BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit infeksi masih menjadi masalah utama kesehatan di Indonesia, termasuk infeksi jamur atau mikosis. Mikosis paru adalah gangguan gangguan paru (termasuk (termasuk saluran napas) yang disebabkan oleh infeksi jamur atau reaksi hipersensitifitas terhadap jamur. Frekuensi mikosis paru semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir seiring dengan meningkatnya jumlah pasien yang mengalami gangguan sistem imun misalnya pasien keganasan, transplantasi organ, infeksi HIV/ AIDS, penyakit kronik sistemik, maupun terdapatnya faktor resiko misalnya penggunaan jangka panjang antibiotik dan kortikosteroid.
(1)
Mikosis paru yang paling sering dilaporkan adalah Pneumocystis Pneumonia (PCP). Perlu diketahui juga infeksi jamur yang ditemukan pada daerah atau kondisi geografis tertentu (mikosis
endemik),
meliputi
histoplasmosis,
parakoksidioidomikosis serta pinisiliosis.
blastomikosis,
koksidioidomikosis,
(1)
Diagnosis mikosis paru masih dianggap sulit sehingga penatalaksanaan sering terlambat. Perkembangan pengetahuan tentang mikosis memang belum sepesat penyakit yang ditimbulkan bakteri atau virus. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya gejala klinis dan hasil pemeriksaan tidak khas serta faktor resiko yang luput dari perhatian. Pemahaman lebih baik mengenai epidemiologi, patogenesis termasuk faktor resiko mikosis paru diharapkan membantu klinisi menegakan diagnosa serta menentukan strategi penatalaksaan yang lebih baik.
(1)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi dan etiologi Pneumocystis carinii pneumonia (selanjutnya disebut PCP) merupakan infeksi pada paru yang disebabkan oleh jamur Pneumocystis carinii sekarang dikenal dengan nama Pneumocitis jiroveci
sebagai tanda penghormatan kepada ahli parasitologi kebangsaan Cechnya ( Otto
Jerovec). Organisme ini pertama kali ditemukan oleh Chagas (1909). Pada tahun 1915 Carinii Carini i dan Maciel menemukan organisme ini pada paru Guinea pig, awalnya diduga sebagai salah satu tahap dalam siklus hidup Tripanosoma cruzi . Pada tahun 1942, Meer dan Brug pertama kali menyatakan bahwa organisme ini merupakan salah satu jenis
parasit yang patogen pada
manusia. Baru pada tahun 1952, Vanek bekerja sama dengan Otto Jirovec menggambarkan siklus paru dan patologi dari penyakit yang dikenal sebagai parasitic pneumonia . Sekarang penyakit ini merupakan infeksi oportunis berbahaya yang banyak terjadi pada pasien AIDS atau pasien dengan penurunan kekebalan tubuh kronik.
(2-5)
B. Patogenesis dan Patologi Tranmisi Pneumocystis jiroveci dari orang ke orang diduga terjadi melalui respiratory droplet infection (Brown , 1975). Kebanyakan peneliti menganggap transmisi terjadi dari orang
ke orang melalui inhalasi, dan juga dilaporkan bahwa transmisi dapat terjadi secara in utero dari ibu kepada bayi yang dikandungnya melalui transplasenta (Singer et al, 1975). Organisme ini merupakan patogen ekstraseluler. Paru merupakan tempat primer infeksi, biasanya melibatkan kedua paru kiri dan kanan, tetapi dilaporkan bahwa infeksi Pneumocystis jiroveci bisa juga menginfeksi ekstrapulmonal yaitu di hati, limpa, kelenjar getah bening dan
sumsum tulang (Jarnum et all, 1986; Barnet all, 1969; Arean, 1971). Organisme umumnya masuk melalui inhalasi dan melekat pada sel alveolar. Di paru, pertumbuhannya terbatas pada permukaan surfaktan yang ada di permukaan alveolar. P. jiroveci berkembang biak di paru dan merangsang pembentukkan eksudat yang eosinofilik dan berbuih
yang mengisi ruangan alveolar, mengandung histiosit, limfosit dan sel plasma yang menyebabkan kerusakan ventilasi dalam paru sehingga menurunkan oksigenasi dan fibrosis. Pada akhirnya hal ini mengakibatkan kematian karena kegagalan pernafasan akibat asfiksia yang terjadi karena blockade alveoli dan bronkial oleh masa jamur yang berproliferasi.
