i
Pendampingan Pastoral berbasis Komunitas Gereja bagi Anak dengan Disabilitas Korban Pemerkosaan oleh Anggota Keluarga SKRIPSI Diajukan kepada Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta
Untuk memenuhi Sebagian persyaratan Guna memperoleh gelar Sarjana Filsafat Keillahian
Oleh: Fernando Sihaloho NIM: 215772012098
Jakarta April 2018
Lembar Pengesahan Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta, melalui Dosen Pembimbing dan Tim Pembaca/Penguji telah menerima kajian skripsi berjudul: Pendampingan Pastoral berbasis Komunitas Gereja bagi Anak dengan Disabilitas Korban Pemerkosaan oleh Anggota Keluarga. Kajian ini disusun, diserahkan dan dipertahankan oleh Fernando Sihaloho dalam memenuhi sebagian persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Filsafat Keillahian. Pembimbing/penguji
(Pdt. Besly J. T. Messakh)
Pembaca/Penguji 1
(
Pembaca/Penguji 2
)
(
Ketua STT Jakarta
)
Pembantu Ketua I Bidang Akademik STT Jakarta
(Pdt. Yusak Soleiman)
(Pdt Agustinus Setiawidi)
ii
Lembar Pernyataan Bebas Plagiarisme Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Nama:
Fernando Sihaloho
Nomor Induk Mahasiswa:
215772012098
Menyatakan bahwa skripsi berjudul:
Pendampingan Pastoral berbasis Komunitas Gereja bagi Anak dengan Disabilitas Korban Pemerkosaan oleh Anggota Keluarga Dibawah bimbingan: Pdt. Besly J. T.Messakh
Merupakan hasil kajian ilmiah saya sendiri, dengan mengikuti kaidah-kaidah dan etika keilmuan yang bertanggungjawab. Pernyataan ini saya buat dengan sejujurjujurnya. Bila di kemudian hari terbukti bahwa saya melakukan plagiarisme, maka saya bersedia menerima sanksi yang ditetapkan oleh STT Jakarta (lihat “Peraturan Plagiarisme”, disahkan dalam Rapat Senat STT Jakarta VIII/20092010, 2 Maret 2010).
Jakarta, 20 April 2018
(Feranando Sihaloho)
iii
Kata Pengantar Pada akhirnya, tibalah sebuah peziarahan seorang pengembara di waktu yang sangat berharga. Tiga tahun silam memasuki dunia perkuliahan dengan pergumulan dan rasa khawatir. Namun, perjalanan ini tidak dapat dihentikan karena keputusan memasuki perkuliahan adalah keputusan pribadi dan sudah seharusnya dituntaskan. Dengan terseok-seok dan penuh kebingungan serta air mata dilalui hanya dengan satu kekuatan, yaitu “Allah pemberi kekuatan dan kesehatan memampukan saya untuk berjalan hingga selesai dan karena cinta Allah akan hadir bagi setiap orang yang memerlukan dukungan, topangan serta membentukku.” Pada akhirnya, saya dapat mengatakan “terpujilah Allah” karena dapat melewati perkuliahan tersebut. Allah yang begitu baik dan orang-orang baik yang dihadirkan di dalam kehidupanku. Kata terima kasih tidak cukup untuk mewakili rasa cintaku terhadap semua orang yang berperan dalam penuntasan tulisan ini. Namun, biarlah ucapan terima kasih ini menjadi ungkapan yang tulus dari hati terdalam kuberikan kepada orang-orang yang telah berjalan bersamaku selama ini. Terima kasih pertama, saya ucapkan kepada kedua orang tuaku, yaitu Timbul Sihaloho dan mamak tercinta yaitu Sutiara Manalu. Beliau yang tidak bosan-bosannya memberikan nasihat dan menyakinkan saya semua akan baik-
iv
baik saja, beliau yang senantiasa mendoakan saya di dalam setiap pergumulan saya. Beliau yang begitu cinta memberikan kekuatan kepada saya untuk tetap berjuang meski lelah, menahan malu karena ulah saya dan masih tetap berjuang untuk harapan saya. Pada akhirnya, saya dapat melewati semua dan selesai. Terima kasih Allah buat cinta yang Kau berikan lewat mamakku tercinta. Terima kasih juga buat orang-orang yang selalu ada bersamaku, adikadikku yang senantiasa mengingatkan untuk tetap berjuang sampai akhir. Begitu juga buat teman-teman Angkatan 2015 yang senantiasa selalu ada buat saya, selama tiga tahun selalu bersama, menjadi adik, teman, sahabat dan saudara. Yang selalu mengingatkan saya dengan kesempatan yang Allah berikan. Menjadi teman berdebat dan berantam tetapi tetap satu. Terima kasih juga buat Siska Gorat yang memberi semangat dan bantuan untuk mencari sumber-sumber kasus saya. Terima kasih tak terhingga kuucapkan kepada nantulang Rusmaya Nainggolan yang membantu finansial setiap bulan. Kiranya Allah yang menambahkan kepada nantulang. Terima kasih terkhusus buat Timothy Pelmar yang telah membantu dalam berbagai aspek termasuk memakai printernya. Begitu juga buat adik-adikku dan menjadi temanku yang ada di Kalibata City yang siap-sedia ikut menemani dalam pengerjaan tulisan ini. Terima kasih buat Bindu Sitompul sebagai tuan rumah. Syukur kepada Allah yang selalu siap-sedia. Terima kasih juga buat Marlita Siregar yang jauh di sana, ikut berpartisipasi membantu dalam finasial dan menjadi pengingat untuk tetap semangat dalam menyelesaikan perkuliahan. Wanita yang siap menemani dari tahun pertama perkuliahan di Jakarta dengan segala kondisi yang saya alami. v
Terima kasih juga buat Pdt. Benny Sinaga yang merupakan mantan dosenku yang kini menjadi teman satu almamater, Pdt. Romeo Sinaga yang memberikan masukan dalam pelayanan dan memberikan masukan-masukan terhadap penulis dari sudut pandang budaya batak, Pdt. Jetty Samosir yang memberikan semangat dalam penulisan, Pdt. Freddy Limbong yang memberi motivasi untuk tetap semangat dalam kuliah, Pdt. Tiapul yang membantu memberikan bahan dalam penulisan dan perkuliahan dan Pdt. Nathanael Tarigan yang membantu mencari sumber-sumber buku. Terima kasih kuucapkan kepada GKI Pondok Indah yang telah membantu dalam finansial perkuliahan untuk mengurangi pengeluaran semester. Tuhanlah yang melimpahkan berkat-Nya bagi jemaat GKI Pondok Indah. Terima kasih juga buat HKBP Menteng jalan Jambu terkhusus Guru Sekolah Minggu yang mengerti dan memahami keadaan saya. Terima kasih juga saya ucapkan buat dosen pembimbingku, pak Besly Messakh yang bersusah payah membimbing dan mengarahkan bahkan telaten dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih juga buat kak Isabella Sinulingga yang mau menjadi tempat untuk bercerita mengenai kasus yang saya bahas. Terima kasih juga buat orang yang tidak dapat kusebutkan satu persatu. Terlalu banyak cinta dan terlalu dalam cinta yang mereka berikan kepada saya. Dan yang terakhir saya mengucapkan terima kasih buat anak disabilitas dan narasumber yang memberikan pengetahuan dan pemahaman baru, terkhusus buat saya. Saya menyadari bahwa semua orang memiliki keterbatasan dan semua orang butuh orang lain untuk dapat berkarya. Terima kasih saya ucapkan sekali lagi buat perkenalan dan pembelajaran tersebut. vi
Pada akhirnya, perziarahan ini akan tetap berlanjut namun seperti seorang pengembara yang terus berjalan, maka saya juga akan tetap berjalan sesuai dengan tuntunan Allah. Perziarahan ini tidak akan berhenti sampai di sini, namum ini menjadi pintu masuk menuju perziarahan yang lebih berwarna. Dan saya percaya, Allah akan tetap menaungi langkah saya dan memberikan kekuatan untuk mengerjakannya. Terhkusus angkatan 2015 “selamat berproses dalam perziarahan.”
Jakarta, 20 Mei 2018
Penulis
vii
Daftar Isi Halaman Kata Pengantar ………………………………………………………………………………………
iv
Daftar Isi ………………………………………………………………………………………………..
viii
Abstrak ………………………………………………………………………………………………….
x
Pendahuluan ………………………………………………………………………………………….
1
A. Latar belakang masalah ……………………………………………………………….
1
B. Perumusan masalah …………………………………………………………………….
3
C. Pembatasan masalah …………………………………………………………………...
7
D. Hipotesis ……………………………………………………………………………………..
7
Metodologi Penelitian ………………………………………………………………….
8
E. Alasan Pemilihan Judul dan Manfaat Penulisan ……………………………..
9
F. Sistematika Penulisan …………..............................................................................
10
Bab I: Hasil Penelitian, Analisa, dan Kesimpulan ……………………………………...
12
A. Hasil Observasi dan Wawancara ………………………………………………….
13
B. Analisa ……………………………………………………………………………………….
26
C. Kesimpulan …………………………………………………………………………………
31
Bab II: Mendampingi Anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga: Sebuah Pandangan Teologis .………………………………………..
32
A. Pandangan masyarakat Yahudi tentang orang yang buta sejak lahir
35
B. Pandangan dan sikap Yesus terhadap disabilitas ………………………….
36
C. Menyikapi keberadaan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga ………………………………………….…………………………………………
viii
41
Halaman Bab III: Pendampingan Pastoral anak Disabilitas korban Pemerkosaan oleh Anggota Keluarga …………………………………………………...…………………..
46
A. Anak Disabilitas Korban Pemerkosaan oleh Anggota Keluarga ……...
46
B. Komunitas ramah Disabilitas Korban Pemerkosaan oleh Anggota Keluarga …………………………………………………….……………………………….
48
C. Pendampingan anak Disabilitas Korban Pemerkosaan oleh Anggota Keluarga ………………………………………………...…………………………………...
54
D. Tujuan Pendampingan ………………………………………………………………...
54
E. Peran konselor ……………………………………………………………………………
55
F. Pemulihan anak Disabilitas Korban Pemerkosaan oleh Anggota Keluarga ……………………………………………………...……………………………..
58
1. Anak butuh diperlakukan bukan sebagai orang cacat …………
58
2. Anak butuh untuk diterima ……………………………………………….
59
3. Anak disabilitas membutuhkan komunitas dan komunikasi .
60
4. Anak disabilitas membutuhkan hidup mandiri ………………..…
60
5. Anak disabilitas sebagai “jantung hati” .………………………………
61
G. Metode ……………………………………………………………………………………….
62
Bab IV: Kesimpulan dan Saran ………………………………………………………………..
64
Lampiran Wawancara ……………………………………………………………………………
68
ix
Abstrak Penulisan skripsi ini dilatarberlakangi pengalaman saya melihat kehidupan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga yang masih mengalami penolakan di dalam komunitas bahkan gereja. Cerita dari narasumber di dalam bab satu menunjukkan bahwa masyarakat bahkan gereja kurang menunjukkan keterbukaan terhadap keberadaan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga yang di sekitarnya. Melalui tulisan ini, saya berargumen bahwa seharusnya masyarakat dan gereja harus terbuka dan menerima keberadaan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Bagi saya, keterbukaan dan penerimaan dari komunitas terutama gereja menjadi jawaban untuk keberadaan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Hal ini diperlukan karena anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga masih bagian dari keluarga dan komunitas. Bagi saya, anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga juga ciptaan Tuhan yang sempurna dengan keterbatasan yang dimilikinya. Bahkan, saya berargumen bahwa setiap orang di dalam dirinya memiliki keterbatasan dalam melakukan sesuatu hal. Melalui tulisan ini, saya menekankan perlunya keterbukaan dan penerimaan serta pendampingan pastoral yang dilakukan gereja sebagai komunitas terhadap anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Biarlah melalui penerimaan dan keterbukaan komunitas memberikan kesempatan bagi anak disabilitas untuk berkarya bagi dirinya, meraih cita-cita dan harapannya. Kata Kunci: Pemerkosaan oleh anggota keluarga, komunitas, gereja dan penerimaan.
x
Pendahuluan
Latar belakang masalah Kekerasan adalah bentuk perilaku verbal maupun non-verbal yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap seseorang atau sekelompok orang lain, sehingga menimbulkan efek negatif secara fisik, emosional, sosial dan psikologis terhadap mereka yang menjadi sasarannya (Hayati 2000, 28). Tindak kekerasan seperti yang dijelaskan di atas dapat terjadi dimana saja, seperti di gereja, keluarga dan masyarakat. Selain itu, tindak kekerasan di atas juga dapat dialami oleh siapa saja. Umumnya, dalam berbagai tindak kekerasan yang terjadi, yang menjadi korban adalah mereka yang lemah, dikuasai dan dikontrol oleh para pelaku kekerasan yang memiliki kekuasaan. Karena itu, misalnya dalam konteks perbedaan peran jender, laki-laki kemudian lebih berpeluang melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan ketimbang sebaliknya. Dalam konteks hubungan orang tua dan anak, kebanyakan orang tua lebih berpeluang melakukan kekerasan terhadap anak mereka ketimbang sebaliknya. Alasannya, karena laki-laki dan orang tua oleh masyarakat memang diimajinasikan sebagai kelompok orang yang berkuasa karena identitas dan statusnya yang harus dan mesti menguasai perempuan dan anak-anak. Sepanjang hal tersebut masih diimajinasikan dan diakui dengan cara demikian, laki-laki dan orang tua akan selalu punya ruang dan kesempatan melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak. 1
2
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa kuasa dan kontrol dalam bentuk apa saja yang dimiliki seorang pelaku kekerasan sangat memudahkan seseorang memilih jalan kekerasan yakni, dengan memaksakan keinginan dan kehendaknya atas korban, dalam rangka menguasai dan atau mengambil keuntungan tertentu dari mereka yang menjadi korban. Tindak kekerasan sebagaimana dijelaskan di atas memiliki dampak yang luar biasa terhadap korban. Kekerasan yang terjadi berdampak dalam perilaku keseharian korban. Hal ini menjadikan korban mengisolasikan diri dari sekitarnya. Sehubungan dengan uraian di atas, salah satu bentuk tindak kekerasan yang perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak adalah tindak kekerasan terhadap anak. Tindak kekerasan terhadap anak perlu diperhatikan, kerena tingginya angka kekerasan yang dialami anak. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sangat rentan terhadap anak-anak korban kekerasan. Lembaga KPAI memaparkan bahwa pada tahun 2017 terdapat 116 orang anak yang mengalami kekerasan seksual yang semua melibatkan ayah tiri dan kandung, keluarga terdekat dan temannya (Kekerasan seksual pada anak website 2017). Jumlah kekerasan seksual pada anak tiap tahun bertambah. Bahkan kekerasan seksual pada anak menjadi ancaman terbesar sama seperti pemakaian narkoba dan terorisme. Sedangkan, kesadaran untuk pendidikan sangat minim di dalam masyarakat Indonesia. Belum lagi, hal ini masih ditambah dengan lemahnya penegakan hukum terhadap para pelaku kekerasan (10 catatan penting akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak website 2017).
3
Karena itu, dalam skripsi ini saya akan membahas tentang pendampingan pastoral terhadap anak. Khususnya, saya akan membahas tentang pendampingan pastoral terhadap anak-anak yang mengalami tindak pelecehan seksual berupa pemerkosaan dari anggota keluarganya sendiri. Saya memfokuskan diri pada anak korban pemerkosaan karena melihat bahwa mereka adalah anak-anak yang karena kondisinya membutuhkan tindakan pemulihan secara pribadi. Perumusan masalah Ada beberapa jenis pelecehan seksual. Pertama, pelecehan seksual yang disertai kontak fisik. Hal ini mencakup sentuhan pada payudara atau alat kelamin korban, ciuman penuh nafsu, pemaksaan terhadap si korban, dll. Kedua, pelecehan seksual secara verbal (melalui kata-kata). Ketiga, pelecehan seksual secara visual (pandangan). Keempat, pelecehan seksual secara psikologis (Heggen 2008, 4-6). Apapun bentuknya, tindak pelecehan seksual sebagaimana digambarkan di atas membawa dampak traumatis yang membahayakan hidup para korban yang mengalaminya. Salah satu bentuk kekerasan seksual di atas dapat terjadi di antara anggota keluarga. Pelakunya biasanya adalah anggota keluarga yang lebih dewasa dan korbannya adalah anak-anak. Kekerasan seksual dalam bentuk pemerkosaan biasanya terjadi secara berulang, karena bagi korban dirinya terjebak dengan ancaman pelaku (Hayati 2000, 39). Masalah ini bertambah runyam bagi anak-anak korban pemerkosaan oleh anggota keluarga kalau anak-anak tersebut pada saat yang sama juga adalah
4
mengalami keterbatasan atau disabilitas. Dampak yang diterima anak disabilitas korban pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga adalah “luka” yang dalam di dalam diri anak yang bersangkutan. Luka yang dialami anak berupa trauma yang berkepanjangan setelah peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya. Anak disabilitas korban pemerkosaan biasanya kemudian mengalami penurunan kemampuan psikologi, mental yang lemah dan tidak dapat menerima keberadaan dirinya. Jika hal tersebut terus-menerus terjadi akan memberikan dampak negatif di dalam diri anak disabilitas sehingga mereka tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya (Imbens 1992, 133). Karena itu, sangat disayangkan bahwa orang dewasa, termasuk orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan akan-anak, yang seharusnya menjadi tempat perlindungan bagi anak-anak disabilitas justru menjadikan mereka sebagai alat untuk pemuas nafsu. Lalu, bagaimana dengan penanganan terhadap anak-anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga? Sejauh yang saya ketahui bahwa anak-anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga biasanya kurang ditangani dengan baik. Sebagai contoh, kita bisa lihat dari sikap gereja dalam mendampingi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Gereja umumnya beranggapan bahwa dengan melakukan ibadah penguatan bagi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga sudah cukup. Gereja tidak memberikan waktu dan kesempatan untuk mengenal dan merangkul keberadaan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga tersebut. Bahkan, ironisnya banyak gereja menganggap bahwa pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga sendiri masih tabu untuk
5
dibicarakan di depan publik karena akan merusak nama baik keluarga dari anak tersebut. Oleh karena itu, gereja biasanya hanya melakukan dispilin gereja bagi pelaku dan penguatan dalam ibadah bagi keluarga dan korban. Padahal, setiap orang harusnya memahami bahwa pengakuan dan penerimaan dari masyarakat terhadap keberadaan anak disabilitas sebagai bagian dari komunitas merupakan sesuatu yang diperlukan. Pengakuan ini dimaksudkan untuk memberikan tempat bagi anak disabilitas dalam berkarya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya (Vanier 1999, 43). Oleh karena itu, masyarakat diharapkan tidak melihat keterbatasan anak disabilitas sebagai kelemahan, melainkan semangat. Anak disabilitas membutuhkan semangat dari komunitas sebagai salah satu cara penerimaan komunitas terhadap keberadaannya. Semangat yang diberikan komunitas terhadap anak disabilitas akan membangun karakter anak disabilitas tersebut. Semangat tersebut juga akan memberikan kelegaan di dalam diri anak disabilitas untuk tetap berada di dalam komunitas. Hryniuk dalam buku Theology, Disability and Spirituality Transformation mengatakan bahwa komunitas haruslah hidup dan memberikan cinta kepada setiap orang yang ada di dalamnya sehingga dia dapat bertumbuh dari cinta yang diperoleh. Oleh karena itu, sangat diperlukan perasaan menerima keberadaan diri kita terlebih dahulu sebagai bentuk keikutsertaan orang lain terhadap keberadaan Tuhan di dalam diri kita (Hryniuk 2010, 92). Vanier memaparkan bahwa cinta yang diberikan oleh orang terdekat bagi anak akan memberikan pendewasaan untuk memahami keberadaan komunitas sebagai tempat yang aman dan nyaman. Anak yang harus tetap tumbuh dan
6
berkembang dalam fisik, iman dan spiritualnya. Anak yang akan diperkenal mengenai komunitas dengan kepercayaan dan pengenalan di dalam Tuhan. Oleh karena itu, masyarakat harus memberikan cinta yang sesungguhnya bagi anak sejak dini. Cinta yang diberikan dalam kehidupan anak akan mengantarkannya meraih cita-cita dan harapannya (Vanier 1999, 36). Oleh karena itu, pendekatan berbasis komunitas seperti yang disinggung di atas akan saya pakai sebagai usulan bagi gereja dalam mengembangkan pelayanan pastoral yang berpihak pada anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Saya mengangkat tugas gereja karena menurut saya gereja pada hakikatnya merupakan sebuah komunitas penyembuh. Gereja seharusnya menjadi sahabat bagi semua orang termasuk anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Gereja yang menjadi sahabat akan memberikan ruang bagi anak disabilitas untuk dapat bersuara di tengah-tengah jemaat dan masyarakat. Gereja yang dapat memberikan kesempatan bagi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga untuk berkarya dan berpartisipasi dalam setiap kegiatan yang ada di dalam masyarakat maupun gereja. Gereja sebagai komunitas merangkul anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga untuk berani mengenal orang lain di sekitarnya. Oleh karena itu yang akan saya permasalahkan dalam skripsi ini adalah: kehadiran gereja sebagai komunitas penyembuh di tengah masyarakat memungkinkan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga sebagai bagian dari komunitas gereja menemukan jalan untuk menerima diri
7
mereka dan pulih dari trauma yang dialami. Berdasarkan masalah di atas, maka pertanyaan penelitiannya adalah: 1. Sejauh mana anak-anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga disikapi keberadaanya oleh komunitas dalam rangka menolong anak-anak tersebut agar bisa menerima keberadaan dirinya di tengah komunitas? 2. Model pendampingan pastoral seperti apa yang perlu dikembangkan gereja dalam melakukan pendampingan pastoral terhadap anak-anak disabilitas korban pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga yang ada di tengah komunitas sehingga mereka dapat pulih dari trauma yang dialaminya? Pembatasan masalah Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih berfokus dan tidak meluas dari , maka saya membatasi pembahasan skripsi ini pada beberapa ruang lingkup. Pertama, saya akan membatasi pembahasna pada peran komunitas bagi anak disabilitas korban pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga. Adapun yang dimaksud dengan komunitas di sini adlaah komuitas gereja yang mampu menjadi komunitas penyembuh bagi anak disabilitas korban pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga. Kedua, saya membatasi pembasan saya dalam skripsi ini pada beberapa kasus pemerkosaan oleh anggota keluarga yang terjadi di beberapa keluarga Kristen yang ada di Indonesia. Hipotesis
8
Hipotesis yang ingin dibuktikan dalam skripsi ini adalah: 1. Komunitas umumnya kurang peka dalam menyikapi persoalan yang dihadapi anak disabilitas korban pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga. 2. Gereja perlu mengembangkan model pendampingan pastoral berbasis komunitas dalam rangka menolong anak disabilitas korban pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga menerima diri dan pulih dari trauma yang dialami. 3. Model pendampingan berbasis komunitas gereja yang memulihkan dapat menjadi tawaran yang diberikan oleh gereja dalam mendampingi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Metodologi Penelitian Dalam skripsi ini saya menggunakan dua metode penelitian yaitu: penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Saya menggunakan metode penelitian lapangan berupa observasi dan wawancara untuk menggali informasi tentang perlakuan terhadap anak disabilitas korban pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga sebagai anggota gereja yang ada di tengah masyarakat atau komunitas. Selanjutnya saya menggunakan metode penelitian kepustakaan untuk menjelaskan tentang apa saja yang bisa dibuat gereja sebagai komunitas penyembuh dalam mendampingi anak disabilitas korban pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga yang ada dalam komunitasnya.
