DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………….……………..……………….
i
LEMBAR PENGESAHAN …….………………………………….
1
DAFTAR ISI ……………………………………………………….
2
I.
PENDAHULUAN.…………………………………
3
II.
DEFINISI …………....……………………………..
4
III.
ETIOLOGI………...….…………………………….
4
IV.
EVALUASI DASAR INFERTILITAS ……………
8
V.
UJI LENDIR SERVIKS…...…………...…………..
12
VI.
UJI PASCA SENGGAMA…….…………………...
15
VII.
METODE KURVA SUHU BASAL TUBUH……..
18
VIII.
KESIMPULAN……………....……………………..
21
DAFTAR PUSTAKA ....…………………………………………….
22
PEMERIKSAAN DASAR INFERTILITAS
I.
PENDAHULUAN Infertilitas adalah keadaan yang mempengaruhi 10-15% pasangan pada kelompok usia reproduktif. Prevalensi wanita yang didiagnosa dengan infertilitas adalah sekitar 13%, yang berkisar dari 7-28%, bergantung pada usia wanita. Etnik atau ras tampaknya hanya sedikit memberikan efek pada prevalensi. Akan tetapi, angka kejadian infertilitas primer terus mengalami peningkatan, yang bersamaan dengan penurunan infertilitas sekunder, sebagian besar kemungkinan disebabkan oleh perubahan perilaku sosial seperti menunda untuk memiliki anak. Hal ini menyebabkan infertilitas menjadi antara komponen penting dalam praktek dokter.
1,2
Pemeriksaan dasar infertilitas merupakan hal yang sangat penting dalam tatalaksana infertilitas. Dengan melakukan pemeriksaan dasar yang baik dan lengkap, maka terapi dapat diberikan dengan cepat dan tepat, sehingga penderita infertilitas dapat terhindar dari keterlambatan tatalaksana infertilitas yang dapat memperburuk prognosis dari pasangan suami istri tersebut.3 Sebagai dokter umum banyak hal yang bisa dilakukan pada lini pertama dengan melakukan anamnesa dengan benar dan efektif, melakukan pemeriksaan dengan benar dan melakukan terapi sederhana. Beberapa pemeriksaan dasar dianjurkan untuk mengevaluasi 5 komponen utama penyebab infertilitas seperti faktor pasangan (pria), faktor ovulasi, faktor serviks, faktor uterotuba dan faktor perineal.4 Namun, di dalam referat ini penulis cuma akan membahas tiga metode pemeriksaan dasar infertilitas yaitu: i. ii. iii. II.
Metode kurva suhu basal tubuh Uji lendir serviks Uji pasca senggama.
DEFINISI INFERTILITAS
1
Infertilitas merupakan masalah yang dihadapi oleh pasangan suami istri yang telah menikah selama minimal satu tahun, melakukan hubungan senggama teratur, tanpa menggunakan kontrasepsi, tetapi belum berhasil memperoleh kehamilan.1,3 Infertilitas dikatakan sebagai infertilitas primer jika sebelumnya pasangan suami istri belum pernah mengalami kehamilan. Sementara itu, dikatakan sebagai infertilitas sekunder jika pasangan suami istri gagal untuk memperoleh kehamilan setelah satu tahun pascapersalinan atau pascaabortus, tanpa menggunakan kontrasepsi apa pun.2,3
III. ETIOLOGI Pada prinsipnya, masalah yang terkait dengan infertilitas ini dapat dibagi berdasarkan masalah yang sering dijumpai pada perempuan dan masalah yang sering dijumpai pada laki-laki.3 Tabel 1 Faktor Penyebab Infertilitas 4 Insiden pada Pasangan yang Infertil (%) 25-35
Etiologi Faktor utero-tuba dan peritoneum Faktor pasangan (pria)
20-35
Faktor ovulasi
15-25
Idiopatik
10-20
Faktor serviks
3-5
Lain-lain
1-5
Faktor
pasangan (pria) melibatkan proses spermatogenesis, dari sel induk menjadi sperma, berlangsung hampir 90 hari, oleh karena itu setiap kelainan yang terjadi selama proses spermatogenesis dapat mempengaruhi karakteristik semen. Spermatogenesis optimal pada suhu sedikit di bawah temperatur tubuh. Banyak yang dapat menyebabkan infertilitas pada laki-laki antaranya penggunaan obat-obatan, toksik, trauma testikuler, infeksi dan riwayat operasi.2,4
2
Faktor infertilitas yang berasal dari wanita dapat dibagi menjadi beberapa kategori, antara lain: III.a
