PENDAHULUAN Antibiotik adalah senyawa zat terlarut yang terbuat dari organisme yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Antibiotik baik topikal maupun oral merupakan obat yang sering diresepkan oleh ahli dermatologi untuk menangani penyakin infeksi kulit dan dermatosis inflamasi. Data peresepan sejak 1999 sampai 2003 menunjukkan
bahwa dermatolog meresepkan sekitar 9 juta
antibiotik oral, dengan 65% diantaranya golongan tetrasiklin, dan sebanyak 10% sefalosporin. Pemberian antibiotik sistemik harus dipertimbangkan dengan sangat hati-hati oleh karrena prevalensi dan penyebaran bakteri multiresisten terhadap obat masih terus meningkat. Data menunjukkan bahwa 68-70% kasus infeksi kulit di Amerika Serikat diakibatkan oleh S. Aureus resisten metisilin (MRSA). Berdasarkan Centers for Disease Control and Prevention (CDC), diperkirakan sekitar 94.360 kasus infeksi MRSA, dimana MRSA juga terkait dengan 18.650 kematian. Terdapat berbagai jenis klasifikasi antibiotik, beberapa diantaranya yaitu berdasarkan sifat toksisitas, spektrum kerja dan mekanisme kerjanya. Berdasarkan sifat toksisitas antibiotik terbagi menjadi bakterosidal dimana antibiotik bersifat membunuh mikroba, dan bakteriostatik dimana antibiotik hanya menekan proses perbanyakan diri mikroba. Berdasarkan spektrum kerjanya, antibiotik dibagi ke dalam kelompok spektrum sempit dan spektrum luas. Berdasarkan mekanisme kerjanya antibiotik dibagi dalam 5 kelompok, yaitu yang mengganggu metabolisme
sel
mikroba
(Para-aminobenzoic
acid
(PABA)
antagonis,
menghambat sintesis dinding sel mikroba, mengganggu permeabilitas membrane sel mikroba, menghambat sintesis protein sel mikroba, yang menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba. Beberapa contoh yaitu penisilin dan sefalosporin bekerja pada dinding sel bakteri, sulfonamida dan trimetroprim menghambat sistesis asam nukleat, kuinolon bekerja pada enzim DNA gyrase, metronidazol memecah rantai DNA bakteri, serta aminoglikosida, tetrasiklin, klindamisin dan makrolida menyerang subunit ribosom yang berbeda-beda pada bakteri. 1
Setiap golongan antibiotik memiliki karakteristik baik mekanisme kerja, farmakokinetik, spektrum kerja (indikasi), interaksi dengan obat lain, dosis dan efek samping yang berbeda-beda,. Pemahaman yang baik mengenai karakteristik setiap antibiotik sangat penting dalam penentuan jenis antibiotik yang akan diberikan dalam menangani kasus-kasus infeksi agar antibiotik yang diberikan tepat dan bekerja optimal, tanpa mempengaruhi terapi lainnya serta meminimalisir efek samping terapi.
2
PEMBAHASAN
I. Definisi Antibiotik adalah senyawa zat terlarut yang terbuat dari organisme yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Antibiotik merupakan zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain. II. Klasifikasi Antibiotik Sistemik Antibiotik yang terkini bersifat sintetik atau semi-sintetik. Berdasarkan sifat toksisitas selektif, antibiotik dibagi menjadi dua jenis yaitu yang bersifat menghambat pertumbuhan mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik dan ada yang bersifat membunuh mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakterisidal. Walaupun perbedaannya tidak begitu jelas, misalnya eritromisin dapat bersifat bakteriostatik atau bakterisidal tergantung dari organisme yang menginfeksi dan konsentrasi obat. Tabel 1. Klasifikasi antibiotik berdasarkan sifat toksisitas selektif. Bakteriostatik
Bakterisidal
Kloramfenikol
Aminoglikosida
Klindamisin
Basitrasin
Eritromisin
Karbapenem
Sulfonamida
Monobaktam
Tetrasiklin
Penisilin
Trimetoprim
Polymyxin B Kuinolon Vankomisin
Pada penggunaan klinik, antibiotik dibagi ke dalam kelompok spektrum sempit dan spektrum luas yang berespon terhadap mikroorganisme Gram-
3
negatif dan Gram-positif. Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotik dibagi dalam lima kelompok, yaitu: 1. mengganggu metabolisme sel mikroba (Para-aminobenzoic acid (PABA) 2. 3. 4. 5.
antagonis, menghambat sintesis dinding sel mikroba, mengganggu permeabilitas membrane sel mikroba, menghambat sintesis protein sel mikroba, dan menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba. Tabel 2. Klasifikasi antibiotik sistemik berdasarkan mekanisme kerja.
Tempat Mekanisme Kerja
Nama antibiotik
Dinding sel
Penisilin Sefalosporin Karbapenem Monobaktam Vankomisin β-lactamase inhibitor
Menghambat sintesis asam nukleat
Sulfonamida Trimetoprim
DNA gyrase
Kuinolon
Memecah rantai DNA
Metronidazol
Subunit Ribosom
Aminoglikosida–30S Tetrasiklin–30S Kloramfenikol–50S Klindamisin–50S Makrolid–50S
4
Gambar 1. Ilustrasi gambar sel bakteri dan tempat mekanisme kerja antibiotik. III.Karakteristik Antibiotik Sistemik 1. Penisilin a. Mekanisme Kerja Merupakan golongan β-laktam, bekerja dengan berikatan secara ireversibel pada target protein pengikat penisilin (Penicillin-Binding Protein,
PCP),
seperti
karboksipeptidase,
endopeptidase,
dan
transpeptidase. PCP merupakan suatu enzim yang dibutuhkan untuk biosintesis dan remodelling peptidoglikan pada dinding sel bakteri. Penisilin berikatan dengan PCP oleh kemiripan molekulnya dengan dipeptida D-Ala-D-Ala pada peptidotglikan, dan membentuk asilb.
enzim yang memblokir transfer asil selanjutnya. Farmakokinetik Absorpsi penisilin bervariasi tergantung stabilitas tiap senyawa asam dan jumlah yang terikat pada makanan. Kebanyakan penisilin harus di konsumsi minimal 1 jam sebelum atau 1 jam setelah makan. Absorpsi amoksisilin tidak dipengaruhi oleh makanan. Obat ini berdifusi dengan baik di jaringan dan cairan tubuh, tapi penetrasi ke dalam cairan otak kurang baik kecuali jika selaput otak mengalami
c.
infeksi. Obat ini diekskresi ke urin dalam kadar terapeutik. Indikasi 5
1) Sifilis. 2) Infeksi kulit dan jaringan lunak oleh Streptococcus sp. (erysipelas, demam scarlet, impetigo, dll). 3) Antraks (bila sensitif). 4) Aktinomikosis. 5) Gigitan serangga yang terinfeksi. d.