9
Alasan Pemilihan Judul dan Manfaat Penulisan Skripsi ini saya beri judul “Pendampingan pastoral Pendampingan Pastoral berbasis Komunitas Gereja bagi Anak dengan Disabilitas Korban Pemerkosaan oleh Anggota Keluarga” Saya memilih judul ini karena melihat bahwa anak disabilitas korban pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga adalah bagian dari komunitas yang kerap disalahpahami keberadaanya. Hal ini membuat saya terus menerus memikirkannya dan mempertanyakannya. “Mengapa anak disabilitas yang menjadi korban pemerkosaan anggota keluarga tidak dianggap di dalam masyarakat bahkan gereja?” “Mengapa gereja hanya memberikan ibadah penguatan dalam keluarga?” Ketika saya melakukan Collegium Pastorale I di Toraja-Sulawesi Selatan, saya menemukan satu anak disabilitas korban pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga yang hanya diberikan ibadah penguatan. Saya kemudian menggali dan menemukan dua lagi kasus anak disabilitas korban pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga dengan periode waktu 2010-2017. Beberapa gereja sendiri tidak merangkul anak disabilitas korban pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga untuk beribadah di dalam gereja dan tidak mengikutsertakan dalam ibadah gereja. Maka, pertanyaan selanjutnya adalah “Apa peran komunitas bagi anak disabilitas, terutama korban pemerkosaan oleh anggota keluarga?” Dengan alasan-alasan inilah, saya mengambil topik tentang komunitas yang memulihkan. Saya ingin melihat bagaimana peran komunitas bagi pemulihan anak disabilitas korban pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota
10
keluarga karena mereka juga bagian dari komunitas sendiri. Dengan demikina saya berharap dengan tulisan ini setiap orang dalam komunitas dapat menyadari bahwa anak disabilitas korban pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga juga merupakan bagian dari komunitas. Komunitas perlu berperan aktif untuk memberikan pemulihan bagi anak disabilitas korban pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga. Dalam hal ini gereja sebagai komunitas juga berperan besar untuk membimbing dan mendukung penerimaan anak disabilitas korban pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga di dalam gereja untk pulih dari kondisi traumatis yang dialami. Sistematika Penulisan Pendahuluan Bagian ini berisi uraian tentang latar belakang, perumusan masalah, hipotesis, pembatasan masalah, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian. Bab I: Hasil Penelitian, Analisa, dan Kesimpulan Bab ini berisi deskripsi hasil observasi lapangan mengenai sikap komunitas terhadap keberadaan anak disabilitas yang berada di tiga tempat yakni di Bekasi, Tobasa-Sumatera Utara dan Toraja-Sulawesi Selatan. Bab II: Mendampingi Anak Disabilitas Korban Pemerkosaan yang dilakukan oleh Anggota Keluarga: Sebuah Pandangan Teologis Pada bab ini saya akan menjelaskan tentang landasan teologis pastoral yang perlu dipertimbangkan oleh gereja dalam mendampingi anak disabilitas korban pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga.
11
Bab III: Pendampingan Pastoral anak Disabilitas Korban Pemerkosaan yang dilakukan oleh Anggota Keluarga Pada bagian ini saya menjelaskan tentang apa yang perlu diperhatikan gereja sebagai komunitas penyembuh untuk melakukan pendampingan bagi anak disabilitas korban pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga. Bab IV: Saran dan Kesimpulan Pada bagian ini akan menyimpulkan mengenai anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga dengan memberikan saran-saran pendampingan bagi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga dilihat dari keterbatasannya.
Bab Satu Hasil Penelitian, Analisa, dan Kesimpulan
Pada bab ini saya akan memaparkan hasil observasi dan wawancara yang saya lakukan ketika menggali informasi mengenai lima kasus kekerasan seksual terhadap anak disabilitas yang dilakukan anggota keluarga atau orang dekat dalam lingkaran keluarga berupa tindak pemerkosaan. Kasus-kasus ini terjadi di kalangan keluarga Kristen, di beberapa tempat di indonesia yakni di Malimbong (Toraja), Bekasi dan Tobasa (Sumatera Utara). Sangat sulit bagi saya melakukan penelitian disebabkan penolakan yang dilakukan dari beberapa pihak, baik keluarga maupun lembaga yang mengurus anak disable sendiri. Keluarga yang melakukan penolakan tidak mau memberi alasan mengenai penolakan tersebut. Berdasarkan pemaparan ini saya akan membuat analisa untuk melihat bagaimana pandangan dan perlakuan orangtua, masyarakat dan gereja di beberapa tempat di Indonesia terhadap anak-anak disabilitas yang menjadi korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Harapannya dengan temuan ini pada bab-bab berikutnya dapat dipikirkan apa yang sebaiknya dilakukan gereja sebagai komunitas terhadap anak-anak disabilitas yang menjadi korban pemerkosaan oleh anggota keluarga yang ada dalam komunitas gereja itu sendiri.
12
13
Hasil Observasi dan Wawancara Kasus I Kasus ini menimpa seorang anak yang bernama Warni (Nama samaran). Warni dan keluarganya adalah anggota jemaat gereja X di Sulawesi Selatan. Dia anak kedua dari tiga bersaudara. Warni sendiri adalah anak tunaganda karena buta dan bisu. Pada saat diobservasi Warni berusia 15 tahun dan sejak kecil sama sekali tidak pernah mengenyam bangku pendidikan. Menurut pengamatan saya, Warni adalah anak yang sopan dan mudah diajak berteman. Ia bersedia menyapa siapapun yang bertemu dengannya melalui jabatan tangan. Berdasarkan keterangan yang saya himpun, peristiwa pemerkosaan terjadi pada Warni sekitar 7 bulan lalu dan peristiwa itu terjadi di rumahnya sendiri. Setelah diselidiki lebih dalam ternyata diketahui bahwa peristiwa perkosaan yang dialami Warni ini sebenarnya sudah terjadi beberapa kali, baik di dalam rumah, di kebun dan di teras rumah. Pelakunya adalah kakeknya sendiri, yakni ayah dari ibunya, yang dipercayai oleh orangtuanya untuk menjaga Warni. Kakeknya memang sering menemui Warni di rumah setiap pagi dan sore. Kepercayaan diberikan kepada kakeknya Warni untuk menjaga Warni karena menurut kedua orangtuanya, kakeknya Warni adalah orang yang baik karena mau menemani Warni. Kepercayaan orang tuanya seketika hilang ketika peristiwa pemerkosaan terhadap Warni diketahui. Orang tuanya Warni hingga sekarang marah besar pada kakeknya, terlebih lagi karena peristiwa itu terpergok snediri oleh ayahnya
14
Warni ketika pada pagi hari ia baru pulang mengantar adiknya Warni ke sekolah. Pak Marshal mengatakan: Saya tidak menyangka laki-laki yang saya hormati, bapak dari istri saya tidak punya hati. Hatinya iblis, pengen rasanya membunuh dia. Di dalam tahanan pun dia aku gak ikhlas, dia ganti rugi pun aku gak ikhlas (Marshal 2017).
Ketika diwawancai, Ayah Warni dengan sedih dan berurai air mata mengingat dan menceritakan kembali peristiwa yang terjadi di samping rumahnya, tepatnya di dekat penggilingan padi ketika kakeknya Warni melakukan pelecehan terhadap warni. Bagi ayahnya, perbuatan tersebut tidak bermoral dan tidak pantas dimaafkan. Menurutnya, pelaku yakni mertuanya sendiri seharusnya melindungi cucunya, bukan merusak masa depan cucunya. Ibunya Warni, Weni sendiri hingga kini tidak dapat menerima kembali keberadaan kakeknya Warni dengan perlakuannya. Ibu Weni mengatakan: Aku tidak tahu mau berkata apa lagi, dia sampai hati lakukan itu sama cucunya. Padahal dia bilang, dia sayang kali sama Warni tapi… .Ingin rasanya hatiku memakinya, aku gak bisa mengampuninya (Weni 2017).
Akibat peristiwa perkosaan yang menimpanya, Menurut Ibunya, Warni yang biasanya senang menyisir rambutnya di samping penggilingan padi, sekarang lebih sering marah-marah, menangis dan ketakutan. Orang tua Warni merasakan kepedihan Warni yang selalu bergumam dan mengepal tangannya dan menghentakan kakinya. Tidak semua orang mengenal dengan baik tentang Warni. Hal ini disebabkan karena mereka jarang bertemu langsung dengannya. Kalaupun bertemu hanya ketika masyarakat sekitar berkunjung ke rumah orangtuanya. Di
15
mata masyarakat, Warni merupakan anak yang baik dan sopan. Ini dibuktikan dari perkataan pak Agung yang saya wawancai yang mengatakan: Anaknya pak Marsal itu ramah dan enak diajak untuk bicara, walaupun sangat sulit berkomunikasi dengannya. Tapi, melalui jabatan tangan terlihat kok kalau dia ramah (Agung 2017).
Narasumber lain yang saya wawancarai juga mengatakan bahwa sampai saat ini belum terlihat tindakan, penanganan orang tua terhadap Warni. Orang tua hanya membiarkannya di rumah dan tetap seperti biasanya. Warni tidak dapat dilihat orang sekitar. Hanya saja perlindungan bagi Warni jauh lebih ketat dibandingkan sebelumnya. Ini kemungkinan disebabkan rasa takut orang tuanya, jika suatu saat terjadi lagi hal yang sama terhadap Warni. Berdasarkan informasi yang saya himpun, bisa dikatakan bahwa pada saat kejadian perkosaan yang menimpa Warni ketahuan, gereja hanya mendekatinya dengan melayankan ibadah penguatan bagi Warni dan keluarganya, tanpa lebih dalam melihat apa yang mesti dilakukan terhadap Warni. Pernyataan Pendeta Yani dan seorang majelis gereja bernama Sikar yang saya wawancara menggambarkan apa yang saya jelaskan di atas. Pendeta Yani yang saya wawancarai mengatakan: Kita tidak punya program khusus bagi anak korban pemerkosaan oleh anggota keluarga, terkhusus bagi anak disabel. Kita hanya bisa memberikan mereka penguatan melalui ibadah. Hal ini sebagai pertanda bahwa gereja juga ikut merasa sedih dan menyesali hal tersebut terjadi (Yani 2017).
Sedangkan Sikar mengatakan: Ibadah yang kita lakukan kepada keluarga dan anak korban pemerkosaan oleh anggota keluarga tersebut merupakan langkah yang baik, sebab yang tahu isi hati manusia hanya Tuhan. Biarlah semuanya kita serahkan kepada Tuhan dan biarlah Tuhan menghukum pelakunya (Sikar 2017).
16
Kasus II Kasus ini menimpa seorang anak perempuan bernama Mawar (nama Samaran) yang saat diobservasi berumur 7 tahun. Mawar yang mengalami kekerasan seksual oleh ayah kandungnya sendiri. Mawar adalah seorang anak yang kehilangan penglihatan sejak bayi. Saat ini Mawar bersekolah di sebuah Sekolah Luar Biasa milik Pemerintah di daerah Malimbong – Sulawesi Selatan. Menurut pengamatan saya, Mawar sehari-hari senang bermain bersama dengan teman-temannya, baik di sekolah maupun sekitaran rumahnya. Berdasarkan keterangan ibunya, peristiwa kekerasan seksual dalam bentuk pemerkosaan yang dilakukan ayahnya Mawar pertama sekali diketahui ibunya sekitar 2 tahun lalu. Saat itu, Mawar mengatakan bahwa bagian kemaluannya sakit. Waktu itu, ibunya tidak berpikir bahwa telah terjadi kekerasan seksual terhadap Mawar. Tapi karena Mawar mengeluhkan rasa sakit di daerah kemaluannya, ibunya membawa Mawar ke Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) setempat. Di Puskesmaslah diketahui bahwa Mawar telah diperkosa oleh seseorang dan hal itu dinyatakan oleh Bidan di Puskesmas. Dalam keadaaan sedih dan marah akibat mendengar hasil pemeriksaan terhadap Mawar di Puskesamas, Ibunya kemudian membawa Mawar pulang dan menginterogasinya. Dari penuturan Mawar, ibunya kemudian mengetahui bahwa ayah kandungnya sendiri yang melakukan pemerkosaan tersebut dan peristiwanya terjadi ketika Mawar pulang sekolah. Ibu Mawar yang marah dan emosi kemudian memukuli suami, dan melaporkannya ke kantor polisi sehingga akhirnya suaminya ditahan, disidang dan dipenjara.
17
Ibu Mawar mengatakan kepada saya bahwa dia malu dengan kelakuan suaminya. Dia juga tidak berniat untuk membebaskannya dari penjara. Bahkan, ibunya bermaksud untuk bercerai dengan suaminya, lantaran ia kuatir akan terjadi lagi kekerasan seksual yang sama terhadap mawar anaknya jika ia harus memaafkan suaminya. Oleh karena kejadian tersebut, Ibunya Mawar menjelaskan bahwa saat ini Mawar mengaku bahwa dirinya sering bermimpi buruk. Ia sering melihat ayahnya di dalam mimpi. Bahkan, ibunya sering terkejut kalau Mawar berteriak dan menangis karena mimpinya. Masih dari penuturan ibunya, dalam keseharian Mawar tidak ada kendala. Hanya saja ia kelihatan takut ketika mendengar suara laki-laki dewasa. Bagi masyarakat, Mawar dikenal sangat baik dan ramah. Masyarakat memandang Mawar sama seperti anak kecil lainnya yang senang bermain. Bahkan, Mawar dikenal di lingkungan luas rumahnya karena keceriaannya. Masyarakat tidak menduga bahwa ayahnya tega melakukan kekerasan seksual terhadap anaknya sendiri dan mereka mengutuk keras perbuatan ayahnya. Ini terlihat dari beberapa orang yang saya wawancarai yang memberikan pernyataan serupa bahwa “ayahnya Mawar bejat, tidak bermoral dan tidak manusiawi.” Seorang ibu bernama Nurul yang saya wawancarai mengatakan bahwa: Manusia seperti dia itu tidak berhak hidup di dunia. Padahal dia orang Kristen dan beriman tetapi kelakuannya tidak mencerminkan sama sekali sebagai orang yang memiliki Tuhan. Kalau perlu, orang seperti itu dibinasakan saja biar jadi pelajaran bagi orang-orang yang akan melakukan kekerasan seksual (Nurul 2017).
18
Bagaimana dengan gereja? Berdasarkan informasi yang saya himpun gereja hanya memberikan penghiburan kepada Mawar dan ibunya pada saat peristiwa pemerkosaan itu diketahui dan ayah Mawar di tahan Polisi. Gereja, yakni pendeta setempat, bahkan melihat bahwa dengan memberikan hukuman penjara kepada ayahnya sudah cukup menjadi pengobatan yang baik untuk mengobati rasa sakit yang dialami ibu Mawar. Wawancara yang saya lakukan terhadap Pendeta Sokar memperlihatkan bahwa Pendeta Sokar kemudian memilih memberikan nasihat melalui firman Tuhan kepada Mawar dan ibunya sekaligus mengharapkan mereka memaafkan ayahnya sebagai pelaku pemerkosaan oleh anggota keluarga. Pendeta Sokar mengatakan: Saya sebenarnya tidak tahu masalah ini dan ini terjadi sebelum saya melayani di tempat ini. Tetapi, yang mau saya katakan bahwa kehidupan kita ini hanya milik Tuhan dan yang tahu semuanya hanya Tuhan. Apa pun yang terjadi di dalam diri kita, baik kesusahan, penderitaan kita sebaiknya kita serahkan kepada Tuhan. Sudah seharusnya kita mengampuni orang yang melakukan kesalahan kepada kita sebab Tuhan sudah terlebih dahulu mengampuni semua kesalahan manusia (Sokar 2017).
