakan hal yang positif karena terjadi penghancuran kuman secara besar besaran. Namun, secara klinis kurang baik untuk penderita karena terjadi tanda tanda radang akut yang mengganggu secara kosmetik. Reaksi Reversal ditandai dengan hipersensitivitas tertunda terhadap antigen M. leprae (reaksi tipe-IV Gell & Coombs) dan peningkatan mendadak mendadak dalam respon sel-imun pada lesi (Ridley & Radia 1981, Naafs 2000 Little et al., 2001). Pada RR terdapat peningkatan jumlah limfosit dalam dermis dengan hilangnya struktur granuloma normal yang akan mengurangi efektivitas kuman. Selain itu, sel-sel raksasa Langhans dapat diamati pada tahap selanjutnya dari RR (Ridley & Radia 1981, Walker & Lockwood 2008).
Reaksi Reversal
mempengaruhi 20-30% dari penderita kusta (Roche et al., 1991, Scollard et al., 1994, Saunderson et al., 2000b, ranque et al., 2007). Sebagian besar pasien tersebut diklasifikasikan dalam spektrum batas dari Ridley dan Jopling (1966) (R & J) skema. RR terjadi lebih sering daripada ENL (van Brakel et al., 2005). Manifestasi klinis RR merupakan peradangan akut yang sudah ada lesi, yang dapat menjadi eritematosa, edema dan infiltrat (Saunderson et al., 2000b). Saraf perifer sering terpengaruh selama proses inflamasi akut. Hebatnya, lesi kusta baru mungkin menjadi jelas, kemungkinan besar disebabkan oleh respon
91
inflamasi terhadap basil yang sebelumnya tidak terdeteksi dalam dermis (Rose & Waters 1991).
Edema pada ekstremitas mungkin ada, tetapi jarang terjadi
(Walker & Lockwood 2008). Pada penelitian ini peran sel mast diteliti dengan cara membandingkan beberapa variabel pada pasien kusta yang tidak mengalami reaksi dengan pasien kusta yang mengalami RR. Setelah dilakukan uji normalitas untuk keenam variabel yang diteliti semua menunjukkan distribusi normal sehingg kedua kelompok tersebut telah memenuhi syarat untuk dilakukan uji statistik parametrik.
92
Ekspresi terhadap Hsp70 pada penelitian ini dilihat pada sel mast .pada duapuluh delapan pasien RR dan yang tidak mengalami RR. Dari hasil pengamatan ternyata dari seluruh pasien kusta yang tidak mengalami RR juga mengekspresikan Hsp70 namun terdapat perbedaan yang bermakna pada sel mast pasien RR dan pasien kusta yang tidak mengalami RR (p = 0,00 lebih kecil dari 0,05). Adanya makrofag yang baru dan sekresi Hsp70 membuka cakrawala baru tentang adanya peranan imunitas alamiah pada RR (Abulaifa J , 1999). Makrofag pada kusta tipe MB, merupakan tempat dimana kuman M. leprae tumbuh dan berkembang biak dan merupakan sel inang utama bagi M. leprae (Scollard DM, 2006). Pada kusta tipe MB , terdapat benyak makrofag yang telah berubah bentuk menjadi sel lepra (sel Virchow), yang diduga disebabkan oleh karena kuman yang difagositosis, tetapi hanya dihancurkan sebagian, sehingga lapisan fosfolipid kuman tetap terdapat disitoplasma makrofag, dan tampak sebagai sel lepra. Makrofag yang mengandung kuman M. leprae didalamnya, tidak dapat diaktivasi, termasuk oleh sitokin IFN-γ, yang akan mengakibatkan, banyaknya kuman didalam sel tersebut. Bakteri kemudian akan mati atau terpecah menjadi bagian bagian yang lebih kecil, yang disebabkan oleh antara lain karena pengobatan , akan menyebabkan datangnya makrofag yang baru yang segar dan kompeten (Hagge DA, 2004). Secara teoritis protein mempunyai banyak peran antara lain, sebagai komponen struktural tubuh, sebagai water balancing, sistem transportasi, sebagai enzim, hormon, dan juga sebagai sumber energi. Protein juga berperan dalam sistem respons imun dan sistem darah. Secara intraseluler, protein berperan sebagai enzim dan dalam sistem transduksi sinyal (Genton, 2010). Kerusakan
93
protein intraseluler bisa terjadi karena radikal bebas yang timbul pada RR, sehingga menimbulkan unfolding protein, dan hal ini akan menyebabkan protein lebih peka terhadap proteinase dan lebih mudah masuk ke lisosom. Reaksi Reversal juga menyebabkan fragmentasi protein ekstraseluler, sehingga menjadikannya lebih mudah larut dan lebih mudah dicerna pada proses endositosis serta didegradasi oleh sel makrofag (Dean, 1986). Heat shock protein berfungsi sebagai chaperon terhadap protein yang lain. Senyawa HSP berperan dalam protein folding, traffickking protein intraseluler, dan coping pada protein yang mengalami denaturasi. Peran HSP penting dalam maintenance protein. Senyawa HSP mengangkut protein tua/old
protein ke
recycling bean (proteasome), di samping itu Hsp juga membantu sintesis protein (Mayer, 2005). Karena kemampuan dan aktivitasnya dalam sistem reparasi sel, maka Hsp70 disebut juga sebagai cellular stress response (Clark, 2009). Stres pada sel yang merusak protein, akan menyebabkan unfolding dan kemungkinan terjadi agregasi protein. Proses pencegahan oleh HSP70 ini adalah dengan mengikatkan diri pada protein yang terganggu tersebut (Nollen, 2002; Tomanek, 2003). Peningkatan HSP70 oleh sel akan melindungi protein, mencakup juga perlindungan pada sel pengekspresi itu sendiri. Hal tersebut akan lebih meningkatkan fungsi sel termasuk sel-sel sistem imun. Kenaikan sel pengekspresi HSP70 pada RR menunjukkan adanya efek imunoprotektif, yaitu proteksi protein dari kerusakan akibat inflamasi. Pada penelitian ini secara konseptual RR merupakan rangkaian proses yang diawali dengan munculnya
Hsp70 yang akan diterima oleh TLR4 dan
selanjutnya mengaktifkan sel mast . Hsp70 merupakan protein damageassociated molecular pattern (DAMP) yang dapat mengaktivasi reseptor TLR-4.