Sediaan dan Dosis Tabel 3. Sediaan dan dosis antibiotik penisilin
Nama Generik Penisilin G
Rute IM, IV
Benzatin penisilin G
IM
Dicloxacillin
Oral
Nafsilin
IM, IV
Oksasilin
Oral
Amoksisilin
Oral
Amoksisilin/klavulanat
Oral
e.
Dosis Dewasa: 2-24 juta unit per hari terbagi 4 dosis (18-24 juta unit per har untuk neurosifilis) Neonatus: 50mg/kg dosis terbagi 2 Bayi: 75mg/kg dosis terbagi 3 Anak 1-12 tahun: 100mg/kg dosis terbagi 4 Dewasa: 2,4 juta unit x1 (sifilis awal) 2,4 juta unit tiap minggu x3 (sifilis > 1 tahun) Dewasa: 500 mg tiap 6 jam Anak: 12,5-50 mg/kg/hari terbagi 4 dosis Dewasa: IM: 500 mg tiap 4-6 jam IV: 0,5-2 gr tiap 4-6 jam Dewasa: 1-2 gr tiap 4-6 jam Dewasa: 500 mg tiap 8 jam Anak: 20-40 mg/kg/hari terbagi 3 dosis Dewasa: 250 mg tiap 12 jam Anak: 20-40 mg/kg/hari terbagi 2-3 dosis
Peringatan 1) Hipersensitivitas terhadap penisilin 2) Peningkatan kadar penisilin dengan probenesid dan disulfiram 3) Peningkatan efek oleh metotreksat dan warfarin 6
f.
Efek Samping 1) Reaksi hipersensitivitas: sering terjadi eksantem dan urtikaria. Pada kasus jarang dapat terjadi dermatitis eksfoliatif, Sindroma Steven Johnson (SSJ), vaskulitis, angioedema, reaksi anafilaksis, reaksi anafilaktoid. 2) Diare, pada kasus jarang dapat terjadi kolitis pseudomembranosa. 3) Hepatitis, nefritis intersisiel, neurotoksisitas (pada dosis tinggi), infiltrat eosinofil pulmonal, serta reaksi hematologis dimediasi imun jarang terjadi.
2. Sefalosporin a. Mekanisme Kerja Merupakan golongan β-laktam dengan mekanisme kerja yang sama dengan penisilin. Baik sefalosporin maupun penislin memiliki struktur dasar yang unik yang disebut cincin β-laktam, yang menjadi dasar mekanisme kerja kedua antibiotik. Cincin β-laktam pada keduanya berikatan pada tiazolidin dan membentuk asam nukleat 6-aminopenisilanat (rantai samping R1). Sefalosporin berbeda dari penisilin secara struktur dimana cincin β-laktam juga terikat pada cincin dihidrotiazin (rantai samping R2).
Gambar 2. Struktur dasar β-laktam. Sefalosporin terbagi atas 4 generasi, berdasarkan aktivitas spektrum dan perkembangan evolusinya. Generasi pertama antara lain sefaleksin, sefadroksil, sefazoiln dan sefalotin parenteral, dimana semuanya memiliki aktivitas yang baik melawan S. Aureus dan 7
Streptococcus sp yang sensitif-metisilin, serta aktivitas yang sangat terbatas melawan bakteri gram negatif. Generasi kedua antara lain sefprozil, sefaklor, sefuroksim asetil, dan agen parenteral sefotetan, sefoksitin, sefuroksim, dapat digunakan lebih luas pada bakteri gram negatif dibanding generasi pertama, secara spesifik melawan Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis. Generasi ketiga termasuk sefdinir, sefditoren, serta agen prenteral sefotksim, seftriakson, seftazidime, sefoperazon, sangat aktif melawan bakteri gram negatif dengan spektrum yang luas. Sefalosporin generasi ketiga sangat efektif untuk infeksi nosokomial bakteri gram negatif. Satusatunya generasi keempat yang tersedia di Amerika adalah sefepim, obat parenteral dengan aktivitas yang baik terhadap baik gram positif b.
maupun gram negatif spektrum luas, termasuk P. Aeruginosa. Farmakokinetik Dari sifat farmakokinetik, sefalosporin dibedakan menjadi 2 berdasarkan
rute
pemberian.
Sefaleksin,
sefadroksil,
sefaklor,
sefprozil, asetil sefuroksim, sefdinir, dan sefditoren dapat diberikan per oral karena diabsorpsi melalui saluran cerna. Sefalosporin lainnya diberikan parenteral. Beberapa sefalosporin generasi ketiga misalnya moksalaktam, sefotaksim, seftizoksim dan seftriakson mencapai kadar tinggi dalam cairan serebrospinal. Sefalosporin juga melewati sawar plasenta, mencapai kadar tinggi dalam cairan sinovial dan cairan perikardium. Pada pemberian sistemik kadar sefalosporin generasi ketiga dalam cairan mata relatif tinggi, tapi tidak mencapai vitreus. Kadar dalam empedu umumnya tinggi, terutama sefoperazon. Kebanyakan sefalosporin diekskresi dalam bentuk utuh ke urin, kecuali sefoperazon yang sebagian besar diekskresi melalui empedu. Sefalosporin generasi pertama, kedua, dan ketiga dapat diberikan pada c.
ibu menyusui, dan ekskresi pada ASI berbeda-beda tiap obat. Indikasi 1) Infeksi kulit dan jaringan lunak oleh Staphylococcus aureus dan Streptococcus
pyogenes
tanpa
komplikasi
dapat
diberikan 8
sefalosporin generasi pertama dan kedua, juga sefdinir dan sefditoren. 2) Gonore 3) Penyakit lyme dapat diberikan seftriakson pada tahap lanjut, dan d.
sefuroksim pada onset awalnya. Sediaan dan Dosis Tabel 4. Sediaan dan dosis antibiotik sefalosporin. Nama generik Sefaleksin Sefadroksil Sefaklor Lorakarbef Sefprozil Seforuksim aksetil Sefpodoksim proksetil Seftibuten Sefiksim Seftriakson
Sefdinir e.
