Pelayanan kesehatan dan Islam REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Nilai-nilai Islam perlu ditanamkan dalam pengembangan pengembangan ilmu kesehatan khususnya khususnya bidang kedokteran. kedokteran. "Dengan "Dengan demikian, seorang seorang tenaga kesehatan baik dokter maupun perawat akan menjalankan tugas secara baik sesuai dengan nilai-nilai Islam," kata Dekan Fakultas Ilmu Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Ardi Pramono, di Yogyakarta, Senin. Ardi mengatakan nilai-nilai Islam itu antara lain selalu tunduk kepada etika Islam, berdasarkan pada pada logika, penyembuhan penyembuhan jiwa dan raga, dan selalu memberikan memberikan pelayanan pelayanan terbaik. Dalam memberikan pelayanan, seorang tenaga kesehatan baik dokter maupun perawat bukan hanya untuk menyembuhkan menyembuhkan pasien. pasien. Tetapi, mereka juga juga harus mampu memperlakukan pasien dengan baik sebagai Muslim. Oleh karena itu, kata dia, memasuki usianya yang ke-19 tahun Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) terus berkomitmen untuk menanamkan menanamkan prinsip-prinsip Islam dalam ilmu kesehatan. Ardi mengatakan selain penanaman prinsip Islam, sebuah perguruan perguruan tinggi juga harus mampu mampu menjalankan menjalankan amanahnya sebagai institusi yang mendidik mahasiswa. Sehingga, mereka setelah lulus nanti dapat memberikan kontribusi dan perubahan positif pada masyarakat. "Dalam mencetak lulusan sebagai agen perubahan, perguruan tinggi harus memberikan kebebasan berkreativitas pada mahasiswa, menggunakan metode pembelajaran yang baik, dan sesuai dengan perkembangan teknologi yang ada," katanya.
Redaktur: Didi Purwadi Sumber: Antara 1.284 reads KAMPUS ENTREPRENEUR Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga, mereka kekal di dalamnya. (QS Al-Baqarah [2[:82)
Latar Belakang Tempat pelayanan kesehatan merupakan salah satu tempat umum dimana seluruh kalangan masyarakat akan berinteraksi disana. Diantaranya seperti Rumah sakit, Puskesmas, Klinik, dan lain-lain. Rumah sakit ( hospital ) adalah sebuah institusi perawatan kesehatan profesional yang pelayanannya pelayanannya disediakan oleh dokter , perawat perawat,, dan tenaga ahli kesehatan lainny lainnya. a. Bebera Beberapa pa pasie pasienn bisa bisa hanya hanya datan datangg untuk untuk diagno diagnosis sis atau atau terapi terapi ringa ringann untuk untuk kemudian meminta perawatan jalan, atau bisa pula meminta rawat inap dalam hitungan hari, minggu, atau bulan. Rumah sakit dibedakan dari institusi kesehatan lain dari kemampuannya memberikan diagnosa dan perawatan medis secara menyeluruh kepada pasien.
Di tempat pelayanan kesehatan seperti itulah batasan antara laki-laki dan perempuan menurut islam akan dikesampingkan. Maksudnya dikesampingkan pada kalimat barusan adalah kaburnya hijab antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim ini . Dapat kita lihat di tempat pelayanan kesehatan bahwa baik dokter, perawat ataupun petugas pelayanan kesehatan lainnya akan melakukan berbagai interaksi dengan pasien. Tindakan-tindakan terseb tersebut ut merup merupak akan an seran serangka gkaian ian prosed prosedur ur yang yang mesti mesti dijala dijalani ni menur menurut ut profes profesii masin masinggmasing. Diantaranya seperti dokter atau perawat yang harus melakukan pemeriksaan fisik terha terhadap dap pasien pasiennya nya yang yang pastin pastinya ya harus harus menyen menyentuh tuh tubuh tubuh pasie pasien, n, melaku melakukan kan injeks injeksii (suntikan) dibagian tertentu yang kadang harus mmbuat pasien membuka pakaiannya. Tidak hanya itu, bahkan kadang dokter atau perawat harus memegang alat vital dari kliennya untuk berbagai keperluan seperti pada pemasangan kateter atau operasi pada bagian tersebut yang tidak jarang bahwa petugas medis yang berlainan jenis kelaminlah yang melakukan tindakan tersebut. Sedangkan yang kita ketahui bahwa islam melarang hamba-hambaNya untuk menjaga dirinya dari orang yang bukan muhrimnya. Selain itu juga dikuatkan oleh sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Andaikan ditusukkan ke kepala salah seorang diantara kalian dengan jarum besi, yang demikian itu lebih baik daripada dia harus menyentuh wanita yang tidak diperbolehkan baginya". [Thabrani dalam Kitab Al-Kabir, Bab XX No. 211 dengan isnad hasan]. Jadi sebenarnya bagaimanakah pandangan islam mengenai fenomena yang ada di temp tempat at pela pelaya yana nann kese keseha hata tann ini. ini. Suat Suatuu kond kondisi isi yang yang sang sangat at tida tidakk mung mungki kinn untu untuk k ditinggalkan sebab ke urgent annya. annya. Lalu bagaimana pula sosok seorang tenaga medis dan para medis yang seharusnya agar dalam menjalankan tugasnya tetap berjalan pada syariat agama Islam dan benar-benar akan mendatang kan kemaslahatan bagi para pasien yang datang untuk berobat di tempat pelayanan kesehatan tersebut. Serta bagaimana pula peran serta dari lembaga berwenang kedokteran menyikapi aturan yang sesuai dengan syariat islam ini. Oleh karena itu, penulis pada kesempatan ini mencoba untuk membahas mengenai dilema yang ada ini. Sebab seperti yang kita ketahui bahwa Islam merupakan agama yang rahmatan lil alamin serta tsabat wa muruna dan Al-basathah yaitu perpaduan antara tetap dan menerima perubahan.
Di tempat pelayanan kesehatan seperti itulah batasan antara laki-laki dan perempuan menurut islam akan dikesampingkan. Maksudnya dikesampingkan pada kalimat barusan adalah kaburnya hijab antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim ini . Dapat kita lihat di tempat pelayanan kesehatan bahwa baik dokter, perawat ataupun petugas pelayanan kesehatan lainnya akan melakukan berbagai interaksi dengan pasien. Tindakan-tindakan terseb tersebut ut merup merupak akan an seran serangka gkaian ian prosed prosedur ur yang yang mesti mesti dijala dijalani ni menur menurut ut profes profesii masin masinggmasing. Diantaranya seperti dokter atau perawat yang harus melakukan pemeriksaan fisik terha terhadap dap pasien pasiennya nya yang yang pastin pastinya ya harus harus menyen menyentuh tuh tubuh tubuh pasie pasien, n, melaku melakukan kan injeks injeksii (suntikan) dibagian tertentu yang kadang harus mmbuat pasien membuka pakaiannya. Tidak hanya itu, bahkan kadang dokter atau perawat harus memegang alat vital dari kliennya untuk berbagai keperluan seperti pada pemasangan kateter atau operasi pada bagian tersebut yang tidak jarang bahwa petugas medis yang berlainan jenis kelaminlah yang melakukan tindakan tersebut. Sedangkan yang kita ketahui bahwa islam melarang hamba-hambaNya untuk menjaga dirinya dari orang yang bukan muhrimnya. Selain itu juga dikuatkan oleh sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Andaikan ditusukkan ke kepala salah seorang diantara kalian dengan jarum besi, yang demikian itu lebih baik daripada dia harus menyentuh wanita yang tidak diperbolehkan baginya". [Thabrani dalam Kitab Al-Kabir, Bab XX No. 211 dengan isnad hasan]. Jadi sebenarnya bagaimanakah pandangan islam mengenai fenomena yang ada di temp tempat at pela pelaya yana nann kese keseha hata tann ini. ini. Suat Suatuu kond kondisi isi yang yang sang sangat at tida tidakk mung mungki kinn untu untuk k ditinggalkan sebab ke urgent annya. annya. Lalu bagaimana pula sosok seorang tenaga medis dan para medis yang seharusnya agar dalam menjalankan tugasnya tetap berjalan pada syariat agama Islam dan benar-benar akan mendatang kan kemaslahatan bagi para pasien yang datang untuk berobat di tempat pelayanan kesehatan tersebut. Serta bagaimana pula peran serta dari lembaga berwenang kedokteran menyikapi aturan yang sesuai dengan syariat islam ini. Oleh karena itu, penulis pada kesempatan ini mencoba untuk membahas mengenai dilema yang ada ini. Sebab seperti yang kita ketahui bahwa Islam merupakan agama yang rahmatan lil alamin serta tsabat wa muruna dan Al-basathah yaitu perpaduan antara tetap dan menerima perubahan.
A. Perintah islam untuk menjaga diri dan hijabnya terhadap non muhrim Dienul Islam adalah sebuah agama yang mengatur segala seluk beluk yang ada di kehidupan manusia dan semua ciptaan Allah. Adapun yang termasuk yang dibahas adalah mengenai hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Di dalam agama ini diat diatur ur baga bagaim iman anaa hubu hubung ngan an anta antarr seor seoran angg wani wanita ta dan dan laki laki-la -laki ki sela selaya yakn knya ya menu menuru rutt pandangan Islam. Islam. Adapun perintah Allah swt. yang berkaitan dengan etika hubungan antara lelaki dan wanita pada (QS. Al-Ahzab : 53). Kalau ada sebuah keperluan terhadap lawan jenis, harus disampaikan dari balik tabir pembatas Banyak pendapat dari berbagai ulama mengenai hubungan antara laki-laki dan wanita ini, antara lain: Asy Syaikh berkata berkata,, Pertama, bahwa berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan itu hanya diperbolehkan apabila tidak disertai dengan syahwat serta aman dari fitnah. Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satunya (apa lagi keduanya; penj.) maka KEHARAMAN berjabat tangan tidak diragukan lagi. Bahkan seandainya kedua syarat ini tidak terpenuhi - YAITU TIADANYA SYAHWAT DAN AMAN DARI FITNAH – meskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan mahramnya seperti bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tiriny tirinya, a, mertua mertuanya nya,, atau atau lainny lainnya, a, maka maka berja berjabat bat tangan tangan pada pada kondis kondisii sepert sepertii itu adalah adalah haram.Bahkan berjabat tangan dengan anak yang masih kecil pun haram hukumnya jika kedua syarat itu tidak terpenuhi. Kedua, hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan saja, seperti yang disebutkan dalam pertanyaan di atas, yaitu dengan kerabat atau semenda (besan) yang terjadi hubungan yang erat dan akrab diantara mereka; dan TIDAK BAIK hal ini diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat, mengam mengambil bil sikap sikap hati-h hati-hati ati,, dan menel menelada adani ni Nabi Nabi saw. saw. - tidak tidak ada ada riwaya riwayatt kuat kuat yang yang menyebutkan bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan wanita lain (bukan kerabat atau tidak mempunyai hubungan yang erat). Dan yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah – yang komitmen pada agamanya – IALAH TIDAK MEMULAI BERJABAT TANGAN TANGAN DENGAN DENGAN LAIN LAIN JENIS. JENIS. Tetap Tetapi,i, apabil apabilaa diajak diajak berjab berjabat at tangan tangan barula barulahh ia menjabat tangannya.[1] tangannya. [1]
Dari Ma'qil bin Yasar Radhiyallahu 'anhu, dia menceritakan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda: "Andaikan ditusukkan ke kepala salah seorang diantara kalian dengan jarum besi, yang demikian itu lebih baik daripada dia harus menyentuh wanita yang tidak diperbolehkan baginya". [Thabrani dalam KitabAl-Kabir, Bab XX No. 211 dengan isnad hasan]. Dari ‘Aisyah ia berkata: Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membai’at para perempuan dengan perkataan. Tidak pernah tangan Rasulullah SAW memegang tangan para perempuan, kecuali tangan perempuan yang telah menjadi miliknya (artinya perempuan yang telah dinikahinya = istri Nabi). [Bukhari] Tidak hanya itu, dalam islam juga melarang agar kaum muslimin tidak berdua-duan (LARANGAN BERKHALWAT) seperti yang dijelaskan sebagai berikut: Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Aku pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpidato: “Janganlah sekali-kali seorang lelaki berkhalwat (berduaan) dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya. Dan janganlah seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya”. Tiba-tiba seorang lelaki bangkit berdiri dan berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteriku pergi untuk menunaikan ibadah haji, sedangkan aku terkena kewajiban mengikuti peperangan ini dan itu. Beliau bersabda: “Berangkatlah untuk berhaji bersama isterimu”. [Bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad] Hendaklah para muslimah tidak duduk-duduk dengan lelaki lain, hanya untuk sekedar ngobrol tanpa ada maksud dan tujuan tertentu. Duduk-duduk yang diperbolehkan hanya bila ada kebutuhan yang bersifat syar’I (dibolehkan agama).[2] Beberapa pendapat ulama-ulama dari empat madzhab besar diantaranya:
“Madzhab Hanafi : Haram menyentuh wajah dan dua telapak tangan perempuan bukan muhrim, sekalipun aman dari syahwat. Berjabat tangan dengan perempuan tua yang sudah tidak bersyahwat lagi; At-Thahawi berkata tidak mengapa. Manakala Syamsudin Ahmad bin Qaudar berkata tidak halal sekalipun aman dari syahwat.
Imam al-Kasaani berkata: “menyentuh (wanita) lebih berpotensi mem- bangkitkan syahwat daripada sekedar melihat ..” [Bada'iu ash-Shana`i']
Madzhab Maliki: Haram berjabat tangan dengan perempuan bukan muhrim. Ini dinyatakan oleh al-Imam alBaaji, al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi dan As-Shawi. Hukum berjabat tangan dengan perempuan tua, menurut Syeikh Abul Barakat Ahmad bin Muhamad bin Ahmad ad-Durdair ia tidak dibenarkan. Imam Abul Barokaat menyatakan: “Tidak boleh berjabat tangan dengan wanita (bukan muhrim) walaupun kaum lelaki sudah tidak memiliki lagi keinginan (hasrat) kepadanya .” [asy-Syahush Shaghir IV/760].
Madzhab Syafi’i : Imam An-Nawawi di dalam beberapa karyanya, as-Syaribini dan lain-lain ulama asSyafi’iyyah menyatakan haram berjabat tangan dengan perempuan bukan muhrim. Imam an-Nawawi berkata: “Memandang wanita (bukan muhrim) saja haram, maka menyentuhnya tentu lebih haram lagi, karena terasa lebih nikmat .” [Roudhotu ath-Thalilibin VII/28]. Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar halaman 228 berkata: “Para sahabat kami (dari kalangan Syafi’iyyah) mengatakan bahwa setiap hal yang dilarang untuk dilihat, maka dilarang pula untuk menyentuhnya. Bahkan menyentuh itu lebih besar lagi urusannya, karena telah dibolehkan bagi seseorang untuk melihat seorang wanita yang bukan muhrimnya pada saat hendak menikahi- nya, pada saat jual beli , pada saat mengambil barang dan menyerahkannya dan yang semisal dengan hal tersebut di atas. Akan tetapi tetap tidak diper bolehkan baginya pada saat-saat tersebut untuk menyentuhnya”.
Madzhab Hanbali: Imam Ahmad ketika ditanya tentang masalah berjabat tangan dengan perempuan bukan muhrim, beliau menjawab: “Aku membencinya.”
Mengenai berjabat tangan dengan perempuan tua: Imam Ishaq bin Mansur al-Marwazi menukil dari imam Ahmad, ia tidak dibenarkan (tidak dibolehkan). Sementara Ibnu Muflih menyatakan; pemilik an-Nazham mengatakan anak kecil (yang belum baligh) dibolehkan dengan tujuan budi pekerti.
makruh
dan dengan
Imam al-Marruzi (ada yang membaca : al-Marwazi) mengatakan: “Aku pernah bertanya kepada Ahmad bin Hanbal. ” Apakah anda membenci jabat tangan dengan kaum wanita (non muhrim)?”" Beliau menjawab: “Aku membencinya.” [Masa`il Ahmad wa Ishaq I/211]. Masih banyak lagi pendapat ulama dari empat madzhab yang mengharamkan berjabatan tangan dengan wanita bukan Muhrim.”(A.Shihabuddin. Telaah Kritis atas Doktrin paham Salafi/Wahabi.[3]-----Dari berbagai mazhab para ulama diatas dapat kita lihat ada persamaan dan perbedaan pandangan dari setiap ulama. Namun untuk saat ini orang mengira bahwa bila kita tidak berjabat-tangan dengan yang bukan muhrim berarti kurang sopan atau tidak saling menghargai, padahal keramahan dan kesopanan yang dimaksud oleh syari’at Islam bukanlah terletak pada jabatan tangan antara wanita dan lelaki yang bukan muhrim. Kita sebenar- nya juga tidak perlu bingung dengan kritikan orang lain (kolot, kurang sopan dll) mengenai amalan kita, karena kritikan ini tidak ada habis-habisnya, yang penting sebagai seorang muslim atau muslimah ialah sebaik mungkin menjalani perintah Allah swt. dan Rasul-Nya dan menjauhi larangan yang telah digariskan oleh syari’at Islam.
B. Fenomena yang ada di tempat pelayanan kesehatan saat ini Dalam ilmu kedokteran / kesehatan untuk menegakkan diagnosa suatu penyakit, dokter perlu melaksanakan pemeriksaan pada pasien seluruh tubuhnya, baik diluar, maupun dari dalam, sehingga pada umumnya pasien harus bersedia menanggalkan pakaiannya. Pemeriksaan dilakukan oleh dokter di ruang pemeriksaan, di mana dokter dapat memeriksa pasien dengan leluasa tanpa dapat dilihat dan didengar oleh orang lain. Dokter dan tenaga para medis diwajibkan secara etis memelihara kehormatan manusia, baik dalam ruang pemeriksaan, maupun dalam ruang perawatan[4].
Dalam prakteknya di tempat pelayanan itu sendiri banyak sekali kondisi yang membuat interaksi antara tenaga medis dengan pasiennya yang kadang membuat kita bertanya mengenai hal tersebut dalam pandangan Islam seperti yang telah kita bahas pada bagian A sebelumnya. Adapun prosedur-prosedur yang sering dilaksanakan dalam tahap pemeriksaan di Rumah Sakit atau tempat pelayanan kesehatan lain tersebut antara lain:
a. Mengambil anamnesa (riwayat penyakit) Pasien diharapkan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dokter secara jujur dan jelas, karena kadang –kadang pasien tidak ingin menceritakan riwayat penyakitnya karena merasa malu.
b. Melakukan inspeksi Inspeksi ini sudah dilakukan sejak pasien memasuki kamar kerja dokter, cara dia berjalan, normal atau dipapah, napas sesak, kemudian bentuk badan,emosionalnya,dan lain-lain
c. Melakukan palpasi Yaitu meraba tubuh dengan telapak tangan. Untuk ini perlulah pasien diminta untuk membuka pakaiannya terutama bagian atas, kalau nanti ternyata diperlukan pemeriksaan yang lebih lengkap barulah si pasien diminta untuk membuka celana, gune pemeriksaan dalam, baik melalui vagina maupun anus (dubur).
d. Melakukan perkusi Yaitu dengan memukulkan jari tengah kanan diatas jari tengah tangan kiri yang diletakkan dibagian atas tubuh yang diperiksa. Pada perkusi akan menimbulkan suara sehingga dapat ditentukan batas konfigurasi jantung, paru paru dan sebagainya. Apakah ada cairan di rongga dada atau pada rongga perut.
e. Melakukan aukultasi
Dengan alat pendengar stetoskop dokter dapat mendengar bunyi-bunyi udara di dalam paru-paru, baik yang normal maupun yang tidak normal, bunyi jantung yang normal dan yang tidak normal, bunyi bising, bunyi gerakan usus dan sebagainya.
f. Pemeriksaan Pelengkap Dilakukan dengan alat-alat seperti Reflek hamer dan Elektro Cardiograf , alat yang untuk mencatataktivitas jantung yang mengungkapkan peristiwa peristiwa abnormal yang tidak diketahui dengan cara-cara diatas.
g. Pemeriksaan Laboratorium Permeriksaan darah untuk mengetahui sel-sel darah, berbagai macam zat-zat dalam darah seperti gula, empedu , kolesterol, asam urat, dan sebagainya. Pendek kata dengan berbagai cara pemeriksaan ini dokter mendapat bahan bahan dalam menegakkan suatu diagnosa penyakit. Yang jelas ialah bahwa dalam pemeriksaan ini: i. Dokter dan pasien berada berduaan di dalam suatu ruangan. ii. Dokter melihat dan meraba sebagian atau seluruh badan penderita, termasuk bagian auratnya. iii. Dokter yang memeriksa dapat sejenis dengan penderita yaitu dokter laki-laki memeriksa penderita laki-laki atau tidak sejenis yaitu dokter wanita memeriksa penderita laki-laki dan sebaliknya.[5] Tidak hanya itu, dalam pelayanan kesehatan masih banyak sekali tindakan medis yang membuat antara tenaga medis dan petugas kesehatan terjadi interaksi yang “melanggar” aturan agama yang telah kita bahas sebelumnya pada bagian A. Contohnya seperti tindakan operasi. Tidak jarang para dokter atau pun perawatnya yang berlawanan jenis dengan pasien. Belum lagi jika yang dilakukan operasi adalah bagian vital dari pasien. Seperti operasi pengangkatan rahim ataupun operasi kanker payudara. Atau tindakan pemasangan kateter( pemasangan suatu alat ke bagian alat pengeluaran urin untuk mempermudah pasien
buang air kecil). Dan disini lah terlihat sekali peran tenaga medis yang membuat mereka harus melihat bahkan memegang alat kelamin pasiennya, dan tidak jarang pula yang melakukan itu adalah tenaga medis yang bukan muhrim dengan pasiennya. Belum lagi pada kasus dokter kandungan yang dokternya adalah seorang laki-laki. Dalam pemeriksaannya maupun proses kelahiran itu dokter tersebut akan sering berinteraksi dengan kliennya,yaitu para wanita. Dan mungkin masih banyak fenomena lain di tempat pelayanan kesehatan yang melibatkan interaksi antara tenaga medis atau para medis dengan pasiennya yang bukan muhrim.
C. pandangan islam terhadap fenomena dalam dunia kesehatan Islam menentukan bahwa setiap manusia harus menghormati manusia yang lainnya, karena Allah sebagai khalik sendiri menghormati manusia, sebagai mana di jelaskan Allah dalam surat Al Isra’ :70. Maka dokter maupun paramedis haruslah tidak memaksakan sesuatu kepada pasien, segala tindakan yang harus mereka kerjakan haruslah dengan suka rela dan atas keyakinan. Untuk pemeriksaan dokter dalam menegakkan diagnosa penyakit, maka dokter berkhalwat, melihat aurat, malah memeriksa luar dalam pasien dibolehkan hanya didasarkan pada keadaan darurat, sebagai yang dijelaskan oleh qaidah ushul fiqh yang berbunyi : yang darurat dapat membolehkan yang dilarang.
