LAPORAN PRAKTIKUM ANALISIS FARMASI PEMERIKSAAN MUTU BAHAN BAKU OBAT TRADISIONAL Rabu, 08 Oktober 2017
Disusun Oleh :
ATHARIA REFI KHAIRANI NASUTION 260110160102 SHIFT C
LABORATORIUM KIMIA ANALISIS FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN 2017
I.
Tujuan Menentukan mutu ekstrak bahan baku obat tradisional dengan metode penetapan kadar abu, kadar abu tidak larut asam, dan penentuan bobot jenis.
II.
Prinsip 2.1 Kadar Abu Total Penetapan dilakukan dengna pemijaran terhadap 2 gram sampel pada suhu 600°C hingga bobot abu pijaran konstan (Depkes RI, 2008).
2.2 Kadar Abu Tak Larut Asam Abu yang diperoleh dari penetapan abu tak larut dalam asam kuat terhadap berat ekstrak, dinyatakan dalam %b/b (Depkes RI, 2008).
2.3 Bobot Jenis Densitas suatu bahan didefinisikan sebagai rasio massa per unit volume (Rivai, 2013).
III.
Mekanisme Reaksi -
IV.
Teori Dasar Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudia semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditentukan (Depkes RI, 1995).
Ekstrak sebagai bahan dan produk kefarmasian yang berasal dari simplisia harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan untuk dapat menjadi obat herbal terstandar atau obat fitofarmaka. Salah satu parameter mutu ekstrak secara kimia adalah kandungan senyawa aktuf simplisia tersebut. Selain itu, parameter non-spesifikjuga diperlukan untuk mengetahui mutu ekstrak (Azizah dan Salamah, 2013).
Mutu simplisia dan ekstrak berkaitan dengan kandungan metabolit sekunder dalam tanaman. Metabolit sekunder adalah senyawa kimia hasil biogenesis dari metabolit primer yang bukan merupakan senyawa penentu kelangsungan hidup secara langsung tetapi lebih sebagai hasil mekanisme pertahanan diri organisma, umumnya dihasilkan tumbuhan tingkat tinggi. kadar metabolit sekimder memegang peran penting karena perbedaan kandungan
senyawa
secara
teoritis
akan
memberikan
aktivitas
farmakologi berbeda untuk setiap ekstrak. Aktivitas ini dapat secara sinergis dan dapat pula antagonis bila terjadi interaksi (Lisdawati, dkk, 2008).
Pengujian parameter spesifik dan non-spesifik bertujuan untuk nantinya simplisia berstandar dapat digunakan sebagai obat yang mengandung kadar senyawa aktif yang konstan dan dapat dipertanggungjawabkan (Sharon, et al, 2013).
Parameter non-spesifik berfokus pada aspek kimia, mikrobiologi, dan fisis yang akan mempengaruhi keamanan konsumen dan stabilistas, meliputi : kadar air, cemaran logam berat, aflatoxin, kadar abu, bobot jenis, dan lainlain (Solihah, 2015).
Dalam menentukan suatu ekstrak terstandar atau tidak ada beberapa parameter yang harus diujikan. Salah satu uji parameternya yaitu uji kadar abu total dan uji kadar abu tidak larut asam. Penetapan kadar abu merupakan cara untuk mengetahui sisa yang tidak menguap dari suatu simplisia pada pembakaran. Pada penetapan kadar abu total, abu dapat berasal dari bagian jaringan tanaman sendiri atau dari pengotoran lain misalnya pasir atau tanah. Penetapan kadar abu tidak larut asam ditujukan untuk mengetahui jumlah pengotoran yang berasal dari pasir atau tanah silikat (Armando, 2013).
Standarisasi jamu yang telah dilakukan meliputi parameter spesifik dan parameter non spesifik. Parameter spesifik yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik, serta penetapan kadar sari larut air dan kadar sari larut etanol. Sedangkan parameter non spesifik terdiri dari penetapan susut pengeringan, penetapan kadar air dengan metode destilasi, kadar abu total, abu larut air, abu tidak larut asam, uji cemaran mikroba dengan metode Angka Lempeng Total (Riyanti, dkk, 2013).