(16)
C. Gejala Klinis Pada pemeriksaan fisik diagnostik tidak dijumpai tanda yang spesifik tergantung pada kelaianan anatomi yang terjadi pada paru. Pada auskultasi dapat terdengar ronkhi kering.
(10)
Lesi
ekstra pulmonal jarang terjadi, hanya kurang dari 3%, namun dapat melibatkan limpa, hati, kelenjar getah bening dan sumsum tulang. Pada penderita anak-anak sehubungan dengan malnutrisi, onset penyakit berjalan perlahan, dijumpai kegagalan tumbuh kembang (failure two thrive), yang akhirnya diikuti takipneu dan sianosis, sedangkan pada penderita imunosupresif baik anak maupun dewasa, onset perjalanan penyakit berjalan cepat
(1-2,5-8,10,11,13)
.
PCP meliputi trias gejala antara lain demam yang tidak terlalu tinggi, dispneu terutama saat beraktifitas dan batuk non produktif. Progresifitas gejala berjalan berlahan, dapat berminggu sampai berbulan-bulan. Semakin lama dispneu akan bertambah hebat, disertai dengan takipneu, sianosis dan gagal nafas.
(17)
D. Diagnosa Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis mikosis paru antara lain pemeriksaan radiologi, pemeriksaan laboratorium klinik tertentu, serta pemeriksaan mikologi.
(1)
. Pada pemeriksaan
radiologi paru terlihat gambaran yang khas berupa infiltrat bilateral simetris, mulai dari hilus hingga perifer, bisa meliputi seluruh lapangan paru. Daerah yang kolaps, diselingi dengan daerah yang emfisematosa menimbulkan gambaran seperti sarang tawon (honey comb appereance) pada rontgen. Hal tersebut juga disebabkan oleh dinding alveolus yang menebal dan alveolus berisi eksudat amorf serta eosinofilik mengandung histiosit, limfosit, sel plasma dan organisme itu sendiri.
(6,12,15)
Contoh Gambaran Radiologi Thorax pada PCP Diagnosa laboratorium sulit ditegakkan, namun sering terdapat peningkatan jumlah sel eosinofil. Diagnosa pasti dilakukan dengan menemukan Pneumocystis jiroveci pada sediaan paru atau bahan yang berasal dari paru, antara lain pada sediaan yang diperoleh dari Induksi sputum, biopsi paru, BAL (Broncho Alveolar Lavage) yang yang dilakukan bila hasil sputum negatif dan sediaan biopsi paru.
(1,13-14)
Pengiriman specimen harus disertai keterangan klinis yang cukup dan permintaan yang jelas. Hal itu akan mempermudah staf laboratorium mengarahkan pemeriksaan yang diperlukan dan menghindari kesalahan interpretasi hasil pemeriksaan. Spesimen harus diletakan dalam wadah steril yang tertutup, rapat, tanpa bahan pengawet dan di lebel dengan baik. Selanjutnya specimen dikirim ke laboratorium dalam waktu paling lama dua jam setelah prosedur pengambilan. Bila tidak memungkinkan segera diproses dalam dua jam, specimen dapat disimpan dalam suhu empat derajat celcius. Bila specimen disimpan terlalu lama, keberhasilan pemeriksaan dapat menurun. Sputum sebaiknya diambil pagi hari sebelum makan, dilakukan tiga hari berturut-turut. Sputum dikeluarkan dengan cara dibatukkan. Induksi sputum lebih dianjurkan karena mempresentasikan specimen saluran napas bawah atau paru. Jumlah sputum yang diperlukan sekitar 10 sampai 15 ml. Sebagai pemeriksaan laboratorium tambahan dapat dilakukan pemeriksaan gas darah yang akan menghasilkan penurunan level O2. PaO 2 ( tekanan oksigen partial arteri) bisa < 75 mmHg.