Kasus III Kasus ini terjadi di Bekasi Timur yang dialami seorang anak laki-laki berumur 7 tahun bernama Yohanes. Yohanes sendiri adalah penderita retardasi mental. Yohanes adalah anak kedua dari lima bersaudara dan hingga saat ini belum bersekolah. Bagi ibunya, Yohanes adalah anak yang menyenangkan dan selalu dapat memberikan ketenangan baginya. Ayahnya Yohanes sehari-hari bekerja sebagai seorang tukang tambal ban dipinggir jalan besar. Sedangkan ibunya adalah seorang buruh pabrik yang
19
bekerja dari pukul 8 pagi sampai 9 malam. Yohanes dan 3 adik-adiknya tinggal di Bekasi, sedangkan kakaknya berada di kampung, tinggal bersama dengan keluarga besarnya. Setiap harinya Yohanes dan ketiga adik-adiknya sering dibawa ke tempat kerja ayahnya. Di mata istrinya, suaminya merupakan suami yang mengerti mengenai keadaan keluarganya, yang bekerja dari pagi sampai malam. Peristiwa kekerasan seksual yang dialami Yohanes terkuak setahun lalu, sekitar bulan Mei. Ketika saya mewawancarai ibunya Yohanes, ia sendiri mengatakan tidak tahu pasti sudah berapa kali kejahatan itu dilakukan oleh suaminya terhadap Yohanes terjadi hingga akhirnya peristiwa itu ketahuan. Ibu Yohanes hanya mengatakan kalau saat itu anaknya menunjuk bagian vitalnya sendiri dengan menangis. Ibunya yang tidak mengerti apa maksud dari anaknya membiarkan dan menenangkan saja anaknya. Tetapi masih berdasarkan penuturannya, waktu itu ia terpikir mungkin juga ada yang tidak beres dengan anaknya mengingat yang dikeluhkan adalah rasa sakit pada alat vital. Akhirnya, ibunya Yohanes memutuskan untuk diam-diam memperhatikan anak-anak dan suaminya dari jauh. Beberapa minggu kemudian, ibu Yohanes melihat kejanggalan di tempat kerja suaminya. Ia melihat suaminya dan Yohanes tidak ada di luar, sedangkan ketiga anaknya bermain di luar. Ibunya menghampiri bengkel suami dan melihat bahwa suaminya telah menyodomi Yohanes. Ibunya Yohanes menceritakan hal ini kepada saya sambil menangis, memperlihatkan rasa sakit hati yang begitu besar karena kejadian yang ia lihat. Ibunya juga mengatakan bahwa ia sampai
20
sekarang masih menyesali pilihannya untuk berkerja sehingga tidak bisa mengawasi anak-ananya. Ibu Santi mengatakan: Saya menyesal telah bekerja dan meninggalkan anak-anak saya. Padahal saya bekerja untuk kehidupan sehari-hari kami, bahkan untuk membeli susu anak-anak saya. Kalau mengharapkan dari pendapatan suami pasti tidak cukup. Saya menyesal, kalau saja waktu bisa diputar, lebih baik aku merawat mereka terutama Yohanes (Santi 2018).
Bagi ibunya, Yohanes masih terlihat ceria ketika bermain bersama dengan adik-adiknya. Ibunya melihat Yohanes hanya butuh kasih sayang yang lebih besar darinya. Hanya saja, setelah peristiwa pemerkosaan oleh anggota keluarga yang dialami, Yohanes sekarang menjadi anak yang agak kasar. Dia terkadang memukul adiknya secara tiba-tiba tanpa ada sebab. Biasanya Yohanes hanya menunjuk orang lain dan menangis, kemudian memukul adiknya. Bagi masyarakat, Yohanes dianggap sebagai anak yang idiot. Anak yang memiliki IQ rendah dan tidak mengerti apa yang dibicarakannya. Tapi, masyarakat juga tidak menduga bahwa yang melakukan kejahatan adalah ayahnya sendiri. Padahal, ayahnya sering membawa anak-anaknya ke tempat kerjaannya. Masyarakat lebih sering melihat anak-anaknya bermain di luar, kalau pun tidak kelihatan mungkin lagi makan atau mandi. Hal ini diperkuat dengan wawancara saya terhadap seorang ibu penjaga warung yang berada di samping tambal ban, tempat kerja ayahnya Yohanes. Ibu Sukma itu mengatakan: Saya selalu melihat anak-anaknya bermain di depan ini, bahkan saya melihat kalau si Yohanes sering sekali lari-lari padahal dia susah jalan. Beberapa kali memang Yohanes tidak ikut bermain dengan adik-adiknya, kemungkinan dimandikan atau dikasih makan. Saya tidak tahu dan tidak menyangka sama sekali kalau ayahnya sendiri yang melakukan kejahatan tersebut Padahal anaknya idiot, tidak tahu apaapa (Sukma 2018).
21
Ketika saya melakukan wawancara terhadap seorang pemuda bernama Rian yang biasanya kumpul-kumpul sekitar tambal ban, ia menuturkan: Saya awalnya tidak menyangka kejadian tersebut. Setahu saya, ia itu baik kepada orang-orang sekitar dan anak-anaknya, ia juga sering terlihat mengasuh anakanaknya. Tapi, mau bagaimana pun ia harus dihukum karena hanya orang bodoh dan tidak bermoral yang berani melakukan kejahatan seperti itu. Saya merasa kasihan terhadap Yohanes sendiri, seharusnya dia mendapatkan kasih sayang dari seorang ayah, apalagi ibunya kerja dari pagi sampai malam (Rian 2018).
Terhadap kasus ini, Pendeta Monang yang saya wawancara mengatakan: Mereka yang mengalami penderitaan, kesakitan dan kesedihan sudah seharusnya kita bantu. Kita sebagai anak-anak Tuhan harus selalu ada bagi mereka yang membutuhkan. Begitu juga hal dengan anak korban pemerkosaan oleh anggota keluarga tersebut, bahwa dia merupakan anak yang dikasihi Tuhan. Jadi, kita harus memandang sama dan memperlakukannya sama dengan yang lainnya, meskipun dia berbeda (Monang 2018).
Dari ungkapan pendeta di atas, jelas yang bersangkutan melihat bahwa secara pastoral ada sesuatu yang perlu dilakukan terhadap anak korban pemerkosaan oleh anggota keluarga sehingga yang bersangkutan bisa dipulihkan. Sedangkan seorang majelis gereja bernama Lina berkata: Kebahagiaan yang sejati datangnya hanya dari Yesus Kristus yang ajaib dan mampu menyembuh setiap kesedihan. Tugas kita sekarang adalah bersama-sama dengan setiap orang yang percaya, membangun komunitas yang membangun (Lina 2018).
Dari ungkapan di atas, majelis bersangkutan jelas menyatakan bahwa ia terus berusaha akan memberikan penghiburan kepada orang tuanya. Majelis bersangkutan juga berusaha mengajak orang tuanya untuk tetap menjaga dan membimbing anak disaibiltas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga mengenal Kristus sebagai yang hidup.
22
Ketika saya bertanya apa yang mesti dilakukan gereja terhadap anak korban pemerkosaan oleh anggota keluarga tersebut dijelaskan bahwa gereja hanya melakukan ibadah keluarga dan memberikan tawaran kepada anak tersebut untuk sering datang sekolah minggu. Bagi gereja, melalui kedatangan anak korban pemerkosaan oleh anggota keluarga ke dalam sekolah minggu akan memberikan sedikit pemulihan. Pendeta Monang yang menangani kasus ini mengatakan: Saya menganjurkan agar Yohanes untuk datang ke sekolah minggu. Dia dapat bermain bersama dengan teman-temannya yang lain dan bisa mengurangi trauma yang dia dapatkan. Lagi pula, kalau dia di dalam gereja, dia bisa bernyanyi bersama dengan teman-temannya dan mendengarkan firman Tuhan. Yohanes merupakan anak yang spesial (Monang 2018).
Kasus IV Kasus pemerkosaan ini menimpa Vero (Nama samaran) seorang anak penderita tuna grahita. Vero saat ini berumur 15 tahun dan telah memiliki seorang anak. Vero hamil dan melahirkan anak akibat pelecehan seksual yang ia alami sekitar 6 tahun yang lalu. Anak Vero sekarang sudah berumur 5 tahun dan telah duduk di bangku SD. Saat ini Vero berada di sebuah panti asuhan milik Gereja H daerah Tobasa–Sumatera Utara. Menurut penuturan yang diberikan oleh staff panti, awalnya Vero dititipkan keluarga untuk dapat diajari dengan baik mengingat kondisi tuna grahita nya. Namun, beberapa lama setelah Vero berada di panti, staff panti mengetahui bahwa Vero merupakan anak korban pemerkosaan oleh anggota keluarga yang dilakukan oleh ayahnya sendiri. Staff
23
Panti pun melakukan terapi kepadanya dan hasil terapi memperlihatkan bahwa Vero mengalami kekerasan seksual. Kemudian, staff berusaha menghubungi keluarga dekat keluarga dekatnya memberitahukan bahwa Vero diperkosa oleh ayahnya sendiri. Ketika staff mengkonfirmasi kebenaran informasi tersebut kepada orang tuanya, orang tuanya Vero menolak untuk memberitahukan kebenaran kasus ini. Meskipun demikian, panti tetap menerima keberadaan Vero dan berusaha memberikan perawatan. Dari wawancara yang saya lakukan kepada seorang staff di panti, Vero saat ini mengalami kemajuan yang luar biasa baik selama berada di Panti. Seorang Staff Panti bernama Anton menjelaskan perbedaan sikap Vero saat pertama kali datang ke panti dan setelah ia dirawat di panti. Anton mengatakan: Vero merupakan anak tuna grahita dengan keterbatasan pada mental. Awal dia sampai di panti untuk makan saja sangat kesulitan. Biasanya dia makan pakai tangan tapi tangannya digenggam kuat, bahkan tangannya seperti yang kaku. Kemudian, pertama sampai dia sering teriak-teriak dan mukul-mukul orang dengan keras. Tapi, sekarang sudah jauh lebih baik, makan sudah pake sendok bahkan sudah bisa mengantar piring kotor ke kamar mandi (Anton 2018).
Tragisnya, orang tuanya menganggap Vero sudah tidak ada. Ia dilupakan dan keberadaanya dianggap sebagai aib yang memalukan bagi keluarga. Bagi ibunya, keberadaan Vero dengan kondisinya yang cacat sudah merupakan dosa besar yang harus ditanggung oleh keluarga besarnya. Kehadiran Vero di dunia dengan perbedaan dengan anak-anak lain sudah memberikan penderitaan bagi keluarga besarnya, ditambah aib dengan melahirkannya Vero. Ibu Vika mengatakan:
24
Saya punya anak tapi dulu. Sekarang dia sudah tidak di sini dan bahkan saya tidak tahu bagaimana keadaannya. Untuk datang ke tempatnya saja susah. Lebih baik uang untuknya saya pergunakan untuk kebutuhan keluarga saya di sini, apalagi ayahnya mereka sudah tidak ada di sini (Vika 2018).
Saya juga melakukan wawancara dengan beberapa orang sekitar tempat orang tua Vero. Mereka semua mengenal Vero sebagai anak yang “idiot.” Vero dikenal sebagai anak yang suka membuat masalah, sering mendorong orang lain yang dikenalnya. Seorang tetangga Vero bernama Risa mengatakan bahwa kondisi dan kejadian yang menimpa Vero merupakan akibat dosa masa lalu keluarganya. Ia mengatakan: Itulah namanya karma. Dulu kakek-neneknya sombong sekali, mentang-mentang dulu orang kaya jadi suka-sukanya sama semua orang. Tuhan itu tidak diam, Dia tahu siapa yang baik dan siapa yang sombong. Sekarang Tuhan menghukum mereka melalui cucunya yang cacat dan idiot. Biar mereka tahu kesalahannya (Risa 2018).
Berbeda lagi dengan penjelasan yang diberikan oleh pendeta setempat. Pendeta yang mengaku tidak mengetahui mengenai peristiwa atau kejadian persis yang menimpa Vero menolak untuk menangani kasus ini Pendeta Pantas tersebut mengatakan: Saya mengenal ibu Vika tapi saya tidak tahu anaknya (Vero) yang mana. Saya melayani di tempat ini baru sekitar 2 tahun. Bahkan, majelis saya juga tidak ada yang memberitahu mengenai peristiwa atau kejadian tersebut. Sebenarnya, ini bukan urusan saya, ini menjadi urusan pendeta sebelum saya. Saya tidak tahu sudah sejauh mana pendeta tersebut melakukan konseling terhadap orang tuaya Vero (Pantas 2018).
Kasus V Kasus ini menimpa seorang anak yang bernama Lely (nama samaran). Lely seorang anak penderita tuna grahita, saat ini ia berumur 17 tahun dan sudah memiliki seorang anak laki-laki. Anak laki-laki tersebut merupakan akibat
25
kekerasan seksual yang dilakukan oleh ayahnya. Anak Lely saat ini tinggal bersama dengan ibunya di Kabanjahe. Lely sendiri saat ini tinggal di Panti Asuhan di daerah Tobasa-Sumatera Utara. Lely berada di panti sudah sekitar 7 tahun dan dia termasuk orang yang rajin di panti. Dia bahkan ditunjuk sebagai salah satu pengasuh bagi anak panti lain untuk mempersiapkan perlengkapan makan. Dari wawancara yang saya lakukan kepada staff panti, dijelaskan bahwa Lely adalah anak korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Kejadiannya terjadi pada saat Lely berumur 10 tahun. dan dilakukan oleh ayahnya sendiri. Kejadian ini membuat Lely mengalami trauma. Ini dipertegas dengan keterangan staff panti asuhan yang menjelaskan perbedaan sikap Lely waktu pertama kali datang ke Panti dan setelah Lely dibimbing di panti. Staff bernama Anton mengatakan: Pertama sekali Lely sampai ditempat ini, dia selalu histeris berteriak minta tolong. Dia bahkan sangat susah untuk didekati oleh siapa pun. Pernah juga dia dekati terapis laki-laki, dia langsung nangis dan berteriak. Dia berkata bahwa bahwa terapis itu jahat. Tetapi, setelah diberikan pendekatan oleh terapis perempuan sehingga sekarang dia mengalami kemajuan. Dia sekarang sudah berani di dekati oleh laki-laki. Tetapi, dampak traumatis yang dialami masih ada (Anton 2018).
Masih penuturan staff panti, ibunya Lely rutin datang ke panti sekadar melihatnya. Ibunya juga merasa senang dengan perubahan yang didapatkan anaknya selama berada di panti. Ketika saya melakukan wawancara terhadap ibunya. ia membenarkan bahwa anaknya mengalami keterbelakangan mental. Setiap hari anaknya hanya berbicara sendiri dan semakin parah ketika dia menjadi korban pemerkosaan oleh anggota keluarga yang dilakukan oleh ayahnya sendiri. Ibunya sampai
26
sekarang tidak bisa memaafkan suami. Ia sendiri yang melaporkannya tindak kekerasan suaminya ke kantor polisi dan saat ini suaminya telah berada di penjara. Hingga saat ini suaminya masih di dalam penjara. Pengadilan memberikan hukuman kurungan 15 tahun. Bagi ibunya, Lely dan anaknya menjadi prioritas utama yang perlu dijaga dan dirawat. Hal ini dipertegas dengan pernyataan yang diberikan ibu Maria bahwa: Saya lebih baik mengutamakan Lely dan anaknya yang sekarang sudah sekolah. Mereka berdua membutuh uang untuk keperluan sehari-hari. Jadi lebih baik saya beri waktu dan kekuatan saya kepada mereka. Daripada, saya memikirkan suami saya yang tidak pantas untuk dibanggakan ( Maria 2018).
Saya melakukan wawancara terhadap beberapa tetangga yang semuanya hampir sepaham bahwa ibunya berjuang untuk Lely dan anaknya. Mereka juga menyesali perbuatan yang dilakukan oleh ayahnya. Mereka mengutuki kejahatan yang dilakukan oleh ayahnya. Tetangga yang bernama ibu Ani mengatakan bahwa “ibunya bekerja keras untuk anak-anaknya, sedangkan dulu suaminya hanya bisa minum (Ani 2018).” Kemudian ditekankan oleh ibu Ana yang mengatakan bahwa “suaminya saja yang tidak tahu diri. Sudah tidak kerja, melakukan kejahatan asusila (Ana 2018).” Analisa Setelah saya melakukan obeservasi dan wawancara terhadap beberapa orang narasumber, saya melihat beberapa hal terkait kehidupan anak disabilitas yang menjadi korban pemerkosaan oleh anggota keluarga tersebut. Oleh karena itu, pada bagian ini saya mencoba melihat dari sudut pandang saya setelah melakukan pengamatan dan observasi lapangan.
27
Dari hasil wawancara yang saya lakukan pada kasus di atas bahwa terlihat perbedaan mencolok anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga tersebut. Seperti kasus Marwa yang awalnya senang menyisir rambutnya, tetapi setelah kejadian itu terjadi ia terlihat lebih emosi. Saya menganalisa bahwa sebenarnya Marwa menginginkan pengakuan dari orang lain bahwa dia ada. Marwa ingin menunjukkan kepada semua orang, termasuk keluarganya bahwa dia menginginkan kehadiran orang lain yang mengerti dan memahami dirinya. Marwa memperlihatkan gerakan-gerakan yang mencolok, sehingga membuat semua orang memandang kepadanya. Bahkan, Marwa juga bergumam dengan keras sehingga setiap orang pasti mendengar dan memandangnya. Aksi yang dilakukan oleh Marwa untuk memperlihatkan kepada semua orang bahwa dia butuh tempat untuk berbagi, dia butuh orang untuk dapat merangkul keberadaannya. Lain hal yang terjadi pada kasus Lely, ia berteriak-teriak minta tolong meskipun pada saat itu ia berada di dalam panti. Tetapi, setelah beberapa lama di dalam panti, dirawat dan diberikan terapi, Lely tidak lagi berteriak. Melainkan, dia dapat menjadi teman dan sahabat bagi anak disable lainnya. Saya menganalisa bahwa ternyata di dalam diri anak disabilitas yang menjadi korban pemerkosaan oleh anggota keluarga terdapat rasa takut yang ingin dia keluarkan. Saya melihat bahwa orang sekitar dapat memberikan perubahan menjadi lebih baik, seperti kasus Lely yang tinggal di panti. Ia berada di tengah-tengah anak disable lain dan staff panti. Komunitas memberikan pemulihan kepada Lely
28
sehingga dia tidak melihat dirinya lagi tetapi membantu sesamanya yang membutuhkan. Oleh karena itu, komunitas dan orang sekitar menjadi salah satu salah pemulihan bagi anak disabilitas yang menjadi korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Saya juga melihat pada kasus anak disabilitas yang menjadi korban pemerkosaan oleh anggota keluarga memberikan dampak yang besar dalam kesehariannya. Anak yang biasanya ceria menjadi murung, anak yang biasanya ramah menjadi takut kepada orang-orang tertentu. Ini menjadi gambaran bahwa perubahan yang dialami anak disabilitas yang menjadi korban pemerkosaan oleh anggota keluarga berdampak buruk terhadap perkembangan emosi, jiwa bahkan spiritualitasnya. Rata-rata keluarga dan orang tuanya yang anak disabilitas yang menjadi korban pemerkosaan oleh anggota keluarga alami terlihat sedih, murung bahkan tidak memberi maaf kepada pelaku. Hal ini terlihat pada kasus I, ibu dan ayahIni memperlihatkan Marwa tidak dapat memberikan maaf terhadap kakek Marwa. Bahkan, dari pengamatan yang saya lakukan di rumah bersangkutan bahwa orang tua terus menerus memperlihatkan kesedihan yang berkepanjangan. Inilah yang memperlihatkan rasa sakit ketika salah seorang yang dikasihinya mengalami penderitaan. Tetapi sangat disayangkan bahwa keluarga tidak melakukan tindakan tepat terkait penanganan terhadap anak disabilitas yang menjadi korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Pada kasus di atas terlihat bahwa hanya 2 dari 5 orang yang menempatkan anaknya di panti. Ini bagi saya sudah benar, tetapi satu diantara keluarga tersebut tidak menganggap keberadaan anaknya di panti. Sedangkan lainnya ditempatkan di rumah tanpa
29
penanganan khusus. Dalam kasus empat kelihatan bahwa keberadaan anak disabilitas yang menjadi korban pemerkosaan oleh anggota keluarga tidak dihargai oleh orangtuanya sendiri, Penolakan ini terjadi karena status disabilitas dianggap sebagai kutuk dan karena itu peristiwa pemerkosaan oleh anggota keluarga. Saya melihat bahwa orang tua anak disabilitas yang menjadi korban pemerkosaan oleh anggota keluarga merasakan penyesalan karena tidak dapat merawat secara penuh. Salah satu contoh pada kasus I, orang tua Marwa beranggapan dengan membiarkannya di rumah menjadi perlindungan baginya. Sudah seharusnya orang tua memiliki pengetahuan tentang anak disable sehingga keluarga dapat bertindak dan berbuat bagi anak disable. Sudah seharusnya setiap orang dalam komunitas harus mampu memberikan hati untuk merangkul keberadaan mereka. Setiap orang dalam komunitas juga harus mampu mempersiapkan diri anak untuk peristiwa yang tidak diprediksikan dengan memberikan pelajaran inklusif dan pemahaman terhadap lingkungan sosial sekitarnya. Begitu juga dalam masyarakat bahwa hal yang sangat disesalkan bahwa masyarakat melakukan pelabelan kepada anak disabilitas yang menjadi korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Masyarakat menganggap bahwa anak disable adalah “cacat.” Penggunaan yang harusnya disematkan pada barang yang gagal. Kemudian, masyarakat juga melabeli keluarganya sebagai hukuman atas kesalahan keluarga anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga tempo dulu. Ini merupakan kesalahan yang besar bahwa kesalahan keluarga tempo dulu tidak serta merta dapat diturunkan di generasi berikutnya.