Abu merupakan residu anorganik dari proses pembakaran atau oksidasi komponen organic bahan pangan. Kadar abu total adalah bagian dari analisis proksimat yang bertujuan untuk mengawasi nilai gizi suatu produk/bahan pangan terutama total mineral. Kadar abu dari suatu bahan menunjukan total mineral yang terkandung dalam bahan tersebut (Aprityantono, 1988).
Penentuan kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan antara lain untuk menentukan baik tidaknya suatu pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan dan sebagai penentu parameter nilai gizi suatu
bahan makanan. Untuk melakukan analisis kadar abu suatu bahan pangan dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode kering dan metode basah (Sudarmadji, 1996).
Kadar abu tidak larut asam adalah garam-garam klorida yang tidak larut asam yang sebagian adalah garam-garam logam berat dan silica. Kadar abu tudak larut asam tinggi menunjukan adanya kontaminasi residu mineral atau logam yang tidak dapat larut dalam asam pada suatu produk seperti silica yang ditemukan di alam sebagai kuarsa dan pasir (Diharmi, et al ., 2011).
Bobot jenis adalah rasio bobot zat baku yang volumenya sama pada suhu yang sama dan dinyatakan dalam desimal. Bobot jenis menggambarkan hubungan antara bobot suatu zat terhadap bobot suatu zat baku. Dalam farmasi, Bobot jenis adalah faktor yang memungkinkan pengubahan jumlah zat dalam formula farmasetik dari bobot menjadi volume dan sebaliknya. Bobot jenis juga digunakan untuk mengubah pernyataan kekuatan dalam konsentrasi persen. (Ansel dan Price, 2004).
Piknometer dapat digunakan untuk mengukur bobot jenis zat semifluida. Cara penggunaan piknometer sangat mudah. Piknometer diisi dengan zat yang akan diukur beratnya dan ditutup dengan penutupnya. Penutupnya ditekan ke bawah hingga sebagian cairan keluar melalui lubang piknometer. Volume sisa dalam piknometer dikalibrasikan dengan berat, ditimbang, kemudian dihitung perbedaannya. (Bird, 1993).
V.
Alat dan Bahan 5.1 Alat a. Gelas kimia b. Gelas ukur c. Kertas saring bebas abu d. Kurs e. Neraca analitik f.
Oven
g. Penangas air h. Piknometer i.
Pipet tetes
5.2 Bahan a. Aquades b. Ekstrak kental bahan baku obat tradisional c. Etanol d. HCl 2N
VI.
Metode 6.1 Pembuatan HCl 2N 43,75 ml HCl 96% dimasukkan ke dalam beaker glass lalu ditambahkan aquadest sebanyak 16,25 ml.
6.2 Penentuan kadar abu (Depkes RI, 2000). 2 gram ekstrak ditimbang ke dalam kurs yang telah ditara. Kemudian Ekstrak dipijarkan dalam kurs perlahan lalu suhu dinaikkan secara bertahap hingga 600 ± 25°C sampai bebas karbon. Abu didinginkan dalam desikator lalu ditimbang berat abu. Kadar abu dihitung dalam persen terhadap berat sampel awal.
6.3 Penentuan Kadar abu tidak larut asam (Depkes RI, 2000). Abu hasil penetapan kadar abu total dididihkan dengan 25 mL HCl 2 N selama 5 menit. Bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan kemudian disaring menggunakan kertas saring bebas abu. Kemudian, filtrate dicuci dengan air panas dan disaring kembali. Setelah itu dipijarkan dalam krus, dan ditimbang hingga bobot tetap. Kadar abu yang tidak larut asam dihitung dalam persen terhadap berat sampel awal.
