DAFTAR ISI
BAB I PEMBUKAAN
1.1 LATAR
BELAKANG....................................................................
.......................
1.2 RUMUSAN
MASALAH.....................................................................
..................
1.3 MAKSUD DAN
TUJUAN......................................................................
... …….
BAB II PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI DEMOKRASI
............................................................................
....
2.2 DEMOKRASI DI INDONESIA
............................................................................
....
2.3 HUBUNGAN DEMOKRASI DAN
HAM.......................................................
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
……..........................................................................
.................
3.2
SARAN.......................................................................
...........................................
3.3 DAFTAR
PUSTAKA.....................................................................
....................
BAB 1
PEMBUKAAN
1. LATAR BELAKANG
HAM dan demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang
dilahirkan dari sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. HAM dan
demokrasi juga dapat dimaknai sebagai hasil perjuangan manusia untuk
mempertahankan dan mencapai harkat kemanusiaannya, sebab hingga saat ini
hanya konsepsi HAM dan demokrasilah yang terbukti paling mengakui dan
menjamin harkat kemanusiaan. Selain demokrasi, penegakan Hak Asasi Manusia
(HAM) merupakan elemen penting untuk perwujudan sebuah negara yang
berkeadaban. Apabila demokrasi dan HAM berjalan dengan baik maka akan
melahirkan sebuah tatanan masyarakat yang demokratis dan kritis terhadap
penegakan HAM.
2. RUMUSAN MASALAH
Apa yang dimaksud dengan Demokrasi?
Apa Prinsip dan Kriteria Demokrasi ?
Bagaimanakah Gerakan Demokratisasi di Indonesia ?
Bagaimanakah Hubungan antara Demokrasi dan HAM ?
Bagaimanakah Dampak Negatif Demokrasi dan HAM ?
3. MAKSUD DAN TUJUAN
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan
penulis dan pembaca tentang mengetahui definisi demokrasi dan HAM dan
mengerti hubungan antara demokrasi dan HAM.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 DEMOKRASI
Demokrasi adalah salah satu bentuk pemerintahan dalam sebuah negara dengan
kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung ataupun
melalui perwakilan. Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos
yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga
dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal
sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Istilah Demokrasi sendiri diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles
sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan
bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak yang disebut dengan istilah
rakyat. Di Yunani sendiri demokrasi telah muncul pada pertengahan abad ke-5
dan ke-4 SM. Demokrasi ini merujuk pada sistem politik di negara kota
Yunani Kuno.
Seiring dengan perkembangan zaman, sehingga perkembangan sistem demokrasi
juga banyak diterapkan diberbagai negara-negara di dunia. Perkembangan
demokrasi yang semakin pesat juga telah memunculkan perkembangan pengertian
dari pada demokrasi itu sendiri. Pengertian demokrasi menurut para ahli:
Menurut H. Harris Soche (Yogyakarta : Hanindita, 1985)
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan rakyat, karena itu kekusaan
pemerintahan itu melekat pada diri rakyat atau diri orang banyak dan
merupakan hak bagi rakyat atau orang banyak untuk mengatur, mempertahankan
dan melindungi dirinya dari paksaan dan pemerkosaan orang lain atau badan
yang diserahi untuk memerintah.
Menurut Hannry B. Mayo
Kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang
diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan yang
didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana
di mana terjadi kebebasan politik.
Prinsip dan Kriteria Demokrasi
Robert A. Dahl menyebutkan ada 8 prinsip demokrasi, yaitu:
1. Kebebasan untuk membentuk dan menjadi anggota organisasi (the freedom to
form and join organizations).
2. Kebebasan mengeluarkan pendapat (freedom of expression).
3. Hak memilih (the right to vote).
4. Kesempatan menjadi pejabat pemerintah (eligibility for public office).
5. Hak bagi pemimpin politik untuk bersaing dalam mencari dukungan (the
right of political leaders to compete for support and votes)
6. Sumber-sumber informasi alternatif (alternative sources of information
[a free press]).
7. Pemilihan umum yang bebas dan adil (free and fair elections).
8. Lembaga yang membuat kebijakan pemerintah tergantung pada perolehan
suara dan pengungkapan preferensi lainnya (institutions for making
government policies depend on votes and other expressions of preference).
Sementara itu, untuk menentukan apakah suatu negara demokratis atau tidak,
ada beberapa kriteria atau parameter penilaian yang tidak terlalu kaku
harus mengikuti kedelapan prinsip di atas. Kriteria proses demokrasi ini
sangat penting bagi pemerintahan yang baik. Menurut Robert A. Dahl proses
demokrasi yang ideal ada 5 kriteria, yaitu:
1. Persamaan hak pilih
Setiap warga negara mempunyai hak istimewa untuk menentukan keputusan
terakhir.
2. Partisipasi efektif
Setiap warga negara harus mempunyai kesempatan yang sama dan memadai untuk
menyatakan hak-hak istimewanya dalam rangka mewujudkan kesimpulan terakhir.
3. Pembeberan kebenaran
Semua warga negara harus mempunyai peluang yang sama dan memadai untuk
melakukan penilaian yang logis demi mencapai hasil yang paling diinginkan.
4. Kontrol terakhir terhadap agenda
Masyarakat harus mempunyai kekuasaan ekslusif untuk menentukan soal-soal
mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses-proses yang
memenuhi ketiga kriteria pertama.