94
Hsp70 ini bisa juga timbul akibat kelelahan yang berlebihan (Flaherty KM, DeLuca-Flaherty C, McKay DB, 1990). Penderita kusta pada penelitian ini mayoritas adalah petani serta pekerja kasar lain yang mempunyai potensi untuk mengalami keletihan sehingga kemungkinan Hsp70 bisa meningkat . Pada pasien kusta Hsp70 terutama berasal dari bakteri M. leprae yang berada di dalam makrofag dan mengalami penghancuran oleh lisosom. Di samping itu bakteri kusta tersebut juga mendapat stres dari obat – obat anti kusta. Akibat dari kedua stres tersebut Hsp70 banyak menumpuk di dalam makrofag. Selanjutnya makrofag akan mengirim sinyal ke luar untuk memanggil sel CTL yang akan datang dan menyebabkan lisisnya makrofag tersebut. Dengan demikian Hsp70 yang ada di jaringan berasal dari sel makrofag yang lisis dan mengeluarkan tumpukan Hsp70 yang berada di dalam selnya. Arony dkk (1996) melaporkan banyaknya Hsp70 pada dua pasien dengan RR namun tidak membandingkan dengan pasien kusta yang tidak mengalami RR. Pada kejadian episode reaksional kedua tipe kusta disebutkan bahwa sangat mungkin peningkatan Hsp70 dipicu oleh respon inflamasi dibandingakan dengan kehadiran M.leprae sendiri. Tidak jelas apakah pengaturan Hsp70 ini bersifat menguntungkan atau melindungi jaringan melalui episode inflamasi (S. Khanolkar-Young, 1996). Hsp70 di jaringan pada penelitian ini
diambil dari pasien kusta yang
sedang mendapatkan pengobatan sehingga M. leprae yang ada di jaringan telah mengalami stres akibat pemberian obat tersebut. Secara imunohistokimia ekspresi Hsp70 di jaringan sudah dapat terlihat. Namun untuk menentukan nilai normal (base line) dari Hsp70 tersebut agak sulit dilakukan karena belum ada literatur yang mendukung, serta kesulitan dalam bidang etik apabila kulit normal
95
diambil sebagai pembanding. Dengan dasar ini, maka jumlah Hsp70 yang ditemukan pada pasien kusta tidak reaksi dapat dianggap sebagai pembanding (kontrol) untuk menyatakan adanya perbedaan dengan jumlah Hsp70 di jaringan yang sedang mengalami RR. Dari hasil penelitian ini meskipun ada satu data ekstrim pada kusta yang sedang RR, secara umum jumlah Hsp70 di jaringan dari pasien kusta RR lebih tinggi daripada pasien kusta yang tidak mengalami RR (p = 0,00). Mengingat uji normalitas telah terpenuhi maka outlayer tersebut tidak berpengaruh pada uji perbedaan. Setelah dicoba untuk menghilangkan data ekstrem tersebut ternyata hasilnya pun tetap berbeda bermakna. Dengan demikian pengaruh data ekstrem tersebut bisa diabaikan. Dari data perbedaan Hsp70 tersebut terbukti pada RR memang didapatkan peningkatan Hsp70 secara bermakna. Hsp70 akan diterima oleh reseptor di permukaan sel mast yaitu TLR4 dan selanjutnya akan terjadi pengaktifan sel mast. TLR4 adalah suatu reseptor yang melekat di permukaan sel mast untuk menerima Hsp70. Selanjutnya akan terjadi aktivasi sel mast yang ditandai dengan diproduksinya beberapa zat aktif. Jumlah TLR4 dalam keadaan normal akan sebanding dengan banyaknya Hsp70 yang memapar sel tersebut. Apabila paparan Hsp70 meningkat, TLR4 sebagai penerima akan dibentuk oleh sel mast.Pada keadaan RR TLR-4 secara teoritis akan meningkat karena banyaknya paparan oleh Hsp70.
Emertcan A. et al.,
(2001) telah mencurigai adanya aktivasi sel mast lewat TLR-4 pada pasien kusta. Namun mereka tidak meneliti lebih dalam masalah tersebut. Dalam penelitian ini terlihat bahwa TLR4 pada pasien kusta dengan RR menunjukkan peningkatan yang bermakna (p = 0,00). Hal ini menunjukkan adanya paparan Hsp70 yang
96
meningkat sehingga TLR4 pun jadi banyak terbentuk. Dengan demikian hipotesis kedua dari penelitian ini terbukti. Menurut PY Bochud dkk (2009) menunjukkan bahwa TLR4 polimorfisme berhubungan dengan kerentanan terhadap penyakit kusta dan efek ini dapat dimediasi pada tingkat sel oleh modulasi sinyal TLR4 oleh M. Leprae. Di samping itu beberapa peneliti melaporkan terjadinya aktivasi sel mast lewat TLR4 oleh beberapa bakteri,misalnya staphilococcus aureus dan eschericia coli (Wedenmeyer et al., 2000; MICH Mish et al., 2010) Pada pasien kasus RR , pada semua sampel didapatkan semua sel mast mengekspresikan variabel TLR-4 dengan berbagai tingkatan, sedangkan pada pasien kontrol juga mengekspresikan variabel tersebut walaupun lebih rendah .Hasil ini menunjukkan bahwa TLR-4 merupakan bagian yang penting pada aktivasi pada kejadian RR dan hasilnya kedua kelompok perbedaan ekspresinya berbeda bermakna (p = 0,00 lebih kecil dari 0,05). Hal ini menunjukkan perbedaan kepekaan TLR-4 pada RR berperanan besar dan terjadi pada pasien kusta yang tidak mengalami RR walaupun lebih rendah. TLR 4 Toll-like receptor 4 (TLR4) adalah protein yang pada manusia dikodekan oleh TLR4 gen . TLR 4 Mendeteksi lipopolisakarida dari bakteri Gram-negatif bakteri dan dengan demikian penting dalam aktivasi sistem imun alami . TLR4 juga telah ditetapkan sebagai CD284 (cluster diferensiasi 284). Protein yang dikode oleh gen ini adalah anggota dari keluarga seperti (TLR) reseptor, yang memainkan peranan penting dalam pengakuan patogen dan aktivasi kekebalan bawaan . TLRs sangat diwariskan Drosophila kepada manusia berbagi kesamaan struktural dan fungsional. TLR4 juga mengenali patogen terkait pola molekul (PAMPs) yang disajikan pada agen infeksi, dan memediasi
97
produksi sitokin yang diperlukan untuk pengembangan imunitas yang efektif. TLRs menunjukkan pola yang berbeda ekspresi. Reseptor ini paling banyak diproduksi di plasenta, dan dalam myelomonocytic subpopulasi dari leukosit. TLR4 telah terlibat dalam transduksi sinyal peristiwa yang disebabkan oleh lipopolisakarida (LPS) ditemukan di sebagian besar bakteri gram negatif . Proses selanjutnya TLR4 akan mengaktifkan sel mast dan akan terbentuk berbagai produk hasil aktivasi dari sel mast. Dalam penelitian ini produk sel mast yang diteliti adalah histamin, TNF-α, IL6, IL8. Sel mast memiliki peran penting dalam biologi proses inflamasi dan stimulasi respon imun. Oleh karena itu, perkiraan kehadiran sel mast harus menggunakan imunohistokimia . Sel mast ini berada pada hampir seluruh jaringan tubuh terutama banyak ditemukan pada daerah yang terkena pengaruh luar, misalnya kulit, saluran nafas dan gastrointestinal. Pada penyakit kusta telah dilaporkan keterlibatan sel ini dalam menentukan tingkat keradangan yang terjadi (Antunes dkk, 2003). Dari hasil penelitian ditemukan bahwa jumlah sel mast pada penderita RR didapatkan lebih banyak secara bermakna dibandingkan dengan yang tidak mengalami RR (p=0,00). Peningkatan jumlah sel mast ini ternyata juga diikuti dengan bertambahnya keaktifan sel – sel tersebut. Reber dkk (2014) melaporkan terjadinya peningkatan jumlah sel mast pada beberapa penyakit termasuk penyakit kusta. Namun laporan tersebut tidak mengkhususkan pada perubahan jumlah sel mast pada waktu terjadi reaksi kusta. Pada penelitian yang meneliti hubungan sel mast dan basil lepra pada kulit kaki tikus imunosupresif yang diinokulasi basil lepra 105. Pada penelitian tersebut dilaporkan adanya perubahan struktur dan morfologi sel mast dimana perubahan struktur disebabkan oleh infeksi langsung basil lepra, sedangkan
98
