UPLOADED : Kenny
PENGAMATAN MIKROSKOPIS DAN SKRINING FITOKIMIA KULIT BATANG PULE (Alstonia scholaris (L.) R. Br.)
MAKALAH PRAKTIKUM
Disusun oleh : Novi Kiswanto Kusniar Sri Rahmini Wanda Indriani Wibowo Hayu Ajeng Raras Amelia Felicia C. P. Kenny Ryan Limanto Rachelia Octavia Bernadetta Arum Wijayanti
(098114001) (098114002) (098114003) (098114004) (098114005) (098114006) (098114007) (098114008)
LABORATORIUM FARMAKOGNOSI FITOKIMIA FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas kasih dan anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan percobaan dan penulisan makalah ini yang dibuat untuk memenuhi salah satu prasyarat telah menempuh matakuliah Praktikum Farmakognosi Fitokimia I di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Dengan segenap ketulusan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada bapak Yohanes Dwiatmaka S.Si., M.Si. sebagai Dosen Pengampu Praktikum Farmakognosi Fitokimia atas waktu dan bimbingan kepada penulis dengan penuh kesabaran selama percobaan ini. Penulis tak lupa juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.
Bapak Laboran Laboratorium Farmakognosi Fitokimia atas segala fasilitas yang diberikan hingga percobaan ini dapat terselesaikan.
2.
Asisten praktikum Farmakognosi Fitokimia I yang telah memberikan bimbingan kepada penulis sehingga percobaan ini dapat selesai dengan baik dan lancar.
3.
Kepada teman-teman tercinta Farmasi 2009-A dan semua pihak yang selalu setia memberikan bantuan, dukungan dan semangat yang luar biasa kepada penulis. Semoga makalah ini dapat menjadi sumbangan yang berarti bagi ilmu pengetahuan.
Akhir kata penulis memohon maaf atas segala keterbatasan dan kekurangan penulis dalam penulisan makalah ini.
Yogyakarta, 10 Desember 2010 Penulis,
(Kelompok A-1) ii
ABSTRAK Telah dilakukan pengamatan mikroskopis dan skrining fitokimia terhadap simplisia kulit batang pule (Alstonia scholaris (L.) R. Br.). Skrining fitokimia dilakukan dengan cara uji kimiawi, secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan dilakukan pengamatan dari sampel uji di bawah mikroskop. Pengujian sampel secara uji kimiawi dilakukan dengan mengekstrak kandungan sampel dengan pelarut yang sesuai, yang kemudian direaksikan dengan reagen sehingga memberikan hasil yang menyatakan isi kandungan dari sampel uji. Pengujian sampel secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT) yang dimaksudkan untuk mendeteksi adanya antrakinon, saponin, tanin, dan alkaloid. Dari pengujian yang telah dilakukan, terlihat sampel pada masing-masing perlakuan memberikan harga Rf yang khas atau karakteristik. Dari hasil skrining fitokimia yang telah dilakukan, simplisia kulit batang pule (Alstonia scholaris (L.) R. Br.) hanya mengandung alkaloid saja. Sedangkan pada pengujian mikroskopis, fragmen yang didapat dari sampel, kemudian dibandingkan dengan literatur/ MMI. Dari hasil pengamatan, sampel yang diuji memang merupakan serbuk simplisia kulit batang pule yang ditandai dengan adanya fragmen berupa sel gelas yang membatu, serabut, sel gabus tangensial, jaringan gabus dengan sel gabus yang membatu, sel batu, dan hablur kalsium oksalat.
iii
DAFTAR ISI JUDUL ......................................................................................................................
i
KATA PENGANTAR...............................................................................................
ii
ABSTRAK ................................................................................................................ iii DAFTAR ISI ............................................................................................................. iv BAB I
PENDAHULUAN ..................................................................................
1
1.1. Latar Belakang...................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah...........................................................................
1
1.3. Tujuan................................................................................................
2
1.4. Manfaat..............................................................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................
3
2.1. Uraian Tumbuhan ..............................................................................
3
2.1.1. Sinonim ....................................................................................
3
2.1.2. Nama Daerah ............................................................................
3
2.1.3. Sistematika Tumbuhan .............................................................
3
2.1.4. Kandungan................................................................................
4
2.2. Metode Ekstraksi ...............................................................................
4
2.3. Skrining Fitokimia.............................................................................
6
2.4. Kromatografi .....................................................................................
6
BAB III METODOLOGI PENELITIAN...........................................................
8
3.1. Alat-Alat yang Digunakan.................................................................
8
3.2. Bahan-Bahan yang Digunakan ..........................................................
8
3.3. Pengambilan Sampel dan Pengolahan Sampel..................................
9
3.3.1. Pengambilan Sampel ................................................................
9
3.3.2. Pengolahan Sampel ..................................................................
9
3.4. Skrining Fitokimia.............................................................................
9
3.4.1. Pengamatan Mikroskopis .........................................................
9
BAB II
iv
3.4.2. Secara Kimiawi ........................................................................ 10 3.4.3. Secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT) .................................. 13 BAB
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................ 17
4.1. Hasil Pengamatan .............................................................................. 17 4.1.1. Pengamatan Mikroskopis ......................................................... 17 4.1.2. Uji Secara Kimiawi .................................................................. 18 4.1.3. Uji Kromatografi Lapis Tipis (KLT)........................................ 21 4.2. Pembahasan ....................................................................................... 25 4.2.1. Identifikasi Secara Mikroskopis ............................................... 25 4.2.2. Uji Kualitatif Secara Kimiawi .................................................. 26 4.2.3. Uji Kualitatif Secara KLT ........................................................ 34 BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................. 42 5.1. Kesimpulan........................................................................................ 42 5.2. Saran .................................................................................................. 42
DARTAR PUSTAKA ............................................................................................... 43 LAMPIRAN/ BLANKO ........................................................................................... 44
v
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tumbuhan merupakan sumber berbagai jenis senyawa-senyawa kimia yang memiliki khasiat sebagai obat. Pemanfaatan tumbuhan sebagai obat merupakan warisan nenek moyang sejak dahulu kala dan telah banyak digunakan dalam kurun waktu yang cukup lama hampir seluruh negara di dunia (Djauhariya dan Hernani, 2004). Pengembangan produksi tanaman obat semakin pesat, dipengaruhi oleh kesadaran masyarakat yang meningkat tentang manfaat tanaman obat. Masyarakat semakin sadar akan pentingnya kembali ke alam (back to nature) dengan memanfaatkan obat–obat alami. Hal ini terbukti dari penggunaan tumbuhan obat untuk memelihara kesehatan dan pengobatan penyakit kronis yang tidak dapat disembuhkan dengan obat kimiawi atau memerlukan kombinasi pengobatan antara obat kimiawi dengan obat dari tumbuhan berkhasiat. Hal lain yang mendorong masyarakat memilih tanaman obat adalah resiko efek sampingnya jauh lebih aman dibandingkan obat-obat kimia (Dalimartha, 1999; Djauhariya dan Hernani, 2004). Salah satu tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai obat oleh
masyarakat Indonesia
adalah tumbuhan pule (Alstonia scholaris (L.) R. Br.). Kulit batang pule bermanfaat sebagai obat demam, menguatkan lambung, memperlancar kencing, dan obat kencing manis (Sutomo dan Putri, 2005). Berdasarkan uraian di atas, maka praktikan melakukan pemeriksaan skrining fitokimia terhadap serbuk simplisia kulit batang pule untuk mengetahui kandungan kimia yang terdapat dalam simplisia tersebut. 1.2. Perumusan Masalah Adapun yang menjadi permasalahan dalam praktikum ini adalah : a. Dari pengamatan mikroskopis, apakah simplisia yang diujikan merupakan kulit batang pule ?
1
b. Dari skrining fitokimia yang dilakukan, golongan senyawa kimia apa saja yang terdapat dalam kulit batang pule ? 1.3. Tujuan Tujuan dari praktikum ini adalah : a. Dari pengamatan mikroskopis, dapat diketahui kebenaran dari simplisia yang diuji (kulit batang pule). b. Untuk mengetahui golongan senyawa kimia yang terdapat dalam kulit batang pule. 1.4. Manfaat Manfaat dari praktikum ini adalah : a. Sebagai bahan informasi tentang fragmen mikroskopis khas yang terdapat dalam kulit batang pule. b. Sebagai bahan informasi tentang golongan senyawa kimia yang terdapat dalam kulit batang pule.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Uraian Tumbuhan Pohon pule (Alstonia scholaris (L.) R. Br.) merupakan pohon yang dapat tumbuh hingga pada ketinggian 1000 m di atas permukaan laut dan dapat mencapai tinggi 25 m. Daun berbentuk bulat telur, tipis dan licin. Bunga berupa malai rata yang muncul pada ujung cabang atau ketiak daun. Buah pule panjang 20 cm dengan biji yang berjambul. Kulit batang pule bermanfaat sebagai obat demam, menguatkan lambung, memperlancar kencing, dan obat kencing manis (Sutomo dan Putri, 2005). 2.1.1. Sinonim Alstonia scholaris (L.) R. Br. memiliki sinonim Echites scholaris L., Echites pala Ham. Dan Tabernaemontana alternifolia Burm. (Sutomo dan Putri, 2005). 2.1.2. Nama Daerah Pule (Alstonia scholaris) dikenal dengan banyak sebutan, seperti pule di Jawa, lame di Sunda, rite di Ambon. Sedangkan secara umum, Alstonia scholaris (L.) R. Br. di Indonesia dikenal dengan nama pulai (Sutomo dan Putri, 2005). 2.1.3. Sistematika Tumbuhan Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Gentianales Suku : Apocynaceae Marga : Alstonia Spesies : Alstonia scholaris (Anonim, 2010).