5. Pencakupan
Masyarakat harus meliputi semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum.
Kriteria minimal demokrasi, menurut Robert A. Dahl, sebagaimana dikutip
Sorensen, demokratis tidaknya suatu negara dilihat dari kompetisi dan
partisipasi. Meningkatnya partisipasi berarti meningkatnya jumlah warga
negara yang memperoleh hak-hak politik dan kebebasan. Adapun kompetisi
menyangkut tersedianya hak-hak dan kebebasan paling tidak bagi beberapa
anggota sistem politik. Meningkatnya kompetisi berarti meningkatnya peluang
bagi oposisi politik dan peluang meraih kekuasaan.
Menurut John L. Esposito dan John O. Voll, Amerika Serikat mempunyai
kriteria tersendiri untuk menilai demokratis tidaknya suatu negara. Bagi AS
hal yang paling menentukan dan vital dari demokrasi adalah pemilihan umum
yang bebas, jujur, dan adil dengan sistem multipartai dan pemahaman
terhadap hak-hak minoritas. Jika suatu negara telah menjalankan kedua
prinsip ini dengan benar, maka negara tersebut dapat dikatakan telah
menyelenggarakan pemerintahan yang demokratis dan baik.
Georg Sorensen mengajukan 3 kriteria demokrasi, yaitu:
1. Kompetisi. Kompetisi yang luas dan bermakna di antara individu dan
kelompok organisasi (khususnya partai-partai politik) pada seluruh posisi
kekuasaan pemerintah yang efektif, dalam jangka waktu yang teratur dan
meniadakan penggunaan kekuasaan.
2. Partisipasi. Tingkat partisipasi politik yang inklusif dalam pemilihan
pemimpin dan kebijakan. Paling tidak melalui pemilihan bebas secara
teratur, dan tidak ada kelompok sosial yang disingkirkan.
3. Kebebasan politik dan sipil. Tingkat kebebasan politik, kebebasan
berpendapat, kebebasan pers, kebebasan mendirikan dan menjadi anggota
organisasi.
Untuk menentukan demokratis tidaknya suatu negara, menurut Sorensen, adalah
mencari elemen-elemen kompetisi, partisipasi, dan kebebasan di negara
tersebut, tidak hanya tataran formal, tetapi juga pada praktik yang
sesungguhnya. Ketika demokrasi diartikan sebagai kompetisi, partisipasi,
dan kebebasan, jelas bahwa proses demokratisasi, yaitu perubahan sistem
politik dari bentuk yang tidak demokratis ke bentuk yang lebih demokratis,
dapat terjadi dengan berbagai cara.
Fuad Fachruddin merangkum pendapat para ahli politik tentang kriteria
demokratis tidaknya suatu pemerintahan dicirikan dengan:
a. Pelaksanaan pemilihan umum yang bebas dan terbuka dengan terjamin
kerahasiaan pemungutan suaranya.
b. Menerapkan prinsip satu orang satu suara (one man one vote).
c. Adanya pembagian dan pemisahan kekuasaaan dalam pemerintahan.
d. Keadilan dan kedudukan yang sama bagi setiap orang di hadapan hukum.
e. Membuka komunikasi antara masyarakat dengan pihak pemerintah.
f. Menegakkan hak asasi manusia, seperti kebebasan berbicara,
berekspresi, dan kebebasan beragama.
David Beetham memberikan parameter sederhana tentang tatanan suatu
pemerintahan yang demokratis, yaitu "yang memungkinkan seluruh anggota
kolektivitas menikmati hak setara yang efektif untuk ikut ambil bagian
secara langsung dalam pengambilan keputusan. Menurut Beetham, kata kunci
demokratis tidaknya suatu negara dapat dilihat dari 2 hal, yaitu pengawasan
masyarakat dan kesetaraan politik. Jika kedua hal ini berjalan, maka
pemerintahan tersebut dapat dikatakan pemerintahan yang baik.
Akhirnya, suatu negara dapat disebut demokratis, menurut Nurcholish Madjid,
jika padanya proses-proses perkembangan menuju ke arah yang lebih baik
dalam melaksanakan nilai-kemanusiaan asasi dan dalam memberi hak kepada
masyarakat, baik individu maupun sosial, untuk mewujudkan nilai-nilai itu.
Daftar yang dapat digunakan untuk mengukur maju-mundurnya demokrasi adalah
pada sekitar seberapa banyak bertambah atau berkurangnya kebebasan asasi,
seperti kebebasan menyatakan pendapat, berserikat, dan berkumpul.
Prinsip-prinsip negara yang telah disebutkan di atas kemudian dituangkan
kedalam konsep yang lebih praktis sehingga dapat di ukur dan dicirikan.
Ciri-ciri ini yang kemudian dijadikan parameter untuk mengukur tingkat
pelaksanaan demokrasi yang berjalan di suatu negara. Parameter tersebut
meliputi 4 aspek, aspek itu adalah
¬ Yang pertama, masalah pembentukan negara.
Proses pembentukan kekuasaan akan sangat menentukan bagaimana kualitas,
watak dan pola hubungan yang akan terbangun. Pemilihan umum dipercaya
sebagai salah satu instrument penting yang dapat mendukung proses
pembentukan pemerintahan yang baik
¬ Yang kedua, dasar kekuasaan negara
Masalah ini menyangkut konsep legitimasi kekuasaan serta
pertanggungjawabannya langsung kepada rakyat.