(1,2,4,16)
E. Pengobatan Obat pilihan utama adalah kombinasi trimetoprim 20 mg/kgBB/hari + sulfametoksazol 100mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 4 dosis dengan interval 6 jam selama 12-14 hari. Obat alternative lain adalah pentamidin isethionat dengan dosis 4mg/kgBB/hari diberikan 1x/ hari secara IM atau IV selama 12-14 hari. Pentamidin isethionat biasanya diberikan pada pasien yang tidak
respon
ataupun
tidak
dapat
bertoleransi
terhadap
pemberian
trimetoprim
dan
sulfametoksazol. Pengobatan PCP Aturan pengobatan Trimetoprimsulfametoksazol (Bactrim, Septra)
Pentamidin
Trimetreksat (Neutrexin) dan leucovorin
Trimetoprim (Proloprim) dan dapson Klindamisin (Cleocin) dan primakuin
(6)
Dosis 5 mg per kg komponen trimetoprim setiap 8 jam, IV atau oral (untuk sebagian besar pasien, dosis oral 2 ganda kekuatan tablet tiga kali sehari) 4 mg per kg IV sekali sehari, diinfuskan selama 60 menit
Umum efek samping Makulopapular ruam, demam, penekanan sumsum tulang, hepatitis, mual, muntah, hiperkalemia Hipo-atau hiperglikemia dan selanjutnya diabetes melitus, aritmia, perpanjangan interval QT, leukopenia, pankreatitis, penekanan sumsum tulang, hepatitis, demam Trimetreksat §: untuk pasien <50 kg-1,5 Neutropenia, trombositopenia mg per kg per hari IV; untuk pasien 50 sampai 80 kg-1.2 mg per kg per hari IV; untuk pasien> 80 kg-1.0 mg per kg per hari IV Leucovorin §: untuk pasien <50 kg-0,8 mg per kg IV atau oral setiap 6 jam; untuk pasien ≥ 50 kg-0,5 kg-0,5 mg per kg IV atau oral setiap 6 jam (putaran ke dosis tertinggi berikutnya saat menggunakan leucovorin oral); terus leucovorin selama 72 jam setelah dosis trimetreksat lalu. Dapat menambahkan dapson, 100 mg per hari secara oral. Trimetoprim, 5 mg per kg secara oral Mual, muntah, demam, ruam, setiap 8 jam dan dapson, 100 mg oral penekanan sumsum tulang, sekali sehari hepatitis, hemolisis, methemoglobinemia Klindamisin, 600 hingga 900 mg IV atau Ruam, anemia, neutropenia, 300 sampai 400 mg oral setiap 6 sampai methemoglobinemia, hemolisis 8 jam Primakuin dasar, 15 sampai 30 mg
Aturan pengobatan
Atovakuon (Mepron)
Dosis Umum efek samping oral sekali sehari ∥ 750 mg secara oral suspensi tiga kali Mual, muntah, ruam sehari dengan makanan berlemak (jangan gunakan pada pasien dengan diare atau malabsorpsi)
F. Prognosis
Prognosis kurang baik karena onset penyakit berjalan cepat pada penderita dengan immunodefisiensi/
immunocompromized.
Bila
PCP
ditemukan
pada
penderita
dengan
immunodefisiensi, presentase kematian dapat mencapai 100%. Namun bila infeksi dapat didiagnosa sejak dini dan diberikan terapi yang adekuat, persentasi kematian akan turun hingga 10%.
(3)
BAB III KESIMPULAN PCP merupakan infeksi pada paru yang disebabkan oleh jamur Pneumocystis jiroveci. Infeksi ini sering terjadi pada penderita dengan immunodefisiensi, misalnya: pada penderita HIV/AIDS, ALL (acute limfositik leukemia), maupun pada pasien yang mendapat terapi kortikosteroid. Transmisi orang ke orang melalui Respirasi Droplet Infeksion. PCP meliputi trias gejala demam yang tidak terlalu tinggi, dispneu terutama saat beraktifitas, dan batuk non produktif. Semakin lama dispneu akan bertambah hebat, disertai takipneu, sampai sianosis dan gagal nafas. Diagnosis pasti dilakukan dengan menemukan Pneumocystis jiroveci pada sediaan paru atau bahan yang berasal dari paru, yang diperoleh melalui induksi sputum, BAL (Broncho Alveolar Lavage) maupun biopsy paru. Pada pemeriksaan radiologi paru dapat terlihat gambaran infiltrate bilateral simetris dan honeycomb appearance. Karena onset penyakit berjalan cepat pada penderita dengan immunodefisiensi, maka prognosis PCP kurang baik dan infeksinya dapat fatal dengan terjadinya gagal nafas. Untuk itu diperlukan diagnosa dini dan terapi yang adekuat untuk mengurangi persentasi mortalitas penyakit ini. Pada pasien dengan immunodefisiensi misalnya: penderita HIV/AIDS dianjurkan untuk
mengkonsumsi
regimen
kemoprofilaksis
kombinasi
regimen
trimetoprim
sulfametoksazol (atau pentamidin inhaler sebagai alternative lain) untuk mencegah infeksi PCP.
