A. Pengertian Hak Tanggungan
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, tanggungan diartikan sebagai barang yang dijadikan jaminan. Sedangkan jaminan itu sendiri artinya tanggungan atas pinjaman yang diterima (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989 : 899). 899). Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang -Undang Nomor 4 Tahun 1996 disebutkan pengertian hak tanggungan. Yang dimaksud dengan hak tanggungan adalah : ³Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang Undang -Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tanah itu untuk untuk pelunasan hutang hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.´ Unsur-unsur yang tercantum dalam pengertian hak tanggungan disajikan berikut ini. 1. Hak jaminan yang yang dibebankan hak atas tanah Yang dimaksud dengan hak jaminan atas tanah adalah hak penguasaan yang secara khusus dapat diberikan kepada kreditur, yang memberi wewenang kepadanya untuk, jika debitur cedera janji, menjual lelang tanah yang secara khusus pula ditunjuk sebagai agunan piutangnya dan mengambil seluruh atau sebagian hasilnya untuk pelunasan hutangnya tersebut, dengan hak mendahulu daripada kreditur -kreditur lain ( droit de preference ). 2. Hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Pada dasarnya, hak
tanggungan dapat dibebankan pada hak atas tanah semata -mata, tetapi dapat juga hak atas tanah tersebut berikut dengan benda benda yang ada di atasnya. 3. Untuk pelunasan hutang tertentu. Maksud untuk pelunasan hutang tertentu adalah hak tanggungan itu dapat membereskan dan selesai dibayar hutang-hutang debitur yang ada pada kreditur. 4. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kredi tur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya lazimnya disebut droit de preference. Keistimewaan ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, yang berbunyi : ³Apabila debitur cedera janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual objek yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum menurut peraturan yang berlaku dan mengambil pelunasan piutangny a dari hasil penjualan tersebut, dengan hak mendahulu daripada kreditur -kreditur lain yang bukan pemegang hak tanggungan atau kreditur pemegang hak tanggungan dengan peringkat yang lebih rendah´. Hak yang istimewa ini tidak dipunyai oleh kreditur bukan pemegang hak tanggungan. Prof. Budi Harsono mengartikan hak tanggungan adalah : ³Penguasaan hak atas tanah, berisi kewenangan bagi kreditur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan. Tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitur cedera janji dan
mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian sebagai pembayaran lunas hutang debitur kepadanya´ (Budi Harsono, 1999 : 24). B.
Dasar Hukum Hak Tanggungan
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, maka
peraturan
perundang-undangan
yang
mengatur
tentang
pembebanan hak atas tanah adalah Bab 21 Buku II KUH Perdata, yang berkaitan dengan hipotek dan
C redietverband dalam
Staatsblad
1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190. Kedua ketentuan tersebut sudah tidak berlaku lagi, karena tidak sesuai lagi
dengan
kebutuhan
kegiatan
perkreditan
di
Indonesia.
Ketidaksesuaian ini karena pada undang -undang lama yang dapat dijadikan objek hipotek dan credietverband hanyalah hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan, sedangkan pada Undang Undang Nomor 4 Tahun 1999, yang menjadi objek hak tanggungan tidak hanya ketiga hak atas tanah tersebut, tetapi ditambah dengan hak pakai dan hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan merupakan hak milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dan dinyatakan di dalam akta pemberian hak atas tanah yang bersangkutan. Lahirnya
undang-undang
tentang
hak
tanggungan
karena
adanya perintah dalam Pasal 51 UUPA. Pasal 51 UUPA berbunyi ³Hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha,
dan hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 25, Pasal 33 da n Pasal 39 diatur dalam undang-undang´. Tetapi dalam Pasal 57 UUPA disebutkan bahwa selama undang-undang hak tanggungan belum terbentuk, maka digunakan ketentuan tentang hipotek sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata dan
C redietverband .