Dosis anak 25-100 mg/kg/hari terbagi 2 atau 4 dosis 30 mg/kg/hari terbagi 2 dosis 40 mg/kg/hari terbagi 2 atau 3 dosis 15-30 mg/kg/hari terbagi 2 dosis 30 mg/kg/hri terbagi 2 dosis 20-30 mg/kg/hari terbagi 2 dosis 10 mg/kg/hari terbagi 2 dosis 9 mg/kg/hari 8 mg/kg/hari terbagi 1 atau 2 dosis 50 mg/kg IM (maks. 1 gr) 14 mg/kg/hari terbagi 1 atau 2 dosis
Dosis dewasa 250-500 mg 4x1 1-2 gr per hari 250-500 mg 3x1 200-400 mg 2x1 250-500 mg per hari 250-500 mg 2x1 100-400 mg 2x1 400 mg per hari 200 mg 2x1 atau 400 mg 1x1 1-4 gr per hari IM; 250 mg IM (maks. 1 gr) untuk gonore non komplikata 300 mg 2x1 atau 600 mg 1x1
Peringatan 1) Hipersensitivitas terhadap sefalosporin maupun penisilin. 2) Absorpsi sefdinir berkurang dengan antasida dan preparat besi. 3) Kadar siklosporin meningkat dengan seftriakson dan seftazidim. 4) Perubahan efek warfarin dengan sefotetan, sefamandole, sefoperazon, sefiksim, dan sefaklor. 5) Ekskresi renal terganggu oleh hampir semua sefalosporin
f.
bersama probenesid. Efek Samping 9
1) Reaksi hipersensitivitas: sering terjadi eksantem dan urtikaria. Pada kasus jarang dapat terjadi dermatitis eksfoliatif, SSJ, vaskulitis, angioedema, reaksi anafilaksis, reaksi anafilaktoid. 2) Diare, pada kasus jarang dapat terjadi pseudokolelitiasis. Nekrosis tubular ginjal, reaski disulfiram-like (spesifik), tromboplebitis (lokasi IV), serum sickness like reaction (sefaklor, sefprozil). 3. Tetrasiklin Antibiotik golongan tetrasiklin yang pertama ditemukan ialah klortetrasiklin yang dihasilkan oleh Streptomyces aureofacien. Tetrasiklin sendiri dibuat secara semisintetik dari klortetrasiklin, tetapi juga dapat diperoleh dari spesies Streptomyces lain.
Gambar 3. Struktur kimia golongan tetrasiklin. a. Mekanisme Kerja Golongan tetrasiklin menghambat sintesis protein bakteri pada ribosomnya. Paling sedikit terjadi dua proses dalam masuknya antibiotik kedalam ribosom bakteri Gram-negatif pertama secara difusi pasif. Tetrasiklin diyakini dapat menjadi bakteriostatik, tetapi kemudian ditemukan bahwa dapat menjadi bakteriostatik dan bakterisidal. Antibiotik ini memiliki dua mode mekanisme antibiotik. Tetrasiklin memperlihatkan spektrum antibakteri luas yang meliputi kuman Gram-positif dan negatif, aerobik dan anaerobik, selain itu juga 10
aktif terhadap spiroket, mikoplasma, riketsia, klamidia, legionela dan protozoa tertentu. Doxycycline dan minocycline adalah tetrasiklin sistemik generasi kedua yang paling umum digunakan dalam dermatologi. b.
Farmakokinetik Tetrasiklin diserap tidak sempurna di lambung dan usus kecil, yang terutama dikonsumsi saat perut kosong. Doxycycline dan minocycline tidak dipengaruhi oleh ada atau tidaknya makanan dan mempunyai waktu paruh lebih lama dari tetrasiklin, dan membutuhkan dosis yang sedikit. Tetrasiklin tidak bisa dikonsumsi bersama dengan makanan, terutama yang mengandung susu. Besi, kalsium dan magnesium dapat mengurangi 50% penyerapan. Tetrasiklin diekskresikan terutama di ginjal, dan pasien dengan gagal
ginjal
memerlukan
dosis
penyesuaian.
Doxycycline
diekskresikan dalam tinja dan tidak ada penyesuaian untuk gagal ginjal atau hati yang diperlukan. Minocycline sebagian besar dimetabolisme sebelum diekskresi, tapi tidak terakumulasi pada pasien dengan gagal hati. Tetrasiklin melewati plasenta dan terdapat dalam konsentrasi tinggi dalam ASI. Antibiotik ini dapat menumpuk dan mempengaruhi pertumbuhan tulang dan gigi sehingga penggunaan selama kehamilan dan saat menyusui harus dihindari. c.
Indikasi a) b) c) d) e) f) g) h) i)
d.
Aktinomikosis Gigitan serangga (Pasteurella multocida) Infeksi Anthrax (Bacillus anthracis) Infeksi Chlamydia sp. Ehrlichiosis Penyakit Lyme Infeksi MRSA Penyakit riketsia Sifilis (penisilin-alergi granuloma inguinale pasien)
Sediaan dan Dosis
11
Untuk pemberian oral, tetrasiklin tersedia dalam bentuk kapsul dan tablet. Untuk pemberian parenteral tersedia bentuk larutan obat suntik (oksitetrasiklin) atau bentuk bubuk yang harus dilarutkan lebih dulu (tetrasiklin HCL, tigesiklin, doksisiklin, minosiklin).
Tabel 5. Sediaan dan dosis antibiotik tetrasiklin. Derivat
Sediaan
Tetrasiklin
Dosis
Kapsul/tablet 250mg dan 500mg
Oral,4 kali 250-500mg
Bubuk obat suntik IM 100mg dan 200mg/vial
Parenteral, 300IM mg sehari yang dibagi dalam 2-3 dosis, dosis atau 250-500mg IV diulang 2-4kali sehari.
Bubuk obat suntik IV 250 dan 500mg/vial
Parenteral,untuk pemberian IM 15-25 mg/kgBB/hari sebagai dosis tunggal atau dibagi dalam 2-3 dosis dan IV 2030mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-3 dosis. Doksisiklin
Kapsul atau tablet 100mg, tablet 50mg
Oral, dosis awal 200mg, selanjutnya 100-200 mg/hari
Sirup 10mg/ml Minosiklin
e.
Kapsul 100mg
Oral, dosis awal 200mg, dilanjutkan 2 kali sehari 100mg/hari
Peringatan a) b) c) d)
Pasien dengan gagal ginjal (ekskresi terganggu dan anti anabolik) Fotosensitifitas (doxycycline) Menyusui, kehamilan, dan pada anak (< 9 tahun) Gangguan penyerapan oleh kalsium, magnesium, aluminium
(kation lainnya), besi, natrium bikarbonat, dan simetidin e) Peningkatan metabolisme doxycycline dengan penggunaan fenitoin, karbamazepin, barbiturat, dan alkohol 12
f) Kebutuhan insulin berkurang pada pasien diabetes g) Peningkatan kadar serum digoxin, lithium, dan warfarin h) Anestesi metoksifluran (gagal ginjal) f.