perubahan morfologi berupa mastositosis dan degranulasi masif merupakan respon terhadap basil lepra. Perubahan densitas dan degranulasi masif tersebut banyak ditemukan pada sel mast di kulit, saraf yang terkena, otot, dan pembuluh darah. Pada penelitian terhadap manusia yang menilai densitas dan distribusi sel mast pada biopsi kulit 118 kasus leprosi yang tidak diterapi dan 20 individu sehat sebagai kontrol, didapatkan jumlah sel mast yang minim pada individu sehat. Jumlah sel mast meningkat secara signifikan pada kasus kusta (p < 0,01) dan peningkatan lebih besar didapatkan pada tipe LL (p < 0,05). Pada tipe LL juga didapatkan peningkatan degranulasi dan perubahan morfologi. Perubahan ini dapat disebabkan oleh adanya pelepasan sitokin dari limfosit T. Sebagai tambahan, pelepasan protease dari sel mast dapat berperan sebagai protein plasma seperti albumin untuk membentuk peptida pelepasan histamin yang akan semakin memicu aktivasi sel mast dan inflamasi. Studi lain menemukan bahwa kusta tipe LL memiliki sel mast dengan densitas terendah dibanding tipe BT maupun BB. Sel mast dengan densitas tinggi pada kusta tipe BT dan BB mengacu pada peran sel mast dalam aktivasi repon imun terhadap infeksi basil lepra (Kumar dan Vaidya, 1982; Mysorekar et al., 2001). Hipotesis dari Chowdhury dan Ghosh menyatakan bahwa densitas yang berbeda pada lesi kusta berkaitan dengan terjadinya reaksi dengan menemukan sel mast dengan densitas rendah pada biopsi lesi tuberkuloid reaktif dibanding lesi tuberkuloid nonreaktif. Beberapa studi mendukung hipotesis tersebut dengan menemukan sel mast dengan densitas tinggi pada granulomata kusta lebih rentan terjadi reaksi reversal yang lebih berat mengacu pada pelepasan mediator dari sel mast tersebut. Studi lain menemukan bahwa kusta tipe LL memiliki sel mast dengan densitas terendah dibanding tipe BT maupun BB. Sel mast dengan
99
densitas tinggi pada kusta tipe BT dan BB mengacu pada peran sel mast dalam aktivasi repon imun terhadap infeksi M. leprae (Chowdhury dan Ghosh, 1968). Sel mast telah lama dikenal menginduksi beragam sitokin seperti TNF-, IL-1, IL-4, IL-5, IL-6, dan GM-CSF. Bagwan dkk menemukan bahwa densitas sel mast pada tipe LL lebih tinggi daripada tipe TT yang berkaitan dengan predominansi sel Th2 sebagai respons dari sitokin yang diinduksi oleh sel mast pada tipe LL, sedangkan pada tipe TT didapatkan predominansi sel Th1. Selain itu, didapatkan bahwa Pada tipe BL baik Th1 dan Th2 diproduksi sesuai dengan tingginya densitas sel mast pada lesi kusta yang dapat menjelaskan tingginya kejadian reaksi reversal pada tipe BL. Pada tipe BT ditemukan banyak bentuk spindeloid dan elongasi dari sel mast yang mengindikasikan sel mast siap untuk berdegranulasi (Bagwan et al., 2004). Pada penelitian lain yang membandingkan biopsi lesi kusta saat reaksi kusta dan pasca reaksi, didapatkan peningkatan relatif dari TMC pada infiltrat inflamasi reaksi kusta. Selain itu, jumlah total dari sel mast dan rasio TMC/TMCC pada infiltrat inflamasi juga meningkat secara signifikan. Berbagai penelitian telah mengindikasikan peran penting sel mast pada perubahan dinamis dalam respon imunitas yang dimediasi sel (cell mediated immunity) dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Hal tersebut menyebabkan berkembangnya penelitian terkait peran sel mast terhadap lesi kusta terutama pada reaksi kusta yaitu reaksi reversal. Pada reaksi reversal yang merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat, respon inflamasi yang terjadi melibatkan sel T dan menstimulasi faktor-faktor terkait yaitu histamine-releasing factors (HRF), IL-3, interferon- (IFN-), dan sel mast yang kemudian menstimulasi pelepasan mediator kimia yang menyebabkan inflamasi lokal. Sel T yang tersensitisasi mampu melepaskan faktor-faktor yang
100
memiliki aktivitas pengikatan dua arah terhadap antigen dan reseptor putatif membran sel mast. Stimulasi sel mast akan menginduksi proses inflamasi yang lebih jauh seperti peningkatan permeabilitas vaskuler, oedema lokal, aktivasi leukosit, destruksi jaringan, dan pada akhirnya memproduksi lesi kulit sebagai akibat respon inflamasi (Antunes et al., 2003; Mahaisavariya et al., 2000). Dalam penelitian ini peningkatan jumlah sel mast terjadi cukup bermakna. Hal ini menunjukkan bahwa pada RR sel mast berperan cukup banyak dan aktifitasnya dapat dilihat dari bertambahnya produk – produk yang dihasilkan oleh sel mast. Kadar histamin di jaringan lesi kusta yang tidak mengalami RR ternyata berbeda bermakna dengan histamin dari lesi kusta yang mengalami RR (p=0,000). Meskipun data dari kelompok kontrol didapatkan satu outlier ternyata data tersebut menunjukkan angka yang sangat rendah, sehingga tanpa memperhitungkan data tersebut masih didapatkan perbedaan yang bermakna di antara kedua kelompok tersebut. Dengan demikian hasil penelitian ini mendukung hipotesis mengenai histamin di jaringan pada reaksi reversal. Menurut teori, histamin dapat menyebabkan respon inflamasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Respon inflamasi secara langsung dihasilkan setelah sel mast teraktivasi oleh antigen, histamin meningkatkan permeabilitas pembuluh darah di daerah lesi yang menyebabkan oedema dan memfasilitasi leukosit dalam reaksi imun (Zampeli dan Tiligada, 2009). Histamin merupakan amin aktif secara biologi yang dijumpai di berbagai jaringan terutama sel mast yang mempunyai efek fisiologik dan patologik yang kompleks secara lokal. Histamin endogen mempunyai peranan sebagai modulator
101
dalam berbagai respon imuno-inflamasi. Pada kerusakan jaringan, histamin sebagai produk degranulasi sel mast menyebabkan vasodilatasi lokal dan kebocoran plasma yang mengandung perantara inflamasi akut (komplemen, protein C reaktif), antibodi, dan sel inflamasi (neutrofil, eosinofil, basofil, monosit,dan limfosit). Umumnya fungsi ini dikerjakan melalui perantara reseptor H2, dengan meningkatkan cAMP intraselulaer. Pelepasan peptida dari saraf sebagai respon terhadap inflamasi juga dimodulasi oleh histamin yang dalam kasus ini melalui reseptor presinaptik reseptor H3. Berbagai penelitian telah membuktikan peranan histamin dalam respon imunoinflamasi khususnya pada sel dengan reseptor histamin H4 (terdapat pada sel mast, eosinofil, sel T, dan sel dendrit) yaitu mengaktivasi maturasi sel imun, meningkatkan migrasi eosinofil, meningkatkan rekrutmen sel mast secara selektif, meningkatkan produksi sitokin oleh sel mast, dan meningkatkan respon kemotaktik dari sel. H4 telah terbukti terlibat dalam penyakit kulit terkait inflamasi seperti pruritus dan dermatitis kronik. Ekspresi reseptor H4 telah teridentifikasi di sel mast kulit manusia, inflammatory dendritic epidermal cells, dan fibroblas dermal. Bukan tidak mungkin histamin merupakan produk sel mast yang berperan dalam repon inflamasi reaksi reversal. Histamin dapat menyebabkan respon inflamasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Respon inflamasi secara langsung dihasilkan setelah sel mast teraktivasi oleh antigen, histamin meningkatkan permeabilitas pembuluh darah di daerah lesi yang menyebabkan oedema dan memfasilitasi leukosit dalam reaksi imun. Respon inflamasi secara tidak langsung berupa peningkatan produksi mediator inflamasi dan sitokin pro-inflamasi (TNF, IL-1. IL-6, dan IL-8) oleh histamin (Zampeli dan Tiligada, 2009; Nakamura et al., 2000; Baumer et al., 2008).
