BAB I
1.1
Latar Belakang
Kehamilan didefinisikan sebagai keadaan yang diawali oleh tahap konsepsi, yaitu bersatunya sel ovum dan spermatozoa, yang terjadi setelah proses ovulasi atau runtuhnya ovum dari folikel di dalam ovarium (Hamilton, 1995). Selanjutnya pada dua minggu pertama akan terbentuk zygot (individu baru) sebagai sel pertama yang yang dihasilkan dari konsepsi yang akan terus berkembang, sehingga pada minggu ke-tiga sampai ke-enam akan berkembang berkembang menjadi embrio, dan sesudah minggu ke-enam ke-enam mulai disebut janin atau fetus Kehamilan adalah suatu fenomena fisiologis yang dimulai dengan pembuahan dan diakhiri dengan proses persalinan (Mansjoer, 2001). Selama masa kehamilan, ibu dan janin adalah unit fungsi yang tak terpisahkan. Selama kehamilan normal, saluran cerna dan organ-organ penunjangnya mengalami perubahan, baik secara anatomis maupun fungsional, yang dapat mengubah secara bermakna kriteria untuk diagnosis dan terapi untuk beberapa penyakit. Jika seorang wanita mengidap penyakit bawaan atau penyakit tertentu yang cukup serius, harus waspada dan berhati-hati dalam menghadapi kehamilan. Ibu yang selama hamil dengan penyakit degeneratif seperti hipertensi, diabetes diabetes mellitus atau penyakit infeksi seperti infekci TORCH selama kehamilan akan mempengaruhui janin yaitu dapat berupa gangguan pertumbuhan, gangguan organogenesis, bahkan dapat mengakibatkan berdampak menjadi kelainan kongenita, bayi lahir premature bahkan dapat mengakibatkan kematian janin dalam kandungan. Dengan perawatan dan pengobatan yang teratur, umumnya kehamilan dapat berjalan dengan lancar. Walaupun demikian, risiko munculnya sesuatu yang tidak diinginkan dapat saja terjadi. Beberapa penyakit perlu mendapat perhatian khusus jika diidap oleh wanita hamil. Refrat ini akan membahas tentang dampak penyaki-penyakit pada ibu hamil terhadap janin serta penatalaksaannya, penulis berharap refrat ini dapat bermanfaat bagi seluruh institusi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengaruh Ibu Hipertensi Terhadap Janin a. Definisi
Gangguan hipertensi dalam kehamilan dapat terjadi pada wanita hamil yang sudah menderita hipertensi kronis primer atau sekunder dan pada wanita yang menderita hipertensi onset baru pada kehamilan trimester kedua. Gangguan hipertensi dalam kehamilan menyebabkan komplikasi pada kehamilan sebesar 5-15%. Hipertensi dalam pada kehamilan adalah hipertensi yang terjadi saat kehamilan berlangsung dan biasanya pada bulan terakhir kehamilan atau lebih setelah 20 minggu usia kehamilan pada wanita yang sebelumnya normotensif, tekanan darah mencapai nilai 140/90 mmHg, atau kenaikan tekanan sistolik 30 mmHg dan tekanan diastolik 15 mmHg di atas nilai normal.1 Klasifikasi berdasarkan The National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy (NHBPEP) memberikan suatu klasifikasi untuk mendiagnosa jenis hipertensi dalam kehamilan, (NHBPEP, 2000) yaitu: 1 1. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu pascapersalinan. Setelah umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu pascapersalinan. 2. Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria. Eklampsia adalah preeklampsi yang disertai dengan kejangkejang dan/atau koma. 3. Preeklampsia pada hipertensi kronik ( preeclampsia superimposed upon chronic hypertension) adalah hipertensi kronik disertai tanda-tanda preeklampsi atau hipertensi kronik disertai proteinuria.
4. Hipertensi gestasional adalah hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa disertai proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 3 bulan pascapersalinan pascapersali nan atau kematian dengan tanda-tanda preeklampsi tetapi tanpa proteinuria. b. Manifestasi Manifestasi Klinis
Hipertensi dalam kehamilan merupakan penyakit teoritis, sehingga terdapat berbagai usulan mengenai pembagian kliniknya. Pembagian klinik hipertensi dalam kehamilan adalah sebagai berikut: 1. Hipertensi dalam kehamilan sebagai komplikasi kehamilan a. Preeklampsi Preeklampsi adalah suatu sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel. Diagnosis preeklampsi ditegakkan jika terjadi hipertensi disertai dengan proteinuria dan atau edema yang terjadi akibat kehamilan setelah minggu ke-20. Proteinuria didefinisikan sebagai terdapatnya 300 mg atau lebih protein dalam urin 24 jam atau 30 mg/dl (+1 dipstik) secara menetap pada sampel acak urin.2 Preeklampsi dibagi menjadi dua berdasarkan derajatnya yang dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Derajat Preeklampsi Derajat Preeklampsi Ringan
Berat
1. Hipertensi ≥ 140/90 mmHg
1. Hipertensi ≥ 160/110 mmHg
2. Proteinuria ≥ 300 mg/24 jam
2. Proteinuria > mg/24 jam atau >+3
atau ≥ +1 dipstik
disptik 3. Oliguria kurang dari 500 mk/24 jam 4. Gangguam penglihatan dan serebral 5. Edema paru dan sianosis 6. Nyeri epigastrium epigastrium atau kuadran kuadran kanan atas 7. Pertumbuhan janin terganggu 8. Trombositopenia
Proteinuria yang merupakan tanda diagnostik preeklampsi dapat terjadi karena kerusakan glomerulus ginjal. Dalam keadaan normal, proteoglikan dalam membran dasar glomerulus menyebabkan muatan listrik negatif terhadap protein, sehingga hasil
akhir filtrat glomerulus adalah bebas protein. Pada penyakit ginjal tertentu, muatan negatif proteoglikan menjadi hilang sehingga terjadi nefropati dan proteinuria atau albuminuria. Salah satu dampak dari disfungsi endotel yang ada pada preeklampsi adalah nefropati ginjal karena peningkatan permeabilitas vaskular. Proses tersebut dapat menjelaskan terjadinya proteinuria pada preeklampsi. Kadar kreatinin plasma pada preeklampsi umumnya normal atau naik sedikit (1,0-1,5mg/dl). Hal ini disebabkan karena preeklampsi menghambat filtrasi, sedangkan kehamilan memacu filtrasi sehingga terjadi kesimpangan.3 b. Eklampsia Eklampsia adalah terjadinya kejang pada seorang wanita dengan preeklampsia yang tidak dapat disebabkan oleh hal lain. Kejang bersifat grand mal atau tonik-klonik generalisata dan mungkin timbul sebelum, selama atau setelah persalinan. Eklampsia paling sering terjadi pada trimester akhir dan menjadi sering mendekati aterm. Pada umumnya kejang dimulai dari makin memburuknya preeklampsia dan terjadinya gejala nyeri kepala daerah frontal, gangguan penglihatan, mual, nyeri epigastrium dan hiperrefleksia. Konvulsi eklampsi dibagi menjadi 4 t ingkat, yaitu:4 -
Tingkat awal atau aura Keadaan ini berlangsung kira-kira 30 detik. Mata penderita terbuka tanpa melihat, kelopak mata bergetar demikian pula tangannya dan kepala diputar ke kanan atau ke kiri.
-
Tingkat kejang tonik Berlangsung kurang lebih 30 detik. Dalam tingkat ini seluruh otot menjadi kaku, wajah kelihatan kaku, tangannya menggenggam dan kaki membengkok ke dalam. Pernapasan berhenti, muka terlihat sianotik dan lidah dapat tergigit.
-
Tingkat kejang klonik Berlangsung antara 1-2 menit. Kejang tonik menghilang. Semua otot berkontraksi secara berulang-ulang dalam tempo yang cepat. Mulut membuka dan menutup sehingga lidah dapat tergigit disertai bola mata menonjol. Dari mulut, keluar ludah yang berbusa, muka menunjukkan kongesti dan sianotik. Penderita menjadi tak sadar. Kejang klonik ini dapat terjadi demikian hebatnya, sehingga penderita dapat terjatuh dari tempat tidurnya. Akhirnya kejang berhenti dan penderita menarik napas secara mendengkur.