Islam memang mengenal darurat yang akan meringankan suatu hukum. Ada kaidah Idzaa dhoogal amr ittasi’ (jika kondisi sulit, maka Islam memberikan kemudahan dan kelonggaran). Bahkan Kaedah lain menyebutkan: ‘ Kondisi darurat menjadikan sesuatu yang haram menjadi mubah’. [6]
Berbicara mengenai kaidah fiqhiyyah tentang darurat maka terdapat dua kaidah yaitu kaidah pokok dan kaidah cabang. Kaidah pokok disini menjelaskan bahwa kemudharatan harus dilenyapkan yang bersumber dari Q.S Al- Qashash : 77), contohnya meminum khamar dan zat adiktif lainnya yang dapat merusak akal, menghancurkan potensi sosio ekonomi, bagi peminumnya kan menurunkan produktivitasnya. Demikian pula menghisap rokok, disamping merusak diri penghisapnya juga mengganggu orang lain disekitarnya. Para ulama
menganggap keadaan darurat sebagai suatu kesempitan, dan jika kesempitan itu datang agama justru memberikan keluasan. [7] Namun darurat itu bukan sesuatu yang bersifat rutin dan gampang dilakukan. Umumnya darurat baru dijadikan pilihan manakala memang kondisinya akan menjadi kritis dan tidak ada alternatif lain. Itu pun masih diiringi dengan resiko fitnah dan sebagainya. Akan tetapi, untuk mencegah fitnah dan godaan syaitan maka sebaiknya sewaktu dokter memeriksa pasien dihadiri orang ketiga baik dari keluarga maupun dari tenaga medis itu sendiri.[8]
Akan lebih baik lagi jika pasien diperiksa oleh dokter sejenis, pasien perempuan diperiksa oleh dokter perempuan dan pasien laki-laki diperiksa oleh dokter laki-laki . Karena dalam dunia kedokteran sendiri banyak cerita-cerita bertebaran di seluruh dunia, di mana terjadi praktek asusila baik yang tak sejenis hetero seksual, maupun yang sejenis homoseksual antara dokter dan pasien.[9] Dalam batas-batas tertentu, mayoritas ulama memperbolehakan berobat kepada lawan jenis jika sekiranya yang sejenis tidak ada, dengan syarat ditunggui oleh mahram atau orang yang sejenis. Alasannya, karena berobat hukumnya hanya sunnah dan bersikap pasrah (tawakkal) dinilai sebagai suatu keutamaan (fadlilah). Ulama sepakat bahawa pembolehan yang diharamkan dalam keadaan darurat, termasuk pembolehan melihat aurat orang lain,ada batasnya yang secara umum ditegaskan dalam al-qur’an ( Q.S Al-baqarah : 173; Al-an’am : 145 ;An-nahl : 115) dengan menjauhi kezaliman dan lewat batas .[10] Dalam pengobatan, kebolehan hanya pada bagian tubuh yang sangat diperlukan, karena itu, bagian tubuh yang lain yang tidak terkait langsung tetap berlaku ketentuan umum tidak boleh melihatnya. Namun, untuk meminimalisir batasan darurat dalam pemeriksaan oleh lawan jenis sebagai upaya sadd al-Dzari’at (menutup jalan untuk terlaksananya kejahatan), disarankan disertai mahram dan prioritas diobati oleh yang sejenis. Pembolehan dan batasan kebolehanya dalam keadaan darurat juga banyak disampaikan oleh tokoh madzhab. Ahmad ibn Hanbal, tokoh utama mazhab hanbali menyatakan boleh bagi dokter/ tabib laki-laki melihat aurat pasien lain jenis yang bukan mahram khusus pada bagian tubuh yang menuntut untuk itu termasuk aurat
vitalnya, demikian pula sebaliknya, dokter wanita boleh melihat aurat pasien laki-laki yang bukan mahramnya dengan alasan tuntutan. [11] Di Indonesia, dalam fatwa MPKS disebutkan, tidak dilarang melihat aurat perempuan sakit oleh seorang dokter laki-laki untuk keperluan memeriksa dan mengobati penyakitnya. Seluruh tubuhnya boleh diperiksa oleh dokter laki-laki, bahkan hingga genetalianya, tetapi jika pemeriksaan dan pengobatan itu telah mengenai genitalian dan sekitarnya maka perlu ditemani oleh seorang anggota keluarga laki-laki yang terdekat atau suaminya. Jadi, kebolehan berobat kepada lain jenis dopersyaratkan jika yang sejenis tidak ada. Dalam hal demikian, dianjurakan bagi pasien untuk menutup bagian tubuh yang tidak diobati. Demikian pula dokter atau yang sejenisnya harus membatasi diri tidak melihat organ pasien yang tidak berkaitan langsung[12].
D. Kode etik kedokteran dan sifat-sifat yang harus dimiliki tenaga medis Yang dimaksud dengan tenaga medik, ialah para dokter, sedang tenaga para medik ialah perawat, bidan, laboran dan sebaginya. Mereka merupakan manusia-manusia yang mempunyai keahlian yang terdidik dalam mengobati penyakit, dan merawat penderita, tingkah laku mereka yang baik dapat mempercepat kesembuhan. Haruslah ada hubungan kejiwaan yang akrab antara mereka dan penderita. Islam mengajarkan supaya usaha mulia ini haruslah didasarkan atas iman dan pengbdian diri kepada-Nya.[13] 1. Sumpah Dokter dan Etika Kedokteran Sejak permulaan sejarah umat manusia, orang sudah mengenal hubungan kepercayaan antara dua insane yaitu si penderita dan sang pengobat, yang pada zaman modern ini disebut sebagai hubungan dokter dengan pasien. Rumusan-rumusan disiplin untuk para dokter itu mula pertama dikenal sebagai “Sumpah Hippocrates”. Sumpah Hippocrates itu mengandung 6 buah nasehat atau peringatan yaitu : a. mengajarkan ilmu kedokteran kepada mereka yang berhak menerimanya.
b. mempraktikkan ilmu kedokteran hanya untuk memberi manfaat sebanyak-banyaknya bagi pasien. c. tidak mengerjakan sesuatu yang berbahaya bagi pasien. d. tidak melakukan keguguran buatan yang bersifat kejahatan. e. menyerahkan perasat-perasat tertentu kepada teman-teman sejawat ahli dalam lapangan yang bersangkutan. f. Tidak mempergunakan kesempatan untuk melakukan kejahatan atau godaan yang mungkin timbul dalam mengerjakan praktik kedokteran . g. Hidup dalam keadaan suci dan sopan santun. h. Memelihara rahasia jabatan. Setiap nasihat dan peringatan tersebut diatas adalah dasar dari pada susila kedokteran dewasa ini.[14] Pada kode etik kedokteran terdapat point-point pada tiap-tiap babnya yaitu antara lain; kewajiban umum, kewajiban dokter terhadap pasien, kewajiban dokter terhadap team sejawat, dan kewajiban dokter terhadap diri sendiri. Dalam kode etik kedokteran ( Islamic code of medical Etyhics), yang merupakan hasil dari First international conferenceon Islamic Medicine yang diselenggarakan pada 6-10 Rabi’al awwal 1401 M di Kuwait dan selajutnya disepakati sebagai kode etik kedokteran islam, dirumuskan beberapa karakteristik yang semestinya dimiliki oelh dokter muslim (tenaga kesehatan umumnya). Isi kode etik kedokteran islam tersebut terdiri atas dua belas pasal. Rinciannya disebutkan : Pertama, definisi profesi kedokteran. Kedua, ciri-ciri para dokter. Ketiga, hubungan dokter dengan dokter. Keempat, hubungan dokter dengan pasien. Kelima, rahasia profesi. Keenam, peranan dokter di masa perang. Ketujuh, taggung jawab dan pertanggungjawaban. Kedelapan, kesucian jiwa manusia. Kesembilan, dokter dan masyarakat. Kesepuluh, dokter dan kemajuan biomedis modern. Kesebelas, pendidikan kedokteran. Keduabelas, sumpah dokter .[15]
Melihat bagaimana besarnya amal dan pengabdian yang diberikan oleh dokter dan tenaa para medik, maka islam menganjurkan beberapa sifat-sifat yang harus dipunyai antara lain : 1. Beriman Sebab tanpa iman segala amal saleh sebagai dokter dan tenaga para medis akan hilang sia-sia dimata Allah. (Q.S Al ashr : 1-3) 2. Tulus-ikhlas karena Allah (Q.S Al-bayyinah :5) 3. penyantun Artinya ikut merasakan penderitaan orang lain dan Karena itu suka menolong orang lain dalam kesukaran. (Q.S Al-baqarah : 263) 4. Peramah Bergaul dengan tidak kaku dan menyenangkan. (Q.S Ali Imran : 159) 5. Sabar Tidak lekas emosionil dan lekas marahQ.S Asy syura :43) 6. Tenang Tidak gugup betapa pun keadaan gawat. (Dalam sabda Rasulullah : “Tetaplah kamu bersikap tenang” riwayat At thabrani dan Bhaiqi) 7. Teliti Berhati-hati, cermat dan rapi 8. Tegas Terang,nyata, dan tidak ragu-ragu. 9. Patuh pada peraturan
Suka menurut perintah 10. bersih, apik , suci. (Q.S At taubah : 108) 11. Penyimpan rahasia (Q.S An-nisa 148) 12. dapat dipercaya (Q.S Al mu’minun : 1-11) 13. bertanggung jawab (Q.S Al isra’ : 36)[16] Di dalam literatur lain, terdapat karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang tenaga kesehatan, khususnya dokter adalah menurut Ja’far Khadim Yamani, ilmu kedokteran dapat dikatan islami, mempersyaratkan dengan 9 karakteristik, yaitu : pertama, dokter harus mesngobati pasien dengan ihsan dan tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan AlQur’an. Kedua, tidak menggunakan bahan haram atau dicampur dengan unsure haram. Ketiga, dalam pengobatan tidak boleh mengakibatkan mencacatkan tubuh pasien, kecuali sudah tidak ada alternative lain. Keempat, pengobatannya tidak berbau takhayyul, khurafat, atau bid’ah. Kelima, hanya dilakukan oleh tenaga medis yang ,menguasai di bidang medis. Keenam, dokter memiliki sikap-sikap terpuji, tidak pemilik rasa iri, riya, tkabbur, senang merendahkan orang lain, serta sikap hina lainnya. Ketujuh, harus berpenampilan rapid an bersih. Kedelapan, lembaga-lembaga pelayanan kesehatan mesti bersikap simpatik. Kesembilan, menjauhkan dan menjaga diri dari pengaruh atau lambing-lambang non-islami. [17] Disamping itu menurut Dr. Zuhair Ahmad al- Sibai dan Dr. Muhammad ‘ali al-Ba dalam karyanya Al-Thabib, Adabu wa Fiqhuh (dokter, Etika, dan Fiqih Kedokteran), antara lain dikemukan bahawa dokter muslim harus berkeyakinan atas kehormatan profesi , menjernihkan nafsu,lebih mendalami ilmu yang dikuasai, menggunaka metode ilmiah dalam berfikir, kasih sayang,benar dan jujur, rendah hati, bersahaja dan mawas diri.[18] a. Berkeyakinan dan kehormatan atas profesi Bahwa profesi kedokteran adalah salah satu profesi yang sangat mulia tapi tergantung dengan dua syarat, yaitu : - dilakukan dengan sngguh-sumngguh dan dengan penuh keikhlasan
- menjaga akhlak mulia dalamperilaku dan tindakan-tindakan sebagai dokter Disamping itu, dokter selalu menjadi tumpuan pasien, keluarga, masyarakat , bahkan bangsa. Mengingat kedudukan profesi kedokteran tersebut, seharusnya dalam menjalankan profesinya tidak hanya berfikir tentang materi tetapi lebih kepada pengabdian dan perbaikan umat. Keyakinan akan kehormatan profesi tersebut merupakan motivator untuk memelihara akhlak yang baik dalam hubungannya dengan masyarakat. b. berusaha menjernihkan jiwa Kejernihan jiwa akan menentukan kualitas perbuatan manusia secara keseluruhan, jika seseorang termasuk dokter hatinya jernih maka perbuatan akan selalu positif. c. lebih mendalami ilmu yang dikuasai Dalam hadist nabi disebutkan bahwa mencari ilmu merupakan kewajiban sepanjang hidup. Sebagaimana diketahui bahwa ilmu pengetahuan iytu dari hari ke hari selalu mengalami perkembangan. Karena itu, agar setiap dokter tidak ketinggalan informasi dan ilmu pengetahuan dan lebih mendalami bidang profesinya, maka dituntut untuk selalu belajar. Dalam islam sangat ditekankan dalam mengamalkan segala sesuatu agar dilakukan secara professional dan penuh ketelitian. d. Menggunakan metode ilmiah dalam berfikir Bagi dokter muslim diharuskan dalam berfikir menggunakan metode ilmiah sesuai dengan kaidah logika ilmiah sebagaimana terjabar dalam disiplin ilmu kedokteran modern. Ajaran islam sangat menekankan agar berfikir atau merenung terhadap berbagai sebab, tujuannya agar mendapat keyakinan yang benar. e. Memiliki rasa cinta kasih Rasa cinta kasih adalah cahaya yang timbul dari hati yang terdalam, dia akan dapat menyinari orang lain, alam semesta dan segala sesuatu. Cahaya itu kemudian memantul kepada dirinya sendirinya dan melimpah kepadanya kejernihan, kerelaan, dan kemantapan. f. Keharusan Brsikap Benar dan Jujur
Benar dan jujur bagi seorang dokter yang selalu berkomunikasi dengan masyarakat merupakan keharusan agar mendapat kepercayaan dari pasien dan masyarakat. Yang dimaksud dengan benar dan jujur disini adalah sifat yang komprehensif mempunyai banyak makna, termasuk menepati janji dan menunaikan amanah. Al-qur’an sangat menekankan sikap benar dan jujur, diantaranya terdapat dalam firman Allah SWT ( Q.S At-taubat : 119) g. Berendah hati (tawadhu) Setiap orang, terutama orang yang melayani kepentingan umum termasuk dokter dituntut bersifat rendah hati. Sifat yang sering membuat seseorang dijauhi dalam pergaulan biasanya karena kesombongan dan keangkuhan. Kesombongan dan keangkuhan biasanya lahir karena ada perasaan, ilmu, atau pengaruhnya. Ajaran islam sangat mengecam perbuatan angkuh dan sombong. Disisi lain dijelaskan bahwa Allah akan mengangkat derajat ornag yang merendahkan diri (tawadhu). h. keadilan dan keseimbangan dokter termasuk orang yang banyak berurusan dengan masalah manusia dan kemanusiaan. Kehidupan seseorang termasuk dokter sangat ditentukan oleh kualitas hubungan dengan masyarakat itu. Ajaran islam sangat menganjurkan untuk berperilaku adil dan berkeseimbangan dalam berbagai urusan, tidak berkelebihan atau over acting dalam gaya hidup, khususnya dalam masalah tarif praktek,dan bayaran seghingga mengurangi dan menodaiprinsip-prinsip yang mesti dijunjung tinggi sebagai pelayan masyarakat. i. Mawas diri Mengingat tugas dokter melayani masyarakat dan tanggung jawab menyangkut nyawa dan keselamatan seseorang. Mereka sering menjadi sasaran tuduhan, itu dsebabkan adanya anggapan masyarakat yang menganggap bahwa mereka adalah ornag yang paling mengetahui rahasia kehidupan dan kematian. Dengan senantiasa mawas diri, seorang dokter muslim akan sadar atas segala kekurangannya sehingga di masa mendatang akan memperbaikinya, juga akan terhindar dari berbagai sifat tercela lain seperti sombong, riya, angkuh, dan lainnya.
j. ikhlas, penyantun, ramah, sabar, dan tenang. Dokter muslim juga harus ikhlas dalam menjalankan pekerjaannya, semua dilakukan sebagai ibadah untuk mencari ridha Allah. Berbuat ikhlas sangat dituntut dalam islam, sebagai mana dinyatakan dalam Al-Qur’an (Q.S Al-Bayyinat:5). Dokter muslim juga dituntut penyantun, ikut merasakan penderitaan orang lain sehingga berkeinginan untuk menolongnya. Dokter muslim juga dituntut ramah, bergaul dengan luwes, dan menyenangkan. Juga dituntuk bersikap sabar, tidak emosional dan lekas marah, tenang penyantun, ramah, sebagaimana dianjurkan dalam ayat Al-Qur’an (Q.S ali imran: 159)[19] Dokter muslim juga dituntut bersikap tenang, tidak gugup dalam menghadapi segawat apapun. Demikianlah konsep tenaga kesehatan muslim khususnya untuk dokter yang dapat mencerminkan nilai-nilai islam sesungguhnya. Diharapkan dengan mengetahui nilai-
[1] Salafytobat, Bersentuhan dengan wanita, bacaan alfatihah, haji/umrah, gerakan jari
shalat (Jakarta, 2008)
[2] AMR abdul Mun’im. 30 Larangan agama bagi wanita (Jakarta, 1998). Hal 42.
[3] Salafytobat, Bersentuhan dengan wanita, bacaan alfatihah, haji/umrah, gerakan jari shalat (Jakarta, 2008) [4] Dr. H. .Yurnalis Uddin, Islam untuk disiplin ilmu kedokteran dan ksehatan 1 (Jakarta,
1995), hal. 113
[5] Dr. H. Yurnalis Uddin, Islam untuk disiplin ilmu kedokteran dan ksehatan 1 (Jakarta,
1995), hal. 114-117.
[6] A. sihabuddin. Telaah kritis atas doktris faham salafi/wahabi (www.google.com , 2009) [7] Zuhroni, dkk , Islam untuk disiplin ilmu kesehatan dan kedokteran 2 (Jakarta,2003), hal.
108.
[8] Dr. H. Yurnalis Uddin, Islam untuk disiplin ilmu kedokteran dan ksehatan 1 (Jakarta,
1995), hal. 122.
[9] Dr. H. Yurnalis Uddin, Islam untuk disiplin ilmu kedokteran dan ksehatan 1 (Jakarta,
1995), hal. 122 dan 125.
[10] Zuhroni, dkk, Islam untuk disiplin ilmu kesehatan dan kedokteran 2 (Jakarta,2003), hal.
130.
[11] Zuhroni, dkk, Islam untuk disiplin ilmu kesehatan dan kedokteran 2 (Jakarta,2003), hal.
132.
[12] Zuhroni, dkk, Islam untuk disiplin ilmu kesehatan dan kedokteran 2 (Jakarta,2003), hal.
133.
[13] Dr. H. Yurnalis Uddin, Islam untuk disiplin ilmu kedokteran dan ksehatan 1 (Jakarta,
1995), hal. 89.
[14] Dr. H. Yurnalis Uddin, Islam untuk disiplin ilmu kedokteran dan ksehatan 1 (Jakarta,
1995), hal. 91-92.
[15] Zuhroni, dkk , Islam untuk disiplin ilmu kesehatan dan kedokteran 2 (Jakarta, 2003), hal.
88.
[16] Dr. H. Yurnalis Uddin, Islam untuk disiplin ilmu kedokteran dan ksehatan 1 (Jakarta,
1995), hal. 97-108.
[17] Zuhroni, dkk , Islam untuk disiplin ilmu kesehatan dan kedokteran 2 (Jakarta, 2003), hal.
87-88.
[18] Zuhroni, dkk, Islam untuk disiplin ilmu kesehatan dan kedokteran 2 (Jakarta, 2003), hal.
90.
[19] Zuhroni, dkk, Islam untuk disiplin ilmu kesehatan dan kedokteran 2 (Jakarta, 2003), hal.
97.
Kesimpulannya....Dienul Islam mengatur hubungan antar manusia tak terkecuali hubungan antara laki-laki dan perempuan. Pada Al-qur’an, sunah Rasulullah SAW, serta pendapat para ulama dapat diketahui bahwa antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim terdapat batasan-batasan dalam berinteraksi, seperti adanya larangan untuk besentuhan (bersalaman) , larangan untuk berdua-duaan (berkhalawat). Dari beberapa madzhab yang ada antara lain dari Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki,Madzhab Syafi’I , dan Madzhab Hanbali dapat diketahui bahwa Rasulullah pun sangat menjaga hubungan dengan kaum hawa. Walaupun saat ini mungkin masih banyak kaum muslimin yang tidak terlalu memperhatikan hal tersebut karena alasan tata krama dan kesopanan. Tapi bagaimana pun memang selayaknya kita sebagai kaum muslimin menjalankan sunnah Rasulullah SAW yang merupakan rahmatan lil alamin .
Pada kenyataannya di masyarakat saat ini, khususnya pada tempat pelayanan kesehatan, banyak sekali interaksi antara tenaga kesehatan dan pasiennya yang sering bertolak belakang dengan aturan yang ada dalam islam mengenai hubungan anara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim. Misalnya saja pada prosedur pemeriksaan pasien yang mengharuskan pasien membuka auratnya dan disentuh (untuk pemeriksaan) oleh tenaga kesehatan. Contohnya yaitu pemeriksaan fisik oleh dokter, pemasangan kateter oleh perawat, operasi alat vital oleh tim dokter, serta tindakan medis lainnya. Akan tetapi, Islam bukanlah agama yang monoton. Islam juga telah mengatur semua yang akan dihadapi oleh anak cucu Adam. Dalam islam juga telah dijelaskan bahwa Islam memang mengenal darurat yang akan meringankan suatu hukum. Ada kaidah Idzaa dhoogal amr ittasi’ (jika kondisi sulit, maka Islam memberikan kemudahan dan kelonggaran). Bahkan Kaedah lain menyebutkan: ‘ Kondisi darurat menjadikan sesuatu yang haram menjadi mubah. Disamping hal itu, pihak institusi kedokteran terkait pun telah membuat suatu kode etik atau aturan-aturan yang dapat mengatur tindakan tenaga kesehatan agar dalam menjalankan tugasnya tetap mampu mencerminkan diri sebagai tenaga kesehatan yang islami. Mereka juga harus memiliki sikap-sikap yang dapat meningkatkan hubungan serta komunikasi mereka dengan pasien dan keluarganya agar terjalin kerjasama yang baik. Tidak hanya itu, Islam pun menganjurkan agar tenaga medis itu memiliki karakteristik yang dapat membuat mereka benar-benar menjadi tenaga kesehatan yang islami antar lain harus berkeyakinan atas kehormatan profesi , menjernihkan nafsu,lebih mendalami ilmu yang dikuasai, menggunakan metode ilmiah dalam berfikir, kasih sayang,benar dan jujur, rendah hati, bersahaja dan mawas diri.
Jadi dapat disimpulkan secara keseluruhan bahwa dalam kondisi darurat diperbolekan bagi tenaga kesehatan untuk melakukan tindakan medis kepada pasiennya yang berbeda jenis kelamin jika itu benar-benar akan mendatangkan banyak kemaslahatan bagi pasien dengan syarat-syarat yang telah diatur pula misalnya pasien yang tetap ditemani oleh keluarganya saat pemeriksaan ataupun hanya memeriksa bagian tubuh pasien yang perlu-perlu saja. Tenaga kesehatan pun harus dituntut untuk menjalankan tugasnya sesuai dengan kode etik yang telah dibuat oleh institusi terkait dan mereka juga harus memiliki sikap dan jiwa yang sesuai dengan syariat islam agar dapat mencerminkan diri sebagai tenaga kesehatan yang islami pula.
MALL PRAKTEK MENURUT ISLAM
Oleh Ustadz Anas Burhanuddin, MA MUQADDIMAH Berobat merupakan salah satu kebutuhan vital umat manusia. Banyak orang rela mengorbankan apa saja untuk mempertahankan kesehatannya atau untuk mendapatkan kesembuhan. Di sisi lain, para dokter adalah manusia biasa yang tidak terlepas dari kesalahan. Demikian juga paramedis yang bekerja di bidang pelayanan kesehatan. Kemajuan teknologi tidak serta merta menjamin menutup pintu kesalahan. Meski pada dasarnya memberikan pelayanann sebagai pengabdian, mereka juga bisa jadi tergoda oleh keuntungan duniawi, sehingga mengabaikan kemaslahatan pasien. Karenanya, diperlukan aturan yang adil yang menjamin ketenangan bagi pasien dan pada saat yang sama memberikan kenyamanan bagi para profesional bidang kesehatan dalam bekerja. Tentu Islam sebagai syariat akhir zaman yang sempurna ini telah mengatur semuanya. Tulisan sederhana ini mencoba menggali khazanah literatur para ulama Islam dalam hal persoalan yang akhir-akhir ini mencuat kembali, yakni malpraktek. PENGERTIAN MALPRAKTEK Malpraktek berasal dari kata 'malpractice' dalam bahasa Inggris . Secara harfiah, 'mal' berarti 'salah', dan 'practice' berarti 'pelaksanaan' atau 'tindakan', sehingga malpraktek berarti 'pelaksanaan atau tindakan yang salah' [1]. Jadi, malpraktek adalah tindakan yang salah dalam pelaksanaan suatu profesi. Istilah ini bisa dipakai dalam berbagai bidang, namun lebih sering dipakai dalam dunia kedokteran dan kesehatan. Artikel ini juga hanya akan menyoroti malpraktek di seputar dunia kedokteran saja. Perlu diketahui bahwa kesalahan dokter –atau profesional lain di dunia kedokteran dan kesehatan- kadang berhubungan dengan etika/akhlak. Misalnya, mengatakan bahwa pasien harus dioperasi, padahal tidak demikian. Atau memanipulasi data foto rontgen agar bisa mengambil keuntungan dari operasi yang dilakukan. Jika kesalahan ini terbukti dan membahayakan pasien, dokter harus mempertanggungjawabkannya secara etika. Hukumannya bisa berupa ta'zîr [2], ganti rugi, diyat, hingga qishash [3]. Malpraktek juga kadang berhubungan dengan disiplin ilmu kedokteran.