3
2.1.4. Kandungan Kulit batang pule mengandung alkaloida, ekitamina, ekitenina, alsonina, akiserina, ekitina, ekiretina, ditamina, ekitamidina, ekiteina (Anonim, 1989). 2.2. Metode Ekstraksi Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia yang diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein dll. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam minyak atsiri, alkaloida, flavonoida dll (Anonim, 2000). A. Cara Dingin 1. Maserasi Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Anonim, 2000). 2. Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umum dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus-menerus sampai diperoleh perkolat yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Anonim, 2000).
4
B. Cara Panas 1. Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna (Anonim, 2000). 2. Sokletasi Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Anonim, 2000). 3. Digesti Digesti adalah maserasi kinetik (dengan adanya pengadukan kontinu pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC (Anonim, 2000). 4. Infus Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit) (Anonim, 2000). 5. Dekok Dekok adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 90oC selama 30 menit (Anonim, 2000).
5
2.3. Skrining Fitokimia Skrining fitokimia meliputi analisis kualitatif kandungan dalam tumbuhan atau bagian tumbuhan (akar, batang, daun, bunga, buah, biji), terutama kandungan metabolit sekunder yaitu alkaloida, antrakinon, flavonoid, glikosida jantung, kumarin, saponin (steroid dan triterpenoid), tanin (polifenolat), minyak atsiri (terpenoid), dsb.
Tujuan utama skrining fitokimia ialah untuk mensurvei
tumbuhan untuk mendapatkan kandungan kimia yang berguna untuk pengobatan. Metode yang dipakai untuk melakukan skrining fitokimia harus memenuhi beberapa persyaratan : sederhana, cepat, dapat dilakukan dengan peralatan minimal, selektif terhadap golongan senyawa yang diteliti, bersifat semikuantitatif (Harborne, 1987). Pada identifikasi suatu kandungan tumbuhan, setelah kandungan itu diisolasi dan dimurnikan, pertama-tama harus kita tentukan dahulu kandungannya, kemudian barulah ditentukan jenis senyawa dalam golongan tersebut. Identifikasi lengkap dalam golongan senyawa dan pada pengukuran sifat/ ciri lain yang kemudian dibandingkan dengan data dalam pustaka (Harborne, 1987). 2.4. Kromatografi Pemisahan dan pemurnian kandungan tumbuhan terutama dilakukan dengan menggunakan salah satu dari 4 teknik kromatografi atau gabungan teknik tersebut. Keempat teknik tersebut adalah Kromatografi Kertas (KKt), Kromatografi Lapis Tipis (KLT), Kromatografi Gas Cair (KGC), dan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Pemilihan teknik kromatografi sebagian besar tergantung pada sifat kelarutan dan keatsirian senyawa yang akan dipisah (Harborne, 1987). Kromatografi Lapis Tipis digunakan pada pemisahan zat secara cepat dengan menggunakan zat penyerap berupa serbuk halus yang dilapiskan serba rata pada lempeng kaca. Lempeng yang dilapisi dapat dianggap sebagai "kolom kromatografi terbuka" dan pemisahan berdasarkan pada penyerapan, pembagian, atau gabungannya, tergantung dari jenis zat penyerap dan cara pembuatan lapisan 6
zat penyerap dan jenis pelarut. Perkiraan identifikasi diperoleh dengan pengamatan 2 bercak dengan harga Rf dan ukuran yang lebih kurang sama. Ukuran dan intensitas bercak dapat
digunakan untuk memperkirakan kadar
(Anonim, 1995). Kromatografi lapis tipis adalah cara pemisahan dengan absorbsi pada lapisan tipis adsorben. Metode ini digunakan untuk memisahkan senyawa organik, anorganik dan sintetik. Metode ini dibedakan menjadi 2 fase, fase diam dan fase gerak. Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
gerakan
dalam
KLT
yang
memperngaruhi harga Rf antara lain : 1. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan 2. Sifat dari penyerap dan derivat aktivitasnya 3. Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap 4. Pelarut dan derajat kemurnian fase gerak 5. Derajat kejenuhan dari uap dalam bejana penguapan yang digunakan 6. Teknik percobaan 7. Jumlah cuplikan yang digunakan 8. Suhu 9. Kesetimbangan (Robinson, 1995).
7
BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmakognosi Fitokimia Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang meliputi skrining fitokimia secara kimiawi, secara mikroskopis, dan menggunakan metode kromatografi lapis tipis pada kulit batang pule. Metodologi penelitian yang digunakan adalah metode naturalistik. Parameter yang dilihat adalah warna dari hasil reaksi sampel dengan reagen tertentu, bentuk fragmen yang didapat kemudian dibandingkan dengan literatur yang diacu (MMI), dan tinggi bercak yang dihasilkan pada metode kromatografi lapis tipis. 3.1. Alat-Alat yang Digunakan Alat – alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah tabung reaksi, waterbath, pipet Pasteur, pipet tetes, corong, corong pisah, kertas saring, pipa kapiler, gelas ukur, tabung reaksi. 3.2. Bahan-Bahan yang Digunakan Bahan – bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah serbuk simplisia kulit pule (Alstonia scholaris (L.) R. Br.), aquadest, asam klorida 1%, pereaksi Dragendorff, pereaksi Mayer, serbuk natrium karbonat, kloroform, asam cuka 5%, larutan hidrogen peroksida, asam asetat glasial, toluena, kalium hidroksida 0,5 N, pereaksi besi (III) klorida, larutan natrium klorida 2%, larutan gelatin 1%, asam 3,5-dinitro benzoat, kalium hidroksida 1 N dalam methanol, eter, petroleum eter, methanol, silika gel GF 254, etanol 75%, larutan kloroform-asam asetat (99:1), CHCl3-HAc, larutan methanol-kloroform-asam asetat (49,5:49,5:1), CHCl3MeOH-HAc, larutan methanol-air (1:1), NaHCO3 1M.
8
3.3. Pengambilan Sampel dan Pengolahan Sampel 3.3.1. Pengambilan Sampel Pengambilan bahan tumbuhan dilakukan secara purposif yaitu tanpa membandingkan tumbuhan yang sama dengan daerah lain. Bahan tumbuhan yang digunakan adalah kulit batang pule yang telah dikeringkan, dibeli di Pasar Beringharjo, Jl. Malioboro, Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 3.3.2. Pengolahan Sampel Kulit batang pule yang telah dikumpulkan, kemudian dibersihkan dari bahan pengotor asingnya. Selanjutnya dikeringkan dengan cara dimasukkan ke dalam oven selama 3 hari. Kulit batang pule dianggap kering apabila sudah rapuh (diremas menjadi hancur), kemudian simplisia kulit batang kering diserbuk menggunakan blender, serbuk simplisia disimpan dalam wadah plastik. 3.4. Skrining Fitokimia Skrining Fitokimia dari serbuk simplisia meliputi pengamatan mikroskopis dari serbuk serta pemeriksaan golongan senyawa alkaloida, flavonoida, antrakinon, polifenol, tanin, kardenolida, saponin, minyak atsiri. 3.4.1. Pengamatan Mikroskopis Mengambil sejumlah serbuk kulit pule dan meletakkannya di atas objek gelas. Menambahkan beberapa tetes larutan kloralhidrat. Kemudian difiksasi di atas nyala lampu spiritus. Tambahkan larutan kloralhidrat kembali bila perlu agar tidak kering. Biarkan dingin, lalu tutup dengan gelas penutup. Setelah itu amati dengan mikroskop pada perbesaran lemah (40x - 100x) dan kuat (400x).
9
3.4.2. Secara Kimiawi a.
Uji Pendahuluan Serbuk tumbuhan (berupa kulit batang pule) sebanyak 2 gram ditambah air
sebanyak 10 ml dan dipanaskan selama 30 menit di atas air mendidih. Larutan kemudian disaring melalui kapas. Suatu larutan yang berwarna kuning sampai merah
menunjukkan
adanya
senyawa
yang
mengandung
kromofor
(flavonoida, antrakinon, dsb), dengan gugus hidrofilik (gula, asam, fenolat, dsb). Pada penambahan larutan kalium hidroksida (beberapa tetes), warna larutan menjadi lebih sensitif. b.
Uji Alkaloida Serbuk tumbuhan (berupa kulit batang pule) sebanyak 2 gram dipanaskan
dalam tabung reaksi besar dengan asam klorida 1% sebanyak 10 ml selama 30 menit dalam penangas air mendidih. Suspensi disaring dengan kapas ke dalam tabung reaksi A dan tabung reaksi B sama banyak. Larutan A dibagi dua sama banyak, lalu kedalam larutan A-1 ditambah pereaksi Dragendorff sebanyak 3 tetes dan larutan A-2 ditambah pereaksi Mayer sebanyak 3 tetes. Terbentuknya endapan dengan kedua pereaksi tersebut menunjukkan adanya alkaloida. Keberadaan alkaloida dari basa tertier atau kuarterner dapat ditunjukkan dengan penambahan serbuk natrium karbonat sampai pH 8-9, kemudian dicampur dengan kloroform sebanyak 4 ml, aduk pelan-pelan. Setelah kloroform memisah, diambil dengan pipet Pasteur dan tambahkan asam cuka 5% sampai pH 5, diaduk lalu dipisahkan lapisan atas. Terbentuknya endapan menunjukkan adanya alkaloida dari basa kuarterner. Kemudian lapisan bawah ditambah dengan asam klorida 1% sebanyak 10 tetes diaduk, akan terbentuk 2 lapisan. Ambil lapisan atas serta tambahkan pereaksi Dragendorff sebanyak 2 tetes, terbentuknya endapan menunjukkan alkaloida dari basa tersier.