-
Tingkat koma
Lamanya ketidaksadaran tidak selalu sama. Secara perlahan-lahan penderita menjadi sadar lagi, akan tetapi dapat terjadi pula bahwa sebelum itu timbul serangan baru yang berulang, sehingga penderita tetap dalam koma. Selama serangan, tekanan darah meninggi, nadi cepat dan suhu meningkat sampai 40 C. -
Kejang pada eklampsi berkaitan dengan terjadinya edema serebri. Secara teoritis terdapat dua penyebab terjadinya edema serebri fokal yaitu adanya vasospasme dan dilatasi yang kuat. Teori vasospasme menganggap bahwa
over regulation
serebrovaskuler akibat naiknya tekanan darah menyebabkan vasospasme yang berlebihan yang menyebabkan iskemia lokal. Akibat iskemia akan menimbulkan gangguan metabolisme energi pada membran sel sehingga akan terjadi kegagalan ATP-dependent Na/K pump yang akan menyebabkan edema sitotoksik. Apabila proses ini terus berlanjut maka dapat terjadi ruptur membran sel yang menimbulkan lesi infark yang bersifat irreversible. Teori force dilatation mengungkapkan bahwa akibat peningkatan tekanan darah yang ekstrim pada eklampsi menimbulkan kegagalan vasokonstriksi autoregulasi sehingga terjadi vasodilatasi yang berlebihan dan peningkatan perfusi darah serebral yang menyebabkan rusaknya barier otak dengan terbukanya tight junction sel-sel endotel pembuluh darah. Keadaan ini akan menimbulkan terjadinya edema vasogenik. Edema vasogenik ini mudah meluas keseluruh sistem saraf pusat yang dapat menimbulkan kejang pada eklampsi. 2. Hipertensi dalam kehamilan sebagai akibat dari hipertensi menahun -
Hipertensi kronik Hipertensi kronik dalam kehamilan adalah tekanan darah ≥140/90 mmHg yang didapatkan sebelum kehamilan atau sebelum umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi tidak menghilang setelah 12 minggu pasca persalinan. Berdasarkan penyebabnya, hipertensi kronis dibagi menjadi dua, yaitu hipertensi primer dan sekunder. Pada hipertensi primer penyebabnya tidak diketahui secara pasti atau idiopatik. Hipertensi jenis ini terjadi 90-95% dari semua kasus hipertensi. Sedangkan pada hipertensi sekunder, penyebabnya diketahui secara spesifik yang berhubungan dengan penyakit ginjal, penyakit endokrin dan penyakit kardiovaskular. 5
-
Superimposed preeclampsia Pada sebagian wanita, hipertensi kronik yang sudah ada sebelumnya semakin memburuk setelah usia gestasi 24 minggu. Apabila disertai proteinuria, diagnosisnya
adalah superimpose preeklampsi pada hipertensi kronik (superimposed preeclampsia). Preeklampsia pada hipertensi kronik biasanya muncul pada usia kehamilan lebih dini daripada preeklampsi murni, serta cenderung cukup parah dan pada banyak kasus disertai dengan hambatan pertumbuhan janin. 5 3. Hipertensi gestasional Hipertensi gestasional didapat pada wanita dengan tekanan darah ≥140/90 mmHg atau lebih untuk pertama kali selama kehamilan tetapi belum mengalami proteinuria. Hipertensi gestasional disebut transien hipertensi apabila tidak terjadi preeklampsi dan tekanan darah kembali normal dalam 12 minggu postpartum. Dalam klasifikasi ini, diagnosis akhir bahwa yang bersangkutan tidak mengalami preeklampsi hanya dapat dibuat saat postpartum. Namun perlu diketahui bahwa wanita dengan hipertensi gestasional dapat memperlihatkan tanda-tanda lain yang berkaitan dengan preeklampsi, misalnya nyeri kepala, nyeri epigastrium atau trombositopenia yang akan mempengaruhi penatalaksanaan .6 c.
Dampak Ibu dengan Hipertensi Pada Janin
Hasil perinatal sangat dipengaruhi oleh usia kehamilan dan tingkat keparahan hipertensi seperti yang ditunjukkan oleh kebutuhan pengobatan antihipertensi, terlepas dari sindrom yang mendasarinya. Preeklampsia berat dikaitkan dengan derajat cedera janin yang berbeda. Dampak utama pada janin adalah kekurangan gizi sebagai akibat insufisiensi vaskular utero-plasenta, yang menyebabkan retardasi pertumbuhan.Ada efek jangka pendek dan jangka panjang. Dampak langsung yang diamati adalah perubahan pertumbuhan janin yang mengakibatkan pertanggungjawaban janin lebih besar. Kesehatan janin dan juga beratnya sangat terganggu, menyebabkan berbagai tingkat morbiditas janin, dan kerusakan janin bisa seperti menyebabkan kematian janin. 7 Studi lanjutan jangka panjang telah menunjukkan bahwa bayi yang mengalami retardasi pertumbuhan intrauterine lebih cenderung mengembangkan hipertensi, penyakit arteri koroner, dan diabetes pada kehidupan orang dewasa. Ada bukti yang berkembang untuk menunjukkan bahwa pola pertumbuhan awal dan faktor hidup lainnya memainkan peran penting dalam asal-usul dan perkembangan penyakit kardiovaskular (CVD), namun memahami proses yang memediasi efek ini terbatas. Komplikasi perinatal yang tidak biasa yang melibatkan pelepasan anoksia atau katekolamin pada ibu, janin, atau bayi baru lahir dapat mempengaruhi bayi dengan perkembangan aterosklerosis koroner dewasa sebelum waktunya. Banyak janin harus beradaptasi dengan persediaan nutrisi
yang terbatas. Dengan melakukannya, mereka secara permanen mengubah struktur dan metabolisme mereka. Perubahan 'terprogram' ini mungkin merupakan asal dari sejumlah penyakit di kemudian hari, termasuk penyakit jantung koroner dan gangguan terkait: stroke, diabetes dan hipertensi. Bayi yang kecil atau tidak proporsional saat lahir, atau yang telah mengubah pertumbuhan plasenta sekarang diketahui memiliki tingkat peningkatan penyakit jantung koroner, hipertensi dan diabetes yang tidak bergantung insulin pada kehidupan orang dewasa. Asosiasi ini dianggap sebagai hasil dari 'pemrograman' janin, di mana rangsangan pada masa kritis dan sensitif awal kehidupan memiliki efek permanen pada struktur tubuh, fisiologi dan metabolisme. Ukuran kecil saat lahir dan disproporsi pada ukuran kepala, panjang dan berat tampaknya merupakan tanda pengganti untuk pengaruh sebenarnya yang memprogram janin. Pengamatan ini telah mendorong evaluasi ulang regulasi ibu terhadap perkembangan janin manusia. Penyakit kardiovaskular orang dewasa mungkin merupakan konsekuensi dari adaptasi janin yang dilakukan saat persediaan nutrisi maternal-plasenta gagal memenuhi permintaan nutrisi janin. Telah ditunjukkan bahwa retardasi pertumbuhan intrauterine, yang didefinisikan sebagai berat lahir di bawah persentil ke-10, menyebabkan penurunan jumlah nefron. Oligonefropati telah disarankan untuk meningkatkan risiko hipertensi sistemik dan glomerulus pada kehidupan orang dewasa serta meningkatkan risiko ekspresi penyakit ginjal setelah terpapar rangsangan ginjal yang berpotensi merusak. 2. Pengaruh Ibu Diabetes Mellitus Terhadap Janin a. Definisi
Diabetes Mellitus (DM) merupakan sekelompok kelainan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Kemampuan tubuh pada orang dengan diabetes untuk bereaksi terhadap insulin dapat menurun, atau pankreas dapat menghentikan sama sekali produksi insulin. Dalam konteks kehamilan, pada wanita hamil terjadi perubahan perubahan fisiologis yang berpengaruh terhadap metabolisme karbohidrat karena adanya hormon plasenta yang bersifat resistensi terhadap insulin, sehingga kehamilan tersebut bersifat diabetogenik. Dengan meningkatnya umur kehamilan, berbagai faktor dapat mengganggu keseimbangan metabolisme karbohidrat sehingga terjadi gangguan toleransi glukosa. Selama lebih dari satu abad, telah diketahui bahwa diabetes yang datang pada saat kehamilan dapat menyebabkan efek buruk pada keadaan klinis fetus dan neonatus. 8 Diabetes Melitus (DM) dengan kehamilan ( Diabetes Mellitus GestationalDMG) adalah kehamilan normal yang disertai dengan peningkatan insulin resistance (ibu
hamil gagal mempertahankan euglycemia). Pada golongan ini, kondisi diabetes dialami sementara selama masa kehamilan. Artinya kondisi diabetes atau intoleransi glukosa pertama kali didapati selama masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua atau ketiga. DMG menyebabkan komplikasi yang signifikan dan berpotensi ibu dan janin termasuk preeklampsia, eklamsia, polihidramnion, makrosomia janin, trauma kelahiran, kelahiran operatif, komplikasi metabolik neonatal dan kematian perinatal. DMG ini meningkatkan morbiditas neonatus, yaitu hipoglikemia, ikterus, polisitemia, dan makrosomia. Hal ini terjadi karena bayi dari ibu DMG mensekresi insulin lebih besar sehingga merangsang pertumbuhan bayi dan makrosomia. Frekuensi DMG kira-kira 3-5% dan para ibu tersebut meningkat risikonya untuk menjadi DM di masa mendatang. Komplikasi lain dari DMG adalah respiratory distress syndrome dan hypocalcemia.8,9 Bayi dari ibu diabetes (IDMs) telah mengalami penurunan angka kesakitan dan kematian yang hampir 30 kali lipat sejak perkembangan perawatan ibu, janin, dan neonatal khusus untuk wanita dengan diabetes dan keturunannya. Sebelum itu, tingkat kematian janin dan neonatal setinggi 65%. Saat ini, 3-10% kehamilan dipengaruhi oleh regulasi dan kontrol glukosa abnormal. Dari kasus ini, 80-88% berhubungan dengan kontrol glukosa abnormal pada kehamilan atau diabetes melitus gestasional. Dari ibu dengan diabetes yang sudah ada sebelumnya, 35% telah ditemukan memiliki diabetes melitus tipe 1, dan 65% telah ditemukan memiliki diabetes melitus tipe 2. Ba yi yang lahir dari ibu dengan intoleransi glukosa berada pada peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan hal berikut:9 1. Gangguan pernapasan 2. Kelainan pertumbuhan (besar untuk usia gestasi [LGA] 3. Kecil untuk usia gestasi [SGA]) 4. Hyperviscosity sekunder akibat polisitemia, 5. Hipoglikemia, 6. Malformasi bawaan, 7. Hipokalsemia 8. Hypomagnesemia, 9. Kelainan besi. Bayi-bayi ini kemungkinan dilahirkan melalui persalinan sesar karena berbagai alasan, di antaranya adalah komplikasi distosia bahu dengan trauma pleksus brakialis yang berhubungan dengan ukuran bayi yang besar. Ibu-ibu ini harus dipantau secara ketat selama kehamilan. Jika perawatan optimal diberikan, tingkat kematian perinatal,
