1 PENGARUH PERSEPSI TERHADAP GHOST SHOPPER DAN JOB DEMANDS TERHADAP EMOTIONAL EXHAUSTION KARYAWAN SEBAGAI CUSTOMER SERVICE (Studi Pada Karyawan Bagian Front Of The House Pizza Hut Kota Malang) Wika Novitasari (
[email protected]) Ilhamuddin Ika Widyarini Universitas Brawijaya Malang ABSTRACT This research was conducted to determine the effect of perception towards ghost shopper and job demands towards emotional exhaustion of employee. In this study, the population are worker of Pizza Hut in Malang who work for front of the house, with the samples of 50 employees. The sampling technique that was used is purposive sampling. Job demands and emotional exhaustion were measured by using a Likert-like scale, whereas perception towards ghost shopper was measured by using a semantic differential scale. The data analysis linear regression is used to know the effect of perception towards ghost shopper and job demands towards emotional exhaustion. The result of data analysis in partial showed that perception toward ghost shopper have an effect as big as 17,23%, job demands toward emotional exhaustion 11,23% and in whole perception towards ghost shopper and job demands has an effect 28,5% towards employee’s emotional exhaustion. The data also showed that employee’s perception towards ghost shopper is in a medium category perception with emotional exhaustion and job demands rate are also in medium level. Keywords: persepsi, ghost shopper, job demands, emotional exhaustion ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh persepsi terhadap ghost shopper dan job demands terhadap emotional exhaustion karyawan. Populasi dari penelitian ini adalah karyawan Pizza Hut Kota Malang yang bekerja pada bagian front of the house dengan jumlah sampel sebanyak 50 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan purposive sampling. Job demands dan emotional exhaustion diukur menggunakan skala Likert, sedangkan variabel persepsi terhadap ghost shopper diukur menggunakan skala semantik diferensial. Analisis regresi berganda dilakukan untuk mengetahui pengaruh antara persepsi terhadap ghost shopper dan job demands terhadap emotional exhaustion karyawan. Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada pengaruh antara persepsi terhadap ghost shopper terhadap emotional exhaustion sebesar 17,23% dan job demands terhadap emotional exhaustion karyawan sebesar 11,31%. Secara keseluruhan, data juga menunjukkan bahwa kedua variabel bebas yaitu persepsi terhadap ghost shopper dan job demands memiliki pengaruh sebesar 28,5% terhadap emotional exhaustion sebagai variabel terikat, dan persepsi pada karyawan cenderung sedang terhadap adanya ghost shopper dengan tingkat emotional exhaustion karyawan yang juga termasuk dalam kategori sedang. Kata Kunci: persepsi, ghost shopper, job demands, emotional exhaustion
2 Latar Belakang Dunia perindustrian di Indonesia sempat mengalami masa-masa sulit dikarenakan dampak krisis multi dimensi pada akhir tahun 90-an. Seiring berjalannya waktu, saat ini dunia perindustrian di Indonesia mulai berkembang kembali. Kondisi perkonomian Indonesia sedikit demi sedikit mulai membaik. Perkembangan tersebut menghasilkan persaingan ketat yang mengakibatkan terjadi berbagai perubahan dalam hampir semua aspek, yaitu aspek politik, sosial budaya, ekonomi, teknologi, hukum, serta aspek lainnya. Kelangsungan hidup organisasi atau industri sangat tergantung pada kemampuan mereka untuk memberikan respon terhadap perubahan-perubahan tersebut. Industri kuliner merupakan salah satu contoh jenis industri yang bertahan, berkembang dan diminati oleh berbagai lapisan masyarakat. Indutri kuliner adalah sebuah usaha yang strategis bagi Indonesia, ada dua alasan yang mendasarinya yaitu : pertama, jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar merupakan pasar potensial, dan yang kedua adalah karena sebagian besar industri pangan di Indonesia memakai bahan baku hasil pertanian lokal yang bisa memacu pengembangan sektor agroindustri nasional (Atantya, 2003). Fenomena mengenai industri kuliner yang menarik di beberapa tahun ini adalah makin berkembangannya bisnis franchise kuliner, yang jika kita amati saat ini banyak sekali usaha baru yang sangat kreatif dan inovatif menawarkan berbagai jenis produk dan jasa, misalnya usaha makanan modern. Franchise dapat dibagi dalam dua kelompok besar yaitu franchise asing dan franchise lokal. Franchise asing adalah franchise yang pemiliknya berasal dari luar negeri. Beberapa franchise asing yang sukses di Indonesia misalnya dalam bidang usaha makanan, minuman dan cafe antara lain Baskin Robin, Starbucks, Mc. Donalds, Pizza Hut, Wendy’s, Kentucky Fried Chicken, sedangkan franchise lokal antara lain Es Teler 77, Mr Celup, Ayam Bakar Wong Solo, dan lain sebagainya (Astuti, 2005). Dalam waktu yang singkat beberapa franchise ini berkembang dibanyak kota di tanah air. Pizza Hut yang merupakan anak perusahaan dari PT. Sari Melati Kencana - Indonesia adalah salah satu contoh bisnis restoran franchise asing, makanan internasional yang mengkhususkan pada sajian pizza. Banyaknya peluang yang ada merupakan keuntungan tersendiri bagi para calon pembuka usaha, tetapi hal ini menyebabkan persaingan yang ketat, karena penawaran barang atau jasa yang diberikan relatif sama jenisnya. Sebagai contoh, bukan hanya Pizza Hut yang menyajikan berbagai macam kuliner khas Italia, tetapi ada Domino’s Pizza, Paparon’s Pizza, dan Pizza ‘E Birra dengan beberapa oultet yang telah tersebar di beberapa daerah di Indonesia.