10
c.
Uji Antrakinon Serbuk tumbuhan sejumlah 300 mg dididihkan selama 2 menit dengan
kalium hidroksida 0,5 N sebanyak 10 ml dan larutan hidrogen peroksida sebanyak 1 ml. Setelah dingin, suspensi disaring melalui kapas. Filtrat sebanyak 5 ml ditambah asam asetat glasial sebanyak 10 tetes sampai pH 5, lalu ditambahkan toluena sebanyak 10 ml. Lapisan atas sebanyak 5 ml dipisahkan dengan dipipet dan dimasukkan kedalam tabung reaksi, Kemudian ditambah kalium hidroksida 0,5 N. Warna merah yang terjadi pada lapisan air (basa) menunjukkan adanya senyawa antrakinon. d.
Uji Polifenol Serbuk tumbuhan sebanyak 2 gram dipanaskan dengan air sebanyak 10
ml selama 10 menit dalam penangas air mendidih. Kemudian saring panaspanas, setelah dingin ditambah 3 tetes pereaksi besi (III) klorida. Apabila terjadi warna hijau-biru, maka menunjukkan adanya polifenolat. Uji diulang dengan filtrat hasil pendidihan serbuk tumbuhan sebanyak 2 g dengan etanol 80% 9-10 ml selama 10 menit dalam penangas air. e.
Uji Tanin Serbuk tumbuhan sebanyak 2 gram dipanaskan dengan 10 ml air selama
30 menit diatas penangas air dan disaring. Kemudian filtrat sebanyak 5 ml hasil penyaringan tadi, ditambah larutan natrium klorida 2% sebanyak 1 ml. Apabila terjadi suspensi atau endapan, disaring melalui kertas saring, kemudian filtrat ditambah larutan gelatin 1% sebanyak 5 ml. Terbentuknya endapan menunjukkan adanya tanin. f.
Uji Kardenolida Filtrat 2 ml dari hasil pemanasan serbuk tumbuhan sebanyak 2 g dengan
air sejumlah 10 ml selama 30 menit diatas tangas air tadi, ditambah dengan
11
asam 3,5-dinitro benzoate sebanyak 0,4 ml dan kalium hidroksida 1 N sebanyak
0,6
ml
dalam
methanol.
Terbentuknya
warna
biru-ungu
menunjukkan adanya kardenolida (glikosida jantung). Jika menginginkan penegasan lebih lanjut, filtrat yang lain sebanyak 2 ml dicampur dengan kloroform sebanyak 2 ml. Kemudian lapisan atas diambil dengan pipet dan lapisan bawah ditambah asam 3,5-dinitro benzoat sebanyak 0,5 ml. Terjadinya warna biru ungu menunjukkan adanya kardenolida. g.
Uji Saponin Tambahkan air sebanyak 10 ml ke dalam tabung reaksi yang berisi serbuk
tumbuhan sebanyak 100 mg, tutup dan kocok kuat-kuat selama 30 detik. Biarkan tabung dalam posisi tegak selama 30 menit. Apabila terbentuk buih setinggi 3 cm dari permukaan cairan, maka menunjukkan adanya saponin. Uji lain dilakukan dengan menggunakan pipa kapiler (diameter 1 mm, panjang 12,5 cm). Larutan hasil pemanasan serbuk tumbuhan sebanyak 2 gram dengan air 10 ml selama 30 menit diatas tangas air, disaring, kemudian filtrat dimasukkan ke dalam pipa kapiler penuh-penuh. Kapiler diletakkan dalam posisi tegak/ vertikal, kemudian cairan dibiarkan mengalir bebas. Sebagai pembanding, dikerjakan hal serupa untuk air suling. Tinggi cairan tertinggal dibandingkan dengan tinggi air suling sebagai pembanding. Apabila tinggi cairan yang diuji setengah atau kurang dari tinggi air suling, maka adanya saponin akan diperhitungkan. h.
Uji Minyak Atsiri Sebanyak 10 g serbuk simplisia ditambah 20 ml eter, kocok, dan disaring.
Kemudian filtrat dikeringuapkan. Bila sedikit berbau aromatik, larutkan dalam residu dengan sedikit etanol, uapkan lagi sampai kering. Apabila terjadi bau aromatik spesifik, maka menunjukkan adanya minyak atsiri.
12
3.4.3. Secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Serbuk simpleks 2-3 gram Disari dengan petroleum eter 10 ml, 50 °C selama 5 menit
Sisa
fraksi petroleum eter (disingkirkan) Disari dengan kloroform-asam asetat(99:1), 10 ml, 50 °C selama 5 menit Fraksi CHCl3-HAc (larutan I)
Sisa Disari dengan metanol-kloroform-asam asetat (49,5:49,5:1), 10 ml, 50 °C selama 5 menit Sisa
fraksi CHCl3-MeOH-HAc (larutan II)
Disari dengan methanol-air (1:1), 10 ml, 50 °C selama 5 menit Sisa fraksi methanol-air (larutan III) (dibuang)
Larutan I : antrakinon, fenolat, flavonoida, kumarin, steroida Larutan II : glikosida antrakinon, glikosida kumarin, saponin, tannin Larutan III : kardenolida, saponin, glikosida antrakinon, glikosida flavonoida
Sistem KLT yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Larutan I Fase diam : Silika gel GF 254 Fase gerak : Etil asetat-benzena (9:1) atau etil asetat-toluena (9:1) Destilat
: FeCl3, garam fast blue B atau vanilin asam sulfat
13
2. Larutan II Fase diam : a. Silika gel GF 254 b. Silika gel GF 254 c. Silika gel GF 254 Fase gerak : a. n butanon-asam asetat-air (5:1:4) v/v fase atas b. etil asetat-asam formiat-asam asetat-air (100:11:11:27) v/v c. etil asetat-metanol-air (100:13,5:10) v/v Reaksi
: a. besi (III) klorida, alumunium klorida b. sitroborat c. KOH etanolis
3. Larutan III Fase diam : a. Silika gel GF 254 c. Silika gel GF 254 d. Selulosa Fase gerak : a. butanon-asam asetat-air (5:1:4) v/v fase atas b. etil asetat-asam formiat-asam asetat-air (100:11:11:27) v/v c. etil asetat-metanol-air (100:13,5:10) v/v Reaksi
: a. besi (III) klorida, alumunium klorida b. sitroborat c. KOH etanolis
Larutan pembanding yang digunakan : a. Flavonoida : larutan rutin 0,05 % dalam metanol b. Antrakinon : larutan Rhei Radix sebanyak 0,5 g dipanaskan 5 menit dalam methanol sebanyak 5 ml, disaring, filtat diuapkan sampai 0,5 ml. Ditotolkan sebanyak 20 µL pada KLT. c. Saponin
: larutan daging buah Sapindus rarak sebanyak 2 g, direfluks dengan etanol 75 % sebanyak 10 ml selama 10 menit.
d. Kumarin
: larutan Rutae Herba sebanyak 0,5 g dipanaskan dalam metanol sebanyak 5 ml sambil diaduk selama 30 menit, saring, filtrat diuapkan sampai 0,5 ml. Ditotolkan 20 µL 14
pada KLT. Rutae Herba berasal dari tanaman Ruta graveolens. e. Tanin
: larutan asam tanat 0,05 % dalam etanol 70 % (10 (1)
f. Kardenolida: larutan digoksin lanatosida C 5 mg dalam 2 ml methanol pada 60°C g. Alkaloida : larutan alkaloida 1% dalam etanol. Ditotolkan 10 µL. Alkaloida digunakan tergantung dari suku tumbuhan tersebut.
15
UJI KUALITATIF ALKALOIDA SECARA KLT Serbuk simplisia 2-3 g Disari dengan petroleum eter 10 ml selama 5 menit
Sisa (dibuang)
Fraksi petroleum eter
Disari dengan HCl 1 % 10 ml, 50°C, selama 5 menit Sisa Fraksi asam klorida (dibuang) Diuji dengan Dragendorff, bila positif hasil +, tambahkan NaHCO3 1M sampai pH 8-9, kemudian disari dengan kloroform 10 ml.
Lapisan atas
Lapisan bawah
Dinetralkan dengan asam asetat
Larutan I
Lapisan bawah (dibuang)
disari dengan HCl 1%
Lapisan atas (larutan II)
Larutan I : untuk uji alkaloida tertier Larutan II : untuk uji alkaloida kuartener
Sistem KLT yang digunakan : Fase diam : Silika gel GF 254 Fase gerak : sikloheksana-dietilamina (9:1) v/v atau tertier butanol-kloroform-dietil amina (2:7:1) v/v Deteksi
: pereaksi Dragendorff KLT LP
16
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pengamatan 4.1.1. Pengamatan Mikroskopis Hasil Pengamatan
Fragmen mikroskopis berdasarkan literatur
(Sumber : MMI, 1989)
17
4.1.2. Uji Reaksi Kimiawi Keterangan Uji
Pengamatan
Hasil
Kuning kemerah-merahan (+) : terdapat senyawa yang mengandung kromofor (flavonoida, antrakinon, dsb), dengan gugus hidrofilik (gula, asam, fenolat, dsb).