Faktor Ovulasi Ovarium memiliki fungsi sebagai penghasil oosit dan penghasil hormon. Masalah utama yang terkait dengan fertilitas ada gangguan fungsi ovulasi.3 Ovulasi dapat terganggu oleh kelainan dalam hipotalamus, hipofisis anterior, atau ovarium. Proses ovulasi dimulai sesaat setelah aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium telah matang dan follicle-stimulating hormone (FSH) serta luteinizing hormone (LH), yang diatur oleh gonadotropinreleasing hormone (GnRH), berada dalam kondisi sekresi normal. Dari kelompok folikel yang tersedia setiap bulan, hanya satu buah oosit yang dipilih dan berkembang ke tahap preovulasi. Selama perkembangan follikel, sel granulosa mensekresikan estradiol (E2) dengan jumlah yang terus meningkat, dan menurunkan sekresi FSH. Kemudian, melalui mekanisme umpan balik positif, E2 menghasilkan gelombang LH yang memicu proses ovulasi, menginduksi meiosis oleh oosit, dan merangsang pembentukan korpus luteum dan sekresi progesteron.2 Gangguan ovulasi didefinisikan sebagai perubahan frekuensi dan durasi siklus menstruasi. Siklus menstruasi yang normal berlangsung selama 25-35 hari, dengan rata-rata selama 28 hari. Kegagalan berovulasi adalah masalah infertilitas yang paling sering terjadi. Ketiadaan proses ovulasi dapat dikaitkan dengan amenore primer, amenore sekunder, atau oligomenore.3 Gangguan ovulasi dapat disebabkan oleh defek fungsi sistem saraf pusat (SSP), penyakit metabolik, atau defek perifer. Defek SSP mencakup anovulasi hiperandrogenemik kronik, hiperprolaktinemia (empty sella, tumor, atau gangguan yang disebabkan oleh obat), insufisiensi hipotalamus (yang mencakup sindrom Kallmann), dan insufisiensi hipofisis (trauma, tumor, atau kelainan kongenital). Penyakit metabolik yang menyebabkan gangguan ovulasi adalah penyakit tiroid, penyakit hepar, penyakit ginjal, obesitas, dan
3
kelebihan androgen (adrenal atau neoplastik). Defek perifer dapat disebabkan oleh disgenesis gonadal, kegagalan ovarium premature dan tumor ovarium.2,4 Sindrom ovarium polikistik merupakan masalah gangguan ovulasi utama yang seringkali dijumpai pada kasus infertilitas. Saat ini untuk menegakkan diagnosis sindrom ovarium polikistik jika ditemukan dari tiga gejala di bawah ini:3 Terdapat siklus haid oligoovulasi atau anovulasi. Terdapat gambaran ovarium polikistik pada pemeriksaan USG. Terdapat gambaran hiperandrogenisme baik klinis maupun biokimiawi. III.b
Faktor Tuba dan Peritoneal Tuba Fallopii memiliki peran yang besar di dalam proses fertilisasi, karena tuba berperan di dalam proses transpor sperma, kapasitas sperma dalam proses fertilisasi, dan transport embrio. Adanya kerusakan atau kelainan tuba akan berpengaruh terhadap angka fertilitas.3 Gejala seperti nyeri kronis pada pelvis atau dismenore dapat menunjukkan adanya obstruksi tuba. Perlekatan dapat mencegah pergerakan tuba yang normal, pengambilan ovum, dan pengangkutan telur yang telah difertilisasi kedalam uterus. Berbagai macam etiologi yang berperan terhadap gangguan tuba, termasuk infeksi pelvis, endometriosis, dan riwayat operasi pelvis.4 Riwayat penyakit radang pelvis (PID) kemungkinan besar dapat menyebabkan kerusakan pada tuba fallopi atau adanya perlekatan pelvis. Di Amerika Serikat, penyebab penyakit tuba yang paling sering adalah infeksi yang disebabkan oleh Clamidia trachomatis atau Neisseria gonorrhoeae. 2,3
III.c
Faktor Serviks Gangguan pada serviks dapat disebabkan oleh stenosis atau kelainan interaksi mukus dengan sperma. Serviks uterus memainkan peranan yang penting dalam pengangkutan sperma setelah berhubungan seksual. Produksi dan karakteristik mukus di serviks berubah berdasarkan pada konsentrasi estrogen selama fase akhir pematangan folikel.4
4