Perintah Pasal
51 UUPA baru terwujud setelah menunggu selama 36 tahun. Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996 ditetapkan pada tanggal 9 April 1996. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 terdiri atas 11 bab dan 31 pasal. Ada 4 pertimbangan dibentuknya Undang -Undang Nomor 4 Tahun 1999, yaitu : 1. bahwa bertambah meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi, dibutuhkan penyediaan dana yang cukup besar, sehingga diperlukan lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberi kepastian hukum bagi pihak -pihak yang berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945; 2. bahwa sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sampai dengan saat ini. 3. bahwa ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana yang diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia
sepanjang
mengenai
C redietverband
dalam
tanah ,
dan
ketentuan
mengenai
Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah
diubah dengan Staatsblad 1937-190, yang berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. 4. bahwa mengingat perkembangan yang telah dan akan terjadi bidang pengaturan dan administrasi hak-hak atas tanah serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak, selain hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan yang telah ditunjuk sebagai objek hak tanggungan oleh Undang -Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok -Pokok Agraria. 5. bahwa berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, perlu dibentuk undang-undang yang mengatur hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, sekaligus mewujudkan unifikasi Hukum Tanah Nasional. Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, adalah meliputi : 1. Ketentuan Umum (Pasal 1 sampai dengan Pasal 2 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996); 2. Objek Hak Tanggungan (Pasal 3 sampai dengan Pasal 7 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996);
3. Pemberi dan Pemegang Hak Tanggungan (Pasal 8 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996); 4. Tata Cara Pemberian, Pendaftaran, Peralihan dan Hapusnya Hak Tanggungan (Pasal 10 sampai dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996); 5. Eksekusi Hak Tanggungan (Pasal 20 sampai dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996); 6. Pencoretan Hak Tanggungan (Pasal 22 Undang -Undang Nomor 4 Tahun 1996); 7. Sanksi Administrasi (Pasal 23 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996); 8. Ketentuan Peralihan (Pasal 24 sampai dengan Pasal 26 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996); dan 9. Ketentuan Penutup (Pasal 27 sampai dengan Pasal 31 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996).
C. Asas-Asas Hak Tanggungan
Di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dikenal beberapa asas hak tanggungan. Asas -asas itu disajikan berikut ini. 1. mempunyai kedudukan yang diutamakan bagi kreditur pemegang hak tanggungan (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
2. tidak dapat dibagi-bagi ( Pasal 2 ayat (1) Undang -Undang Nomor 4 Tahun 1996); 3. hanya dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada (Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996); 4. dapat dibebankan selain tanah juga berikut benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah tersebut (Pasal 4 ayat (4) Undang -Undang Nomor 4 Tahun 1996); 5. dapat dibebankan atas benda lain yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada di kemudian hari (Pasal 4 ayat (4) UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996). Dengan syarat diperjanjikan secara tegas.
D. Subjek Hak Tanggungan
Subjek hak tanggungan diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Dalam kedua pasal itu ditentukan bahwa yang dapa t menjadi subjek hukum dalam pembebanan hak tanggungan adalah pemberi hak tanggungan dan pemegang hak tanggungan. Pemberi hak tanggungan dapat perorangan atau badan hukum, yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan. Pemegang hak tanggungan terdiri dari perorangan atau badan huukm, yang berkedudukan sebagai pihak berpiutang. Biasanya dalam praktik pemberi hak tanggungan disebut dengan
debitur,
yaitu
orang
meminjamkan
uang
di
lembaga
perbankan, sedangkan penerima hak tanggungan disebut dengan istilah kreditur, yaitu orang atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak berpiutang.
E.
Objek Hak Tanggungan
Pada dasarnya tidak setiap hak atas tanah dapat dijadikan jaminan utang, tetapi hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut. 1. dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang; 2. termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus memenuhi syarat publisitas; 3. mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabila debitur cedera janji benda yang dijadkan jaminan utang akan dijual dimuka umum; dan 4. memerlukan penunjukan dengan undang-undang (Budi Harsono, 1996 : 5).
F. Pendaftaran Hak Tanggungan
Pendaftaran hak tanggungan diatur d alam Pasal 13 sampai dengan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Akta Pemberian Hak Tanggungan yang dibuat oleh PPAT wajib didaftarkan. Secara sistematis tata cara pendaftaran dikemukakan berikut ini. 1. Pendaftaran dilakukan di Kantor Pertanahan;
2. PPAT dalam waktu 7 hari setelah ditandatangani pemberian hak tanggungan wajib mengirimkan akta pendaftaran hak tanggungan dan warkah lainnya kepada Kantor Pertanahan serta berkas yang diperlukan. Berkas itu meliputi : a. Surat Pengantar dari PPAT yang dibuat rangkap 2 (dua) dan memuat daftar jenis surat-surat yang disampaikan; b. Surat permohonan pendaftaran hak tanggungan dari penerima hak tanggungan; c.
Fotocopy
surat
identitas
pemberi
dan
pemegang
hak
tanggungan; d. Sertifikat asli hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang menjadi objek hak tanggungan; e. Lembar kedua akta pemberian hak tanggungan; f.