6.4 Penentuan bobot jenis (Depkes RI, 2000). Piknometer kosong yang telah dicuci bersih ditimbang lalu diisi dengan
aquades
Dilakukan
hingga
penuh
kemudian
ditimbang
kembali.
pengenceran ekstrak 5% dengan cara 0,5 gram ekstrak
dilarutkan dalam 10 ml etanol 70%. Piknometer yang telah dibersihkan diisi kembali dengan ekstrak 5% hingga penuh dan ditimbang. Dilakukan pengenceran ekstrak 10% dengan cara 1 gram ekstrak dilarutakan dalam 10 ml etanol 70%. Piknometer yang telah dibersihkan diisi kembali dengan ekstrak 10% hingga penuh dan ditimbang. Dihitung bobot jenis ekstrak.
VII.
Hasil 7.1 Pembuatan HCl 2N No
Perlakuan 43,75
1
ml
HCl
Hasil 96%
dimasukkan ke dalam beaker Diperoleh Larutan glass
lalu
ditambahkan HCl 2N
aquadest sebanyak 16,25 ml.
7.2 Penentuan Kadar Abu No
1
Perlakuan
Ditimbang kurs kosong
Diperoleh bobot kurs
yang telah dibersihkan.
kosong 42,2538 gram
2 2
Hasil
gram
ekstrak Diperoleh ekstrak
ditimbang
ke
dalam sebanyak 2 gram di
kurs yang telah ditara.
Ekstrak dalam 3
lalu
dalam kurs.
dipijarkan Diperoleh kurs
suhu
perlahan kental
ekstrak dipijarkan
dinaikkan dalam tanur.
secara bertahap hingga 600 ± 25°C.
Abu
didinginkan Bobot kurs+abu
kemudian
4
ditimbang setelah konstan
menggunakan
neraca 42,3289 gram
analitik
hingga
konstan.
Dihitung Kadar abu total =
kadar abu total dalam 3,755% persen terhadap berat sampel awal
7.3 Penentuan Kadar Abu Tidak Larut Asam No
Perlakuan Abu
1
hasil
kadar
Hasil
penetapan Diperoleh
abu
abu
total mendidih dan larut
dididihkan dengan 25 mL sebagian dalam HCl HCl 2 N selama 5 menit.
encer
Bagian yang tidak larut Diperoleh 2
dalam asam dikumpulkan yang kemudian
filtrate
tidak
larut
disaring asam.
menggunakan
kertas
saring bebas abu.
Filtrate dicuci dengan air Diperoleh bobot kurs panas 3
dan
disaring dan abu tidak larut
kembali lalu dipijarkan asam dalam
krus,
sebesar
dan 42,2829 gram
ditimbang hingga bobot tetap.
Kadar abu yang tidak Diperoleh kadar abu 4
larut
asam
dihitung tidak
larut
dalam persen terhadap sebesar 1,45% berat sampel awal.
asam
7.4 Penentuan Bobot Jenis Ekstrak No
1
Perlakuan
Hasil
Piknometer kosong
Bobot piknometer
yang telah dicuci
kosong = 13,187
bersih ditimbang
gram
Piknometer diisi
2
dengan aquades
Bobot piknometer +
hingga penuh
aquadest = 23,655
kemudian ditimbang
gram
kembali.
Dilakukan pengenceran ekstrak 3
5% dengan cara 0,5
Diperoleh larutan
gram ekstrak
ekstrak 5 %.
dilarutkan dalam 10 ml etanol 70%. Piknometer yang telah
4
dibersihkan diisi
Bobot piknometer +
kembali dengan
ekstrak 5% = 22,7138
ekstrak 5% hingga
gram.
penuh dan ditimbang.
Dilakukan pengenceran ekstrak 5
10% dengan cara 1
Diperoleh larutan
gram ekstrak
ekstrak 10%.
dilarutakan dalam 10 ml etanol 70%.
Piknometer yang telah
6
dibersihkan diisi
Bobot piknometer +
kembali dengan
ekstrak 10% =
ekstrak 10% hingga
22,9862 gram.
penuh dan ditimbang. Bobot jenis Dihitung bobot jenis
6
ekstrak.