Servisitis kronis memiliki kaitan yang erat dengan infertilitas karena dapat menyebabkan kesulitan bagi sperma untuk melakukan penetrasi ke dalam kavum uteri. Sementara trauma pada serviks yang memerlukan tindakan operasi tertentu seperti konisasi atau upaya abortus provokatus sehingga menyebabkan cacat pada serviks, dapat menjadi penyebab terjadinya infertilitas.3 III.d
Faktor Peritoneum Masalah yang sering dikaitkan antara faktor peritoneum dengan infertilitas adalah adanya riwayat infeksi pelvis seperti penyakit radang panggul atau apendisitis, penggunaan AKDR, endometriosis dan abortus septik.2 Endometriosis dijumpai sebesar 25-40% pada perempuan dengan masalah infertilitas dan dijumpai sebesar 25% pada populasi umum.3,4 Perlengketan pelvis sering dikaitkan dengan riwayat operasi pelvis, PID atau endometriosis. Endometriosis memberikan gejala nyeri panggul, dismenore, dan infertilitas. 4 Patogenesis endometriosis di rongga peritoneum seringkali dikaitkan dengan teori regurgitasi implantasi dari Sampson atau dapat pula dikaitkan dengan teori metaplasia. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti hubungan yang erat antara endometriosis dengan kejadian infertilitas. Diperkirakan disebabkan oleh faktor-faktor imunologis yang kemudian berdampak negatif terhadap kerusakan jaringan.3
IV. EVALUASI DASAR INFERTILITAS Pemeriksaan dasar merupakan hal yang sangat penting dalam tata laksana infertilitas. Dengan melakukan pemeriksaan dasar yang baik dan lengkap, maka terapi dapat diberikan dengan cepat dan tepat, sehingga penderita infertilitas dapat terhindar dari keterlambatan tata laksana infertilitas yang dapat memperburuk prognosis dari pasangan suami istri tersebut. 3 Evaluasi infertilitas berfungsi untuk : 1 1. Menentukan penyebab infertilitas 2. Memberikan pasangan tersebut protokol pengobatan yang dianjurkan 3. Menilai perkiraan angka keberhasilan terapi yang dianjurkan tersebut
5
4. Mengedukasi kepada pasangan mengenai gangguan spesifik yang mereka alami dan terapi alternaif yang tersedia atau adopsi. Beberapa pasien tertentu hanya mencari diagnosis dan tidak ingin meneruskan terapi atau tidak dapat membiayai uji diagnostik atau terapi yang dianjurkan. Sebagian pasangan kemudian melakukan adopsi, sementara yang lain mematuhi terapi medis atau bedah yang dianjurkan. 4 Pada umumnya dilakukan pemeriksaan berupa: Wawancara / anamnesis dan pemeriksaan fisik Pemeriksaan dasar infertilitas IV.a.
Wawancara / Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Pada awal pertemuan, penting sekali untuk memperoleh data apakah pasangan suami istri atau salah satunya memiliki kebiasaan merokok atau minum minuman beralkohol. Perlu juga diketahui apakah salah satu pasangan menjalani terapi khusus seperti antihipertensi, kortikosteroid dan sitostatika.3 Pihak laki-laki harus ditanya mengenai lama menikah, usia pasangan, pekerjaaan, frekuensi dan waktu melakukan hubungan seksual, riwayat perkembangan urologis, riwayat operasi, riwayat hubungan kelamin, kontak dengan zat, toksik, penyakit infeksi alat reproduksi.2 Pemeriksaan
jasmani
pada
umumnya
termasuk
seks
sekunder
(penyebaran rambut, ginekomastia dll). Pemeriksaan khusus alat reproduksi (penis, letak lubang uretra, ukuran, konsistensi testis, vas deferens, epididimis dll). Pasangan (pria) harus diskrining untuk penyakit hipogonadisme, penyakit testikuler, penggunaan obat-obatan dan bahan toksik, gangguan ereksi dan gangguan motilitas sperma.4 Pihak perempuan harus ditanyai mengenai saat dia mengalami pubertas dan menarke. Riwayat haid harus meliputi lama siklus, durasi dan jumlah perdarahan, serta dismenorea atau gejala prahaid yang menyertai. Riwayat haid yang dapat diperkirakan, teratur, dan siklik sesuai dengan ovulasi,
6