Jenis kesalahan ini yang akan mendapat porsi lebih dalam tulisan ini. BENTUK-BENTUK MALPRAKTEK Malpraktek yang menjadi penyebab dokter bertanggung-jawab secara profesi bisa digolongkan sebagai berikut: 1. Tidak Punya Keahlian (Jahil) Yang dimaksudkan di sini adalah melakukan praktek pelayanan kesehatan tanpa memiliki keahlian, baik tidak memiliki keahlian sama sekali dalam bidang kedokteran, atau memiliki sebagian keahlian tapi bertindak di luar keahliannya. Orang yang tidak memiliki keahlian di bidang kedokteran kemudian nekat membuka praktek, telah disinggung oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabda beliau:
"Barang siapa yang praktek menjadi dokter dan sebelumnya tidak diketahui memiliki keahlian, maka ia bertanggung-jawab" [4] Kesalahan ini sangat berat, karena menganggap remeh kesehatan dan nyawa banyak orang, sehingga para Ulama sepakat bahwa mutathabbib (pelakunya) harus bertanggung-jawab, jika timbul masalah dan harus dihukum agar jera dan menjadi pelajaran bagi orang lain. 2. Menyalahi Prinsip-Prinsip Ilmiah (Mukhâlafatul Ushûl Al-'Ilmiyyah) Yang dimaksud dengan pinsip ilmiah adalah dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang telah baku dan biasa dipakai oleh para dokter, baik secara teori maupun praktek, dan harus dikuasai oleh dokter saat menjalani profesi kedokteran [5]. Para ulama telah menjelaskan kewajiban para dokter untuk mengikuti prinsip-prinsip ini dan tidak boleh menyalahinya. Imam Syâfi'i rahimahullah –misalnya- mengatakan: "Jika menyuruh seseorang untuk membekam, mengkhitan anak, atau mengobati hewan piaraan, kemudian semua meninggal karena praktek itu, jika orang tersebut telah melakukan apa yang seharusnya dan biasa dilakukan untuk maslahat pasien menurut para pakar dalam profesi tersebut, maka ia tidak bertanggung-jawab. Sebaliknya, jika ia tahu dan menyalahinya, maka ia bertanggung-jawab."[6] Bahkan hal ini adalah kesepakatan seluruh Ulama, sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah [7]. Hanya saja, hakim harus lebih jeli dalam menentukan apakah benar-benar terjadi pelanggaran prinsip-prinsip ilmiah dalam kasus yang diangkat, karena ini termasuk permasalahan yang pelik. 3. Ketidaksengajaan (Khatha') Ketidaksengajaan adalah suatu kejadian (tindakan) yang orang tidak memiliki maksud di dalamnya. Misalnya, tangan dokter bedah terpeleset sehingga ada anggota tubuh pasien yang terluka. Bentuk malpraktek ini tidak membuat pelakunya berdosa, tapi ia harus bertanggungjawab terhadap akibat yang ditimbulkan sesuai dengan yang telah digariskan Islam dalam bab jinayat, karena ini termasuk jinayat khatha' (tidak sengaja).
4. Sengaja Menimbulkan Bahaya (I'tidâ') Maksudnya adalah membahayakan pasien dengan sengaja. Ini adalah bentuk malpraktek yang paling buruk. Tentu saja sulit diterima bila ada dokter atau paramedis yang melakukan hal ini, sementara mereka telah menghabiskan umur mereka untuk mengabdi dengan profesi ini. Kasus seperti ini terhitung jarang dan sulit dibuktikan karena berhubungan dengan isi hati orang. Biasanya pembuktiannya dilakukan dengan pengakuan pelaku, meskipun mungkin juga factor kesengajaan ini dapat diketahui melalui indikasi-indikasi kuat yang menyertai terjadinya malpraktek yang sangat jelas. Misalnya, adanya perselisihan antara pelaku malpraktek dengan pasien atau keluarganya. PEMBUKTIAN MALPRAKTEK Agama Islam mengajarkan bahwa tuduhan harus dibuktikan. Demikian pula, tuduhan malparaktek harus diiringi dengan bukti, dan jika terbukti harus ada pertanggungjawaban dari pelakunya. Ini adalah salah satu wujud keadilan dan kemuliaan ajaran Islam. Jika tuduhan langsung diterima tanpa bukti, dokter dan paramedis terzhalimi, dan itu bisa membuat mereka meninggalkan profesi mereka, sehingga akhirnya membahayakan kehidupan umat manusia. Sebaliknya, jika tidak ada pertanggungjawaban atas tindakan malpraktek yang terbukti, pasien terzhalimi, dan para dokter bisa jadi berbuat seenak mereka. Dalam dugaan malpraktek, seorang hakim bisa memakai bukti-bukti yang diakui oleh syariat sebagai berikut: 1. Pengakuan Pelaku Malpraktek (Iqrâr ). Iqrar adalah bukti yang paling kuat, karena merupakan persaksian atas diri sendiri, dan ia lebih mengetahuinya. Apalagi dalam hal yang membahayakan diri sendiri, biasanya pengakuan ini menunjukkan kejujuran. 2. Kesaksian (Syahâdah). Untuk pertanggungjawaban berupa qishash dan ta'zîr, dibutuhkan kesaksian dua pria yang adil. Jika kesaksian akan mengakibatkan tanggung jawab materiil, seperti ganti rugi, dibolehkan kesaksian satu pria ditambah dua wanita. Adapun kesaksian dalam hal-hal yang tidak bisa disaksikan selain oleh wanita, seperti persalinan, dibolehkan persaksian empat wanita tanpa pria. Di samping memperhatikan jumlah dan kelayakan saksi, hendaknya hakim juga memperhatikan tidak memiliki tuhmah (kemungkinan mengalihkan tuduhan malpraktek dari dirinya) [8]. 3. Catatan Medis. Yaitu catatan yang dibuat oleh dokter dan paramedis, karena catatan tersebut dibuat agar bisa menjadi referensi saat dibutuhkan. Jika catatan ini valid, ia bisa menjadi bukti yang sah. BENTUK TANGGUNG JAWAB MALPRAKTEK Jika tuduhan malpraktek telah dibuktikan, ada beberapa bentuk tanggung jawab yang dipikul pelakunya. Bentuk-bentuk tanggung-jawab tersebut adalah sebagai berikut: 1. Qishash Qishash ditegakkan jika terbukti bahwa dokter melakukan tindak
malpraktek sengaja untuk menimbulkan bahaya (i'tida'), dengan membunuh pasien atau merusak anggota tubuhnya, dan memanfaatkan profesinya sebagai pembungkus tindak kriminal yang dilakukannya. Ketika memberi contoh tindak kriminal yang mengakibatkan qishash, Khalil bin Ishaq al-Maliki mengatakan: "Misalnya dokter yang menambah (luas area bedah) dengan sengaja. [9]" 2. Dhamân (Tanggung Jawab Materiil Berupa Ganti Rugi Atau Diyat) Bentuk tanggung-jawab ini berlaku untuk bentuk malpraktek berikut: a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak ada kesengajaan dalam menimbulkan bahaya. b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah. c. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi terjadi kesalahan tidak disengaja. d. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi tidak mendapat ijin dari pasien, wali pasien atau pemerintah, kecuali dalam keadaan darurat. 3. Ta'zîr berupa hukuman penjara, cambuk, atau yang lain. Ta'zîr berlaku untuk dua bentuk malpraktek: malpraktek: a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak ada kesengajaan dalam menimbulkan bahaya. b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah [10]. PIHAK YANG BERTANGGUNG-JAWAB Tanggung-jawab dalam malpraktek malpraktek bisa timbul karena karena seorang dokter melakukan kesalahan langsung, dan bisa juga karena menjadi penyebab terjadinya malpraktek secara tidak langsung. Misalnya, seorang dokter yang bertugas melakukan pemeriksaan awal sengaja merekomendasikan pasien untuk merujuk kepada dokter bedah yang tidak ahli, kemudian terjadi malpraktek. Dalam kasus ini, dokter bedah adalah adalah pelaku langsung malpraktek, sedangkan dokter pemeriksa ikut menyebabkan malpraktek secara tidak langsung. Jadi, dalam satu kasus kasus malpraktek kadang kadang hanya ada satu pihak yang bertanggung-jawab. Kadang juga ada pihak lain lain yang ikut i kut bertanggung jawab bersamanya. Karenanya, Karenanya, rumah sakit atau atau klinik juga bisa ikut bertanggung-jawab jika terbukti teledor dalam tanggung-jawab yang diemban, sehingga secara tidak langsung menyebabkan terjadinya malpraktek, misalnya mengetahui dokter yang dipekerjakan tidak ahli. PENUTUP Demikianlah penjelasan secara singkat tentang aturan Islam mengenai malpraktek dalam bidang pelayanan kesehatan. Para dokter dan paramedis hendaknya takut kepada Allâh Azza wa Jalla dan menjalankan amanat dengan baik, sehingga terhindar dari berbagai tanggung-jawab yang memberatkan diri di dunia sebelum akhirat. Hendaknya mereka bertawakal kepada Allâh Azza wa Jalla dalam menjalankan tugas, karena hanya Allâh Azza wa Jalla yang bisa menghindarkan mereka dari kesalahan. Semoga Allâh melindungi umat Islam dari marabahaya dan berbagai keburukan. Referensi 1. Ahkâmul Jirâhah ath-Thibbiyyah, Dr. Muhammad asy-Syinqîthi, Maktabah ash-Shahabah.
2. Al-Khatha' ath-Thibbi Mafhûmuhu wa Aatsâruhu, Dr. Wasim Fathullah. 3. 'Aunul Ma'bûd, al-'Azhim Abâdi, Dar Ihya' at-Turats. 4. Sunan an-Nasâ'i, Darul Ma'rifah. 5. Sunan Ibnu Mâjah, tahqîq Muhammad Fuâd 'Abdul Bâqi, Darul Fikr. 6. Al-Umm, Imam asy-Syafi'I, Dar Qutaibah. 7. Tuhfatul Maudûd bi Ahkâmil Maulûd, tahqîq Salim al-Hilâli, al- Hilâli, Dar Ibnul Qayyim. 8. Al-Mishbâhul Munîr, Muassasah ar-Risalah. 9. Kamus Inggris Indonesia, John M. Echols dan Hassan Shadily, PT Gramedia. 10. Al-Mas`ûliyyah al-Jinâiyyah lil Athibbâ', Dr. Usamah Qayid, Darun Nahdhah al-'Arabiyyah. [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XIV/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821] ________ Footnote [1]. Kamus Inggris – Indonesia hlm. 371 [2]. Ta'zîr: hukuman di luar hudud yang tidak ditentukan syari'ah. Lihat alMishbâhul Munîr hlm. 332 [3]. Ahkâmul Jirâhah ath-Thibbiyyah hlm. 301 [4]. HR. Abu Dâwud no. 4575, an-Nasâi' no. 4845 dan Ibnu Mâjah no. 3466. Hadits hasan. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah no. 635 [5]. Al-Mas`ûliyyah al-Jinâiyyah lil Athibbâ'hlm. 160 [6]. Al-Umm 7/65. [7]. Lihat: Tuhfatul Maudûd bi Ahkâmil Maulûd hal. 325. [8]. Lihat: al-Majmû' 20/256, Taisîrul Karîm ar-Rahmân hlm. 118, Ahkâmul Jirâhah ath-Thibbiyyah hlm. 331. [9]. Mukhtashar Khalîl hlm. 317 [10]. Ahkâmul Jirâhah ath-Thibbiyyah hlm. 351 Ahkâmul Jirâhah ath-Thibbiyyah hlm. 334
KESEHATAN DALAM PARADIGMA ISLAM Posted Friday, February 2, 2007 Filed under: Health Health,, Islam |
Islam sejak dari awal sangat mementingkan hidup sehat melalui tindakan promotif-preventif protektif. Langkah dimulai dimulai dari pembinaan pembinaan terhadap manusia sebagai sebagai subjek sekaligus sekaligus objek
persoalan kesehatan kesehatan itu sendiri. Islam menanamkan menanamkan nilai-nilai tauhid dan dan manifestasi dari tauhid itu sendiri pada diri manusia. Nilai-nilai tersebut mampu merubah persepsi-persepsi tentang kehidupan manusia di dunia yang pada gilirannya tentu saja secara merubah perilaku manusia. Dan perilaku yang diharapkan dari manusia yang bertauhid adalah perilaku yang merupakan realisasinya dari ketaatan terhadap perintah dan larangan Allah. Empat faktor utama yang mempengaruhi kesehatan adalah lingkungan (yang utama), perilaku, pelayanan pelayanan kesehatan, dan dan genetik. Bila ditilik semuanya semuanya tetaplah bemuara bemuara pada manusia. Faktor lingkungan (fisik, sosek, biologi) yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap status kesehatan tetap saja ditentukan oleh manusia. Manusialah yang paling memiliki kemampuan untuk memperlakukan dan menata lingkungan hidup. Secara individual dengan landasan nilai tauhid tadi Islam mengajarkan agar setiap muslim bergaya hidup sehat. Ini merupakan merupakan cara efektif untuk menghindari menghindari sakit. Kebersihan Kebersihan misalnya, sangat ditekankan oleh Islam dan dinilai sebagai cerminan dari Iman seseorang. Kewajiban membersihkan hadats kecil, mandi janabah, sunnah untuk bersiwak membuktikan bahwa Islam sangat perduli perduli terhadap kebersihan kebersihan fisik. Dengan berwudhu, berwudhu, seorang muslim muslim akan secara langsung membersihkan tangan (yang biasanya menjadi pangkal masuknya penyakit ke dalam dalam mulut) dan muka. muka. Kemudian, mencuci mencuci kemaluan dengan dengan air (bukan dengan tissue) setelah buang air kecil atau buang air besar. Sementara, ibadah puasa secara pasti telah memberikan memberikan pengaruh sangat sangat baik terhadap kesehatan kesehatan perut. Dengan Dengan puasa, sistem pencernaan yang yang selama 11 bulan bulan bekerja, laksana mesin mendapatkan mendapatkan kesempatan untuk untuk diistirahatkan. Akan tetapi ibadah dalam Islam bukanlah arena untuk menyiksa diri, menelantarkan badan dan mengabaikan kesehatan. Suatu ketika datang kepada Rasulullah SAW beberapa sahabat. Ada yang mengutarakan niatnya untuk berpuasa tanpa berbuka, ada pula yang ingin shalat s halat malam tanpa tidur. Rasulullah SAW menolak keinginan itu seraya mengingatkan bahwa badan kita punya punya haq (untuk beristirahat). beristirahat). Rasulullah SAW sendiri berpuasa berpuasa tapi juga berbuka, shalat shalat malam selalu di tegakkan, tegakkan, aku bangun tetapi juga tidur katanya.Sehingga katanya.Sehingga kendati kegiatan sehari-harinya sangat padat, sedikit istirahat, makan secukupnya (bahkan sadanya), Rasulullah SAW dikenal memiliki kondisi fisik yang prima. Beliau jarang sakit. Beliau menderita sakit sesaat menjelang wafat. Organisasi Kesehatan se-Dunia (WHO, 1984) menyatakan bahwa aspek agama (spiritual) merupakan salah satu unsur dari pengertian kesehatan seutuhnya. Bila sebelumnya pada tahun 1947 WHO memberikan batasan sehat hanya dari 3 aspek saja, yaitu sehat dalam arti fisik (organobiologik), sehat dalam arti mental (psikologik/psikiatrik) dan sehat dalam arti sosial; maka sejak 1984 batasan tersebut sudah ditambah dengan aspek agama (spiritual), yang oleh American Psychiatric Association dikenal dengan rumusan “bio-psiko-sosiospiritual”. Larangan mutlak Islam terhadap minuman keras narkotik, dan obat-obatan perangsang sejenisnya, makan babi, bangkai, binatang yang menjinjikkan, berzina, homoseksual makin menemukan kesesuaian ilmiah empirik di masa modern sekarang disaat orang-orang makin menyadari pentingnya pengaruh makanan, minuman, dan gaya hidup terhadap kesehatan. Minuman beralkohol banyak menimbulkan kerusakan pada organ tubuh seperti sistem saraf pusat, otot, dan hepar. hepar. Alkohol juga dapat dapat menaikan tekanan tekanan darah yang yang diakibatkan diakibatkan kenaikan kadar kolesterol (hiperkolesterolemia). Narkotik dan zat adiktif lainnya merusak bukan hanya fisik tapi juga jiwa yang menggunakan menggunakan.. Makanan yang yang kini banyak
mengandung zat-zat aditif dinilai oleh para ahli memberikan pengaruh besar terhadap timbulnya kanker. Contoh formalin yang disinyalir banyak terdapat pada tahu, ikan, ikan asin, dan mie basah. Karena kecilnya molekul ini memudahkan absorpsi dan distribusinya ke dalam sel tubuh. Efek formalin terhadap organ tubuh yaitu dia akan bereaksi dengan protein tubuh, maka membran sel, tulang rawan akan mengeras, enzim, dan hormon akan berubah atau tidak berfungsi. Perilaku serampangan, khususnya dalam masalah seksual, terbukti menimbulkan dampak serius bagi kesehatan manusia. AIDS adalah contoh penyakit yang ditimbulkan oleh perilaku seksual yang menyimpang. Dan pelanggaran atas larangan di atas, kendati semula bersifat personal belakangan terbukti akibatnya bersifat komunal. AIDS kini telah menjadi wabah mondial, yang bukan saja mengancam pelaku penyimpangan seksual, tapi juga mereka yang selama ini hidup secara benar.(Image is adapted from here).
KEBIJAKAN KESEHATAN PERSPEKTIF ISLAM A. Pendahuluan Kesehatan adalah unsur vital dan merupakan elemen konstitutif dalam proses kehidupan seseorang. Tanpa kesehatan, tidak mungkin bisa berlangsung aktivitas seperti biasa. Dalam kehidupan berbangsa, pembangunan kesehatan sesungguhnya bernilai sangat investatif. Nilai investasinya terletak pada tersedianya sumber daya yang senatiasa produktif. Namun, masih banyak orang menyepelekan hal ini. Negara, pada beberapa kasus, juga demikian. Di Indonesia, tak bisa dipungkiri, trend pembangunan kesehatan bergulir mengikuti pola rezim penguasa. Pada zaman ketika penguasa negeri ini hanya memandang sebelah mata kepada pembangunan kesehatan, kualitas hidup dan derajat kesehatan rakyat kita juga sangat memprihatinkan. Sudut pandang yang teramat sempit memang, ditambah dengan kecenderungan untuk mendahulukan hal lain yang sesungguhnya masih bisa ditunda. Dalam hal ini belum ada grand strategy yang terarah dalam peningkatan kualitas kesehatan individu dan masyarakat, yang dengan tegas tercermin dari minimnya pos anggaran kesehatan dalam APBN maupun APBD. Belum lagi jika kita ingin bertutur tentang program pengembangan kesehatan maritim yang semestinya menjadi keunggulan komparatif negeri kita yang wilayah perairannya dominan. Pelayanan kesehatan di tiap sentra pelayanan selalu jauh dari memuaskan. Minimnya Anggaran Negara yang diperuntukkan bagi sektor kesehatan, dapat dipandang sebagai rendahnya apresiasi akan pentingnya bidang ini sebagai elemen penyangga, yang bila terabaikan akan menimbulkan rangkaian problem baru yang justru akan menyerap keuangan negara lebih besar lagi. Sangat kontras bila dibandingkan dengan pola kebijakan kesehatan pemerintahan islam dengan perspektif islam pada zaman rasulullah. Rasulullah s.a.w. memberi perhatian pada masalah kesehatan. Segala sesuatu yang dilakukan Rasulullah s.a.w. ditujukan untuk mengerahkan sumberdaya demi kesehatan dan pengajaran. Dengan cara ini kaum muslimin cepat belajar sehingga para ahli kedokteran muslim memperoleh pengakuan yang berarti di bidang tersebut. Rasulullah saw. juga memperintahkan setiap muslim untuk mempelajari bisnis dan profesi yang ada, sehingga seni tenun, jahit, pandai besi, konstruksi, kerajianan kulit, penggalian dan pemanfaatan air tanah ditata menurut aturan Rasulullah s.a.w. yang melibatkan para seniman dan pengrajin (Sadr,1989). Pembayaran gaji untuk guru, imam, muadzin diambilkan dari baitul maal (Sabzwari, 1984).
Sejarah menyatakan bahwa kebijakan di bidang kesehatan yang pernah dijalankan oleh pemerintahan Islam sejak masa Rasul saw. menunjukkan taraf yang sungguh maju. Mulai pelayanan kesehatan gratis diberikan oleh negara (Khilafah) yang dibiayai dari kas Baitul Mal, pelayanan kesehatan secara gratis, berkualitas yang diberikan kepada semua individu rakyat tanpa diskriminasi jelas merupakan prestasi yang mengagumkan 1[1]. Pada makalah kali ini akan membahas bagaiamana pola kebijakan kesehatan pemerintahan islam (perspektif islam) sejak masa Rasul yang sungguh maju sebagai bahan evaluasi dan pembelajaran bagi pola kebijakan yang ada saat ini.
B. Kebijakan Kesehatan Perspektif Islam Pembinaan pola baku sikap dan perilaku sehat baik secara fisik, mental maupun sosial, pada dasarnya sudah bagian dari pembinaan kepribadian Islam itu sendiri. Dalam hal ini, keimanan yang kuat dan ketakwaan menjadi keniscayaan. Dr. Ahmed Shawky Al-Fangary menyatakan bahwa syariah sangat concern pada kebersihan dan sanitasi seperti yang dibahas dalam hukum-hukum thaharah. Syariah juga memperhatikan pola makan sehat dan berimbang serta perilaku dan etika makan seperti perintah untuk memakan makanan halal dan thayyib (bergizi), larangan atas makanan berbahaya, perintah tidak berlebihan dalam makan, makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang, mengisi perut dengan 1/3 makanan, 1/3 air dan 1/3 udara, termasuk kaitannya dengan syariah puasa baik wajib maupun sunah. Syariah juga menganjurkan olah raga dan sikap hidup aktif. Selain itu,syari’ah juga sangat memperhatikan masalah kesehatan dan pola hidup sehat dalam masalah seksual. Jadi, menumbuhkan pola baku sikap dan perilaku sehat tidak lain adalah dengan membina kepribadian Islam dan ketakwaan masyarakat. Sebagaimana dalam firman Allah SWT:
y7tRqè=t«ó¡o„ !#sŒ$tB ¨@Ïmé& öNçlm; ( ö@è% ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6ÍhŠ©Ü9$# $tBur OçFôJ¯=tæ z`ÏiB ÇyÍ‘#uqpgø:$# tûüÎ7Ïk=s3ãB £`åktXqçHÍj>yèè? $®ÿÊE ãNä3yJ¯=tæ ª!$# ( (#qè=ä3sù !$®ÿÊE z`õ3|¡øBr& öNä3ø‹n=tæ (#rã ä.øŒ$#ur tLôœ$# «!$# Ïmø‹n=tã ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# ßìƒÎŽ| É>$|¡Ïtø:$# ÇÍÈ “ Mereka
menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?". Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang
1[1] 'Aly ,Zulkifli Ibnu , “Kebijakan Khilafah di Bidang Kesehatan”, diakses pada tanggal 10 November 2010, dari http://bsba.facebook.com/topic.php?uid =94680409703 &topic=12161
Telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang Telah diajarkan Allah kepadamu[399]. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu[400], dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya)[401]. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.” (QS: Al-
Maidah:4)
Rasulullah saw. bersabda:
“Siapa saja di antara kalian yang berada di pagi hari sehat badannya; aman jiwa, jalan dan rumahnya; dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan ia telah diberi dunia seisinya”
(HR al-Bukhari dalam Adab al-Mufrâd, Ibn Majah dan Tirmidzi). Hadis tersebut menjelaskan bahwa dalam islam, kesehatan dan keamanan disejajarkan dengan kebutuhan pangan. Ini menunjukkan bahwa kesehatan dan keamanan statusnya sama sebagai kebutuhan dasar yang harus terpenuhi. Dan Negara bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan dasar tersebut, sesuai dengan sabda Nabi saw.:
“Imam (Khalifah) laksana penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya”
(HR al-
Bukhari). Sedangkan, bila kesehatan dan pengobatan tidak terpenuhi maka akan mendatangkan dharar (kemadaratan) bagi masyarakat yang wajib dihilangkan.
Nabi bersabda:
“Tidak boleh membahayakan orang lain dan diri sendiri”
(HR Malik).