3 Adanya tingkat persaingan yang semakin tinggi, perusahaan yang mampu memberikan kepuasan kepada pelangganlah yang akan memperoleh simpati. Sebagian perusahaan sengaja memanjakan konsumennya melalui pelayanan yang diberikan. Konsumen dibuat senyaman mungkin dengan keramah-tamahan dan sopan santun dari para karyawan perusahaan. Konsumen juga dibuat merasa nyaman dalam ruangan yang tidak membosankan dengan fasilitas ruangan yang menyenangkan. Kualitas layanan yang baik akan menciptakan kepuasan pelanggan. Sehingga kualitas layanan yang baik serta kepuasan pelanggan tersebut dapat mempengaruhi intensitas kunjungan pelanggan pada kesempatan berikutnya pada badan usaha yang bersangkutan. Kualitas layanan adalah permulaan dari kepuasan pelanggan. Pelanggan dalam menentukan kualitas layanan tidak hanya berdasarkan pada hasil dari suatu layanan tersebut tetapi juga memperhatikan proses pemberian layanan tersebut. “Service quality is the customer perception of the superiority of the service” (Zeithaml, Berry & Parasuraman, 1990). Hal inilah yang membuat pihak restoran Pizza Hut untuk semakin intensif dalam meningkatkan segi kualitas produk serta layanan jasanya dalam menjamu pelanggan yang datang dengan melakukan berbagai macam inovasi yang bertujuan untuk dapat mempertahankan para pelanggannya yang sudah ada agar tetap setia berkunjung ke restoran Pizza Hut. Salah satu cara yang saat ini sedang dilaksanakan adalah metode pengukuran kepuasan pelanggan. Kotler (1994) mengungkapkan empat metode untuk mengukur kepuasan pelanggan, yaitu : sistem keluhan dan saran, Lost Customer Analiysis, survei kepuasan pelanggan, dan Ghost Shopping. Metode Ghost Shopping menurut Market Research Society (2003) dilaksanakan dengan cara mempekerjakan beberapa orang untuk berperan atau bersikap seperti pelanggan atau pembeli potensial produk perusahaan berdasarkan pengalaman mereka dalam pembelian produk-produk tersebut Jasa Ghost Shopper pada saat ini sudah banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang penjualan dan pelayanan, seperti supermarket, perusahaan distributor, perbankan dan lain-lain. Hal ini dilakukan sebagai upaya peningkatan mutu (continious improvement), yang merupakan suatu syarat agar dapat bersaing dalam bisnis global. Adapun perbaikan mutu yang dilakukan adalah produk, proses, pelayanan dan sumber daya manusia (Safiera, 2013) . Kehadiran Ghost Shopper mempengaruhi perilaku karyawan, karena masing-masing karyawan memiliki persepsi yang berbeda terhadap adanya Ghost Shopper. Dine-In Serve
4 Trainer (DST) merupakan orang-orang yang bertugas untuk memberikan pelatihan pada karyawan baru yang akan bekerja Pizza Hut. DST bertugas untuk memberikan penjelasan tentang segala hal yang berhubungan degan kegiatan operasional dalam bekerja, termasuk mengenai adanya Ghost Shopper. Dari banyaknya penjelasan yang diberikan, tentu saja karyawan memiliki persepsi tersendiri tentang bagaimana ghost shopper, ada yang merasa khawatir, takut, atau bahkan lebih bersemangat dan berhati-hati dalam bekerja. Winardi (2007) mengungkapkan bahwa persepsi merupakan proses kognitif dimana seorang individu memberikan arti kepada lingkungan. Mengingat bahwa masing-masing individu memberi artinya sendiri terhadap stimuli, maka dapat dikatakan bahwa individu yang berbeda melihat hal yang sama dengan cara yang berbeda. Cara seorang karyawan memandang situasi yang berlaku, sering kali memiliki arti lebih penting untuk memahami perilaku, daripada situasi itu sendiri. Karyawan