sedangkan riwayat amenore atau menometroragia mungkin menunjukkan anovulasi atau kelainan uterus.2,3 Pasien harus ditanyai mengenai dispareunia atau dismenore berat yang mungkin berhubungan dengan endometriosis. Riwayat penyakit radang panggul, perforasi appendiks atau pembedahan abdomen lainnya, atau pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim dapat menyebabkan penyakit pada tuba. Riwayat galaktorea mungkin jadi petunjuk hiperprolaktinemia, sedangkan riwayat hirsutisme yang muncul saat pubertas atau hirsutisme yang cepat memburuk mungkin mengisyaratkan adanya penyakit ovarium polikistik atau kelebihan androgen lainnya.4 Perlu dilakukan anamnesis terkait dengan frekuensi senggama yang dilakukan selama ini. Harus dilakukan anamnesis menyeluruh mengenai riwayat penyakit dahulu dan riwayat keluarga. Masalah seksual, sosial, dan spikologis harus dibahas. Evaluasi dan terapi infertilitas sebelumnya juga perlu didapatkan dan diinterpretasikan.1 Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan pada pasien dengan masalah infertilitas adalah pengukuran tinggi badan, penilaian berat badan, dan pengukuran lingkar pinggang. Perempuan dengan indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 25kg/m2 termasuk dalam kelompok kriteria berat badan lebih. Hal ini memiliki kaitan yang erat dengan sindrom metabolik. IMT yang kurang dari 19 kg/m2 sering dikaitkan dengan penampilan pasien terlalu kurus dan perlu dipikirkan adanya penyakit kronis seperti TBC, kanker atau masalah kesehatan jiwa.3 Pemeriksaan fisik yang menyeluruh diperlukan untuk membantu menentukan faktor-faktor penting yang mungkin menyebabkan infertilitas. Akne, kulit berminyak, dan hirsutisme mungkin disebabkan oleh kelebihan androgen. Pembesaran tiroid, akantosis nigrikans, galaktorea, pigmentasi kulit, striae abdomen, parut bedah, atau kelainan berat badan harus diperiksa dengan cermat. 4
7
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan diagnosis klinis yang diarahkan. Namun, ada beberapa rekomndasi spesifik. Bagi wanita dengan titer rubella negatif harus mendapat imunisasi dan menunda kehamilan selama 3 bulan. Bila wanita disahkan hamil, tes sifilis, tes hepatitis, dan tes HIV dilakukan sesuai kebijakan pemerintah. Skrining untuk mendeteksi adanya kista fibrosis juga sebaiknya dilakukan.1 Pemeriksaan
dasar
yang
dianjurkan
untuk
mendeteksi
atau
mengkonfirmasi adanya ovulasi dalam sebuah siklus haid adalah penilaian kadar progestron pada fase luteal, yaitu kurang lebih 7 hari sebelum perkiraan datangya haid. Pemeriksaan kadar TSH dan prolaktin hanya dilakukan jika terdapat indikasi berupa siklus yang tidak berovulasi atau gejala klinik sesuai dengan kelainan kelenjar tiroid. Pemeriksaan FSH dan LH dilakukan pada fase proliferasi awal (hari 3-5) terutama jika dipertimbangkan peningkatan IV.b.
nisbah LH/FSH pada kasus sindrom ovarium polikistik.3 Pemeriksaan Dasar Infertilitas Petunjuk penting yang menunjukkan penyebab infertilitas dapat diperoleh dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Beberapa tes dapat dilakukan untuk menilai 5 komponen penting fertilitas: faktor pasangan (pria), faktor ovulasi, faktor serviks, faktor uterotubal, dan faktor peritoneum (Lihat tabel 2). Menurut European Society for Human Reproduction and Embryology Capri Workshop menyimpulkan bahwa kelainan dalam analisis semen, hysterosalpingogram, atau pemeriksaan laboratorium terkait fungsi ovulasi berkorelasi dengan gangguan fertilitas.4 Tabel 2 Tes Diagnostik untuk Menilai Infertilitas 4 Faktor Etiologi Tes Diagnostik Faktor pasangan (pria) Analisis semen Faktor ovulasi Kadar serum progesteron Suhu basal tubuh Uji lendir serviks Kadar LH dalam urin Biopsi endometrium Kadar FSH hari ketiga 8
Faktor serviks Faktor utero-tuba Faktor peritoneum
Kadar beta-estradiol hari ketiga Uji clomiphene (Clomiphene Challenge Test) Uji pasca senggama Histerosalpingogram Laparoskopi
Namun, di dalam referat ini penulis cuma akan membahas tiga jenis pemeriksaan dasar infertilitas yaitu: i. ii. iii.
V.