¬ Yang ketiga, susunan kekuasaan negara
Kekuasaan negara hendaknya dilaksanakan secara distributive. Hal ini
dilakukan untuk menghindari pemusatan kekuasaan dalam satu tangan
¬ Yang keempat, masalah control rakyat
Control masyarakat dilakukan agar kebijakan yang diambil oleh pemerintah
atau negara sesuai dengan keinginan rakyat.
Gerakan Demokratisasi di Indonesia
Berkembangnya tuntutan demokratisasi (mewujudkan masyarakat yang
demokratis, adil, dan egaliter) di Indonesia harus diakui sebagai akibat
adanya pengaruh global, yakni antara lain desakan akan penegakan hak asasi
manusia (HAM), serta isu pentingnya pengakuan atas eksistensi dan kerja
berbagai kekuatan-kekuatan sosial di masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan dan kebijakan publik. Itu artinya, demokratisasi di Indonesia
tidak terlepas dari konteks global saat itu ketika banyak negara melakukan
demokratisasi.
Masyarakat demokratis ditandai oleh adanya penerimaan sosial atas
kemajemukan identitas (pluralisme identitas). Dengan kata lain,
demokratisasi merupakan proses pemberdayaan atau kemampuan masyarakat dan
mengembalikan pada posisi strategisnya, yakni sebagi subyek pembangunan.
Berkenaan dengan itu, isu yang berkembang berkaitan dengan proses
demokratisasi, antara lain: penegakan HAM, pengakuan akan keberadaan
kekuatan sosial (civil society), dan pluralisme identitas. Isu-isu tersebut
pada dasarnya berlandaskan pada nilai-nilai universal yang terkandung
dalam demokrasi
Indonesia sendiri baru memasuki pentas demokratisasi mulai tahun 1998,
setelah mengalami periode kolonialisme yang sangat panjang kemudian
memasuki masa pemerintahan yang otoriter. Meskipun UUD 1945 menyatakan
bahwa Indonesia berbentuk republik demokrasi berdasarkan kemerdekaan dan
kedaulatan rakyat, Presiden pertama RI Soekarno, rezim orde lama menerapkan
Demokrasi Terpimpin, dengan menghapuskan Demokrasi Parlementer atau
Konstitusional yang dianggap banyak kalangan sebagai demokrasi yang
sesungguhnya, dan terjebak dalam kultus individu dan pemerintahan yang
otoriter. Setelah rezim orde lama tumbang dan digantikan Presiden kedua
Soeharto perilaku pemerintah tidak banyak berubah, malah jauh lebih buruk.
Dengan Demokrasi Pancasila, Soeharto melarang partai politik oposisi, pers
dan media ditekan, pemberontakan lokal dihancurkan, dan hak asasi manusia
dikesampingkan sama sekali. Hingga akhir kekuasaan Soeharto tahun 1998,
prilaku politik Indonesia cenderung mengorbankan kebebasan politik dan hak
asasi manusia untuk menyenangkan penguasa atau para elite tertentu. Ketika
Soeharto tumbang, tuntutan demokratisasi semakin menguat. Setelah
digantikan oleh BJ. Habibie, Indonesia mulai mengalami kebebasan, walaupun
masih banyak persoalan ekonomi dan sosial hingga akhirnya memaksa Habibie
mengadakan Pemilu yang bebas pertama kali setelah 1955 yang diikuti oleh
banyak partai politik dengan hasil terpilihnya Abdurrahman Wahid dan
Megawati Soekarnoputri.
Indonesia berada di bawah pemerintahan otoriter dan militer sejak tahun
1949 sampai 1998, dan digolongkan "tidak bebas" atau tidak demokratis
menurut klasifikasi dari lembaga Freedom House. Baru setelah Habibie
berkuasa pada 1998-1999, peringkat Indonesia yang tidak demokratis atau
tidak bebas naik ke satu tingkat menjadi setengah bebas atau setengah
demokratis pada tahun 1998-1999. Setelah itu, proses demokrasi di Indonesia
semakin hari semakin baik, terlebih dengan terselenggaranya Pemilu yang
kedua 2004 dan pemilihan presiden secara langsung untuk yang kali pertama
dalam sejarah Indonesia dengan kemenangan Soesilo Bambang Yudhoyono dan M.
Yusuf Kalla adalah bukti kuat bahwa demokrasi di Indonesia semakin mantap
dan ajeg. Sejak itu, sistem politik Indonesia memperlihatkan bahwa pemimpin-
pemimpin Indonesia dan masyarakat sipil mengubah nilai dan sikap mereka ke
arah universalisme nilai-nilai demokrasi, antara lain lebih menghargai HAM,
menjunjung tinggi kebebasan pers dan media massa, kebebasan berserikat dan
berpolitik.
Tuntutan demokratisasi sepanjang rezim diktator Soeharto, karena negara
orde baru dengan perangkat aparatusnya berusaha sedemikian rupa mengontrol
berbagai ruang publik. Ruang gerak kelompok-kelompok masyarakat sipil
dibatasi dan diawasi dengan berbagai cara. Akibat dari aktivitas mereka
yang berani "berbenturan" dengan kepentingan negara adalah opresi dan
represi seperti intimidasi, teror, pelarangan, penangkapan, pemenjaraan,
penculikan, penghilangan paksa, dan berbagai bentuk tekanan politik
lainnya. Setelah itu, tuntutan perubahan politik menuju sistem demokratis,
termasuk pergantian rezim, muncul sebagai agenda krusial yang diperjuangkan
oleh sejumlah elemen kritis masyarakat sipil. Semua ini mendorong proses
demokratisasi di Indonesia. Tidak saja di kalangan terbatas LSM, mahasiswa,
cendekiawan, tetapi juga telah merambah ke kalangan akar rumput.
