Patologi Anatomi dan Histopatologi Anjing yang diduga Terinfeksi
C anin ni n Di D i ste stemper V i r us (PATHOLOGY ANATOMY AND HISTOPATHOLOGY OF DOGS ALLEGEDLY INFECTED BY CANIN DISTEMPER VIRUS ) Arif Syaifuddin Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana Jl. P.B. Sudirman Denpasar-Bali telp. 0361-223791 Email :
[email protected] ABSTRAK Distemper adalah salah satu penyakit menular yang menyerang anjing yang disebabkan oleh genus Morbillivirus Morbillivirus famili Paramyxoviridae. Paramyxoviridae. Penyakit distemper dapat menyerang semua umur dan memunculkan gejala klinis yang bervariasi mulai dari subklinis, gangguan pernafasan, gangguang cerna, urogenital, kulit, lesi pada mata, sampai dengan adanya gangguan saraf yang bersifat fatal. Tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk mengetahui diagnosis suatu penyakit dengan melihat perubahan patologi anatomi dan melihat morfologik pada pemeriksaan histopatologi. Pada kasus ini materi yang digunakan yaitu anjing yang diduga terinfeksi virus distemper distemper berumur ± 3 bulan dengan mengambil sampel organ berupa otak, jantung, trakea, paru-paru, hati, limpa, ginjal, lambung, usus dan vesika urinaria, kemudian difiksasi menggunakan NBF 10%. Jaringan kemudian dibuat preparat histopatologi dan diwarnai dengan perwanaan Hematoxylin – Eosin. Berdasarkan gejala klinis, perubahan patologi anatomi dan histopatologi, diagnosis kematian anjing dengan nomor protokol 65/N/17 mengarah pada penyakit distemper. ABSTRACT
Distemper is one of the infectious diseases that attack dogs caused by the genus Morbillivirus family Paramyxoviridae. Distemper disease can affect all ages and lead to clinical symptoms ranging from subclinical, respiratory, gastrointestinal, urogenital, skin, eye lesions, to fatal neurological disorders. The purpose of this case report is to determine the diagnosis of a disease by looking at changes in anatomic pathology and morphologic look at histopathologic examination. In this case the material used is a dog suspected to be infected with the virus distemper aged ± 3 months by taking samples of organs such as brain, heart, trachea, lungs, liver, spleen, kidney, stomach, intestine and vesika urinaria, then fixed using NBF 10 %. The tissue was then made into histopathologic preparations and stained with Hematoxylin - Eosin. Based on
1
clinical symptoms, changes in anatomical and histopathological pathology, the diagnosis of dog mortality with the protocol number 65/N/17 leads to distemper disease. PENDAHULUAN
Bali merupakan salah satu primadona tujuan wisata di Indonesa yang banyak didatangi wisatawan baik mancanegara maupun wisatawan lokal. Hal ini dikarenakan daya tarik Bali yang memukau wisatawan baik karena budaya, adat istiadat, kesenian yang beraneka ragam, serta keindahan alam yang mempesona (Sri, 2013). Dimana masyarakat Bali sangat erat kaitannya dengan adat dan budaya. Bagi masyarakat Bali, anjing memiliki peran penting karena dijadikan sebagai penjaga rumah atau kebun, teman berburu, dan sarana upacara korban suci kepada buta/huta nyadnya yang menggunakan anjing belangbungkem (Dharmawan, 2009). Kepadatan anjing di kota Denpasar cukup tinggi, akibatnya infeksi antara anjing satu den gan anjing yang lainnya cukup intensif, sehingga penularan terhadap penyakit infeksius khususnya Canine Distemper Virus mudah terjadi. Distemper merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus RNA dari genus morbilivirus yang tergolong dalam famili Paramixoviridae (Susatyoratih, 1985). Penyakit distemper dapat menyerang semua umur dan memunculkan gejala klinis yang bervariasi mulai dari subklinis, gangguan pernafasan, gangguang cerna, urogenital, kulit, lesi pada mata, sampai dengan adanya gangguan saraf yang bersifat fatal (Zhao et al., 2009). Penyebaran virus distemper yang paling utama adalah melalui sekresi partikel partikel virus secara aerosol oleh hewan terinfeksi. Anjing terinfeksi distemper dapat mengeluarkan virus dalam beberapa bulan. Virus distemper menyerang dan menimbulkan gejala atau lesi pada mata, saluran respirasi, gastrointestinal, urogenital, sistem saraf, dan kulit. Gejala klinis yang ditimbulkan sangat bervariasi. Gejala dapat terjadi berat atau ringan, tanpa atau dengan memperlihatkan gejala-gejala saraf. Diagnosis tentatif untuk penyakit distemper umumnya dilakukan den gan melihat gejala