Efek Samping Reaksi kulit yang mungkin timbul akibat pemberian golongan tetrasiklin ialah erupsi mobiliformis, urtikaria, dan dermatitis eksfoliatif. Reaksi yang lebih hebat ialah edema angioneutrotik dan reaksi
anafilaksis.
Pada
pemberian
minosiklin
dapat
terjadi
hiperpigmentasi dari kulit dan kuku, iritasi pada lambung serta pada anak- anak dapat terjadi hiperpigmentasi dari gigi. Terapi dalam waktu lama dapat menimbulkan kelainan darah tepi seperti leukositosis, limfosit atipi, granulasi toksik pada granulosit dan trombositopenia. 4. Florokuinolon a. Mekanisme kerja Florokuinolon adalah derivat kuinolon generasi pertama (nalidixic acid). Golongan kuinolon menghambat enzim DNA girase pada mikroba yang fungsinya menata kromosom yang sangat panjang menjadi bentuk spiral hingga bisa muat dalam sel mikroba yang kecil. Antibiotik ini menghambat kerja enzim topoimerase II (DNA girase) dan IV dimana enzim ini berfungsi pada replikasi DNA, transkripsi, dan perbaikan DNA. Kuinolon aktif pada bakteri yang dihambat adalah bakteri aerob gram-negatif, staphylococci, dan streptococci tetapi tidak cukup aktif pada bakteri anaerob.
13
Gambar 4. Struktur kimia antibiotik florokuinolon. Antibiotik ini aktif melawan jenis organisme gram-negatif seperti, Salmonella, Shigella, Enterobacter, Campylobacter, dan Neisseria. Ciprofloxacin cukup aktif melawan untuk Pseudomonas aeruginosa. Gemifloksasin
dan
mofifloksasin
terbukti
bisa
aktif
pada
mikroorganisme gram-positif, walaupun secara umum florokuinolon memiliki aktivitas terbatas untuk organisme gram-positif. Florokuinolon termasuk antibiotik yang poten berspektrum luas dan
sering
digunakan
pada
penyakit
infeksi.
Florokuinolon
menghambat supercoiling dalam sel bakteri yang akan merusak replikasi DNA (dosis rendah) dan mematikanj sel (dosis letal). Sel target utama pada bakteri gram-negatif adalah DNA gyrase, sedangkan sel target utama pada mikroorganisme gram-positif adalah topoimerase IV.
14
Gambar 5. Mekanisme topoimerase tipe II pada DNA. Pengontrolan supercoiling untuk menentukan jumlah rantai ganda yang dibutuhkan menyusun kromosom bakteri. b.
Farmakokinetik Florokuinolon diabsorpsi dengan cepat setelah ingesti oral dengan distribusi volume yang besar. Kuinolon terdistribusi dengan luas di seluruh tubuh. Penetrasi ke jaringan lebih besar dari konsentrasi yang dicapai di plasma, feses, cairan empedu, jaringan prostat, dan jaringan paru-paru. Makanan tidak menghambat absorpsinya dan dapat diberikan dua kali sehari.
Florokuinolon diekskresi oleh ginjal. Mofifloksasin
dieliminasi di hati dengan cara dikonjugasikan dengan glukoronid dan sulfat. Florokuinolon tidak dapat dihilangkan dengan dialisis. Kebanyakan diekskresi bersama ASI tetapi jarang menimbulkan efek samping pada bayi. Ciprofloksasin bisa menimbulkan fototoksik, kolitis psudomembran, dan erupsi gigi. Ketika digunakan dalam kombinasi dengan agen dari kelas antibiotik lain, seperti beta-laktam dan aminoglikosida, kuinolon diduga tidak sinergis. Ciprofloxacin dan rifampisin bersifat antagonis terhadap Staphylococcus aureus. Waktu paruh kuinolon bervariasi mulai dari 1,5 jam sampai 16 jam, kebanyakan diberikan setiap 12 jam sampai 24 jam. 15
c.
Indikasi 1) Terapi lini pertama Antrhax, Skin and
sof-tissue
infection
(SSTIs)
akibat
mikroorganisme patogen gram-negatif, infeksi Pseudomonas aeroginosa (otitis eksterna, ektima gangrenosum, SSTI). 2) Terapi lini kedua Infeksi Bartonella sp, canchroid, chlamydia, , gonorrhea, d.
granuloma inguinale, infeksi Rickettsia sp. Sediaan dan Dosis Tabel 6. Sediaan dan dosis antibiotic florokuinolon Nama generik Ciprofloksasin
Levofloksasin e.
Rute Dosis pada orang dewasa Gonore: 500 mg x 1 Gonococcemia: 500 mg tiap 12 jam x 7 hari PO, Canchroid: 500 mg tiap 12 jam x 3 hari IV Anthrax kutaneus: 10-15 mg/kgBBq 12 jam x 60 hari PO, Tanpa komplikasi: 500 mg tiap 24 jam IV Dengan komplikasi: 750 mg tiap 24 jam
Peringatan Florokuinolon dapat menurunkan bioavaibilitas dengan antasid (aluminium, Siprofloksasin
magnesium,
alum),
dapat
besi,
zinc,
dan
menghambat
sucralfat.
metabolisme
theophylline/aminophylline. Secara umum kuinolon bisa menyebabkan arthropati pada studi hewan imatur. Ruptur tendon dapat ditemukan pada pasien dengan penyakit ginjal, hemodialisis, atau penggunaan steroid. Florokuinolon f.
bisa menurunkan
ambang
kejang dan
menurunkan metabolisme silosporin dan warfarin. Efek Samping Efek samping yang biasa didapatkan pada pasien adalah adanya mual, muntah, sakit kepala, dan menggigil. Sedangkan efek samping yang jarang didapatkan adalah exanthem, fotosensitivitas delirium, kejang, rupture pada tendon, artropati, pemanjangan interval QT, dan hepatitis. Komplikasi yang bermanifestasi pada kulit seperti rash, pruritus, dan reaksi fotosensitivitas.
5. Trimetoprim/Sulfametoksazol 16
a. Mekanisme Kerja Trimetoprim / sulfametoksazol (kotrimoksazol) adalah kombinasi dari trimetoprim (TMP) dan sulfametoksazol (SMX) dengan perbandingan 1:5. Kedua senyawa ini menghambat sintesis asam nukleat dengan menghambat dua enzim dalam jalur sintesis asam tetrahydrofolic bakteri. Bersama-sama, senyawa ini bersifat sinergis yang relatif spesifik untuk sel-sel bakteri.