Menurut R. William Liddle, pergeseran rezim pemerintahan dari otoritarian
ke sistem yang lebih demokratis, di mana pemerintah dipilih oleh rakyat
dalam pemilihan bebas, disebabkan oleh 2 faktor:
1. Krisis legitimasi di atas, di mana kebijaksanaan pokok pemerintah
otoriter dianggap oleh umum telah gagal mencapai tujuannya.
2. Dorongan dari bawah, di mana sebagian masyarakat, yang makin hari makin
besar dan kuat, mendesak pemerintah otoriter agar rakyat diberi hak
partisipasi politik
Rezim Soeharto runtuh pada 1998, karena telah memenuhi dua faktor ini.
Krisis legitimasi yang disebabkan oleh krisis ekonomi luar biasa pada tahun
1997 dan tuntutan reformasi dari rakyat menjadi faktor tumbangnya
pemerintahan tiranik selama 32 tahun.
Harus diakui proses demokratisasi tersebut berlangsung karena faktor-faktor
politik, sosial budaya dan ekonomi. Hampir sebagian besar teoritisi politik
dan demokrasi selalu mengaitkan akar-akar demokrasi pada tradisi, budaya,
dan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang pernah ada. Perkembangan sistem
demokrasi sebuah masyarakat tertentu berakar jauh ke dalam sejarah sosial-
budaya dan politiknya sendiri. Sebuah sistem demokrasi bukanlah suatu
proses yang sekali jadi. Kekuatan ekonomi dan dunia usaha telah menjadi
daya tersendiri terhadap proses demokratisasi. Karena itu, faktor ekonomi
memainkan peranan penting dalam proses demokratisasi di Indonesia, selain
faktor lain memainkan peranan penting, seperti agama, hukum, dan posisi
militer.
Demokratisasi adalah jalan yang paling baik untuk memelihara, melestarikan,
dan mengukuhkan aset nasional sekarang ini, yaitu stabilitas, keamanan,
persatuan, dan kesatuan. Timbulnya dorongan ke arah demokrasi yang lebih
maju oleh perkembangan ekonomi ini disebabkan adanya kaitan yang jelas
antara demokrasi dan tingkat kemakmuran rakyat. Ini juga disebabkan oleh
semakin banyaknya jumlah kelas menengah yang berperanan penting di bidang
ekonomi, ilmu pengetahuan, profesi dan lain-lain. Samuel P. Huntington
mengatakan; "Demokratisasi adalah suatu proses terus-menerus, yang kini
semakin tidak bisa dibalikkan lagi." Sistem politik demokratis dengan
sendirinya harus secara tulus mencakup nilai hidup kemanusiaan yang adil
dan beradab.
Menurut Liddle, langkah-langkah ke arah demokratisasi tersebut dapat
dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
a. Pengembangan kelas menengah
b. Membangun jaringan organisasi sosial yang besar, seperti NU dan
Muhammadiyah
c. Memperkuat negara hukum.
d. Mendukung usaha desentralisasi.
e. Mengembangkan kebebasan akademis di universitas.
Dalam tingkat yang lebih praksis, menurut Sonny Keraf, untuk mewujudkan
kemungkinan suatu kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang lebih
demokratis diperlukan sebuah keseimbangan di antara ketiga kekuatan pokok
dalam masyarakat, yaitu kekuatan politik yang diperankan pemerintah,
kekuatan pasar yang diperankan oleh pengusaha, dan kekuatan masyarakat atau
civil society. Dengan adanya keseimbangan ini, maka bisa diharapakan
kehidupan yang lebih demokratis dapat terwujud. Kemajuan ekonomi melahirkan
kelas menengah yang akan menjadi lokomotif demokratisasi. Proses
demokratisasi tersebut bisa didorong oleh kekuatasn-kekuatan masyarakat
yang mempunyai kesadaran kultural. Dorongan ke arah demokratiasai hanya
akan lebih mantap jika didukung oleh kelas menengah kultural.
Satu-satunya kelompok yang dapat diandalkan untuk menjadi "motor" dalam
melahirkan demokrasi adalah kelas kultural: kelompok profesi, LSM, aktivis
sosial, serikat pekerja independen, cendekiawan murni-independen, kelompok
agama, pers yang independen dan lain-lain. Ciri utama kelas kultural ini
adalah kesadaran kritis yang relatif sama akan hak dan kepentingan mereka
dan rakyat bawah yang tidak boleh dirugikan oleh kekuatan politik maupun
ekonomi. Untuk itu, medium yang paling pas untuk dijadikan wahana
perjuangan demokrasi adalah pendidikan politik dengan membangun kesadaran
kritis masyarakat luas mengenai hak den kepentingannya yang tidak boleh
dirugikan oleh kegiatan kelompok bisnis manapun.