30
Masyarakat diharapkan secara umum juga memiliki wawasan mengenai disabilitas dan tanggung jawab masyarakat terhadap keberadaan mereka. Sangat disayangkan bahwa masyarakat masih menganggap anak disabilitas sebagai produk gagal dengan melabeli “cacat.” Bahkan, keluarga Kristen juga sudah seharusnya memiliki pengetahuan lebih untuk dapat mengenal anak disabilitas, terutama korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Ketika saya melakukan pengamatan dan wawancara di Panti, terlihat bahwa staff berusaha memberdayakan anak disabilitas yang menjadi korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Panti memberikan terapi yang terbaik dengan harapan anak dapat dipulihkan dari rasa sakit. Panti juga seharusnya memiliki kesabaran yang penuh dan juga penuh kasih sayang dalam memulihkan anak disabilitas yang menjadi korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Hal yang mengerikan bagi saya bahwa Vero sebagai penderita retardasi mental tidak mendapat perhatian lebih, sehingga ia masih terlihat memukul-mukul temannya. Seolah-olah hal biasa dan staff panti asuhan membiarkannya. Dari hasil wawancara narasumber bahwa ternyata banyak gereja tidak memberikan perhatian lebih kepada anak disabilitas yang menjadi korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Di satu sisi, gereja mengerti dan memahami bahwa rasa sakit yang dialami oleh anak disabilitas yang menjadi korban pemerkosaan oleh anggota keluarga, di sisi lain gereja menganggap bahwa anak disable hanya butuh orang tua yang kuat. Oleh karena itu, gereja hanya memberikan ibadah penghiburan kepada keluarga anak disabilitas yang menjadi korban pemerkosaan oleh anggota keluarga.
31
Secara intens, gereja kurang mengenal dan memahami perasaan anak disabilitas yang menjadi korban pemerkosaan oleh anggota keluarga dan penanganan yang dilakukan. Gereja hanya mampu berbicara bahwa semuanya akan indah tetapi tidak berbuat. Gereja hanya mampu menjelaskan bahwa Tuhan adalah Sang Penghibur manusia tetapi tidak mampu menempatkan diri di dalam jemaat, terutama anak disabilitas yang menjadi korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Kesimpulan Berdasarkan analisa di atas, ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil. Kesimpulan dimaksud sebagai berikut: 1. Masih adanya penolakan yang dilakukan orang Kristen mengenai keberadaan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. 2. Masih terdapat pemahaman keluarga Kristen mengenai disable yang berarti kutuk dan pemerkosaan oleh anggota keluarga adalah aib. 3. Gereja mengetahui peranan mereka di tengah-tengah anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga, tetapi tidak mengerti harus berbuat apa. 4. Masyarakat masih menganggap bahwa anak disable adalah orang “cacat”,”tidak normal”, dan “IQ rendah” dan pemerkosaan oleh anggota keluarga adalah aib keluarga yang tidak harus diketahui masyarakat umum.
Bab Dua Mendampingi anak Disable Korban Pemerkosaan oleh Anggota Keluarga: Sebuah Tinjauan Teologis
Berikut ini saya akan membahas tentang dasar teologi yang perlu dipertimbangkan dan dimanfaatkan dalam mendampingi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Pandangan teologi ini akan saya dalami berdasarkan pemahaman teks Yohanes pasal 9: 1-34. Untuk itu, hal pertama yang akan saya lakukan adalah menggali pemahaman dalam teks yang dibahas tentang bagaimana disabilitas dipahami oleh komunitas orang Yahudi pada jaman Yesus. Setelah itu saya akan menggali bagaimana pandangan dan sikap Yesus sendiri tentang disabilitas berdasarkan teks yang dibahas. Berdasarkan hal-hal itu saya akan berefleksi tentang bagaimana seharusnya kita memahami dan memperlakukan anak-anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga yang ada dalam komunitas kita. Adapun teksnya sendiri berbunyi sebagai berikut: 9:1. Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak lahirnya. 9:2 Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya: "Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?" 9:3 Jawab Yesus: "Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia. 9:4 Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku, selama masih siang; akan datang malam, di mana tidak ada seorangpun yang dapat bekerja. 9:5 Selama Aku di dalam dunia, Akulah terang dunia."
32
33
9:6 Setelah Ia mengatakan semuanya itu, Ia meludah ke tanah, dan mengaduk ludahnya itu dengan tanah, lalu mengoleskannya pada mata orang buta tadi 9:7 dan berkata kepadanya: "Pergilah, basuhlah dirimu dalam kolam Siloam." Siloam artinya: "Yang diutus." Maka pergilah orang itu, ia membasuh dirinya lalu kembali dengan matanya sudah melek. 9:8. Tetapi tetangga-tetangganya dan mereka, yang dahulu mengenalnya sebagai pengemis, berkata: "Bukankah dia ini, yang selalu mengemis?" 9:9 Ada yang berkata: "Benar, dialah ini." Ada pula yang berkata: "Bukan, tetapi ia serupa dengan dia." Orang itu sendiri berkata: "Benar, akulah itu." 9:10 Kata mereka kepadanya: "Bagaimana matamu menjadi melek?" 9:11 Jawabnya: "Orang yang disebut Yesus itu mengaduk tanah, mengoleskannya pada mataku dan berkata kepadaku: Pergilah ke Siloam dan basuhlah dirimu. Lalu aku pergi dan setelah aku membasuh diriku, aku dapat melihat." 9:12 Lalu mereka berkata kepadanya: "Di manakah Dia?" Jawabnya: "Aku tidak tahu." 9:13. Lalu mereka membawa orang yang tadinya buta itu kepada orangorang Farisi. 9:14 Adapun hari waktu Yesus mengaduk tanah dan memelekkan mata orang itu, adalah hari Sabat. 9:15 Karena itu orang-orang Farisipun bertanya kepadanya, bagaimana matanya menjadi melek. Jawabnya: "Ia mengoleskan adukan tanah pada mataku, lalu aku membasuh diriku, dan sekarang aku dapat melihat." 9:16 Maka kata sebagian orang-orang Farisi itu: "Orang ini tidak datang dari Allah, sebab Ia tidak memelihara hari Sabat." Sebagian pula berkata: "Bagaimanakah seorang berdosa dapat membuat mujizat yang demikian?" Maka timbullah pertentangan di antara mereka. 9:17 Lalu kata mereka pula kepada orang buta itu: "Dan engkau, apakah katamu tentang Dia, karena Ia telah memelekkan matamu?" Jawabnya: "Ia adalah seorang nabi." 9:18 Tetapi orang-orang Yahudi itu tidak percaya, bahwa tadinya ia buta dan baru dapat melihat lagi, sampai mereka memanggil orang tuanya
34
9:19 dan bertanya kepada mereka: "Inikah anakmu, yang kamu katakan bahwa ia lahir buta? Kalau begitu bagaimanakah ia sekarang dapat melihat?" 9:20 Jawab orang tua itu: "Yang kami tahu ialah, bahwa dia ini anak kami dan bahwa ia lahir buta, 9:21 tetapi bagaimana ia sekarang dapat melihat, kami tidak tahu, dan siapa yang memelekkan matanya, kami tidak tahu juga. Tanyakanlah kepadanya sendiri, ia sudah dewasa, ia dapat berkata-kata untuk dirinya sendiri." 9:22 Orang tuanya berkata demikian, karena mereka takut kepada orangorang Yahudi, sebab orang-orang Yahudi itu telah sepakat bahwa setiap orang yang mengaku Dia sebagai Mesias, akan dikucilkan. 9:23 Itulah sebabnya maka orang tuanya berkata: "Ia telah dewasa, tanyakanlah kepadanya sendiri." 9:24 Lalu mereka memanggil sekali lagi orang yang tadinya buta itu dan berkata kepadanya: "Katakanlah kebenaran di hadapan Allah; kami tahu bahwa orang itu orang berdosa." 9:25 Jawabnya: "Apakah orang itu orang berdosa, aku tidak tahu; tetapi satu hal aku tahu, yaitu bahwa aku tadinya buta, dan sekarang dapat melihat." 9:26 Kata mereka kepadanya: "Apakah yang diperbuat-Nya padamu? Bagaimana Ia memelekkan matamu?" 9:27 Jawabnya: "Telah kukatakan kepadamu, dan kamu tidak mendengarkannya; mengapa kamu hendak mendengarkannya lagi? Barangkali kamu mau menjadi murid-Nya juga?" 9:28 Sambil mengejek mereka berkata kepadanya: "Engkau murid orang itu tetapi kami murid-murid Musa. 9:29 Kami tahu, bahwa Allah telah berfirman kepada Musa, tetapi tentang Dia itu kami tidak tahu dari mana Ia datang." 9:30 Jawab orang itu kepada mereka: "Aneh juga bahwa kamu tidak tahu dari mana Ia datang, sedangkan Ia telah memelekkan mataku. 9:31 Kita tahu, bahwa Allah tidak mendengarkan orang-orang berdosa, melainkan orang-orang yang saleh dan yang melakukan kehendak-Nya. 9:32 Dari dahulu sampai sekarang tidak pernah terdengar, bahwa ada orang yang memelekkan mata orang yang lahir buta. 9:33 Jikalau orang itu tidak datang dari Allah, Ia tidak dapat berbuat apaapa."
35
9:34 Jawab mereka: "Engkau ini lahir sama sekali dalam dosa dan engkau hendak mengajar kami?"Lalu mereka mengusir dia ke luar.
Pandangan Masyarakat Yahudi tentang Orang yang Buta Sejak Lahir Masyarakat Yahudi memahami bahwa kondisi yang dialami orang buta dalam teks di atas merupakan kesalahan atau dosa sehingga sudah seharusnya yang bersangkutan dipisahkan dari kehidupan masyarakat pada umumnya. Karena itu, dalam teks di atas orang Farisi berusaha menyudutkan Yesus dengan karya nyata-Nya bagi orang buta yang dianggap mesti dipisahkan dari kehidupan masyarakat Yahudi. Orang Farisi berusaha menginterogasi Yesus untuk mengakui kesalahannya melakukan penyembuhan di hari Sabat. Bahkan, diterangkan bahwa orang Farisi juga berusaha mencari kesalahan dari orang tua orang buta tersebut mengenai kebutaan yang dialami anaknya sejak lahir. Orang Farisi berusaha mencari tahu mengenai penyembuhan yang dialami anaknya, sehingga anaknya dapat melihat kembali. Kita dapat melihat di dalam teks bahwa ada sikap ragu-ragu yang diperlihatkan oleh orang tua orang buta mengenai penyembuhan tersebut. Pada kenyataannya, orang tuanya sebenarnya mengetahui dengan pasti mengenai penyembuhan anaknya, tetapi takut dipersalahkan oleh orang Farisi. Orang tuanya juga bukan tidak mau mengakui Yesus sebagai Tuhan yang memulihkan anaknya. Mereka menjawab dengan mengatakan tidak mengetahui bagaimana anaknya dipulihkan. Hal ini dilakukan karena takut dikeluarkan dari Sinagoge. Sinagoge bagi masyarakat Yahudi hanya sebagai tempat ritual agama dilakukan melainkan juga sebagai tempa berkumpulnya komunitas orang Yahudi. Dengan demikian menjadi jelas bahwa kepura-puraan orang tua dari
36
orang yang buta sejak lahir yang mengatakan tidak mengetahui proses pemulihan anaknya disebabkan ketakutan mereka pada resiko pengusiran dan pengucilan dari masyarakat (Kostenberger 2004, 287). Orang Yahudi juga sebenarnya mengenal mujizat doa dan yakin bahwa melalui doa maka permintaan akan terkabulkan. Hanya saja terdapat diskriminasi dimana masyarakat Yahudi memahami bahwa doa orang berdosa tidak akan terkabulkan. Dalam hal ini orang buta dan orang tuanya adalah orang berdosa. Karena itu orang buta dan keluarganya dipandang sudah seharusnya mendapatkan hukuman melalui pengusiran dan pengisolasian (Kostenberger 2004, 290).Bahkan saya melihat bahwa orang Farisi marah serta berusaha mempersalahkan Yesus dengan penyembuhan yang dilakukan terhadap orang buta sejak lahir. Padahal seperti dikatakan Kostenberger orang tua dari orang yang buta sejak lahir sebenarnya tidak melakukan kesalahan apapun yang membuat orang tersebut buta sejak lahir. Bahkan, ia juga mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara kebutaan orang yang buta sejak lahir dengan satu perbuatan dosa yang dilakukan dirinya atau orangtuanya. Ia menyatakan bahwa Tuhanlah yang memperkenankan hal itu terjadi agar karya Tuhan nyata di dalam diri orang tersebut (Kostenberger 2004, 282). Pandangan dan Sikap Yesus terhadap Disabilitas Pemahaman masyarakat Yahudi mengenai keberadaan orang buta sejak lahir memperlihatkan adanya diskriminasi dank arena itu orang dengan disabilitas termarjinalkan di tengah-tengah masyarakat. Bahkan, masyarakat
37
Yahudi sendiri menciptakan diskriminasi bagi orang-orang terpinggirkan, dalam hal ini pengemis dan orang buta. Pengemis dan orang buta dalam teks merupakan orang-orang yang berdosa dan hidup dari rasa kasihan orang sekitarnya. Di luar dugaan, Yesus mempergunakan pengemis dan orang buta sejak lahir untuk menyaksikan kemuliaan Tuhan (Beasley 1987, 156). Yesus mempergunakan orang buta sejak lahir untuk menggambarkan kehidupan masyarakat Yahudi yang tidak memperlihatkan komunitas yang sejati. Saya melihat bahwa Yesus berinisiatif menyembuhkan orang buta sejak lahir untuk memperlihatkan bahwa sebenarnya masyarakat Yahudilah mengalami kebutaan sejak dulu, yakni kebutaan akan dosa. Yesus ingin mengajarkan kepada semua orang, termasuk masyarakat Yahudi bahwa semua orang sudah seharusnya saling memahami sebagai bagian dari anggota komunitas. Komunitas yang saling membantu dan memberikan perhatian penuh terhadap mereka yang memiliki keterbatasan. Yesus juga memperlihatkan karya nyata-Nya dengan menggunakan air liur yang diaduk di tanah. Tanah menjadi wadah bagi Yesus untuk memberikan penyembuhan terhadap orang buta tersebut. Sedangkan, dalam masyarakat Yahudi memahami bahwa air liur merupakan budaya pagan yang berkaitan dengan hal-hal magis, sehingga pada masanya banyak mengutuk penggunaan air liur. Tetapi, Yesus mempergunakan air liur untuk memberitahukan kepada orang Farisi dan masyarakat Yahudi bahwa kerohanian Yesus sangat berbeda dibandingkan orang pada umumnya. Yesus juga ingin memperlihatkan kepada
38
seumua orang bahwa Yesus merupakan utusan Allah untuk memperlihatkan kasih-Nya kepada semua orang tanpa memandang status, ekonomi dan kekuasaan yang dimilikinya (Kostenberger 2004, 283). Senada dengan pemikiran Kostenberger, Beasley mengatakan bahwa Yesus menyembuhkan orang buta dengan menggunakan adonan tanah. Hal ini dilakukan sebagai bentuk kuasa yang dimiliki-Nya. Yesus memiliki kemuliaan untuk memberikan nasihat kepada semua orang. nasihat yang diterima ini seharusnya diterima oleh orang berdosa, lalu kemudian mengakui dosanya tersebut. Dalam konteks ini orang yang berdosa tidak hanya kepada pengemis dan orang buta tetapi orang Farisi dan masyarakat Yahudi. Sebab itu, Yesus datang ke dunia untuk menggenapi perjanjian. Perjanjian Baru juga mengatakan bahwa takut akan Tuhan harus diterapkan sebagai iman dan kepercayaannya dalam “Anak Tuhan” (Beasley 1987, 151). Sehingga hal ini menjadi nyata bahwa Yesus ingin memperlihatkan kepada semua orang bahwa sudah seharusnya semua orang memahami keberadaan orang sekitarnya. Setiap orang dalam komunitas masyarakat Yahudi harus memperlihatkan saling keterikatan diantara sesamanya. Yesus ingin mengajarkan kepada semua orang untuk saling meragkul dalam hidup berkomunitas. Pada teks tersebut, Injil Yohanes ingin menegaskan bahwa Yesus merupakan Putra Tuhan yang diutus bagi manusia. Yesus menjadi manusia dan menderita serta merasakan kehidupan yang dialami manusia untuk
39
memperlihatkan cinta-Nya kepada semua orang. Kemudian, penegasan ini menghubungkan Yesus dengan air sebagai sumber kehidupan. Mata air digunakan sebagai tempat memberikan kelegaan bagi setiap orang yang mengalami kelelahan. Perjanjian Lama juga memperlihatkan kolam sebagai tempat pemurnian. Oleh sebab itu, menjadi sangat penting mengetahui bahwa Yesus dan air merupakan sumber kehidupan yang baru dengan kelegaan (Kostenberger 2004, 285). Di sekitar masyarakat Yahudi terdapat sebuah Kolam Siloam. “Kolam Siloam” merupakan tempat ritual penyembuhan. Berbanding terbalik dengan budaya Yahudi yang menerangkan bahwa air liur merupakan hal yang najis karena bagian dari kotoran manusia. Hal ini oleh Beasley ingin mengatakan bahwa dengan iman dan percaya maka orang buta itu memperoleh kesembuhan. Kesembuhan tersebut hanya berasal dari Yesus. Tetapi, orang Farisi berusaha untuk menyingkirkan Yesus dengan menganggapnya sebagai bidah. Yesus yang tidak memiliki pengajaran seperti Musa mengenai pengudusan hari Sabat. Penyembuhan orang buta menjadi suatu bentuk penginjilan Kristen untuk gereja agar lebih aktif memahami orang terpinggir (Beasley 1987, 153). Yesus juga mempergunakan Sabat sebagai waktu penyembuhannya. Hal yang dianggap melanggar peraturan hari pengudusan. Yesus ingin mempertentang kebiasaan orang Yahudi dengan memperlihatkan mujizat. Pertentangan dengan kenyakinan terhadap nabi Musa yang paling besar
40
menjadikan Yesus dianggap bukan berasal dari Tuhan. Tetapi, Yesus ingin menyampaikan bahwa setiap orang adalah berdosa dan semua orang mengalami “kebutaan.” Kebutaan dengan dosa yang menyelimutinya. Kebutaan yang sengaja dilakukan dengan memahami dosa turunan (Beasley 1987, 158). Sehingga, Injil Yohanes ingin mengajarkan mengenai iman yang dimiliki oleh orang buta sejak lahir. Orang buta tersebut memiliki spiritualitas dan kepercayaan terhadap pemulihan yang dia dapatkan. Orang buta tersebut mengakui imannya dengan berkata kepada orang Farisi: “satu hal yang sata ketahui: saya buta tetapi sekarang saya melihat.” Dia memperlihatkan kepada semua orang termasuk orang Farisi mengenai iman yang dimilikinya. Orang buta tersebut percaya bahwa dia akan mendapatkan pemulihan dengan percaya kepada Yesus. Meski, dia sadar akan menerima konsekuensi bahwa orang Farisi akan marah terhadapnya (Kostenberger 2004, 288). Yesus di dalam Injil Yohanes juga ingin mengkritisi kehidupan orang Farisi yang menganggap diri paling benar dan tidak berdosa. Bahkan, orang Farisi menganggap dirinya sebagai orang yang pintar dan mengerti mengenai kehendak Tuhan atas dirinya dan masyarakat Yahudi. Orang Farisi juga menganggap bahwa dirinya lebih mengenal dan memahami Tuhan dengan baik. Hal ini diperkuat dengan penegasan akan diri mereka yang menganggap mereka tidak berdosa. Hal inilah yang ingin diperlihatkan Injil Yohanes bahwa orang Farisi merupakan orang berdosa dengan tidak memberikan diri bagi sesamanya. Bahkan, orang Farisi telah menciptkan diskriminasi bagi orang-orang kecil dan
41
terpinggirkan, dalam hal ini pengemis dan orang buta serta orang tuanya (Kostenberger 2004, 289). Pada akhirnya kita harus memahmi bahwa setiap orang adalah sama dan memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Tuhan berkarya di dalam diri setiap orang, termasuk orang disabilitas. Orang juga memiliki bakat-bakat tertentu, sehingga mereka dapat dikatakan sebagai orang berkebutuhan khusus. Yesus ingin mengajarkan setiap orang bahwa orang disabilitas juga membutuhkan pengajaran dan perhatian penuh. Karya Tuhan di dalam diri orang disabilitas dapat dilihat dari penciptaan orang disabilitas tersebut. Orang disabilitas diciptakan dengan segala keterbatasan bukanlah tanda ketidakmampuan. Yesus ingin memperlihatkan kepada setiap orang bahwa orang disabilitas juga butuh penerimaan dari orang sekitarnya. Menyikapi Keberadaan Anak Disabilitas Korban Pemerkosaan oleh Anggota Keluarga Pada hakikatnya manusia adalah ciptaan Tuhan yang sempurna, tanpa terkecuali anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Alkitab mencatat mengenai penciptaan manusia di dalam Kejadian 1:27 yang berbunyi: “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” Hal ini membuktikan bahwa tidak ada kata “cacat”, “IQ rendah” yang disematkan bagi manusia. Sesuatu yang keliru ketika manusia melabeli anak disabilitas dengan kata “cacat”,”IQ rendah”, yang sama artinya menolak penciptaan Allah terhadap
42
manusia. Ini juga menjadi kesalahan bahwa manusia tidak mengindahkan keinginan Tuhan akan hidup manusia. Tuhan sendiri tidak pernah mengatakan dalam firman-Nya bahwa dia menciptakan manusia lain yang tidak menurut gambar Allah. Kesalahan pemikiran manusia terhadap keberadaan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga di tengah masyarakat perlu dipertanyakan. Manusia sudah menyadari bahwa anak disabilitas merupakan bagian dalam diri Tuhan dan Tuhan ada di dalam anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Hal ini dipertegas dengan kemampuan yang dimiliki setiap orang berbeda-beda. Tidak ada 1 orang lebih tinggi dibandingkan dengan orang lain. Tuhan memberikan bakat setiap orang. Di dalam diri manusia, Tuhan telah berikan bakat-bakat tertentu. Bahkan, manusia Tuhan memberikan kebebasan terhadap manusia untuk memilih sesuai dengan keinginan hatinya. Di sini Tuhan tidak merenggangkan hubungannya, melainkan Tuhan berada di dalamnya dan terikat. Sehingga, manusia dapat memahami kehendak Tuhan dengan menghormati-Nya dengan segala ciptaan. Hal ini sesuai dengan perkataan Bonhoeffer: “If the Creator wills to create his own image, he must create it in freedom; and only this image in freedom would fully praise him and fully proclaim the honour ot its Creator.” (Bonhoeffer 1962, 34)
Pandangan Bonhoeffer menegaskan bahwa manusia diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa-Nya. Gambar dan rupa yang dimaksud tidak hanya terlihat dari fisik melainkan sifatnya serta bagaimana dia mampu berelasi dengan Tuhan.