+
DAFTAR PUSTAKA 1. Anna Rozaliyani, dkk. Mikosis Paru Pedoman Nasional Diagnosa dan Tatalaksana di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Jakarta. 2011. 2. Sisirawaty, et all. Beberapa aspek pneumocystis pneumocystis carinii carinii. Seminar parasitologi nasional V. 1989. 3. Shulman ST, et all. Indonesian edition: Dasar Biologi dan Klinis penyakit Infeksi. Fourth edition. Yogyakarta. Gajah mada university press. 1994: 43-46. 4. Brooks GF, Butel JS, Ornston LN. Indonesian edition: Jawetz, Melnick dan Adelberg. Mikrobiologi kedokteran edisi XX. EGC. 1996: 632-3 5. Heelan JS, Ingersol FW. FW. Essential of Human Parasitology. Parasitology. United States. States. Delmar.2002:130-1. 6. Pneumocysti infection (Pneumocystis jiroveci). Available at: HTTP://www.dpd.cdc.gov/dpdx/html/ pneumocystis HTTP://www.dpd.cdc.gov/dpdx/html/ pneumocystis htm. 7. Hunter GW, Frye WW, Swartzwelder J. A Manual of Tropical Medicine. rd
3 ed. London. WBsaunders company. 1963: 349-50 8. Brown HW, Neva FA. Basic Bas ic clinical Parasitology. United State of America. Appleton century Crofts. 1983: 76-7 th
9. Faust EC, Russel PF. Clinical Parasitologi. 7 ed. Philadelphia. Lea dan febriger. 1964 :31, 306-9 th
10.Manson-bahr 10.Manson-bahr PH. Mansons Tropical Desease. 16 ed. London. ELBS &BT and C. 1968:883-4. 11.Wilkin 11.Wilkin A, Feinberg J. Pneumocystis carinii Pneumonia : A Clinical Review. Available at: http://www.aafp.org/afp/991015a http://www.aafp.org/afp/991015ap/1699.html p/1699.html
12.Pneumocystis 12.Pneumocystis pneumonia (PCP) available at: http://www.aidsinfonet.org/factshe http://www.aidsinfonet.org/factsheet_detail.php?fsn et_detail.php?fsnumber=515&newlan umber=515&newlan g=en. Pneumocystis jiroveci (P. carinii). 13.Lung 13.Lung Parasites Incertae Sedis : Pneumocystis
Available at : http://www.edfound.to.id/html/lung.htm. 14.Molecular 14.Molecular Epidemiology of Pneumocystis carinii Pneumonia. Emerging Infection Disease vol.2 number 2. Available at: http://www.cdc.gov?incidod/eid/vo http://www.cdc.gov?incidod/eid/vol2no2/beard.htm. l2no2/beard.htm. 15.Pneumocystis carinii Pneumonia : Infection Disease. Available at: http://www.pennhealth.com/artic http://www.pennhealth.com/article./000671.htm. le./000671.htm. 16.Cook 16.Cook G. Acute Lobar Pneumonia, Pneumocystis. Acquired immune
Deficiency Syndrome. In : Manson’s Tropical disease. 20th ed. London. ELBS & WB Saunders.1996 : 79-80, 281, 394. 17.Kwon 17.Kwon – Chung KJ, bernet JE. Medical Mycology. Philadelphia. Lea & febriger. 1992 : 4, 369 .