yang memegang peranan penting dalam menangani ghost shopper secara langsung adalah karyawan pada bagian front of the house yang bertugas sebagai customer service. Masing-masing karyawan Pizza Hut mendapatkan job demands yang beragam sesuai dengan bagian kerja mereka (BOH dan FOH). Selain itu, adanya ghost shopper sebagai metode penilaian kinerja karyawan menyebabkan karyawan memiliki persepsi tersendiri terhadap adanya ghost shopper. Kejadian dan segala tuntutan tersebut seringkali menjadikan seorang karyawan merasa terbebani dan berdampak pelayanan yang diberikan tidak sesuai ketentuan perusahaan, hal tersebut beresiko besar terhadap terjadinya burnout dalam pekerjaan yang berhubungan langsung dengan manusia atau human service work (Farber, 1991). Burnout merupakan bagian dari emotional exhaustion, dimana karyawan merasakan kehabisan tenaga dan kehilangan gairah dalam bekerja serta dorongan emosional yang kuat karena perasaan terbebani dan tidak ada yang membantu. Akibat dari emotional exhaustion ini adalah perasaan cemas setiap akan bekerja yang nantinya juga akan mempengaruhi kinerja dari karyawan tersebut. Perasaan yang tertekan dan terlalu lelah karena suatu pekerjaan telah menunjukkan efek negatif pada sikap dan perilaku pekerjaan (Maslach & Jackson, 1981). Hal inilah yang dapat dijadikan suatu pertanda bagi bagian manajerial untuk dapat memberi perhatian terhadap emotional exhaustion karena hal ini mempengaruhi baik kinerja pekerjaan dan perubahan pekerja, serta perlunya melaksanakan seleksi ulang dengan gejala yang telah terjadi, misalnya
5 : sistem apa yang harus diubah atau mungkin ditambahkan untuk mengurangi emotional exhaustion yang terjadi pada karyawan. Melihat peran penting adanya ghost shopper dan tuntutan kerja dalam sebuah perusahaan, dengan kekhawatiran terjadinya emotional exhaustion pada karyawan maka penulis merasa tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul skripsi “Pengaruh Persepsi terhadap Ghost Shopper dan Job Demands terhadap Emotional Exhaustion Karyawan sebagai Customer Serice”.
Landasan Teori A. Persepsi 1. Definisi Persepsi Walgito (2004) mendefinisikan persepsi sebagai suatu proses yang didahului oleh proses pengindraan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut proses sensoris. Sedangkan, Anwar (2005) mengungkapkan bahwa persepsi juga dapat diartikan sebagai suatu proses menyeleksi stimulus dan diartikan. Dengan kata lain persepsi merupakan suatu proses pemberian arti atau makna terhadap suatu obyek yang ada pada lingkungan persepsi mencakup penafsiran obyek, penerimaan stimulus dan penafsiran terhadap stimulus yang telah diorganisasikan dengan cara mempengaruhi pembentukan sikap dan perilaku. 2. Bentuk Persepsi a. Persepsi Positif Persepsi positif yaitu persepsi atau pandangan terhadap suatu obyek dan menuju pada suatu keadaan dimana subyek yang mempersepsikan cenderung menerima obyek yang ditangkap karena sesuai dengan pribadinya. Persepsi positif timbul karena adanya stimulus positif yang diterima oleh panca indera individu (Wiyarsih, 2008). Persepsi yang positif akan mempengaruhi rasa puas seseorang dalam bentuk sikap dan perilakunya terhadap pelayanan yang diberikan, begitu juga sebaliknya persepsi negatif akan ditunjukkan melalui kinerjanya (Tjiptono, 2000). b. Persepsi Negatif Yaitu persepsi atau pandangan terhadap suatu obyek dan menunjuk pada keadaan dimana subyek yang mempersepsi cenderung menolak obyek yang ditangkap karena tidak sesuai dengan pribadinya.