43
Sekarang apakah kita mengerti mengenai panggilan kita bagi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga? Bahwa ternyata mereka juga menginginkan keberadaan orang lain di sekitarnya. Tuhan menciptakan manusia di dalam komunitas sebagai bentuk komunikasi dan interaksi bagi sesamanya. Tidak ada pendeskreditan bagi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Ketika hal ini dapat dilaksanakan maka komunitas tersebut dapat dikatakan hidup. Eiesland memaparkan mengenai Allah dengan keterbatasan. Allah yang menjadi manusia sebagai Yesus. Hidup sebagai manusia yang penuh dengan penderitaan, bahkan mengikuti rutinitas manusia pada umumnya. Allah dengan keterbatasan ruang dan waktu untuk berkarya di tengah-tengah umat. Eiesland tidak menyinggung esensi Yesus sebagai Tuhan yang berkuasa. Eiesland ingin mengatakan bahwa Allah turut hadir dalam penderitaan manusia (Eiesland 1994, 99). Anak disabilitas juga merupakan citra Allah, imago dei. Jadi, saya melihat bahwa tidak ada pembedaan disetiap ciptaan Tuhan. Tuhan menciptakan manusia dengan gambar dan rupa-Nya. Sejalan dengan pemikiran Boenhoeffer yang mengatakan bahwa dengan melihat diri kita di cermin, maka kita melihat diri Tuhan. Hal ini menjadi jalan bahwa di dalam setiap diri manusia bersemayam Allah melalui citra. Setiap orang juga perlu mengetahui bahwa tiap orang mengambil bagian sebagai penyembuh bagi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Ketika tiap orang berkumpul menjadikannya sebagai komunitas penyembuh. Kita dapat melihat hal ini di dalam Yohanes 9:1-34, di mana orang
44
buta (tuna netra) di pisahkan dari masyarakat. Masyarakat sekitar menganggapnya sebagai hukuman atas dosa dari keluarganya. Setiap komunitas bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan dan kenyamanan bagi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Komunitas juga berperan sebagai wadah untuk tumbuh dan berkembang anak disable. Oleh karena itu melalui pendekatan Vanier berusaha melibatkan semua aspek, baik keluarga, masyarakat dan gereja menjadi suatu komunitas yang hidup (Vanier 1999, 36). Setiap orang juga harus mengetahui bahwa komunitas menjadi manifestasi dalam diri anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Kehadiran komunitas menjadi awal terbentuknya diri anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Ketika anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga mendapatkan respon yang baik dari sekitarnya, maka dia dapat belajar mengenal dirinya dan sekitarnya. Oleh sebab itu, perlu pengakuan dari dalam diri setiap orang di dalam komunitas terhadap keberadaan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga (Vanier 1999, 43). Orang buta (tuna netra) bukanlah kesalahan yang dilakukan oleh dirinya ataupun orang tuanya, melainkan jalan keselamatan bagi manusia. Kita dapat melihat dari jawaban Yesus bahwa anak disabilitas bukanlah dosa orang tuanya atau keluarganya terdahulu. Tuhan menciptakan anak disabilitas untuk memperlihatkan anugerah Tuhan melalui keindahan ciptaan-Nya. Keindahan yang hanya dapat dilihat dari iman dan kepercayaan kepada Tuhan.
45
Saya melihat bahwa Tuhan memperlihatkan keterbatasan anak disabilitas kepada masyarakat dan gereja, agar semua mengerti bahwa: a) Anak disabilitas juga anugerah ciptaan Tuhan. b) Anak disabilitas juga bagian dari komunitas. c) Anak disabilitas juga memiliki kemampuan yang bisa saja tidak dimiliki oleh orang lain sekitarnya. Hanya saja perlu dibangun hubungan yang erat antara anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga dengan masyarakat dan gereja. Tetapi, hal ini jugalah yang tidak didapatkan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Manusia yang diciptakan sesuai gambar dan rupa Allah bukan dilihat dari fisik melainkan sifat. Manusia diciptakan untuk hidup berelasi dengan sesamanya di dalam komunitas. Tuhan melihat bahwa kehadiran anak disabilitas di tengah komunitas sesuatu yang baik dan agar setiap orang mampu berefleksi. Sehingga, setiap orang akan mengalami perjumpaan dengan Tuhan di dalam diri anak disabilitas.
Bab Tiga Pendampingan Pastoral Anak Disabilitas Korban Pemerkosaan oleh Anggota Keluarga
Anak merupakan anugerah Tuhan bagi keluarga, termasuk jika anak tersebut anak dengan disabilitas. Anak dengan disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga membutuhkan orang sekitarnya yang dapat dipercaya. Ketika anak-anak ini merasa diterima dan juga memberikan kepercayaan kepada seseorang, hal ini akan membuat mereka merasa nyaman. Tetapi, pada kenyataannya orang yang dipercayai malah mengancam kehidupannya. Oleh karena itu anak dengan disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga membutuhkan pemulihan bagi dirinya. Anak Disabilitas Korban Pemerkosaan oleh Anggota Keluarga Tindak pemerkosaan terhadap anak dengan disabilitas akan membawa dampak negatif baik terhadap korban. Berdasarkan observasi yang saya lakukan di bab dua dampaknya adalah: anak akan takut ketika bertemu dengan pelaku; anak kehilangan rasa kepercayaan terhadap sekitarnya, dan anak lebih sering mengucilkan diri sendiri akibat trauma yang diterima. Berdasarkan pemikiran Finkelhor dan Browne, Novriana juga mengkategorikan adanya empat jenis dampak trauma akibat kekerasan seksual yang dialami anak-anak, termasuk tentu saja anak disable korban perkosaan oleh anggota keluarga. Empat jenis dampak trauma tersebut adalah (Noviana 2015,
46
47
19-20): (a) Pengkhianatan. Kepercayaan merupakan hal yang paling mendasar dalam kehidupan manusia, terlebih anak-anak. Sebagai seorang anak, kepercayaan pada keluarga sangat diperlukan. Namun dalam kasus pemerkosaan oleh anggota keluarga, kepercayaan anak dan otoritas keluarga akan dipandang sebagai hal yang mengancam dan karena itu anak korban perkosaan akan merasa dikhianati. (b) Trauma secara seksual. Anak yang mengalami kekerasan seksual cenderung akan melakukan atau menolak sama sekali hubungan seksual. Mereka juga menganggap laki-laki atau perempuan sama sekali tidak dapat dipercaya. (c) Merasa tidak berdaya. Rasa takut yang dialami anak korban perkosaan akan menjadi bagian dari kehidupan anak tersebut. Mereka akan merasa dirinya tidak mampu, lemah dan kurang efektif untuk bekerja. (d) Stigmatization. Anak yang mengalami kekerasan seksual akan merasa bersalah, malu dan mengisolasikan diri. Hal ini terjadi akibat ketidakberdayaan dan menganggap berbeda dengan orang lain. Karena itu, gereja sebagai sebuah komunitas mesti menjadi tempat bagi semua orang yang mengalami berbagai “luka” untuk mendapatkan pemulihan, tidak terkecuali bagi anak disable korban perkosaan anggota keluarga. Dalam hal ini, dibutuhkan model pendampingan pastoral memulihkan yang dilakukan dalam komunitas gereja. Pendampingan seperti ini mestinya dibangun melalui hubungan yang diperkuat dengan kehangatan dan pengertian. Pertanyaannya adalah apakah model pendampingan pastoral yang mesti dikembangkan agar anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga bisa mengalami pemulihan dalam komunitas gereja dimana dia berada? Untuk menjawab hal ini menurut saya, gereja sebagai komunitas mesti
48
mengembangkan model pelayanan pastoral integratif. Adapun yang dimaksud dengan pelayanan pastoral integratif adalah model pelayanan dimana di satu sisi gereja mesti berperan aktif dalam menciptakan komunitas yang ramah dan penuh pengertian terhadap keberadaan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Di lain sisi, gereja sebagai komunitas juga mesti memikirkan model pendampingan pastoral pribadi bagi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga yang bertolak dari kebutuhan dan kondisi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga itu sendiri. Karena itu, berikut ini saya akan menjelaskan model pendampingan pastoral integratif, sebagaimana dikatakan di atas, yang mesti diterapkan gereja dalam rangka mendampingi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Penjelasannya saya akan mulai dengan berbicara tentang tugas gereja menyipakan komunitas yang ramah terhadap anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Selanjutnya saya akan bicara tentang hal yang mesti diperhatikan gereja dalam mendampingi secara pribadi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga . Komunitas Ramah Anak Disabilitas Korban Pemerkosaan oleh Anggota Keluarga Jean Vanier mengatakan bahwa rasa kesepian dalam diri anak disabilitas manjadi bagian luka kehidupannya akibat penolakan yang ia alami dari komunitas. Luka karena rasa kesepian ini akan berdampak terhadap sikap dan hubungan anak disabilitas dengan komunitas. Kesepian seperti ini akan membuat anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga akan
49
kehilangkan hakikatnya sebagai manusia yang hidup dalam komunitas (Vanier 1998, 7). Oleh karena itu, diharapkan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga dapat dipulihkan dari kesepian yang ia alami akibat penolakan komunitas atas dirinya. Diharapakan rasa kesepian tersebut justru dapat ditransformasi menjadi kekuatan, melalui empati yang diberikan oleh komunitas bagi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Untuk itu komunitas diharapkan tidak memberikan penyangkalan terhadap keberadaan anak disable korban perkosaan sehingga mereka dapat menemukan dirinya di dalam komunitas yang lebih luas (Vanier 1998, 8). Komunitas harus mampu melihat anak dengan penuh kasih. Komunitas baik keluarga, masyarakat dan gereja harus memperihatkan keramahan. Keramahan dalam bersikap terhadap keberadaan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Bahkan, setiap orang harus siap menjadi teman atau sahabat bagi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Vanier lebih jauh memaparkan bahwa komunitas harus memiliki sikap untuk terbuka bagi keberadaan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Komunitas harus terlebih dahulu mengesampingkan kepentingan pribadi dan menerima anak disabilitas sebagai bagian dari anggota komunitas. Untuk itu komunitas harus saling menguatkan dalam pengetahuan dan spiritual dalam membangun hubungan yang intens (Vanier 1998, 64). Dalam hal ini , di dalam komunitas sendiri tidak boleh ada penyangkalan terhadap anak
50
disabilitas, termasuk anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Adapun beberapa prinsip di dalam hidup berkomunitas yang perlu diperhatikan dalam melihat keberadaan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga adalah prinsip bahwa (Vanier 1999, 14-15): 1) Manusia lahir dengan suci dan hidup di dalam budaya, ras dan wilayah sebagai komunitas pemberi kekuatan. 2) Dunia kita dan dunia pribadi kita dalam kehidupan selalu berkembang. Komunitas seharusnya mengubah pola pikir lama menjadi pola pikir yang baru untuk memberikan kehidupan bagi anak disabilitas. Komunitas harus terbuka dengan keberadaan mereka serta memberikan cinta, ketulusan, persatuan, perdamaian dan membangkitkan potensi anak disabilitas. 3) Sikap mawas harus lahir dari diri masyarakat. Percakapan dan diskusi harus terus menerus untuk mengenal dan memahami disabilitas. 4) Komunitas harus saling mendukung untuk membuat pilihan dan memberikan tanggung jawab penuh kepada kehidupan pribadi dan kehidupan anak disabilitas, terutama korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. 5) Setiap orang harus membuat pilihan sebagai cerminan dan mencari kebenaran serta pemahaman. Keterbukaan terhadap orang sekitar merupakan prinsip pertama untuk saling terhubung dalam komunitas.
51
Dengan mengimplementasikan prinsip-prinsip di atas diharapkan Komunitas menjadi tempat untuk dapat menghargai orang lain, termasuk anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Komunitas juga mampu saling berbagi dan bekerja sama untuk menemukan kelemahan dan kelebihan yang berguna bagi keberadaan anak disabilitas. Komunitas harus melihat bahwa anak disabilitas korban perkosaan oleh anggota keluarga sebagai anak yang berharga dan dapat berpartisipasi (Vanier 1998, 58). Setiap anak membutuhkan interaksi bagi sesamanya, tidak terlepas bagi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Anak disabilitas membutuhkan gereja sebagai mediator yang dapat mempertemukannya dengan komunitas. anak disabiliitas diharapkan dapat mengalami pemulihan dari pertemuan dalam komunitas. Melalui interaksi di dalam komunitas dapat membantu anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai masyarakat. Oleh sebab itu, masyarakat harus siap terbuka dan merangkul keberadaan anak disabilitas, terutama korban pemerkosaan oleh anggota keluarga sebagai bagian dari keluarag komunitas (Vanier 1998, 67) Setiap orang dalam komunitas juga harus memahami perannya di dalam diri anak disabilitas. Anak disabilitas menganggap bahwa setiap orang merupakan “hati” untuk menemukan cinta yang sesungguhnya. Cinta yang memberikan sukacita di dalam kehidupannya. Kita harus menyadari bahwa setelah peristiwa pemerkosaan yang terjadi dalam kehidupannya tidak memberikan ketenangan di dalam dirinya. Rasa takut dan kesepian selalu
52
menghampiri kehidupannya. Sebab itu, setiap orang harus memahami diri sendiri bagi anak disabilitas, bukan menolak keberadaannya (Vanier 1998, 86). Hal ini memperlihatkan bahwa anak disabilitas sebenarnya tidak dapat berdiri sendiri dengan kekuatan yang dimilikinya, melainkan harus ada dukungan sekitarnya. Dukungan dari sekitar yang merangkul dan memahami keberadaanya sebagai anak disabilitas sebagai bagian dari komunitas. komunitas juga harus memberikan kepercayaan kepada anak disabilitas untuk tetap melangkah maju tanpa mengisolasikan dirinya (Vanier 1998, 15). Panti asuhan dapat menjadi alternatif bagi keluarga anak disabilitas untuk mendapatkan pemulihan dan pembinaan. Tetapi, perlu disadari bahwa masyarakat sebagai komunitas yang berada di sekitar anak disabilitas merupakan langkah terbaik untuk mendapatkan pemulihan tersebut. Oleh karena itu, tidak dapat dilepas dari peran dan tanggung jawab masyarakat sebagai bagian dari komunitas yang dapat memberikan pemulihan baginya. Secara individu, anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga membutuhkan pendampingan untuk pemulihan. Pendekatan yang digunakan merupakan dengan memberi diri untuk dipercaya anak. Setiap konselor atau gereja harus memiliki keramahan untuk dapat memahaminya. Akan tetapi, pemulihan tidak akan terwujud jika semua aspek tidak berperan serta merangkul dan menerima keberadaannya. Setiap anggota komunitas sudah seharusnya memiliki hubungan yang baik bagi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Hubungan yang diharapkan berupa persahabatan yang didasarkan pada cinta yang penuh serta perhatian bagi anak disabilitas (Lester 1987, 146).