tidak termasuk malformasi kongenital, hampir sama dengan yang diamati pada kehamilan normal.9 b. Dampak Diabetes Mellitus Pada Janin
Komunikasi antara anggota tim perinatal sangat penting untuk mengidentifikasi bayi yang berisiko tinggi mengalami komplikasi diabetes ibu. Malformasi kongenital janin paling sering terjadi bila kontrol glukosa ibu telah buruk selama trimester pertama kehamilan. Dengan demikian, kebutuhan untuk kontrol glikemik prekonsepsi pada wanita dengan diabetes tidak dapat dilebih-lebihkan. Hiperglikemia maternal selama gestasi akhir lebih cenderung menyebabkan makrosomia, hipoksia, polisitemia, dan kardiomegali janin dengan obstruksi aliran keluar. 8,9 -
Macrosomia Janin
Macrosomia janin (> persentil ke 90 untuk usia gestasi atau> 4000 g dalam istilah bayi) terjadi pada 15-45% kehamilan diabetes. Hal ini paling sering diamati sebagai konsekuensi hiperglikemia ibu. Saat makrosomia hadir, bayi tampak bengkak, gemuk, kemerahan, dan sering hipotonik. Pertumbuhan janin dinilai dengan merencanakan berat lahir melawan usia gestasional pada kurva pertumbuhan standar. Bayi yang beratnya melebihi persentil ke-90 untuk usia gestasi diklasifikasikan sebagai besar untuk usia gestasi (LGA). Hiperglikemia maternal selama akhir kehamilan biasanya diikuti oleh pertumbuhan janin yang berlebihan. Bayi LGA harus diskrining secara rutin untuk hipoglikemia. Hal ini sangat penting jika ibu telah menerima cairan yang mengandung glukosa selama persalinannya.9 -
Gangguan Pertumbuhan Janin
Bayi yang berat lahirnya di bawah persentil ke-10, bila diplot terhadap usia gestasional pada kurva pertumbuhan standar, dianggap kecil untuk usia gestasi (SGA). Gangguan pertumbuhan janin bisa terjadi pada 20% kehamilan diabetes, dibandingkan dengan kejadian 10% (menurut definisi) untuk bayi yang lahir dari ibu tanpa diabetes. Penyakit renovaskular ibu adalah penyebab umum gangguan pertumbuhan janin pada kehamilan yang dipersulit oleh diabetes ibu. Asfiksia perinatal, yang lebih sering terjadi pada bayi dengan gangguan pertumbuhan janin, dapat diantisipasi oleh riwayat prenatal; Hal ini menunjukkan pentingnya komunikasi antara dokter kandungan dan dokter anak. 10 -
Penyakit Paru-paru
Bayi-bayi ini mengalami peningkatan risiko sindrom distres pernafasan dan dapat terjadi dalam beberapa jam pertama setelah kelahiran dengan takipnea, flaring hidung, retraksi interkostal, dan hipoksia. Pemberian operatif karena macrosomia juga
meningkatkan risiko takipnea transien pada bayi baru lahir, sedangkan polisitemia mempengaruhi bayi terhadap hipertensi pulmonal persisten pada bayi baru lahir. Awalnya, diagnosis banding meliputi takipnea transien pada bayi baru lahir, sindrom gangguan pernapasan, pneumonia, dan hipertensi pulmonal persisten. 11 -
Kelainan Metabolik dan Elektrolit
Hipoglikemia dapat terjadi dalam beberapa jam pertama kehidupan. Meskipun bayi umumnya asimtomatik, gejalanya mungkin termasuk kegelisahan, mudah tersinggung, apatis, makanan yang buruk, jeritan bernada tinggi atau lemah, hipotonia, atau aktivitas kejang yang jujur. Hipoglikemia yang memerlukan intervensi bisa bertahan selama 1 minggu. Hipoglikemia disebabkan oleh hiperinsulinemia akibat hiperplasia sel beta pankreas janin akibat hiperglikemia pada ibu hamil. Karena suplai glukosa yang terus menerus berhenti setelah kelahiran, neonatus mengalami hipoglikemia karena substrat yang tidak mencukupi. Stimulasi pelepasan insulin janin akibat hiperglikemia ibu selama persalinan secara signifikan meningkatkan risiko hipoglikemia dini pada bayi ini. Tekanan perinatal mungkin memiliki efek aditif pada hipoglikemia karena pelepasan katekolamin dan deplesi glikogen. Risiko keseluruhan hipoglikemia adalah di mana saja dari 25-40%, dengan LGA dan bayi prematur dengan risiko tertinggi. 10,11 Hipokalsemia atau hypomagnesemia juga dapat terlihat pada beberapa jam pertama setelah
kelahiran.
Gejala
mungkin
termasuk
aktivitas
jitteriness
atau
seizure.
Hipokalsemia (kadar <7 mg / dL) diyakini terkait dengan penundaan sintesis hormon paratiroid setelah kelahiran. Enam puluh lima persen dari semua bayi ibu diabetes (IDM) menunjukkan kelainan metabolisme zat besi saat lahir. Kekurangan zat besi meningkatkan risiko bayi mengalami kelainan perkembangan saraf. Besi didistribusikan kembali ke jaringan yang kekurangan zat besi setelah lahir, karena massa sel darah merah (RBC) dipecah secara postnatis.11 -
Masalah hematologi
Polycythemia, yang disebabkan oleh peningkatan eritropoiesis yang dipicu oleh hipoksia janin kronis, dapat hadir sebagai penampilan "kemerahan" secara klinis, pengisian kapiler yang lamban, atau tekanan pernapasan. Hyperviscosity karena polisitemia meningkatkan risiko IDM untuk stroke, seizure, necrotizing enterocolitis, dan trombosis vena ginjal.8 a. Trombositopenia
Trombopoiesis dapat dihambat karena adanya kelebihan prekursor RBC di dalam sumsum tulang akibat hipoksia dalam rahim dan peningkatan konsentrasi eritropoietin. b. Hiperbilirubinemia Hal ini biasa, terutama berhubungan dengan polisitemia. Peningkatan jumlah massa sel darah merah dalam peningkatan jumlah sel darah merah yang dikeluarkan dari sirkulasi setiap hari dan meningkatkan beban bilirubin yang dipresentasikan ke hati. -
Anomali Kardiovaskular
Kardiomiopati dengan hipertrofi ventrikel dan obstruksi aliran keluar dapat terjadi pada 30% IDM. Kardiomiopati dapat dikaitkan dengan kegagalan kongestif dengan miokardium yang berfungsi lemah atau mungkin terkait dengan miokardium hipertrofik dengan hipertrofi septum dan sumbatan saluran keluar yang signifikan. Bila kardiomegali atau perfusi dan hipotensi buruk ada, melakukan ekokardiografi untuk membedakan antara proses ini adalah penting. Bayi ini juga mengalami peningkatan risiko cacat jantung bawaan, termasuk (paling umum) defek septum ventrikel (VSD) dan transposisi arteri besar (TGA).12 -
Malformasi Bawaan
Malformasi sistem saraf pusat (SSP) 16 kali lebih mungkin terjadi pada IDM. Secara khusus, risiko anencephaly 13 kali lebih tinggi, sedangkan risiko spina bifida 20 kali lebih tinggi. Risiko displasia kaudal adalah sampai 600 kali lebih tinggi pada bayi bayi ini. Ketidakseimbangan neurologis, yang ditunjukkan oleh pola pengisapan yang belum matang, telah ditemukan pada bayi yang lahir dari ibu dengan diabetes yang dikelola insulin. Studi pada domba janin menunjukkan bahwa ini mungkin merupakan cerminan dari temuan metabolisme otak abnormal dan electroencephalogram (EEG) sebagai akibat hiperglikemia janin.13 Ginjal (misalnya hidronefrosis, agenesis ginjal, duplikasi ureter), telinga, gastrointestinal (misalnya atresia duodenum atau anorektal, sindrom kolon kiri kecil), dan, seperti yang disebutkan sebelumnya, arteri kardiovaskular (misalnya arteri umbilikalis tunggal, VSD, defek septum atrium, TGA, koarktasio aorta, kardiomegali) anomali lebih sering terjadi pada bayi ini. 14 c. -
Pemeriksaan Penunjang Yang Dapat Dilakukan Hitungan CBC
Polisitemia, yang umumnya didefinisikan sebagai tingkat hematokrit sentral yang lebih tinggi dari 65%, merupakan perhatian potensial. Hiperglikemia ibu-janin dan hipoksia
janin merupakan stimulus kuat untuk produksi eritropoietin janin dan peningkatan konsentrasi hemoglobin janin. Trombositopenia dapat terjadi karena trombopoiesis yang terganggu karena "tonjolan keluar" trombosit oleh kelebihan prekursor eritroid di sumsum tulang. -
Konsentrasi glukosa (serum atau whole-blood) Kejang, koma, dan kerusakan otak jangka panjang dapat terjadi jika hipoglikemia neonatal tidak dikenali dan tidak diobati. Sebagian besar pusat mengenali tingkat yang lebih rendah dari 20-40 mg / dL dalam 24 jam pertama setelah kelahiran sebagai abnormal, namun tingkat yang tepat tetap kontroversial. Kebijakan untuk menyaring bayi ibu diabetes (IDM) untuk hipoglikemia harus dilakukan di setiap rumah sakit. Ambang operasional diusulkan oleh Cornblath dkk.
Mereka menyarankan agar bayi dengan
adaptasi metabolik yang terganggu (yaitu IDM) menjalani pemeriksaan glukosa darah (1) sesegera mungkin setelah kelahiran, (2) dalam 2-3 jam setelah kelahiran dan sebelum makan, dan (3) di Kapan pun tanda klinis abnormal diamati. 15,16 -
Konsentrasi magnesium (serum) Hipomagnesemia berhubungan dengan usia ibu muda, tingkat keparahan di abetes ibu, dan prematuritas. Tingkat magnesium nonatal juga terkait dengan magnesium serum ibu, kalsium nano dan kadar fosfor, dan fungsi paratiroid neonatal. Signifikansi klinis kadar magnesium rendah pada bayi ini tetap kontroversial dan tidak pasti.
-
Konsentrasi kalsium (kadar serum, ion atau total) Tingkat kalsium serum yang rendah dalam IDMs umum terjadi. Mereka berspekulasi disebabkan oleh hipoparatiroidisme fungsional; Namun, relevansi klinis mereka tetap tidak pasti dan kontroversial.
-
Tingkat bilirubin (serum, total dan tidak terkonjugasi) Hiperbilirubinemia (lihat bilirubin) lebih umum terjadi pada IDM dibandingkan pada populasi umum neonatus. Faktor penyebab meliputi prematuritas, immaturitas enzim hati, polisitemia, dan berkurangnya usia paruh RBC.
-
Gas darah arterial Menilai oksigenasi dan ventilasi sangat penting pada bayi dengan bukti klinis distres pernapasan. Meskipun metode noninvasive (misalnya, elektroda transkutan dan elektroda karbon dioksida, oximeters) telah mendapat penerimaan luas di banyak pusat, perbandingan hasil dengan yang berasal dari darah arteri sesekali diperlukan.