Dengan demikian, kesehatan dan pengobatan merupakan kebutuhan dasar sekaligus hak rakyat dan menjadi kewajiban negara. Dalam prakteknya pada masa kekhilafahan Islam kebijakan kesehatan yang gratis dan berkualitas ini sudah diterapkan semenjak masa kepemimpinan Rasulullah saw di Madinah. Bemula dari delapan orang Urainah datang ke Madinah dan bergabung menjadi warga negara khilafah. Lalu mereka menderita sakit gangguan limpa. Nabi saw Kemudian merintahkan mereka dirawat di tempat perawatan, yaitu kawasan penggembalaan ternak milik Baitul Mal di
Dzi Jidr arah Quba’, tidak jauh dari unta-unta Baitul Mal (kas negara) yang digembalakan di sana. Mereka meminum susunya dan berada di tempat itu hingga sehat dan pulih. 2[2] Ketika Raja Mesir, Muqauqis menghadiahkan seorang dokter kepada Nabi saw. Beliau menjadikan dokter tersebut untuk melayani seluruh kaum Muslim secara gratis. Khalifah Umar bin al-Khaththab, menetapkan pembiayaan bagi para penderita lepra di Syam dari Baitul Mal. Sementara Khalifah al-Walid bin Abdul Malik (705-715 M) dari Dinasti Umayyah membangun rumah sakit dikenal dengan nama ‘Bimaristan’ digunakan sebagai tempat pengobatan bagi penderita kebutaan dan tempat isolasi bagi para penderita lepra yang saat itu sedang merajalela. Sedangkan Para dokter dan perawat digaji dari Baitul Mal. Bani Thulan di Mesir membangun tempat dan lemari minuman yang di dalamnya disediakan obat-obatan dan berbagai minuman dengan ditunjuk dokter untuk melayani pengobatan. 3[3] Will Durant dalam
The Story of Civilization
menyatakan, “ Islam
telah menjamin
seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak sekaligus memenuhi keperluannya. Contohnya, Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160 telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis. Para sejarahwan berkata bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun. ”
Menurut Husain, rumah sakit Islam pertama yang sebenarnya, baru dibangun pada era kekuasaan Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M). Rumah sakit tersebut berada di Kota Baghdad, pusat pemerintahan kekhalifahan Islam saat itu. Rumah sakit ini dikepalai langsung oleh Al-Razi, seorang dokter Muslim terkemuka yang juga merupakan dokter pribadi khalifah. Konsep pembangunan rumah sakit di Baghdad itu merupakan ide dari Al-Razi. Dikisahkan, sebelum membangun rumah sakit, Al-Razi meletakkan potongan daging yang digantung di beberapa tempat di wilayah sekitar aliran Sungai Tigris. Setelah lama diletakkan, potongan daging itu baru membusuk. Menurut al-Razi, itu menandakan bahwa tempat tersebut layak didirikan rumah sakit. 4[4] Rumah sakit lainnya di Kota Baghdad adalah Al-Audidi yang didirikan pada tahun 982 M. Nama tersebut diambil dari nama Khalifah Adud Ad-Daulah, seorang khalifah dari Dinasti Buwaihi. Al-Audidi merupakan rumah sakit dengan bangunan termegah dan terlengkap 2[2] Ibid. 3[3] Ibid. 4[4] Anonim, “Rumah Sakit Zaman Keemasan Islam”, diakses pada tanggal 10 November 2010, dari http://aristek-2004.blog.friendster.com/2010/02/ rumah-sakit-zaman-keemasan-islam/
peralatannya pada masanya. Ibnu Djubair dalam catatan perjalanannya mengisahkan bahwa ia sempat mengunjungi Baghdad pada 1184 M. Ia melukiskan bangunan rumah sakit yang ada di Baghdad, seperti sebuah istana yang megah. Airnya dipasok dari Tigris dan semua perlengkapannya mirip istana raja. Manajemen perawatan yang tertata rapi menjadi ciri khas rumah sakit Al-Audidi. Para pasien juga dibedakan antara pasien inap dan rawat jalan. Namun, bangunan rumah sakit ini hancur bersamaan dengan invasi tentara Tartar (Mongol) pimpinan Hulagu Khan yang menyerbu Baghdad pada tahun 1258 M. 5[5] Tak cuma Baghdad, di beberapa wilayah lainnya, ilmu kedokteran Islam juga terus mengalami perkembangan. Di Kota Al-Fustat (ibu kota Mesir lama), misalnya, dibangun sebuah rumah sakit pada tahun 872 M. Pendiriannya digagas oleh Ahmad Ibn Tulun, seorang gubernur Mesir pada masa Dinasti Abbasiyah. Dalam rumah sakit itu, terdapat perpustakaan yang kaya akan literatur medis. Pada 830 M, di Kota ad-Dimnah (wilayah Tunisia saat ini) sudah berdiri sebuah rumah sakit megah bernama Al-Qairawan. Rumah sakit ini bahkan sudah menerapkan sekat pemisah antara ruang tunggu pengunjung dan pasien. Bangunan rumah sakit lain pada masa kekhalifahan Islam bisa dijumpai di Kota Marrakech, Maroko. Khalifah AlManshur Ya’qub ibn Yusuf yang menggagas pendirian rumah sakit Marrakech. 6[6] Pada tahun 1055 M, di wilayah kekuasaan Islam lainnya, Yerussalem, berdiri sebuah rumah sakit bernama As-Sahalani. Di bawah kekuasaan Shalahuddin Al-Ayyubi, rumah sakit ini mengalami perluasan dan pembenahan hingga akhirnya bangunan rumah sakit tersebut hancur ketika gempa bumi melanda wilayah Yerussalem pada 1458 M. 7[7] Keberadaan rumah sakit pada masa kejayaan Islam juga ada di Kota Damaskus,rumah sakit Al-Nuri. Didirikan pada 1154. Nama Al-Nuri mengacu nama seorang panglima perang Muslim pertama yang berhasil mengalahkan tentara Salib, Nur al-Din al-Zangi. Rumah sakit Al-Nuri merupakan rumah sakit pertama yang sudah menerapkan sistem rekam medis. Konsep itu hingga kini digunakan rumah sakit yang ada di seluruh dunia. Sebuah terobosan awal yang sangat langka pada masa itu. Dalam perkembangannya, rumah sakit ini juga berperan sebagai sekolah kedokteran. Sederet ilmuwan ternama tercatat pernah menuntut ilmu di Al-Nuri. Salah satunya adalah Ibn an-Nafis (1208-1288 M) yang merupakan ilmuwan pertama yang secara akurat mendeskripsikan sistem peredaran darah dalam tubuh manusia. 8[8] Di kota lainnya, Granada, juga berdiri bangunan rumah sakit Granada pada tahun 1366 M. Menurut Dr Hossam Arafa dalam tulisannya berjudul Hospital 5[5] Ibid. 6[6] Ibid. 7[7] Ibid. 8[8] Ibid.
in Islamic History,
pada
akhir abad ke-13, rumah sakit sudah tersebar di seantero Jazirah Arabia.Semua itu didukung dengan tenaga medis yang profesional baik dokter, perawat dan apoteker. Dan di sekitar rumah sakit didirikan sekolah kedokteran. Rumah sakit yang ada juga menjadi tempat menempa mahasiswa kedokteran, pertukaran ilmu kedokteran, serta pusat pengembangan dunia kesehatan dan kedokteran secara keseluruhan. Dokter yang bertugas dan berpraktik adalah dokter yang telah memenuhi kualifikasi tertentu. Khalifah al-Muqtadi dari Bani Abbasiyah memerintahkan kepala dokter Istana, Sinan Ibn Tsabit, untuk menyeleksi 860 dokter yang ada di Baghdad. Dokter yang mendapat izin praktik di rumah sakit hanyalah mereka yang lolos seleksi yang ketat. Khalifah juga memerintahkan Abu Osman Said Ibnu Yaqub untuk melakukan seleksi serupa di wilayah Damaskus, Makkah dan Madinah. 9[9] Dan pada masa Khilafah Abbasiyah untuk pertama kalinya ada apotik. Yang terbesar adalah apotik Ibnu al-Baithar. Saat itu, para apoteker tidak diijinkan menjalankan profesinya di apotik kecuali setelah mendapat lisensi dari negara. Para apoteker itu mendatangkan obatobatan dari India dan dari negeri-negeri lainnya, lalu mereka melakukan berbagai inovasi dan penemuan untuk menemukan obat-obatan baru (M. Husain Abdullah, Dirâsât Islâmî , hlm. 89).
fî al-Fikri al-
Kebijakan kesehatan Khilafah juga diarahkan bagi terciptanya lingkungan yang sehat dan kondusif. Tata kota dan perencanaan ruang akan dilaksanakan dengan senantiasa memperhatikan kesehatan, sanitasi, drainase, keasrian, dan sebagainya. 10[10] Hal itu sudah diisyaratkan dalam berbagai hadis, seperti dalam hadis:
,
“Sesungguhnya
,
,
,
Allah Mahaindah dan mencintai keindahan, Mahabersih dan mencintai
kebersihan, Mahamulia dan mencintai kemuliaan. Karena itu, bersihkanlah rumah dan halaman kalian, dan janganlah kalian menyerupai orang-orang Yahudi” (HR at-Tirmidzi dan Abu Ya’la).
9[9] Ibid. 10
[10] 'Aly ,Zulkifli Ibnu , “Kebijakan Khilafah di Bidang Kesehatan”, diakses pada
tanggal 10 November 2010, dari http://bsba.facebook.com/topic.php?uid =94680409703 &topic=12161
“Jauhilah tiga hal yang dilaknat, yaitu buang air dan kotoran di sumber/ saluran air, di pinggir atau tengah jalan dan di tempat berteduh” (HR.Abu Dawud).
Rasul saw. juga bersabda: “Janganlah salah seorang dari kalian buang air di air yang tergenang.” (HR Ashhab Sab’ah). Jabir berkata:“Rasulullah melarang buang air di air yang mengalir.” (HR Thabarani di al-Awsath). Di samping itu juga terdapat larangan membangun rumah yang menghalangi lubang masuk udara rumah tetangga, larangan membuang sesuatu yang berbahaya ke jalan sekaligus perintah menghilangkannya meski hanya berupa duri. 11[11] Beberapa hadis ini dan yang lain jelas mengisyaratkan disyariatkannya pengelolaan sampah dan limbah yang baik, tata kelola drainasi dan sanitasi lingkungan yang memenuhi standar kesehatan, dan pengelolaan tata kota yang higienis, nyaman sekaligus asri. Tentu saja itu hanya bisa direalisasikan melalui negara, bukan hanya melibatkan departemen kesehatan, tetapi juga departemen-departemen lainnya. Tata kota, sistem drainase dan sanitasi kota kaum Muslim dulu seperti Baghdad, Samara, Kordoba, dsb telah memenuhi kriteria itu dan menjadi model bagi tata kota seperti London, kota-kota di Perancis dan kota-kota lain di Eropa.
C. Kesimpulan Pembangunan kesehatan yang meliputi keseimbangan aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative sudah ada dan diterapkan sejak masa pemerintahan islam yang teori dan prakteknya digunakan sampai saat ini. Dalam Islam, sistem kesehatan tersusun dari 3 (tiga) unsur sistem (S. Waqar Ahmed Husaini, Islamic Sciences, hlm. 148).. Yaitu:
1.
Peraturan, baik peraturan berupa syariah Islam, kebijakan maupun peraturan teknis administratif.
2.
Sarana dan peralatan fisik seperti rumah sakit, alat-alat medis dan sarana prasarana kesehatan lainnya.
3.
SDM (sumber daya manusia) sebagai pelaksana sistem kesehatan yang meliputi dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya. 11
Pelayanan kesehatan berkualitas hanya bisa direalisasikan jika didukung dengan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai serta sumber daya manusia yang profesional dan kompeten. Penyediaan semua itu menjadi tanggung jawab dan kewajiban negara (Khilafah) karena negara (Khilafah) berkewajiban menjamin pemenuhan kebutuhan dasar berupa kesehatan dan pengobatan. Khilafah wajib membangun berbagai rumah sakit, klinik, laboratorium medis, apotik, pusat dan lembaga litbang kesehatan, sekolah kedokteran, apoteker, perawat, bidan dan sekolah lainnya yang menghasilkan tenaga medis, serta berbagai sarana prasarana kesehatan dan pengobatan lainnya. Juga wajib mengadakan pabrik yang memproduksi peralatan medis dan obat-obatan; menyediakan SDM kesehatan baik dokter, apoteker, perawat, psikiater, penyuluh kesehatan dan lainnya. Pelayanan kesehatan harus diberikan secara gratis (minimal semurah mungkin) kepada rakyat baik kaya atau miskin tanpa diskriminasi baik agama, suku, warna kulit dan sebagainya. Pembiayaan untuk semua itu diambil dari kas Baitul Mal, baik dari pos harta milik negara ataupun harta milik umum. Setiap pelayanan masyarakat dalam sistem Islam wajib memenuhi 3 (tiga) prinsip baku yang berlaku umum, yaitu: 1.
Sederhana dalam peraturan (tidak berbelit-belit).
2.
Cepat dalam pelayanan.
3.
Profesional dalam pelayanan, yakni dikerjakan oleh orang yang kompeten dan amanah.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, “Saatnya Khilafah Memimpin Dunia”, diakses pada tanggal 10 November 2010, dari http://moslemgen.multiply.com/journal/item/825 Anonim, “Kebijakan Kesehatan Perspektif Islam”, diakses pada tanggal 10 November 2010, dari http://sinauislam.wordpress.com/ 2009/06/03/kebijakan-kesehatan perspektif-islam/ Anonim, “Rumah Sakit Zaman Keemasan Islam”, diakses pada tanggal 10 November 2010, dari http://aristek-2004.blog.friendster.com/2010/02/ rumah-sakit-zamankeemasan-islam/ Asta Qauliyah, “Masalah Pembiayaan Kesehatan Di Indonesia”, diakses pada tanggal 10 November 2010, dari http://astaqauliyah.com/2007/02/masalah pembiayaankesehatan-di-indonesia/
Dukung syari’ah dan khilafah, “Kebijakan Kesehatan Perspektif Islam”, diakses pada tanggal 10 November 2010, dari http://zhcn.facebook.com/note.php?note_id=226818404262&comments&ref=mf Zulkifli Ibnu 'Aly, “Kebijakan Khilafah di Bidang Kesehatan”, diakses pada tanggal 10 November 2010, dari http://bsba.facebook.com/topic.php?uid =94680409703 &topic=12161
Kesehatan Spiritual Menurut Ajaran Islam Monday, 29 December 2008 00:00 Ada sebuah rahasia yang dinyatakan Allah SWT dalam Al Qur’an yang berbunyi “Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS. Ar Ra’d, 13:28). Dari ayat diatas, bisa dijelaskan, mengapa orang-orang yang beriman kepada Allah, yang berdoa dan berharap kepada-Nya, lebih sehat secara ruhani dan jasmani ? Karena mereka berperilaku sesuai dengan tujuan penciptaan mereka. Sedangkan sistem yang tidak selaras dengan penciptaan manusia selalu mengarah pada penderitaan dan ketidak bahagiaan. Untuk itu, ada beberapa kondisi spiritual yang perlu di bangun dan dibina pada diri pasien yang sedang dalam perawatan medis, antara lain : •
Kesadaran pada diri pasien bahwa seperti halnya kondisi sehat, kondisi sakit adalah juga ujian yang diberikan oleh Allah. Keduanya sama-sama akan memberikan jalan ke
•
•
•
syurga jika yang bersangkutan tetap dalam keadaan sabar dan ikhlas dalam menjalaninya. Tumbuh keyakinan yang kuat pada pasien, bahwa setiap penyakit akan ada obatnya, karena Allah adalah Maha Penyembuh. Dengan kedua kondisi di atas, diharapkan pasien akan lebih tenang, tentram, dan optimis terhadap keberhasilan proses penyembuhan dan perawatan yang dilakukan di rumah sakit serta akan memiliki sikap yang positif dalam menghadapi kejadian yang memburuk termasuk dalam menghadapi kematian. Semakin meningkatnya keimanan pasien terhadap Allah SWT, karena banyak pelajaran dan hikmah kehidupan yang didapatkan selama proses perawatan di rumah sakit kita ini.
Ini berarti bahwa, rumah sakit kita bukan semata-mata sebagai tempat untuk mengobati dan memperbaiki jasmani-fisik masyarakat, tetapi juga berperan dalam membina dan meningkatkan kwalitas mental dan ruhaniah (iman) masyarakat. Seperti pesantren, tempat dimana orang belajar dan mencari hikmah Islamiyah yang sejuk dan religius. injauan hukum islam terhadap upah jasa kesehatan menurut perda kabupaten kendal no. 25 tahun 2001 tentang retribusi pelayanan kesehatan di puskesmas kabupaten kendal (Studi Kasus di Puskesmas Pegandon Kendal) Undergraduate Theses from JTPTIAIN / 2012-10-31 09:11:10 Oleh : AKHMAD ZAENUTOLIBIN (2102074), Fakultas Syariah IAIN Walisongo Dibuat : 2007-01-30, dengan 0 file
Keyword : Hukum Islam,Upah,Kesehatan,peraturan Url : http:// Islam mewajibkan manusia untuk mencari pengobatan apabila ditimpa suatu penyakit. Dalam memenuhi kebutuhan kesehatan, penyediaan fasilitas penunjang pelayanan kesehatan juga wajib diperlukan sebagai ikhtiar dalam memenuhi kebutuhan kesehatan. Kesehatan jiwa manusia tidak dapat di perjual-belikan atau di komersialkan sehingga upah atas jasa pelayanan kesehatan yang diterima dari pemanfaatan fasilitas tidak bisa diatur sedemikian rupa layaknya institusi bisnis. Di Kabupaten Kendal terdapat suatu Peraturan Daerah No 25 Tahun 2001 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan di Puskesmas Kabupaten Kendal. Peraturan Daerah tersebut mengatur tentang besaran upah atas jasa pelayanan kesehatan di Puskesmas. Sehingga pihak puskesmas mudah dalam menentukan upah kepada pasien yang memakai jasa pelayanan kesehatan. Berbagai bentuk pembayaran telah banyak diperkenalkan. Dalam perda tersebut upah diterapkan dalam bentuk tarif yang digunakan untuk satu pelayanan medik bukan untuk satu kebutuhan medis. Sehingga dalam pelaksanaan di Puskesmas Pegandon terkadang tidak dapat menetapkan kebutuhan pelayanan. Sistem upah atas jasa pelayanan kesehatan yang diatur dalam Perda No25 Tahun 2001 tersebut sudah sesuai menurut hukum Islam. Karena sudah memenuhi syarat daripada upah dalam hukum Islam, dan pelaksanaannya pun bukan semata-mata untuk komersialisasi kesehatan namun sebagai tugas kemanusiaan demi kemaslahatan bersama.
Oleh karena itu, menurut penulis sistem upah atas jasa pelayanan kesehatan pada Perda No 25 Tahun 2001 diperlukan dalam meningkatkan derajat kesehatan seluruh lapisan masyarakat. Sehingga dalam pelaksanaannya dapat memudahkan pasien dalam menikmati pelayanan pengobatan kesehatan sebagai ikhtiar atas penyakit yang diderita.
Deskripsi Alternatif : Islam mewajibkan manusia untuk mencari pengobatan apabila ditimpa suatu penyakit. Dalam memenuhi kebutuhan kesehatan, penyediaan fasilitas penunjang pelayanan kesehatan juga wajib diperlukan sebagai ikhtiar dalam memenuhi kebutuhan kesehatan. Kesehatan jiwa manusia tidak dapat di perjual-belikan atau di komersialkan sehingga upah atas jasa pelayanan kesehatan yang diterima dari pemanfaatan fasilitas tidak bisa diatur sedemikian rupa layaknya institusi bisnis. Di Kabupaten Kendal terdapat suatu Peraturan Daerah No 25 Tahun 2001 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan di Puskesmas Kabupaten Kendal. Peraturan Daerah tersebut mengatur tentang besaran upah atas jasa pelayanan kesehatan di Puskesmas. Sehingga pihak puskesmas mudah dalam menentukan upah kepada pasien yang memakai jasa pelayanan kesehatan. Berbagai bentuk pembayaran telah banyak diperkenalkan. Dalam perda tersebut upah diterapkan dalam bentuk tarif yang digunakan untuk satu pelayanan medik bukan untuk satu kebutuhan medis. Sehingga dalam pelaksanaan di Puskesmas Pegandon terkadang tidak dapat menetapkan kebutuhan pelayanan. Sistem upah atas jasa pelayanan kesehatan yang diatur dalam Perda No25 Tahun 2001 tersebut sudah sesuai menurut hukum Islam. Karena sudah memenuhi syarat daripada upah dalam hukum Islam, dan pelaksanaannya pun bukan semata-mata untuk komersialisasi kesehatan namun sebagai tugas kemanusiaan demi kemaslahatan bersama. Oleh karena itu, menurut penulis sistem upah atas jasa pelayanan kesehatan pada Perda No 25 Tahun 2001 diperlukan dalam meningkatkan derajat kesehatan seluruh lapisan masyarakat. Sehingga dalam pelaksanaannya dapat memudahkan pasien dalam menikmati pelayanan pengobatan kesehatan sebagai ikhtiar atas penyakit yang diderita.
Barack Obama telah menandatangani RUU kontroversial kesehatan AS menjadi undangundang beberapa hari yang lalu setelah berbulan-bulan perdebatan sengit terjadi dalam menggodok RUU Kesehatan tersebut. Kesehatan di AS telah menjadi sorotan dalam beberapa tahun terakhir dan mendapat perhatian internasional setelah Michael Moore merilis film dokumenter yang berjudul "Sicko" tiga tahun lalu. Di dalam filmnya tersebut Michael Moore memusatkan perhatian pada kegagalan sistem kesehatan Amerika. Perhatian khusus diberikan kepada Perusahaan Asuransi dan bagaimana tujuan mereka yang ternyata bukan untuk membantu orang yang membutuhkan melainkan untuk meningkatkan keuntungan. Solusi yang diusulkan adalah untuk memiliki sistem kesehatan publik yang serupa dengan yang ada di Kanada, Inggris, Perancis dan Kuba.
Dengan ekonomi yang berantakan dan meningkatnya biaya pengeluaran negara dari perang Irak dan Afghanistan, kita mungkin bertanya-tanya apa yang salah dengan skala prioritas AS? Perdebatan panjang tentang perawatan kesehatan di AS berpusat pada apakah ada hak untuk pelayanan kesehatan dasar, atau siapa yang seharusnya memiliki akses ke perawatan kesehatan dan kualitas yang diperoleh. Utang kedokteran dikutip sebagai satu-satunya faktor terbesar pada 62% dari semua kebangkrutan personal di Amerika Serikat. 50 juta orang Amerika tidak memiliki asuransi kesehatan. Sekitar 18.000 dari 50 juta orang meninggal dunia setiap tahun karena mereka tidak memiliki asuransi kesehatan. Amerika Serikat tidak melihat kesehatan sebagai hak dasar, tetapi sebagai hak istimewa. Barack Obama menantang pandangan ini melalui reformasi RUU untuk menyediakan perawatan kesehatan universal melalui asuransi kesehatan untuk semua orang. Hal inilah yang menyebabkan ‘kemurkaan’ dari kelompok sayap kanan AS. AS tidak menyediakan program yang didanai pemerintah dengan anggaran terbesar untuk biaya ataupun asuransi kesehatan. Tetapi pada umumnya terserah kepada individu untuk memperoleh asuransi kesehatan atau tidak. Kebanyakan warga pekerja AS mendapatkan hal tersebut melalui majikan mereka tempat perusahaan mereka bekerja, tetapi yang lain mendaftar pada skema asuransi swasta. Menurut syarat-syarat yang paling terencana, warga AS harus membayar premi secara teratur, tetapi diharuskan untuk membayar sebagian dari biaya pengobatan mereka sebelum menutup pengeluaran dari pihak asuransi. Ini adalah situasi dari 250 juta orang yang memiliki solusi perawatan kesehatan. Hal ini telah umum terjadi bagi mereka yang memiliki asuransi kesehatan, harus menanggung banyak utang setelah dikurangi untuk asuransi kesehatan, menyebabkan sejumlah besar orang bahkan harus menjual rumah mereka. Jadi, bagaimana masa depan Khilafah akan menangani masalah kesehatan?