53
Anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga juga membutuhkan pengakuan terhadap keberadaan mereka di dalam gereja. Sehingga, gereja sudah seharusnya menemukan pendekatan untuk mengenal dan memahami anak disabilitas. Gereja harus mengetahui kasus-kasus yang terjadi di dalam lingkup gereja dan masyarakat, kemudian gereja mencar solusi untuk penyelesaiannya. Ketika anak disabilitas membutuhkan keberadaan gereja, gereja harus selalu siap untuk memberikan waktu, kesempatan dan tenaga untuk berhubungan dengan anak disabilitas terutama korban pemerkosaan oleh anggota keluarga (Laster 1987, 146) Gereja yang juga bagian dari komunitas memiliki tanggung jawab untuk memberikan pemahaman bagi masyarakat terhadap keberadaan anak disabilitas. Pemahaman dapat diberikan melalui pendidikan inklusif, yang sesuai dengan keterbatasan anak disabilitas. Melalui pemahaman dengan pendidikan inklusif akan memberikan pengetahuan baru mengenai anak disabilitas yang membutuhkan orang sekitarnya dan menganggapnya sebagai bagian dari komunitas. Selain masyarakat dan gereja, keluarga merupakan tempat bagi anak untuk mengenal pengetahuan. Hal ini juga berlaku bagi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Keluarga menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk terhindar dari pemerkosaan oleh anggota keluarga. Kalaupun itu terjadi dan tidak dapat dihindari, keluarga harus mampu melihat perubahan yang terjadi di dalam keseharian anak disabilitas (Noviana 2015, 21)
54
Gereja perlu memahami bahwa tidak semua dapat dikerjakan sendiri. Gereja juga memiliki keterbatasan dalam memberikan pelayanan bagi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Oleh karena itu, dibutuhkan kesiapan komunitas untuk merangkul anak disabilitas, terutama korban pemerkosaan oleh anggota keluarga kerja sama dari medis untuk dapat memperhatikan perkembangan disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Ketika anak berada di dalam pengawasan medis, gereja juga harus turut serta dan menjadi teman. Gereja harus siap memberikan dukungan terhadap pemulihan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga secara medis. Pendampingan Anak Disabilitas Korban Pemerkosaan oleh Anggota Keluarga Secara personal, anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga membutuhkan pendampingan untuk dapat dipulihkan. Karena itu, berikut ini saya akan menjelaskan tentang hal-hal yang mesti diperhatikan dalam rangka melakukan pendampingan pribadi terhadap anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga yang ada dalam gereja. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan adalah: Tujuan Pendampingan Seorang konselor diharapkan mampu mendampingi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga maupun keluarganya dari segi spiritual agar anak dan keluarga yang bersangkutan dapat mengalami pemulihan
55
secara utuh (holistik) dengan memberikan perhatian, perawatan, pemeliharaan, dan perlindungan (Fatiyah 2018). Melalui tujuan pendampingan seperti ini diharapkan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga mendapatkan pemulihan secara perlahan. Seorang konselor harus mampu memberikan pengetahuan bagi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga untuk dapat menerima keberadaan dirinya dan sekitarnya. Anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga harus dipersiapkan dalam iman dan spiritual untuk dapat menerima orang sekitarnya, sehingga anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga mampu membangun hubungan interaksi dengan sekitarnya (Clebsch 1967, 56). Hadirnya seorang konselor di dalam kehidupan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga diharapakan mampu menolong anak yang bersangkutan membangun hubungan dirinya dengan Tuhan. Seorang konselor harus mampu membangun harapan bagi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga bahwa Tuhan menyayangi mereka tanpa melihat keterbatasannya. Anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga juga diberikan amanat dari Tuhan untuk menjadi berkat bagi sesama (Clebsch 1967, 43). Peran konselor Hal mendasar mesti dilakukan oleh seorang konselor yakni ia harus mampu menempatkan diri dalam penderitaan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Seorang konselor harus mampu melihat
56
rasa kesepian dan kerinduan di dalam diri anak. Penderitaan yang dimiliki anak disable korban perkosaan tersebut merupakan “luka.” Dengan demikian seorang konselor diharapakan mampu mendampingi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga agar bisa pulih lewat kehadiran dan penempatan dirinya dalam hubungan dengan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga (Singgih 2009, 48). Peran terpenting konselor dalam mendampingi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga adalah untuk memampukan mereka, menggerakan potensi yang ada dalam dirinya sehingga bisa pulih akibat trauma tindakan incest yang dialami. (Fathiyah 2018). Untuk itu, seorang konselor haruslah memiliki spiritualitas sebagai konselor sehingga dapat menerima kehadiran, mendengar, memberikan kehangatan dan memberikan dukungan praktis bagi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga (Clinebell 2006, 239). Melalui peran yang dimiliki seorang konselor diharapkan mampu mengurangi bahkan memulihkan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga dari perasaan sedih, kecemasan, ketakutan, kesendirian bahkan emosional yang meledak akibat trauma. Seorang konselor juga diharapkan mampu membimbing anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga untuk memperoleh kembali kepercayaan dirinya. Konselor diharapkan mampu membimbing anak disabilitas untuk mengenal pelaku kejahatan melalui penampilan, bagaimana pelaku mendekati korban (Fathiyah 2018).
57
Selan itu, seorang konselor berperan juga dalam membimbing anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga untuk mengimani Kristus yang selalu menyertainya. Konselor memberikan pemahaman kepada anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga agar dapat menerima keadaan yang terjadi dalam dirinya dan sekitarnya (Abineno 1997, 39). Untuk itu gereja harus menemukan metode yang tepat untuk anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga mengenal firman Tuhan. Anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga juga memerlukan pemahaman dan pendekatan mengenai firman Tuhan. Hal ini disebabkan bahwa anak juga dapat bernyanyi meskipun bisu dan anak bisa memuji Tuhan meskipun buta. Sebab kita mengharapkan menerima respon dari anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga (Storm 1979, 115). Anak disabilitas juga di dalam “luka”nya mengalami krisis iman. Sehingga sangat perlu bimbingan seorang konselor untuk dapat membantunya. Biasanya anak disable dengan berbagai keterbatasan memiliki penalaran yang berbedabeda. Anak disabilitas akan diperhadapkan dengan gangguan pikiran dan kecerdasan dibandingkan anak-anak pada umumnya (Lester 1987, 144). Anak disabilitas akan menyadari bahwa dirinya berbeda dari anak-anak pada umumnya. Mereka mulai bertanya, "Mengapa saya tidak bisa melihat? Mengapa saya tidak bisa mendengar? Mengapa Tuhan membuat saya seperti ini?" Pertanyaan yang paling sering muncul tanpa ada jawaban. Hal yang paling penting bagi anak-anak adalah mengetahui bahwa kecacatan mereka tidak memisahkan mereka dari dan kepedulian Tuhan. Anak mungkin bertanya, "Apa yang telah saya lakukan salah? Apa yang orang tua saya lakukan salah?" (Lester
58
1987, 144). Kita harus mengetahui bahwa kehadiran disabilitas bukan bagian dari penderitaan melainkan dari bagian dari kehidupan. Di dalam Yohanes 9:134 dikatakan bukan karena orang tuanya berdosa maka anak tersebut mengalami kebutaan, melainkan agar karya Yesus nyata. Yesus menunjukkan perhatian, kepedulian dan kasih sayang-Nya bagi orang buta tersebut (Lester 1987, 145). Pemulihan Anak Disabilitas Korban Pemerkosaan oleh Anggota Keluarga Konselor harus memahami perannya bagi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga, yakni membina hubungan baik dan juga hubungan penuh kepercayaan. Anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga harus diperlakukan sebagai individu yang berharga dan memiliki bakat-bakat yang perlu dihargai, keunikan perasaan, bahkan kebutuhan pribadi yang perlu dipenuhi (Collins 2002, 175). Pada dasarnya setiap anak tidak menginginkan pembedaan perlakuan yang didasarkan pada kondisi disabilitas yang dialaminya. Untuk itu ada beberapa kebutuhan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga yang perlu diperhatikan konselor dalam rangka membantu anak disabilitas dalam pemulihannya. Prinsip dimaskud yakni: Anak butuh diperlakukan bukan sebagai orang cacat Setiap anak juga menginginkan pengakuan dan penerimaan dari setiap orang akan keberadaan dirinya. Pembedaan yang diberikan kepadanya dapat memberikan rasa sakit bahkan kekecewaan dalam diri. Oleh karena itu penting
59
bagi keluarga Kristen untuk melihat anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga bukan dari segi keterbatasannya melainkan masa kecilnya. Setiap anak membutuhkan perhatian, kasih sayang dan cinta dari sekitarnya (Lester 1987, 143). Ketika keluarga Kristen mengerti dan memahami anak disabilitas dari masa kecilnya maka perlu diberikan kesempatan bagi mereka. Kesempatan untuk mengembangkan bakat dan kemampuan yang dimilikinya. Keluarga Kristen sebagai komunitas harus membimbing anak untuk mencoba hal baru dalam kehidupannya. Hal baru dengan pengenalan terhadap keberadaannya di sekitar komunitas akan menolongnya memperoleh pengalaman-pengalam berharga. Hal-hal baru yang dilakukan oleh anak disable korban incest haruslah diberikan diapresiasi (Lester 1987, 143). Anak butuh untuk diterima Anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga dengan segala keterbatasan haruslah diberikan peneguhan. Keluarga Kristen harus mampu memberikan pemahaman kepada anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga mengenai kehadiran mereka di tengah-tengah komunitas sebagai anugerah. Rasa sakit, kesedihan, kecemasan dan takut yang dialami anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga merupakan bagian dari dalam diri komunitas. Oleh karena itu, anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga haruslah dilibatkan ke dalam setiap kegiatan yang ada di dalam komunitas, baik dalam keluarga, masyarakat bahkan gereja (Lester 1987, 143).
60
Kegiatan-kegiatan ini sebaiknya berhubungan dengan teman-teman seusianya dan orang dewasa. Dengan demikian, anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga merasa bahwa dirinya diterima dalam masyarakat. Anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga akan kembali percaya diri dan dapat melakukan segala sesuatunya dengan baik. Dalam hal ini bimbingan dari sekitarnya tetap diperlukan untuk memperlihatkan hubungan kedekatan dengan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Anak disabilitas membutuhkan komunitas dan komunikasi Rasa dikucilkan atau mengucilkan diri dirasakan oleh anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Oleh karena itu, dibutuhkan orang sekitarnya untuk memberikan perhatian penuh bagi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Baik keluarga, masyarakat dan keluarga gereja harus berpartisipasi dalam model pengajaran bahasa dapat digunakan untuk mendorong perkembangan bahasa. Materi harus diberikan yang sesuai dengan anak, apakah mereka diperkuat untuk gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, atau akses bagi keterbatasan fisik (Lester 1987, 143). Anak disabilitas membutuhkan hidup mandiri Kebanyakan keluarga Kristen berpikir untuk memberikan tempat perlindungan bagi anak-anaknya, terutama anak disable. Kebanyakan keluarga menempatkan anak disablitas di dalam rumah. Padahal, perlindungan yang seperti ini sama seperti mengisolasi anak. Sudah seharusnya anak juga diberikan
61
kebebasan sebanyak-banyaknya. Kebebasan tersebut akan mengajarkan anak disable korban incest untuk berjuang, gagal dan berhasil. Pada akhirnya, anak disable dapat belajar disiplin untuk memperoleh yang terbaik dalam kehidupannya (Lester 1987, 144). Hal ini akan berhubungan dengan bakat dan keterampilan yang mereka miliki. Anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga akan berjuang untuk memberikan yang terbaik dalam bakat dan keterampilannya. Bakat dan kemampuan yang dimiliki akan menghantarkannya pada kehidupan sosial. Sehingga, anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga dapat hidup mandiri dalam komunitas (Lester 1987, 144). Pada akhirnya, hidup dalam komunitas menjadi sesuatu yang aman bagi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Vanier mengatakan bahwa komunitas sebagai tempat anak untuk mengembangkan potensinya secara aman dan nyaman. Komunitas harus memberikan kebebasan bagi anak disabilitas, terutama korban pemerkosaan oleh anggota keluarga untuk berkarya demi hidup yang mandiri. Diharapkan dengan potensi yang dimiliki anak disabilitas dapat mendapatkan kemajuan dalam hal ekonomi bagi dirinya. Oleh karena itu, Vanier menganggap bahwa komunitas merupakan tempat saling berbicara tentang diri kita, ketakutan kita, hambatan kita bahkan kekerasan yang kita alami atau kemampuan diri (Vanier 1998, 57). Anak disabilitas sebagai “jantung hati”
62
Setiap orang memiliki “jantung hati.” Jantung hati bagi Vanier merupakan metaFora yang menunjukkan hubungan yang paling dalam dari diri kita. Hati yang terkait dengan dengan hati yang lain, membawa keluar dari kepemilikan yang dikekang untuk menciptakan pengecualian dan mencintai orang lain. Anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga hanya memiliki hati untuk berhubungan dengan seseorang yang dipercayai. Sehingga, anak disabilitas dapat aktif di dalam komunitas dan mampu bekerja sama dengan anggota komunitas lainnya (Vanier 1998, 85). Oleh karena itu diperlukan masyarakat yang mampu memberikan harapan yang baru bagi anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga. Perlakuan yang diterima anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga dari komunitas akan berdampak dalam kehidupannya. Anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga adalah mahkluk yang unik dan hidup dengan keberadaan orang sekitarnya. Anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga tidak akan terlepas dari hubungan antar komunitas. Metode Selain prinsip-prinsip di atas perlu disadari bahwa pendampingan pastoral adalah jenis pendampingan yang dilakukan dengan memperhatikan kondisi manusia yang dilayani. Anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga tentu juga membutuhkan model pendampingan khusus akibat kondisi disabilitas mereka. Pertanyaannya adalah model pendampingan seperti apa yang mesti diberlakukan bagi anak disabilitas korban perkosaan oleh
63
anggota keluarga? Menurut saya, model pendampingan pastoral yang menekankan pendekatan verbal sulit dilakukan terhadap anak disabilitas dengan kesulitan belajar seperti dalam kasus-kasus yang saya temui. Hal ini dikarenakan mereka memang sulit berkomunikasi dengan baik, sebagai syarat yang diperlukan agar pendampingan atau konseling bisa dilakukan secara bertangungjawab. Oleh karena itu, seorang konselor perlu memikirkan model-model pendekatan non-verbal yang bersifat memampukan anak disabilitas korban pemerkosaan menemukan kembali dirinya sebagai manusia yang utuh. Pendekatan non-verbal dimaksud harus dilakukan dengan kehadiran konselor yang menunjukkan keberpihakan dan penerimaan kepada anak disabilitas korban perkosaan oleh anggota keluarga. Konselor juga mesti kreatif memikirkan cara pendekatan non-verbal seperti apa yang cocok dengan kebutuhan anak disable korban pemerkosaan oleh anggota keluarga dan bagaimana pendekatan tersebut mesti diterapkan. Adpaaun beberapa metode pendekatan non-verbal yang bisa dipikirkan dalam pendampingan terhadap anak disable korban perkosaan anggota kelaurga yaitu: melalui permainan dan berbagai aktivitas lainnya yamg menumbuhkan semangat penerimaan diri pada anak disable korban pemerkosaan oleh anggota keluarga.
Bab IV Kesimpulan dan Saran Kesimpulan 1. Kekerasan seksual yang dilakukan anggota keluarga terhadap anak disabilitas merupakan kejahatan yang menimbulkan trauma bagi anak yang bersangkutan. 2. Pada umumnya komunitas kurang memahami keberadaan dan tanggungjawab mereka terhadap anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga sehingga anak-anak tersebut diabaikan keberadaannya oleh komunitas. 3. Gereja sebagai komunitas seringkali kurang bisa hadir sebagai komunitas penyembuh bagi anak disabilitas yang menjadi korban tindak pemerkosaan oleh anggota keluarganya sendiri. 4. Pendekatan gereja sebagai komunitas penyembuh menuntut gereja untuk membenahi komunitas gereja sendiri menjadi komunitas yang ramah anak dan juga memiirkan model-model pendekatan pastoral non-verbal yang sesuai dengan kebutuhan anak disabilitas. Saran 1. Gereja sebagai komunitas mesti mengembangkan sistem pelayanan pastoral yang memungkinkan anak disabilitas korban pemerkosaan oleh anggota keluarga diterima dalam komunitas gereja.
64
65
2. Gereja perlu diberikan pemahaman kepada komunitas yang lebih luas, termasuk keluarga, untuk memahami anak disabilitas dengan keterbatasan yang dimilikinya. 3. Gereja sebagai komunitas mesti melibatkan anak disabilitas, baik korban pemerkosaan oleh anggota keluarga berpartisipasi dalam kehidupan gereja sebagai bagian dari proses pemulihan.
66
Daftar Acuan Abineno, J.I.C.H. 1997. Pelayanan pastoral kepada orang-orang sakit. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Agung. 2017. Wawancara oleh penulis. Toraja. 22 Juli. Anton. 2018. Wawancara oleh penulis. Tobasa. 16 Februari Baker. 1999. Baker Encyclopedia of Pscychology and Counseling. Beasley-Murray, George R. 1987. Word biblical commentary vol. 36: John. Texas. Word Books. Bonhoeffer, Dietrich. 1962. Creation and fall. London: SCM Press LTD. Clebsch, William A & Charles R. Jaekle. 1967. Pastoral Care in Historical Perspektive. London: Harper Torchbooks. Clinebell, Howard. 1992. Basic types of pastoral care & counseling. USA: Library of Congress Cataloging-in-Publication Data. Clinebell, Howard. 2006. Tipe-tipe dasar pendampingan dan konseling pastoral. Yogyakarta: Kanisius. Collins , Gary R. 2002. Konseling Kristen yang efektif. Malang: SAAT. Eisland, Nancy L. 1994. The disabled God: Toward a liberatory theology of disability. Nashville: Abingdon Press. Ginott, Haim. 1977. Memesrakan hubungan anda dan anak anda. Jakarta: Gramedia. Gladding, Samuel T. 2015. Konseling: Profesi yang menyeluruh: Edisi Keenam. Jakarta: PT. Indeks. Hayati, Elli Nur. 2000. Panduan untuk pendampingan perempuan korban kekerasan: Konseling berwawasan Gender. Yogyakarta: Rifka Annisa. Heggen, Carolyn dan Holderread. 2008. Pelecehan seksual dalam keluarga Kristen dan Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hryniuk, Michael. 2010. Theology, disability and spiritual Transformation. NewYork:Cambria Press. Imbens, Annie and Ineke Jonker. 1992. Christianity and incest. Minneapolis: Fortress Press. Kasus kekerasan seksual terhadap anak. http://www.kpai.go.id/berita/tahun2017-kpai-temukan-116-kasus-kekerasan-seksual-terhadap-anak/ (diakses 10 November 2017).
67
Kostenberger, Andreas J. 2004 John. Michigan: Baker Academic. Lester, Andrew D. 1987. When children suffer: A Sourcebook for Ministry with Children in Crisis. Philadelphia: The Westminster Press. Levin, Gerald R. 1983. Child Psychology. California: Brooks/Cole Publishing Company. Lina. 2018. Wawancara oleh penulis. Bekasi. 11 Februari Marshal. 2017. Wawancara oleh penulis. Toraja. 20 Juli. Maria. 2018. Wawancara oleh penulis. Tobasa. 17 Februari. Monang. 2018. Wawancara oleh penulis. Bekasi. 11 Februari Noviana, Ivo. 2015. Kekerasan seksual terhadap anak: Dampak dan penangannya. Sosio informa Vol. 1, Januari-April 2015: 13-28 Nurul. 2017. Wawancara oleh penulis. Toraja. 28 Juli. Pantas. Wawancara oleh penulis. Tobasa. 17 Februari. Rian. 2018. Wawancara oleh penulis. Bekasi. 10 Februari Santi. 2018. Wawancara oleh penulis. Bekasi. 10 Februari Sikar. 2017. Wawancara oleh penulis. Toraja. 22 Juli. Singgih, Emanuel Gerrit. 2009. Dua konteks. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Sokar. 2017. Wawancara oleh penulis. Toraja. 28 Juli. Storm, Bons M. 1979. Apakah penggembalaan itu? Jakarta: BPK Gunung Mulia. Sukma. 2018. Wawancara oleh penulis. Bekasi. 10 Februari Supratiknya. 1995. Mengenal perilaku abnormal. Yogyakarta: Kanisius. Vanier, Jean. 2009. Human Becoming. London: Darton, Longman and Todd Ltd. Vika. Wawancara oleh penulis. Tobasa. 17 Februari. Weni. 2017. Wawancara oleh penulis. Toraja. 20 Juli. Yani. 2017. Wawancara oleh penulis. Toraja. 24 Juli. 10 catatan penting akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak. https://www.kompasiana.com/ikhwanulparis/10-catatan-pentingakhiri-kekerasan-terhadap-perempuan-dan-anak-yangmeluas_586fb4bd539773b00addca99 (diakses 08 November 2017).