-
Radiografi dada
Bukti klinis adanya cardiopulmonary distress membutuhkan evaluasi rinci, yang harus selalu menyertakan radiograf dada. Citra harus dievaluasi untuk kecukupan ekspansi paru-paru, bukti atelektasis fokal atau difus, adanya cairan interstisial, tanda-tanda udara bebas di ruang pleura atau interstisial, dan temuan sindrom gangguan pernapasan atau pneumonia. Kemungkinan malformasi paru juga harus dipertimbangkan. Bentuk jantung, bentuk, dan pembuluh darah besar / saluran keluar harus diperiksa dengan teliti. Pada bayi dengan macrosomia yang memiliki riwayat distosia bahu, klavikula harus dievaluasi pada film juga pada pemeriksaan fisik. -
Radiografi abdomen, panggul, atau bawah Bila displasia kaudal ada, anomali ortopedi lainnya harus diselidiki, termasuk pelekatan kaki, femur hipoplastik, cacat tibia dan fibula, kontraksi fleksi pada lutut dan pinggul, atau kaki pengkor. Caudal dysplasia atau sacral agenesis adalah anomali ortopedi yang paling umum di IDM. Kelainan kongenital ekstremitas bawah memerlukan evaluasi radiografi untuk menentukan defek atau defek skeletal yang tepat.
-
Ekokardiografi jantung Sebuah miokardium yang mengental dan hipertrofi septum yang signifikan dapat terjadi pada sebanyak 1 dari 3 IDM. Bukti miokardium hypercontractile, menebal, seringkali dengan hipertrofi septum tidak proporsional dengan ukuran dinding bebas ventrikel, dapat dicatat saat pemeriksaan. Kontraktilitas miokard juga harus dievaluasi, karena miokardium terlalu banyak dan kurang berkontraksi dengan kardiomiopati kongenital. Bukti malformasi anatomi harus dicari dengan hati-hati karena malformasi jantung, termasuk VSD dan TGA, secara signifikan lebih umum terjadi pada IDM.
-
Barium enema Bayi dengan intoleransi makan, distensi abdomen, emesis non-emosional, atau mekonium yang malang mungkin memerlukan enema barium. Anomali kongenital saluran cerna lebih sering terjadi pada IDM. Bayi-bayi ini mungkin memiliki sindrom kolon kiri kecil, yang juga dikenal sebagai "usus buntu." Gambaran klinis dari sindroma usus besar kiri dapat meniru penyakit Hirschsprung, dan peradangan distal usus besar merupakan ciri radiologis dari kedua kelainan tersebut. Kelainan 2 dapat dibedakan dengan menggunakan biopsi karena sel ganglionik normal hadir di kolon yang malas dan tidak ada dalam penyakit Hirschsprung.
-
Menempati jalur pembuluh darah (periferal, umbilical, atau central) Pemantauan gas darah noninvasi dengan menggunakan elektroda transkutan (PaO2 dan PaCO2) dan oximeters (saturasi O2%) telah sangat mengurangi kebutuhan akan kateter
inang yang invasif. Namun, garis indian sering dibutuhkan di awal perjalanan penyakit kardiorespirasi. Dalam beberapa kasus, kebutuhan akan pemantauan tekanan darah arterial terus menerus mungkin memerlukan penempatan jalur arteri perifer atau umbilikalis. Penempatan vena umbilikalis atau kateter vena sentral sering digunakan saat bayi memerlukan dekstrosa intravena (IV) konsentrasi tinggi atau bila akses perifer terbatas atau habis. d. Tatalaksana Manajemen Hipoglikemik
Peningkatan kontrol glukosa ibu selama kehamilan dan persalinan meningkatkan adaptasi glukosa pascamelahirkan dan menurunkan kebutuhan akan perawatan glukosa IV pada bayi. Kebijakan skrining untuk hipoglikemia selama jam-jam setelah kelahiran diperlukan untuk mendeteksi hipoglikemia. Tingkat glukosa serum atau seluruh darah kurang dari 20-40 mg / dL dalam 24 jam pertama setelah kelahiran umumnya disepakati menjadi tidak normal dan memerlukan intervensi. Cornblath dkk merekomendasikan nilai kritis glukosa yang memerlukan intervensi. Penentuan glukosa darah plasma atau keseluruhan harus dilakukan pada hal-hal berikut:Sesegera mungkin setelah lahir. Ulangi penentuan pada 30 menit, 1 jam, 2 jam, 4 jam, 8 jam, dan 12 jam setelah kelahiran. Setiap saat tanda klinis abnormal diamati. 16 Manajemen Untuk Menjaga Euglycemia
Jika nilai plasma kurang dari 36 mg / dL (2 mmol / L), diperlukan intervensi (1) jika glukosa plasma tetap di bawah tingkat ini, (2) jika tidak meningkat setelah pemberian makan, atau (3) jika Bayi mengalami gejala hipoglikemia. Jika nilai plasma kurang dari 20-25 mg / dL (1,1-1,4 mmol / L), glukosa IV harus diberikan, dengan tingkat glukosa target lebih dari 45 mg / dL (2,5 mmol / L). Tujuan ini 45 mg / dL ditekankan sebagai margin keamanan. Ini harus mencakup bolus dekstrosa diikuti dengan infus dekstrosa konstan. Hipoglikemia yang parah mungkin memerlukan terapi dengan hidrokortison. Menentukan bayi mana yang memerlukan pemberian dekstrosa tertinggi untuk mempertahankan euglycemia adalah sulit. Saran berikut merupakan panduan untuk pemberian glukosa pada bayi dengan hipoglikemia.16 Terapi IV segera dengan infus 2xl / kg dosis dekstrosa 10% diperlukan pada bayi bergejala dengan hipoglikemia; dekstrosa 10% (D10) memberikan 100 mg / mL dekstrosa, dan dosis awal adalah 200 mg / kg dekstrosa. Administrasi selama 5-10 menit biasanya dianjurkan karena osmolaritas tinggi. Hal ini terutama berlaku untuk bayi yang belum dewasa
berusia di bawah 32 minggu
memiliki risiko pendarahan
intrakranial. Prosedur ini awalnya digambarkan sebagai infus 2 menit dan menyelesaikan pengisian ruang glukosa yang analog dengan volume distribusi glukosa. Pemeliharaan infus dekstrosa secara kontinu dengan kecepatan infus 6-8 mg / kg / menit dekstrosa diperlukan sekali terapi bolus selesai. Kegagalan untuk melakukannya dapat menyebabkan rebound hipoglikemia sebagai akibat pelepasan insulin pankreas yang meningkat dipicu oleh infus glukosa. 16 Sering serum atau seluruh analisis glukosa darah penting untuk benar titrasi infus dekstrosa. Jika kadar glukosa follow-up tetap kurang dari 40 mg / dL, infus dekstrosa dapat ditingkatkan dengan 2 mg / kg / menit sampai terjadi euglycemia. Jika bayi memerlukan konsentrasi dekstrosa lebih dari D12.5 melalui vena perifer pada 80-100 mL / kg / hari, penempatan kateter vena sentral dapat dipertimbangkan untuk menghindari sklerosis vena. Pemberian enteral lanjutan mempercepat peningkatan kontrol glukosa karena adanya protein dan lemak dalam formula. Terapi hidrokortison mungkin diperlukan untuk hipoglikemia yang sedang berlangsung. Begitu tingkat glukosa bayi stabil selama 12 jam, glukosa IV dapat diruncingkan 1-2 mg / kg / menit, tergantung pada pemeliharaan kadar glukosa preprandial yang lebih tinggi dari 40 mg / dL. 16 Manajemen elektrolit
Hipokalsemia dan hypomagnesemia dapat mempersulit jalur klinis. Karena kadar kalsium serum rendah tidak dapat dikoreksi dengan adanya hypomagnesemia, koreksi kadar magnesium rendah merupakan langkah awal dalam pengobatan hipokalsemia. Pada bayi ibu diabetes (IDM), kadar kalsium dan magnesium biasanya diukur dalam jam pertama setelah kelahiran. Idealnya, tingkat elektrolit terionisasi harus diperoleh dan digunakan untuk mengatasi gangguan elektrolit dengan benar. Hipokalsemia simtomatik yang benar sangat jarang terjadi pada bayi ini. Pada kebanyakan kasus, gejala yang ditafsirkan disebabkan oleh kadar kalsium dan magnesium yang rendah disebabkan oleh kadar glukosa rendah yang terkait dengan asfiksia perinatal atau terkait dengan berbagai masalah SSP. Tingkat rendah dapat diobati dengan menambahkan kalsium glukonat ke larutan infus untuk menghasilkan kalsium glukonat 600-800 mg / kg / hari. Terapi bolus harus dihindari kecuali aritmia jantung hadir. Terapi Bolus dapat menyebabkan bradikardia.16
Manajemen Pernafasan
Manajemen paru disesuaikan dengan tanda dan gejala bayi secara individu. Peningkatan konsentrasi oksigen ambien mungkin diperlukan untuk menjaga saturasi oksigen lebih tinggi dari 90%, ketegangan oksigen transkutan pada tekanan 40-70 mmHg, atau oksigen arterial pada 50-90 mmHg. Bila konsentrasi oksigen terinspirasi (FiO2) lebih tinggi dari 40% diperlukan, tugas yang paling penting adalah menentukan diagnosis pasti penyebab hipoksemia dan untuk memberikan terapi yang sesuai untuk patofisiologi yang mendasarinya.15,16 -