Gambar 6. Struktur kimia antibiotik trimetoprim dan sulfametoksazol. SMX menghambat produksi dihidrofolat dari komponen prekursor p-aminobenzoat,
pteridin,
dan
glutamat.
TMP
bekerja
pada
metabolisme folat secara kompetitif dengan menghambat dihidrofolat reduktase, yaitu enzim yang memproduksi tetrahidrofolat aktif. TMP/SMX adalah antibiotik spektrum luas dengan aktivitas yang baik terhadap banyak aerobik gram-positif seperti Staphylococcus aureus, S. pyogenes, S. viridans. Obat ini tidak memiliki aktivitas terhadap mikroorganisme anaerob. TMP dan SMX bila digunakan tunggal akan bersifat bakteriostatik, sedangkan jika dikombinasikan atau bentuk kotrimoksazol akan bersifat bakterisidal.
17
Gambar 7. Mekanisme kerja trimetoprim dan sulfametoksazol. Bakteri
memerlukan
PABA
(p-aminobenzeic
acid))
untuk
membentuk asam folat yang digunakan untuk sintesis purin dan asam nukleat. Sulfametoksazol merupakan penghambat bersaing PABA. b. Farmakokinetik Trimetoprim dan sulfametoksazol baik diabsorpsi secara oral dengan distribusi ke seluruh jaringan pada tubuh. Distribusinya juga melalui cairan serebrospinal dan sputum. Absorpsi melalui saluran cerna terjadi dengan mudah dan cepat. Sekitar 70-100% dosis oral diabsorpsi melalui saluran cerna dan dapat ditemukan dalam urin 30 menit setelah pemberian. Absorpsi melalui vagina, saluran napas, kulit yang terluka pada umumnya kurang baik, tetapi cukup menyebabkan reaksi toksik atau hipersensitivitas. Semua terikat pada protein plasma terutama albumin. Dalam cairan tubuh kadar obat bentuk bebas mencapai 50-80% kadar dalam darah. Dalam tubuh, terjadi proses asetilasi dan oksidasi. Hasil oksidasi ini yang akan menyebabkan reaksi toksik sistemik berupa lesi pada kulit dan hipersensitivitas, sedangkan hasil asetilasi menyebabkan hilangnya aktivitas obat. Hampir semua diekskresi melaui ginjal dan sebagian kecil diekskresi melalui feses, empedu dan ASI. Farmakokinetik TMP-SMX tidak berubah secara signifikan dan waktu paruhnya tidak memanjang jika terjadi gangguan hati. Saat ini
18
belum ada studi yang melaporkan dosis maksimum TMP-SMX untuk gangguan ginjal. c. Indikasi Trimetoprim dan sulfametoksazol digunakan untuk community acquired MRSA, infeksi Nocardia asteroids, Skin and Soft Tissue Infections (SSTIs) yang tidak berkomplikasi, dan pada chancroid. d. Sediaan dan Dosis Tabel 7. Sediaan dan dosis antibiotik trimetoprim dan sulfametoksazol. Antibiotik
Rute
PO Trimetoprimsulfametoksazol (Kotrimoksazol) IV
Dosis pada orang dewasa 180 mg/800mg (DS) pemberian setiap 12 jam 5 mg/kgBB pemberian setiap 6-8 jam
e. Peringatan Penggunaan TMP-SMX pada pasien dengan HIV/AIDS dapat terjadi reaksi berat, pasien dengan terapi warfarin akan terjadi pemanjangan protrombin, dan dikontraindikasikan terhadap pasien yang mendapat metroteksat. f. Efek Samping Efek samping yang biasa didapatkan pada penggunaan antibiotik TMP-SMX adalah adanya eksantem, fotosensitivitas, mual, muntah, anoreksia, glossitis, stomatitis (sering pada pasien HIV/AIDS). Sedangkan efek samping yang jarang didapatkan adalah delirium, sindroma steven johnson, nekrolisis epidermal toksik, vaskulitis, urtikaria, erupsi pustular, Sweet Syndrome, hepatitis kolestatik, nekrosis hepatik, reaksi hipersensitivitas berat, sefalgia, halusinasi, tremor, nefrolitiasis, dan nefritis intertisiel. Sekitar 8% antibiotik ini juga dapat menyebabkan reaksi kulit tipikal pada pasien. 6. Klindamisin Klindamisin adalah antibiotik linkosamid yang diperoleh melalui modifikasi kimia dari linkomisin. Yang dimana penyerapan dan aktifitas spektrumnya yang lebih baik dari pendahulunya, yang sekarang sudah ditinggalkan. a. Mekanisme Kerja 19
Klindamisin berikatan dengan bakteri subunit ribosom 50s dan menghambat sintesis protein melalui blokade inisiasi rantai peptida. Klindamisin memudahkan opsonisasi serta fagositosis dan mengurangi adhesi bakteri (sel inang) dan produksi eksotoksin stafilokokus. Klindamisin efektif terhadap sebagian besar kokus Gram-positif, anaerob, dan beberapa protozoa. Dalam bidang dermatologi, klindamisin efektif terhadap sebagian besar jenis streptococcus (termasuk
S.
viridans),
methicillin-sensitif
S.
aureus,
serta
S.epidermidis. Aktifitas spektrum anaerob termasuk Peptococci, Peptostreptococci, Propionibacteria, Clostridium perfringens, serta fusobacteria. Toxoplasma gondii seringkali efektif diobati dengan kombinasi termasuk klindamisin. b. Farmakokinetik Klindamisin diserap hampir sempurna pada pemberian oral. Adanya makanan dalam lambung tidak banyak mempengaruhi absorpsi obat ini.