6 B. Ghost Shopper 1. Metode Kepuasan Pelanggan Definisi kepuasan pelanggan menurut Rangkuti (2004) bahwa yang dimaksud dengan kepuasan konsumen adalah perbedaan antara tingkat kepentingan dan kinerja atau hasil yang dirasakan. Pada prinsipnya kepuasan pelanggan itu dapat diukur dengan berbagai metode dan teknik. Beberapa macam metode dalam pengukuran kepuasan pelanggan adalah sebagai berikut (Kotler, 2005) : a. Ghost Shopping Metode ini dilaksanakan dengan cara mempekerjakan beberapa orang (ghost shopper) untuk berperan atau bersikap sebagai pembeli produk perusahaan. Selain itu, ghost shopper juga dapat mengamati atau menilai cara perusahaan menjawab pertanyaan pelanggan dan menangani setiap keluhan. b. Lost Customer Analysis Perusahaan seyogyanya menghubungi para pelanggan yang telah berhenti membeli atau yang telah pindah pemasok agar dapat memahami mengapa hal itu terjadi. Bukan hanya exit interview saja yang perlu, tetapi pemantauan customer loss rate menunjukkan kegagalan perusahaan dalam memuaskan pelanggannya. c. Survei kepuasan pelanggan Umumnya penelitian mengenai kepuasan pelanggan dilakukan dengan penelitian survai, baik melalui pos, telepon, maupun wawancara langsung (McNeal dan Lamb dalam Peterson dan Wilson, 1992). Hal ini karena melalui survei, perusahaan akan memperoleh tanggapan dan umpan balik secara langsung dari pelanggan dan juga memberikan tanda (signal) positif bahwa perusahaan menaruh perhatian terhadap para pelanggannya. d. Sistem keluhan dan saran Organisasi yang berpusat pada pelanggan (Customer Centered) memberikan kesempatan yang luas kepada para pelanggannya untuk menyampaikan saran dan keluhan, misalnya dengan menyediakan kotak saran, kartu komentar, customer hot lines, dan lain-lain, selain itu dapat berupa kotak saran dan nomor telepon pengaduan bagi pelanggan. 2. Definisi Ghost Shopper Tjiptono & Diana (2001) mengungkapkan bahwa salah satu cara untuk memperoleh gambaran mengenai kepuasan pelanggan adalah dengan memperkerjakan beberapa orang untuk berperan atau bersikap sebagai pembeli potensial, kemudian melaporkan temuantemuannya mengenai kekuatan dan kelemahan produk perusahaan berdasarkan pengalaman mereka dalam pembelian produk tersebut, dan orang-orang inilah yang disebut dengan ghost
7 shopper. Selain itu, ghost shopper juga mengamati atau menilai cara perusahaan menjawab pertanyaan pelanggan dan menangani setiap keluhan. Tentunya karyawan tidak boleh tahu siapa yang menjadi ghost shopper, karena bila hal ini terjadi maka perilaku karyawan tidak natural dan penilaian menjadi bias (Khairul, 2010). 3. Proses Ghost Shopper di Pizza Hut Ghost Shopper terjadwal untuk melakukan penilaian dua kali dalam satu bulan, jadi antara tanggal 1 sampai tanggal 15 dan tanggal 16 sampai pada akhir bulan. Waktu kehadiran Ghost Shopper tidak ditentukan, jadi Ghost Shopper bisa datang untuk melakukan penilaian baik pada pagi hari, malam hari, atau pada rush hour sekalipun. Pihak perusahaan sudah memberikan ketentuan bahwa karyawan harus mendapatkan nilai 100 (sempurna) dalam setiap kehadiran Ghost Shopper, dengan beberapa punishment yang diberlakukan jika hasil dari penilaiannya tidak 100 (sempurna), diantaranya adalah pemutusan hubungan kerja bagi karyawan paruh waktu dan menjadi catatan tertentu bagi karyawan tetap yang akan melakukan promisi kenaikan golongan. C. Job Demands 1. Definisi Job Demands Job demand didefinisikan sebagai tuntutan pekerjaan yang menjadi pemicu terjadinya kelelahan secara psikologis (psychological stressor), misalnya seperti : bekerja secara nonstop dalam jam kerja yang lama, beban pekerjaan yang terlalu banyak dan terbatasnya waktu yang diberikan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut, dan adanya konflik pada tuntutan pekerjaan yang harus diselesaikan (Love, Irani & Standing; 2007). Karasek (1979) menyatakan bahwa pekerjaan dengan Job demand dan kontrol yang tinggi memberikan tantangan dan motivasi intrinsik dalam diri karyawan, serta memberi kesempatan untuk belajar keterampilan baru untuk memenuhi tantangan yang ada dan mengakibatkan ketegangan dalam bekerjapun berkurang. D. Emotional Exhaustion 1. Definisi Emotional Exhaustion Emotional exhaustion didefinisikan oleh Churiyah (2011) sebagai kelelahan individu yang berhubungan dengan perasaan pribadi yang ditandai dengan rasa tidak berdaya dan depresi. Hubungan yang tidak seimbang antara pekerjaan dan diri sendiri dapat menimbulkan ketegangan emosional yang berujung pada terkurasnya sumber-sumber emosi. Emotional exhaustion selalu didahului oleh satu gejala umum, yaitu timbulnya rasa cemas setiap ingin memulai bekerja. Kabiasaan buruk ini mengubah individu menjadi frustasi, atau marah pada diri sendiri (Babakus, Cravens, Johnstan & Moncrif, 1999). Karyawan yang bekerja di bagian