Mengurus urusan orang Islam adalah sebuah sistem unik yang diwahyukan Allah SWT yang menyediakan kebutuhan baik bagi individu dan masyarakat. Allah sebagai sang Khaliq – Sang Pencipta dari semua yang ada – akan jelas tahu apa yang terbaik untuk kita. Dengan pengetahuan Nya yang tak terbatas, sistem-Nya akan dapat memberikan solusi untuk masalah manusia yang telah atau akan hadapi. Berkaitan dengan pemerintahan, Khalifah dipercayakan dalam menerapkan hukum-hukum Allah. Khalifah secara langsung bertanggung jawab sebelum Allah SWT, untuk setiap masalah yang mempengaruhi warga negara yang ada di dalam Negara Islam. Rasulullah SAW bersabda, "Dia yang berkuasa atas lebih dari sepuluh orang akan membawa belenggu pada hari kiamat sampai keadilan melonggarkan rantainya atau tindakan tiraninya membawa dia kepada kehancuran." [Tirmidzi] Penguasa tidak hanya perlu menanggapi orang-orang di bawah perawatan tetapi juga harus menjawab kepada otoritas yang lebih tinggi, Malik-al-Mulk (Penguasa dari segala
Kedaulatan). Dengan demikian, penguasa harus memenuhi kewajiban yang diletakkan di atas dirinya karena hal ini tidak hanya merupakan mandat dari negara, tetapi adalah hukum Allah SWT. Oleh karena itu Khalifah harus peduli bagi setiap kebutuhan warga negara dan memastikan bahwa mereka tidak menghadapi kesulitan yang tidak pantas seperti kurangnya akses ke pelayanan kesehatan atau bahkan menunggu dengan sangat lama untuk mendapat perawatan. Rasulullah SAW bersabda: "Siapa pun yang mengepalai salah satu urusan kaum muslimin dan tetap menjauhkan diri dari mereka dan tidak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah akan tetap jauh dari dirinya pada hari kiamat…. "[Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim] Hadis di atas jelas menunjukkan beratnya tanggungjawab orang yang berkuasa. Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi Khalifah, ia terlihat agak murung. Salah seorang pembantunya bertanya mengapa dia begitu sedih dan khawatir. Umar menjawab, "Siapa pun yang berada di bawah tanggung jawabku; aku harus menyampaikan dan memberikan kepada mereka semua hak-hak mereka, apakah mereka menuntut atau tidak akan hak-hak mereka." Perawatan bagi orang-orang yang berada di bawah otoritas negara tidak dinilai berdasarkan anggaran tahunan atau aspirasi politik melainkan didasarkan pada hak-hak yang diberikan kepada mereka oleh Allah SWT. Hal ini mewajibkan Khalifah untuk menyediakan hak-hak mereka dengan sangat hati-hati dengan kepedulian yang terbaik dari kemampuan yang dimiliki dirinya, apakah warga negara menyadari hak itu atau tidak, dan apakah mereka telah meminta untuk itu atau tidak.
Kesehatan dalam Khilafah Nabi SAW bersabda: "Setiap dari kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab untuk orang-orang yang dipimpin. Jadi, penguasa adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya." [Bukhari & Muslim] Imam bertanggung jawab untuk mengelola urusan-urusan rakyat. Salah satu kebutuhan dasar adalah bahwa Khilafah harus menyediakan layanan kesehatan. Ketika Rasulullah SAW sebagai kepala negara di Madinah diberikan seorang dokter sebagai hadiah, ia tugaskan dokter tersebut ke umat Islam. Kenyataan bahwa Rasulullah SAW menerima hadiah dan dia tidak menggunakannya, bahkan dia menugaskan dokter itu kepada kaum muslimin, dan hal ini adalah bukti bahwa kesehatan adalah salah satu kepentingan umat Islam. Karena negara berkewajiban untuk membelanjakan anggaran negara pada penyediaan sistem kesehatan gratis untuk semua orang, maka Baitul-Mal harus menyusun anggaran untuk kesehatan. Jika dana yang tersedia tidak mencukupi maka pajak kekayaan akan dikenakan pada umat Islam untuk memenuhi defisit anggaran. Berbeda dengan sistem kapitalis, sistem Islam memandang penyediaan kesehatan kepada warga negaranya dari perspektif manusia dan bukan aspek ekonomi. Ini berarti bahwa pemimpin Negara Islam terlihat untuk menyediakan sarana kesehatan yang memadai dan berkualitas baik kepada rakyat, bukan demi memiliki tenaga kerja yang sehat yang dapat memberikan kontribusi terhadap perekonomian tetapi demi memenuhi tugasnya mengurus kebutuhan orang-orang dalam ketaatan kepada Allah SWT.
Kedokteran keunggulan dalam sejarah Islam Ketika Islam diterapkan sebagai sebuah sistem lengkap, Islam menyediakan sarana untuk berprestasi di segala bidang seperti ilmu pengetahuan dan teknologi. Di masa lalu, individu di bawah Khilafah membuat kontribusi yang luar biasa untuk bidang medis. Khilafah pada masa itu menyediakan banyak rumah sakit kelas satu dan dokter di beberapa kota: Baghdad, Damaskus, Kairo, Yerusalem, Alexandria, Cordova, Samarkand dan banyak lagi. Kota Baghdad sendiri memiliki enam puluh rumah sakit dengan pasien rawat inap dan pasien rawat jalan dan memiliki lebih dari 1.000 dokter. Rumah sakit umum seperti Bimaristan al-Mansuri, didirikan di Kairo pada tahun 1283, mampu mengakomodasi 8.000 pasien. Ada dua petugas untuk setiap pasien yang melakukan segala sesuatu untuk diri pasien agar mendapatkan kenyamanan dan kemudahan dan setiap pasien mendapat ruang tidur dan tempat makan sendiri. Para pasien baik rawat inap maupun rawat jalan di beri makanan dan obat-obatan secara gratis. Ada apotik dan klinik berjalan untuk perawatan medis bagi orang-orang cacat dan mereka yang tinggal di desa-desa. Khalifah, Al-Muqtadir Billah, memerintahkan bahwa setiap unit apotik dan klinik berjalan harus mengunjungi setiap desa dan tetap di sana selama beberapa hari sebelum pindah ke desa berikutnya. Dari catatan sejarah di atas, kita melihat bahwa ketika Penguasa benar-benar menerapkan aturan Allah SWT, barulah saat itu masyarakat akan benar-benar berkembang dan berhasil. Namun, penting untuk diingat bahwa kemajuan materi tidak menyamakan dengan kesuksesan sejati – mencari keridhaan Allah SWT. Bagi khalifah hal tersebut bukan hanya tentang bagaimana menyediakan pelayanan medis, melainkan untuk memenuhi kebutuhan warga yang dirinya dipercayakan untuk bertanggung jawab atas mereka.(fq/khilafah.com)
1. Salimul Aqidah Memiliki akidah yang bersih sehingga dalam menghadapi klien selalu berusaha menunjukan sikap empati dengan mengedepankan professionalisme yang sejalan dengan aqidah Islam yang kuat. Aqidah yang bersih (salimul aqidah) merupakan sesuatu yang sepatutnya ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada Allah Swt dan dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan ketentuan-ketentuan-Nya. Dengan kebersihan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada Allah sebagaimana firman-Nya yang artinya: ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semua bagi Allah Tuhan semesta alam ‘ (QS 6:162). Karena memiliki aqidah yang salim merupakan sesuatu yang amat penting, maka dalam da’wahnya kepada para sahabat di Makkah, Rasulullah Saw mengutamakan pembinaan aqidah, iman atau tauhid.
2. Shahihul ibadah Memberikan pelayanan terbaik kepada klien bukan semata-mata ingin mendapatkan penghargaan, pujian atau pemberian yang bersifat materi dari klien tetapi lebih dari itu adalah untuk beribadah dan mencari Ridho Allah SWT. Ibadah yang benar (shahihul ibadah) merupakan salah satu perintah Rasul saw yang penting, dalam satu haditsnya; beliau menyatakan: ‘ shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat.‘ Dari ungkapan ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah merujuk kepada sunnah Rasul Saw yang berarti tidak boleh ada unsur penambahan atau pengurangan.
3. Mathinul Khuluq Memberikan pelayanan kepada klien dengan integritas profesi yang memiliki kekuatan ahlaq yang Islami yang berorientasi pada pelayanan terbaik bagi klien. Akhlak yang kokoh (matinul khuluq) atau akhlak yang mulia merupakan sikap dan prilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim, baik dalam hubungannya kepada Allah maupun dengan makhluk-makhluk-Nya. Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia dalam hidupnya, baik di dunia apalagi di akhirat. Karena begitu penting memiliki akhlak yang mulia bagi umat manusia, maka Rasulullah Saw ditutus untuk memperbaiki akhlak dan beliau sendiri telah mencontohkan kepada kita akhlaknya yang agung sehingga diabadikan oleh Allah di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman yang artinya: ‘Dan sesungguhnya kamu benarbenar memiliki akhlak yang agung ‘ (QS 68:4).
4. Mutsaqqoful Fikri Memberikan pelayanan keperawatan kepada klien dengan menggunakan evidence base yang jelas yang dapat dipertanggungjawabkan secara professional sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi.
Intelek dalam berfikir (mutsaqqoful fikri) merupakan salah satu sisi peribadi muslim yang penting. Karena itu salah satu sifat Rasul adalah fatonah (cerdas) dan AlQur’an banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia untuk berpikir, misalnya firman Allah yang artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang, khamar dan judi. Katakanlah: ‘pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya .’ Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan.‘ Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir (QS 2:219). Di dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus dimulai dengan aktiviti berfikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki wawasan keislaman dan keilmuan yang luas. Dapat kita bayangkan, betapa bahayanya suatu perbuatan tanpa mendapatkan pertimbangan pemikiran secara matang terlebih dahulu. Oleh karena itu Allah mempertanyakan kepada kita tentang tingkatan intelektualitas seseorang sebagaimana firman-Nya yang artinya: Katakanlah: “samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?”, sesungguhnya orangorang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran (QS 39:9).
5. Qowiyyul Jismi Memberikan pelayanan kepada klien harus memiliki jasmani yang sehat yang tidak beresiko negatif bagi klien maupun bagi perawat itu sendiri. Kekuatan jasmani (qowiyyul jismi) merupakan salah satu sisi peribadi muslim yang harus ada. Kekuatan jasmani berarti seorang muslim memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan fisik yang sehat atau kuat, apalagi perang di jalan Allah dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya. Oleh karena itu, kesiatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadangkadang terjadi, dan jangan sampai seorang muslim sering sakit. Karena kekuatan jasmani juga termasuk yang penting, maka Rasulullah saw bersabda yang artinya: ‘Mu’min yang kuat lebih aku cintai daripada mu’min yang lemah‘ (HR. Muslim).
6. Qodirun Alal Kasbi Berhubungan dengan klien dengan mempertimbangkan kemampuan dirinya dalam memberikan pelayanan secara professional, sehingga perawat tidak memberikan pelayanan di luar kompetensinya sebagai seorang perawat. Memiliki kemampuan usaha sendiri atau yang juga disebut dengan kekuasaan (qodirun alal kasbi) merupakan ciri lain yang harus ada pada seorang muslim. Ini
merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru boleh dilaksanakan bilakala seseorang memiliki kekuasaan, terutama dari segi ekonomi. Tak sedikit seseorang mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Kareitu pribadi muslim tidaklah mesti miskin, seorang muslim boleh saja kaya raya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan haji dan umrah, zakat, infaq, shadaqah, dan mempersiapkan masa depan yang baik. Oleh karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al-Qur’an maupun hadits dan hal itu memiliki keutamaan yang sangat tinggi. Dalam kaitan menciptakan kekuasaan inilah seorang muslim amat dituntut memiliki keahlian apa saja yang baik, agar dengan keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat rizki dari Allah Swt, karena rizki yang telah Allah sediakan harus diambil dan mengambilnya memerlukan skill atau ketrampilan.
7. Munazhzhamun Fi Syuunihi Bekerja memberikan pelayanan kepada klien dengan konsep yang sistematis dimulai dari Pengumpulan dan analisa data, penentuan diagnosa keperawatan, merencanakan tindakan keperawatan, melaksanakan tindakan keperawatan dan melakukan evaluasi keberhasilan asuhan keperawatan. Teratur dalam suatu urusan (munzhzhamun fi syuunihi) termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al-Qur’an maupun sunnah. Oleh karena itu dalam hukum Islam, baik yang terkait dengan masalah ubudiyah maupun muamalah harus diselesaikan dan dilaksanakan dengan baik. Ketika suatu urusan ditangani secara bersama-sama, maka diharuskan bekerjasama dengan baik sehingga Allah menjadi cinta kepadanya. Dengan kata lain, suatu urusan dikerjakan secara profesional, sehingga apapun yang dikerjakannya, profesionalisme selalu mendapat perhatian darinya. Bersungguh-sungguh, bersemangat dan berkorban, adanya penerusan dan berilmu pengetahuan merupakan diantara yang mendapat perhatian secara serius dalam menunaikan tugas-tugasnya.
8. Mujahadatun Linafsihi Dalam berhubungan dengan klien harus mampu mengendalikan hawa nafsunya sehingga selalu memandang pasien dengan holistic mencakup kebutuhan Bio, Psiko, Sosial dan Spiritual, dan bekerja dengan mengedepankan empati. Berjuang melawan hawa nafsu (mujahadatul linafsihi) merupakan salah satu kepribadian yang harus ada pada diri seorang muslim, karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan dan kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu. Oleh karena itu hawa nafsu yang ada pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam, Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Tidak beriman
seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran islam) (HR. Hakim).
9. Haritsun Ala Waqtihi Dalam memberikan pelayanan kepada klien harus menghargai waktu dalam semua fase hubungan dengan pasien dimulai dari fase pra interaksi, orientasi, interaksi dan terminasi. Pandai menjaga waktu (harishun ala waqtihi) merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu itu sendiri mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya. Allah Swt banyak bersumpah di dalam Al-Qur’an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan sebagainya. Allah swt memberikan waktu kepada manusia dalam jumlah yang sama setiap, yakni 24 jam sehari semalam. Dari waktu yang 24 jam itu, ada manusia yang beruntung dan tak sedikit manusia yang rugi. Karena itu tepat sebuah semboyan yang menyatakan: ‘Lebih baik kehilangan jam daripada kehilangan waktu.‘ Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi. Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk memanaj waktunya dengan baik, sehingga waktu dapat berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia. Maka diantara yang disinggung oleh Nabi Saw adalah memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, rehat sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin.
10. Nafi’un Lighoirihi Memberikan pelayanan terbaiknya kepada klien harus mampu mampu membangun sebuah persepsi yang dirasakan sebagai sebuah manfaat yang secara langsung dapat dirasakan oleh klien sehingga perawat dapat menjadi seorang care giver, advocate, educator, konselor, kolaburator, coordinator, dan researcher yang dapat membantu klien dalam upaya mencapai tujuannya untuk hidup sehat secara optimal. Bermanfaat bagi orang lain (nafi’un lighoirihi) merupakan sebuah tuntutan kepada setiap muslim. Manfaat yang dimaksud tentu saja manfaat yang baik sehingga dimanapun dia berada, orang disekitarnya merasakan keberadaannya karena bermanfaat besar. Maka jangan sampai seorang muslim adanya tidak menggenapkan dan tidak adanya tidak mengganjilkan. Ini berarti setiap muslim itu harus selalu berpikir, mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksima agar dapat bermanfaat dalam hal-hal tertentu sehingga jangan sampai seorang muslim itu tidak bisa mengambil peranan yang baik dalam masyarakatnya. Dalam kaitan inilah, Rasulullah saw bersabda yang artinya: sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain (HR. Qudhy dari Jabir). Demikian secara umum profil seorang muslim yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits, sesuatu yang perlu kita renungkan pada diri kita masing-masing.
Islam dan kesehatan dalam makan. Blog bertopik islam dan kesehatan ini akan membahas tetang makan dalam islam yang berdasar riwayat Nabi. 1. Nabi tidak suka makanan yang diawetkan atau makanan yang dimasak lagi. Pada zaman sekarang kita sudah terbiasa makan makanan yang diawetkan, dikalengkan atau makanan kemasan. Misal sarden yang berbulan-bulan dalam kaleng kita makan. Kita cuek akan behaya bahan pengawet yang ditambahkan ke dalam kaleng sarden itu. 2. Nabi tidak pernah makan dengan lauk lebih dari 2 macam. Kita lihat sekarang dalam jamuan prasmanan yang menyediakan banyak jenis lauk, para tamu banyak yang nafsu matanya lebih besar dari kekuatan perutnya. Mereka tidak malu menggambil sampai 4 jenis lauk sekaligus, ayam, ikan, telur, sate...di embat sekaligus. Dan akhirnya banyak yang masuk sampah. 3. Nabi makan pakai tangan dan menjilati tangan sehabis makan. Setelah hasil diskusi ternyata ada keajaiban tersendiri. Ternyata jari-jari tangan kita itu mengeluarkan keringat yang kasat mata, keringat jari tangan ini akan membantu cepatnya makanan menjadi hancur saat dicerna. Penelitian sederhana, ambil 2 wadah air, yang satu obok-obok dengan tangan, dan yang satu jangan kenakan tangan. Kemudian masukkan sayuran segar/ dedaunan ke dalam ke masing-masing wadah. Akan terlihat sayuran/daun yang ada di air yang kena tangan tadi akan rusak. Dan terlihat pula dalam dunia pegemasan makanan, maka para perkerja akan diwajibkan memakai sarung tangan. 4. Nabi melarang meniup makanan yang masih panas. Pertama mendengar hadits ini saya kaget, kok gitu.....? kemudian saya ajak diskusi Teman Kost dari UB yang suka bidang kimia, ternyata disaat kita meniup makanan panas itu Karbon Dioksida keluar dari mulut kita dan menimpa makana yang bercampur uap air, trus katanya ada unsur "XXX" yang terbetuk (saya lupa nama kimianya) yang tidak dapat di cerna dalam tubuh. Ini yang menempel pada nasi. Maka pikiran saya melayang, berapa banyak balita yang suka di suapin pakai nasi yang ditiup-tiup. Dan ini juga pelajaran bagi kita untuk "sabar" menunggu makanan agar dingin sendiri. 5. Nabi mengambil makanan yang jatuh dan memakanya lagi. Dalam sebuah pertemuan di istana Kerajaan ROMAWI yang telah kalah, para sahabat Nabi diundang untuk makan. Suatu ketika ada sedikit nasi sahabat yang jatuh, lalu sahabat mengambil dan memakanya. Lalu selesai pertemuan sahabat lain bertanya " Apa kau tidak malu mengabil sebutir nasi di depan para pembesar kerajaan Romawi". Sahabat berkata " Perintah Nabi lebih aku sukai daripada perhatian perbesar Kaum Rum". 6. Nabi bersabda " Seburuk-buruk bagian binatang untuk dimakan adalah bagian kepala dan perut". Maka tampaklah sekarang bahwa "jeroan" adalah makanan paling
berbahaya untuk penderita "asam urat". Ada lagi sekarang "Bakso kepala Sapi". Saya terus terang merinding. Takut kandungan dua bagian binatang itu bagi kesehatan. 7. Nabi melarang makan sambil bersandar.
Karena itu adalah perbuatan orang bebal dan perbesar kerajaan-kerajaan romawi. 8. Perintah berjalan/melangkah sesudah makan
"Jangan tidur diatas makananmu" (hadits). Jadi sehabis makan hendaklah melangkahkan kaki minimal 40x. Perintah ini dulunya membuat saya bingung kok bisa ya...? ternyata setelah kita melangkah 40x sehabis makan, kita akan bersendawa (glegek dalam bahasa jawa). Sendawa ini mengeluarkan udara yang ikut masuk lambung bersamaan dengan proses kita menelan makanan. Dengan keluarnya udara di perut ini mengabibatkan tubuh terasa enak, tidak ada ganjalan udara lagi diperut.
9. Mencuci tangan sebelum memegang makanan sehabis tidur. "Barang siapa mengambil makanan sedang dia belum mencici tangannya, padahal semalam dia tidak tau kemana tanganya, maka jangan salahkan kecuali dirinya sendiri jika dia tertimpa penyakit (hadits). Ya ternyata kita tidak tau kemana saja tangan kita sewaktu tidur, bisa ke lubang hidung (ngupil), bisa juga kena liur atau bahkan ke tempat lain atau juga waktu seseorang mimpi basah, maka biasanya tangan ini tidak sadar bergerilnya ke tembat kebanjiran tersebut.
Aspek "Islam dan kesehatan" dalam bidang lain Insya'allah menyusul.
KESEHATAN DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN DAN AS-SUNNAH Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara agama, jiwa, akal, jasmani, harta, dan keturunan. Setidaknya tiga dari yang disebut di atas berkaitan dengan kesehatan. Tidak heran jika ditemukan bahwa Islam amat kaya dengan tuntunan kesehatan. Paling tidak ada dua istilah literatur keagamaan yang digunakan untuk menunjuk tentang pentingnya kesehatan dalam pandangan Islam. 1. Kesehatan, yang terambil dari kata sehat; 2. Afiat. Keduanya dalam bahasa Indonesia, sering menjadi kata majemuk sehat afiat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesra, kata “afiat” dipersamakan dengan “sehat”. Afiat diartikan sehat dan kuat, sedangkan sehat (sendiri) antara lain diartikan sebagai keadaan baik segenap badan serta bagian-bagiannya (bebas dari sakit). Tentu pengertian kebahasaan ini berbeda dengan pengertian dalam tinjauan ilmu kesehatan, yang memperkenalkan istilah-istilah kesehatan fisik, kesehatan mental, dan kesehatan masyarakat. Walaupun Islam mengenal hal-hal tersebut, namun sejak dini perlu digarisbawahi satu hal pokok berkaitan dengan kesehatan, yaitu melalui pengertian yang dikandung oleh kata afiat. Istilah sehat dan afiat masing-masing digunakan untuk makna yang berbeda, kendati diakui tidak jarang hanya disebut salah satunya (secara berdiri sendiri), karena masing-masing kata tersebut dapat mewakili makna yang dikandung oleh kata yang tidak disebut. Pakar bahasa al-Quran dapat memahami dari ungkapan sehat wal-afiat bahwa kata sehat berbeda dengan kata afiat, karena wa yang berarti “dan” adalah kata penghubung yang sekaligus menunjukkan adanya perbedaan antara yang disebut pertama (sehat) dan yang disebut kedua (afiat). Nah, atas dasar itu, dipahami adanya perbedaan makna di antara keduanya. Dalam literatur keagamaan, bahkan dalam hadis-hadis Nabi Saw. ditemukan sekian banyak doa, yang mengandung permohonan afiat, di samping permohonan memperoleh sehat. Dalam kamus bahasa Arab, kata afiat diartikan sebagai “perlindungan Allah untuk hamba-Nya dari segala macam bencana dan tipu daya”. Perlindungan itu tentunya tidak dapat diperoleh secara sempurna kecuali bagi mereka yang mengindahkan petunjuk petunjuk-Nya. Maka kata afiat dapat diartikan sebagai: “berfungsinya anggota tubuh manusia sesuai dengan tujuan penciptaannya.”