68
Lampiran Wawancara
Kasus I Wawancara terhadap keluarga Saya
: Manasumo raka indo’?
Indo’ Weni
: Oi..
Saya
: Apa kabar indo’?
Indo’ Weni
: Kabar baik.
Saya
: Ambe’ Marshal dimana indo’?
Indo ‘ Weni
: Lagi ke ladang tadi ambe’ nak.
Saya
: Maaf indo’, Warni apa kabarnya? Kok tidak kelihatan?
Indo’ Weni
: Warni di dalam nak.
Saya
: Maaf indo’ sebelumnya, saya sebenarnya ingin bincang-bincang sama indo’ dan ambe’. Itu pun kalau tidak keberatan indo’ dan ambe’.
Indo’ Weni
: Silahkan nak… Ada yang bisa kami bantu?
Saya
: Warni anak keberapa ya indo’?
Indo’ Weni
: Dia anak kedua dari tiga bersaudara nak. Kakak laki-lakinya sekarang kelas 2 SMK dan yang paling kecil masih kelas 5 SD.
Saya
: Kalau ke sekolah bagaimana indo’?
Indo’ Warni : Kalau kakak laki-lakinya bawa motor kok ke sekolahnya, sedangkan adiknya yang kecil diantar sama saya atau ambe’ nya. Tapi kalau sama saya, pasti jalan kaki karna saya tidak tahu mengendarai motor (tiba-tiba mata berkaca-kaca) Saya
: Ada apa indo’, seperti sedih begitu? Ada yang buat indo’ sedih?
Indo’ Weni
: Itulah kelalaianku nak, harusnya saya yang mengantar adiknya yang paling kecil, biar Warni ditemani ambe’nya. Tapi semua memang kesalahanku. Aku biarkan semuanya terjadi.
Saya
: Maaf indo’ sebenarnya saya juga sempat dengar peristiwa yang terjadi pada Warni. Saya mendengarnya dari Majelis, itu pun setelah tim monitoring saya pulang dari gereja kita. Sebenarnya, awalnya saya tidak percaya indo’ karna waktu saya melakukan
69
pendataan di sini, saya bertemu dengan Warni dan dia ramah dan senang di sentuh tangannya. Bahkan, ibu Proponen memperkenalkan saya dengan Warni. Indo’ Weni
: Itulah nak. Padahal saya sudah berusaha menjaga, melindunginya dengan baik. Saya pikir dia pasti aman jika selalu di dalam rumah. Tetapi, kenyataanya malah kakeknya, ambe’ku yang berbuat kejahatan terhadapnya. Dulu, kakeknya itu sayang kali sama Warni, bahkan ketika Warni, kakeknya yang mandiin. Sekarang malah dia yang merusak anak saya.
Saya
: Terus Warni sudah bagaimana indo’?
Indo’ Weni
: Warni keliatan seperti orang stress nak. Dia hanya bisa mengerutu dan memeras bajunya. Bahkan terkadang Warni seperti berteriak dan ingin berbicara. Tapi, saya tidak mengerti maksudnya apa (sambil mengusap air mata). Kenapa ada orang seperti kakeknya itu. Saya benar-benar benci dengan ambe’ saya itu. Rasanya pengen bunuh dia, biar gak ada lagi di dunia ini. Terlalu sakit perbuatannya di dalam keluargaku.
Saya
: Indo’ kalo saya boleh tahu, peristiwa itu terjadi di mana ya?
Indo’ Weni
: Peristiwa itu terjadi di sana. (menunjuk ke arah penggilingan padi). Bahkan kejadian itu terjadi pagi hari (sambil terbata-bata). Sakit sekali nak.
Ambe’ Marshal: Ada apa ini kok indo’ Weni menangis? Saya
: Maaf ambe’ kami lagi berbincang-bincang mengenai Warni.
Indo’ Weni
: Saya tidak menyangka laki-laki yang saya hormati, bapak dari istri saya tidak punya hati. Hatinya iblis, pengen rasanya membunuh dia. Di dalam tahanan pun dia aku gak ikhlas, dia ganti rugi pun aku gak ikhlas.
Indo’ Weni
: Aku tidak tahu mau berkata apa lagi, dia sampai hati lakukan itu sama cucunya. Padahal dia bilang, dia sayang kali sama Warni tapi… .Ingin rasanya hatiku memakinya, aku gak bisa mengampuninya
70
Saya
: (mengangguk)
Ambe’ Marshal: Saya sudah anggap dia seperti ambe’ saya sendiri, meski rumahnya ada di bawah sana. Bahkan, dia juga sering makan di tempat saya dan saya senang dia berada di sini. Tapi, masa dia berbuat jahat kepada cucunya sendiri. Dia itu memang tidak punya hati (dengan suara meninggi dan menangis). Hanya Warni anak perempuan kami satu-satunya. Kami jaga dia selalu bahkan kami tidak biarkan dia pergi keluar atau bermain dengan yang lain. Saya
: Indo’ – ambe’ kalau boleh tahu apa yang sudah dilakukan gereja ketika mendengar peristiwa ini?
Ambe’ Marshal: Ibu Proponen dan beberapa Majelis datang ke sini. Mereka mendoakan Warni. Terus, ibu Proponen dan Majelis melakukan ibadah penguatan bagi kami. Tapi saya sebenarnya sedih dan kesal dengan gereja kita nak. Warni tidak bisa melihat dan mendengar, jadi dia tidak mendengar firman Tuhan yang disampaikan. Saya
: Saya juga ada di situ ambe’. Setelah itu ambe’?
Indo’ Weni’
: Tidak ada nak.
Saya
: Indo’ – ambe’ saya permisi dulu ya, lain kali saya datang ke sini ya. Terima kasih buat waktunya indo’ – ambe’.
Wawancara terhadap Proponen Saya
: Ibu, bagaimana kelanjutan masalah yang menimpa Warni?
Proponen
: Saya sudah datang ke rumah duka nak. Bahkan, saya sudah datang ke kantor polisi melihat pelakunya. Kasihan sekali pelakunya itu, dia harus dibotak dan tidur beralaskan tikar. Bahkan, baru masuk saja, dia katakan kalau narapidana yang lain itu sering mukulin dia karna mereka tahu kejahatan yang dilakukan pelaku.
Saya
: Terus Warni gimana bu?
Proponen
: Kita sudah datangi ke rumah orang tuanya dan melakukan ibadah penguatan. Ya, semoga dengan dilayangkan ibadah penguatan bagi keluarga tersebut dapat memberikan kekuatan untuk menghadapi kenyataan yang terjadi. Tidak ada yang mau mengalami peristiwa duka tersebut tapi kita harus berkata apa lagi kalau itu sudah terjadi.
Saya
: Apa tidak ada penanganan lain bu?
71
Proponen
: Kita tidak punya program khusus bagi anak korban incest, terkhusus bagi anak disabel. Kita hanya bisa memberikan mereka penguatan melalui ibadah. Hal ini sebagai pertanda bahwa gereja juga ikut merasa sedih dan menyesali hal tersebut terjadi. Kalau pun ada, baru kali ini ibu temukan. Jadi ibu kurang mengerti dan tidak memahaminya. Makanya, lebih baik memberikan bimbingan bagi keluarganya.
Saya
: (mengangguk) oke bu. Terima kasih bu.
Proponen
: Sama-sama
Wawancara terhadap salah satu Majelis Gereja (Sikar) Saya
: Selamat pagi pak.
Sikar
: Selamat pagi juga Nando
Saya
: Maaf mengganggu waktu bapak. Saya ingin berbincang-bincang mengenai peristiwa yang terjadi di gereja kita.
Sikar
: Silahkan nak.
Saya
: Peran gereja terhadap orang-orang seperti Warni pak. Apa yang dilakukan gereja pak?
Sikar
: Kita hanya melakukan pelawatan bagi yang mengalami peristiwa yang tidak diinginkan. Hal-hal yang seperti inikan bisa dikatakan berita duka, jadi kita sebagai majelis sudah seharusnya mendampingi keluarga. Pendampingan yang kita lakukan ya melalui pelawatan.
Saya
: Kalau saya boleh tahu pak, pelawatan yang seperti apa?
Sikar
: Pelawatan dalam hal ini dengan melakukan ibadah bagi keluarga. Ibadah yang kita lakukan kepada keluarga dan anak korban incest tersebut merupakan langkah yang baik, sebab yang tahu isi hati manusia hanya Tuhan. Biarlah semuanya kita serahkan kepada Tuhan dan biarlah Tuhan menghukum pelakunya
Saya
: Hanya dalam bentuk I badah pak?
Sikar
: Benar. Kita tidak bisa berbuat banyak dalam hal ini. Sebaiknya kita serahkan sepenuh kepada keluarga yang berduka saja.
Saya
: Begitu ya pak. Terima kasih buat waktunya pak.
72
Sikar
: Sama-sama
Wawancara terhadap tetangga Saya
: Selamat siang pak..
Agung
: Selamat siang nak.
Saya
: Maaf mengganggu waktunya pak. Saya ingin berbincang-bincang dengan bapak mengenai Warni. Bisa pak?
Agung
: Silahkan nak.
Saya
: Pak Agung kenal dekat tidak dengan Warni?
Agung
: Sebenarnya saya tidak mengenal dekat dengan anak ambe’ Marshal karena biasanya anaknya selalu di rumah. Kalau ketemu itu pun kalau kami kumpulkumpul di sekitaran rumahnya.
Saya
: Menurut bapak, Warni itu gimana orangnya?
Agung
: Sejauh yang saya kenal dia anaknya baik dan ramah serta enak diajak untuk bicara, walaupun sangat sulit berkomunikasi dengannya. Terlihat kok melalui jabatan tangan terlihat kok kalau dia ramah.
Saya
: Jadi menurut bapak bagaimana sikap orang tuanya terhadap Warni?
Agung
: Kalau saya melihat, kedua orang tuanya sayang sekali dengan Warni kok.
Saya
: Begitu ya pak? Makasih ya pak buat waktunya. Saya permisi dulu.
Agung
: Iya nak. Sama-sama.
Kasus II Wawancara terhadap keluarga Saya
: Selamat siang bu
Ibunya Mawar: Selamat siang juga. Ada yang bisa saya bantu?
73
Saya
: Perkenalkan bu, nama saya Fernando Sihaloho. Saya mahasiswa STFT Jakarta yang saat sedang melakukan penelitian untuk tulisan akhir. Maaf sebelumnya, saya mendapat informasi dari seseorang mengenai peristiwa yang terjadi pada anak ibu. Saya ke sini untuk berbincang-bincang. Kalau boleh kasih waktu ibu buat saya.
Ibunya Mawar: Siapa nama yang memberitahukan informasi itu kepada anda? Saya
: Maaf ibu. Saya harus menjaga rahasia mengenai informan tersebut. Tapi percayalah bu, saya tidak bermaksud lain kok.
Ibunya Mawar: Baiklah. Apa yang bisa saya bantu? Saya
: Maaf bu, saya mendengar bahwa terjadi kekerasan seksual terhadap anak ibu. Kalau saya boleh tahu siapa nama anak ibu tersebut?
Ibunya Mawar: Mawar. Dia ada di sana bermain bersama temannya (menunjuk ke arah teras rumah). Saya
: Wah, kelihatan Mawar anaknya riang ya bu. Sepertinya dia senang bermain.
Ibunya Mawar: Benar. Saya
: Saya dengar-dengar, Mawar juga sudah sekolah ya bu?
Ibunya Mawar: Benar. Mawar sekolah di SLB miliki pemerintah. Dia di sana mendapatkan pendidikan yang baik. Saya
: Kalau saya boleh tahu kenapa Mawar di sekolah di SLB bu?
Ibunya Mawar: Mau gimana lagi? Sekolah formal tidak ada yang mau menerimanya. Mungkin karna Mawar sudah buta sejak lahir ya. (sambil tersenyum dingin) Saya
: Maaf bu, saya dengar juga Mawar pernah mengalami kekerasan ya?
Ibunya Mawar: Iya nak. Itu sekitar dua tahun yang lalu. Itu peristiwa yang sangat menyakitkan buat saya. Saya merasa dikhianati oleh suami saya sendiri. Dia melakukan kejahatan seksual terhadap darah dagingnya sendiri. Seorang bapak yang seharusnya menjadi pemimpin dan teladan, bapak yang harus menjaga dan melindungi anggota keluarganya, tapi tega melakukan hal itu terhadap anaknya. (sambil mengepal tangan kanannya) Saya
: Darimana ibu tahu kalau bapak yang melakukannya?
Ibunya Mawar: Saya awalnya tidak tahu dan tidak memiliki firasat aneh. Saya berhubungan baik dengan suaminya dan saya mempercayai suami
74
saya untuk tetap di rumah bersama dengan anak saya. Tapi, Mawar pernah ngomong sama saya kalau bagian kemaluan sakit waktu buang air kecil. Saya hanya berpikir mungkin itu karena bakteri. Anak saya senang bermain dan mungkin tidak berhati-hati. Ibunya Mawar: Kemudian saya bawa Mawar ke puskesmas yang dekat jalan (sambil menunjuk ke arah puskesmas). Bidan yang jaga kasih tahu saya kalau Mawar mengalami iritasi di bagian kemaluannya. Kemudian, bidan berkata kalau anak saya mengalami kekerasan seksual. Saat itu rasanya saya mau pingsan karena saya yakin tidak ada yang melakukan perbuatan jahat tersebut. Ibunya Mawar: Saya yang sudah kalang kabut memaksa Mawar untuk memberitahu siapa pelakunya. Awalnya dia tidak mau memberitahu, tapi saya tetap paksa dan barulah kutahu kalo itu dilakukan suami saya sendiri. Dari situ saya benci melihat suami saya sampai saya memukul-mukulnya dan melaporkannya ke kantor polisi. Saya
: Terus bagaimana dengan Mawar bu?
Ibunya Mawar: Kalau dari pengakuan Mawar, dia sering bermimpi ketemu dengan ayahnya tapi Mawar nangis dan berteriak. Saya berpikir bahwa ini merupakan tekanan batin anak saya. Dari situ saya minta cerai dari suami saya dan tetap melaporkannya ke kantor polisi. Saya juga malu punya suami penjahat dan saya juga takut kalau suatu saat dia dapat berbuat hal tersebut terhadap Mawar. Ibunya Mawar: Pernah juga Mawar menangis ketika tamu tetangga laki-laki mampir. Dia seperti ketakutan. Saya
: Baik bu. Semoga ibu semakin dikuatkan untuk menjaga Mawar bu. Terima kasih buat waktunya bu.
Ibunya Mawar: Sama-sama
Wawancara terhadap tetangga Saya
: Selamat sore bu. Boleh minta waktunya sebentar.
Nurul
: Selamat sore juga. Silahkan…
Saya
: Apa ibu mengenal Mawar?
Nurul
: Kenal nak. Dia anak yang baik dan ramah. Mawar sering bermain di teras rumahnya. Teman-temannya sering datang ke teras rumahnya untuk bermain-main juga. Biasanya mereka bermain
75
boneka, lucu juga kalau saya lihat Mawar bermain boneka. (sambil tersenyum Saya
; (tersenyum). Terus kalau bapaknya Mawar ibu kenal?
Nurul
: Manusia seperti dia itu tidak berhak hidup di dunia. Padahal dia orang Kristen dan beriman tetapi kelakuannya tidak mencerminkan sama sekali sebagai orang yang memiliki Tuhan. Kalau perlu, orang seperti itu dibinasakan saja biar jadi pelajaran bagi orang-orang yang akan melakukan kekerasan seksual.
Saya
: Kenapa bu?
Nurul
: Iya. Ayahnya Mawar bejat, tidak bermoral dan tidak manusiawi. Saya benar-benar tidak suka melihat bahkan ingin rasanya memakinya tapi saya tidak punya hak. Tega sekali dia berbuat
hal yang memalukan tersebut. padahal itu anak kandungnya. Saya tidak tahu dia pakai otak atau tidak. Saya
: Terus, bapaknya sekarang di mana bu?
Nurul
: Sudah dipenjarakan. Baguslah itu.
Saya
: Baiklah bu. Terima kasih buat waktunya bu.
Nurul
: Sama-sama
Wawancara terhadap Pendeta Saya
: Selamat pagi pak Pendeta..
Sokar
: Selamat pagi juga nak. Ada yang bisa saya bantu?
Saya
: Maaf pak pendeta. Saya ingin berbincang-bincang perihal peristiwa yang terjadi di gereja kita ini.
Sokar
: Peristiwa apa itu nak?
Saya
: Saya mendengar adanya kekerasan seksual pak pendeta.
Sokar
: Saya sebenarnya tidak tahu masalah ini dan ini terjadi sebelum saya melayani di tempat ini. Tetapi, yang mau saya katakan bahwa kehidupan kita ini hanya milik Tuhan dan yang tahu semuanya hanya Tuhan. Apa pun yang terjadi di dalam diri kita, baik kesusahan, penderitaan kita sebaiknya kita serahkan kepada Tuhan. Sudah seharusnya kita mengampuni orang yang melakukan kesalahan kepada kita sebab Tuhan sudah terlebih dahulu mengampuni semua kesalahan manusia.
Saya
: Terus penanganan selanjutnya bagimana pak pendeta?
76
Sokar
: Sebenarnya, semuanya tergantung kepada keluarga. Kita dari gereja hanya bisa memberikan bimbingan melalui firman Tuhan. Iya, kita berharap agar keluarga memaafkan pelaku dan semoga saja dengan kejadian ini menjadi pelajaran bagi semua termasuk pelaku untuk tidak berbuat kesalahan yang sama. Saya sudah mendatangi orang tua perempuannya dan mencoba mengarahakan agar memaafkan suaminya. Terlebih lagi, kita adlah orang Kristen, sudah seharusnya saling memaafkan. Meski sebesar apa pun kesalahan itu.
Saya
: Bagaimana dengan Mawarnya pak Pendeta?
Sokar
: Sejauh ini kita belum dapat menangani korban secara intensif, terlebih lagi kita belum memiliki program yang sesuai dengan anak.
Saya
: Kalau saya boleh tahu pak Pendeta. Apakah Mawar pernah datang ke dalam gereja?
Sokar
: Sejauh ini saya belum mengenal secara dekat terhadap Mawar. Saya juga tidak pernah melihat Mawar di dalam gereja ketika adanya ibadah. Mungkin saja karena ibunya tidak membawanya ke dalam gereja.
Saya
: Baik pak Pendeta. Terima kasih buat waktunya. Saya permisi dulu pak.
Sokar
: Sama-sama
Kasus III Wawancara terhadap keluarga Saya
: Selamat pagi bu. Bisa minta waktunya sebentar.?
Ibu Santi
: Bisa. Tetapi anda siapa dan ada apa?
Saya
: Perkenalkan bu, nama saya Fernando Sihaloho. Saya mahasiswa STFT Jakarta yang saat sedang melakukan penelitian untuk tulisan akhir. Maaf sebelumnya, saya mendapat informasi dari seseorang mengenai peristiwa yang terjadi pada anak ibu. Saya ke sini untuk berbincang-bincang. Kalau boleh kasih waktu ibu buat saya.
Ibu Santi
: (terlihat murung) sebenarnya saya tidak mau mengingat kejadian tersebut. Setiap kali saya mengingat kejadian itu, saya merasa tersakiti. Saya langsung terhadap anak saya dan bagaimana perasaan anak saya.
77
Saya
: Maaf bu, saya tidak bermaksud lain. Hanya saja saya butuh mengenal anak ibu lebih jauh.