8 front liner adalah yang mereka bekerja di dalam organisasi dan berfungsi sebagai seseorang yang berhadapan langsung dengan pihak-pihak yang harus dilayani, karyawan itulah yang sering kali mengalami emotional exhaustion, dan jika itu terjadi maka seluruh rangkaian pekerjaan menjadi terganggu, tidak dapat mencapai sasaran secara tepat waktu, di samping pemborosan anggaran (Zagladi, 2005). 2. Faktor Pemicu Emotional Exhaustion Konstruk yang memicu kelelahan emosional, antara lain a. Beban Kerja Beban kerja (work load) yang melampaui daya mampu seseorang, jelas akan menimbulkan efek negatif yang secara langsung akan berkatian timbulnya stres. Stres itulah yang mengantar seseorang kearah kelelahan emosional. b. Penghargaan Penghargaan merupakan suatu hal yang dapat menimbulkan kelelahan emosional, sepanjang pengahargaan itu tidak terpuaskan bagi individu yang mengabdi. c. Lingkungan Keluarga Kelelahan emosional dapat timbul akibat lingkungan keluarga yang tidak kondusif. Misalnya, keluarga besar di tempat tinggal yang sempit, terlalu banyak anggota keluarga yang harus ditanggung, lingkungan tempat tinggal yang tidak memungkinkan untuk berintcraksi secara bebas, dan berbagai kejanggalan lain. d. Konflik Peran Konflik peran akan muncul pada diri seseorang di dalam organisasi jika yang bersangkutan menerima peran yang tidak sesuai dengan perilaku peran yang tepat.
Metode Desain Penelitian dan Partisipan Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan tipe penelitian korelasional. Menurut Fraenkel & Wallen (2008) penelitian korelasional adalah suatu penelitian untuk mengetahui hubungan dan tingkat hubungan antara dua variabel atau lebih tanpa ada upaya untuk mempengaruhi variabel tersebut sehingga tidak terdapat manipulasi variabel. Itulah yang menjadi dasar pemilihan penelitian korelasional sebagai rancangan penelitian. Pada pelatihan ini dikaji analisis regresi linier berganda atau sering juga disebut dengan regresi klasik (Gujarati, 2003). Adapun subjek yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak 50 karyawan Pizza Hut kota Malang yang bekerja pada bagian Front of The House/FOH selama minimal 1 tahun, yaitu 15
9 orang karyawan Pizza Hut Semeru, 13 orang karyawan Pizza Hut Matos, dan 22 orang karyawan Pizza Hut Ciliwung. Alat Ukur dan Prosedur Penelitian Data dalam penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari responden atau subyek riset pada karyawan Pizza Hut – Kota Malang, dari hasil pengisian kuisioner. Lain halnya dengan data primer yang diperoleh melalui hasil jawaban kuisioner, data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa literatur, internet, dan buku-buku yang berkaitan dengan penelitian. Proses validitas dan reliabilitas instrumen penelitian dilakukan sekaligus dengan pengambilan data tanpa dilakukan try-out (uji coba) terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan efisiensi waktu dan jumlah subjek penelitian yang tidak terlalu banyak. Kuisioner yang dibagikan berjumlah 70 item soal dengan skala Osgood untuk variabel persepsi terhadap Ghost Shopper dan skala Likert untuk variabel Job Demands dan Emotional Exhaustion.
Hasil 1. Validitas dan Reliabilitas Berdasarkan Tabel 1 diperoleh hasil dari skala persepsi terhadap Ghost Shopper yang diujikan, terdapat 21 item yang valid setelah melalui uji statistik menggunakan program SPSS versi 17.00. Indeks validitas dari skala persepsi terhadap Ghost Shopper yang diujikan berkisar antara 0.388 – 0.811. Selain itu dari skala Job Demands yang diujikan, terdapat 40 item dan keselurahan item dinyatakan valid setelah melalui uji statistik menggunakan program SPSS. Indeks validitas dari skala Job Demands adalah 0.353 pada nilai terendah dan 0.691 pada nilai tertinggi. Skala Emotional Exhaustion memiliki 9 item dan seluruhnya dinyatakan valid dengan indeks validitas yang diujikan berkisar antara 0.446 – 0.748. Tabel 1. Indeks Validitas Alat Ukur Penelitian Alat Ukur
Jumlah Item Diujikan
Jumlah Item Valid
Indek Validitas
Skala Persepsi terhadap Ghost Shopper
21
21
0.388 – 0.811
Skala Job Demands
40
40
0.353 – 0.691
Skala Emotional Exhaustion
9
9
0.446 – 0.748
10 Berdasarkan Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa kedua instrumen yang dipakai dalam penelitian ini dikatakan reliabel, karena alpha yang didapatkan dari kedua alat ini lebih dari 0.60 atau 60%. Hal ini berarti jika kedua instrument yang digunakan dalam penelitian ini memiliki tingkat validitas dan realibilitas yang cukup memadai.