Anders Uhlin, dalam bukunya Democracy and Diffusion: Transnational Lesson
Drawing among Indonesian Pro-Democracy Actors, membagi menjadi 8 kalangan
mereka yang serius mendukung proses demokratisasi. Mereka ini adalah:
1.Pembangkang dari lingkungan elite
2.Aktifis LSM dari generasi lama yang didirkan pada 1970-an
3.Aktifis LSM baru yang mengkhususkan diri pada gerakan pro-demokrasi dan
HAM.
4.Aktifis mahasiswa
5.Aktifis buruh dan petani
6.Aktifis perempuan
7.Penulis dan wartawan
8.Kalangan intelektual
Salah satu ciri pemerintahan demokratis adalah ketersediaan civil society
(masyarakat sipil atau masyarakat madani) yang kuat, satu masyarakat yang
mandiri dan bebas dari intervensi negara. Negara yang kuat adalah negara
yang demokratis dan civil society yang kuat juga. Definisi paling lengkap
tentang civil society diajukan oleh Muthiah Alagappa, yaitu, pertama,
masyarakat yang bebas dari intervensi negara, masyarakat politik, dan pasar
di mana mereka bebas berserikat untuk memperjuangkan kepentingan
masyarakat; kedua, tersedianya ruang bebas untuk wacana dan kontruksi ide-
ide normatif melalui kerjasama antara kelompok masyarakat bukan-negara (non-
state groups); ketiga, adanya gelanggang otonomi masyarakat untuk mengatur
diri-sendiri dalam isu-isu tertentu; keempat, sebagai alat untuk aksi
bersama guna melindungi otonomi wilayah masyarakat, mempengaruhi corak
pemerintahan, politik, kebijakan negara, masyarakat politik, dan pasar.
Indonesia akan menjadi lebih baik jika pemerintah secara sungguh-sungguh
menerapkan nilai-nilai universal dan norma-norma demokrasi serta hak asasi
manusia yang tertuang dalam undang-undang dasar. Pemerintah harus dapat
bekerjasama dengan semua elemen masyarakat sipil untuk membangun Indonesia
dengan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Hubungan Antara Demokrasi dan HAM
Demokrasi punya keterkaitan yang erat dengan Hak Asasi Manusia karena makna
terdalam dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat, yaitu rakyatlah sebagai
pemegang kekuasaan politik tertinggi dalam suatu negara. Posisi ini
berarti, secara langsung menyatakan adanya jaminan terhadap hak sipil dan
politik rakyat. Ukuran untuk menilai demokratis atau tidaknya suatu negara,
antara lain semakin besarnya tingkat kemerdekaan misalnya, kebebasan untuk
menyatakan pendapat, kemerdekaan untuk menganut keyakinan politik, hak
untuk diperlakukan sama dihadapan hukum.
Hanya kemudian patut dijelaskan lebih lanjut, bahwa persoalan demokrasi
bukanlah sebatas hak sipil dan politik rakyat namun dalam perkembangannya,
demokrasi juga terkait erat dengan sejauh mana terjaminnya hak-hak ekonomi
dan sosial dan budaya rakyat. Maka negara demokratis juga diukur dari
sejauh mana negara menjamin kesejahteraan warga negaranya, seberapa rendah
tingkat pengangguran dan seberapa jauh negara menjamin hak-hak warga negara
dalam mendapatkan penghidupan yang layak. Hal inilah yang secara langsung
ataupun tidak langsung menegaskan bagaimana hubungan yang terjalin antara
demokrasi dan Hak Asasi Manusia.
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa, Hak Asasi Manusia akan terwujud
dan dijamin oleh negara yang demokratis dan demikian sebaliknya, demokrasi
akan terwujud apabila negara mampu manjamin tegaknya Hak Asasi Manusia.
Berdasarkan konteks sejarah, pada dasarnya perjuangan mewujudkan demokrasi
juga merupakan sejarah perjuangan menegakkan hak asasi manusia di dunia.
Oleh karena itu, dewasa ini isu mengenai demokrasi akan selalu berhubungan
dengan isu mengenai hak asasi manusia. Demokrasi dan hak asasi manusia
adalah dua isu bahkan gerakan global yang tak terelakkan.
Perjuangan menegakkan demokrasi merupakan upaya umat manusia dalam rangka
menjamin dan melindungi hak asasi manusia. Demokrasi diyakini sebagai
sistem politik yang dapat memberi penghargaan atas hak dasar manusia dan
selanjutnya menjamin perlindungan dan penegakan atas hak-hak dasar
tersebut.
Dalam pandang yang hampir sama demokrasi mencakup dua konsep pokok yaitu
kebebasan/persamaan dan kedaulatan rakyat. Kebebasan dan persamaan adalah
fondasi demokrasi. Kebebasan dianggap sebagai sarana mencapai kemajuan
dengan memberikan hasil maksimal dari usaha orang tanpa adanya pembatasan
dari penguasa. Jadi, bagian tak terpisahkan dari ide kebebasan adalah
pembatasan kekuasaan-kekuasaan penguasa politik.
Demokrasi adalah sistem politik yang melindungi kebebasan warganya
sekaligus memberi tugas pemerintah unutk menjamin kebebasan tersebut.
Persamaan merupakan sarana penting untuk kemajuan setiap orang. Dengan
prinsip persamaan, setiap orang dianggap sama, tanpa dibeda-bedakan dan
memperoleh akses dan kesempatan sama untuk mengembangkan diri sesuai dengan
potensinya. Adanya kebebasan dan persamaan adalah karena adanya pengakuan
atas hak asasi manusia.