2
klinis yang muncul pada penderita. Pencegahan penyakit distemper dapat dilakukan dengan vaksinasi (Erawan et al ., 2009). Masa inkubasi distemper 6-8 hari, dengan gejala samar-samar dan baru jelas setelah 2-3 minggu. Kenaikan suhu tubuh terjadi pada hari 1-3, diikuti penurunan selama beberapa hari, kemudian suhu tubuh mulai meningkat lagi selama 1 minggu atau lebih (Subronto, 2006). Virus distemper dapat ditularkan juga melalui benda benda yang terinfeksi virus distemper. Anjing yang terinfeksi distemper dapat mengeluarkan virus dalam beberapa bulan dan menjadi asimtomatik carriers (Deem et al., 2000; Erawan et al., 2009). Infeksi virus distemper pada anjing dapat mengakibatkan berbagai perubahan patologis pada organ dan jaringan. Secara patologi, anjing yang terinfeksi virus distemper dapat menyebabkan multi-sistemik infeksi. Diagnosis tentatif untuk penyakit distemper umumnya dilakukan dengan melihat gejala klinis yang muncul pada penderita. Namun secara klinis penyakit distemper sering dikelirukan dengan penyakit lain. Belakangan ini, teknik histopatologi dan imunohistokimia dapat memberikan hasil yang sangat memuaskan untuk diagnosis distemper (Bildt et al ., 2002). Pada laporan ini, teknik yang digunakan untuk mendiagnosa penyakit distemper adalah patologi anatomi dan histopatologi. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran anjing yang diduga terkena infeksi Canin distemper virus sehingga dapat memberikan
informasi mengenai klinis, diagnosa sementara, dan
menetapkan diagnosa morfologik melalui kajian ilmu patologi.
MATERI DAN METODE Materi
Materi dari studi kasus ini adalah anjing shitzu berumur + 3 bulan dengan berat badan ± 3 Kg, setelah diamati gejala yang ada, kemudian dilakukan nekropsi untuk dilihat perubahan patologi anatomi. Selanjutnya, dilakukan pengambilan sampel organ, yaitu: otak, trakea, paru-paru, hati, limpa, usus, jantung, vesika urinaria, lambung, 3
dan ginjal. Selanjutnya sampel dimasukan ke dalam Neutral Buffer Formalin 10% dan kemudian dibuat preparat histopatologi.
Metode
Epidemiologi dan gejala klinis penyakit didapatkan dengan melakukan wawancara terhadap pemilik anjing serta melihat kondisi lingkungan. Setelah itu dilakukan pemeriksaan secara klinis, dilakukan nekropsi dan pengambilan sampel untuk dijadikan preparat. Selama proses nekropsi, dilakukan beberapa pengamatan terhadap perubahan organ dan dicatat pada protokol dan difoto. Selanjutnya, setelah anjing dinekropsi dilakukan pengambilan sampel dengan ukuran 1x1x1 cm kemudian direndam dalam larutan Neutral Buffer Formalin (NBF) 10% selama kurang lebih 24 jam. Setelah itu pembuatan preparat histopatologi dan dapat dilaksanakan sesuai metode pembuatan preparat menurut Kiernan (2010). Sampel yang telah matang dimasukkan dalam tissue cassette. Setelah jaringan selesai difiksasi dan dimasukkan ke dalam cassette, jaringan dipindahkan untuk dehidrasi secara bertingkat menggunakan alcohol secara berturut-turut dengan konsentrasi alcohol masing-masing 70%, 90%, 96%, etanol I dan etanol II secara berurutan dalam toples selama 2 jam. Langkah selanjutnya adalah clearing, yaitu proses guna mengeluarkan alcohol dari jaringan dengan merendamkannya dalam xylene. Kemudian jaringan dikeluarkan dari cassette. Selanjutnya jaringan siap dimasukkan ke dalam blok paraffin. Organ ditanam pada blok yang telah disediakan kemudian disiimpan dalam lemari es selama 24 jam. Dilanjutkan dengan cutting, pemotongan organ menggunakan mikrotom dengan ketebalan 4-5 mikron. Proses selanjutnya yaitu pewarnaan dengan Harris-Hematoksilin-Eosin. Preparat diparafinasi dalam xylol selama 3x5 menit. Kemudian didehidrasi dalam larutan alkohol 100% sebanyak 2 kali dengan durasi masing-masing 5 menit, bilas dengan aquades selama 1 menit. Lalu diinkubasi dalam larutan Harris-Hematoksilin Eosin selama 15 menit. Kemudian dicelupkan naik turun dalam aquades selama 1 4
menit, selanjutnya celup dalam campuran asam alcohol secara cepat 5-7 celup. Diferensiasi warna dilihat dibawah mikroskop, warna tidak boleh sampai pucat. Selanjutnya dibilas dalam aquades selama 1 menit, dan dibilas kembali dengan aqu ades selama 15 menit. Lalu dicelupkan sebanyak 3-5 kali dalam larutan ammonium atau lithium karbonat hingga potongan berwarna biru cerah dan kemudian dicuci dalam air mengalir selama 15 menit, kemudian diinkubasi dalam eosin
selama 2 menit.