Tabel 2. Indeks Reliabilitas Alat Ukur Penelitian Alat Ukur Skala Persepsi terhadap Ghost Shopper
Nilai Alpha 0.884
Skala Job Demands
0.918
Skala Emotional Exhaustion
0.803
2. Uji Normalitas Uji Normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel terikat dan variabel bebas keduanya mempunyai distribusi normal ataukah tidak. Data berdasarkan gambar grafik menyebar mengikuti garis normalitas, maka dalam hal ini semua data terdistribusi secara normal. Normal Q-Q Plot of Unstandardized Residual
4
Expected Normal
2
0
-2
-4 -7.5
-5.0
-2.5
0.0
2.5
5.0
7.5
Observed Value
3. Uji Autokorelasi Hasil analisis SPSS 17.0 for windows, nilai Durbin Watson (DW) sebesar 1.940. Nilai DW terletak antara 1.55 sampai dengan 2.46 dengan kesimpulan tidak ada autokorelasi antar masing-masing variabel bebas, sehingga model regresi yang terbentuk dari nilai variabel terikat yaitu emotional exhaustion hanya dijelaskan oleh variabel bebas yaitu persepsi terhadap ghost shopper (X1) dan job demands (X2).
11 4. Uji Multikolinearitas Diketahui bahwa nilai tolerance dari variabel X1 sebesar 0.864 dan variabel X2 sebesar 0.864 ; lebih besar dari 0.10. Sedangkan nilai VIF dari variabel X1 sebesar 1.158 variabel dan variabel X2 sebesar 1.158. Berdasarkan hasil perhitungan di atas dapat dilihat bahwa nilai tolerance semua variabel bebas lebih besar dari 0.10 dan nilai VIF semua variabel bebas juga lebih kecil dari 10 sehingga tidak terjadi gejala korelasi pada variabel bebas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak adanya gejala multikolinearitas antar variabel bebas dalam model regresi. 5. Uji Heteroskedastisitas Dari grafik scaterplot dapat dianalisis X1 dan X2 tidak terjadi heteroskedastisitas karena memiliki penyebaran titik-titik dimana tidak terdapat pola tertentu yang jelas, serta titik-titik tersebar diatas dan dibawah angka 0 pada sumbu Y. Dari pengamatan grafik diatas dapat disimpulkan bahwa dalam model regresi ini tidak terjadi heterokedastisitas. Scatterplot
Dependent Variable: Emotional Exhaution
Regression Studentized Residual
3
2
1
0
-1
-2
-3 -2
-1
0
1
2
3
Regression Standardized Predicted Value
6. Kategorisasi Subjek Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa persepsi karyawan FOH Pizza Hut Kota Malang terhadap Ghost Shopper berada pada kategori sedang dengan jumlah presentase 86% atau 43 orang. Persepsi subjek terhadap Job Demands dikategorikan sedang dengan jumlah subjek 34 orang atau 68%. Sedangkan 32 orang subjek atau 64% subjek mengalami Emotional Exhaustion dengan kategori sedang. Jadi, ketiga variabel dalam penelitian ini berada pada kategori sedang (tidak terlalu tinggi ataupun rendah).