Klindamisin merupakan obat pilihan dalam
kelompok ini karena penetrasi jaringan yang baik kecuali pada SSP. Klindamisin memiliki daya serap peroral yang baik dan tidak ada persyaratan dosis yang diperlukan jika terdapat penyakit ginjal, klindamisin juga merupakan alternatif pada pasien yang alergi pada penisilin. Klindamisin terutama dimetabolisme oleh hati serta diekskresikan di empedu, meskipun 10% diekskresikan di urin. Dosis harus disesuaikan untuk pasien dengan gagal hati atau kombinasi gagal hati dengan gagal ginjal. c. Indikasi a) b) c) d) e)
Infeksi dalam jaringan: necrotizing fasciitis Profilaksis bedah pada pasien alergi penisilin Profilaksis untuk infeksi stafilokokus berulang Ulkus kaki diabetik (kombinasi dengan infeksi Gram-negatif) Bakterial vaginosis
d. Sediaan dan Dosis 20
Tabel 8. Sediaan dan dosis antibiotik klindamisin pada orang dewasa. Rute pemberian Dosis Klindamisin
Oral Intravena
150-450 mg per 6 jam 600-800 mg per 8 jam
Untuk anak atau bayi berumur lebih dari 1 bulan diberikan 15-25 mg/kgBB sehari. Untuk infeksi berat dosisnya 25-40 mg/kgBB sehari yang dibagi dalam beberapa dosis pemberian. e. Peringatan Penggunaan antibiotik klindamisin harus mendapat perhatian jika pasien dengan gagal hati, terdapat peningkatan blokade neuromuskular dengan tubocurare dan pancuronium. Antibiotik ini bersifat antagonis terhadap eritromisin. f. Efek Samping Diare dilaporkan terjadi pada 2-20% pasien yang mendapat klindamisin. Diperkirakan sekitar 0,01-10% pasien dilaporkan menderita kolitis pseudomembranosa yang ditandai oleh demam, nyeri abdomen, diare dengan darah dan lendir pada tinja. Bila selama terapi timbul diare atau kolitis, maka pengobatan harus dihentikan. Obat terpilih untuk keadaan ini adalah vankomisin yang diberikan 4 kali 125 mg sehari peroral atau IV selama 7-10 hari atau metronidazole oral 3 x 500 mg/hari. 7. Makrolid Eritromisin adalah antibiotik prototip makrolid; derivatif termasuk dirithromycin, klaritromisin, dan azitromisin. Makrolid bervariasi dalam aktivitasnya terhadap patogen Gram-positif: klaritromisin>eritromisin> azitromisin. Makrolid secara luas digunakan untuk mengobati infeksi ringan pada jaringan saluran pernapasan. Antibiotik ini aktif terhadap bakteri Gram-negatif dan Gram-positif, termasuk kuman intraseluler seperti Chlamydia dan Legionella. 21
a.
Mekanisme Kerja Golongan makrolid menghambat sintesis protein kuman dengan jalan berikatan secara reversibel dengan ribosom subunit 50S dan umumnya bersifat bakteriostatik, walaupun terkadang dapat bersifat bakterisidal untuk kuman yang sangat peka.
b.
Farmakokinetik Makrolid
terakumulasi
secara
intraseluler
polimorfonuklear dan makrofag, antara lain
pada
leukosit
beraktivitas untuk
melawan bakteri patogen pada intraseluler. Eritromisin diserap baik oleh usus kecil bagian proksimal, aktivitasnya menurun karena dirusak oleh asam lambung, eritromisin diberi selaput yang tahan asam atau digunakan dalam bentuk ester stearat atau etilsuksinat, adanya makanan juga menghambat penyerapan eritromisin. Dibandingkan dengan eritromisin, klaritromisin dan azitromisin lebih asam stabil dan memiliki bioavailabilitas oral yang lebih besar. Konsentrasi
makrolid
umumnya
melewati
kadar
plasma.
Konsentrasi eritromisin dalam ASI sekitar 50% dari kadar serum. Eritromisin dapat melewati plasenta, kecuali klaritromisin (kategori kehamilan C), secara umum makrolid adalah Kategori B. Klaritromisin dimetabolisme di hati oleh sitokrom P450 3A4 (CYP3A4) menjadi bentuk enzim 14-hidroksi aktif dan enam produk tambahan. Sekitar 30-40% dari dosis oral klaritromisin diekskresikan dalam urin sebagai
14-hidroksi metabolit yang aktif atau tidak
berubah. Eliminasi Azitromisin terjadi terutama dalam feses sebagai obat yang tidak mengalami perubahan, dan ekskresi urin minimal. Tidak seperti klaritromisin, azitromisin tidak berinteraksi dengan sistem sitokrom P450. c.
d.
Indikasi a) SSTIs tanpa komplikasi (folikulitis, erysipelas, selulitis) b) Lyme disease c) Chlamydia Sediaan dan Dosis 22
Tabel 9. Sediaan dan dosis antibiotik makrolid. Eritromisin Klaritromisin Makrolid Azitromisin
Oral IV Oral Oral IV
e.
500mg per 6 jam atau 12 jam 1gr per 6jam 250-500 mg per 12 jam 500 mg hari pertama, lalu 250 mg setiap hari 2-5 kali untuk klamidian, 1gr dosis tunggal 500 mg per 24jam
Peringatan 1) CYP 3A4 inhibition Meningkatkan toksisitas obat (meningkatkan konsentrasi serum): warfarin, karbamazepin, buspiron, benzodiazepin, kortikosteroid (methylprednisolon), HMG CoA reductase
inhibitor, kontrasepsi
oral, cyclosporine, tacrolimus, disopyramide, felodipin, ergot alkaloid. 2) CYP 1A2 inhibition Meningkatkan toksisitas obat (meningkatkan konsentrasi serum): theophylline, omeprazol.
3) Lainnya Digoxin (konsentrasinya meningkat akibat perubahan metabolisme obat oleh gut flora), Fluconazol (meningkatkan konsentrasi klaritromisin) f.
Efek samping Pada eritromisin efek samping berat jarang terjadi, reaksi alergi mungkin timbul dalam bentuk demam, eosinofilia dan eksantem yang cepat hilang bila terapi dihentikan. Efek samping klaritromosin adalah iritasi saluran cerna dan peningkatan sementara enzim hati.
V. Korelasi Klinis Penggunaan Antibiotik Sistemik pada Pengobatan Penyakit Kulit A.
Pioderma (impetigo, folikulitis, selulitis, dan erisypelas) 23
1. Terapi lini pertama a. Kloksasilin: Dewasa 4 x 250-500 mg per hari per oral. Anak: 50 mg/kg per hari terbagi dalam 4 dosis selama 5 sampai 7 hari. b. Pada S.aureus yang resisten terhadap eritromisin dapat diberikan: 1) Amoksisilin dan asam klavulanat: Dewasa 3 x 250 - 500 mg per hari. Anak: 25 mg/kgBB per ,hari terbagi dalam 3 dosis selama 5 - 7 hari. 2) Sefaleksin 40- 50 mg/kgBB per hari terbagi dalam 4 dosis selama 5-7 hari. 3) Sefaklor: 20 mg/kgBB per hari terbagi dalam 3 dosis. 2. Terapi lini kedua a. Azitromisin: 1x500 mg per hari (hari pertama), dilanjutkan 1x250 mg (hari ke-2 sampai hari ke-5). b. Klindamisin: 15 mg/kgBB per hari terbagi dalam 3 dosis selama 10 hari. c. Eritromisin: Dewasa 4x250-500 mg per hari. Anak: 20-50 mg/kgBB terbagi dalam 4 dosis selama 5-7 hari. B.