Uji lendir serviks Uji pasca senggama. Metode kurva suhu basal tubuh
UJI LENDIR SERVIKS Lendir serviks adalah hidrogel yang dihasilkan oleh kelenjar serviks. Lendir serviks ini berperan dalam migrasi dan pematangan sperma di traktus genitalia wanita, dan berfungsi membentuk penghalang untuk mencegah patogen masuk ke endometrium. Lendir serviks juga terkait dengan patologi dari sistem imun serviks.5 Siklus menstruasi sangat erat kaitannya dengan lendir serviks. Selama masa menstruasi, jumlah, warna, dan tekstur lendir serviks akan berubah. Oleh karena adanya perubahan kadar hormon selama siklus haid, lendir serviks akan mengalami perubahan biofisik dan biokimia. Oleh karena itu, lendir serviks menjadi suatu elemen yang indirek tetapi penting untuk menghitung masa ovulasi perempuan, bukan hanya untuk dokter tetapi juga bagi wanita yang menggunakan metode keluarga berencana alami, terutama metode ovulasi Billing.5,6 Waktu ovulasi dapat diprediksi menggunakan pemeriksaan lendir serviks secara gross dan mikroskopik. Ada dua parameter yang digunakan yaitu Tes Fern dan Tes Spinnbarkeit.6 V.a
Tes Fern Tes Fern (uji pakis) merupakan salah satu parameter dalam uji lendir serviks dan merupakan metode untuk mendiagnosa kehamilan usia awal.6 Wibowo (1991) menyebutkan bahwa pembentukan struktur daun pakis pada lendir serviks salah satunya ditentukan oleh konsentrasi NaCl. Sepanjang 9
siklus menstruasi komponen tersebut merupakan garam dengan persentase tertinggi. 7 Terbentuknya pola ferning tergantung pada adanya mucin, protein dan konsentrasi elektrolit. Kesserii (1973) menyebutkan bahwa pada dasarnya semua elektrolit menghasilkan reaksi pembentukan ferning dalam larutan pada konsentrasi yang tepat (optimum). Karena semua elektrolit mempunyai kemampuan membentuk ferning, maka jumlah elektrolit yang banyak akan memberikan gambaran ferning yang lebih jelas. Lendir serviks mengandung Kalium dalam jumlah yang sangat sedikit atau merupakan trace elemen, sebaliknya sepanjang siklus menstruasi Natrium terdapat dalam jumlah paling banyak yaitu 0,7 %. Sehingga dalam lendir serviks Natrium lebih dominan dalam pembentukan ferning. 7 Dengan pengaruh peningkatan kadar estrogen yang memicu ovulasi, lendir serviks akan menjadi tipis, berair, asin dan elastis. Ketiga karakteristik ini dapat dievaluasi dengan tes Fern. Pelaksanaan Tes Fern dilakukan dengan cara mengoles sampel lendir pada kaca gelas lalu dikeringkan. Kemudian diamati dengan mikroskop perbesaran 10x10 dan ditentukan nilai ferningnya berdasarkan pedoman penilaian ferning lendir serviks menurut WHO. Sebelum pengamatan mikroskopis preparat ferning dikeringkan dengan cara melewatkan di atas lampu spiritus agar benar-benar kering dan tidak terpengaruh oleh kelembaban udara luar.6,7 Ketika sampel lendir serviks dioleskan pada kaca gelas lalu dikeringkan, lendir serviks akan mengering dan akan tampak gambaran daun pakis (fernlike pattern). Bentuk daun pakis akan lebih jelas apabila diambil sampel lendir pada waktu yang mendekati ovulasi (lihat Gambar 1).6
10
Gambar 1. Lendir serviks yang memberi reaksi Fern positif membentuk gambaran daun pakis (foto sebelah kiri) dan lendir serviks yang reaksi Fern negatif (foto sebelah kanan). 1
V.b
Tes Spinnbarkeit Tes Spinnbarkeit mengevaluasi elastisitas lendir serviks, yang meningkat seiring dengan peningkatan kadar estrogen.7 Satu tetes sampel lendir yang diambil pada waktu mendekati ovulasi diletakkan di antara dua kaca gelas (atau di antara dua jari). Apabila kedua kaca gelas ini dijauhkan, lendir serviks membenang,
bila direntang bisa
mencapai 8 -12 sentimeter dan tidak terpisah (lihat Gambar 2). Jika ovulasi sudah terjadi, atau adanya gangguan ovulasi, sampel lendir tadi akan mengecil dan menebal. 1, 6
11
Gambar 2. Interpretasi dari
Tes
Spinnbarkeit.6
Selain
itu,