12 Tabel 3. Kategorisasi Subjek Persepsi terhadap Ghost Shopper Kategori Negatif Sedang Positif
Jumlah Subjek 7 43 0
Persentase (%) 14% 86% 0%
Tabel 4. Kategorisasi Subjek Job Demands Kategori Negatif Sedang Positif
Jumlah Subjek 1 34 15
Persentase (%) 2% 68% 30%
Tabel 5. Kategorisasi Subjek Emotional Exhaustion Kategori Negatif Sedang Positif
Jumlah Subjek 1 32 17
Persentase (%) 2% 64% 34%
7. Analisis Regresi Berganda Berdasarkan hasil persamaan regresi berganda menunjukkan bahwa : a. Besarnya nilai koefisien X1 sebesar -.367 yang berarti ada hubungan negatif antara persepsi terhadap ghost shopper dengan emotional exhaustion karyawan sebesar 0.367. Hal ini berarti semakin baik (positif) persepsi karyawan terhadap adanya ghost shopper, maka semakin rendah kecenderungan emotional exhaustion yang terjadi pada karyawan. b. Besarnya nilai koefisien X2 sebesar -.257 yang berarti ada hubungan negatif antara job demands dengan emotional exhaustion karyawan sebesar 0.257. Hal ini berarti semakin tinggi job demands yang diberikan, maka semakin rendah kecenderungan emotional exhaustion yang terjadi pada karyawan. c. Persepsi terhadap ghost shopper (X1) mempunyai pengaruh yang lebih besar dari pada job demands (X2). Hal ini berarti Persepsi terhadap ghost shopper cukup berperan dalam emotional exhaustion yang dialami oleh karyawan FOH di Pizza Hut yang ada di Kota Malang. Hal ini ditunjukkan oleh nilai nilai beta terstandar dari variabel persepsi terhadap ghost shopper (X1) > job demands (X2), yaitu sebesar 0.367 > 0.275. 8. Pengujian Hipotesis Sebagai dasar untuk menerima atau menolak hipotesis, dilakukan pengujian hubungan kausal menggunakan uji-t. Pengujian hipotesis pengaruh variabel bebas terhadap variabel
13 terikat dengan cara membandingkan nilai thitung dengan nilai ttabel. Dengan taraf signifikan sebesar 0.05 atau 5%, maka diperoleh ttabel = 2.012. a. Pengujian Hipotesis Pertama Untuk menguji pengaruh variabel persepsi terhadap ghost shopper terhadap emotional exhaustion dengan membandingkan thitung sebesar 2.769 dan ttabel 2.012 yang berarti thitung > ttabel, sehingga dapat disimpulkan bahwa Hipotesis1 diterima, yaitu variabel persepsi terhadap ghost shopper berpengaruh terhadap emotional exhaustion. Diperoleh hasil besarnya nilai pengaruh
tersebut
ditunjukkan
oleh
nilai
hasil
dari
(koefisien)x(zero-order
Correlations)x(100%) yaitu 0.367x0.469x100% = 17.23%. Jadi persepsi karyawan terhadap ghost shopper berpengaruh sebesar 17.23% terhadap emotional exhaustion karyawan. b. Pengujian Hipotesis Kedua Untuk menguji pengaruh variabel job demands terhadap emotional exhaustion dengan membandingkan thitung sebesar 2.075 dan ttabel 2.012 yang berarti thitung > ttabel, sehingga dapat disimpulkan bahwa Hipotesis2 diterima, yaitu variabel job demands berpengaruh terhadap emotional exhaustion. Diperoleh hasil besarnya nilai pengaruh tersebut ditunjukkan oleh nilai hasil dari (koefisien)x(zero-order Correlations)x(100%) yaitu 0.275x0.411x100% = 11.31%. Jadi job demands berpengaruh sebesar 11.31% terhadap emotional exhaustion karyawan. c. Pengujian Hipotesis Ketiga Untuk menguji pengaruh variabel persepsi terhadap ghost shopper dan job demands terhadap emotional exhaustion dengan membandingkan fhitung sebesar 9.387 dan ftabel 3.200 yang berarti fhitung > ftabel, sehingga dapat disimpulkan bahwa Hipotesis3 diterima, yaitu variabel persepsi terhadap ghost shopper dan job demands berpengaruh terhadap emotional exhaustion. Selain itu, diperoleh hasil besarnya nilai pengaruh ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.285 atau 28.5% yaitu persentase pengaruh persepsi terhadap ghost shopper (X1) dan job demands (X2) terhadap emotional exhaustion (Y) adalah sebesar 28.5%.
Diskusi Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh yang signifikan antara persepsi terhadap ghost shopper dan job demands terhadap emotional exhaustion karyawan, dan kedua variabel bebas yaitu persepsi terhadap ghost shopper dan job demands memberikan pengaruh sebesar 28.5% terhadap emotional exhaustion karyawan, dan sisanya sebanyak 71.5% dipengaruhi oleh variabel lain diluar penelitian ini.