Uji Pendahuluan
Larutan kuning kemerahmerahan
Terbentuk endapan pada kedua pereaksi (+) : sampel mengandung alkaloid. Kiri : A-1 (Dragendorff), endapan, larutan merah. Kanan : A-2 (Mayer), endapan, larutan putih keruh.
Uji Alkaloid
Terdapat endapan (+) : sampel mengandung alkaloid basa kuartener.
Kuartener : ada endapan
Tidak terdapat endapan (-) : sampel tidak mengandung alkaloid basa tersier.
Tersier : tidak ada endapan
18
Bening (-) : sampel tidak mengandung antrakinon. Hasil (+) jika larutan berwarna merah.
Uji Antrakinon
Larutan bening
Hijau keruh (+) : sampel mengandung polifenol.
Uji Polifenol
Larutan hijau keruh
Tidak terbentuk endapan (-) : sampel tidak mengandung tanin. Hasil (+) jika terbentuk endapan.
Uji Tanin
Tidak terbentuk endapan
Merah-kecoklatan (-) : tidak mengandung kardenolida. Hasil (+) jika larutan berwarna biru-ungu.
Uji Kardenolida
Larutan merah-kecoklatan
Tidak terbentuk buih (-) : sampel tidak mengandung saponin. Hasil (+) jika terbentuk buih.
Uji Saponin
Tidak terbentuk buih
19
Uji Minyak Atsiri
Tinggi larutan uji sama dengan tinggi aquadest.
Tinggi uji sama dengan tinggi aquadest (-) : sampel tidak mengandung saponin. Hasil (+) jika tinggi cairan setengah atau kurang dari tinggi air suling
Dalam dietil eter : berbau aromatik Dalam etanol : berbau aromatik
Bau aromatik (+) : sampel mengandung minyak atsiri.
20
4.1.3. Uji Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Standar Fase diam Fase Gerak Deteksi
: Antrakinon : Silika gel GF 254 : Etil asetat : toluena (9 : 1) : UV 254 nm ungu : UV 365 nm atas orange, bawah ungu
Standar
8,2 cm Rf = = 0,82 10 cm HRf = 0,82 x 100 = 82
Standar Fase diam Fase Gerak Deteksi
Standar
Uji 1
Uji 2
7,8 cm Rf = = 0,78 10 cm HRf = 0,78 x 100 = 78
8,2 cm Rf = = 0,82 10 cm HRf = 0,82 x 100 = 82
Uji 1
Uji 2
: Saponin : Silika gel GF 254 : n-butanol : asam asetat : air (5:1:4) : UV 365 nm putih
7 cm Rf = = 0,7 10 cm HRf = 0,7 x 100 = 70
5,3 cm Rf = = 0,53 10 cm HRf = 0,53 x 100 = 53
5 cm Rf = = 0,5 10 cm HRf = 0,5 x 100 = 50
Uji 3
8,3 cm Rf = = 0,83 10 cm HRf = 0,83 x 100 = 83
Uji 3
5,1 cm Rf = = 0,51 10 cm HRf = 0,51 x 100 = 51
21
Standar Fase diam Fase Gerak Deteksi
: Tanin : Silika gel GF 254 : etil asetat : asam formiat : asam asetat : air (100 : 11: 11: 27) : UV 365 nm putih
Standar
8,6 cm Rf = = 0,86 10 cm HRf = 0,86 x 100 = 86
Standar Fase diam Fase Gerak Deteksi
Standar
Uji 1
8,5 cm Rf = = 0,85 10 cm HRf = 0,85 x 100 = 85
Uji 2
8,4 cm Rf = = 0,84 10 cm HRf = 0,84 x 100 = 84
Uji 3
8,2 cm Rf = = 0,82 10 cm HRf = 0,82 x 100 = 82
: Tanin : Silika gel GF 254 : etil asetat : methanol : air (100 : 13,5 :10) : UV 254 nm ungu
8 cm Rf = = 0,8 10 cm HRf = 0,8 x 100 = 80
Uji 1
8 cm Rf = = 0,8 10 cm HRf = 0,8 x 100 = 80
Uji 2
8 cm Rf = = 0,8 10 cm HRf = 0,8 x 100 = 80
Uji 3
8 cm = 0,8 10 cm = 0,82 x 100 = 82
Rf =
HRf
22
Standar Fase diam Fase Gerak Deteksi
: Saponin : Silika gel GF 254 : butanol : asam asetat : air (5 : 1: 4) : UV 254 nm putih
Standar
7,8 cm Rf = = 0,78 10 cm HRf = 0,78 x 100 = 78
Standar Fase diam Fase Gerak Deteksi
Standar
Uji 1
9,1 cm Rf = = 0,91 10 cm HRf = 0,91 x 100 = 91
Uji 2
8,8 cm Rf = = 0,88 10 cm HRf = 0,88 x 100 = 88
Uji 3
8,8 cm Rf = = 0,88 10 cm HRf = 0,88 x 100 = 88
: Saponin : Silika gel GF 254 : kloroform : metanol : air (64 : 50: 10) : UV 365 nm ungu
7,6 cm Rf = = 0,76 10 cm HRf = 0,76 x 100 = 76
Uji 1
6,7 cm Rf = = 0,67 10 cm HRf = 0,67 x 100 = 91
Uji 2
6,9 cm Rf = = 0,69 10 cm HRf = 0,69 x 100 = 69
Uji 3
6,7 cm Rf = = 0,67 10 cm HRf = 0,67 x 100 = 67
23
Standar Fase diam Fase Gerak Deteksi
: Saponin : Selulosa : t-butanol : asam asetat : air ( 4: 1 : 5) : UV 254 nm putih
Standar
7,8 cm Rf = = 0,78 10 cm HRf = 0,78 x 100 = 78
Uji 1
5,8 cm Rf = = 0,58 10 cm HRf = 0,58 x 100 = 58
Uji 2
5,7 cm Rf = = 0,57 10 cm HRf = 0,57 x 100 = 57
Uji 3
5,6 cm Rf = = 0,56 10 cm HRf = 0,56 x 100 = 56
Uji Alkaloid dengan KLT Standar : Skopolamina Fase Gerak : sikloheksana-dietilamina (9:1) v/v Fase diam : Silika gel GF 254 Deteksi : Disemprot dengan Pereaksi Dragendorff : UV 254 nm ungu
Standar
1,3 cm Rf = = 0,13 10 cm HRf = 0,13 x 100 = 13
Larutan 1
0,2 cm Rf = = 0,02 10 cm HRf = 0,02 x 100 = 2
Larutan 2
0,15 cm = 0,015 10 cm HRf = 0,015 x 100 = 15 Rf =
24
4.2. Pembahasan Pada percobaan kali, praktikan melakukan “Penapisan (Skrinning) Fitokimia” yang bertujuan agar setelah melakukan praktikum, para mahasiswa diharapkan mampu mengidentifikasi Senyawa golongan flavonoida, antrakinon, saponin (steroid dan triterpenoid), alkaloida, serta golongan fenolik dan polifenolik. Pada percobaan ini, digunakan simplisia berupa Alstoniae Cortex (kulit pule) di mana simplisia ini diidentifikasi secara mikroskopis dan secara kualitatif secara kimia dan KLT . 4.2.1. Identifikasi Secara Mikroskopis Pada percobaan ini, juga dilakukan uji secara mikroskopik yang bertujuan agar mahasiswa mampu mengidentifikasi simplisia Alstoniae Cortex, khususnya yaitu menggunakan mikroskop (secara mikroskopik). Identifikasi
awal yaitu
dapat dilakukan secara makroskopik dengan uji organoleptis meliputi warna, bau, bentuk. Simplisia digunakan sudah dalam bentuk serbuk halus (dengan proses penumbukan dan menggunakan blender), warna cokelat muda, dan tidak berbau. Sebelum diserbukkan, bentuknya seperti potongan-potongan kayu yang mudah dipatahkan, permukaannya kasar/ tidak rata, berwarna cokelat muda. Sebelum diamati di bawah mikroskop, di preparat diteteskan kloralhidrat, tujuannya untuk melisiskan klorofil pada sel dan memperjelas sehingga memudahkan pengamatan pada mikroskop. Selain itu, juga dilakukan fiksasi dengan melewatkan preparat yang sudah jadi di atas nyala api Bunsen. Tujuan dari fiksasi ialah untuk melisiskan sel. Proses fiksasi ini jangan terlalu lama atau jangan sampai gosong karena jika terlalu gosong, maka sel-sel yang akan kita amati malah tidak akan terlihat dan sel-sel pada kulit pule malah akan rusak. Pada percobaan yang dilakukan, digunakan simplisia Alstoniae Cortex (kulit pule) dalam bentuk serbuk, dan didapatkan fragmen-fragmen pengenal, antara lain selsel gabus yang membatu, serabut, sel gabus tangensial, jaringan gabus dengan sel gabus membatu, sel batu, dan hablur kalsium oksalat. Sebagai pembanding,
25
digunakan MMI Edisi V, pada bagian mikroskopis serbuk, tertera bahwa Alstoniae Cortex memiliki warna kelabu kecoklatan. Fragmen pengenal adalah sel batu tunggal dan berkelompok, jaringan gabus yang sebagian membatu, fragmen gabus tampak tangensial, serabut, hablur kalsium oksalat, butir pati. Sehingga dapat dikatakan bahwa hasil percobaan yang didapat sesuai dengan yang tertera pada MMI. Tetapi, pada hasil yang didapat praktikan tidak selengkap yang ada pada MMI karena praktikan kurang menguasai dalam penggunaan mikroskop dan serbuk simplisia yang digunakan praktikan terlalu tebal sehingga sel-sel terlihat menumpuk pada mikroskop. Masing-masing simplisia memiliki ciri khas berupa fragmen pengenal yang membedakannya dengan simplisia lain. Oleh karena itu, identifikasi secara mikroskopik maupun makroskopik perlu dilakukan. Tujuan identifikasi simplisia selain untuk mengenali suatu simplisia, juga mencegah agar tidak terjadi kesalahan dalam penggunaan simplisia, khususnya dalam hal ini simplisia sebagai bahan obat. Hal tersebut dikarenakan secara visual banyak simplisia yang mirip namun berbeda fungsinya, sehingga kita harus berhati-hati dan sangat perlu untuk melakukan identifikasi sebagai langkah awal. 4.2.2. Uji Kualitatif Secara Kimiawi Pada percobaan ini, dilakukan Uji kualitatif secara kimiawi yang bertujuan untuk mengidentifikasi adanya kandungan metabolit sekunder bioaktif yaitu flavonoida, antrakinon,
saponin (steroid dan triterpenoid),
alkaloida, serta