Ekstrak 5% = 0,9101 gr/ml Ekstrak 10% = 0,9363 gr/ml
7.5 Perhitungan a. Pengenceran Etanol 96% etanol = x ml 70% etanol = 60 ml V1 . N1 = V2 . N2 60 ml . 70% = V2 . 96%
V2 = 43,75 ml Volume air yang dibutuhkan = 60 ml – 43,75 ml = 16,25 ml.
b. Bobot Jenis Bobot jenis =
–
-
Bobot jenis ekstrak 5% =
-
Bobot jenis ekstrak 10% =
= 0,9101 gr/ml
= 0,936 gr/ml
c. Kadar Abu Total Kadar abu total =
x 100%
Keterangan: Ct : Bobot kurs + ekstrak (gram) Co : Bobot kurs kosong (gram) m : Bobot awal ekstrak (gram)
Kadar abu total =
x 100% = 3,755%
d. Kadar Abu Tidak Larut Asam Kadar abu tidak larut asam = Kadar abu tidak larut asam =
x 100%
x 100% = 1,45%
VIII.
Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan pemeriksaan mutu bahan baku obat tradisional. Bahan baku obat tradisional yang digunakan adalah Ekstrak daun jati belanda (Guazuma ulmifolia). Untuk memeriksa mutu pada suatu ekstrak dibagi menjadi dua parameter, yaitu parameter spesifik dan non-spesifik. Parameter spesifik biasanya berfokus pada senyawa yang secara khusus ke arah aktivitas farmakologisnya, sedangkan untuk parameter non-spesifik biasanya lebih ke aspek kimia, mikrobiologi, dan fisisnya yang akan mempengaruhi kemanan konsumen dan stabilitasnya (Solihah, 2015). Pada praktikum ini dilakukan pengujian parameter non-spesifik seperti kadar abu total, kadar abu tak larut asam, dan bobot jenis dimana hasil yang diperoleh dari praktikum ini akan dibandingkan dengan literature yang ada. Tujuannya adalah untuk memastikan apakah ekstrak memenuhi standar untuk dijadikan sebagai bahan baku obat tradisional. Hal ini perlu dilakukan karena sebelum membuat suatu sediaan atau obat dari ekstrak bahan alam harus dipastikan ekstrak yang digunakan terhindar dari kontaminan seperti bakteri, jamur, virus, atau patogen lainya yang mungkin hidup di ekstrak. Sebab, apabila terdapat kontaminan tersebut dikhawatirkan sediaan tidak memberikan efek farmakologi yang sesuai dengan harapan. Pemeriksaan yang pertama dilakukan adalah penetapan bobot jenis, bobot jenis diartikan sebagai perbandingan bobot zat terhadap air dengan volume yang sama ditimbang pada suhu yang sama. Bobot jenis ekstrak dihitung menggunakan alat yaitu piknometer. Piknometer merupakan alat pengukur bobot jenis suatu zat liquid dan solid d engan volume 10 – 25 ml. Pada penetapan bobot jenis ini diusahakan tangan tidak berkontak langsung dengan piknometer, karena apabila terjadi kontak langsung,
protein-protein yang berada di tangan bias saja berpindah ke piknometer yang mungkin saja mengubah berat asli dari piknometer. Sebelum digunakan piknometer tersebut dicuci hingga bersih agar tidak ada pengotor yang akan menganggu proses penetapan bobot jenis ini. Piknometer kosong ditimbang yang nantinya digunakan untuk selisih bobot, lalu diisi dengan aquades dan ditimbang kembali sebagai bobot selisih dan pembanding lalu aquades dikeluarkan dan dibersihkan. Ekstrak yang digunakan yaitu ekstrak yang sudah diencerkan 5% dan 10% dengan menggunakan etanol 70%. Dimana didapatkan hasil bobot jenis untuk ekstrak yang sudah diencerkan 5% yaitu sebesar 0.9101 gr/ml sedangkan untuk ekstrak yang sudah diencerkan 10% yaitu sebesar 0,9363 gr/ml. Berdasarkan penentuan bobot jenis ini dapat diketahui ekstrak 10% memiliki bobot jenis yang lebih besar dari ekstrak 5%. Hal tersebut berkaitan dengan kemurnian dari ekstrak. Pemeriksaan yang kedua adalah penetapan kadar abu total yang bertujuan untuk melihat suatu gambaran dari kandungan mineral pada ekstrak. Mineral terdiri dari organik dan anorganik, serta mineral yang terbentuk menjadi sebuah