102
Cree et al., dalam penelitian terkait densitas sel mast pada lesi lepra menyatakan bahwa meskipun degranulasi sel mast secara total terjadi secara in vitro, aktivasi sel mast pada jaringan dapat memprovokasi degranulasi parsial dan meningkatkan produksi prostaglandin dan histamin. Peningkatan kadar histamin pada lesi kulit yang mengalami inflamasi dan peningkatan reseptor fungsional histamin pada sel imun yang menginfiltrasi serta pada keratinosit dan neuron sensorik semakin mendukung teori kontribusi histamin pada patogenesis respon inflamasi kluit. Histamin terbukti mereduksi produksi IL-27 tetapi tidak TNF- IL-6, dan IL-10 pada tingkat mRNA dan protein tanpa memperhatikan TLR yang mengaktivasi monosit. Gschwandtner et al., menyatakan bahwa histamin merupakan molekul yang memiliki peranan penting dalaman reaksi imun kompleks pada respon inflamasi kulit meskipun mekanisme yang mendasari masih harus diteliti (Gschwandtner et al., 2012; Cree, Coghill, dan Beck, 1990).
103
Pada hasil penelitian ini terlihat peningkatan yang bermakna dari histamin pada lesi kusta pasien RR dibandingkan yang non RR. Dengan demikian peningkatan histamin menunjukkan aktivasi dari sel mast. Hal ini sesuai dengan hipotesis mengenai histamin pada RR. TNF-α merupakan salah satu sitokin yang banyak dieksplorasi dalam timbulnya RR pada kusta, baik yang mengalami RR maupun yang tidak. Pada teori terjadinya RR berdasar terbentuknya RR
yang ditandai dengan
hipersensitivitas tertunda terhadap antigen M. leprae dan peningkatan mendadak mendadak dalam respon sel-imun tidak dapat menjelaskan bagaimana terjadinya peningkatan sekresi TNF-α pada RR.Terkait dengan kemajuan pengetahuan bidang imunologi, maka dalam kepustakaan terbaru telah disebutkan bahwa TNFα merupakan salah satu dari sitokin yang disekresi oleh imunitas alamiah selama infeksi awal, yang terutama dihasilkan oleh makrofag. Pada kusta yang tidak megalami RR , produksi sitokin ini rendah dibandingkan yang mengalami RR dimana terjadi kenaikan yang cukup tinggi dari TNF-α, sehingga disebut sebagai biomarker dari timbulnya RR.
Pada penelitian ini , terdapat perbedaan yang
bermakna (p = 000 lebih kecil dari 0,05) antara kusta RR dan pasien kusta yang tidak mengalami RR. Fungsi TNF-α, terutama yang diproduksi oleh sel mast yang telah diaktivasi adalah menstimulasi penarikan sel neutropil dan monosit kearah tempat peradangan dan mengaktivasi sel-sel tersebut untuk mengeradikasi bakteri. TNF juga dapat merangsang sel endotel vaskuler untuk mengekspresikan molekul adhesi untuk menginduksi makrofag dan sel endotel untuk menghasilkan kemokin. Tetapi pada infeksi yang berat, TNF yang diproduksi dalam jumlah
104
yang banyak akan menghasilkan gejala sistemik , antara lain berupa peningkatan suhu badan yang tinggi, sintesa protein fase akut oleh hati dan cachexia. TNF-α adalah interleukin pro inflamasi yang terlibat dalam reaksi kusta tipe I maupun tipe II. Dalam penelitian ini TNF-α didapatkan meningkat. Di jaringan TNF-α meningkat 3 kali lipat dan secara statistik peningkatan itu cukup bermakna. TNF-αsecara teoritis bisa sendiri meskipun bisa berfungsi sebagai protektif juga bisa sebagai perusak. Moraes et al., (1999) melaporkan adanya peningkatan aktivitas sitokin IL-6, IL-8 dan TNF-α pada reaksi reversal. Sitokin tersebut merupakan penanda inflamasi yang terus berjalan dan dapat memperparah proses inflamasi yang bermanifestasi klinis berupa lesi kusta yang menjadi lebih banyak dan lebih aktif secara mendadak dengan atau tanpa ulserasi, eodema dan dapat terjadi neuritis hingga kerusakan saraf permanen (Moraes et al., 1999; Huang et al., 2002). TNF-α merupakan sitokin yang bisa digunakan sebagai penanda terjadinya RR namun biasanya dilakukan secara serologis. Pada penelitian ini ditemukan adanya peningkatan ekspresi TNF-α di sel mast yang menunjukkan terjadinya keaktifan yang mungkin bisa digunakan untuk penanda terjadinya RR. Namun menggunakan ekspresi TNF-α lpha di jaringan sebagai penanda akan terjadinya RR adalah hal yang tidak praktis karena harus melakukan biopsi. Pada hasil penelitian ini terlihat peningkatan yang bermakna dari TNF-α pada lesi kusta pasien RR dibandingkan yang non RR. Dengan demikian peningkatan TNF-α menunjukkan aktivasi dari sel mast. Hal ini sesuai dengan hipotesis mengenai TNF alpha pada RR.