14 Adapun variabel lain yang dapat mempengaruhi terjadinya kelelahan emosi (emotional exhaution) adalah : 1. Qui (1999) menyebutkan bahwa emosi menjadi dualistik, seperti pada gerak reflek sebagai karakter bawaan yang saling berhubungan. Psikologikal dan proses-proses psikodinamik, sebagaimana sering terjadi pada struktur sosial. Pada perkembangan psikologikal yang sama, menjadi pertanda perbedaan emosional, yang dikenal sebagai "kesukaan" (joy) dan sebagai "kemarahan" dan senantiasa terikat dengan penilaian kognitif pada situasi sosialisasi yang terkunci. Kemarahan pada situasi sosialisasi yang terkunci itulah yang memunculkan kelelahan emosional, karena individu seakan tidak menemukan jalan tentang apa yang seharusnya dikerjakan. 2. Cordes dan Dougherty (1993) mengungkapkan bahwa para pekerja jasa secara berkala sering mengalami reaksi negatif konsumen dan serangan verbal, hal ini dapat membuat mereka semakin cepat merasakan kelelahan emosional (Psychologymania, 2012). 3. Teori Conservation of Resources/COR (Halbesleben & Buckley ,2004) dalam Psychologymania (2012) menunjukkan bahwa kelelahan emosional muncul ketika pekerja melihat kurangnya sumberdaya untuk melakukan pekerjaan mereka. Ketika pekerja tahu kalau sumberdaya tidak cukup untuk memenuhi permintaan pekerjaan atau ketika tambahan dukungan personil tidak menyediakan hasil yang diinginkan, kelelahan emosional dapat muncul. Pada penelitian ini terdapat beberapa hal yang perlu untuk didiskusikan lebih lanjut yang nantinya dapat berguna bagi penelitian selanjutnya, yang pertama mengenai adanya wacana bahwa bahwa PT. Sari Melati Kencana (Pizza Hut) akan menghapus metode ghost shopping pada awal tahun 2014. Hal ini sebaiknya dipertimbangkan kembali karena metode tersebut saat ini terbukti memberikan kontribusi yang baik bagi perusahaan dan tidak menimbulkan emotional exhaustion pada karyawan yang dapat merugikan perusahaan dan karyawan itu sendiri. Kedua, untuk penelitian lebih lanjut, mungkin perlu dilakukan perbaikan pada kuisioner dari segi jumlah aitem soal agar lebih berbobot tetapi dengan aitem soal yang lebih sedikit. Karena berdasarkan hasil observasi, rata-rata karyawan merasa tidak tertarik dengan jumlah aitem soal yang terlalu banyak, ditakutkan hal ini menjadi penyebab subjek mengisi kuisioner dengan tidak akurat.
15 DAFTAR PUSTAKA Azwar, S. (2010) Metode Penelitian. Cetakan XI. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Astuti, D. (2005) Kajian Bisnis Franchise Makanan di Indonesia. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol. 7 Atantya. (2003) Kendali Mutu Industri Makanan dan Minuman. Sinar Harapan : Jakarta Churiyah, M. (2011) Pengaruh Konflik Peran, Kelelahan Emosional Terhadap Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi. Skripsi. Tidak Diterbitkan.. http://fe.um.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10/8-Madziatul-Churiyah1.pdf (19 Januari 2012) Farber, B. A. (1991) Crisis In Education : Stress and Burnout in The America Teacher. San Fransisco, Oxford : Jossey-Bass Publishers Kotler, P. (2007) Manajemen Pemasaran Edisi kesebelas Jilid 2. Jakarta : PT. Indeks Gramedia Love, Peter E.D, Zahir Irani & Craig Standing (2007) Influence of Job Demands, Job Control and Social Support on Information Systems Professionals’ psychological well-being. Research paper (pp. 513 - 528) Maslach, C., Schaufeli, W. B., & Leiter, M. P. (2001) Job Burnout. Arjournals. Annual reviews. 52, pp. 397-422 Safiera, A. (2013) Indeks Kepuasan Masyarakat di Rumah Sakit Advent Kota Bandung. Skripsi. Bandung : Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Bandung Tjiptono, F. & Diana A. (2003) Total Quality Management. Yogyakarta : Andi Walgito, B. (2004) Pengantar Psikologi Umum. Jakarta : Andi Winardi, J. (2007) Manajemen Perilaku Organisasi. Jakarta : Kencana Wiyarsih. (2008) Membangun Persepsi Positif Masyarakat Terhadap Perpustakaan. (http.//wiyarsih.staff.ugm.ac.id/wp/?p-22, (diakses 05 Desember 2013) Zagladi, A. L. (2004) Pengaruh Kelelahan Emosional Terhadap Kepuasan Kerja dan Kinerja Dalam Pencapaian Komitmen Organisasional Dosen Perguruan Tinggi Swasta. Disertasi. Tidak Diterbitkan. Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya. Malang Zeithaml, Parasuraman & Berry. (1990) Delivering Quality Service – Balancing Customer Perceptions and Expectations. New York : The Free Press