golongan fenolik dan polifenolik pada simplisia Alstonia Cortex berdasarkan reaksi warna yang terjadi. 1. Pembuatan serbuk simpleks Dalam pembuatan serbuk simpleks, digunakan simplisia kulit pule (Alstonia Cortex). Sebelum dibuat dalam bentuk serbuk, simplisia harus dipatahkan menjadi kecil-kecil agar mudah untuk diserbukkan di dalam blender. Kemudian, dicuci terlebih dahulu, untuk menghilangkan pengotor 26
seperti pasir, tanah, dan serangga-serangga yang menempel. Apabila secara teori, kulit pule dikeringkan di bawah cahaya matahari dengan diberi tutup kain hitam, dengan tujuan agar sisa-sisa air yang terdapat dalam simplisia menguap dan nantinya dapat digiling dengan baik dan didapat serbuk yang kering. Setelah di keringkan di bawah sinar matahari selama 1 minggu, dilakukan pengeringan di dalam oven selama 1 minggu juga, dengan tujuan agar simplisia benar-benar kering, karena jika hanya menggunakan sinar/cahaya matahari dianggap kurang begitu sempurna, dan didukung dengan cuaca yang tidak memungkinkan untuk melakukan pengeringan di bawah sinar matahari, karena akan dibutuhkan waktu yang sangat lama. Tetapi, pengeringan yang dilakukan oleh praktikan hanya dengan menggunakan oven saja karena keterbatasan waktu yang dimiliki dan sedikitnya sinar matahari yang muncul. Setelah kering, serbuk dipotong lebih kecil lagi sehingga mudah digiling. Setelah kecil, serbuk digiling/ ditumbuk dengan menggunakan penumbuk yang terbuat dari besi, sehingga lebih cepat dalam penghancuran. Setelah ditumbuk, maka serbuk diblender dengan menggunakan blender, sehingga diperoleh serbuk yang ukurannya kecil dan halus. Diperlukan serbuk yang ukurannya kecil dan halus dikarenakan agar saat dilarutkan akan lebih mudah bercampur, dan saat diekstrakan diperoleh ekstrak yang banyak. 2. Uji pendahuluan Pada uji pendahuluan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah simplisia yang diidentifikasi memiliki kromofor (flavonoida, antrakinon, dll) dan gugus hidrofilik (gula, asam, fenolat, dll). Dengan melakukan uji pendahuluan maka kita dapat mengetahui reaksi mana yang akan dilakukan, sehingga bahan yang dibutuhkan tidak terbuang percuma. Dalam pembuatan ekstrak dari serbuk simplisia yang digunakan di larutkan dalam aquadest 10 mL selama 30 menit. Dilakukan pemanasan
27
untuk mempercepat reaksi. Setelah 30 menit, disaring menggunakan kapas, karena hasil dari pemanasannya bentuknya adalah serbuk dan aquadest menjadi seperti gumpalan yang tidak bisa disaring dengan menggunakan kertas saring, karena kandungan airnya terlalu sedikit. Setelah disaring menggunakan kapas, diperoleh warna coklat kemerahan. Warna yang dimaksud seharusnya warna kuning sampai merah, tetapi yang diperoleh merahnya kurang begitu terlihat, sehingga perlu dilakukan penambahan larutan kalium hidroksida. Setelah ditambah dengan KOH, dapat terlihat warna merah yang jelas, sehingga dapat disimpulkan bahwa Alstonia Cortex mengandung kromofor dan gugus hidrofilik. 3. Uji alkaloida Pada uji alkaloida tujuannya adalah untuk mengetahui apakah dalam simplisia yang diteliti mengandung adanya alkaloid atau tidak. Uji ini dapat dilakukan dengan menggunakan reaksi pengendapan, reaksi warna, dan KLT. Tetapi pada percobaan ini dilakukan dengan reaksi pengendapan dan reaksi warna. Pada saat pemanasan, digunakan aquadest 10 mL dan dididihkan dengan ditambah HCl 1%, tujuan penambahan HCl 1% adalah untuk mengubah/ membentuk garam dari alkaloid yang bersifat basa yang dipercepat dengan pemanasan. Kemudian dipanaskan sampai diperoleh ekstrak yang kental dan berbentuk seperti suspensi, kemudian disaring menggunakan kapas, karena jika menggunakan kertas saring, tidak dapat disaring, karena terlalu kental. Setelah disaring, kemudian didapat ekstrak, dan ekstraknya dibagi dalam 2 tabung reaksi, karena akan diberi 2 perlakuan yang berbeda. Pada tabung yang pertama (tabung A), ekstrak yang diperoleh dipisah menjadi ekstrak A-1 dan ekstrak A-2. Pada tabung A-1 ditambah 28
pereaksi Dragendorff dan diperoleh warna orange tua dan ada endapan, dan pada tabung A-2 ditambah dengan pereaksi Mayer dan diperoleh hasil kuning keruh dan ada endapan. Berdasarkan hasil yang diperoleh didalam percobaan dapat kita simpulkan bahwa ekstrak simplisia mengandung alkaloida golongan III. Pada tabung yang kedua (tabung B), ekstrak yang diperoleh ditambah dengan natrium karbonat sampai pH yang diperoleh 8-9, kemudian setelah dibasakan maka dicampur dengan kloroform kemudian diaduk pelan-pelan. Setelah diaduk, maka kloroform dapat memisah kembali, kemudian kloroform diambil dengan menggunakan pipet Pasteur. Pemisahan larutan tidak menggunakan corong pisah karena zat yang memisah dapat terlihat jelas dan cairan yang diperoleh sangat sedikit, sehingga tidak efektif. Larutan ditambah dengan kloroform yang berfungsi untuk
menghilangkan
senyawa-senyawa
yang
mungkin
bisa
mempengaruhi hasil yang akan diperoleh, seperti pengotor. Setelah dipisahkan dari kloroformnya maka ekstrak yang diperoleh ditambahkan dengan asam cuka sampai pH 5, kemudian terjadi pemisahan pada tabung B. Dari pemisahan itu kemudian antara lapisan atas dan bawah dipisahkan dan dipindahkan ke tabung reaksi lainnya. Pada lapisan atas ternyata menimbulkan endapan jika ditambah dengan Dragendorff, endapan berwarna orange agak coklat. Hal ini membuktikan bahwa alkaloid yang dikandung merupakan alkaloid basa kuartener. Pada lapisan bawah, ditambah HCl 1% dan diaduk, kemudian akan terbentuk 2 lapisan dan lapisan atasnya ditambah dengan pereaksi Dragendorff. Dari hasil percobaan tidak diperoleh endapan, sehingga dapat disimpulkan bahwa ekstrak simplisia ini tidak mengandung alkaloida basa tersier. Tidak adanya alkaloida basa tersier ini mungkin karena pada sampel uji memang tidak terkandung alkaloid tersier ataupun kesalahan yang dilakukan oleh praktikan karena proses pemisahan yang kurang sempurna sehingga masih
29
tertinggal zat-zat yang tidak diperlukan atau karena pencucian alat yang kurang bersih. Dari hasil yang didapat pada percobaan ini, sudah sesuai dengan data yang ada pada MMI karena kulit pule memang mengandung alkaloid. 4. Uji antrakinon Tujuan dilakukannya percobaan ini adalah untuk mengetahui adanya senyawa antrakinon. Uji ini dilakukan dengan mendidihkan ekstrak serbuk simplisia dalam KOH 0,5N dan hidrogen peroksida selama 2 menit sehingga diperoleh hasil ekstraksi yang maksimal. Kemudian hasil dari ekstraksi tersebut disaring menggunakan kapas juga, karena hasil pemanasan hanya diperoleh sedikit sekali, sehingga jika disaring menggunakan kertas saring, hasil ekstraksi yang diperoleh akan lebih sedikit. Setelah itu, ekstrak ditambahkan dengan asam asetat glasial sampai pH 5 lalu ditambahkan toluena. Penambahan toluena ini berfungsi untuk menghilangkan senyawa-senyawa pengotor yang mungkin bisa mempengaruhi hasil dari reaksi yang akan dilakukan. Setelah itu akan tebentuk 2 lapisan, lapisan yang atas dipisahkan dengan menggunakan pipet, kemudian dimasukan dalam tabung reaksi, dan ditambahkan dengan KOH 0,5N. Dari percobaan, hasil yang diperoleh adalah tidak terbentuk warna merah pada lapisan airnya, yang menunjukan tidak adanya senyawa antrakinon. Hasil yang didapatkan ini sesuai dengan data pada MMI karena kulit pule memang tidak memiliki kandungan antrakinon. 5. Uji polifenol Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui adanya senyawa polifenolat yang terdapat dalam simplisia yang diteliti. Uji dimulai dengan memanaskan serbuk simplisia dalam air selama 10 menit untuk
30