karakteristik lendir serviks turut dinilai. Seperti munculnya sel atau debris pada pada lendir serviks, dan pH lendir serviks (melalui tes PH untuk mengetahui asam atau basa). Kelainan yang muncul dalam lendir serviks ini adalah faktor yang dapat menyebabkan gangguan fertilitas. Pemberian obat untuk meningkaktkan induksi ovulasi bagi gangguan fertilitas seperti chlomiphene, dapat mempengaruhi karakteristik lendir serviks.6 VI. UJI PASCA SENGGAMA Interaksi awal antara sperma dan traktus genitalia wanita dapat ditentukan melalui uji pasca senggama dari lendir serviks (Tes Sims-Huhner).2 Uji pasca senggama pertama kali diperkenalkan oleh James Marion Sims pada tahun 1866 dan dipopulerkan oleh Max Huhner pada tahun 1913. Meskipun uji ini telah dikembangkan lebih dari satu abad, kepentingan klinisnya masih diperdebatkan dalam literatur. Beberapa penulis telah melaporkan korelasi yang baik antara hasil uji pasca senggama dan kadar kehamilan, sedangkan penulis yang lain menemukan bahwa hasil uji ini tidak memiliki nilai prognostik yang baik. Walaupun validitas uji ini masih diperdebatkan, uji pasca senggama telah menjadi metode pilihan untuk mendiagnosis faktor serviks pada infertilitas.8 Tujuan dari uji pasca senggama adalah untuk menilai jumlah spermatozoa aktif dalam lendir serviks dan tingkat survival sperma (dalam hitungan jam) setelah 12
senggama. Uji ini sebaiknya dilakukan jika wanita semakin mendekati waktu ovulasinya (masa subur). Prosedur uji pasca senggama adalah aspirasi lendir serviks dengan spoit 2 sampai 12 jam pascacoitus dan periksa di bawah mikroskop untuk melihat jumlah dan motilitas sperma; dianggap abnormal jika didapatkan kurang dari 10 sperma yang motil per high-power field. Uji pasca senggama masih kontroversial dan memiliki penggunaan yang terbatas dalam mendiagnosis infertilitas. Nilainya dalam menilai lendir serviks yang “hostile” terhadap sperma tidak pernah terbukti.2 Infertilitas karena faktor serviks disebabkan oleh abnormalitas dalam produksi lendir serviks atau abnormalitas dalam interaksi antara spermatozoa dan lendir serviks. Evaluasi infertilitas rutin termasuk uji pasca senggama dilakukan untuk menilai interaksi antara sperma dan lendir serviks. Uji pasca senggama dilakukan 2 atau 3 hari sebelum perkiraan masa subur. Pasangan diminta untuk melakukan senggama 2 sampai 12 jam sebelum uji dijalankan. Pasangan (wanita) kemudiannya datang ke dokter, di mana sejumlah kecil lendir serviks diperoleh. Lendir serviks tadi dioles pada kaca gelas, dilakukan Tes Spinnbarkheit (elastisitas) dan Tes Fern, dan diperiksa dengan mikroskop untuk mencari jumlah motilitas sperma per lapangan pandang.4 Uji pasca senggama rutin tidak direkomendasi oleh American Society for Reproductive Medicine karena (1) Uji pasca senggama tidak terstandarisasi, tidak sensitif, spesifik dan prediktif. (2) Faktor serviks jarang berdiri sendiri sebagai penyebab infertiltas. (3) Pengobatan modern untuk infertilitas idiopatik, misalnya inseminasi intrauterin, menyingkirkan hal-hal lain yang tidak jelas yang berkontribusi terhadap faktor serviks. Namun, sebagian dokter masih menggunakan uji pasca senggama sebagai prosedur diagnostik. 4 Beberapa tahun belakangan ini, banyak pengobatan yang telah dianjurkan untuk menangani masalah bila ditemukan adanya abnormalitas uji pasca senggama, antara yang paling sering dianjurkan adalah inseminasi intrauterine (IUI). IUI menjadi pilihan karena secara logikanya, alat ini dapat melewati saluran serviks dan memastikan konsepsi tetap berlaku, bila tidak ditemukan kelainan yang lain. Namun,
13
belum ada sebarang kesepakatan apakah penggunaan IUI untuk infertilitas yang disebabkan oleh faktor serviks sebenarnya meningkatkan kadar kehamilan.1 Uji pasca senggama dilakukan menurut metode yang telah dijelaskan oleh Hull et al. Uji pasca senggama direncanakan 14-16 hari sebelum menstruasi berikutnya, 6-18 jam pascasenggama. Pasangan diintsruksikan untuk melakukan hubungan intim pada malam sebelumnya seperti biasa. Tidak ada rekomendasi khusus terkait pantangan, istirahat pascasenggama atau postur pascasenggama khusus. Spekulum digunakan untuk membuka serviks. Satu jarum suntik sekali pakai (dispo 1 cc) digunakan untuk mengumpul lendir endoserviks. Lendir tersebut kemudiannya dioles pada gelas kaca dan diperiksa di mikroskop dengan daya rendah (x 100) dan lensa daya tinggi (x 400). Lendir dianggap dalam kondisi baik jika banyak (> 0,3 ml), sangat ductile(> 10 cm) dan sebagian besar dapat dilihat dengan mata telanjang.8 Hasil uji pasca senggama diklasifikasikan sebagai normal atau abnormal tergantung pada apakah spermatozoa yang maju kedepan ada atau tidak ada per lapang pandang (daya tinggi). Terminologi ini dipilih di sini untuk menghindari kebingungan dalam interpretasi karena dalam tes lain, 'positif' biasanya berarti hasil tes yang kurang baik. Hasil abnormal ('tidak ada' atau 'non-motil') hanya akan valid jika lendir yang diperiksa dalam kondisi baik. Jika jumlah lendir tidak adekuat, tes diulang. Hasil yang awalnya abnormal diabaikan jika setelahnya didapatkan hasil normal. 