105
IL6 adalah sitokin yang berfungsi pada proses inflamasi dalam penelitian ini terlihat meningkat empat kali lipat di jaringan. Pada penelitian ini, terdapat perbedaan yang bermakna (p = 000 lebih kecil dari 0,05) antara IL-6 pada kusta RR dan pasien kusta yang tidak mengalami RR. Interleukin-6 (IL-6) bersama faktor inhibitor leukimia, faktor neutropik silier, dan onkostatin-M merupakan keluarga sitokin tipe IL-6. Reseptor IL-6 terdiri dari IL-6 binding chain (IL-6Ra) dan komponen yang menginduksi sinyal (gp130). IL-6 diproduksi oleh sel mast, sel endothel, fibroblast, monosit, dan makrofag sebagai respon terhadap berbagai stimuli (contoh: IL-1, IL-17, dan TNF-) selama inflamasi sistemik. IL-6 merupakan sitokin multifungsional yang terlibat dalam regulasi respon imun, respon fase akut, inflamasi, dan hematopoiesis. IL-6 juga memicu proliferasi sel T, diferensiasi sel B, dan produksi IgG, IgA, serta IgM plasma. IL-6 telah lama dianggap sebagai sitokin pro-inflamasi yang diinduksi oleh lipopolisakarida bakteri bersama dengan TNF- dan IL-1. IL-6 sering digunakan sebagai penanda untuk aktivasi sistemik dari sitokin pro-inflamasi. IL-6 memiliki kedua sifat, baik proinflamasi, maupun anti-inflamasi. Meskipun IL-6 memiliki sifat anti-inflamasi, tetapi IL-6 merupakan penginduksi kuat dari respon protein fase akut pada proses inflamasi. Pada respon fase akut IL-6 menginduksi leukositosis, sintesis hepatik berupa protein fase akut (fibrinogen, complement components, C reactive protein) yang semakin memperparah proses inflamasi. Efek IL-6 pada endothel berupa peningkatan sintesis molekul adhesi permukaan, adhesi leukosit ke endothel, elaborasi PGI1 dan AGEPC, serta meningkatkan trombogenisitas pada permukaan endothel. Efek IL-6 pada fibroblas berupa
106
peningkatan proliferasi dan sintesis kolagen, sintesis kolagenase dan protease, serta sintesis PGE2 (Akdis et al., 2011; Kishimoto, 2003). Pada hasil penelitian ini terlihat peningkatan yang bermakna dari IL-6 pada lesi kusta pasien RR dibandingkan yang non RR. Dengan demikian peningkatan IL-6 menunjukkan aktivasi dari sel mast. Hal ini sesuai dengan hipotesis mengenai IL-6 pada RR. IL-8 adalah sitokin yang berfungsi pada proses inflamasi dalam penelitian ini terlihat meningkat empat kali lipat di jaringan. Pada penelitian ini , terdapat perbedaan yang bermakna (p = 000 lebih kecil dari 0,05) antara IL-8 pada kusta RR dan pasien kusta yang tidak mengalami RR. Interleukin-8 (IL-8) merupakan faktor kemotaktik spesifik neutrofil dan juga diklasifikasikan sebagai anggota keluarga kemokin CXC. IL-8 diproduksi berbagai macam sel seperti sel mast, monosit, makrofag, neutrofil, limfosit, sel endothel, dan sel epitel setelah stimulasi dengan IL-1a, IL1b, IL-17, TNF-, atau TLRs. Reseptor IL-8 adalah CXCR1 (IL-8RA) dan CXCR2 (IL-8RB). Efek utama dari IL-8 adalah aktivasi dan rekrutmen neutrofil ke lokasi infeksi. Selain itu, IL-8 juga menarik sel natural killer, sel T, basofil, dan GM-CSF-primed atau eosinofil IL3-primed (Bickel, 1993; Akdis et al., 2011). Pada penelitian Z. Hasan et al., menyebutkan bahwa ekspresi IL-8 dalam kaitannya dengan TNF-α dan TGF-β pada monosit pasien lepromatosa tipe LL meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol orang sehat. Pada kontrol tidak terdapat ekspresi IL-8, TNF-α, dan TGF-β. dan mempunyai peran penting pada infeksi M. leprae.
107
Pada hasil penelitian ini terlihat peningkatan yang bermakna dari IL-8 pada lesi kusta pasien RR dibandingkan yang non RR. Dengan demikian peningkatan IL-8 menunjukkan aktivasi dari sel mast. Hal ini sesuai dengan hipotesis mengenai IL-8 pada RR. Secara teoritis untuk mengatasi efek negatif dari produk hasil aktivasi sel mast, sebenarnya bisa diatasi dengan pemberian anti histamin. Namun pengalaman di klinik menunjukkan bahwa pemberian antihistamin pada reaksi reversal tidak banyak membantu, hal tersebut mungkin karena anti histamin bekerja hanya menghambat kerja histamin namun faktor-faktor pro inflamasi lainnya tidak terpengaruh oleh anti histamin tersebut. Pemberian anti inflamasi non steroid yang secara teoritis juga akan membantu ternyata hasilnyapun terbatas. Pengalaman di klinik menunjukkan bahwa anti inflamasi non steroid tidak terlalu banyak memberikan perbaikan. Sehingga tampaknya perlu diteliti faktor-faktor lain yang terlibat dalam reaksi reversal di luar yang sudah ada dalam pemelitian ini. Temuan baru pada penelitian ini adalah sel mast pada penyakit kusta bisa teraktivasi setelah adanya Hsp70 yang berasal dari M.leprae. Penelitian mengenai ekspresi Hsp70 pada pasien kusta yang mengalami RR, belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian lain dilakukan terutama pada kusta dalam jumlah yang terbatas, yang menyebutkan ekspresi Hsp70 yang sangat meningkat pada pasien kusta yang mengalami RR. Pada penelitian ini didapatkan beberapa keterbatasan yang bisa mempengaruhi hasil penelitian. Dalam pemilihan desain penelitian sebenarnya untuk melakukan evaluasi tentang pengaruh sebaiknya dilakukan suatu penelitian
108
kohort, namun secara etik tidak memungkinkan untuk menunggu seseorang menjadi reaksi, sehingga dipilih penelitian cross sectional dengan melihat hubungan antara beberapa variabel. Dari segi penelitian sendiri masih banyak variabel yang patut diteliti yang berkaitan dengan reaksi reversal namun tidak diperiksa dalam penelitian ini sehubungan dengan keterbatasan dana. Di samping itu sedikitnya data literatur mengenai variabel yang diteliti pada pasien kusta menyebabkan sulitnya diambil base line data mengenai nilai normal variabel tersebut. Pada penelitian ini juga belum dapat dibahas cara pencegahan degranulasi sel mast yang akan mencegah RR pada kusta, manfaat obat anti inflamasi pada RR dan belum diteliti peran sel mast pada pasien yang telah menyelesaikan MDT yang juga sering menimbulkan reaksi.
BAB 7
109
PENUTUP
7.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa terjadi perbedaan stimulasi Hsp70 pada pasien kusta yang mengalami reaksi dan tidak mengalami reaksi. Akibatnya terjadi perbedaan kepekaan TLR-4 yang terdapat pada sel mast untuk menerima ikatan stimulasi Hsp70 yang mengaktifkan sel mast.Perbedaan stimulasi itu akan menghasilkan produksi mediator yang berbeda pula, diantaranya histamin, TNF-α, IL-6, IL-8 yang merupakan mediator penyebab terjadinya keradangan pada reaksi reversal. Secara umum terlihat bahwa peran sel mast cukup penting dalam proses terjadinya reaksi reversal, namun sel tersebut menunggu stimulasi Hsp70 sebelum aktif memproduksi mediator pro inflamasi. Dengan demikian Hsp70 merupakan unsur yang mengawali terjadinya proses reaksi reversal.
7.2 Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk : 1. Diharapkan penelitian yang serupa dalam meneliti RR berikutnya menggunakan rancangan prospektif atau restrospektif. 2.
Diharapkan ada penelitian yang membahas pencegahan degranulasi sel mast yang akan bermanfaat dalam mencegah RR pada penyakit kusta. 3. Diharapkan penelitian selanjutkan meneliti variabel yang lebih banyak terlibat pada RR dan studi pustaka tentang variabel yang berkaitan dengan RR lebih
110
diperdalam . 4. Perlu diteliti juga manfaat pemberian anti inflamasi yang kuat untuk RR mengingat pengalaman di klinis belum menunjukkan hasil yang memuaskan. 5. Perlu diteliti pula penelitian mengenai RR pada pasien kusta yang telah menyelesaikan MDT.