Dari uraian tersebut, kita dapat mengetahui hubungan antara hak asasi
manusia dan demokrasi. Makna terdalam dari demokrasi adalah kedaulatan
rakyat, yaitu rakyatlah sebagai pemegang kekuasaan politik tertinggi dalam
suatu negara. Posisi ini berarti, secara langsung menyatakan adanya jaminan
terhadap hak sipil dan politik rakyat, yang pada dasarnya dikonsepsikan
sebagai rakyat atau warga negara untuk mencapai kedudukannya sebagai
penentu keputusan politik tertinggi. Dalam persepktif kongkret ukuran untuk
menilai demokratis atau tidaknya suatu negara, antara lain; berdasarkan
jawaban atas pertanyaan seberapa besarkah tingkat kebebasan atau
kemerdekaan yang dimiliki oleh atau diberikan kepada warga Negara di Negara
itu ? Makin besar tingkat kebebasan, kemerdekaan dimaksudkan di sini adalah
kebebasan, kemerdekaan dan hak sebagaimana dimasukkan dalam kategori Hak-
Hak Asasi Manusia generasi pertama. Misalnya, kebebasan untuk menyatakan
pendapat, kemerdekaan untuk menganut keyakinan politik, hak untuk
diperlakukan sama dihadapan hukum.
Dampak Negatif Demokrasi dan HAM
Secara teoritis kita melihat HAM dan Demokrasi merupakan suatu hal yang
sangat positif karena disatu sisi HAM dan demokrasi dapat mengakomodir hak
dari setiap individu tanpa melihat agama, ras, suku dan bangsa. Namun
apabila dilihat dalam perjalanannya selama ini HAM dan demokrasi telah
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam menciptakan keonaran di muka
bumi, lihat saja bagaimana Pemilu atau Pilkada mampu menciptakan permusuhan
dan perselisihan yang ada di masyarakat atau lihat saja ketika hukum rajam
dan potong tangan secara syariat islam dapat dipatahkan oleh Barat melalui
senjata HAM yang mereka miliki.
Seperti ada sebuah skenario yang mulai terkuak ke permukaan mengenai HAM
dan demokrasi, bahkan mantan menlu AS Condoliza Rice menyatakan akan
menyebarkan demokrasi dan HAM ke seluruh dunia, bukan tidak mungkin kedua
hal ini dibuat untuk melemahkan negara-negara di dunia sehingga status
mereka sebagai negara adidaya akan tetap abadi, lihat saja bagaimana kedua
hal ini juga yang menjadi alasan Ameika dan sekutunya untuk memerangi
Afghanistan, Libia dan Irak. Contoh paling dekat juga bisa kita lihat
ketika pelaksanaan pesta demokrasi dalam ajang pemilihan kepala daerah Aceh
tahun 2012, bagaiamana masyarakat aceh bisa terpecah belahkan bahkan saling
bunuh membunuh.
Bila kita melihat lebih jauh mengenai demokrasi ada sebuah pesan yang
hendak disampaikan yaitu demokrasi mengajarkan persaingan diantara manusia,
itu jelas terlihat pada hal-hal yang berbau demokratis karena demokrasi
selalu menekankan hak individu tanpa melihat batas-batasan baik atau buruk
sama halnya dengan HAM yang mencoba menjaga hak-hak individu manusia dengan
menyisihkan KAM (Kewajiban Azasi Manusia) dan tanpa melihat fitrah serta
kodrat manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mempunmyai
kewajiban dalam menjalankan kehidupan di atas muka bumi.
Contoh-contoh kecil dari hasil yang telah dicapai dari proses demokrasi dan
menjunjung HAM di Indonesia:
Pemilihan umum dan Pilkada yang menciptakan persengketaan dan persaingan di
masyarakat
Pemborosan anggaran dalam proses pesta demokrasi, contohnya pilkada aceh
tahun 2012 yang mencapai 202 miliar rupiah dan Pemilu 2009 menghabiskan
dana 47,9 Triliyun.
Pembentukan partai polotik lokal di aceh yang mengakibatkan konflik dan
perpecahan di masyarakat aceh
Penolakan terhadap disahkannya qanun jinayah dengan alasan pelanggaran HAM
Pro dan kontra mengenai UU Pornografi dan Pornoaksi diakibatkan penilaian
dari sisi HAM
Dilegalkannya proses prostitusi melalui adanya tempat-tempat tertentu yang
diperbolehkan melakukan hal tersebut
Lahirnya berbagai media yang menhancurkan tatanan sosial yang bermartabat
dengan dimuatnya berita-berita dan informasi yang tidak layak dibaca oleh
seluruh kalangan.
Dilarangnya pernikahan usia dini dengan alasan HAM, padahal dalam islam
menganjurkan pernikahan ketika seseorang telah masuk pada usia baligh.
Sejatinya tidak ada yang salah dengan HAM, namun dalam proses pelaksanaanya
yang telah memisahkan tugas pokok manusia sebagai budaknya Tuhan di muka
bumi, di situlah terdapat problematika, ketika HAM berada di atas segala-
galanya dan menafikan hukum Tuhan. Berbicara mengenai Hak tentunya
Kewajiban tidak bisa dilupakan, karena kewajiban manusia adalah menjalankan
perintah dari Allah SWT bukan hanya menuntut hak.