Ventilasi Terbantu Tekanan saluran nafas positif positif (NCPAP) atau intubasi endotrakeal dengan ventilasi wajib intermiten (IMV) atau ventilasi tekanan positif yang disinkronkan (SIMV) dapat digunakan untuk penanganan tekanan pernapasan parah. Kriteria umum untuk intervensi tersebut meliputi kebutuhan oksigen terinspirasi (FiO2) 60-100% untuk mempertahankan PO2 arterial 50-80mm Hg, kadar PCO2 arteri lebih tinggi dari 60 mmHg atau meningkat 10 mmHg, dan apnea. Kriteria khusus untuk menggunakan mode ventilasi dibantu ini dapat bervariasi tergantung pada patologi pernapasan dan kondisi klinis bayi yang mendasarinya. 15,16 Manajemen Jantung
Jika tanda-tanda gagal jantung kongestif atau kardiomiopati dengan kardiomegali, hipotensi, atau murmur jantung yang signifikan diamati, evaluasi ekokardiografi sangat penting untuk membedakan anomali jantung, hipertrofi septum, dan / atau kardiomiopati. Begitu diagnosis yang tepat tersedia, penanganan gangguan jantung tidak berbeda untuk IDM dibandingkan bayi baru lahir lainnya yang memiliki kondisi jantung serupa. Perawatan ekstra dalam penggunaan agen kardiotonik penting dilakukan dengan adanya kardiomiopati hipertrofik atau hipertrofi septum yang signifikan. Bayi ini berisiko mengalami penurunan output ventrikel kiri yang dihasilkan dari bentuk terapi ini. Beta blocker, seperti propranolol, dapat digunakan untuk menghilangkan sumbatan arus keluar yang terlihat dengan hipertrofi septum. 16 Transfer, Konsultasi, dan Tindak Lanjut
Bayi dari ibu diabetes (IDM) yang memiliki anomali bawaan, penyakit jantung, atau penyakit pernafasan yang signifikan mungkin memerlukan transfer ke unit perawatan intensif perawatan intensif untuk bayi (NICU) untuk perawatan lanjutan dan
akses ke subspesialis. Karena frekuensi masalah jantung yang terjadi pada IDM, konsultasi dini dengan ahli kardiologi anak sering diperlukan. Konsultasi lain bergantung pada malformasi kongenital atau komplikasi lainnya. Perawatan rawat jalan dasar harus terdiri dari perawatan rutin bayi dengan baik yang diberikan oleh dokter anak umum anak tersebut. Tambahan tindak lanjut oleh subspesialisasi konsultan bergantung pada masalah klinis neonatal dan resolusi mereka.15,16 3. Pengaruh Infeksi TORCH Pada Ibu Hamil Terhadap Janin
Infeksi TORCH unik dalam patogenesis mereka dan berpotensi merusak dalam manifestasi klinis. Toksoplasmosis bawaan tetap menjadi penyebab kebutaan yang penting, meski menghindari paparan kucing dan daging mentah dapat mencegahnya. Angka kejadian Sifilis kongenital telah terjadi penurunan karena screening wajib prenatal serta terapi yang efektif. Angka kejadian congenital dan neonatal dari varicella bawaan dan rubella bawaan telah diturunkan karena vaksinasi. Infeksi HIV yang didapat secara perinatal terus meningkat dengan cepat yang menjadi hal yang menakutkan di negara berkembang. Penggunaan terapi antiretroviral (ART) pada ibu dan bayi baru lahir, bagaimanapun telah mengakibatkan penurunan kejadian di Amerika Serikat. Sementara sitomegalovirus tetap menjadi penyebab paling umum infeksi bawaan di Amerika Serikat, kemungkinan pengobatan yang efektif dengan Gansiklovir (Hoffman-LaRoche, Basel, Swiss) telah muncul dari penelitian terbaru. Pada herpes neonatal, penggunaan cara lahir Sectio caesaria dan terapi antiretroviral secara selektif dapat menurunkan kejadian dan memperbaiki hasil. Bila tes atau screening TORCH dipilih pada bayi baru lahir, diduga bahwa anak tersebut telah terpapar dalam kandungan dengan salah satu dari beberapa organisme yang dapat menyebabkan penyakit ringan atau subklinis pada ibu namun dapat menimbulkan kerusakan pada bayi. Selama masa lalu, organisme yang terlibat dalam pengujian ini telah berubah dalam kejadian dan hasil berdasarkan pemahaman baru tentang patogenesis, deteksi, pengobatan, dan pencegahannya. 17 TORCH, sebagai akronim, singkatan dari Toxoplasmosis, Other [T. pallidum, virus varicella-zoster (VZV), Parvovirus B19], Rubellavirus, Cytomegalovirus (CMV), dan Herpes Simplex Virus (HSV). Klein dan Remington. 17 telah menyarankan bahwa klasifikasi
ini
terlalu
terbatas
dan
beberapa
agen
infeksius
tambahan
harus
dipertimbangkan dalam kategori Lainnya, seperti enterovirus, Borrelia burgdorferi (penyebab Penyakit Lyme), dan, tentu saja, virus human immunodeficiency (HIV). Cara
yang biasa di mana janin yang terinfeksi adalah dengan cara transplasental menyebar setelah infeksi ibu di mana organisme bersirkulasi dalam darah
ibu. Infeksi ini,
didapatkan saat dalam uterus, bisa sangat parah sehingga menyebabkan kematian janin atau dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan intrauterin, prematuritas, atau infeksi pascakelahiran kronis. Pada kebanyakan kasus, dapat menimbulkan gejala penyakit yang ringan pada ibu tetapi dapat berdampak pada janin yang sedang berkembang menjadi lebih berat. Tingkat keparahan tergantung pada usia kehamilan janin saat terinfeksi, virulensi organisme, kerusakan pada plasenta, dan tingkat keparahan penyakit maternal. 17 A. Toxoplasmosis
Disebabkan oleh protozoa yaitu Toxoplasma gondii, toxoplasmosis paling sering didapat secara oral dengan mengonsumsi daging mentah atau terpaparan oleh kotoran kucing. Bayi yang terinfeksi secara transplasenta setelah parasit masuk melalui plasenta ibu. Setelah masuk, organisme akan hidup latent akan bertahan seumur hidup di host. Seperti sifilis kongenital dan infeksi HIV perinatal, toksoplasmosis bawaan biasanya tidak terlihat saat lahir. Namun, tidak seperti sifilis dan HIV, wanita-wanita di Amerika Serikat tidak rutin diskrining secara prenatal untuk penyakit ini. Sayangnya 70 sampai 90% bayi yang tampil normal saat lahir akan berkembang dengan penyakit klinis yang berat dan signifikan pada usia dewasa muda.18 Bayi ini mengalami chorioretinitis yang dapat menyebabkan kebutaan, hidrosefalus obstruktif, dan kalsifikasi intrakranial yang berhubungan dengan keterbelakangan mental, menimbulkan aktivitas kejang, dan keterlambatan motor dan perkembangan. Di Eropa, ibu hamil discreening setiap bulan untuk mendeteksi penyakit ini sebagai bagian dari perawatan prenatal standar. Dengan demikian, servoconversion ibu lebih cepat diidentifikasi. Pengujian untuk infeksi pada janin yang ibunya memiliki bukti infeksi akut sekarang dapat dilakukan dengan lebih tepat, pada usia kehamilan 18 minggu, dengan menggunakan Amplifikasi Polymerase Chain Reaction (PCR) pada gen B1 pada T. gondii dalam sampel cairan ketuban. Untuk mengetahui pakah janin memiliki kerusakan organ yang sebenarnya ditentukan oleh pemeriksaan ultrasonografi serial. Deteksi dini ini penting karena ibu sekarang bisa diobati dengan spiramycin (1,5 gram setiap 12 jam) untuk mencegah infeksi janin. Jika janin ditemukan terinfeksi pengobatan diubah menjadi kombinasi sinergis dari pirimetamin dan sulfadiazin. Ini harus diberikan bersamaan dengan asam folinat (Leukovorin), yang menghambat efek supresi sumsum akibat pirimetamin dan sulfadiazin.18
Diagnosis dini juga penting karena penyakit ini paling parah pada janin saat ibu terinfeksi akut pada trimester pertama. Namun, penyakit ini ditularkan lebih sering selama trimester ketiga atau saat lahir dan menyebabkan keterlibatan yang kurang parah selama periode ini. Terkadang bayi teridentifikasi beresiko karena ibu memiliki infeksi yang terdokumentasi. Namun, penyakit pada ibu mungkin mudah diabaikan, karena sering asimtomatik. Ini juga dapat diabaikan karena temuan fisik ibu, misalnya demam, limfadenopati, sakit kepala, mialgia, leher kaku, dan anoreksia, dapat dengan mudah dikaitkan dengan infeksi lain yang lebih umum. Bila skrining serologis tidak mengidentifikasi infeksi maternal, penyakit ini mungkin dicurigai bila ultrasound janin menunjukkan keterbatasan pertumbuhan intrauterine, hidrosefalus janin, kalsifikasi intrakranial, atau asidosis. Meningkatnya penggunaan ultrasound selama kehamilan merupakan kemajuan baru yang mendukung temuan kasussebelumnya. 18 Pencegahan dapat diberikan dengan meningkatkan pendidikan masyarakat. Sebagian besar wanita hamil di Amerika Serikat sekarang mengenali bahaya misterius yang ada di "kotak sampah kucing". Menghindari konsumsi daging mentah atau kurang matang sama pentingnya namun kurang dihargai secara luas. Penekanan yang lebih besar perlu dilakukan pada screening awal ibu sebelum dan pada saat awal hamil untuk mendeteksi serokonversi selama kehamilan. (lihat Gambar 2).19
B.