Kalau sehat diartikan sebagai keadaan baik bagi segenap anggota badan, maka agaknya dapat dikatakan bahwa mata yang sehat adalah mata yang dapat melihat maupun membaca tanpa menggunakan kacamata. Tetapi, mata yang afiat adalah yang dapat melihat dan membaca objek-objek yang bermanfaat serta mengalihkan pandangan dari objek-objek yang terlarang, karena itulah fungsi yang diharapkan dari penciptaan mata. KESEHATAN FISIK Telah disinggung bahwa dalam tinjauan ilmu kesehatan dikenal berbagai jenis kesehatan, yang diakui pula oleh pakar-pakar Islam. Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, dalam Musyawarah Nasional Ulama tahun 1983 merumuskan kesehatan sebagai “ketahanan jasmaniah, ruhaniah, dan sosial yang dimiliki manusia, sebagai karunia Allah yang wajib disyukuri dengan mengamalkan (tuntunan-Nya), dan memelihara serta mengembangkannya.” Memang banyak sekali tuntunan agama yang merujuk kepada ketiga jenis kesehatan itu. Dalam konteks kesehatan fisik, misalnya ditemukan sabda Nabi Muhammad saw.:
Terjemah: Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash dia berkata bahwa Rasulullah saw telah bertanya (kepadaku): “Benarkah kamu selalu berpuasa di siang hari dan dan selalu berjaga di malam hari?” Aku pun menjawab: “ya (benar) ya Rasulullah.”Rasulullah saw pun lalu bersabda: “Jangan kau lakukan semua itu. Berpuasalah dan berbukalah kamu, berjagalah dan tidurlah kamu, sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu, matamu mempunyai hak atas dirimu, dan isterimu pun mempunyai hak atas dirimu.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash) Demikian Nabi Saw. menegur beberapa sahabatnya yang bermaksud melampaui batas dalam beribadah, sehingga kebutuhan jasmaniahnya terabaikan dan kesehatannya terganggu. Pembicaraan literatur keagamaan tentang kesehatan fisik, dimulai dengan meletakkan prinsip: “Pencegahan lebih baik daripada pengobatan.” Karena itu dalam konteks kesehatan ditemukan sekian banyak petunjuk Kitab Suci dan Sunah Nabi saw. yang pada dasarnya mengarah pada upaya pencegahan. Salah satu sifat manusia yang secara tegas dicintai Allah adalah orang yang menjaga kebersihan. Kebersihan dikaitkan dengan tobat (taubah) dalam QS al-Baqarah [2]: 222:
Terjemah:
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS al-Baqarah [2]: 222) Tobat menghasilkan kesehatan mental, sedangkan kebersihan lahiriah menghasilkan kesehatan fisik. Wahyu kedua (atau ketiga) yang diterima Nabi Muhammad Saw. adalah: 5)
(4)
Terjemah: Dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah (QS al-Muddatstsir [74]: 4-5). Perintah tersebut berbarengan dengan perintah menyampaikan ajaran agama dan membesarkan nama Allah Swt. Terdapat hadis yang amat populer tentang kebersihan yang berbunyi:
Terjemah: Kebersihan adalah bagian dari iman. Hadis ini dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadis dha’if. Kendati begitu, terdapat sekian banyak hadis lain yang mendukung makna tersebut, seperti sabda Nabi Saw.:
Terjemah: Iman, terdiri dan tujuh puluh atau enam puluh cabang, puncaknya adalah ucapan “Tiada Tuhan selain Allah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dan jalan, dan malu itu adalah sebagian dari iman” (Hadis Riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah). Perintah menutup hidangan, mencuci tangan sebelum makan, bersikat gigi, larangan bernafas sambil minum, tidak kencing atau buang air di tempat yang tidak mengalir atau di bawah pohon, adalah contoh-contoh praktis dari sekian banyak tuntunan Islam dalam konteks menjaga kesehatan. Bahkan sebelum dunia mengenal ‘karantina’, Nabi Muhammad Saw. telah menetapkan dalam salah satu sabdanya,
)
Terjemah: Apabila kalian mendengar adanya wabah di suatu daerah, janganlah mengunjungi daerah itu, tetapi apabila kalian berada di daerah itu, janganlah meninggalkannya. (Hadis Riwayat alBukhari dari Usamah bin Zaid) Ditemukan juga peringatan bahwa perut merupakan sumber utama penyakit: Al-Mâ’idât Bait Addâ’. Dan karena itu, ditemukan banyak sekali tuntutan — baik dari al-Quran maupun hadis Nabi Saw. — yang berkaitan dengan makanan, jenis maupun kadarnya. Al-Quran juga mengingatkan:
Terjemah: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS al-A’râf [7]: 31) Penjabaran peringatan itu dijelaskan oleh Rasulullah Saw. dengan sabdanya:
Terjemah: Dari Miqdam bin Ma’di Kariba, dia berkata bahwa dia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada sesuatu yang dipenuhkan oleh putra putri Adam lebih buruk daripada perut. Cukuplah bagi putra Adam beberapa suap yang dapat menegakkan tubuhnya. Kalaupun harus dipenuhkan, maka sepertiga untuk makanannya, seperti lagi untuk minumannya, dan sepertiga sisanya untuk pernafasannya (Hadis Riwayat at-Tirmidzi). Perlu pula digarisbawahi bahwa sebagian pakar, baik agamawan maupun ilmuwan, berpendapat bahwa jenis makanan dapat mempengaruhi mental manusia. Al-Harali (wafat 1232 M.) menyimpulkan hal tersebut setelah membaca firman Allah yang mengharamkan makanan dan minuman tertentu karena makanan dan minuman tersebut rijs.
Terjemah: Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi — karena sesungguhnya semua itu kotor — atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-An’âm [6]: 145).
Kata rijs diartikan sebagai keburukan budi pekerti atau kebobrokan mental. Pendapat serupa dikemukakan antara lain oleh seorang ulama kontemporer Syaikh Taqi Falsafi dalam bukunya Child Between Heredity and Education, yang mengutip pendapat Alexis Carrel dalam bukunya Man the Unknown. Carrel, peraih hadiah Nobel bidang kedokteran ini, menulis bahwa pengaruh campuran kimiawi yang dikandung oleh makanan terhadap aktivitas jiwa dan pikiran manusia belum diketahui secara sempurna, karena belum diadakan eksperimen dalam waktu yang memadai. Namun tidak dapat diragukan bahwa perasaan manusia dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas makanan. Para ulama sering mengaitkan penyakit dengan siksa Allah. Dalam hal ini, al-Biqa’i dalam tafsirnya mengenai surah al-Fatihah, mengemukakan sabda Nabi Saw.:
Terjemah: Penyakit adalah cambuk Tuhan di bumi ini, dengannya Dia (Allah) mendidik hamba-hamba Nya. Pendapat ini didukung oleh kandungan pengertian takwa yang pada dasarnya berarti menghindar dari siksa Allah di dunia dan di akhirat. Siksa Allah di dunia, adalah akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum alam. Hukum alam antara lain membuktikan bahwa makanan yang kotor mengakibatkan penyakit. Seorang yang makan makanan kotor pada hakikatnya melanggar perintah Tuhan, sehingga penyakit merupakan siksa-Nya di dunia yang harus dihindari oleh orang yang bertakwa. Dari sini dapat dimengerti bahwa Islam memerintahkan agar berobat pada saat ditimpa penyakit.
Terjemah: Berobatlah, karena tiada satu penyakit yang diturunkan Allah, kecuali diturunkan pula obat penangkalnya, selain dari satu penyakit, yaitu ketuaan (Hadis Riwayat Abu Dawud dan atTirmidzi dari — sahabat Nabi — Usamah bin Syuraik). Bahkan seandainya tidak ada perintah rinci dari hadis tentang keharusan berobat, maka prinsip- prinsip pokok yang diangkat dari al-Quran dan Hadis cukup untuk dijadikan dasar dalam upaya kesehatan dan pengobatan. Sebagai contoh dapat dikemukakan persoalan transplantasi, baik dari donor hidup maupun donor yang telah meninggal dunia. Beberapa prinsip dan kesepakatan dalam bidang hukum agama yang berkaitan dengan topik bahasan ini dapat membantu menemukan pandangan Islam dalam persoalan dimaksud. Prinsip-prinsip dimaksud antara 1ain adalah: Agama Islam bertujuan memelihara agama, jiwa, akal, kesehatan, dan harta benda umat manusia. Anggota badan dan jiwa manusia merupakan milik Allah yang dianugerahkan-Nya untuk dimanfaatkan, bukan untuk disalahgunakan atau diperjualbelikan.
Penghormatan dan hak-hak asasi yang dianugerahkan-Nya mencakup seluruh manusia, tanpa membedakan ras atau agama. Terlarang merendahkan derajat manusia, baik yang hidup, maupun yang telah wafat. Jika bertentangan kepentingan antara orang yang hidup dan orang yang telah wafat, maka dahulukanlah kepentingan orang yang hidup. Dari prinsip-prinsip ini banyak ulama kontemporer menetapkan bahwa “transplantasi” dapat dibenarkan selama tidak diperjualbelikan, dan selama kehormatan manusia — yang hidup maupun yang mati – terjaga sepenuhnya. Salah satu jaminan tidak adanya pelecehan adalah izin dan pihak keluarga. Alasan penolakan yang sering terdengar dari kalangan orang kebanyakan (awam) bahwa setelah si penerima donor sehat, ia mungkin dapat menyalahgunakan kesehatannya, dan ini dapat mengakibatkan dosa, terutama bagi “pemilik” organ (jenazah), atau orang yang mengizinkan. Alasan ini, pada hakikatnya tidak sepenuhnya dapat diterima. Kemurahan dan keadilan Tuhan mengantar-Nya untuk tidak menuntut pertanggungjawaban dari seseorang terhadap sesuatu yang tidak dikerjakannya secara sadar, karena hakikat manusia bukan organ dan jasmaninya:
Terjemah: Allah tidak memandang kepada rupa dan hartamu, tetapi memandang hati dan perbuatanmu. (Hadis Riwayat Muslim dari Abu Hurairah) Demikian sabda Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan oleh Muslim. Di samping itu, izin yang diharuskan itu, telah dapat mengurangi kalau enggan berkata “menghilangkan” kekhawatiran di atas. Kalau niat pemberi izin untuk membantu sesama manusia, dan dia menduga keras bahwa bantuan tersebut tidak akan disalahgunakan, maka kalaupun ternyata dugaannya keliru, maka ia bebas dari dosa. Sebaliknya, jika yang memberi izin sudah menduga keras akan terjadinya penyalahgunaan, maka tentu saja ia tidak terbebaskan dari dosa. Di sini terlihat pula peranan izin. Dapat ditambahkan bahwa al-Quran menegaskan:
Terjemah: Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolaholah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas,
kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi. (QS al-Maidah [5]: 32). “Menghidupkan” di sini bukan saja yang berarti “memelihara kehidupan”, tetapi juga dapat mencakup upaya “memperpanjang harapan hidup” dengan cara apa pun yang tidak melanggar hukum. Demikian, satu contoh, bagaimana ayat-ayat al-Quran dipahami dalam konteks peristiwa paling mutakhir dalam bidang kesehatan. Namun dalam ajaran Islam juga ditekankan bahwa obat dan upaya hanyalah “sebab”, sedangkan penyebab sesungguhnya di balik sebab atau upaya itu adalah Allah Swt., seperti ucapan Nabi Ibrahim a.s. yang diabadikan al-Quran dalam QS al-Syu’arâ’ [26]: 80,
Terjemah: Apabila aku sakit, Dia (Allah) lah yang menyembuhkanku. KESEHATAN MENTAL Nabi Saw. juga mengisyaratkan bahwa ada keluhan fisik yang terjadi karena gangguan mental. Seseorang datang mengeluhkan penyakit perut yang diderita saudaranya setelah diberi obat berkali-kali, tetapi tidak kunjung sembuh dinyatakan oleh Nabi Saw: :
Terjemah: Dari Abu Said al-Khudri r.a katanya: Ada seorang lelaki datang kepada Nabi s.a.w lalu berkata: Saudaraku terasa mual-mual perutnya. Rasulullah s.a.w. bersabda: Berilah beliau [minum] madu! Setelah lelaki itu memberikan madu kepada saudaranya, beliau datang lagi kepada Nabi s.a.w. dan menyatakan: Aku telah memberinya [minum] madu, tetapi perut beliau bertambah memulas. Kejadian itu berulang sehingga tiga kali. Pada kali yang keempat, Rasulullah s.a.w. bersabda: Berilah beliau [minum] madu! Lelaki tersebut masih lagi menyatakan: Aku benar-benar telah memberinya [minum] madu, tetapi perut beliau bertambah mulas. Maka Rasulullah s.a.w. bersabda: Maha benar Allah yang telah berfirman: Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalam minuman itu terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Oleh sebab itu, mungkin ada yang tidak sesuai dengan perut saudaramu itu. Akhirnya Rasulullah s.a.w. sendiri yang memberikan minum madu, dan sembuhlah saudara lelaki itu. (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim) Al-Quran al-Karim memang banyak berbicara tentang penyakit jiwa. Mereka yang lemah iman dinilai oleh al-Quran sebagai orang yang memiliki penyakit di dalam dadanya.
Dari hadis-hadis Nabi diperoleh petunjuk, bahwa sebagian kompleks kejiwaan tercipta pada saat janin masih berada di perut ibu, atau bahkan pada saat hubungan seks (pertemuan sperma dan ovum), demikian juga ketika bayi masih dalam buaian. Karena itu, Islam memerintahkan kepada para ibu dan bapak agar menciptakan suasana tenang, dan mengamalkan ajaran agama pada saat bayi berada dalam kandungan, sebagaimana memerintahkan kepada para orang-tua untuk memperlakukan anak-anak mereka secara wajar. Dalam suatu riwayat diungkapkan ada seorang anak yang sedang digendong, kemudian ‘pipis’ [kencing] membasahi pakaian Nabi. Ibunya merenggut bayi tersebut dengan kasar. Namun Nabi [lalu] menegurnya, dengan bersabda:
Terjemah: Jangan hentikan pipisnya, jangan renggut dia dengan kasar. Pakaian ini dapat dibersihkan dengan air, tetapi apa yang dapat menjernihkan hati sang anak (yang engkau renggut dengan kasar)? Seperti diungkapkan oleh beberapa pakar ilmu jiwa, bahwa sebagian kompleksitas gejala sakit kejiwaan yang diderita orang dewasa, dapat diketahui penyebab utamanya adalah pada perlakuan yang diterimanya sebelum dewasa. Agaknya kita dapat menyimpulkan bahwa pandangan Islam tentang penyakit-penyakit mental mencakup banyak hal, yang boleh jadi tidak dijangkau oleh pandangan ilmu kesehatan modern. Dalam al-Quran tidak kurang sebelas kali disebut istilah fî qulûbihim maradh. Kata qalb atau qulûb dipahami dalam dua makna, yaitu “akal dan hati.” Sedang kata maradh biasa diartikan sebagai penyakit. Secara rinci pakar bahasa – Ibnu Faris – mendefinisikan kata tersebut sebagai “segala sesuatu yang mengakibatkan manusia melampaui batas keseimbangan/ kewajaran dan mengantar kepada terganggunya fisik, mental, bahkan kepada tidak sempurnanya amal seseorang.” Terlampauinya batas kesimbangan tersebut dapat berbentuk gerak ke arah berlebihan, dan dapat pula ke arah kekurangan. Dari sini dapat dikatakan bahwa al-Quran memperkenalkan adanya penyakit-penyakit yang menimpa hati dan yang menimpa akal. Penyakit-penyakit akal yang disebabkan bentuk berlebihan adalah semacam kelicikan, sedangkan yang bentuknya karena kekurangan adalah ketidaktahuan akibat kurangnya pendidikan. Ketidaktahuan ini dapat bersifat tunggal maupun ganda. Seseorang yang tidak tahu serta tidak menyadari ketidaktahuannya pada hakikatnya menderita penyakit akal-ganda (jâhil murakkab).
Penyakit akal berupa ketidaktahuan mengantarkan penderitanya pada keraguan dan kebimbangan. Penyakit-penyakit kejiwaan pun beraneka ragam dan bertingkattingkat. Sikap angkuh, benci, dendam, fanatisme, loba, dan kikir yang antara lain disebabkan karena bentuk keberlebihan seseorang. Sedangkan rasa takut, cemas, pesimisme, rendah diri dan lain-lain adalah karena kekurangannya. Yang akan memperoleh keberuntungan di hari kemudian adalah mereka yang terbebas dari penyakit-penyakit tersebut, seperti bunyi firman Allah dalam QS al-Syu’arâ’ [26]: 88-89, 89)
(88)
)
Terjemah: (Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. Islam mendorong manusia, agar memiliki hati (qalb) yang sehat dari segala macam penyakit adalah dengan jalan bertobat, dan mendekatkan diri kepada Tuhan (Allah). Karena itulah Allah berfirman:
Terjemah: (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS al-Ra’d [13]: 28). Itulah sebagian tuntunan al-Quran dan Sunnah Nabi Saw. tentang kesehatan. (Disadur dan dimodifikasai dari tulisan M. Quraish Shihab dalam buku Wawasan al-Quraan untuk kepentingan diskusi pada PSIK-UM Yogyakarta)
Kesehatan menurut pandangan Islam
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al Maa’idah, 5: 3).
Islam memiliki perbedaan yang nyata dengan agama-agama lain di muka bumi ini. Islam sebagai agama yang sempurna tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Sang Khaliknya dan alam syurga, namun Islam memiliki aturan dan tuntunan yang bersifat komprehensif1, harmonis, jelas dan logis. Salah satu kelebihan Islam yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah perihal perspektif Islam dalam mengajarkan kesehatan bagi individu maupun masyarakat. “Kesehatan merupakan salah satu hak bagi tubuh manusia” demikian sabda Nabi Muhammad SAW. Karena kesehatan merupakan hak asasi manusia, sesuatu yang sesuai dengan fitrah manusia, maka Islam menegaskan perlunya istiqomah memantapkan dirinya dengan menegakkan agama Islam. Satu-satunya jalan dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Allah berfirman: ”Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh-penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk dan rahmat bagi orang-orangnya yang beriman” (QS:Yunus 57).
Sehat menurut batasan World Health Organization adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Tujuan Islam mengajarkan hidup yang bersih dan sehat adalah menciptakan individu dan masyarakat yang sehat jasmani, rokhani, dan sosial sehingga umat manusia mampu menjadi umat yang pilihan.
A.Kebersihan, membersihkan dan menyucikan diri 1. Tubuh: Islam memerintahkan mandi bagi umatnya karena 23 alasan dimana 7 alasan merupakan mandi wajib dan 16 alasan lainnya bersifat sunah. 2. Tangan: Nabi Muhammad SAW bersabda: “Cucilah kedua tanganmu sebelum dan sesudah makan “, dan ” Cucilah kedua tanganmu setelah bangun tidur. Tidak seorang pun tahu dimana tangannya berada di saat tidur.” 3. Islam memerintahkan kita untuk mengenakan pakaian yang bersih dan rapi. 4. Makanan dan minuman: Lindungilah makanan dari debu dan serangga, Rasulullah SAW sersabda: “Tutuplah bejana air dan tempat minummu ” 5. Rumah: “Bersihkanlah rumah dan halaman rumahmu” sebagaimana dianjurkan untuk menjaga kebersihan dan keamanan jalan: “Menyingkirkan duri dari jalan adalah ibadah.” 6. Perlindungan sumber air, misalnya sumur, sungai dan pantai. Rasulullah melarang umatnya buang kotoran di tempat-tempat sembarangan.
Perintah-perintah Rasulullah SAW tersebut di atas memiliki makna bahwa kita harus menjaga kebersihan dan kesehatan agar terhindar dari berbagai infeksi saluran pencernaan.
B.Penanggulangan dan penanganan epidemi penyakit 1. Karantina penyakit: Nabi Muhammad SAW bersabda: “Jauhkanlah dirimu sejauh satu atau dua tombak dari orang yang berpenyakit lepra ” 2. Islam juga mengajarkan prinsip-prinsip dasar penanganan dan penanggulangan berbagai penyakit infeksi yang membahayakan masyarakat (misalnya wabah kolera dan cacar), “Janganlah engkau masuk ke dalam suatu daerah yang sedang terjangkit wabah, dan bila dirimu berada di dalamnya janganlah pergi meninggalkannya.” 3. Islam menganjurkan umatnya melakukan upaya proteksi diri (ikhtiar) dari berbagai penyakit infeksi, misalnya dengan imunisasi.
C. Makanan 1. Makanan yang diharamkan. Firman Allah SWT :
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. 2. Al Baqarah, 2:173 )
Setiap makanan yang dilarang di dalam Al Quran ternyata saat ini memiliki argumentasi ilmiah yang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan. Makanan yang diharamkan dapat mengganggu kesehatan manusia, baik pengaruh buruk bagi kesehatan (kolesterol, racun) maupun mengandung berbagai penyakit yang membahayakan tubuh (Trichina, Salmonella, cacing pita, dll.). 2. Makanan sehat dan halal: Islam memerintahkan umatnya untuk makan makanan yang baik dan
halal, misalnya daging, ikan, madu dan susu. Makanan-makanan yang baik dan halal bermanfaat bagi tubuh. Islam menolak paham vegetarian. Pola konsumsi yang hanya tergantung pada jenis sayuran belaka tidak sehat bagi tubuh karena kebutuhan protein tidak dapat tercukupi hanya dari konsumsi sayuran saja. 3. Menjaga perilaku muslim ketika makan: Islam menegaskan kepada orang muslim untuk menjaga etika ketika makan. Allah memerintahkan kita untuk makan tidak berlebih-lebihan sedangkan Rasulullah SAW mengatakan bahwa “perut adalah seburukburuk tempat untuk diisi”. Sebagian besar penyakit bersumber dari perut. Oleh karenanya Maha Benar Allah SWT dalam Firman-Nya :
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi”. (QS 4. An Nisaa’ : 79)
D. Olahraga Islam menegaskan pentingnya olahraga untuk menciptakan generasi Rabbani yang kuat dan sehat. Oleh karenanya, Islam mengajarkan setiap muslim untuk mengajarkan anak-anaknya bagaimana cara memanah, berenang, dan berkuda.
E. Kesehatan seksual Kehidupan seksual merupakan pokok bahasan yang sangat penting bagi orang muslim, karena sangat berpengaruh bagi kesehatan dan perilaku manusia, namun Islam menolak pendapat ilmuwan yang menekankan perilaku seksual sebagai motif utama seseorang untuk bertindak. 1. Pendidikan seksual 2. Islam mengajarkan kepada umat Islam, untuk memilih calon pasangan hidup yang baik dan berakhlaq mulia. 3. Islam mengajarkan tata krama (adab) menggauli pasangannya agar mencapai kebahagiaan dalam membina keluarga yang sakinah dan rahmah. 4. Islam sangat melarang perilaku berhubungan seks dengan sesama jenis dan binatang. 5. Disunahkan untuk sirkumsisi (sunat) bagi laki-laki 6. Islam membolehkan kaum pria untuk berpoligami untuk menghindari perzinahan, namun dengan syarat-syarat tertentu . 7. Menjaga kebersihan dan kesucian organ-organ seksualitas, misalnya bersuci setelah buang air besar dan buang air kecil, larangan berhubungan seksual ketika istri sedang haid, berhubungan badan melalui dubur dan membersihkan alat kelamin setelah berhubungan badan dan setelah selesai datang bulan.
F. Kesehatan jiwa Islam memberikan jawaban bagi kehausan jiwa manusia terhadap ketenangan batin. Kesehatan jiwa mempengaruhi kesehatan badan.
G. Puasa
Puasa, bagian dari ibadah yang harus dilaksanakan oleh umat Islam dalam menegakkan agama, sesudah pernyataan imannya. Konsekuensi beriman antara lain melaksanakan perintah puasa. Betapa pentingnya berpuasa sehingga Allah menempatkan posisi hamba-Nya yang berpuasa dengan posisi yang istimewa. ”Puasa itu untuk-Ku. Tidak ada yang tahu. Dan Aku akan memberi pahala semau-Ku.” Keistimewaan itu sudah barang tentu ada tujuan Allah agar mendapatkan hikmah pada dirinya, yaitu kesehatan dan sekaligus kebahagiaan. Janji Allah diberikan kepada orang yang berpuasa ditegaskan dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Suny dan Abu Nu’aim: ”Berpuasalah maka anda akan sehat.” Dengan berpuasa akan sehat jasmani, rohani dan hubungan sosial.
1. Manfaat bagi Kesehatan Badan (jasmani). Tidak seorang pun ahli medis baik muslim maupun non muslim yang meragukan manfaat puasa bagi kesehatan manusia. Dalam buku yang berjudul ”Pemeliharaan Kesehatan dalam Islam” oleh Dr Mahmud Ahmad Najib (Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas AinSyams Mesir), ditegaskan puasa sangat berguna bagi kesehatan. Antara lain: •
•
Puasa memperkecil sirkulasi darah sebagai perimbangan untuk mencegah keluarnya keringat dan uap melalui pori-pori kulit serta saluran kencing tanpa perlu menggantinya. Menurutnya curah jantung dalam mendistribusikan darah keseluruh pembuluh darah akan membuat sirkulasi darah menurun. Dan ini memberi kesempatan otot jantung untuk beristirahat, setelah bekerja keras satu tahun lamanya. Puasa akan memberi kesempatan pada jantung untuk memperbaiki vitalitas dan kekuatan sel-selnya. Puasa memberi kesempatan kepada alat-alat pencernaan untuk beristirahat setelah bekerja keras sepanjang tahun. Lambung dan usus beristirahat selama beberapa jam dari kegiatannya, sekaligus memberi kesempatan untuk menyembuhkan infeksi dan luka yang ada sehingga dapat menutup rapat. Proses penyerapan makanan juga berhenti sehingga asam amoniak, glukosa dan garam tidak masuk ke usus. Dengan demikian sel-sel usus tidak mampu lagi membuat komposisi glikogen, protein dan kolesterol. Disamping dari segi makanan, dari segi gerak (olah raga), dalam bulan puasa banyak sekali gerakan yang dilakukan terutama lewat pergi ibadah.