Selanjutnya didehidrasi dalam alkohol dengan konsentrasi 96%, 96%, 100%, dan 100%, masing-masing selama 3 menit, lalu diinkubasi dalam xylol selama 2x2 menit. Kemudian dilakukan proses mounting yaitu penutupan dengan cover glass dimana permount digunakan sebagai perekat. Setelah preparat histopatologi selesai, dilanjutkan dengan pemeriksaan dibawah mikroskop. Kemudian gambaran histopatologi preparat tersebut difoto.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Signalment
Nama Pemilik hewan kasus adalah, Ibu Komang dengan alamat Jln. Dr. Goris gg. Teknik No. 2 Denpasar. Hewan kasus berupa anjing shitzu jantan berumur + 3 bulan dengan berat badan + 3 kg dan warna bulu hitam. Ibu komang memiliki 1 ekor anjing dewasa dan 5 ekor anjing muda. Anjing kasus belum divaksin dan terlihat lemas 4 hari lalu dan menunjukkan gejala diare berdarah, ada leleran mata, batuk, muntah, lemas, dan nafsu makan dan minum turun. Selama ini hewan kasus belum mendapatkan perawatan dari dokter hewan. 7 hari lalu ada 1 anjing muda yang mati mendadak dengan gejala yang sama. Hewan kasus dipelihara secara liar di rumah dan diluar rumah. Diberi pakan dog food dan air minum kemasan.
5
Hasil Foto Organ Makroskopis
Nekropsi dilakukan pada tanggal 15 Juli 2017 (16.00 WITA),.
Gambar 1.1 Anjing kasus tampak lesu
gambar 1.2 Rongga torak dan abdomen
Gambar 1.3 kongesti pada otak
Gambar 1.4 Jantung terlihat normal
6
Gambar 1.5 paru-paru mengalami
Gambar 1.6 trakea terlihat normal
perubahan warna (kemerahan)
Gambar 1.7 perdarahan pada mukoas usus halus dan usus besar
7
Gambar 1.8 Ginjal terlihat normal
Gambar 1.9 Vesika urinaria terlihat mengalami penebalan
Gambar 1.10 Limpa mengalami
Gambar 1.11 Hati mengalami perubahan
pembengkakan ( splenomegaly) dan
warna kekuningan (ikterus)
perubahan warna kehitaman
8
Hasil Foto Organ Mikroskopik
C
A
B D
Gambar 2.1 Otak besar : Edema dan vaskulitis (A). Degenerasi hidrofik sel neuron (B). Vakuolisasi neuropik (C). Kongesti Ringan (D).
A
Gambar 2.2 Otak Kecil : Perdarahan (A)
Gambar 2.3 Trakea : Nekrosis pada epitel dan terdapat infiltrasi sel radang.
9
C
B
D
A
Gambar 2.4 Paru – paru: Hemoragi, infiltrasi sel radang dan nekrosis pada septa alveoli (A). Kongesti (B). Etsudat pada alveoli (C). Penebalan pada septa alveoli(D).
Gambar 2.5 Jantung : Normal
Gambar 2.6 Lambung : Nekrosis pada papila lambung
10
A
A
B
Gambar 2.7 Usus Halus: Nekrosi pada vili usus (A). Nekrosis pada kripta liberkhun(B) A
B
Gambar 2.8 Usus Besar: Nekrosis pada vili (A). Nekrosis pada kripta liberkhun(C)
11
A
D
B
B C
Gambar 2.9 Hati: Infiltrasi sel radang (A). Degenerasi hidrofik (B). Degenerasi melemak (C). Nekrosis pada sel hati (D).
D
C
B
A
Gambar 2.10 Limpa: Deplesi folikel
Gambar 2.11 Vesika Urinaria: Nekrosis
limfoid (A). Nekrosis (B). Degenerasi
pada mukosa
hidrofik (C). Perdarahan (D).