2,8 Ada dua masalah utama dalam menginterpretasi penelitian uji pasca senggama. Masalah pertama adalah kurangnya metodologi standar dalam melakukan uji pasca senggama dan dalam menginterpretasikan hasilnya meskipun sudah ada pedoman WHO. Pedoman WHO agak ambigu, dan mungkin terlalu rumit untuk digunakan dalam praktek klinis. Sampai saat ini, WHO merekomendasikan bahwa sampel lendir serviks harus diambil dari setidaknya tiga area yang berbeda (vaginal pool, ekstraserviks
dan endoserviks)
dan masing-masing hasil
ini harus
diinterpretasikan secara terpisah. Di dalam manual laboratorium WHO yang terbaru tentang pemeriksaan semen manusia dan interaksi sperma-lendir serviks, yang diterbitkan pada tahun 1992, rekomendasi dikurangkan kepada dua sampel lendir
14
serviks: satu dari vaginal pool dan satu lagi dari kanal endoserviks. Seperti yang telah dijelaskan oleh Hull et al., semakin sederhana persyaratan uji, semakin baik uji akan dilakukan dan diinterpretasikan. Oleh karena itu, ada pihak yang mengabaikan pedoman WHO sewaktu melakukan uji pasca senggama. 1,8 Masalah kedua dari hasil interpretasi uji ini adalah fakta bahwa kebanyakan penelitian tidak membedakan pasien yang menerima atau tidak menerima pengobatan untuk faktor serviks. Ini sangat penting, karena kadar konsepsi akan bervariasi dengan keberhasilan pengobatan. Jika pengobatan untuk faktor serviks berhasil, kadar konsepsi akan meningkat dan nilai prediktif dari uji pasca senggama yang abnormal akan berkurang. Pada masa yang sama, sensitivitas uji pasca senggama akan menurun jika didasarkan pada kadar kehamilan semua wanita, termasuk mereka yang menerima pengobatan. Hal ini menunjukkan bahwa uji pasca senggama memiliki nilai prediktif yang terbatas. 8 VII. METODE KURVA SUHU BASAL TUBUH Penentuan suhu basal tubuh adalah cara untuk memperkirakan hari ovulasi pada setiap siklus. Sebuah termometer khusus disedia, sehingga lebih mudah untuk menentukan apakah ada kenaikan suhu basal tubuh. Dengan kenaikan progesteron yang mengikuti ovulasi, akan ada peningkatan suhu basal tubuh dari 0,5 sampai 1°F. Suhu vagina atau suhu rektal harus dicatat ketika bangun tidur di pagi hari sebelum aktivitas fisik dilakukan. Suhu kemudian naik tiba-tiba sekitar 0,3-0,4 ° C (0,5-0,7 ° F) dan tetap tinggi selama sisa siklus. Hari ketiga setelah timbulnya suhu tinggi dianggap akhir masa subur. Pantangan dari senggama dimulai pada hari pertama menstruasi dan berlanjut sampai setidaknya 3 hari dari peningkatan berturut-turut suhu basal tubuh. Perlu diingat bahwa pada hari minggu, yang sering melibatkan jam bangun yang telat, akan cenderung menyebabkan suhu basal tubuh meningkat yang mungkin mendekati 0,4 atau 0,5°F, sehingga hanya elevasi yang persisten dalam hari berikutnya akan menjadi determinan bahwa ovulasi telah terjadi. Adalah sangat penting untuk mengingat bahwa elevasi suhu yang dipicu oleh progesteron hanya dimulai setelah ovulasi, hal ini menunjukkan mengapa metode ini lebih berguna secara retrospektif.1,2
15
Gambar
3. Hubungan ovulasi, basal hormon
antara suhu tubuh, LH dan FSH dalam siklus menstruasi normal.2
Jika seorang wanita demam atau terdapat perubahan lain dalam suhu tubuh, metode suhu basal tubuh akan sulit untuk digunakan.9 Wanita perlu mengambil suhu tubuhnya di waktu yang sama setiap pagi setelah dia bangun dari tidur dan sebelum dia makan apa-apa. Suhu tubuh dicatat pada grafik khusus. Lihat apakah suhu tubuhnya mengalami sedikit peningkatan 0,2°C sampai 0,5°C (0,4°F sampai 1,0°F) setelah ovulasi (biasanya sekitar pertengahan siklus menstruasi). Bila suhu wanita telah meningkat dari suhu biasa dan konsisten tinggi selama 3 hari berturut-turut, ovulasi telah terjadi dan masa subur telah berlalu.9
Gambar 4. Grafik metode kurva suhu basal tubuh untuk menentukan waktu ovulasi. 9
Suhu basal tubuh mengukur kenaikan progesteron seiring ovulasi secara tidak langsung dengan mengukur efek termogenik progesteron. Peningkatan sirkulasi 16