memperoleh ekstrak yang maksimal. Hasil dari ekstraksi kemudian disaring menggunakan kertas saring sehingga diperoleh ekstrak dari serbuk simplisia. Kemudian ditunggu dingin dan baru ditambahkan dengan besi (III) klorida. Penambahan besi (III) klorida dilakukan setelah ekstrak dingin dikarenakan besi (III) klorida dapat teroksidasi dan menjadi zat yang bersifat toksik. Dari hasil yang didapat bahwa cairan berwarna hijau tua keruh. Sehingga dapat disimpulkan bahwa serbuk simplisia mengandung senyawa polifenolat. Kemudian
dilakukan
pengulangan
untuk
ekstraksi
dengan
menggunakan etanol. Dari hasil yang diperolah yaitu didapat hasil yang sama dengan pengekstraksian dengan menggunakan air, yaitu diperoleh warna hijau tua keruh, sehingga dapat disimpulkan bahwa senyawa yang dikandung merupakan senyawa polifenolat. Hasil yang didapatkan ini tidak sesuai dengan data pada MMI karena kulit pule tidak memiliki kandungan polifenol. Perbedaan hasil yang didapat ini dikarenakan proses pemanasan pada suhu yang tidak seharusnya karena waterbath yang digunakan untuk bersama-sama dan suhunya tidak diatur. Selain itu, juga karena pencucian alat yang kurang bersih di mana masih tertinggal bekasbekas zat lain yang menempel pada tabung reaksi. 6. Uji tanin Percobaan ini digunakan untuk membuktikan adanya senyawa tanin dalam serbuk simplisia yang diteliti. Dalam percobaan dilakukan pemanasan simplisia untuk diperoleh hasil ekstraksi yang maksimal. Setelah dilakukan pemanasan, maka filtrat disaring dengan menggunakan kertas saring, karena dihasilkan filtrat yang banyak sehingga tidak susah disaring menggunakan kertas saring. Setelah disaring kemudian ditambah dengan natrium klorida 2% sebanyak 1 mL. penambahan dari NaCl ini bertujuan untuk membentuk
31
endapan apabila bereaksi dengan zat yang terkandung di dalam simplisia. Dari hasil percobaan, diperoleh hasil kuning teh dan ditemukan endapan, kemudian endapan disaring, dan filtrat yang didapat ditambahkan dengan larutan gelatin 1% untuk memperjelas endapan yang ada. Ternyata dari hasil yang didapat, tidak menunjukan adanya endapan setelah ditambah dengan larutan gelatin 1%, maka dapat disimpulkan bahwa simplisia yang dimaksud tidak mengandung senyawa tanin. Hasil yang didapatkan oleh praktikan sesuai dengan data pada MMI karena pada kenyataannya, kulit pule memang tidak mengandung tanin. 7. Uji kardenolida Pada percobaan kali ini, ditujukan untuk mengetahui apakah serbuk simplisia yang diteliti mengandung senyawa kardenolida. Pada percobaan ini diambil filtrat yang sudah terbentuk sebanyak 2 mL, karena untuk filtrat yang lainnya digunakan untuk uji penegasan. Pada filtrat yang pertama, ditambahkan asam 3,4-dinitrobenzoat dan KOH 1N dalam methanol. Dan dari hasil yang diperoleh ternyata diperoleh warna merah kecoklatan yang menunjukan tidak adanya senyawa kardenolida. Jika terdapat senyawa kardenolida maka akan timbul warna biru-ungu. Uji penegasan tidak dilakukan. Hal ini dikarenakan pada percobaan yang pertama tidak ditemukan adanya senyawa kardenolida, maka dari itu tidak perlu dilakukan uji penegasan, karena buang-buang waktu dan bahan sebab hasil yang diperoleh adalah sama saja. Prinsip dari uji penegasan adalah untuk menegaskan bahwa reaksi yang terjadi atau terbentuk adalah benar adanya. Hasil yang didapatkan oleh praktikan sesuai dengan data pada MMI karena pada kenyataannya, kulit pule memang tidak mengandung kardenolida.
32
8. Uji saponin Pada percobaan kali ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat senyawa saponin pada simplisia yang sedang diteliti. Pada percobaan dilakukan 2 perlakuan yang berbeda pada setiap serbuk. Pada tabung yang pertama, dilakukan dengan cara menambahkan serbuk dengan air sebanyak 10 mL, kemudian dikocok kuat-kuat dan didiamkan selama 30 detik. Tujuan pendiaman ini adalah agar terbentuk reaksi yang maksimal sehingga hasil yang diperoleh valid. Dari hasil percobaan ternyata tidak diperoleh buih setinggi 3 cm, sehingga dapat disimpulkan bahwa simplisia yang diteliti tidak mengandung senyawa saponin. Jika mengandung saponin, maka akan terbentuk buih setinggi 3 cm. Pada percobaan kedua, sebelumnya dilakukan pemanasan pada serbuk yang telah dicampur dengan air dan dibiarkan selama 30 menit. Setelah disaring kemudian filtrat yang didapat dimasukan kedalam pipa kapiler hingga penuh dan kemudian dibiarkan mengalir bebas dan dibandingkan dengan air. Dari hasil yang diperoleh ternyata tinggi minyak atsiri sama dengan tinggi air sebagai larutan pembanding. Hal ini membuktikan bahwa senyawa yang terkandung di dalam simplisia tidak terdapat senyawa saponin. Jika tinggi filtrat setengah atau kurang dari tinggi air suling maka filtrat yang diuji mengandung saponin. Fungsi air sebagai larutan pembanding karena air sudah diketahui komposisi yang terdapat didalamnya, sehingga sudah merupakan senyawa pembanding yang pasti. Hasil yang didapatkan ini sesuai dengan data pada MMI karena kulit pule memang tidak memiliki kandungan saponin. 9. Uji minyak atsiri Pada percobaan ini dilakukan dengan maksud agar mengetahui apakah simplisia yang diteliti mengandung minyak atsiri atau tidak. Dalam 33
percobaan dilakukan dengan cara mengocok 10 gram serbuk simplisia dengan 20 mL eter dan kemudian disaring. Dari hasil pengujian, didapat bau aromatik yang menunjukkan bahwa simplisia yang diuji mengandung minyak atsiri. Setelah didapat filtrat, kemudian residu yang didapat dilarutkan dengan sedikit etanol dan kemudian diuapkan hingga kering. Ternyata dapat tercium bau aromatik, sehingga dapat disimpulkan bahwa simplisia yang diteliti mengandung minyak atsiri. Hasil yang didapatkan oleh praktikan tidak sesuai dengan data pada MMI karena pada kenyataannya, kulit pule tidak mengandung minyak atsiri. Perbedaan hasil yang didapat antara data MMI dengan percobaan mungkin dikarenakan pencucian alat yang kurang bersih di mana masih ada zat-zat berbau aromatik yang tertinggal di dalam alat atau masih ada zat lain yang ada di dalam alat sehingga bereaksi dengan campuran tadi dan menimbulkan bau aromatik. 4.2.3. Uji Kualitatif Secara KLT Pada percobaan ini bertujuan untuk mengidentifikasi kandungan kimia dalam simplisia Alstoniae cortex (kulit pule) secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Kromatografi terbentuk apabila terdapat satu fase diam dan satu fase bergerak. Fase diam dapat berupa padatan atau kombinasi cairan-padatan, sedangkan fase gerak berupa cairan/gas. Fase diam merupakan fase yang menyerap senyawa yang akan diidentifikasi di mana fase ini digunakan untuk menahan senyawa sekaligus digunakan untuk tempat jalannya senyawa. Fase diam yang digunakan di sini kebanyakan berupa silika GF 254 yang artinya adalah gel silika yang dapat berfluorosensi pada λ 254 nm dengan sinar UV. Saat disinari dengan sinar UV, silika ini akan berwarna hijau. Fase diam yang digunakan di sini tidak hanya silika GF 254 melainkan juga digunakan selullosa karena terdapat senyawa-senyawa yang bersifat basa di mana jika digunakan silika GF 254 nm yang bersifat asam, ditakutkan keduanya malah akan bereaksi dan elusinya malah tidak akan terlihat sehingga digunakan sellulosa di mana
34