Antraks Terapi pilihan untuk antraks adalah kristalin penisilin G parenteral 2 juta unit setiap 6 jam, yang diberikan selama 7-14 hari (sampai edema lokal
menghilang
atau
lesi
kulit
mengering).
Antibiotik
yang
direkomendasikan saat ini adalah terapi siprofloksasin dengan dosis 2030mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis (dosis maksimum untuk dewasa 500mg 2 kali sehari) atau doksisiklin 100mg 2 kali sehari peroral selama 60 hari. Untuk anak dan wanita menyusui diberikan amoksisilin dengan dosis 40mg/kgBB (BB kurang dari 20kg) dibagi dalam 3 dosis atau 500mg 3x/hari untuk anak BB lebih dari 20kg/dewasa. C.
Acne Vulgaris Antibiotik oral diberikan pada acne vulgaris derajat sedang sampai berat, diberikan selama minimal 6–8 minggu, maksimal 12–18 minggu. Antibiotik oral pilihan: 24
1. Tetrasiklin 500 mg 2x/hari (saat ini penggunaannya jarang digunakan karena terdapat resistensi terhadap tetrasiklin) 2. Doksisiklin 50-100 mg 2x/hari 3. Minosiklin 50-100 mg 2x/hari 4. Klindamisin 150-300 mg 2-3x/hari D.
Eritrasma Antibiotik oral diberikan pada eritrasma dengan lesi yang luas, dimana eritromisin terbukti efektif diberikan 1 gram sehari (4 x 250mg) selama 23 minggu dan antibiotik klaritomisisn 1 gram dosis tunggal.
E.
Aktinomikosis Terapi pilihan untuk aktinomikosis adalah penisilin G, 18-24 juta unit secara intravena selama 2-6 minggu, kemudian diteruskan dengan penisilin atauamoksisilin oral selama 6-12 bulan.
F.
Infeksi Methicillin Resistance Staphylococcus aureus (MRSA) Tabel 10. Dosis Antibiotik pada Penyakit MRSA Antibiotik Vankomisin
Dosis dewasa 30 mg/kg/hari dalam 2
Dosis anak 40 mg/kg/hari dalam 4
dosis terbagi/ IV
dosis terbagi/ IV 25-40 mg/kg/hari dalam
Klindamisin
600 mg/8 jam/IV
Daptomisin Seftarolin
4 mg/kg/hari/IV 600 mg/12 jam/IV
3 dosis terbagi Tidak digunakan Tidak digunakan Tidak
Doksisiklin
100 mg 2x1 PO
direkomendasikan dibawah 8 tahun 8-12 mg/kg/hari
Trimetroprimsulfametoksasol
(berdasarkan 1-2 tablet 2x1 PO
trimetoprim) dalam 4 dosis terbagi IV atau 2 dosis terbagi PO
G.
Penyakit Lyme 1. Terapi lini pertama (per oral) a. Doksisiklin 100mg peroral 2 x sehari 25
b. Amoksisilin 500mg peroral 3 x sehari c. Cefuroxime 500mg peroral 2 x sehari 2. Terapi alternatif (peroral) a. Azitromisin 500mg peroral 4 x sehari b. Eritromisin 500mg peroral 4 x sehari c. Klaritromisin 500mg peroral 2 x sehari 3. Terapi lini pertama (parenteral) Ceftriaxone 2gr/intravena 4x/sehari 4. Terapi alternatif (parenteral) a. Penisilin G (18-24 unit dibagi dalam 6 dosis tiap 4 jam) b. Cefotaksim 2gr per intravena setiap 8 jam c. Doksisiklin 200-400mg perhari per intavena dibagi dalam 2 dosis H.
Sifilis 1. Terapi pilihan a. Stadium dini (stadium I, II, dan laten < 2 tahun): Benzatinpenisilin G 2,4 juta unit. b. Stadium lanjut (stadium laten > 2 tahun dan III): Benzatinpenisilin G 7,2 juta unit (injeksi intramuskular Benzatinpenisilin G 2,4 juta unit/kali dengan interval 1 minggu). 2. Terapi alternatif a. Tetrasiklin 4x500mg/hari b. Eritromisin 4x500mg/hari c. Doksisiklin 2x100mg/hari Lama pengobatan 30 hari (stadium dini) atau lebih 30 hari (stadium lanjut).
I.
Gonore 1. Terapi pilihan: Sefiksim 400mg per oral. 2. Terapi alternatif a. Levofloksasin 500mg per oral dosis tunggal 26
b. Tiamfenikol 3,5gram per oral dosis tunggal c. Kanamisin 2 gram injeksi IM, dosis tunggal d. Seftriakson 250mg injeksi intamuskular dosis tunggal (tidak boleh diberikan pada ibu hamil, menyusui, atau anak di bawah 12 tahun) J.
Infeksi Chlamydia sp 1.
Limfogranuloma venereum a. Doksisiklin dosis 2x 100mg/hari selama 14-21 hari atau tetrasiklin 2 gr/hari atau tetrasiklin 2gr/hari atau minosiklin 300mg diikuti 200mg 2x/hari. b. Sulfonamid: dosis 3-5 gr/hari selama 7 hari. c. Eritromisin: (pilihan kedua) dosis 4x500mg/ hari selama 21 hari terutama pada kasus-kasus alergi obat golongan cycline, pada wanita hamil dan menyusui. d. Kotrimoksasol: 480mg 3x 2 tablet/ hari selama 7 hari.
2.