111
DAFTAR PUSTAKA
Abraham SN, St John AL. 2010. Mast Cell-orchestrated Immunity to Pathogens. Nat Rev Immunol 10:440–452. Akdis M, Burgler S, Crameri R, Eiwegger T, Fujita H, et al. 2011. Interleukins, from 1 to 37, and Interferon-γ: Receptors, Functions, and Roles in Diseases. J Allergy Clin Immunol 127(3). Antunes SLG, Liang Y, Sarno EN, Johansson O. 2003. Mast Cell Subsets and Neuropeptides in Leprosy Reactions. Arq Neuropsiquiatr 61(2-A):208-219. Aroni K, Kontochristopoulus G, Liossi A, Panteleos D, Davaris P. 1996. Immunohistochemical Study of Hsp-70 in Two Basic Leprosy Groups. Arch. Dermatol 288:252-254. Asea A, Kraeft SK, Kurt-Jones EA, Stevenson MA, Chen LB, et al. 2000. HSP70 Stimulates Cytokine Production Through a CD14-Dependant Pathway, Demonstrating Its Dual Role as a Chaperone and Cytokine. Nat Med 6(4):43542. Babina M, Guhl S, Starke A, Kircchhof L, Zuberbier T, et al. 2004. Comparative Cytokine Profile of Human Skin Mast Cells from Two Compartments – Strong Resemblance with Monocytes at Baseline but Induction of IL-5 by IL-4 Priming. J. Leukoc 75:244–252. Bagwan IN, Khandekar MM, Kadam P, Jadhav MV, Deshmukh SD. 2004. A Study of Mast Cells in Granulomatous Lesions of Skin, with Special Emphasis on Leprosy. Indian J Lepr 76(1):31-37. Balaji VVG, Chalamaiah M, Hanumanna P, Vamsi B. 2014. Mast Cell Stabilizing and Anti-anaphylactic Activity of Aqueous Extract of Green Tea (Camellia sinensis). International Journal of Veterinary Science and Medicine 2:89-94. Bäumer W, Wendorff S, Gutzmer R, Werfel T, Dijkstra D, et al. 2008. Histamine H4 Receptors Modulate Dendritic Cell Migration Through Skin – Immunomodulatory Role of Histamine. Allergy 63:1387–1394. Bhat RM, Prakash C. (2012). Leprosy: An Overview of Pathophysiology. from: http://www.hindawi.com/journals/ipid/2012/181089/, 2014 Jan 1. Bickel M. 1993. The Role of Interleukin-8 in Inflammation and Mechanisms of Regulation. J Periodontol 64(5 Suppl):456-60. Biedermann T, Kneilling M, Mailhammer R, Maier K, Sander CA, Kollias G, et al. 2000. Mast Cells Control Neutrophil Recruitment During T Cell-Mediated
112
Delayed-Type Hypersensitivity Reactions Through Tumor Necrosis Factor and Macrophage Inflammatory Protein 2. J Exp Med192(10):1441-1452. Biosca G, Casallo S, Lopez-Velez R. 2010. Methotrexate Treatment for Type 1 (Reversal) Leprosy Reactions. Infectious Disease Department, Ramon y Cajal Hospital, Madrid, Spain. Bischoff SC. 2007. Role of Mast Cells in Allergic and Non-allergic Immune Responses: Comparison of Human and Murine Data. Nature Reviews Immunology 7:93-104. Bochud PY, Hawn TR, Siddiqui MR, Saunderson P, Britton S, et al. 2008. Toll-Like Receptor 2 (TLR2) Polymorphisms are Associated with Reversal Reaction in Leprosy. J Infect Dis 197:253-261. Boesiger J, Tsai M, Maurer M. 1998. Mast Cells Can Secrete Vascular Permeability Factor / Vascular Endothelial Cell Growth Factor and Exhibit Enhanced Release After Immunoglobulin E-dependent Upregulation of Fce Receptor I Expression. J Exp Med 188:1135–1145. Cai C, Cao Z, Loughran PA, Kim S, Darwiche S, et al. 2011. Mast Cells Play a Critical Role in The Systemic Inflammatory Response and End Organ Injury Resulting from Trauma. J Am Coll Surg 213(5): 604–615. Cao J, Cetrulo CL, Theoharides TC. 2006. Corticotropin-Releasing Hormone Induces Vascular Endothelial Growth Factor Release from Human Mast Cells via The cAMP / Protein Kinase A / p38 Mitogen-activated Protein Kinase Pathway. Mol Pharmacol 69(3):998–1006. Chatterjea D, Martinov T. 2014. Mast Cells: Versatile Gatekeepers of Pain. Mol Immunol 63(1):38-44. Chatura KR, Sangeetha S. 2012. Utility of Fite-Faraco Stain for Both Mast Cell Count and Bacillary Index in Skin Biopsies of Leprosy Patients. Indian J Lepr 84(3):209-215. Chowdhury SK, Ghosh S. 1968. Distribution of Tissue Mast Cells in "Reaction in Tuberculoid Leprosy". Bull Calcuitta School Trop Med 16:13-14. Christians ES, Yan LJ, Benjamin IJ. 2002. Heat Shock Factor 1 and Heat Shock Proteins: Critical Partners in Protection Against Acute Cell Injury. Crit Care Med 30. Cohen S, Janicki-Deverts D, Doyle WJ, Miller GE, Frank E, et al. (2012). Chronic Stress, Glucocorticoid Receptor Resistance, Inflammation, and Disease Risk. from: http://www.pnas.org/content/early/2012/03/26/1118355109.abstract, 2014 Jan 20. Compton SJ, Cairns JA, Holgate ST, Walls AF. 1998. The Role of Mast Cell Tryptase in Regulating Endothelial Cell Proliferation, Cytokine Release, and Adhesion Molecule Expression: Tryptase Induces Expression of mRNA for IL-1β and IL-8 and Stimulates The Selective Release of IL-8 from Human Umbilical Vein Endothelial Cells. J Immunol 161:1939–1946. Conti P, Pang X, Boucher W. 1997. Impact of RANTES and MCP-1 Chemokines on In Vivo Basophilic Mast Cell Recruitment in Rat Skin Injection Model and Their Role in Modifying The Protein and mRNA Levels for Histidine Decarboxylase. Blood 89:4120-4127. Conti P. 1998. Intramuscular Injection of hrRANTES Causes Mast Cell Recruitment and Increased Transcription of Histidine Decarboxylase: Lack of Effects in Genetically Mast Cell-deficient W/Wv Mice. FASEB J 12:1693–1700. Cree IA, Coghill G, Beck JS. 1990. Mast Cell in Leprosy Skin Lesions. J Clin Pathol 43:196-200.