senyawa kompleks dan bersifat organik, maka untuk menentukan jumlah mineral yang ada dilakukan penentuan dari sisa pembakaran garam mineral tersebut dengan cara pengabuan. Abu sendiri merupakan residu anorganik dari proses pembakaran atau oksidasi komponen organik. Kadar abu total sendiri dapat menentukan banyaknya mineral yang terkandung sesuai dengan MMI yang sebelumnya ekstrak telah melewati proses maserasi. Hal pertama yang dilakukan untuk menentukan kadar abu kurs ditara lalu ditimbang untuk memperoleh bobot kurs kosong. Lalu kurs yang telah diisi dengan sampel atau ekstrak diabukan atau dipijarkan pada suhu 600±25°C hingga bebas dari karbon selama 15 meni atau hingga semua ekstrak yang berada di dalam kurs tersebut menjadi abu. Pada proses tersebut semua senyawa organik dan
turunan-turunannya terdestruksi dan akan menguap sehingga hanya akan menyisakan senyawa anorganik dan unsur-unsur mineralnya saja yang dari senyawa anorganik atau unsur mineral yang dapat dianggap sebagai zat pengotor atau zat kontaminan. Pada proses penentuan kadar abu total ini digunakan tanur karena tanur merupakan alat yang bisa menaikkan o
suhu di dalamnya hingga 600 C dengan cepat, jika dibandingkan oven, o
oven akan lama untuk mencapai suhu 600 C. Bobot kurs dan abu yang telah konstan diperoleh sebesar 42,3289 gram, sedangkan bobot kurs kosong diperoleh sebesar 42,2538 gram sehingga berdasarkan hasil perhitungan kadar abu total yang diperoleh sebesar 3,755%. Kadar abu total ekstrak daun jati belanda menurut literature Farmakope Herbal Indonesia yaitu tidak lebih dari 4%, sampel ekstrak daun jati belanda pada praktikum ini telah memenuhi syarat karena sesuai dengan literatur. Pemeriksaan yang ketiga adalah penentuan kadar abu tidak larut asam. Abu yang telah diperoleh dari kadar abu total dilarutkan oleh HCl encer dan dididihkan. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kelarutan dari abu, selain itu suhu dapat meningkatkan kelarutan dimana molekulmolekul pelarut akan melebar sehingga menyediakan space untuk sampel sehingga pergerakan dari molekulnya sendiri akan meningkat dan mudah kontak dengan pelarut HCl. Mineral-mineral yang diinginkan cenderung tidak larut oleh HCl atau asam. HCl yang digunakan yaitu HCl dengan konsentrasi 2N atau tidak terlalu pekat agar tidak merusak minera-mineral yang diinginkan. Setelah itu di saring dengan kertas saring bebas abu lalu dicuci menggunakan aquades panas untuk membersihkan abu dari HCl yang masih tertempel dan diharapkan pengotor yang ada terbawa oleh aquades lalu disaring kembali dengan kertas saring bebas abu. Kertas saring bebas abu ini merupakan kertas saring yang apabila dipanaskan pada suhu tinggi tidak akan meninggalkan bekas sehingga tidak akan mengganggu atau menambah beban dari abu yang tidak larut asam
tersebut. Setelah ditimbang diperoleh bobot kurs yang berisi abu tidak larut asam yaitu sebesar 42,2829 gram sehingga berdasarkan perhitungan diperoleh kadar abu tidak larut asam sebesar 1,45%. Menurut Farmakope Herbal Indonesia kadar abu tidak larut asam ekstrak daun jati belanda yaitu tidak lebih dari 1,5%. Sehingga, dapat dikatakan kadar abu tidak larut asam sampel ekstrak daun jati belanda pada praktikum ini telah memenuhi syarat karena sesuai dengan literature. Dilihat dari hasil penentuan parameter-parameter non-spesifik bobot jenis, kadar abu total, dan kadar abu tidak larut asam dapat disimpulkan bahwa ektrak daun jati belanda yang diuji telah memenuhi standar yang ada pada literature. Sehingga, ekstrak dapat digunakan sebagai bahan baku untuk dibuat suatu sediaan obat.