progesteron memicu peningkatan suhu basal tubuh yang konsisten dari 0,5°F sampai 1,0°F (0,3°C-0,6°C), biasanya berlangsung 11 sampai 14 hari setelah ovulasi (Gambar 4). Sebuah nadir suhu yang diamati sebelum kenaikan suhu basal tubuh adalah penanda potensial untuk ovulasi tetapi tidak memprediksi waktu ovulasi dengan akurat. Oleh karena itu, grafik suhu basal tubuh lebih bagus digunakan sebagai alat untuk mengkonfirmasi ovulasi daripada dijadikan alat untuk menentukan waktu senggama.4
Gambar 5. Hubungan antara perubahan hormonal, ovari, endometrium dan suhu basal tubuh dalam siklus menstruasi normal.4
Siklus ovarium adalah siklus yang mencakup perubahan sekresi hormon, yang pada gilirannya mempengaruhi kontrol hipofisis hipotalamus. Follicle-stimulating 17
hormone (FSH) adalah kunci stimulan untuk pertumbuhan folikel, yang memicu sekresi estrogen dalam bentuk estradiol. Estrogen, sebagai hormon dominan pada fase preovulasi, membuat leher rahim melunak, membesar, dan menghasilkan
lendir
(estrogenik) dalam jumlah yang banyak sehingga sperma mampu bertahan selama 3 sampai 5 hari. Leuteinizing hormone (LH) memungkinkan pematangan akhir dan pertumbuhan folikel dominan, inisiasi ovulasi, dan pengembangan korpus luteum. Pada fase luteal pascaovulasi, LH mendukung fungsi luteal, yaitu sekresi progesteron oleh korpus luteum. Kedua folikel dan sel luteal memiliki riwayat umur yang menentukan panjang siklus menstruasi. Pada tingkat endometrium, estradiol dan progesteron adalah regulator utama dari perubahan siklus dan mencegah kematian sel, bertanggungjawab dalam bagian shedding siklus selama menstruasi. Progesteron merangsang penebalan lendir serviks dan memiliki peran dalam peningkatan suhu tubuh. Sperma mati dalam waktu 2 sampai 3 jam dengan adanya lendir progestogenik pascaovulasi.10 VIII. KESIMPULAN Infertilitas merupakan masalah yang dihadapi oleh pasangan suami istri yang telah menikah selama minimal satu tahun, melakukan hubungan senggama teratur, tanpa menggunakan kontrasepsi, tetapi belum berhasil memperoleh kehamilan.1,3 Petunjuk penting yang menunjukkan penyebab infertilitas dapat diperoleh dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Beberapa tes dapat dilakukan untuk menilai 5 komponen penting fertilitas: faktor pasangan (pria), faktor ovulasi, faktor serviks, faktor uterotubal, dan faktor peritoneum.4 Waktu ovulasi dapat diprediksi menggunakan pemeriksaan lendir serviks secara gross dan mikroskopik. Ada dua parameter yang digunakan yaitu Tes Fern dan Tes Spinnbarkeit. Uji pasca senggama diguna untuk menilai interaksi awal antara sperma dan lendir serviks pada traktus genitalia wanita (Tes Sims-Huhner). Penentuan suhu basal tubuh adalah cara untuk memperkirakan hari ovulasi pada setiap siklus.4
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Speroff L, Fritz MA. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility. United Kingdom: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 425-431. 2. Decherney AH, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N. Current Diagnosis and Treatment in Obstetrics and Gynecology. United States of America: The McGraw-Hill’s Companies; 2006. p. 55.1-55.13. 3. Hestiantoro A. Infertilitas. In: Anwar M, Baziad A, Prabowo RP. Ilmu Kandungan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2011. p. 424-435. 4. Makar RS, Toth TL. The Evaluation of Infertility. Am J Clin Pathol 2002; 117 (Suppl 1): S95-S103. 5. Menargoez M, Pastor LM, Odebald E. Morphological Characterization Of Different Human Cervical Mucus Types Using Light And Scanning Electron Microscopy. Human Reproduction 2003; 18(9): p. 1782-1789. 6. U.S Congress Office of Technology Assessment. Infertility: Medical and Social Choices. Washington D.C: U.S. Government Printing Office; 1998. p.104. 7. Mardiati SM. Perbandingan Kadar Garam Natrium dan Kalium pada Tes Ferning Lendir Mulut. Jurnal Sains dan Matematika 2007; 15(1); ISSN 0854-0675: p.5-7. 8. Oei S, Bloemenkamp K, Helmerhorst F, editors. Evaluation of The Postcoital Test for Assessment of ‘Cervical Factor’ Infertility. European Journal of Obstetric & Gynecology and Reproductive Biology 1996; 64: p. 217-220. 9. WHO Planning Cornerstone. Family Planning: A Global Handbook for Providers. United States Agency for International Development Bureau for Global Health Office of Population and Reproductive Health; 2011. p. 239. 10. Barron ML, Fehring R. Basal Body Temperature Assessment: Is It Useful to Couple Seeking Pregnancy? American Journal of Maternal Child Nursing 2005; 30(5): p. 290296.
19