Uretritis Non Gonore a. Golongan tetrasiklin 1) Tetrasiklin 250-500mg, 4x sehari selama 7-21 hari 2) Doksisiklin 100mg, 2x sehari selama 7-21 hari 3) Minosiklin 100mg, 2x sehari selama 7-21 hari b. Golongan makrolid 1) Eritromisin 250-500 mg selama 7-21 hari terutama untuk resistensi tetrasiklin dan untuk wanita hamil 2) Azitromisin 1 gram dosis tunggal c. Golongan kuinolon Ofloksasin 200mg 2x sehari selama 7-14 hari
VI. Antibiotik Sistemik untuk Alergi Obat pada Pengobatan Penyakit Kulit Antibiotik golongan beta laktam penisilin adalah antibiotik yang paling sering digunakan. Antibiotik ini terbukti sebagai antibiotik yang efektif untuk infeksi bakteri. Golongan beta laktam merupakan salah satu terapi pilihan pada pengobatan penyakit kulit. Berdasarkan studi epidemiologi, dilaporkan bahwa 27
antibiotik sering menyebabkan alergi obat. Dari berbagai kelas antibiotik, golongan antibiotik beta laktam (penisilin dan sefalosporin) sering didapatkan kasus alergi obat. Golongan antibiotik yang termasuk aman adalah vankomisin. Vankomisin merupakan pilihan terapi untuk pasien dengan alergi obat penisilin maupun sefalosporin. Vankomisin juga aktif melawan bakteri penyebab MRSA. Vankomisin adalah antibiotik glukopeptida trisiklik yang diproduksi oleh Stretococcus orientalis yang dapat dibuktikan keamanannya melalui hasil studi porspektif. Tabel 11. Dosis antibiotik vankomisin Nama Generik Vankomisin
Rute IV
Dosis Dewasa: 30mg/kgBB dibagi dalam 2-3 dosis per hari Neonatus (<7 hari): diberikan dosis dimulai dari15mg/kg kemudian diteruskan 10mg/kg setiap 12 jam Bayi (8 hari-30 hari): diberikan dosis dimulai dari15mg/kg kemudian diteruskan 10mg/kg setiap 8 jam Anak: diberikan dosis dimulai dari15mg/kg kemudian diteruskan 10mg/kg setiap 6 jam
28
KESIMPULAN Setiap golongan antibiotik memiliki karakteristik baik mekanisme kerja, farmakokinetik, spektrum kerja (indikasi), interaksi dengan obat lain, dosis dan efek samping yang berbeda-beda. Pemahaman yang baik mengenai karakteristik setiap antibiotik sangat penting dalam penentuan jenis antibiotik yang akan diberikan dalam menangani kasus-kasus infeksi agar antibiotik yang diberikan tepat dan bekerja optimal, tanpa mempengaruhi terapi lainnya serta meminimalisir efek samping terapi. Tabel 12. Rekomendasi terapi antibiotik untuk pengobatan penyakit kulit Organisme
Terapi Lini Pertama
Terapi Alternatif
29
DAFTAR PUSTAKA 1.
Gasbarre C. Antibiotics. In: Fitzpatrick's Dermatology In General
Medicine 8th Ed. Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffell, Wolff K eds. USA: McGraw Hill; 2012. 3941-56 p. 2.
Rosso JQ. The Scientific Panel on Antibiotic Usage in Dermatology
(PAUD). Extensions Educational Newsletter For Physician and Nurse Practitioner in Dermatology. 2006. 3.
Jones H. Systemic Antibiotic Treatment of Skin, Skin Structure, and Soft
Tissue Infections in the Outpatient Setting. Advances in skin and wound care 2012;20(3):132-40. 4.
Setiabudy. Antimikroba. In: Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta:
Bagian Farmakologi FKUI; 2001. 571-83 p. 5.
Breatnach S, Chalmers, Hay. Systemic Therapy. In: Rook's Texbook of
Dermatology. UK: Wiley-Blackwell; 2010. 3930-4 p. 6.
Jack L. Antimicrobial Drugs. In: Bolognia: Dermatology, 2nd ed.2008.
7.
Craft JC, Parish LC. Systemic antimicrobial therapy. In: Drug Therapy in
Dermatology. Milikan LE ed. 2000. Newyork: Marcel Dekker Inc. 65 p. 8.
Liarrul LI, Testero SA, Fisher JF et al. The Future of the β-lactams.
Current Opinion in Microbiology. 2010;13:551-7. 9.
Yulinah et al. ISO Farmakoterapi. Jakarta: PT ISFI; 2008. 774-7 p.
10.
Kim MH, Lee MJ. Diagnosis and Management of Immediate
Hypersensitivity Reactions to Cephalosporins. Allergy Asthma Immunol Res. 2014;6(6):485-95. 11.
Priya S, Radha K. Brief Review Of Spectrophotometric Methods For The
Detection Of Tetracycline Antibiotics. International Journal Of Pharmacy And Pharmaceutical Sciences. 2014;6:48-51. 12.
Werner E. A Systematic Review Of The Effects And Side Effects Of
Treatment With Oral Tetracycline In Acne Vulgaris. Sweden: University of Gothenburg. 2013.
30
13.
Soni K. Fluoroquinolones: Chemistry & Action – A Review. New Delhi:
Indo Global Journal of Pharmaceutical Sciences. 2012;2(1):43-53. 14.
Redgrave. Fluoroquinolone resistance: mechanisms, impact on bacteria,
and role in evolutionary success. Birmingham: Trends in Microbiology. 2014;22(8):438-8. 15.
Oliphant C. Quinolones: A Comprehensive Review. USA: American
Family Physician. 2002;65(3):455-64. 16.
Brown GR. Cotrimoxazole - optimal dosing in the critically ill. Brown
Annals of Intensive Care. Canada: Springer. 2014;4(13):1-9. 17.
Mohanasoundaram KM. The Prevalence of Inducible Clindamycin
Resistence Among Gram Positive Cocci From Various Clinical Spesimens. Journal of Clinical and Diagnostic Research. 2011;5:38-40. 18.
Alzolibani AA, Zedan K. Macrolides In Chronic Inflammatory Skin
Disorder. Hindawi Publishing Corporation. 2012. 19.
Zuckerman JM, Qamat F, Bono BR. Review of Macrolide (Azithromycin),
Ketolids (Telithromycin) and Glycycyclines (Tigecycline). Med Clin N Am. 2011:761-791. 20.
PERDOSKI. Panduan Pelayanan Medis Dokter Spesialis Penyakit Kulit
dan Kelamin. Jakarta: PP PERDOSKI. 2011. 21.
Aisah S et al. Panduan Pelayanan Medis Departemen Kulit dan Kelamin
RSCM. Jakarta: PPMDKK RSCM. 2007. 22.
Stevens DL et al. Practice Guidelines for the Diagnosis and Management
of Skin and Soft Tissue Infections: 2014 Update by the Infectious Diseases Society of America. USA: IDSA Guidline. 2014;59(2):e10–52. 23.
Amiruddin MD. Penyakit Menular Seksual. Jogjakarta: PT. LKiS Pelangi
Aksara. 2004. 24.
Holloway K, Dijk LV. The World Medicines Situation 2011: Rational Use
of Medicines. Geneva: WHO. 2011:8. 25.
Thong. Update on the Management of Antibiotic Allergy. Korea: Allergy
Asthma Immunol Res. 2010;2(2):77-86.
31
26.
Bruniera et al. The use of vancomycin with its therapeutic and adverse
effects: a review. European Review for Medical and Pharmacological Sciences. 2015;19:694-700.
32