sellulosa tidak akan berikatan dengan senyawa di dalam simplisia tersebut.. Fase gerak merupakan fase yang digunakan untuk melarutkan zat uji. Fase bergerak mengalir melalui fase diam dan membawa komponen-komponen yang terdapat dalam campuran. Komponen-komponen yang berbeda bergerak pada laju yang berbeda. Prinsip kerja KLT yaitu memisahkan sampel berdasarkan perbedaan kepolaran antara sampel dengan pelarut yang digunakan. Fase gerak merupakan pelarut atau campuran pelarut yang sesuai, disesuaikan dengan jenis sampel yang ingin dipisahkan. Semakin dekat kepolaran antara sampel dengan eluen larutan/ campuran larutan, maka sampel akan semakin terbawa oleh fase gerak. Campuran senyawa pada fase gerak harus memiliki perbandingan yang benar. Hal ini bertujuan agar senyawa tidak terelusi naik terus ke atas bersama fase gerak tapi dapat berhenti di tengah sehingga diperoleh nilai Rf antara 0,2-0,8. Jumlah fase gerak yang digunakan sangat bergantung pada besarnya chamber/ wadah di mana banyaknya fase gerak yang digunakan ± 20 mL. Di dalam KLT, digunakan standar yang berfungsi sebagai pembanding. Apabila simplisia kita gunakan memiliki kandungan metabolit sekunder bioaktif, maka antara sampel dengan standar akan memiliki warna yang sama jika dilihat dari sinar UV dan memiliki nilai Rf yang sama. Pada saat penotolan, paling tidak dilakukan 3 kali agar ketika dilihat di bawah sinar UV, pergerakan/ jarak elusi lebih terlihat jelas. Akan tetapi, antara penotolan 1 dengan penotolan lain harus ditunggu kering terlebih dahulu baru ditotolkan agar warna cairan pada silika gel lebih terlihat tebal sehingga mempermudah dalam melihat elusi dan jika tidak ditunggu hingga kering, cairannya malah dapat terserap lagi di dalam pipa kapiler atau kuantitas cairan pada silika tidak bertambah (tetap) karena silika gel belum sempurna dalam menyerap cairan yang sebelumnya. Pada saat penotolan, penotolan yang satu dengan penotolan lain harus memiliki jarak yang agak jauh karena jika jarak penotolan terlalau dekat, ditakutkan pergerakan ke atas satu sama lain bisa saling bertabrakan sehingga kita tidak bisa melihat bagaimana jarak eluasi yang terbentuk. Pada saat penotolan, juga jangan terlalu banyak karena jika
35
cairan yang ditotolkan terlalu banyak dan menjadi melebar, akan mempersempit ruang gerak senyawa untuk berelusi sehingga akan bertabrakan satu sama lain. Alasan perlunya dilakukan identifikasi secara KLT karena pada proses KLT ini, terjadi pemisahan dari ekstrak yang memiliki banyak kandungan yang bermacam-macam dan kandungan ini dapat terpisah-pisah sehingga kita dapat menggunakan kandungan tertentu yang kita inginkan. Proses pemisahan ini dapat terjadi karena adanya perbedaan afinitas antara senyawa dengan fase gerak dan fase diamnya. Dalam percobaan dilakukan uji kualitatif secara KLT dan uji kualitatif secara KLT untuk alkaloid. Pada uji kualitatif secara KLT dibuat tiga larutan percobaan, sebagai berikut: 1. Larutan I Larutan ini didapat dari serbuk kulit pule yang telah halus yang disari dengan petroleum eter pada suhu 50ºC selama 5 menit. Kemudian, menggunakan sisa serbuk tadi untuk disari kembali dengan kloroformasam asetat (99:1) pada suhu 50ºC selama 5 menit sehingga terbentuk sisa dan fraksi CHCl3-HAc, di mana fraksi CHCl3-HAc diambil sebagai Larutan 1. Proses penyarian berfungsi untuk memisahkan kandungan yang akan kita identifikasi dari ekstrak di mana kandungan yang akan kita identifikasi yaitu glikosida antrakinon dari kandungan lainnya di dalam ekstrak. Di sini, digunakan standar berupa antrakinon, sebagai fase gerak adalah etil asetat-toluena (9:1) dan fase diam yaitu silika gel GF 254. Kejenuhan fase gerak dapat dijaga dengan menutup bejana dan cepat memasukkan lempeng KLT sehingga kejenuhannya tetap. Penjenuhan ini berfungsi untuk mempercepat dalam proses perambatan sehingga perambatan dapat berjalan secara optimal. Kejenuhan fase gerak dapat dilihat dari kertas saring yang telah basah dalam chamber dan proses pembasahan itu akan mengalir ke atas secara otomatis. Larutan
36
pembanding antrakinon dibuat dari larutan Rhei Radix sebanyak 0,5 gram dipanaskan dalam methanol 5 ml selama 5 menit, disaring dan filtratnya diuapkan sampai volume 0,5 ml kemudian ditotolkan. Untuk deteksi digunakan FeCl3. Sampel tidak menunjukkan warna bercak nyata secara visual. Oleh karena itu, dilakukan pengamatan di bawah sinar UV 254 nm yang menunjukkan warna ungu. Sedangkan pada UV 365 nm, pada pengamatannya akan tampak warna oranye pada bercak bagian atas dan ungu pada bagian bawah. Apabila sampel tidak berfluoresensi pada UV (baik pada 254 nm dan 365 nm), maka dapat dilakukan penyemprotan dengan pereaksi khusus untuk memperjelas bercak, misalnya dengan pereaksi Dragendorff. Pada percobaan yang dilakukan, didapatkan nilai Rf sampel replikasi 1 = 0,78; replikasi 2 = 0,82; replikasi 3 = 0,83, sehingga diperoleh rata-rata Rf sampel sebesar 0,81. Sedangkan Rf standar diperoleh = 0.82. Digunakan standar antrakinon sebagai pembanding dengan Rf sampel, di mana Rf merupakan jarak yang ditempuh substansi/ pelarut yang digunakan. Selain itu dapat berarti juga faktor retensi suatu komponen dalam fase diam. Semakin besar nilai Rf maka semakin besar pula jarak bergeraknya senyawa pada plat KLT. Nilai Rf yang besar menunjukkan senyawa kurang polar dan berinteraksi dengan bagian polar dari plat. Apabila nilai Rf sama/ hampir mendekati standar, maka dapat disimpulkan mengandung senyawa yang diidentifikasi. Rf didapat dengan membagi jarak rambat sampel dengan jarak rambat fase gerak dari titik penotolan awal. Dihitung juga hRf, yaitu mengalikan harga Rf dengan 100. Dari data percobaan dapat disimpulkan sampel mengandung glikosida antrakinon. Hal tersebut tidak sesuai dengan data yang ada pada MMI karena apabila sesuai dengan data MMI, kulit pule tidak mengandung glikosida antrakinon. 2. Larutan II Larutan ini dibentuk dari sisa yang didapat dari Larutan 1 yang kemudian disari dengan metanol-kloroform-asam asetat (49,5:49,5:1) pada 37
suhu 50ºC selama 5 menit. Proses penyarian tersebut dipisahkan antara sisa dan fraksi CHCl3-MeOH-HAc yang terbentuk dimana fraksi CHCl3MeOH-HAc digunakan sebagai Larutan 2 yang akan diidentifikasi apakah terdapat kandungan tanin atau tidak. Larutan 2 ini dilakukan tiga kali percobaan, yang pertama digunakan standar saponin dengan fase gerak nbutanol-asam asetat-air (5:1:4) v/v dan fase diamnya silika gel GF 254. Larutan standar saponin dibuat dengan larutan daging buah Sapindi rarak 2 gram direfluks dengan etanol 75% sebanyak 10 ml selama 10 menit. Untuk deteksi digunakan FeCl3. Sampel dapat dilihat bercaknya dengan UV 365 nm dan berfluoresensi putih. Standar menunjukkan nilai Rf = 0,7; Rf sampel replikasi 1 = 0,53; replikasi 2 = 0,50 dan replikasi 3 = 0,51. Harga Rf rata-rata sampel sebesar 0,51. Harga Rf sampel tidak mendekati standar. Yang kedua digunakan standar saponin dengan fase gerak etil asetat-asam formiat-asam asetat-air (100:11:11:27) dan fase diamnya silika gel GF 254, dengan deteksi menggunakan sitroborat. Diperoleh data percobaan Rf standar yaitu sebesar 0,86; Rf sampel replikasi 1 = 0,85, replikasi 2 = 0,84 dan replikasi 3 = 0,82 sehingga didapat Rf rata-rata = 0,84. Dari percobaan, didapatkan nilai Rf sampel mendekati Rf standar, sampel mengandung glikosida saponin. Pada percobaan I, didapatkan nilai Rf sampel jauh dari standar mungkin dapat dikarenakan proses penyarian dengan suhu yang tidak sesuai karena waterbath yang digunakan untuk percobaan yang lain juga di mana antara percobaan satu dengan yang lain suhu yang digunakan berbeda-beda sehingga proses penyarian tidak berjalan sempurna dan pencucian alat yang kurang bersih sehingga masih ada bekas-bekas kandungan lain yang menempel pada alat sehingga Rf yang didapat jauh dari standar. Pada percobaan 2 dengan fase diam silika gel GF 254 didapatkan nilai Rf yang cukup baik (mendekati standar yang ada). Pada percobaan ke-3, digunakan standar tanin, fase geraknya etil asetat-metanol-air (100:13,5:10) v/v dan fase diam silika gel GF 254. Standar tanin dibuat dari larutan asam tanat 0,05% dalam etanol 70%. Deteksi menggunakan KOH etanolis. Diperoleh Rf standar 0.80; Rf
38