1. Tirani Mayoritas Terhadap Minoritas
Seperti yang kita ketahui, di dalam proses penentuan keputusan demokrasi
sangat menjunjung tinggi sistem voting sebagai bentuk hasil keputusan yang
adil dan dapat diterima. Karena demokrasi sangat menghargai suara mayoritas
dengan penerapan one man, one vote dimana suara minoritas akan selalu
kalah. Di dalam pengambilan keputusan, golongan mayoritas akan selalu
mendominasi kekuasaan dan membentuk keputusan, sedangkan minoritas selalu
akan tertindas tanpa pernah memperoleh kekuasaan atas mayoritas.[10]
Lebih lanjut sistem demokrasi mayoritarian tidak memberikan jaminan
konstitusional dari pada hak-hak dan hak-hak istimewa golongan minoritas
lebih dari hak-hak politik yang mendasar bagi semua warga negara.[11] Tentu
saja suara mayoritas ini telah menjadi suatu bentuk tirani atas minoritas,
dimana minoritas akan selalu kalah jika dihadapkan dalam metode
penghitungan suara yang tidak seimbang. Akibatnya keadilan tidak akan
pernah tercapai selama sistem mayoritarian dijadikan sebagai dasar sistem
demokrasi.
Contoh kecil, orang-orang Islam sangat tidak mungkin menjadi perdana
menteri di Israel, orang-orang Yahudi akan sangat mustahil menjadi pemimpin
di Arab Saudi (jika menjadi negara demokratis), orang-orang Aborigin
tidak akan pernah memerintah di Australia, dan penduduk asli Jepang (
bangsa Unu yang hampir punah) tidak akan pernah menjadi Perdana Mentri di
negaranya sendiri.
2. Disintegrasi/Konflik Dalam Masyarakat
Persyaratan minimal bagi sebuah negara dalam demokrasi diantaranya adalah
terlaksananya pemilihan umum yang bebas dan adil. Pemilihan ini pada
dasarnya ditujukan untuk mencari dan memilih pemimpin yang diinginkan oleh
rakyatnya itu. Permasalahan muncul ketika terjadi perselisihan atau timbul
ego yang berlebihan antar kelompok yang memiliki calon pemimpin yang
berbeda dengan calon kelompok lainnya. Perselisihan ini akan berubah
menjadi pertikaian antar kelompok demi mempertahankan calon pimpinannya,
dampaknya masyarakat yang seharusnya hidup rukun terperangkap dalam perang
saudara.
Menurut Penulis kondisi seperti itu akan dengan mudah muncul dalam situasi
kampanye politik yang membawa banyak massa bertemu dengan kampanye politik
dari kelompok lainnya, atau terjadi selisih hasil suara yang sangat tipis
dalam pemilu. Dan dikhawatirkan sekali dampak yang paling buruk adalah
disintegrasi, yaitu perpecahan yang berlarut-larut sehingga sebuah kelompok
memisahkan diri dengan negara induknya, yang kemudian berusaha membentuk
negara baru. Contoh yang mirip dengan situasi ini adalah perpecahan Korea
menjadi dua wilayah, usaha Taiwan untuk memerdekakan diri, dan kondisi
Palestina saat ini yang terbagi dua (Pemerintahan Gaza dan Pemerintahan
Tepi Barat).
3. Kepentingan Individu/Golongan
Demokrasi berusaha menjamin kebebasan individu, beserta hak-hak pribadinya,
terutama dalam berpolitik. Kebebasan individu ini biasanya
diinterpresentasikan dalam hak-hak azasi manusia yang sangat sulit
dipisahkan dengan kehidupan demokrasi. Di sini Demokrasi juga menekankan
hak asasi hanya dapat dibatasi oleh kehendaknya sendiri yang bebas dan
bukan oleh titah penguasa.[12] Dengan kata lain kepentingan individu atau
golongan tidak akan sulit untuk berkembang di dalam masyarakat yang
heterogen.
Khusus dalam pemilihan umum, dengan tidak adanya pembatasan partai politik
dan calon pemimpinnya, maka itu sudah mejadi bukti bahwa banyaknya
kepentingan yang berjalan saat itu. Memang setiap kelompok atau partai
politik adalah kumpulan kepentingan kelompok (atau individu) itu sendiri,
namun seharusnya mereka mempunyai satu kepentingan yang sama, yaitu
memimpin bangsa/negara menjadi lebih makmur dan sejahtera.
Ditakutkan dengan banyaknya kelompok kepentingan tersebut justru akan
menimbulkan perpecahan dalam tubuh negara, apalagi kepentingan tersebut
bersifat negatif yang diselimuti oleh pemberitaan media massa yang tidak
sesuai dengan tujuan yang sebenarnya.
Kepentingan dan kebebasan individu ini sendiri sebenarnya sangat bertolak
belakang dengan konsep kedaulatan negara. Di dalam konsep kedaulatan,
negara adalah satu-satunya lembaga yang memiliki kekuasaan dan wewenang
tertinggi, bukannya individu. Maksudnya negara dengan kedaulatannya
tersebut tidak akan membenarkan kebebasan atau hak-hak azasi individu jika
hal itu akan mengancam kedaulatan negaranya. Negara harus mengutamakan
kepentingan khalayak ramai (publik) dari berbagai ancaman daripada
menyelamatkan satu individu saja.
Ketidak sesuaian ini harus dicarikan lagi solusinya oleh para pemikir
demokrasi, bagaimana seharusnya hak azasi individu tidak menimbulkan
kerugian bagi hak azasi suatu kelompok. Karena dikhawatirkan jika ini terus
berlanjut maka negara tidak akan mampu menjalankan tugasnya dengan optimal.