Other (Sifilis, Virus Varicella-Zoster (VZV), Parvovirus B19, dan Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Sifilis
kongenital
disebabkan
oleh
transmisi
transplasental spirochete,
Treponema pallidum, yang memiliki tingkat transmisi vertikal 100%. Sifilis pada ibu ditandai oleh tiga tahap yang berbeda: tahap prime, yang ditandai dengan munculnya sifilis chance tunggal (ulserasi keras, tidak menimbulkan rasa nyeri, tidak gatal dilukit) dan limfadenitis; tahap kedua, yang merupakan hasil diseminasi hematogen, disertai timbulnya ruam yang sering kali muncul pada telapak tangan dan tumit kaki 2 sampai 10 minggu setelah penyembuhan chancre. Bayi yang baru lahir dengan sifilis kongenital dianggap berada di tahap sekunder. Tahap sekunder ini diikuti oleh periode laten awal dan akhirnya sifilis terlambat muncul, yaitu asimtomatik (laten akhir) atau simtomatik (stadium tersier). Selanjutnya stadium tersier dengan gejala neurologis, kardiovaskular, dan lesi gummatous (granuloma kulitdan sistem muskuloskeletal) terlihat.20 Sifilis pada puncaknya pada tahun 1940an, dan muncul kembali pada tahun 1980an, dan saat ini berada pada insiden terendah sejak melaporkan pertama kali dimulai pada tahun 1941. Penurunan kejadian sifilis kongenital terutama disebabkan oleh skrining serologis wajib selama kehamilan. Sementara penularan dapat terjadi pada setiap tahap kehamilan, sifilis kongenital lebih mungkin ditularkan oleh wanita yang berada di tahap primer atau sekunder penyakit dari pada pada fase laten. Sifilis kongenital dibagi menjadi dua klasifikasi: penyakit dini (terlihat pada anak-anak sebelum dua tahun) dan penyakit akhir (terlihat setelah dua tahun). Tanpa pengobatan kematian janin atau perinatal terjadi pada 40% dari mereka yang terinfeksi. Sisa 60% bertahan hidup dengan dua pertiga karena tidak berimigrasi saat lahir. Skrining prenatal rutin mengidentifikasi dengan mudah hal ini. Jika tidak terdeteksi atau / diobati bayi yang lahir hidup ini akan menunjukkan gejala dalam minggu atau bulan kelahiran. 21 Manifestasi awal infeksi bawaan melibatkan beberapa sistem tubuh. Bayi dapat menunjukkan hemorrhagic nasal discharge ("sniffles"), hepatosplenomegali, ikterus, peningkatan
enzim
hati,
limfadenopati,
anemia
hemolitik,
trombositopenia,
osteochondritis dan periostitis, kelainan mukokutan, kelainan sistem saraf pusat (SSP), kegagalan berkembang, chorioretinitis, nefritis, dan sindrom nefrotik. Manifestasi akhir terutama disebabkan oleh peradangan kronis pada tulang, gigi, dan SSP.
20
Diagnosis
dipastikan bila T. pallidum terlihat dengan menggunakan mikroskop lapang gelap atau terdeteksi menggunakan imunofluoresensi langsung pada spesimen dari plasenta, umbilikus, atau lesi kulit. Namun, tes serologis merupakan alat diagnosis utama. VDRL
(Venereal Disease Research Laboratory) dan tes RPR (Rapid Plasma Reagin) untuk mendeteksi antibodi terhadap cardiolipin. Meskipun tidak spesifik untuk sifilis, tes "nontreponemal" ini berguna dalam diagnosisnya karena hasil kuantitatif dari tes ini berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Dengan demikian, mereka praktis untuk keperluan skrining. Karena mereka menjadi tidak bereaksi atau dalam batas beberapa bulan, mereka menunjukkan apakah pengobatan yang memadai telah diberikan. Uji Treponemal, yang mengukur antibodi spesifik untuk T. pallidum, meliputi uji imobilisasi T. pallidum (TPI), uji absorpsi antibodi treponemal fluorescent (FTA-ABS), dan uji mikrohemmaglutinasi untuk T. pallidum (MHA-TP). Tes treponemal digunakan untuk mengkonfirmasi hasil positif dari tes antibodi nontreponemal (VDRL, RPR). Pengujian T. pallidum menggunakan PCR sedang dikembangkan namun belum digunakan secara umum oleh laboratorium klinis.
20
Bayi yang simtomatik dievaluasi dan diobati. Bayi tanpa gejala dianggap berisiko jika pada pemeriksaan nontreponemal dan treponema ibu positif. Bayi ini harus dievaluasi jika riwayat perawatan ibu tidak diketahui, tidak terdokumentasi, atau tidak memadai, jika perawatan ibu kurang dari 30 hari sebelum persalinan, Jika ibu diobati dengan antibiotik nonpenicillin; atau jika titer nontreponemal ibu tidak menurun secukupnya untuk menunjukkan penyembuhan. Jika perawatan ibu cukup dan selesai lebih dari satu bulan sebelum melahirkan, tes nontreponemal positif bayi mencerminkan antibodi yang didapat secara pasif dan bayi tidak memerlukan perawatan. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) telah dengan hati-hati menjelaskan rekomendasi untuk perawatan bayi berdasarkan riwayat ibu dan hasil pemeriksaan ibu yang terinfeksi.22 Secara umum, pengobatan yang efektif untuk sifilis kongenital memerlukan penicillin 10 hari (penisilin G 100 sampai 150.000 unit / kg / 24 jam dibagi dalam 12 jam untuk minggu pertama dan q8 jam setelahnya, atau Procaine Penicillin G 50.000 unit / kg IM setiap hari selama 10 hari). 21 Perawatan maternal yang memadai menghilangkan risiko pada bayi, namun bayi harus ditindaklanjuti sampai serologi nontreponemal (VDRL atau RPR) negatif. Bayi yang diobati juga harus ditindaklanjuti secara serologis untuk mengkonfirmasi pembalikan titer antibodi nontreponemal negatif.
Karena semua negara memerlukan tes prenatal, pencegahan harus mudah dicapai jika ibu menerima perawatan prenatal. Namun, semakin banyak orang yang tidak mencari perawatan prenatal berarti bahwa skrining ini mungkin tidak akan terjadi sampai sesaat sebelum kelahiran. Pengujian serum ibu daripada darah tali pusat lebih disukai karena titer biasanya lebih rendah pada bayi dan bahkan mungkin tidak bereaksi jika ibu terinfeksi terlambat dalam kehamilan. Jelas penting bahwa bayi yang baru lahir tidak boleh meninggalkan rumah sakit tanpa hasil penentuan serologis ibu diketahui. Setiap wanita yang melahirkan bayi yang lahir pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu harus diuji dan, pada masyarakat dimana sifilis bersifat endemik, disarankan agar wanita hamil diuji tiga kali selama kehamilan mereka: pada diagnosis pertama, pada minggu ke 28 (trimester ketiga) , dan pada saat pengiriman.22 C. Varicella Zoster Virus
Sangat erat kaitannya dengan virus herpes simpleks. Infeksi primer menyebabkan chickenpox (cacar air) namun virus ini juga terbentuk di ganglia bagian dorsal dan dapat aktif kembali ("herpes zoster"). Infeksi varicella pada wanita hamil dapat menyebabkan konsekuensi berat bagi ibu dan bayi. Infeksi pada janin di awal kehamilan menyebabkan sindroma varicella kongenital, Infeksi transplasental pada saat melahirkan menghasilkan varicella neonatal. Menariknya, infeksi VZV berulang ("herpes zoster") tidak menyebabkan sindrom varicella bawaan atau varicella neonatal. Secara keseluruhan sekitar 25% janin terinfeksi saat ibu mengalami varicella namun tidak semua janin yang terinfeksi terkena dampak klinis. Sekitar 2% janin yang ibunya memiliki varicella dalam 20 minggu pertama kehamilan akan mengembangkan VZV embriopathy. Periode risiko terbesar terhadap janin berkorelasi dengan interval selama perkembangan utama kehidupan dan persarafan tunas anggota badan dan pematangan mata. Pada usia kehamilan 6 sampai 12 minggu, perkembangan anggota tubuh dapat terganggu, pada 16 sampai 20 minggu keterlibatan mata dan otak lebih besar terlihat.
23
Bayi yang terinfeksi di kemudian hari dalam kehamilan memiliki keterlibatan
yang kurang sering dan kurang parah. Bagian dari antibodi yang berkembang pada ibu selama pemulihan secara Transplasental mengubah jalannya penyakit pada janin trimester kedua dan ketiga, namun tidak dapat mencapai janin selama trimester pertama atau pada periode perinatal.