2. Manfaat bagi Kesehatan Rohani (Mental). Perasaan (mental) memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Mendapat rasa senang, gembira, rasa puas serta bahagia, merupakan tujuan bermacam-macam ikhtiar manusia sehari-hari. Bila seseorang menangani gangguan kesehatan, tidak boleh hanya memperhatikan gangguan badaniah saja, tetapi sekaligus segi kejiwaan dan sosial budayanya. Rohani datang dari Allah, maka kebahagiaan hanya akan didapat apabila makin dekat kepada pencipta-Nya. Di dalam bulan puasa disunahkan untuk makin berdekat diri dengan Allah SWT baik lewat shalat, membaca Alquran, zikir, berdoa, istighfar, dan qiyamul lail. Selama sebulan secara terus-menerus akan membuat rohani makin sehat, jiwa makin tenang. Dengan memperbanyak ingat kepada Allah, makin yakin bahwa semua yang ada datang dari Allah dan akan kembali kepada-Nya jua. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah antara lain:
”Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS:Al Baqarah 45). ”Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Alquran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim kecuali merugi.” (QS:Al-Isra’ 82) ”Orang-orang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS:Ar-Ra’d 28). ”Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.”(QS:Al Fajr 27-30).
3. Manfaat Puasa bagi hubungan sosial. Dalam mengajarkan nilai ibadah itu adalah terwujudnya keseimbangan antara cinta kepada Allah dan cinta kepada manusia. Demikian juga nilai ibadah puasa, tidak hanya terjalinnya hubungan yang semakin dekat kepada Allah, tetapi juga semakin dekat dengan sesamanya. Makin seringnya beribadah bersama, bersama keluarga, tetangga, dan masyarakat sekeliling, maka makin kenal akan sesamanya, makin menyadari kebutuhan hidup bermasyarakat. Makin timbul keinginan berbagi rahmat bersama-sama di dunia dan makin ingin bersamasama masuk surga. Pahala nilai shodaqoh berlipat ganda termasuk memberi buka puasa kepada orang yang berpuasa. Menyakiti hati orang lain dan aneka gangguan terhadap sesamanya sangat dianjurkan untuk ditinggalkan. Kalau tidak maka nilai puasa seseorang sangatlah rendah. Hal ini dijelaskan di dalam firman Allah SWT: ”Hai orang-orang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rizki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab, dan tidak ada lagi syafa’at. Dan oang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.”(QS:Al Baqarah 254) “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.”(QS:Al Hujurat 10) ”Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada syurga yang luasnya langit dan bumi dan disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang bebuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila melakukan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.”(QS Al Imran 133-135). Wallahualam
Pandangan Islam tentang kesehatan (bag 1) Posted on January 13, 2012 by danusiri
Oleh: M.Danusiri Tujuan Umum Pembelajaran Setelah membaca dan mengikuti pembelajaran bab ini Mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan pandangan Islam tentang kesehatan. Tujuan khusus Pembelajaran Setelah membaca dan mengikuti pembelajaran bab ini Mahasiswa diharapkan dapat: 1. Menjelaskan pengertian sehat 2. Menjelaskan dan dapat mengusahakan dirinya agar sehat secara jasmani. 3. Menjelaskan dan dapat mengusahakan dirinya agar sehat secara rohani 4. Menjelaskan dan dapat mengusahakan dirinya agar sehat jamani dan rohani A. Pengertian Sehat Kata ‘sehat’ merupakan indonesianisasi dari bahasa Arab ash-shihhah dan berarti sembuh, sehat, selamat dari cela, nyata, benar, dan sesuai dengan kenyataan (Warson, [t.th.]:817). Kata ‘sehat’ dapat diartikan pula: (1) dalam keadaan baik segenap badan serta bagian bagiannya (bebas dari sakit), waras, (2) mendatangkan kebaikan pada badan, (3) sembuh dari sakit (Kamus Besar, 1990:794). Dalam bahasa Arab terdapat sinonim dari kata ash-shihhah yaitu al-‘afiah yang berarti ashshihhah at-tammah (sehat yang sempurna – Warson [t.th.]:1021).Kadang-kadang kedua kata itu digabung menjadi satu ash-shihhah wa al’afiah, diindonesiakan menjadi ‘sehat wal afiat’ dan artinya sehat secara sempurna. Dalam kaitan dengan ilmu kesehatan maupun ilmu keperawatan, yang dimaksudkan dengan kata sehat adalah seluruh tubuh (termasuk anggota badan) dalam keadaan baik berfungsi sebagaimana adanya. Kaki dikatakan sehat manakala kaki itu berfungsi secara penuh dan tidak ada sama sekali disfungsi baginya sedikitpun di samping tidak merasa sakit (warson, [t.th.]:1420 Tidak ada satu kata pun di dalam Alquran menyebutkan kata ash-shihhah dan al’afiah, tetapi Alquran menyebutkan perkataan syifa’ yang berarti kesembuhan (dari sakit), dan pengobatan (menuju kesembuhan dari keadaan sakit). Kata syifa’ disebut tiga kali dalam Alquran, yaitu surat Yunus ayat 57, surat al-Isra; ayat 80, dan surat Fushilat ayat 69. Disebutkan bahwa di samping sebagai petunjuk Alquran juga dinyatakan sebagai obat yang menyembuhkan. Allah berfirman: Artinya: Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi obat (penawar) dan rahmat bagi orangorang yang beriman, dan Alquran itu tidaklah menambah kepada orang-orang zalim selain kerugian (Q.S. al-Isra’/17:82). Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Alquran sebagai penyembuh hanya kepada orang yang beriman secara Islam. Non muslim dikategorikan sebagai orang-orang lalim, otomatis tidak sehat. Dengan demikian, yang dimaksud sehat atau sakit dalam ayat ini bersifat rohaniah. Secara fisik orang dikatakan sehat tetapi secara rohaniah belum tentu dikatakan sehat. Ukuran sehat atau sakit terletak pada ‘iman’ secara Islam. Tipologi kesehatan yang demikian ini secara lebih eksplisit, yaitu penyakit hati, kata lain dari rohani, disebutkan kembali dalam ayat berikut:
Artinya: Wahai manusia ! sungguh telah datang kepadamu pelajaran (Alquran) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman (Q.S. Yunus/10:57). Selanjutnya, Alquran memberi petunjuk bahwa madu lebah mengandung obat. Allah berfirman: Artinya: Kemudian makanlah dari segala (macam) buah-buahan lalu tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah memudahkan (bagimu) dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacammacam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berpikir (Q.S. an-Nahl/16:69) Dari ayat ini dapat diambil pengertian bahwa kata syifa’ mengandung pengertian general (jami’-mani’), yaitu ‘sehat’ secara umum, bisa sehat secara jasmani maupun sehat secara rohani. Justifikasi ‘sehat’ dari ayat itu bukan hanya orang beriman secara islami, melainkan manusia secara umum tanpa memandang keimanan seseorang. Rasionalitas dari ayat ini Alquran bisa dijadikan penyembuh dari sakit jasmani maupun rohani, orang beriman maupun orang tidak beriman. Atas dasar iman yang mantab terhadap firman Allah bisa irumuskan teori dasar (grand theory) bahwa ‘Alquran adalah penyembuh dari sakit manusia’. Dari rumusan teori yang bersifat universal ini kemudian dioperasionalkan oleh Rasulullah, bahwa setiap sakit itu ada obatnya. Teknis pengobatannya bermacam-macam antara lain sebagaimana disebutkan dalam hadis berikut:: , : : , , , , , Artinya: Hadis dari Jabir bin Abdillah, semoga Allah meridai keduanya, ia berkata: Aku telah mendengar Nabi saw bersabda: jika telah ada sesuatu dari obatmu, atau akan ada sesuatu dalam obatmu itu kebaikan, maka canduk (bekam), atau minum madu atau membakar besi dengan api kemudian ditusukkan pada penyakitnya, dan aku tidak suka kei (membakar besi kemudian ditusukkan pada yang sakit – HR. Muttafaqun ‘alaih). Segala sesuatu pasti ada pengecualiannya, kecuali yang Maha Mutlak. Pengecualian bahwa ‘semua sakit pasti bisa disembuhkan’ sebagaimana dikatakan dalam firman Allah QS. An Nahl/16:69 ini adalah sabda Rasul sebagaimana disebutkan dalam hadis berikut: : , . . Artinya: Abu Hurairah mendengar dari Rasulullahsaw bersabda: di dalam jintan hitam itu terkandung obat dari berbagai penyakit kecuali maut. (HR. Muttafaqun ‘alaih). ‘Mati’ sebagaimana dikatakan dalam hadis di atas adalah pengecualian dari sakit. Mati memang kodrat ilahi. Dia lah yang menghidupkan, yang mematikan. Dengan demikian, jika Allah menghendaki seseorang harus mati, sementara ia sakit, diobati dengan apa, oleh siapa, dan dengan cara apa pun pasti tidak bisa sembuh. Jadi Allah juga yang membuat pengecualian bahwa setiap sakit ada obatnya, dan pengecualiannya adalah maut. Dalam pernyataan yang bernada anomali oleh Rasulullah harus dipahami bahwa Rasulullah hanya menyatakannya mengenai kemutlakan Allah dalam hal mematikan dan menghidupkan
makhluk, bukan beliau yang mematikan dan menghidupkannya. Dalam hal mengusahakan kesembuhan dari sakit, Rasulullah memberikan penjelasan dengan berbagai macam cara. Dari hadis Jabir, sebagaimana telah dikutip, menunjukkan tiga hal untuk mencapai kesehatan dari keadaan sakit, yaitu bekam, mengonsumsi madu, dan kei. Beliau juga menjelaskan cara lain untuk berobat dari sakit, yaitu ruqiyah (secara teknis diterjemahkan jampi atau mantra). Beliau menggunakan surat al-muta’wwizat (surat al-Ikhlas, surat al-Falaq, dan surat an-Na>s) kemudian meludahi – gerakan meludah tetapi tidak keluar air ludahnya - bagian yang sakit. Ketika sakitnya itu semakin berat, aku yang membacakan untuknya dan aku yang mengusapkan dengan tangannya pada bagian yang sakit dengan mengharapkan berkahnya (al-mu’awwiza>t – HR. Muttafaqun ‘alaih). Surat al-Fatihah juga dapat dijadikan sebagai sarana penyembuhan sakit melalui teknik ruqiyah, yaitu surat itu dibaca, dalam batin memohon kesembuhan dari Allah terhadap sakit si pasien, kemudian ditiupkan kepada pasien. Dikisahkan bahwa seseorang mendatangi kepada rombongan Nabi meminta untuk meruqyah temannya karena telah diruqiyah dari kaumnya sendiri dan belum sembuh. Salah seorang sahabat Nabi menyanggupinya untuk meruqiyah setelah mendapat restu dari beliau dan telah disepakati upahnya. Seseorang dari sahabat Nabi tadi meruqiyahnya dengan membaca surat al-Fatihah untuknya sesuai dengan petunjuk Rasul. Setelah diruqiyah, pasien sembuh. Upah pun diberikan. Sahabat segera akan membagi daging kambing itu, tetapi pelaku ruqiyah melarangnya, untuk lapor dulu kepada Rasulullah. Selanjutnya mereka lapor kepada beliau, lalu Rasulullah, sambil tertawa, mengisyaratkan dengan menepuk-nepukkan panah ke tanah untuk dibagi-bagi kepada masing-masing sahabat. (H.R. al-Bukhari,VII, [t.th.]:22-23). Hanya saja perlu hati-hati menggunakan ruqiyah karena banyak jenis ruqiyah yang termasuk syirik. Ruqiyah menurut tuntunan Rasulullah bukan mantra dan guna-guna melainkan doa (permohonan sepenuhnya) kepada Allah. Salah satu kandungan inti surat al-Fatihah bagi manusia adalah memohon supaya dikaruniai keberuntungan dan kenikmatan. Hal ini terungkap dalam ungkapan “Iyyaka nasta’i>n” (Hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan). Inti kandungan seluruh ayat dalam surat al-Falaq adalah permohonan supaya diselamatkan dari daya magis yang merusakkan (black magic) dan orang atau siapa saja yang mendengki (jin, syetan, dan manusia). Kandungan inti surat an-Nas adalah permohonan supaya terhindar dari godaan setan dan supaya dalam berusaha, salah satunya berdoa diberi kemantaban yang prima. Ketika Rasulullah besuk kepada salah satu anggota keluarganya, beliau menempelkan telapak tangannya ke tubuh si sakit lalu menyapukan tangan kanannya itu ke tubuh pasien dan berdoa: Ya Allah, Tuhan para manusia, aku mohon hilangkan penyakit; sembuhkan dia karena Engkau adalah Penyembuh. Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu yang tiada penghalang bagi si sakit (untuk sembuh) – H.R. al-Bukhari dari ‘Aisyah (al-Bukhari,VII, [t.th.]:24). Dari peristiwa aksi Nabi Muhammad saw ada kesamaan antara doa dan ruqiyah, di samping ada perbedaannya. Doa murni tidak mengharapkan datangnya magical power umpama doa (mohon) ampunan atas dosa dan kesalahan: “Allahummagffir zunuby”( Ya Allah, ampunilah
dosa-dosaku ), Rabbanaghfir lana> wali ikhwanina>-llazi>na sabaquna> bil ima>n (Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam beriman). Sementara itu, doa ruqiyah mengharapkan datangnya magical power, sesuatu yang konkrit, spontan, dan biasanya sesuatu itu lalu benar-benar terjadi, irrasional. Ketika akan berangkat perang Khaibar, Nabi mengusap mata Ali yang ketika itu sedang sakit, seketika itu Ali sembuh dari sakit mata, kemudian ia diangkat untuk memimpin perang Khaibar tersebut dan hasilnya memperoleh kemanangan yang gilang-gemilang (al-Bukhari, [t.th.],IV:79 ). Adapun doa yang berbeda sama sekali dengan ruqiyah (mantra), Rasulullah tidak pernah melakukan. Apa yang disebut ruqiyah. Pada diri Nabi secara hakiki adalah doa yang memperoleh ijabah dari-Nya lantaran begitu dekatnya beliau dengan Allah. Ruqiyah yang berasal dari selain Rasulullah sering mendatangkan syirik. Contohnya adalah mantra atau guna-guna murni (tanpa ada hubungannya dengan doa) mengobati anak sakit panas, menangis terus tanpa ada air mata yang keluar, dan pandangan mata kosong, biasanya menghadap ke atas, yang secara umum dikatakan terkena jin atau kesurupan adalah sebagai berikut: “Kiyai tempel, Nyai tempel, ojo nempel marang si jabang bayi Sumarno, nempelo marang kukusan amoh ! ketiban idu putih sirno tanpo sarono ! (Kiyai tempel dan Nyai tempel, janganlah kamu menempel kepada si anak Sumarno, menempellah kamu kepada tempat penanak nasi. Terkena ludah putih hilang sirna tanpa perantara). Terkadang bentuk ruqiyah itu dicampur dengan kalamu-llah dan orang yang berpraktik pengobatan alternatif merasa yakin tindakannya itu benar secara syar’i (secara agama) sehingga jika kita tidak berhati-hati juga jatuh ke dalam praktik yang sebenarnya tidak benar. Contohnya mengobati istri atau dirinya tetap berhubungan aktif tetapi tidak membuahkan keturunan (KB mencegah kelahiran paska senggama) dengan mantra sebagai berikut: Ri, Thiri kedadean soko banyu mani, mati, mati, mati saking kersane Gusti Allah, La ilaha illallah Muhammadarra-Rasulu-llah (Ri, Thiri, kejadian dari air mani mati, mati, mati karena kehendak Allah, tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad utusan Allah).dalam teks lain lebih vulgar berbunyi demikian: Ri thiri, si jabang bayi kedadean soko banyu peli, mati mati, mati saking kersaning Gusti Allah, la ilaha illallah Muhammadarrasulullah”. Kata ‘peli’ berarti penis. Dalam ungkapan Jawa, kata itu sudah termasuk ‘saru’, yaitu porno. Mantra ini diucapkan tiga kali tanpa bernafas dan diucapkan sesudah orgasmus. Mantra ini jelas menyimpang jika ditinjau dari segi aqidah Islamiyyah karena (1) menyumpahi makhluk Allah sementara makhluk itu tidak bersalah dengan penyumpah, dan (2) mendahuluai kehendak Allah. Banyak di kalangan umat Islam terjebak ke dalam praktik kemuyrikan ketika berusaha menyelesaikan masalah kehidupan antara lain: suapaya dikasihani orang lain atau bosnya, supaya memperoleh jodoh sesuai yang diinginkannya, supaya tubuhnya kebal senjata tajam, senjata tumpul, tembakan, kebal ketika diracun maupun tak terbakar ketika dibakar, supaya gapang mencari rezeki dan laris ketika berjualan, supaya tinggi derajat (status)nya seperti gampang naik pangkat, supaya sembuh dari sakit, dan aneka kebutuhan manusia (kullu hajatin). Teknik praktik ini dengan menggunakan jimat atau rajah, dalam bahasa Arab bisa dibut haikal atau wifiq. Rajah adalah coretan-coretan atau kode, atau garis-garis, atau hurufhuruf yang tidak bisa dipahami. Berikut ini dicontohkan sebuah wifiq untuk mengobati alat vital supaya kuat dan tahan lama dalam bersetubuh sebagai berikut: Rumus itu dituliskan dalam daun sirih yang bertemu ruasnya – cabang-cabang kerangka daun itu berpangkal sejajar dari tulang daun di tengahnya, bukan berselang-seling. DAUN SIRIH TEMU RUAS DAUN SIRIH BUKAN TEMU RUAS
Jumlah daun itu sebanyak tiga helai. Setelah itu, daun sirih tersebut dikunyah-kunyah atau dikinang pada malam Kamis, malam Senin, dan malam Jumat. Batang penis akan keras, kuat, dan tahan lama dalam bersetubuh (Mahrus Ali, 2009: 93). Jimat dan praktik magic seperti ini jelas jauh dari kebenaran jika ditinjau dari segi syariat Islam karena: (1) jimat itu tidak diajarkan oleh Rasulullah maupun tidak dijelaskan dalam Alquran, (2) kepercayaan akan keampuhan jimat itu termasuk khurafat, yaitu keyakinan yang tidak berdasar pada syariat dan keyakinan itu batal, (3) bertendensi kepada selain Allah pada sesuatu kekuatan gaib selain Allah adalah musyrik, (4) mestinya kita hanya bersandar kepada Allah – inilah yang disebut ash-shamad, dan andaikan praktik jimat ini manjur, kekuatan itu pasti datangnya dari jin atau syetan. Mungkin, untuk daun sirihnya dari segi ilmu herbalian tidak bermasalah dengan aqidah Islamiyah atau memang mengandung zat-zat tertentu yang bermanfaat bagi penguatan alat vital. Akan tetapi, ketika mengunyahnya harus malam Kamis, malam Jumat, dan malam senin tentu bermasalah. Penentuan waktu-waktu untuk mengunyah daun sirih itu tentu atas dasar kepercayaan tertentu, atau petunjuk – yang pasti – selain Allah dan Rasulullah. Jadi, dari segi penggunaan daun sirih ini pun tetap menyimpang dari syariah maupun ilmu-ilmu medis. Mestinya, untuk memperoleh kualitas vitalitas yang prima, seharusnya menggunakan caracara ilmiah dan halal, umpama cara hidup (makan, minum, istirahat, kerja, olah raga, istirahat, tidur, berhibur, dan yang lainnya) secara teratur sesuai dengan aturannya masingmasing tentu akan mendatangkan kesehatan yang baik. Jika jasmani sehat secara sempurna, tentu semua organisme akan berfungsi sebagaimana mestinya termasuk sistem kerja alat vital. Sudah barang tentu menjadi salah besar ketika alat vital kurang berfungsi, ejakulasi dini, dan penis loyo kemudian meminta jasa para dukun dengan praktik magisnya agar dalam waktu singkat, gampang, sim salabim, ada gadabra, pet kalipet, thong kalithong, biyahin-biyahin, ahilin-ahilin, ri thiri, dan sebangsanya yang irrasional kemudian memperoleh hasil yang diinginkan. Dalam akronim Jawa, dhukun kepanjangan dari ‘ngridhu dhuwite wong pikun’, artinya dhukun adalah mengambil secara licik uang orang yang telah pikun. Pikun berarti orang tua yang sudah tidak berpikir jernih dan terlalu pelupa karena kehilangan memori. Kenyataannya, orang yang meminta jasa para dukun adalah orang-orang yang tidak lagi berpikir rasional, mirip orang pikun. Alquran menyitirnya bahwa perbuatan demikian itu menghamba kepada syetan dengan ilmu andalannya, yaitu sihir. Demikian Allah berfirman: Artinya: Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui (QS al-Baqarah/2 : 102). Dari berbagai ayat, hadis, dan aksi-aksi Rasulullah yang berkaitan dengan usaha kesembuhan dapat disimpulkan bahwa Alquran maupun Assunnah menjelaskan bahwa hidup sehat itu
adalah penting dan cara memperoleh kesehatan harus hati-hati, jangan sampai jatuh ke dalam praktik kemusyrikan. B. Jalinan antara Kebersihan, Kesehatan, dan Keimanan Rasulullah saw pernah berasabda adan amat populer di lingkungan dunia medika Islam “an Nadafatu min al-iman” (Bersih itu bagian dari iman). Sementara itu pepatah yang amat polpuler juga mengatakan “Bersih pangkal sehat”, yang berarti modal pertama untuk memperoleh kesehatan adalah kebersihan. Lawan dari bersih adalah kotor atau jorok. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kotor dan jorok tidak mengundang kesehatan, melainkan lawannya, yaitu sakit. Jadi, kotor atau jorok mengandung penyakit atau sakit. Dari alur pikir ini dapat dipahami bahwa ada independensi (saling tergantung) antara bersih, sehat, dan iman. Bersih menyebabkan sehat, dan sehat merupakan bagian dari iman. Di sisi lain, iman yang benar menuntut supaya hidup bersih, dan buah dari hidup bersih adalah sehat. Dalam banyak kesempatan (30 kali – Ahmad Fuad Abdul Baqi, [t.th.]: 544) Alquran menekankan kualitas hidup bersih atau suci, baik suci secara lahiriah maupun suci secara batiniah. Firman Allah: (Dan terhadap pakaianmu bersihkanlah – Q.S. al-Mudassir/74 :4) adalah contoh perintah Allah agar kita mengusahakan kebersihan dan kesucian pakaian yang kita kenakan. Adapun contoh Allah menghendaki kebersihan dan kesucian batin adalah dalam peristiwa para sahabat laki-laki memerlukan sesuatu kepada istri-istri Nabi tidak boleh secara langsung, vis a vis, melainkan harus ada tabir, kemudian lanjutannya Allah berfirman: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri- isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah (Q.S. al-Ahzab/33 :53). Allah menghendaki kepada umat-Nya kebersihan secara umum. Demikian firmannya: Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci[138]. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri (QS.al-Baqarah/2: 222). Sebaliknya, Allah memerintahkan kepada kita umat Islam agar menjauhi kehidupan yang kotor. Contoh dalam peristiwa wanita haid, supaya menunda dulu tidak melakukan hubungan suami istri. Haid disebutkan sebagai al-aza atau kotor sebagaimana ditunjukkan dalam ayat yang baru saja dikutip ini, (Q.S. al-Baqarah/2:222). Di dalam surat al-Baqarah ayat 232 disebutkan secara langsung kaitan anatara kesucian dengan keimanan, yaitu dalam kasus perceraian. Wanita yang telah habis masa ‘iddah-nya , kemudian menghendaki nikah lagi dengan pria lain (bukan mantan suami) keduanya sama-sama suka dan seiman, wali wanita