113
Davenport MP, McKenzie, Basten A, Britton WJ. 1992. The Variable C-terminal Region of The Mycobacterium leprae 70-kilodalton Heat Shock Protein is The Target for Humoral Immune Responses. Infection and immunity 3:1170-1177. Dawicki W, Marshall JS. 2007. New and Emerging Roles for Mast Cells in Host Defence. Curr Opin Immunol 19:31–38. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2013. Profil pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan tahun 2012. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2007. Buku pedoman nasional pengendalian penyakit kusta. 37-46. Djuanda A, Kosasih A, Wiryadi BE, Natahusada EC, Sjamsoe-Daili E, dkk. 2010. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, Edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 73-83. Dy M, Schneider E. 2004. Histamine-Cytokine Connection in Immunity and Hematopoiesis. Cytokine Growth Factor Rev 15(5):393-410. Emertcan A, Öztürk F, Gündüz K. 2011. Toll-like receptors and skin. Journal of the European Academy of Dermatology and Venereology 11:1-7. Fang H, Wu Y, Huang X, Wang W, Ang B, et al. 2011. Toll-Like Receptor 4 (TLR4) is Essential for Hsp70-Like Protein 1 (HSP70L1) to Activate Dendritic Cells and Induce Th1 Response. J Biol Chem 286(35):30393-30400. Fireman, P. 1999. The Mechanisms of Allergic Inflammation. The allergy and asthma report. WB Saunders Company. Fischer M, Harvima IT, Carvalho RF, Möller C, Naukkarinen A, et al. 2006. Mast Cell CD30 Ligand is Upregulated in Cutaneous Inflammation and Mediates Degranulation-Independent Chemokine Secretion. J Clin Invest 116(10):27482756. Frenzel L, Hermine O. 2013. Mast Cells and Inflammation. Joint Bone Spine 80(2):141-145. Gali S, Metcalfe D, Dvorak A. 2001. Basophils and Mast Cells and Their Disorders. In: (Beutler E, Williams WJ, editors). William Hematology, 6th ed. New York: McGraw-Hill 643-653. Galli SJ, Kalesnikoff J, Grimbaldeston MA, Piliponsky AM, Williams CM, et al. 2005. Mast Cells as “Tunable” Effector and Immunoregulatory Cells: Recent Advances. Annu Rev Immunol 23:749–786. Galli SJ, Nakae S, Tsai M. 2005. Mast Cells in The Development of Adaptive Immune Reponse. Nat Immunol 6:135-142. Gilfillan AM, Tkaczyk C. 2006. Integrated Signalling Pathways for Mast-Cell Activation. Nat Rev Immunol 6:218–230. Gschwandtner M, Bunk H, Köther B, Thurmond RL, Kietzmann M, et al. 2012. Histamine Down-Regulates IL-27 Production in Antigen Presenting Cells. J Leukoc Biol 92:21–29. Harvima IT, Haapanen L, Ackermann L, Naukkarinen A, Harvima RJ, et al. 1999. Decreased Chymase Activity is Associated with Increased Levels of Protease Inhibitors in Mast Cells of Psoriatic Lesions. Acta Derm Venereol 79:98–104. Harvima IT, Nilsson G. 2011. Mast Cells as Regulators of Skin Inflammation and Immunity. Acta Derm Venereol 91(6):644-650. Harvima IT, Nilsson G. 2012. Stress, The Neuroendocrine System and Mast Cells. Expert Rev Clin Immunol 8(3):235-241.
114
Huang Y, Krein PM, Muruve DA, Winston BW. 2002. Complement Factor B Gene Regulation Synergistic Effects of TNF-alpha and IFN-gamma in Macrophages. J Immunol 169:2627. Johnson EO, Kamilaris TC, Chrousos GP, Gold PW. 1992. Mechanisms of Stress: a Dynamic Overview of Hormonal and Behavioral Homeostasis. Neurosci Biobehav Rev16(2):115-30. Kahawita IP, Walker SL, Lockwood DN. 2008. Leprosy Type 1 Reactions and Erythema Nodosum Leprosum. An Bras Dermatol 83:75-82. Kempuraj D, Papadoppoulou NG, LytinasM, Huang M, Kandere-Grzybowska K, et al. 2004. Corticotropin-Releasing Hormone and Its Structurally Related Urocortin are Synthesized and Secreted by Human Mast Cells. Endocrinology 145:43–48. Kishimoto T. 2003. Interleukin-6. In: (Thomson WA, Lotse MT, Eds). The Cytokine Handbook, 4th ed. San Diego: Academic Press. Kluger MJ, Rudolph K, Soszynski D, Conn CA, Leon LR, Kozak W, et al. 1997. Effect of Heat Stress on LPS-Induced Fever and Tumor Necrosis Factor. Am J Physiol 273. Kosasih A, Wisnu IM, Sjamsoe-Daili ES, Menaldi SL. 2010. Kusta. Dalam: (Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, Editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit dan Kelamin, Edisi Ke 6. Jakarta: FK UI 73-88. Krishnaswamy G, Kelley J, Johnson D, Youngberg G, Stone W, et al. 2001. The Human Mast Cell: Functions in Physiology and Disease. Front Biosci 6:1109– 1127. Kumar R, Vaidya MC. 1982. Mast Cell and Mycobacterium leprae in Experimental Leprosy. Hansenol Int 7(1):1-7. Legendre DP, Muzny CA, Swiatlo E. 2012. Hansen’s Disease (Leprosy): Current and Future Pharmacotherapy and Treatment of Disease-related Immunologic Reactions. Pharmacotherapy 32(1):27–37. Lemeshow S, Hosmer D, Klar J, Lwanga SK. 1990. Adequacy of Sample Size in Health Studies. Chichester: John Wiley & Sons ltd. Li T, He S. 2006. Induction of IL-6 Release from Human T Cells by PAR-1 and PAR-2 Agonists. Immunol Cell Biol 84:461–466. Little D, Khanolkar-Young S, Coulthart A, Suneetha S, Lockwood DN. 2001. Immunohistochemical Analysis of Cellular Infiltrate and Gamma Interferon, Interleukin-12, and Inducible Nitric Oxide Synthase Expression in Leprosy Type 1 (Reversal) Reactions Before and During Prednisolone Treatment. Infect Immun 69:3413-3417. Lockwood DN, Colston MJ, Khanolkar-Young SR. 2002. The Detection of Mycobacterium leprae Protein and Carbohydrate Antigens in Skin and Nerve from Leprosy Patients with Type 1 (Reversal) Reactions. Am J Trop Med Hyg 66:409-415. Mahaisavariya P, Jiamton S, Manonukul J, Khemngern S. 2000. Mast Cells in Leprosy and Leprosy Reaction. Int J Dermatol 39(4):274-277. Malaviya R, Ikeda T, Ross E, Abraham SN. 1996. Mast Cell Modulation of Neutrophil Influx and Bacterial Clearance at Sites of Infection Through TNFalpha. Nature 2;381(6577):77-80. Malyshev I. 2013. Immunity, Tumors and Aging: The Role of HSP70. Springer Briefs in Biochemistry and Molecular Biology Vol. 6. Dordrecht, Springer.