Salinan akta pemberian hak tanggungan yang sudah diparaf oleh PPAT yang bersangkutan untuk disahkan sebagai salinan oleh Kepala Kantor Pertanahan untuk pembuatan sertifikat hak tanggungan.
3. Kantor Pertanahan membuatkan buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
4. Tanggal buku tanah hak tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat -surat yang diperlukan bagi pendaftarannya.
G.
Peralihan Hak Tanggungan
Pada dasarnya hak tanggungan dapat dialihkan kepada pihak lainnya. Peralihan hak tanggungan ini diatur dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Peralihan Hak Tanggungan dapat dilakukan
dengan cara (1) cessi, (2)
subrogasi, (3) pewarisan, dan (4) sebab-sebab lainnya. Cessi adalah perbuatan hukum mengalihkan piutang oleh kreditur pemegang hak tanggungan kepada pihak lainnya. Cessi harus dilakukan dengan akta autentuk dan akta di bawah tangan. Secara lisan tidak sah. Subrogasi adalah pengganti an kreditur oleh pihak ketiga yang melunasi hutang debitur. Ada dua cara terjadinya subrogasi, yaitu (1) perjanjian kontraktual
(kontraktual), dilakukan
dan
dengan
(2) cara
Undang -Undang. :
(1)
kreditur
Subrogasi menerima
pembayaran baik untuk sebagian maupun untuk seluruhnya dari pihak ketiga, dan serta merta mengalihkan hak dan tuntutan yang dimilikinya terhadap orang ketiga tersebut, (2) pihak ketiga membantu debitur. Debitur meminjamkan uang dari pihak ketiga yang dipergunakan untuk membayar hutang kepada kreditur, dan sekaligus menempatkan pihak ketiga tadi menggantikan kedudukan semula terhadap diri debitur.
Supaya subrogasi ini dianggap sah, maka harus diikuti tata cara sebagai berikut : (1) pinjaman uang mesti ditetapkan dengan akta autentik, (2) dalam akta autentik mesti dijelaskan besarnya jumlah pinjaman dan diperuntukkan melunasi hutang debitur, dan (3) tanda pelunasan berisi pernyataan, bahwa uang pembayaran hutang yang diserahkan kepada kreditur, adalah uang yang berasal dari pihak ketiga.
H. Hapusnya Hak Tanggungan
Hapusnya hak tanggungan diatur dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Yang dimaksud dengan hapusnya hak tanggungan adalah tidak berlakunya lagi hak tanggungan. Ada empat sebab hapusnya hak tanggungan, yaitu : 1. hapusnya utang yang dijamin dengan hak tanggungan; 2. dilepaskan hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan; 3. pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri; 4. hapusnya hak atas tanah yang dibebani h ak tanggungan. Sudikno
Mertokusumo,
mengemukakan
6
(enam)
cara
berakhirnya atau hapusnya hak tanggungan. Keenam cara tersebut disajikan sebagai berikut ini. 1. Dilunasinya hutang atau dipenuhinya prestasi secara sukarela oleh debitur. Disini tidak terjadi cedera janji atau sengketa.
2. Debitur tidak memenuhi tepat pada waktu, yang berakibat debitur akan ditegur oleh kreditur untuk memenuhi prestasinya. Teguran ini tidak jarang disambut dengan dipenuhinya prestasi oleh debitur secara sukarela, sehingga dengan demikian utang debitur lunas dan perjanjian utang piutang berakhir. 3. Debitur cedera janji. Dengan adanya cedera janji tersebut, maka kreditur dapat mengadakan parate executie dengan menjual lelang barang yang dijaminkan tanpa melibatkan pengadilan. 4. Debitur cedera janji, maka kreditur dapat mengajukan sertifikat hak tanggungan ke pengadilan untuk dieksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR yang diikuti pelelangan umum. Dengan dilunasi utang dari hasil penjualan lelang, maka perjanjian utang piutang berakhir. Disini tidak terjadi gugatan. 5. Debitur cedera janji dan tetap tidak mau memenuhi prestasi maka debitur digugat oleh kreditur, yang kemudian diikuti oleh putusan pengadilan yang memenangkan kreditur (kalau terbukti!). 6. Debitur tidak mau melaksanakan pu tusan pengadilan yang mengalahkannya dan menghukum melunasi utangnya maka putusan pengadilan dieksekusi secara paksa dengan pelelangan umum yang hasilnya digunakan untuk melunasi hutang debitur, dan mengakibatkan perjanjian utang piutang berakhir (Soedikno Mertokusumo, 1996 : 8-9).
I.