Anomali yang terkait dengan sindroma varicella kongenital melibatkan banyak sistem organ. Antara lain defek kulit, dengan bekas luka berupa sikatrik, atrofi ekstremitas, dan bukti kerusakan pada sistem saraf otonom. Disfungsi sistem saraf otonom ditunjukan sebagai neurogenik kandung kemih, hydroureter, hidronefrosis, atau refluks gastroesophageal berat dengan pneumonia karena aspirasi rekuren. Manifestasi sistem saraf pusat meliputi microcephaly, atrofi korteks, kejang, dan keterbelakangan mental. Keterlibatan mata menyebabkan chorioretinitis, mikrophthalmia, dan katarak.24 Diagnosis fetopati VZV didasarkan pada riwayat ibu dari cacar air gestasional dan stigmata yang terlihat pada janin. Virus tidak dapat dibudidayakan dari bayi tetapi DNA virus dapat dideteksi dalam sampel jaringan melalui PCR. Bayi yang terinfeksi memiliki antibodi IgM dan IgG spesifik VZV yang terdeteksi dalam darah tali pusat. Titer IgM drop cepat setelah lahir tapi IgG tetap ada. Chorionic villi sampling dan fetal blood sampling untuk mendeteksi DNA virus, virus itu sendiri, atau antibodi telah digunakan untuk mendiagnosis infeksi janin. Kegunaan dari tes untuk manajemen dan konseling belum ditetapkan. Bagi wanita yang terpapar varicella dan berisiko terkena infeksi, varicella-zoster immune globulin (VZIG) kadang bias diberikan. Jika infeksi ibu sudah terbentuk, pemberian antibodi ini tidak melindungi janin. Asiklovir agen antivirus diberikan kepada wanita hamil dengan varicella berat. Meskipun keamanan dan khasiatnya untuk janin tidak terbukti secara ketat, manfaat pengobatan lebih banyak daripada risikonya. Tidak seperti rubella atau CMV, virus tidak aktif mereplikasi setelah bayi lahiran sehingga pengobatan antiviral untuk bayi dengan sindrom kongenital tidak ada nilainya. 25 Ketika wanita mengidap virus selama beberapa hari terakhir kehamilan, bayi berisiko tertular varicella neonatal dengan tingkat serangan 20%. Mereka yang lahir dalam interval dari dua hari sebelum dan sampai empat hari setelah onset varicella maternal dapat mengembangkan varicella progresif dengan tingkat mortalitas yang tidak diobati sebesar 30%. Administrasi VZIG terhadap bayi berisiko tinggi ini adalah salah satu kegunaan produk biologis yang paling berharga ini. Bayi yang lahir lebih dari lima hari setelah onset varicella ibu, meskipun mungkin memiliki lesi saat lahir atau segera setelahnya, namun tidak beresiko tinggi. Mereka dilindungi oleh transferensi transplasental antibodi IgG ibu terhadap VZV.24 D. Parvovirus B19
Paling umum, parvovirus B19 menyebabkan virus awitan pada masa bayi eritema infectiosum (penyakit kelima atau "Slapped cheek disease") yang pertama kali dikaitkan dengan virus pada tahun 1983. Pada usia 15 tahun, 50% remaja memiliki antibodi IgG yang terdeteksi pada virus. 22 Transmisi bersifat airborne atau dengan droplet. Sebagian besar infeksi di masa dewasa asimtomatik atau ringan menyebabkan ruam dan artralgia yang ringan. Infeksi maternal selama kehamilan dapat menyebabkan keguguran atau perkembangan nonimunitas hidrops fetalis. Edema dan efusi besar pada ruang perikardial, pleura, dan peritoneal menjadi karakteristik hidrops fetalis. Patogenesis pada janin adalah gagal jantung akibat anemia berat yang disebabkan oleh penangkapan sel akibat produksi sel darah merah. Risiko infeksi transplasental adalah sekitar 30% dan risiko kehilangan janin sekitar 9%, terutama pada trimester kedua. Infeksi bawaan kronis dengan sekuele perinatal jarang terjadi. Cara terbaik untuk mendiagnosis infeksi B19 pada janin adalah demonstrasi DNA virus dalam cairan amniotik, darah janin, atau jaringan. Metode PCR telah digunakan oleh banyak peneliti dan sekarang tersedia di laboratorium referensi.26 Penatalaksanaan optimal ibu hamil yang terpapar / atau terinfeksi Parvovirus B19 tidak berkembang dengan baik. Penatalaksanaan wanita yang rentan (mereka yang tidak memiliki antibodi spesifik IgG atau IgM yang terdeteksi) bermasalah karena individu yang terinfeksi kemungkinan besar akan menularkan virus selama periode prodromal, sebelum ruam karakteristik terjadi. Setelah ruam muncul, pengelolaan wanita yang terinfeksi kontroversial. Banyak protokol telah disarankan namun tidak ada yang dievaluasi dengan studi terkontrol. 26 USG baseline pada saat diagnosis ibu sangat disarankan.
Beberapa
praktisi
melakukan
ultrasound
serial
untuk
mendeteksi
perkembangan hidrops janin, namun hasilnya terlalu rendah untuk membenarkan penggunaan rutin untuk semua wanita yang menjadi IgM anti-B19-positif selama kehamilan. Transfusi intrauterin telah berhasil pada beberapa janin dengan hidrops namun belum ada penelitian yang menunjukkan bahwa kelangsungan hidup sebenarnya membaik setelah prosedur berisiko ini.26 E. Rubella
Penyakit virus yang tidak berbahaya dan jinak, rubella ditandai oleh exanthema dan limfadenopati cervical posterior. Sebagian besar morbiditasnya yang signifikan akibat efek sekunder saat janin dalam kandungan. Sindrom rubella bawaan yang begitu
umum sebelum tahun 1969 termasuk keterbelakangan pertumbuhan, tuli, penyakit jantung kongenital, dan keterbelakangan mental. Karena ketersediaan imunisasi massal, kejadian rubella yang dilaporkan telah menurun dari 57.686 kasus pada tahun 1969 menjadi 200 menjadi 400 kasus (30 sampai 60 kasus / tahun) dari tahun 1992 sampai 1998.22 Meskipun perlindungan wanita usia subur adalah tujuan dari semua strategi imunisasi, survei serologis di Amerika Serikat terus mencatat kerentanan 10 sampai 20% pada populasi ini. Begitu penyakit anak usia sekolah, remaja dan dewasa muda sekarang menganggap sebagian besar kasus terlihat. Saat ini wabah terjadi terutama di antara orang dewasa yang belum divaksinasi. Sejak awal 1990an, rubela secara tidak proporsional mempengaruhi orang Hispanik yang tidak berafiliasi dengan AS di Amerika Serikat. 27,28 Penurunan kasus rubella lebih lanjut mungkin terjadi disebagian besar, negara besar bahwa anak-anak menerima dua kali vaksin measel mums rubella(MMR) sebelum dimulainya sekolah. Kebijakan ini dihasilkan dari wabah campak nasional (bukan rubella) yang terjadi pada tahun 1989 sampai 1990. Usia kehamilan pada saat infeksi menentukan intensitas keterlibatan janin. Sampai 20% infeksi maternal yang terjadi pada kehamilan delapan minggu pertama mengakibatkan keguguran, aborsi spontan, atau kelahiran mati. Fetus yang terinfeksi sebelum 11 minggu memiliki banyak kerusakan organ sementara mereka yang berusia 11 sampai 12 minggu lebih mungkin hanya memiliki ketulian dan / atau retinopati. Kerusakan janin jarang terjadi setelah gestasi 16 minggu.29 Manifestasi klinis dapat terlihat saat lahir tetapi lebih sering menghasilkan bayi "normal" dengan gejala squele onset terlambat. Manifestasi klinis dini bisa bersifat transien atau progresif. Manifestasi klinis awal transien rubella bawaan meliputi limfadenopati generalisata, hepatosplenomegali, pembatasan pertumbuhan intrauterin, hepatitis, ikterus, purpura trombositopenia, dengan lesi petechiae dan "blueberry muffin". Manifestasi sementara ini sembuh dalam hitungan hari atau minggu biasanya tanpa gejala seketika jangka panjang. Masalah permanen yang paling umum yang terlihat adalah tuli sensorineural, katarak, stenosis pulmonal perifer, keterbelakangan mental, cacat bahasa tengah, diabetes melitus tipe 1, dan hipogamaglobulinemia. 30 Berbeda dengan infeksi rubella yang didapat, infeksi kongenital menghasilkan infeksi progresif yang terus-menerus. Diperlukan isolasi kontak untuk neonatus yang diduga memiliki rubella bawaan. Dengan kasus yang dikonfirmasi, bayi harus dianggap menular sampai mereka berusia satu tahun kecuali hasil dari beberapa kultur urin dan
nasofaring yang dilakukan selama tiga bulan adalah negatif.
30
Tidak ada perawatan
khusus yang tersedia. Bayi-bayi dengan infeksi yang diperkirakan dan progresif harus menjalani evaluasi lengkap untuk cacat terkait. Bayi harus dievaluasi untuk rubella bawaan jika ada riwayat ibu rubela selama kehamilan atau manifestasi neonatal yang menandakan adanya infeksi kongenital, seperti purpura trombositopenia atau katarak. Diagnosis rubella kongenital memerlukan konfirmasi virologi atau serologis. Virus dapat diisolasi sampai satu tahun atau lebih dari nasofaring, cairan serebrospinal (CSF), urin, dan lapisan kerbau darah. Konfirmasi serologis itu sulit. Meskipun IgM spesifik rubela dapat diukur pada darah tali pusat atau serum neonatal, hal ini sering dikaitkan dengan hasil negatif palsu dan positif palsu. Dianjurkan agar pengukuran serial antibodi spesifik IgG dilakukan pada tiga dan enam bulan untuk mendokumentasikan tingkat antibodi yang tinggi. Adanya penghambatan hemaglutinasi rubella spesifik (HAI) atau antibodi enzim immunoassay setelah usia sembilan bulan merupakan diagnostik infeksi bawaan. 30 Pencegahan rubela bawaan jelas tergantung pada imunisasi dini yang adekuat, sehingga prevalensi imunitasnya tinggi pada wanita usia subur. Jika ada keraguan bahwa mereka kebal, wanita harus diskrining untuk kekebalan rubella di awal kehamilan. Imunisasi wanita seronegatif dianjurkan segera setelah melahirkan. Meskipun imunisasi ibu hamil yang tidak disengaja tidak mengakibatkan kelainan janin, imunisasi postpartum dianggap aman. F. Cytomegalovirus (CMV)
Saat ini CMV adalah penyebab paling umum infeksi bawaan di Amerika Serikat. Sepuluh sampai 20% bayi yang terinfeksi dapat menderita gangguan pendengaran sensorineural, kerusakan okular, atau penurunan fungsi kognitif dan motorik. CMV umum terjadi pada semua kelompok sosioekonomi namun infeksi bawaan dengan penurunan signifikan terlihat pada tingkat populasi tertinggi dimana ibu hamil memiliki risiko paling tinggi terkena infeksi primer. Pada saat ini, subpopulasi dengan tingkat penyakit bawaan tertinggi adalah ibu muda, tunggal, ibu kulit putih. 32 Selain rute transplasental, CMV dapat ditularkan saat persalinan melalui saluran genital ibu, selama periode postpartum dalam ASI, dan pada transfusi produk darah. CMV mudah menyebar di tempat penitipan anak dan keluarga dengan anak kecil. Organisme ini dapat menyebabkan penyakit yang signifikan dengan reaktivasi endogen di antara individu dengan imunosupresi, termasuk penerima transplantasi.32
Sekitar 40% infeksi primer ibu ditularkan ke janin. Kemungkinan penularannya sama dini dan juga terlambat dalam kehamilan. Namun, infeksi ibu primer pada trimester pertama lebih cenderung menyebabkan infeksi neonatal yang terbukti saat lahir dan kemungkinan akan mengakibatkan gejala yang parah seperti tuli dan keterbelakangan mental. Penularan CMV dari ibu ke janin bisa terjadi meski ibu sudah terinfeksi jauh sebelum konsepsi. Namun, infeksi maternal yang dihasilkan dari reaktivasi virus biasanya hanya menyebabkan penumpahan virus tanpa gejala pada bayi. [Pass R. Cytomegalovirus. Dalam Principles and Practice of Pediatrics Infectious Disease, eds Long S, Pickering L and Prober C. Churchill-Livingston, New York. NY 2003.h.10501059] Bayi yang terinfeksi kongenital sering dibagi menjadi dua kelompok: mereka yang memiliki temuan yang tampak jelas pada periode neonatal dan mereka yang memiliki tanda kerusakan SSP yang kemudian terlihat di masa kecil. Gejala tersebut saat lahir paling banyak dikompromikan. Selain pembatasan pertumbuhan intrauterine, lebih dari 70% memiliki bukti keterlibatan SSP: microcephaly, kelesuan, hipotonia, atrofi optik, pendengaran menurun, dan kalsifikasi intrakranial. Bayi tersebut memiliki tingkat kematian 12% pada usia enam bulan. Dari bayi yang asimtomatik saat lahir, 10 sampai 20% pada akhirnya akan memiliki keterlibatan SSP. CMV kongenital dikatakan sebagai penyebab utama kedua keterbelakangan mental di Amerika Serikat. dan saat ini menjadi penyebab utama tuli sensorineural. Gangguan pendengaran sekunder akibat CMV bawaan progresif pada masa kanak-kanak; Bahkan mereka yang memiliki pendengaran normal
saat
lahir
dapat
mengalami
gangguan
pendengaran
nanti.