Sebagai contoh adalah kebebasan berekspresi dan kebebasan beropini, negara
sebagai organ tertinggi harus mampu mewadahi dan menaungi
kebutuhan/keinginan rakyatnya bagaimana kebebasan berekspresi tersebut
tidak menjadi sebuah kebebasan melakukan penghinaan/pencemaran nama baik
terhadap kepala pemerintahan atau terhadap kepercayaannya (agama).
4. Hilangnya Moral Demi Kebebasan Pribadi
Masih terkait dengan kebebasan yang di atas, jaminan demokrasi terhadap
kebebasan kadang-kala sudah melewati batas kewajaran, atau dengan kata lain
muncul krisis moral. Dengan hak kebebasan yang dimilikinya, setiap orang
akan merasa apa yang mereka lakukan menjadi suatu yang legal di negara
demokrasi ini, mereka bebas menghina atau mencaci (biasanya diperhalus
dengan kata "kritikan") para pemimpin kepala negaranya hanya atas dasar
kekecewaan pada kebijakan yang dibuat oleh pemimpinnya itu. Kesalahan kecil
tersebut dibesar-besarkan sehingga kebijakan positif yang telah banyak ia
lakukan seakan-akan tidak ada artinya. Semua atas dasar kebebasan
berekspresi dan kebebasan berpendapat.
Contoh lainnya adalah kasus penghinaan atas Nabi Muhammad SAW oleh orang
non-muslim dengan membuat kartun yang bersifat penghinaan. Mereka yang
mendapat kecaman dari rakyat muslim yang merasa menghina Nabi mereka malah
dibebaskan dari tuduhan penghinaan tersebut dengan alasan menjunjung
kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat.
Artinya kebebasan yang dijunjung tinggi oleh demokrasi belum dapat
memberikan ketentraman dalam kehidupan masyarakat yang heterogen. Terkait
dengan moral, demokrasi sendiri harus berusaha membatasi kebebasan tersebut
menjadi kebebasan yang bertanggung jawab, kebebasan yang tidak menghina dan
kebebasan yang memiliki moral.
Ketika demokrasi menimbulkan krisis moral, maka demokrasi itu sendiri akan
sangat tidak relevan dengan konsep pemerintahan dari rakyat, dimana rakyat
tersebut lebih mementingkan individunya, kelompoknya dan kepentingan
tertentu saja. Hilangnya moral menandakan bahwa mereka tidak mampu untuk
memerintah dirinya sendiri, apalagi memerintah orang lain atau sebuah
negara.[13] Karena pada umumnya kebanyakan orang tidak memiliki perhatian
pada kepentingan orang lain (kecuali pada dirinya) dalam membuat
keputusan.[14] Kekurangan mereka adalah dalam hal pengetahuan dan sebagian
lagi dalam hal kebajikan.[15]
Jika pengetahuan dan kebajikan diperlukan untuk kecakapan moral, sedangkan
kecakapan moral itu dibutuhkan untuk kecakapan politik, maka apakah pantas
orang-orang yang tidak cakap tersebut (yang memberikan kebebasan pada semua
warga untuk menjadi calon pemimpin, tanpa syarat yang ketat) dikatakan
memenuhi syarat untuk memerintah? Tentu saja tidak.[16]
5. Sebagai Wadah Berbagi Kekuasaan
Kriteria untuk sebuah negara demokratis yang mensyaratkan terjaminnya
pemilihan umum yang bebas, adil dan berkala tidak hanya memberikan
kesempatan bagi warganegara untuk memimpin dan memerintah (atau tepatnya
menjadi penguasa) tapi juga memberikan peluang kehancuran bagi negara dalam
jangka panjang. Karena ada beberapa alasan mengapa Penulis mengatakan
demikian, pertama dengan diadakannya pemilihan umum yang berkala tersebut
maka manusia yang secara kodratnya selalu menginginkan kekuasaan akan
memanfaatkan momentum pemilu sebagai wadah memperoleh kekuasaan. Untuk
mencapai kesana, mereka yang tidak atau kurang memiliki kecakapan politik
(termasuk kecakapan moral) dalam memerintah akan berusaha meghalalkan
segala cara, termasuk diantaranya mengobarkan janji-janji kosong saat
kampanye, dan mencela atau menyingkirkan lawan politik.
Kedua, pemilu yang berkala ini lebih tepat dikatakan sebagai suatu sistem
yang diciptakan untuk membagi-bagi kekuasaan pada banyak orang. Parahnya
lagi di mayoritas negara-negara demokratis selalu memberikan batas minimal
periodesisasi menjabat. Maksudnya dengan sistem ini pemimpin yang sudah
terpilih beberapa waktu yang lalu (secara kasarnya) harus diganti lagi
dengan pemimpin yang lain. Walaupun pemimpin tersebut sudah terbukti mampu
merangkul semua masyarakat, mampu menciptakan kesejahteraan, mampu
memakmurkan rakyatnya dan mampu memenuhi segala keinginan rakyatnya,
terpaksa harus diganti jika masa waktunya sudah habis (meskipun tidak ada
calon yang lebih baik darinya).
BAB III PENUTUP
3.2 SARAN
3.3 DAFTAR PUSTAKA
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, (Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama, 1999),