115
Mazzoni A, Young HA, Spitzer JH, Visintin A, Segal DM. 2001. Histamine Regulates Cytokine Production in Maturing Dendritic Cells, Resulting in Altered T Cell Polarization. J Clin Invest 108:1865–1873. McKenzie KR, Adams E, Britton WJ, Garsia RJ, Basten A. 1991. Sequence and Immunogenicity of The 70-kDa Heat Shock Protein of Mvcobacterium leprae. J Immunol 147:312 9. Metcalfe DD, Baram D, Mekori YA. 1997. Mast Cell. Physiological reviews 77(4). Misch EA, Berrington WR, Hawn TR. 2010. Leprosy and The Human Genome. Microbiol Mol Biol Rev 74(4):589-620. Moraes MO, Sarno EN, Almeida AS, Saraiva BC, Nery JA, et al. 1999. Cytokine mRNA Expression in Leprosy: a Possible Role for Interferon-gamma and Interleukin-12 in Reactions (RR and ENL). Scand J Immunol 50(5):541-549. Morimoto RI, Kline MP, Bimston DN, Cotto JJ. 1997. The Heat-Shock Response: Regulation and Function of Heat-Shock Proteins and Molecular Chaperones. Essays Biochem 32:17–29. Mortaz E, Redegeld FA, Nijkamp FP, Wong HR, Engels F. 2006. Acetylsalicylic Acid-induced Release of HSP70 from Mast Cells Results in Cell Activation Through TLR Pathway. Exp Hematol 34(1):8-18. Mortaz E, Redegeld FA, Dunsmore K, Odoms K, Wong HR et al. 2007. Stimulation of Cysteinyl Leukotriene Production in Mast Cells by Heat Shock and Acetylsalicylic Acid. Eur J Pharmacol 30;561(1-3):214-219. Moubasher AD, Kamel NA, Zedan H, Raheem DD. 1998. Cytokines in Leprosy, I. Cytokine Profile in Leprosy. Int J Dermatol 37:733-740. Mysorekar VV, Dandekar CP, Rao SG. 2001. Mast Cells in Leprosy Skin Lesions. Lepr Rev 72(1):29-34. Nakamura T, Itadani H, Hidaka Y, Ohta M, Tanaka K. 2000. Molecular Cloning and Characterization of a New Human Histamine Receptor, HH4R. Biochem Biophys Res Commun 279:615–620. Nery JA, Bernardes FF, Quintanilha J, Machado AM, Oliveira SS, et al. 2013. Understanding The Type 1 Reactional State for Early Diagnosis and Treatment: a Way to Avoid Disability in Leprosy. An Bras Dermatol 88(5):787-792. Nigrovic PA, Lee DM. 2008. Mast Cells. In: (Firestein GS, Budd RC, Harris ED Jr, McInnes IB, Ruddy S, Sergent JS, eds). Kelley's Textbook of Rheumatology, 8th ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier. Chapter 13. Pai, V V.2015. Role of Clofazimine In The Management of Reactions of Leprosy.Mumbai: Indian Journal of Drugs in Dermatology, hal 12-5 Pandhi D, Chhabra N. 2013. New Insights in The Pathogenesis of Type 1 and Type 2 Lepra Reaction. Indian J Dermatol Venereol Leprol 79(6):739-749. Paulis AD, Minopoli G, Arbustini E, Crescenzo GD, Piaz FD, et al. 1999. Stem Cell Factor is Localized in, Released from, and Cleaved by Human Mast Cells. J Immunol 163:2799–2808. Pockley AG. 2001. Heat Shock Proteins in Health and Disease: Therapeutic Targets or Therapeutic Agents?. Expert Rev Mol Med 3(23):1-21. Rajalingam R, Mehra NK, Singal DP. 2000. Polymorphism in Heat Shock Protein 701 (HSP70-1) Gene Promoter Region and Susceptibility to Tuberculoid Leprosy and Pulmonary Tuberculosis in Asian Indian. Indian J Exp Biol 38(7):658-662. Ramien ML, Wong A, Keystone JS. 2011. Severe Refractory Erythema Nodosum Leprosum Successfully Treated with the Tumor Necrosis Factor Inhibitor Etarnercept. Tropical Disease Unit, Toronto General Hospital, Toronto.
116
Reber LL, Frossard N. 2014. Targeting Mast Cells in Inflammatory Diseases. Pharmacol Ther 142(3):416-435. Ribatti D, Crivellato E. 2014. Mast Cell Ontogeny: an Historical Overview. Immunol Lett 159(1-2):11-14. Ridley DS, Jopling WH. 1966. Classification of Leprosy According to Immunity. A Five-Group System. Int J Lepr Other Mycobact Dis 34(3):255–273. Sciani JM, Sampaio MC, Zychar BC, Gonçalves LR, Giorgi R, et al. 2014. Echinometrin: a Novel Mast Cell Degranulating Peptide from The Coelomic Liquid of Echinometra Lucunter Sea Urchin. Peptides 53:13-21. Scollard DM, Joyce MP, Gillis TP. 2006. Development of Leprosy and Type 1 Leprosy Reactions after Treatment with Infliximab: Areport of 2 Cases. Clin Infect Dis 43. Shabelnikov SV, Bystrova OA, Martynova MG. 2012. Localization of Heat Shock Protein 70 in Rat Mast Cells. Cell and tissue biology 6:2. Sutherland RE, Olsen JS, McKinstry A, Villalta SA, Wolters PJ. 2008. Mast Cells IL6 Improves Survival from Klebsiella Pneumonia and Sepsis by Enhancing Neutrophil Killing. J Immunol 181:5598-5605. Theoharides TC, Donelan JM, Papadopoulou N, Cao J, Kempuraj D, et al. 2004. Mast Cells as Targets of Corticotrophin Releasing Factor and Related Peptides. Trends Pharmacol Sci 25(11):563-568. Theoharides TC, Kalogeromitros D. 2006. The Critical Role of Mast Cells in Allergy and Inflammation. Ann N Y Acad Sci 1088:78–99. Theoharides TC, Cochrane DE. 2004. Critical Role of Mast Cells in Inflammatory Diseases and The Effect of Acute Stress. J Neuroimmunol 146:1–12. Theoharides TC, Singh LK, Boucher W, Pang X, Letourneau R, et al. 1998. Corticotropin-Releasing Hormone Induces Skin Mast Cell Degranulation and Increased Vascular Permeability, a Possible Explanation for Its Proinflammatory Effects. Endocrinology 139: 403–413. Tsan MF, Gao B. 2004. Cytokine Function of Heat Shock Proteins. Am J Physiol Cell Physiol 286(4):C739-744. Verhagen CE, Wierenga EA, Buffing AA, Chand MA, Faber WR, et al. 1997. Reversal Reaction in Borderline Leprosy is Associated with a Polarized Shift to Type 1-like Mycobacterium leprae T Cell Reactivity in Lesional Skin: A Followup Study. J Immunol 159:4474-4483. Walker SL, Lockwood DN. 2008. Leprosy Type 1 (Reversal) Reactions and Their Management. Lepr Rev 79:372-386. Walker SL, Lockwood DNJ. (2006). The Clinical and Immunological Features of Leprosy. from: http://bmb.oxfordjournals.org/content/77-78/1/103.full.pdf+html, 2014 Jan 4. Wedemeyer J, Tsai M, Galli SJ. 2000. Roles of Mast Cells and Basophils in Innate and Acquired Immunity. Curr Opin Immunol 12: 624–631. Wolff K, Doldsmith, Stevern, Barbara. 2008. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 7th ed. USA : McGraw Hill. Wong GW, Zhuo L, Kimata K, Lam BK, Satoh N, et al. 2014. Ancient Origin of Mast Cells. Biochem Biophys Res Commun 451(2):314-318. Wong HR. 1998. Potential Protective Role of The Heat Shock Response in Sepsis. New Horiz 6:194–200. Woolhiser MR, Brockow K, Metcalfe DD. 2004. Activation of Human Mast Cells by Aggregated IgG Through FcRI: Additive Effects of C3a. Clin Immunol 110:172– 180.
117
Worobec SM. 2012. Current Approaches and Future Directions in The Treatment of Leprosy. Tropical Medicine 3:79–91. Yamamura M, Wang XH, Ohmen JD, Uyemura K, Rea TH, et al. 1992. Cytokine Patterns of Immunologically Mediated Tissue Damage. J Immunol 149(4):14701475. Young SK, Young DB, Colston MJ, Stanley JNA, Lockwood DNJ. 1994. Nerve and Skin Damage in Leprosy is Associated with Increased Intralesional Heat Shock Protein. Clin Exp Immunol 96:208-213. Zampeli E, Tiligada E. 2009. The Role of Histamine H4 Receptor in Immune and Inflammatory Disorders. Br J Pharmacol 157(1):24-33.