[Pass
R.
Cytomegalovirus. Dalam Principles and Practice of Pediatrics Infectious Disease, eds Long S, Pickering L and Prober C. Churchill-Livingston, New York. NY 2003.h.10501059] Penyakit bawaan didiagnosis dengan pembiakan virus dalam cairan tubuh (sekresi oral atau urine) dalam tiga minggu pertama kehidupan. Modifikasi budaya konvensional seperti deteksi virus dengan antibodi atau deteksi DNA oleh PCR dapat menghasilkan hasil dalam 24 jam. Setelah usia tiga minggu, menemukan virus pada bayi tidak selalu menunjukkan penyakit bawaan karena anak tersebut mungkin telah memperoleh organisme pada saat persalinan atau postnatally melalui ASI. [Pass R. Cytomegalovirus. Dalam Principles and Practice of Pediatrics Infectious Disease, eds Long S, Pickering L and Prober C. Churchill-Livingston, New York. NY 2003.h.1050-1059] Baru-baru ini, CMV bawaan berat sedang dirawat di bawah protokol eksperimental dengan gansiklovir
intravena. Studi terkontrol menunjukkan bahwa bayi yang diobati cenderung tidak mengalami gangguan pendengaran pada follow up 6 dan> 12 bulan. Karena penelitian hanya dilakukan pada bayi yang menderita penyakit parah dan berpotensi menimbulkan efek samping obat tersebut, penggunaan pengobatan ini saat ini terbatas pada pasien yang sangat parah. [39] Bentuk oral gansiklovir yang baru, valganciclovir, menawarkan janji sebagai pengobatan yang lebih mudah diberikan, yang dapat digunakan untuk manifestasi klinis yang lebih luas. Penularan virus memerlukan kontak langsung dengan cairan tubuh. Pencucian tangan dan tindakan higienis preventif lainn ya dapat mengurangi penyebaran di tempat penitipan anak dan di rumah. Titer kehamilan juga dapat mengidentifikasi wanita berisiko. Di masa depan, vaksin CMV yang saat ini sedang dievaluasi pada orang dewasa muda mungkin berguna. [ Pass RF, Duliere AM, Boppana S, et al. A Subunit cytomegalovirus vaccine based on recombinant envelope glycoprotein B and a new adjuvant. J Infect Dis 2003.h.180-185] G. Herpes Simpleks
Sementara infeksi herpes simpleks dikenali oleh orang Yunani kuno, hubungan antara herpes simpleks tipe 2 sebagai penyebab penyakit neonatal dan herpes genital tidak dilakukan sampai tahun 1960an. Perkembangan terapi antiviral baru-baru ini memungkinkan pengurangan angka kematian dan morbiditas. Seperti herpes simpleks yang paling sering didapat saat melahirkan daripada saat kehamilan, ini lebih dapat dicegah dan dapat diobati dibandingkan dengan CMV atau rubella. Seperti virus varicella-zoster, virus herpes simpleks dapat bertahan dalam keadaan laten, muncul kembali setiap saat selama rentang kehidupan individu. Meskipun ada fluktuasi kejadian penyakit ini, diperkirakan ada sekitar 30 kasus / 100.000 kelahiran hidup di Amerika Serikat. Menarik bahwa infeksi neonatal terjadi jauh lebih jarang daripada yang diperkirakan karena tingginya prevalensi (satu dari lima) seropositif terhadap HSV-2 pada wanita yang melahirkan. [Arvin A, Whitley R. Herpes simplex virus infection. Dalam Infectious Disease of the Fetus and Newborn Infact, eds Remington J and Klein J. Sauders. Philadelphia, PA. 2001.h.425-46] Tingkat serangan bayi di antara wanita dengan infeksi primer adalah 33 sampai 50%, sementara yang dengan penyakit rekuren hanya menunjukkan tingkat serangan 1 sampai 3%. [44] Sayangnya, hanya 15 sampai 20% wanita yang bayinya mengembangkan infeksi herpes neonatus memiliki riwayat penyakit simtomatik dan hanya 25% memiliki gejala yang relevan saat melahirkan. [[Arvin A, Whitley R. Herpes simplex virus infection. Dalam Infectious Disease of the
Fetus and Newborn Infact, eds Remington J and Klein J. Sauders. Philadelphia, PA. 2001.h.425-46]] Infeksi perinatal termanifestasi pada bulan pertama kehidupan dengan 9% infeksi terjadi pada hari pertama dan 40% pada akhir minggu pertama kehidupan. Ada tiga kategori utama yang terlihat: (1) infeksi kulit, mata dan mulut yang terlokalisir; (2) ensefalitis dengan atau tanpa kulit, mata, dan penyakit mulut; dan (3) infeksi disebarluaskan. Infeksi SSP cenderung terlihat pada hari ke 8 sampai 12 pascapersalinan, sementara kategori lainnya muncul pada hari ke-5 sampai enam pascapersalinan. [Khol S. Herpes Simplex Virus. Dalam Nelson Textbook of Pediatrics, eds Behrman R, Kliegman R and Jenson H. Saunders,. Philadelphia PA 2004. H. 1051-56] Bayi dengan penyakit diseminata memiliki prognosis terburuk. Banyak yang lahir dari ibu dengan infeksi herpes baru yang belum mengembangkan atau secara pasif mengalihkan antibodi terhadap virus ke bayi. Beberapa organ yang terlibat dan tanda dan gejala awal termasuk iritabilitas, kejang, distres pernapasan, sakit kuning, perdarahan diatesis, dan syok. Diagnosis penyakit diseminata sulit karena gejalanya tidak jelas, tidak spesifik, dan serupa dengan sepsis bakteri atau infeksi enterovirus. Hampir sepertiga dari semua bayi dengan herpes neonatus hanya memiliki ensefalitis sebagai manifestasi awal. Manifestasi klinis ensefalitis meliputi kejang, kelesuan, mudah tersinggung, makanan yang buruk, ketidakstabilan suhu, dan fontanel yang menonjol. Seperti penyakit diseminata, tidak semua bayi ini menampilkan ciri khas vesikular exanthem. Infeksi yang terlokalisir ke kulit, mata, dan / atau mulut mungkin tampak jinak namun, jika tidak ada pengobatan, onset ini sering dikaitkan dengan perkembangan selanjutnya dari manifestasi penyakit yang lebih serius. Vesikula kulit dicatat pada 90% dan keratokonjungtivitis dapat terlihat dengan keterlibatan mata. Kerusakan neurologis jangka panjang sering terjadi pada anakanak yang telah sembuh dari ensefalitis. [Arvin A, Whitley R. Herpes simplex virus infection. Dalam Infectious Disease of the Fetus and Newborn Infact, eds Remington J and Klein J. Sauders. Philadelphia, PA. 2001.h.425-46] Penyakit herpes simpleks perlu didiagnosis dengan cepat dan akurat untuk mencegah morbiditas dan mortalitas yang tidak perlu. Infeksi kulit, mata, dan mulut biasanya terdeteksi dalam 24 sampai 36 jam oleh kultur virus. Ensefalitis dapat didiagnosis dengan kultur CSF atau lebih sensitif dengan deteksi DNA oleh PCR. Enzim hati yang abnormal dan kultur virus dari permukaan menunjukkan adanya penyakit diseminata. Serologi bukanlah alat yang dapat diandalkan untuk diagnosis cepat karena
adanya antibodi ibu transplasental. Budaya saluran genital yang positif dari ibu sangat meningkatkan kemungkinan bahwa penyakit bayi baru lahir adalah herpes. Pengobatan harus mencakup asiklovir IV (20 mg / kg / dosis) q8 jam selama 14 sampai 21 hari. Dosis tinggi ini mungkin terkait dengan
neutropenia, sehingga
memerlukan pemantauan jumlah darah. [Khol S. Herpes Simplex Virus. Dalam Nelson Textbook of Pediatrics, eds Behrman R, Kliegman R and Jenson H. Saunders,. Philadelphia PA 2004. H. 1051-56] Hidrasi yang memadai penting untuk meminimalkan nefrotoksisitas. Penempatan di tempat perawatan intensif sangat penting untuk memantau tanda-tanda penyakit diseminata, untuk mengatur aktivitas kejang, dan untuk menyediakan ventilasi mekanik jika perlu. Bayi baru lahir dengan diagnosis ini harus diisolasi untuk mencegah potensi penularan nosokomial. Pada wanita hamil, riwayat penyakit herpes simpleks yang dapat diandalkan harus ditentukan untuk semua pasien. American Academy of Pediatrics dan American College of Obstetrics and Gynecology merekomendasikan operasi caesar jika lesi HSV primer, episode pertama, atau rekuren hadir dalam persalinan. Tingkat serangan penyakit neonatal yang rendah pada wanita dengan infeksi berulang telah membuat beberapa praktisi mempertanyakan penggunaan bedah sesar. (Brown Z, Wald A, Marrow RA, et al. Effect of serologic status and caesarean delivery on transmission rates of herpes simplex from mother to infant. JAMA 2003.h.289:203-9)