itu harus mengijinkan niat anak perempuannya itu. Keijinan ini merupakan kesucian jiwa sekaligus perwujudan iman. Menghalangi niat anak perempuannya kawin dengan pria yang ia senangi dan seiman (bukan mantan suaminya) berarti hatinya kotor dan tidak beriman. Demikian teks ayat yang dimaksud: Artinya: Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya[146], apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orangorang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (QS.al-Baqarah/2 :232). Kesucian atau kebersihan yang dikehendaki oleh Islam amat komrehensif. Selain kebersihan lahiriah (tubuh), batiniah (jiwa), pakaian, juga lingkungan. Dalam hal ini Allah berfirman sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 222 sebagaimana telah dikutip dalam bab ini. C. Kesehatan Jasmani Telah disinggung bahwa bersih itu pangkal sehat. Selanjutnya, makanan dan minuman yang dikonsumsi harus yang bergizi dan harus sekaligus halal. Bergizi saja tidak cukup dan halal saja juga belum cukup. Allah memang memerintahkan kepada kaum muslilmin supaya makan makanan yang halalan thayyiban. Demikian firman Allah: Artinya: Wahai manusia ! makanlah dari (makanan) halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu (Q.S. al-Baqarah/2:l68). Secara hukum makanan yang kita makan itu harus halal dan secara realistik makanan itu harus bersih dan bergizi karena kandungan pengertian thayyiban adalah baik, lezat, bergizi, dan sehat (Warson, [t.th.]:939). Terkandung pengertian makanan atau minuman sehat adalah aman dikonsumsi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Makanan yang di dalamnya terdapat pengawet, pewarna, penyedap, pengenyal, dan perenyah yang tidak direkomendasikan oleh ilmu-ilmu kesehatan (kedokteran, keperawatan, gizi, teknologi pangan) di luar cakupan ‘thayyiban’ karena harus kita hindarkan dalam arti tidak mengonsumsinya. Makanan yang bergizi akan meningkatkan kekuatan tubuh (Thobieb, 2002:l65) yang berarti tubuh atau jasmani menjadi sehat. Kualitas sehat jasmani menurut Islam dipandang baik. Nabi bersabda: ) ) Artinya: Orang mukmin yang kuat itu lebih baik daripada orang mukmin yang lemah (al-Hadis). Orang yang kondisi jasmaninya sehat tentu lebih energik, inovatif, dan lebih kreatif (Thobieb,2002:173) dan memiliki daya mobilitas yang tinggi. Meskipun demikian, hanya memiliki kesehatan jasmani belum sempurna menurut pandangan Islam. Orang sehat jasmaninya belum tentu sehat rohaninya, dapat diilustrasikan sebagai berikut: Agus adalah seorang pemuda bertubuh kekar, secara fisik sempurna, dan tidak terdapat cacat tubuh. Panca indra berfungsi secara normal. Ia memeiliki kesenangan bermain sepak bola. Karena lokasi latihannya cukup jauh dari rumah dan jadual latihan berlangsung sejak pukul 15.30 hingga l7.30, maka ia harus berangkat dari rumah pukul 14.30. Waktu ini belum masuk
waktu salat ‘Ashar. Sehabis latihan belum masuk waktu maghrib dan ia langsung pulang, tentu dalam keadaan badan kotor dan penuh keringat. Sesampai di rumah waktu salat maghrib sudah lewat. Jadual latihan sepak bola ia jalani amat disiplin, dan salat ‘ Ashar dan maghrib tidak ia laksanakan secara rotin dengan tidak ada penyesalan, sementara ia mengaku benar-benar muslim, terlahir dari keluarga muslim, dan biasa menjadi kepanitiaan peringatan hari-hari besar Islam di lingkungan remaja masjid di kampungnya. Illustrasi di atas memberi pesan bahwa secara jasmani Agus itu sehat tetapi secara rohani tidak sehat karena persoalan agama tidak diperhitungkan sebagai beban (taklif) kewajiban yang harus dilaksanakan. Orang Islam yang salatnya tidak konsisten (beres) biasanya perilakunya juga kurang baik, umpama buang air kecil di pinggir jalan sambil berdiri, padahal di tempat terbuka dan tidak dibersihkan (tidak ber-istinja’- dalam bahasa Jawa tidak cewok), biasa berkata kotor (mengumpat) hanya dalam persoalan-persoalan kecil dan sepele. Itulah sebabnya, s ehat jasmani memerlukan kesehatan rohani. D. Kesehatan Rohani Seorang dikatakan sehat rohaninya jika ia terbebas dari penyakit batiniah. Penyakit ini cukup banyak. Al-Ghazali menyebutkan (al-Ghazali, V,l974:l00-560) antara lain: 1. Hubb ad-Dunya (Cinta dunia) berlebihan karena menumbuhkan kemunafikan. 2. Rakus, amat dekat dengan cinta dunia, bahkan saling berkelindan. Cinta harta menyebabkan rakus, atau rakus merupakan perwujudan cinta harta. Nabi Muhammad saw memberikan contoh profil orang cinta harta dan rakus melalui sabdanya sebagai berikut: Artinya: Jikalau manusia itu memiliki dua lembah emas, niscaya ia akan mencari yang ketiga untuk tambahan dari dua lembah tadi, dan rongga manusia itu tidak akan penuh selain oleh tanah; dan Allah menerima taubat terhadap siapa yang mau bertaubat (al-Hadis). Dari hadis ini dapat dipahami bahwa orang yang menuruti kemauan nafsu untuk mencari kekayaan, seberapa pun kekayaan telah diraih, ia tetap kurang puas dan akan selalu ingin mencari terus. Kisah umat terdahulu dapat dicontohkan figur Qarun, di India ada tokoh raja bernama Rahwana atau Dasamuka adalah contoh konglomerat yang amat rakus. Sekarang kita tahu betapa kekayaan Husni Mubarak, mantan Presiden Mesir yang memerintah selama lebih dari 30 tahun dan berakhir sangat dramatis, yaitu diturunkan secara paksa oleh rakyatnya sendiri. Selama berkuasa, ia memiliki uang sebanyak lebih dari 360 trilyun rupiah. Maunya masih ingin tetap berkuasa memeras rakyat.Muamar Gadafi dikenal sangat totaliter dalam memerintah. Ia ingin tetap membangun keluarganya yang memerintah. Ketika perubahan harus terjadi supaya rakyat hidup layak, ia mempertahankannya, meskipun ribuan nyawa ia korbankan dengan menembaki mereka melalui mesin perangnya, yaitu para serdadunya. Kita harus bisa memetik pelajaran dari kehidupan akhir para perakus kekayaan dan kekuasaan. Mereka pasti berakhir dengan tragedi. Secara agama, mereka dikutuk dan disaksikan oleh orang banyak (rakyat) sebagai penjahat, na’uzubilla>h min za>lik. 3. Kikir Kikir merupakan akibat pasti dari cinta harta adan rakus. Kikir merupakan sifat yang amat buruk. Alquran mengatakan: Artinya: Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan
kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Ali Imran/3 : 180). Nabi mengatakan bahwa kikir itu menghilangkan keimanan: ) ) Artinya: Dua perkarta tidak akan berkumpul pada orang mukmin, yaitu kikir dan jahat akhlak (H.R. at-Turmuzi dari Abu Sa’d). Karena begitu buruknya sifat kikir, Rasulullah menuntun doa dan membentuk pribadi kaum muslimin supaya jauh dari sifat kikir. Demikian doa beliau: ) ) Artinya: Ya Allah sesungguhnya hamba berlindung pada-Mu dari kekikiran, dan hamba berlindung pada-Mu dari sifat pengecut, dan hamba berlindung pada-Mu dari ketuaan yang sia-sia (alHadis). Jika kita memandang Rasulullah sebagai teladan kita, tentunya kita rajin berdoa sebagaimana Rasulullah tuntunkan itu. Rajin berdoa dengan doa itu lambat laun dan pasti akan menuntun pada diri kita untuk tidak kikir karena malu setiap hari memeohon supaya titak kikir sementara kita akan mengingkari permohonan kita sendiri 4. Ria (Pamer) dan Takabbur (Sombong) Riya’, dalam bahasa Indonesia ditulis ria, berarti sombong, congkak, bangga karena telah berbuat baik. Sifat ini buruk. Berbuat baik hanya akan menjadi baik kalau niatnya baik, cara yang ditempuh baik, dan tujuannya juga baik. Niat yang baik adalah ikhlas lillahi ta’la. Ending-nya kelak, orang-orang sombong adalah neraka. Rasulullah bersabda: ) ) Artinya: Apakah tidak aku tunjukkan kepadamu penduduk surga, yaitu setiap orang lemah dan dipandang lemah. Jika ia bersumpah kepada Allah, niscaya Allah akan menumpahkan kebajikan kepadanya; dan penduduk neraka, yaitu tiap-tiap orang yang sombong dan terpandang sombong yang angkuh dalam, gerak-geriknya (HR. Bukhari dan Muslim dari Harisah bin Wahab). Sombong bisa terjadi karena merasa memiliki kelebihan dibanding yang lain dalam hal-hal tertentu sesuai dengan konteks. Mahasiswa ber-IP 3.80 bergaya angkuh terhadap temannya yang IP-nya di bawah angka itu. Orang yang memiliki HP. bagus, harganya mahal, fasilitasnya amat banyak dan tampangnya keren, bisa melecehkan kepada relasinya yang berHP kuno dan out of date. Orang kaya bisa tidak mau bergaul dengan tetangganya yang miskin dengan landasan komitmen tidak level, seorang ilmuwan merasa dirinya istimewa kemudian melecehkan orang-orang yang bergelar kesarjanaan di bawahnya dst, , , Orang semacam ini, kelak di akhirat di neraka sana tempanya. Menurut sabda Nabi saw, mereka berada di lembah yang bernama Habhab. Demikian katanya: Artinya: Sesungguhnya dalam neraka jahannam ada sebuah lembah yang bernama habhab. Allah menempatkan orang-orang sombong di dalamnya (H.R. Tabrani, Abu Ya’la, dan Hakim dari Abu Musa, dalam syarat Muslim).
Hadis ini dikutp oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya’-nya. Orang-orang sombong itu kelak akan diubah menjadi semut merah yang sangat kecil dan diinjak-injak oleh manusia, sementara manusia tidak merasakan kalau mereka menginjak-injak semut – yang sejatinya adalah manusia itu. Nabi Muhammad saw memberi tuntunan kepada kaum muslimin supaya menjauhkan diri dari sifat sombong. Demikian doa tuntunan beliau: Artinya: Ya Allah aku mohon perlindungan kepada-Mu dari hembusan sombong (H.R. Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Jubair bin Math’am). 5. ‘Ujub ‘Ujub adalah heran dengan diri sendiri (baik sebagai pribadi maupun kelompok, chauvinism). ‘Ujub bisa muncul karena merasa memiliki sesuatu yang orang lain tidak memilikinya. Sifat ini amat buruk. Menurut Allah, ‘ujub tidak ada artinya sama sekali. Allah berfirman: Artinya: Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-bera (Q.S. at-Taubah/9:25). Sifat ‘ujub hendaknya dijauhi karena merupakan penyakit jiwa. Memelihara ‘ujub dalam diri berarti memelihara penyakit dalam diri, tentu lama-lama ia menjadi sakit jiwa yang berarti tidak sehat secara rohani. Terlalu lama sakit jiwa pasti akan merembet kepada badannya karena ada hubungan timbal bailk antara tubuh dan jiwa, yaitu manakala jiwa sakit tentu tubuh akan ikut sakit pula. Sebaliknya tubuh sakit, jiwa akan sakit pula. Jiwa sehat akan berpengaruh pada kesehatan tubuh, dan tubuh sehat akan berpengaruh pada kesehatan jiwa. 6. Munafiq Secara umum dan praktis, munafik adalah orang yang tidak cocog antara lahir dan batinnya. Secara lisan ia mengatakan ‘ya’, batinnya mengatakan ‘tidak’ atau sebaliknya. Secara lisan mengatakan ‘beriman’ dan batinnya mengatakan ‘tidak’, hakikatnya tidak beriman. Tujuan kemujnafikan untuk mengelabuhi orang lain dan mencari keuntungan diri. Rasulullah bersabda: 1 ) ) Artinya: Barang siapa melakukan empat perkara, ia adalah seorang munafik murni.Barang siapa melakukan salah satu dari empat perkara itu, dia mempunyai salah satu dari sifat kemunafikan sehingga dia meninggalkannya, yaitu: bila ia dipercaya dia berkhiayanat, bila dia berkata dia pasti dusta, bila dia berjanji dia tidak menepatinya, dan bila dia berttengkar dia meninggalkan yang benar (al-Hadis – al Fath al-Mubdi,I:65). Sebenarnya masih begitu banyak penyakit hati yang menyebabkan secara rohani orang menjadi sakit seperti hasud (dengki), profokatif, iri hati menyaksikan kesuksesan orang lain, menghayal (mengharap datangnya sesuatu yang secara logika tidak mungkin), pemalas, dan
suka dipuji (sum’ah). Jika di dalam diri seseorang terkumpul antara lain (al-Hufi,2000:77-573): Kasih sayang, pemurah, keberanian, adil, suka perdamaian, al-‘iffah (kesucian)ash-shidqu (jujur), sabar, mau bermusyawarah, al-hilmu (lapang dada), pemaaf, al-‘afwa (kesetiaan), al-haya’(malu), az-zuhd (hidup sederhana), al-qana’ah (merasa cukup apa yang telah ada padanya), attawaddu’ (rendah hati), at-tib al-isyarah (bergaul secara baik), hub al-‘amal (cinta bekerja), al-bisyru wa al-fukahah (gembira dan lelucon sekedarnya), orang semacam ini secara rohani adalah sehat. Jika diperhatikan secara seksama, ternyata ada tipe manusia yang secara rohani sehat yang indikasinya: rajin ibadah, perilakunya baik, berbicaranya sopan membaca Alquran bagus, dan hidupnya sederhana, tetapi secara jasmani kurang sehat, terlihat melankolis (bahasa Jawa memelas), terlihat lemah, batuk-batuk kecil, raut muka kusut, tempat huniannya kurang terawat, tentu profil ini tidak dikehendaki oleh Islam. Ia musti juga harus sehat secara jasmani maupun rohani. E. Kesehatan Jasmani dan Rohani Orang yang sehat secara jasmani tetapi sakit rohaninya, tentu lebih tampak nafsu kebinatangannya. Sebaliknya, orang yang sehat rohani tetapi sakit jasmaninya tentu mobilitasnya amat terbatas. Menurut Islam, tipologi ideal adalah orang yang secara jasmani dan rohani sehat. Hubungan antara jasmani dan rohani merupakan hubungan timbal balik, saling mempengaruhi, dan saling ada ketergantungan. Jasmani sehat mempengaruhi rohani menjadi sehat.Rohani sehat mengarahkan kepada perilaku supaya jasmani juga sehat. Orang yang secara rohani sehat tetapi tidak sehat secara jasmani dikarenakan keterbatasan pemikirannya atau berpikir secara parsial bahwa dunia itu tidak penting, dunia itu hanya ghurur (menipu), dunia hanya lahw (sendaugurauan), dan dunia hanya sementara sehingga tidak atau kurang memperhatikan kepentingan jasmani dan hanya terobsesi keakhiratan. Selanjutnya membiarkan diri secara jasmani tidak atau kurang terawat, sakit-sakitan, dan termarginalisasi oleh struktur dan sistem sosial di mana ia tinggal, padahal realitas sosial itu senantiasa berubah dan berkembang secara cepat. Kemajuan hari ini akan segera menjadi kuno beberapa dekade kemudian. Islam menghendaki umatnya supaya sehat dan kuat baik jasmani maupun rohaninya laksana Thalut. Allah berfirman: Artinya: Dan Nabi mereka berkata kepada mereka, “sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu”. Mereka menjawab: ‘Bagaimana Thalut memperoleh kerajaan atas akmi, sedangkan kami lebih berhak atas kerajaan itu daripadanya, dan dia tidak diberi kekayaan yang banyak ? (Nabi) menjawab:’Allah telah memilihnya (menjadi raja) kami dan memberikan kelebihan ilmu dan fisik .” Allah memberikan kerajaan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas lagi Maha mengetahui (Q.S. al-Baqarah/2:247). Tipologi Thalut adalah orang yang sanggup bukan hanya memimpin dirinya, melainkan juga memimpin orang banyak, memimpin negara, dan memimpin supaya hukum-hukumn Tuhan berlaku di muka bumi. Profil Thalut, jika siang memimpin perusahaan yang masing-masing sektor – sejak dari modal awal hingga sektor paling ujung berfungsi dan menghasilkan produk secara halalan thayyiban – dan jika malam ia ‘asyiq-ma’syuq (tenggelam dalam zikir kepada Allah) laksana petapa yang telah meninggalkan kehidupan dunia. Demikianlah hakikat basthatan fi al-‘ilm wal al-jism. Latihan-latihan 1. Jelaskan apa yang saudara ketahui tentang pengertian sehat secara umum ! 2. Berikan contoh-contoh (minimal tiga model) perilaku orang yang sehat jasmani tetapi
sakit rohaninya. 3. Berikan contoh-contoh (minimal tiga model) perilaku orang yang sehat rohani tetapi jasmaninya sakit. 4. Berikan contoh-contoh (minimal tiga model) perilaku orang yang sehat baik jasmani maupun rohani. 5. Ada teks demikian: ) ) a. harakatilah secara benar b. Terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara baik dan benar c. Apa kandungan teks ini ? 6. Sebut dan jelaskan lima macam penyakit rohani yang menghambat kesehatan jiwa. 7. Sebut dan jelaskan lima macam indikator bahwa seorang muslim sehat rohaninya 8. Tulislah dengan huruf Arab doa sapu jagat yang isinya agar manusia dikaruniai kebahagiaan dunia dan akhirat, kemudian tulis pula terjemahnya. Berada pada surat apa dan ayat berapa di dalam Alquran ? 9. Jelaskan pilihan saudara: kebahagiaan dunia, kebahagiaan akhirat, atau kebahagiaan dunia-akhirat ? Jelaskan alasan saudara ! Jelaskan pula rencana (program) untuk mencapai ke arah itu. 10. Ada teks : a. Teks ini ayat Alquran atau Hadis ? b. Berilah harakat yang benar padanya ! c. Terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar, dan Jelaskan kandungan teks ini DAFTAR PUSTAKA al-Qur’an al-Karim Ahmad Muhammad al-Hufi. Keteladanan Akhlak Nabi Muhammad Saw.Bandung: Pustaka Setia,2000. Abi ‘Abd-llah Muhammad bi Isma’il al-Bukhari.[t.th.]. Shahih al-Bukhari.VII. Semarang :Thoha Putra. Ahmad Warson al-Munawwir, [t.th.]. Almunawwir: Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Krapyak. “Departemen Pendidikan dan Kebudayaan”. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia .Jakarta: Balai Pustaka. Imam Ghazali, 1988.Ihya’ al-Ghazali,V. (trans) Ismail Ya’qub.Jakarta Selatan: Faizan. Mahrus Ali,2009. Mantan Kiai NU Membongkar Praltek Syirik: Kiai, Habib, dan Gus Ahli Bid’ah. Surabaya: La Tasyuki. Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, [t.th.]. Mu’jam Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim .Indoinesia: Maktabah Dahlan. Thobieb al-Ahsyar, 2003. Bahayanya Makanan haram. Jakarta: al-Mawardi Prima,
SALAH satu pesan rasulullah bagi umatnya ialah jaga sehatmu sebelum datang sakitmu. Hal ini menunjukkan bahwa kesehatan itu sangat penting dan wajib dijaga. Nikmat terbesar dari Allah setelah iman dan Islam ialah kesehatan. Kesehatan memungkinkan setiap Muslim menjalankan ibadah, membantu saudaranya, dan mengangkat beban yang berat. Oleh karena itu, sudah selayaknya setiap Muslim mensyukuri nikmat tersebut. Mensyukuri dalam arti senantiasa berupaya menjaga kesehatan yang telah Allah anugerahkan. Lazim dipahami, nilai kesehatan sungguh sangat mahal. Sekaya apapun seorang manusia, tatkala sakit menderanya dan tak kunjung sembuh, boleh jadi seluruh harta yang dimilikinya tak mampu mengganti nilai kesehatannya. Dengan demikian maka sungguh beruntunglah orang-orang yang diberikan kesehatan oleh Allah SWT. Dan, sebagai hamba-Nya yang beriman, tentu kita akan menjaga nikmat besar tersebut. Rasulullah saw telah memberikan teladan terbaik mengenai bagaimana cara atau metode yang harus kita lakukan, agar kesehatan yang kita miliki dapat terjaga. Upaya menjaga kesehatan ini merupakan bentuk kesyukuran yang sangat dianjurkan oleh beliau. Kata bijak mengatakan, mencegah lebih baik daripada mengobati. Artinya upaya menjaga kesehatan itu bisa dilakukan dengan mencegah datangnya berbagai macam penyakit. Dengan demikian kesehatan badan dapat terpelihara. Menerapkan pola makan yang Islami adalah cara terbaik untuk mencegah datangnya berbagai macam penyakit. Pola makan itu sendiri adalah kunci utama dalam menjaga kesehatan tubuh. Dalam hal makan rasulullah saw menekankan agar umatnya cukup mengonsumsi makanan yang dapat menegakkan tulang punggungnya, sehingga staminanya tidak merosot dan tubuh tetap sehat. Sebab ukuran normal lambung manusia hanya sekitar 1500 ml. Kalaupun ada perbedaan umumnya tidak terlalu jauh. Dengan demikian bila dibagi tiga maka masing-masing cukup untuk menampung 500 ml. Maka dari itu, jika harus lebih, cukuplah makan sepertiga volume yang bisa ditampung dalam perut, sepertiga minuman dan sepertiga lagi untuk nafas (udara). Sebagaimana sabda beliau; “Tidak ada ‘bencana’ yang lebih buruk yang diisi oleh manusia daripada perutnya sendiri. Cukuplah seseorang itu mengonsumsi beberapa kerat makanan yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Kalau terpaksa, maka dia bisa mengisi sepertiga perutnya dengan makanan, sepertiga lagi dengan minuman, sepertiga sisanya untuk nafas.” (HR. Ahmad, AlTirmidzi, dan Al-Nasa’i). Nafas perlu porsi tempat juga karena ada keterkaitan lambung dan pernafasan. Bagian atas lambung menempati posisi langsung di bawah diafragma, lambung menerima makanan setelah dikunyah, ditelan, dan melewati kerongkongan.
Jika lambung diisi terlalu banyak makanan maka ukurannya pun akan melebar dan mendatangkan ketidaknyamanan dan sulit bernafas. Ini juga cukup menyulitkan untuk susut dan menghambat pergerakan ke bawah secara otomatis, disebabkan terjadinya pernafasan yang dalam. Oleh karena itu, volume lambung harus diisi secara proporsional. Apabila tidak seimbang maka bisa mengakibatkan terjadinya kerusakan jantung dan melemahnya organ-organ tubuh untuk menjalankan aktifitas sehari-hari, termasuk juga dalam menjalankan ibadah. Jadi, bimbingan rasulullah kepada umatnya dalam hal makan ialah mengonsumsi makanan dalam jumlah sedikit, tapi mampu memenuhi kebutuhan gizi. Sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk nafas. Islam dan Makanan Sehat Islam menganjurkan umatnya mengonsumsi makanan sehat. Sebab makanan sehat hakikatnya adalah obat. Oleh karena itu pantas jika ada ungkapan bahwa siapa yang makan makanaan sehat maka ia tak perlu makan obat. Allah berfirman:
“Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu “manna” dan “salwa”. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu…” (QS. 2: 57). Lebih detail Ibnul Qayyim menjabarkan; “Kalangan medis sepakat bahwa selama penggunaan makanan sehat sudah cukup digunakan dalam pengobatan, tidak perlu menggunakan obat. Selama bisa menggunakan obat-obbatan sederhana, tidak perlu menggunakan obat-obatan kimia. Mereka menegaskan (kata Ibnul Qayyim), ‘Setiap penyakit yang masih bisa diatasi dengan makanan sehat dan pencegahan, teidak memerlukan obat-obatan.” (Abu Umar Basyier 2011: 243). Lalu apa saja jenis makanan sehat itu? Di antaranya adalah sebagai berikut; Pertama, yang mengandung karbohidrat; gandum, beras, jagung, dan sejenisnya. Adapun rasulullah, beliau lebih sering makan gandum. Biasanya gandum diolah menjadi roti atau tsaried juga talbin (keduanya sejenis bubur gandum yang dicampur dengan daging). Kedua, makanan yang mengandung zat besi. Makanan yang mengandung zat besi cukup baik adalah kurma. Sebiji kurma standar biasanya mengandung 60 – 70% karbohidrat, 2,5 % lemak, 33% air, 32% Metalic Nacl dan 10% olive. Ketiga, daging. Daging hewan merupakan sumber protein yang cukup tinggi, karena di dalamnya terkandung asam amino pokok (essential amino acids) yang merupakan unsur utama pembentukan tubuh dan urat saraf manusia. Rasulullah saw juga pernah makan daging. Di antara daging yang paling sering dikonsumsi beliau ialah daging kambing dan unta.