IX.
Kesimpulan Dapat ditentukan mutu ekstrak bahan baku obat tradisional dengan metode penetapan kadar abu, kadar abu tidak larut asam, dan penentuan bobot jenis. Didapatkan bobot jenis untuk ekstrak 5% = 0.9101 gr/ml; ekstrak 10% = 0.9363 gr/ml; Kadar Abu Total 3,755%; dan Kadar Abu Tidak Larut Asam = 1,45%. Hal tersebut sesuai dengan literatur Farmakope Herbal Indonesia, sehingga ekstrak daun jati belanda memiliki mutu yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Ansel, H, C., Price, S, J., 2004, Kalkulasi Farmasetik Panduan untuk Apoteker, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Apriyantono, A. 1988. Analisis Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB. Armando.2013.Pembuatan
Simplisia
Nabati
dan
Ramuan
Jamu
Tradisional.
Available online at http://ejournal.uajy.ac.id/6511/1/JURNAL%20BL01159.pdf [diakses pada tanggal 11 November 2017] Azizah, B dan N. Salamah. 2013. Standarisasi Parameter Non Spesifik dan Perbandingan Kadar Kurkumin Ekstrak Etanol dan Ekstark Terpurifikasi Rimpang Kunyit. Jurnal Ilmiah Kefarmasian, Vol. 3, No. 1: 21-30. Bird, Tony. 1993. Kimia Fisik Untuk Universitas. Jakarta : PT Gramedia. Depkes RI.1995. Farmakope Indonesia ed IV. Jakarta:Depkes RI. Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat . Cetakan Pertama. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 3-5, 10-11. Depkes RI. 2008. Farmakope Herbal Indonesia. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Diharmi, A., D. Fardiaz., N. Andarwulan., dan E. S. Heruwati. 2011. Karakteristik Karageran Hasil Isolasi Eucheuma sipinosum (Alga Merah) dari Perarairan Semenanjung Madura. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 16 (1): 117-124). Lisdawati, V., D. Mutiatikum., S. Alegantina., dan Y. Astuti. 2008. Karakterisasi Daun Miana ( Plectranthus scutellarioides L.) dan Buah Sirih ( Piper betle L.)
Secara Fisikokimia dari Ramuan Lokal Antimalaria Daerah Sulawesi Utara. Media Litbang Kesehatan. 18(4): 213-225. Rivai. 2013. Pengaruh Perbandingan Pelarut Etanol-Air terhadap Kadar Senyawa Fenolat Total dan Daya Antioksidan dari Ekstrak Daun Sirsak. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi, Vol. 18 No.1, 35-42. Riyanti,S.,O.Irnawati.,dan J,Ratnawati. 2013.Pemantauan Kualitas Jamu yang Beredar di Kota Cimahi. Kartika Jurnal Ilmiah Farmasi.Vol 1(1):45-48. Sharon, N., S. Anam., dan Yuliet. 2013. Formulasi Krim Antioksidan Ekstrak Etanol Bawang Hutan (Eleutherine palmifdia L.). Journal of Natural Science. 2(3): 111-122. Solihah, I. 2015. Standarisasi. Available at http://www.pendekarilusi.com/wpcontent/uploads/2015/02/standarisasi-obat-bahan-alat.pdf
[diakses
pada
tanggal 11 November 2017] Sudarmadji, S. 1996. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta : Liberty dan PAU Pangan dan Gizi UGM.