sampel replikasi 1, 2 dan 3 = 0.80, sehingga didapat rata-rata Rf sampel = 0,80. Nilai Rf sampel yang sama dengan Rf standar, dapat disimpulkan bahwa sampel mengandung tanin. Hal tersebut tidak sesuai dengan data yang ada pada MMI karena apabila sesuai dengan data, kulit pule tidak mengandung saponin maupun tanin. 3. Larutan III Larutan ini diperoleh dari sisa pada Larutan 2 yang kemudian disari dengan metanol-air (1:1) pada suhu 50ºC selama 5 menit sehingga diperoleh sisa dan fraksi metanol-air di mana sisanya dibuang dan fraksi metanol-air digunakan sebagai larutan 3. Pada larutan 3 ini, juga dilakukan 3 kali percobaan. Percobaan I dengan fase diam silika gel GF 254 menggunakan fase gerak butanol–asam asetat-air (5:1:4) v/v dan standar saponin. Deteksi dengan pereaksi Liebermann-Burchard. Didapatkan harga Rf standar = 0,78; Rf sampel replikasi 1 = 0,91, replikasi 2 = 0,88 dan replikasi 3= 0,88. Rata-rata Rf sampel yaitu 0,89. Harga Rf kurang mendekati standar. Percobaan II dengan fase diam yang sama, namun fase geraknya diganti menjadi kloroform-metanol-air (64:50:10) v/v dengan standar berupa saponin. Deteksi apabila bercak belum telalu terlihat dengan vanillin asam sulfat dan dilihat di bawah UV 365 nm berfluoresensi ungu. Sehingga didapatkan harga Rf standar = 0,76; Rf sampel replikasi 1 = 0,67; replikasi 2 = 0,69; replikasi 3 = 0,67. Harga Rf kurang mendekati standar. Pada percobaan III dengan fase diam selulosa, fase gerak t-butanol-asam asetat-air (4:1:5) v/v dan standar saponin. Di bawah UV 254 nm berfluoresensi putih, didapatkan nilai Rf standar 0,78; Rf sampel replikasi 1 = 0,58; replikasi 2 = 0,57; replikasi 3 = 0,56, sehingga didapat rata-rata Rf sampel sebesar 0,57. Pada percobaan I, II, III ketiganya didapatkan nilai Rf sampel yang tidak mendekati standar. Hal ini mungkin dikarenakan proses penyarian dengan suhu yang tidak sesuai karena waterbath yang digunakan untuk percobaan yang lain juga di mana antara percobaan satu dengan yang lain suhu yang digunakan berbeda39
beda sehingga proses penyarian tidak berjalan sempurna dan pencucian alat yang kurang bersih sehingga masih ada bekas-bekas kandungan lain yang menempel pada alat sehingga Rf yang didapat jauh dari standar. Apabila dibandingkan dengan data pada MMI, hasil yang didapatkan praktikan sama karena kulit pule memang tidak mengandung saponin dan hal tersebut dapat dilihat dari perbedaan Rf larutan dengan Rf standar yang jauh. 4. Uji Alkaloida secara KLT Dilakukan juga uji untuk keberadaan alkaloid. Serbuk kulit pule disari dengan petroleum eter pada suhu 50ºC selama 5 menit sehingga didapat campuran di mana campuran tersebut dipisahkan dengan cara disaring sehingga didapatkan sisa dan fraksi petroleum eter di mana fraksi tadi dibuang dan sisanya yang digunakan untuk mengidentifikasi adanya alkaloid. Sisa tadi disari dengan HCl 1% pada suhu 50ºC selama 5 menit. Campuran yang didapat dipisahkan dengan cara disaring, sehingga didapatkan sisa dengan fraksi asam klorida di mana sisanya dibuang dan fraksi ini yang digunakan untuk mengidentifikasi adanya alkaloida pada ekstrak. Fraksi tadi diteteskan 2-3 tetes Pereaksi Dragendorf sehingga terbentuk warna merah dan ditambahkan NaHCO3 1M hingga mencapai pH 8-9. Ketika ditambahkan NaHCO3 terbentuk buih-buih karena NaHCO3 ini merupakan basa. Kemudian disari dengan kloroform sehingga terbentuk 2 lapisan yaitu lapisan atas dan lapisan bawah. Proses penyarian ini dilakukan di dalam corong pisah untuk menghilangkan gas yang terbentuk yaitu CO2 ketika ditambahkan NaHCO3. Lapisan atas dinetralkan dengan asam asetat di mana larutan ini menjadi larutan I dan lapisan bawah yang disari dengan HCl 1% akan membentuk 2 lapisan juga di mana lapisan bawah dibuang dan lapisan atas digunakan sebagai larutan II untuk mengidentifikasi adanya alkaloida pada ekstrak. Larutan I untuk menguji alkaloid tersier sedangkan larutan II untuk alkaloid kuarterner. Standar yang digunakan pada percobaan ini adalah skopolamina dengan 40
fase diam berupa silika gel GF 254, dan fase gerak berupa sikloheksanadietilamina (9:1) v/v. Untuk memperjelas bercak yang terbentuk, dilakukan deteksi dengan menyemprotkan pereaksi Dragendorff KLT LP. Bercak berfluoresensi ungu di bawah sinar UV 254 nm. Diperoleh harga Rf standar pada larutan I = 0,13; sedangkan sampel replikasi 1 = 0,02 dan replikasi 2 = 0,015. Pada larutan II diperoleh Rf standar = 0.11; sampel replikasi I = 0,004 dan replikasi 2 = 0,005. Harga Rf yang didapatkan pada percobaan jauh dari Rf standar mungkin dikarenakan proses penyarian dengan suhu yang tidak sesuai karena waterbath yang digunakan untuk percobaan yang lain juga di mana antara percobaan satu dengan yang lain suhu yang digunakan berbeda-beda sehingga proses penyarian tidak berjalan sempurna dan pencucian alat yang kurang bersih sehingga masih ada bekas-bekas kandungan lain yang menempel pada alat sehingga Rf yang didapat jauh dari standar. Atau karena proses pemisahan antara lapisan atas dengan lapisan bawah kurang cermat sehingga pada masingmasing lapisan yang diambil masih bercampur dengan lapisan lain (tidak benar-benar murni lapisan atas saja atau lapisan bawah saja). Dari hasil yang didapatkan praktikan, tidak didapatkan alkaloid sesuai yang diinginkan (alkaloid tersier maupun alkaloid kuarterner) atau alkaloid yang didapatkan tidak benar-benar murni alkaloid melainkan masih tercampur dengan kandungan lainnya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kulit pule mengandung alkaloida dan ini sesuai dengan data pada MMI dan hasil pada pengujian (pengujian sampel dengan reagen Dragendorff) yang menyatakan bahwa kulit pule memang mengandung alkaloida. Kelebihan metode KLT ini adalah relatif mudah dilakukan, murah, dan spesifik untuk senyawa yang ingin dipisahkan. Kelemahannya yaitu pemilihan fase diam yang harus sesuai dengan kepolaran fase gerak, dan juga jarak dan warna yang sama antara satu dengan yang lain belum tentu mengandung senyawa yang sama, serta waktu yang diperlukan cukup lama. Manfaat dari KLT adalah dapat memisahkan senyawa yang diinginkan dari suatu campuran.
41
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan a. Dari hasil pengamatan mikroskopis terhadap serbuk simplisia, simplisia yang diuji merupakan serbuk simplisia kulit batang pule (Alstoniae Cortex), yang ditandai dengan adanya fragmen khas berupa jaringan gabus dengan sel gabus yang membatu, sel gabus yang membatu, serabut, sel batu, sel gabus tangensial, dan hablur kalsium oksalat. b. Dari hasil skrining fitokimia, serbuk simplisia kulit batang pule (Alstoniae Cortex) hanya mengandung kandungan metabolit sekunder bioaktif berupa alkaloida saja. 5.2. Saran Disarankan untuk percobaan selanjutnya, agar dilakukan isolasi kandungan kimia yang terdapat pada kulit batang pule (Alstoniae Cortex), sehingga dapat dilakukan uji farmakologis dari kandungan kimia tersebut.
42
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1989, Materia Medika Indonesia, Jilid V, 2-6, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, 1002, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta Anonim, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, 82-84, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta Anonim, 2010, Classification of Species: Alstonia scholaris (L.) R. Br., http://data.gbif.org/species/browse/taxon/23763724, diakeses pada tanggal 8 Desember 2010 Dalimartha, S., 1999, Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, Jilid I, 1, Trubus Agriwidya, Ungaran Djauhariya. E dan Hernani, 2004, Gulma Berkhasiat Obat, Cetakan I, 1, 4, Penebar Swadaya, Jakarta Harborne, J.B., 1987, Metode Fitokimia, 110, 234, 235, 237, 245, ITB Press, Bandung Robinson, T., 1995, Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi, 95-101, ITB, Press, Bandung Sutomo dan Putri, 2005, Alstonia scholaris (L.) R. Br. KOLEKSI KEBUN RAYA “EKA KARYA” BALI, http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/search katalog/byId/7090, diakses pada tanggal 9 Desember 2010
43