Ibu Santi
: Nama anak saya Yohanes. Sekarang dia berumur sekitar 8 tahun. Dia bagi saya anak yang ceria. Saya suka melihatnya. Bahkan pulang kerja, kalau melihat tingkahnya yang lucu, saya langsung segar lagi. Saya merasa tenaga saya kembali seperti semula. Makanya saya senang melihat anak saya yang satu itu. Tapi… (terdiam)
Saya
: (setelah menunggu beberapa saat). Tetapi apa bu?
Ibu Santi
: Saya menyesal telah bekerja dan meninggalkan anak-anak saya. Padahal saya bekerja untuk kehidupan sehari-hari kami, bahkan untuk membeli susu anak-anak saya. Kalau mengharapkan dari pendapatan suami pasti tidak cukup. Saya menyesal, kalau saja waktu bisa diputar, lebih baik aku merawat mereka terutama Yohanes.
Ibu Santi
: Saya merasa, karena saya bekerja makanya anak saya mengalami peristiwa yang menyakitkan. Seharusnya saya yang merawat anak saya dengan baik, tapi saya malah kerja. Saya berpikir bahwa suami saya akan mengurus anak kami dengan baik, terlebih kepada Yohanes. Tetapi kenyataan tidak demikian.
Saya
: Kira-kira kapan peristiwanya bu?
Ibu Santi
: Pastinya saya tidak tahu. Tetapi kejadian tersebut terjadi sekitar tahun lalu. Awalnya saya senang dengan suami saya yang mau membantu saya merawat anak ketika saya kerja. Padahal saya kerja juga untuk menambahi pendapatan keluarga.
Ibu Santi
: Sebenarnya, awalnya saya curiga melihat tingkah anak saya, Yohanes. Dia sering menangis bahkan kalau dia mau kencing, dia menangis dulu. Dia menunjuk ke arah kemaluannya. Saya lihat tidak kenapa-kenapa. Tapi dari situ saya mulai curiga, saya berpikir ada sesuatu yang gak beres.
Saya
: Kemudian ibu melakukan apa?
Ibu Santi
: Saya minta izin sama bos untuk pulang lebih cepat dan jam istirahat untuk pulang sebentar. Benar saja, setelah seminggu lebih saya melakukannya, rasa curiga saya mulai terlihat. Suami saya yang bekerja sebagai tukang tambal ban tidak terlihat di luar. Sedangkan anak-anakku yang lain ada di luar. Dan yang membuat saya makin curiga bahwa Yohanes juga tidak ada di luar. Kemudian saya datangi tempat kerjaan suami saya.
78
Ibu Santi
: (terdiam) Saya melihat suami saya lagi menyodomi anak saya, Yohanes. Saya merasa sakit. Pengen rasa membunuhnya tetapi saya tidak sanggup. (mulai menangis)
Saya
: Suami sekarang dimana?
Ibu Santi
: Sekarang dia ada di kantor polisi. Saya tidak suka dan tidak mau punya suami seperti dia yang melakukan kejahatan seksual.
Saya
: Semoga ibu semakin kuat ya. Maaf kalau saya lancing. Terima kasih buat waktunya bu.
Ibu Santi
: Sama-sama
Wawancara terhadap tetangga Saya
: Selamat siang bu. Saya mau nanya nih.
Sukma
: Iya. Ada apa dek?
Saya
: Apakah ibu tahu atau kenal dengan Yohanes, anak yang sebelah tetangga ibu?
Sukma
: Saya tahu anaknya itu. Anaknya itukan yang idiot, yang susah jalan.
Saya
: Maksudnya bu?
Sukma
: Iya, si Yohanes itukan tidak bisa jalan. Kalau pun bisa hanya sedikit-sedikit seperti yang diseret gitulah.
Saya
: Berarti ibu sering melihat Yohanes sekitar sini ya bu?
Sukma
: Saya selalu melihat anak-anaknya bermain di depan ini, bahkan saya melihat kalau si Yohanes sering sekali lari-lari padahal dia susah jalan. Beberapa kali memang Yohanes tidak ikut bermain dengan adik-adiknya, kemungkinan dimandikan atau dikasih makan. Saya tidak tahu dan tidak menyangka sama sekali kalau ayahnya sendiri yang melakukan kejahatan tersebut Padahal anaknya idiot, tidak tahu apa-apa.
Saya
: Begitu ya bu. Tetapi diakan gak buat masalah di sinikan bu?
Sukma
: Tidak sama sekali. Saya hanya menyayangkan perbuatan ayahnya itu. Perbuatan yang tidak terpuji sama sekali. Saya jadi tidak suka melihat suaminya itu. Saya pikir dia baik, mau menyapa dan enak diajak ngomong tapi ternyata perbuatannya….
Saya
: Baiklah bu. Terima kasih buat waktunya ya bu. Saya permisi dulu.
79
Sukma
: Sama-sama dek
(dilanjutkan dengan tetangga yang lain) Saya
: Selamat siang bang. Mau nanya nih.
Rian
: Siang juga..
Saya
: Abang kenal gak sama yang kerja di tambal itu? (sambil menunjuk ke arah tambal).
Rian
: Kenallah..
Saya
: Saya dengar ada kekerasan seksual yang bang?
Rian
: Benar bang. Saya awalnya tidak menyangka kejadian tersebut. Setahu saya, ia itu baik kepada orang-orang sekitar dan anakanaknya, ia juga sering terlihat mengasuh anak-anaknya. Tapi, mau bagaimana pun ia harus dihukum karena hanya orang bodoh dan tidak bermoral yang berani melakukan kejahatan seperti itu. Saya merasa kasihan terhadap Yohanes sendiri, seharusnya dia mendapatkan kasih sayang dari seorang ayah, apalagi ibunya kerja dari pagi sampai malam.
Rian
: Bahkan kami sering cerita-cerita. Dia enak diajak cerita dan dia juga mau berbagi rokok sama saya. Makanya, saya tidak menyangka kalau pelakunya dia. Tetapi sudah sepantasnyalah dia mendapatkan hukuman dan sekarang dipenjara. Biar dia tahu rasa. Masa anak sendiri tega melakukan hal seperti itu.
Saya
: Terus kalau si Yohanes itu bagaimana bang?
Rian
: Saya lihat dia tidak berbahaya. lagian dia memiliki keterbelakangan, jadi tidak mungkinlah mengerti perbuatanperbuatan yang dilakukan oleh ayahnya itu. Anaknya itu hanya jalan ke sana-ke mari terus bermain bersama anak-anak yang lain. atau biasanya dia juga sibuk sendiri. Maklumlah dengan keadaannya.
Saya
: begitu ya bang.. Terima kasih buat waktunya bang.
Rian
: Sama-sama
Wawancara terhadap Pendeta
80
Saya
: Selamat pagi pak pendeta. Maaf mengganggu waktunya. Saya mau diskusi sebentar.
Monang
: Selamat pagi juga. Mau diskusi apa dan anda siapa?
Saya
: Perkenalkan bu, nama saya Fernando Sihaloho. Saya mahasiswa STFT Jakarta yang saat sedang melakukan penelitian untuk tulisan akhir. Maaf sebelumnya, saya mendapat informasi dari seseorang mengenai peristiwa yang terjadi pada anak jemaat bapak Pendeta. Saya ke sini untuk berbincang-bincang. Kalau boleh kasih waktu bapak buat saya.
Monang
: Silahkan.
Saya
: Bapak mengenal nama Yohanes? Yang baru-baru ini mengalami kekerasan seksual?
Monang
: Iya saya mengenalnya dengan baik. Kenapa?
Saya
: Bagaimana kondisinya sekarang ya pak pendeta?
Monang
: Saya rasa sekarang kondisinya sudah baiklah.
Saya
: Kalau saya boleh tahu pak pendeta. Penanganan yang diberikan gereja terhadap keberadaannya apa ya?
Monang
: Iya kita harus menerima mereka sebagai bagian dari diri kita. kita dapat mengenalkan mereka di dalam kehidupan kita.
Saya
: melalui apa yan pak?
Monang
: Semuanya bisa dilakukan melalui ibadah penguatan atau memanggilnya untuk ikut bersama-sama di dalam gereja.
Monang
: Mereka yang mengalami penderitaan, kesakitan dan kesedihan sudah seharusnya kita bantu. Kita sebagai anak-anak Tuhan harus selalu ada bagi mereka yang membutuhkan. Begitu juga hal dengan anak korban incest tersebut, bahwa dia merupakan anak yang dikasihi Tuhan. Jadi, kita harus memandang sama dan memperlakukannya sama dengan yang lainnya, meskipun dia berbeda
Saya
: Apakah Yohanes datang ke gereja pak Pendeta?
Monang
: Beberapa kali dia datang bersama dengan ibunya.
Saya
: Terus yang dilakukan apa pak Pendeta?
Monang
: Anak tersebut ikut beribadah bersama.
Saya
: Oke pak Pendeta. Terima kasih buat diskusinya
81
Monang
: Sama-sama.
Wawancara terhadap Majelis Saya
: Selamat pagi bu..
Lina
: Selamat pagi juga.
Saya
: Saya mau minta pendapat ibu mengenai Yohanes.
Lina
: Kita harus memahami bahwa kehidupan kita adalah miliki Tuhan dan seharusnya kita jangan bersikap kurang bijak dengan pemberian tersebut. Kalau kita orang Kristen sudah seharusnya kita memperlihatkan kepada dunia bahwa benarlah kita anak yang dikasihi-Nya. Hal serupa berlaku bagi Yohanes.
Lina
: Kebahagiaan yang sejati datangnya hanya dari Yesus Kristus yang ajaib dan mampu menyembuh setiap kesedihan. Tugas kita sekarang adalah bersama-sama dengan setiap orang yang percaya, membangun komunitas yang membangun
Saya
: Bagaimana dengan keluarganya bu?
Lina
: Ibunya tetap kita beri dukungan untuk tetap semangat memberikan yang terbaik bagi Yohanes. Kita harus memberikan harapan melalui kenyakinan bahwa semuanya dapat terjadi jika Tuhan berkehendak.
Lina
: Oleh karena itu, kita harus tetap percaya dan yakin bahwa Tuhan akan selalu ada bagi anak-anak yang memahami keinginan hatinya.
Saya
: Terima kasih bu buat pendapatnya
Lina
: Sama-sama
Kasus IV Wawancara terhadap staff Saya
: Selamat siang pak.
Anton
: Selamat siang.
Saya
: Saya mehasiswa STT Jakarta akan melakukan penelitian di tempat ini. Mohon bantuan dan pembelajarannya pak. Apa yang bisa saya bantu pasti saya lakukan.
82
Anton
: Baik. Kita langsung mengenai fokus tulisanmu ya.
Saya
: Saya lagi meneliti mengenai pendampingan yang dilakukan komunitas terhadap orang disable korban incest.
Anton
: Kebetulan di tempat ini ada tiga orang yang mengalaminya.
Saya
: Bolehkah saya mengetahuinya lebih jauh pak?
Anton
: Boleh. Tapi sayang orang tuanya tidak menganggapnya ada. Makanya untuk menjadikannya tulisan bakalan susah.
Saya
: Tidak apa-apa pak. Yang ada dulu dimaksimalkan.
Anton
: Di sini ada yang namanya Vero. Dia bisa dikatakan sudah lama di sini dan sudah rajin diberikan terapi. Vero ini bisa dikatakan sudah remajalah meskipun kalau dalam rentan usia masih dikatakan anak.
Anton
: Dia juga sudah memiliki anak dan anaknya sudah sekolah. Kami memang sengaja seperti Vero dan Lely untuk tidak bertemu dengan anaknya. Karena kalau pun bertemu, mereka tidak akan mengenalinya. Kita juga perlu menjaga perasaan anaknya.
Saya
: (Mengangguk)
Anton
: Vero merupakan anak tuna grahita dengan keterbatasan pada mental. Awal dia sampai di panti untuk makan saja sangat kesulitan. Biasanya dia makan pakai tangan tapi tangannya digenggam kuat, bahkan tangannya seperti yang kaku. Kemudian, pertama sampai dia sering teriak-teriak dan mukul-mukul orang dengan keras. Tapi, sekarang sudah jauh lebih baik, makan sudah pake sendok bahkan sudah bisa mengantar piring kotor ke kamar mandi.
Saya
: Teus penanganan yang diberikan apa pak?
Anton
: Sampai saat ini kita memiliki pegawai terapis yang bekerja sama dengan rumah sakit. Jadi kita bawa mereka ke sana atau ahli terapinya yang datang ke sini.
Anton
: Awal datang ke tempat ini, vero itu sering teriak-teriak bahkan mukul-mukul temannya. Bahkan sampai ada yang nangis karena pukulannya. Sepertinya dia mengalami trauma yang hebat. Sampai-sampai kami tidak bisa menahan amarahnya.
Saya
: Berarti dia sama sekali tidak dijenguk keluarganya ya pak?
Anton
: Tidak.
Saya
: Saya bisa minta alamat orang tuanya pak?
83
Anton
: Silahkan. Semoga dia berkenan akan kedatanganmu.
Wawancara terhadap keluarga Saya
: Selamat siang bu.
Vika
: Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?
Saya
: Perkenalkan bu, nama saya Fernando Sihaloho. Saya mahasiswa STFT Jakarta yang saat sedang melakukan penelitian untuk tulisan akhir. Maaf sebelumnya, saya mendapat informasi dari seseorang mengenai peristiwa yang terjadi pada anak ibu. Saya ke sini untuk berbincang-bincang. Kalau boleh kasih waktu ibu buat saya.
Vika
: Anak saya yang mana ya?
Saya
: Anak ibu yang bernama Vero.
Vika
: Saya tidak memiliki anak yang bernama Vero.
Saya
: Tetapi, saya mendapatkan data-datanya dari staff panti bu.
Vika
: Saya sudah bilang, saya tidak punya anak yang namanya Vero.
Saya
: Tapi bu?
Vika
: Sudahlah.
Saya
: Saya hanya mau tahu saja bu.
Vika
: Saya punya anak tapi dulu. Sekarang dia sudah tidak di sini dan bahkan saya tidak tahu bagaimana keadaannya. Untuk datang ke tempatnya saja susah. Lebih baik uang untuknya saya pergunakan untuk kebutuhan keluarga saya di sini, apalagi ayahnya mereka sudah tidak ada di sini.
Vika
: Dia itu hanya aib bagi keluarga. Karena dia kami semua ikut sengsara. Biarlah di situ dia. Mana kuanggap sebagai anak lagi itu. Di sini sudah ada anakku. Dia itu seperti penyakit bagi keluarga kami dan sudah sepantasnya dia berada di sana dengan orangorang yang sama sepertinya.
Saya
: Baiklah bu kalo begitu. Saya hanya mau tahu saja.
Vika
: Iya.
84
Wawancara terhadap pendeta Saya
: Selamat siang amang. Perkenalkan, nama saya Fernando Sihaloho. Saya mahasiswa STFT Jakarta yang saat sedang melakukan penelitian untuk tulisan akhir. Maaf sebelumnya, saya mendapat informasi dari seseorang mengenai peristiwa yang terjadi pada anak jemaat amang.
Pantas
: Siapa namanya?
Saya
: Vero amang.
Pantas
: Saya rasa pernah dengar nama itu tapi saya lupa.
Saya
: O iya, kalau dari data panti, dia anak ibu Vika amang.
Pantas
: Saya mengenal ibu Vika tapi saya tidak tahu anaknya (Vero) yang mana. Saya melayani di tempat ini baru sekitar 2 tahun. Bahkan, majelis saya juga tidak ada yang memberitahu mengenai peristiwa atau kejadian tersebut. Sebenarnya, ini bukan urusan saya, ini menjadi urusan pendeta sebelum saya. Saya tidak tahu sudah sejauh mana pendeta tersebut melakukan konseling terhadap orang tuaya Vero
Saya
: Terus penanganan gereja sekarang ada amang?
Pantas
: Sampai sekarang tidak ada. Karena saya juga tidak pernah bertemu dengan anak itu.
Saya
: Kalau keluarganya bagaimana amang?
Pantas
: Kalau ibunya masih sering kelihatan di dalam gereja. Tetapi, menurut saya kurang etis kalau itu di bawa ke dalam gereja.
Saya
: Baik amang. Hanya itu yang ingin saya ketahui.
Saya
: Maaf telah mengganggu waktu amang. Terima kasih amang
Pantas
: Sama-sama
Kasus V Wawancara terhadap staff Saya
: Selamat siang pak.
Anton
: Selamat siang.
85
Saya
: Saya mahasiswa STT Jakarta akan melakukan penelitian di tempat ini. Mohon bantuan dan pembelajarannya pak. Apa yang bisa saya bantu pasti saya lakukan.
Anton
: Baik. Kita langsung mengenai fokus tulisanmu ya.
Saya
: Saya lagi meneliti mengenai pendampingan yang dilakukan komunitas terhadap orang disable korban incest.
Anton
: Kebetulan di tempat ini ada tiga orang yang mengalaminya.
Saya
: Bolehkah saya mengetahuinya lebih jauh pak?
Anton
: Pertama sekali Lely sampai ditempat ini, dia selalu histeris berteriak minta tolong. Dia bahkan sangat susah untuk didekati oleh siapa pun. Pernah juga dia dekati terapis laki-laki, dia langsung nangis dan berteriak. Dia berkata bahwa bahwa terapis itu jahat. Tetapi, setelah diberikan pendekatan oleh terapis perempuan sehingga sekarang dia mengalami kemajuan. Dia sekarang sudah berani di dekati oleh laki-laki. Tetapi, dampak traumatis yang dialami masih ada.
Anton
: Sebenarnya, Lely juga memiliki anak sama seperti Vero. Anaknya Lely juga dirawat oleh ibunya. Ibunya bertanggung jawab buat lahirnya anak dari anak perempuannya. Anaknya sekarang sudah SD.
Saya
: Terus bagaimana penanganannya pak?
Anton
: Kalau dalam hal ini sebenarnya kami juga kurang bisa. Makanya diperlukan kerja sama dari semua komunitas. Sayangnya gereja kita saja menganggap mereka seperti lelucon yang tidak perlu penanganan.
Anton
: Gereja beranggapan bahwa panti memiliki banyak dana untuk menampung anak-anak dengan keterbatasan. Mereka menganggap bahwa panti ini juga dapat bantuan dari pemerintah setempat, padahal tidak.
Saya
: Begitu ya pak. Terus kalau keluarganya Lely gimana pak?
Anton
: Keluarganya rajin kok datang tiap bulan. Kalau pun tidak datang tiap bulan berarti karena ada kesibukan lain. Seperti orang tuanya Lely, memang dia kasih uang tiap bulan untuk anaknya tapi tidak sebanding dengan pengeluarannya selama di sini.
Saya
: (mengangguk)
Anton
: Apa perlu alamat orang tuanya Lely juga?
Saya
: Perlu pak.
86
Anton
: Baik. Nanti saya kasih.
Saya
: Terima kasih pak
Anton
: Sama-sama
Wawancara terhadap keluarga Saya
: Selamat siang bu.
Maria
: Selamat siang juga
Saya
: Perkenalkan bu, nama saya Fernando Sihaloho. Saya mahasiswa STFT Jakarta yang saat sedang melakukan penelitian untuk tulisan akhir. Maaf sebelumnya, saya mendapat informasi dari seseorang mengenai peristiwa yang terjadi pada anak ibu. Saya ke sini untuk berbincang-bincang. Kalau boleh kasih waktu ibu buat saya.
Maria
: Boleh.
Saya
: Sebenarnya kejadian itu terjadi kapan bu?
Maria
: Kejadian memalu itu terjadi sekitar delapan tahun yang lalu. Itu pun kalo saya tidak lupa.
Saya
: Kalau saya boleh tahu. Siapa pelakunya ya bu?
Maria
: Itulah. Pelakunya suami saya sendiri.
Saya
: Sekarang suami ibu ada di mana?
Maria
: Saya sudah laporkan ke kantor polisi dan sekarang sudah ditahan.
Maria
: Saya lebih baik mengutamakan Lely dan anaknya yang sekarang sudah sekolah. Mereka berdua membutuh uang untuk keperluan sehari-hari. Jadi lebih baik saya beri waktu dan kekuatan saya kepada mereka. Daripada, saya memikirkan suami saya yang tidak pantas untuk dibanggakan.