12
D
A C
B D
Gambar 2.12 Ginjal: infiltrasi sel radang (A). Hemoragi (B). Nekrosis (C). Atrofi glomerulus(D).
Pembahasan
Gejala klinis yang tampak pada anjing adalah lemas, diare berdarah, batuk, terdapat leleran pada mata, muntah, lemas, dan nafsu makan dan minum turun. Gejala klinis ini mirip dengan gejala yang muncul pada penyakit distemper. Penyakit distemper menimbulkan gejala klinis berupa batuk, diare, pustula pada kulit abdomen, gejala saraf seperti depresi, tremor otot atau ataksia, demam, leleran mata, leleran hidung, muntah, dan hiperkeratosis pada telapak kaki (Erawan et al., 2009). Gejala batuk, perdarahan paru-paru dan perdarahan pada saluran pencernaan diindikasikan karena infeksi Canin distemper virus, karena saluran respirasi adalah saluran utama tempat masuknya virus dan juga menginfeksi via saluran pencernaan melalui kontaminasi pakan dan air. Eksudat dari hidung mengandung virus dapat menyebar di udara melalui bersin atau batuk, lalu virus tersebut masuk ke dalam saluran hidung anjing lain yang dapat diinfeksi untuk bereplikasi serta menyebar di dalam tubuh (Legendre, 2005). Setelah anjing dinekropsi didapatkan hasil perubahan patologi anatomi seperti otak mengalami kogesti, paru-paru mengalami perubahan warna kemerahan, saluran pencernaan
mengalami
perdarahan,
terjadi penebalan
pada
vesika
urinaria,
13
pembengkakan pada limpa (splenomegaly) dan limpa mengalami perubahan warna kehitaman, dan ikterus pada hati. Secara patologi anatomi anjing menunjukkan kelainan akibat infeksi virus distemper yaitu dilihat dari perubahan secara makroskopis pada organ paru-paru berupa adanya perubahan warna kemerhana dan secara histopatologi organ ini banyak diinfiltrasi sel-sel radang, terutama di daerah interstitial paru-paru (Sitepu et al ., 2013). Perubahan warna menjadi lebih merah yang terjadi pada organ paru-paru pada kasus distemper anjing dapat disebabkan oleh reaksi peradangan yang terjadi pada organ tersebut. Agen asing yang masuk ke dalam tubuh dapat direspon sebagai antigen oleh tubuh individu itu sendiri yang berdampak terhadap aktivasi respon imunitas tubuh. Dalam hal reaksi imun, mula-mula akan terjadi respon yang non spesifik, berupa reaksi radang. Menurut Gershwin, et al (1995), bila tubuh suatu individu dimasuki agen asing, maka tubuh individu tersebut akan bereaksi mengaktifkan sistem pertahanan tubuhnya, misalnya dengan mengaktivasi proses peradangan dalam rangka mengeliminasi agen asing tersebut dan memperbaiki jaringan yang rusak akibat infeksi agen asing atau diakibatkan oleh reaksi radang yang ditimbulkan sebelumnya. Splenomegaly dapat terjadi karena adanya antigen yang masuk akan meningkatkan proliferasi makrofag untuk memfagositosis antigen tersebut serta akan meningkatkan diameter sentrum germinativum. Akibat banyaknya antigen-antigen yang terdapat pada zona marginalis menyebabkan limpa membesar (Sitorus dan silitonga, 2016). Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan hasil sebagai berikut: otak mengalami vaskulitis, edema, degenerasi hidrofik sel neuron, kongesti ringan, dan perdarahan. Ditemukan sel radang pada trakea dan nekrosis pada epitel. Paru-paru menaglami hemoragi, penebalan septa alveoli, kongesti, infiltrasi sel radang, eksudat pada alveoli, dan nekrosis (pneumonia hemoragic et nekrotica). Lambung mengalami nekrosis pada silia. Usus halus mengalami nekrosis pada vili dan nekrosis pada kripta liberkuhn disertai infiltrasi sel radang. Usus besar mengalami nekrosis pada vili dan nekrosis pada kripta liberkuhn. Hati mengalami nekrosis disertai infiltrasi sel radang, 14
degenerasi hidrofik, dan degenerasi melemak. Limpa mengalami nekrosis, degenasi hidrofik, hemoragi, dan deplesi folikel limfoid. Vesica urinaria mengalami nekrosis pada vili. Ginjal mengalami nekrosis, atropi pada glomerulus, hemoragi ringan, dan disertai infiltrasi sel radang. Menurut Legendre (2005), dua minggu pasca infeksi, virus canin distemper akan menyebabkan kerusakan ringan pada sel-sel saluran pernapasan, mata, paru-paru, dan saluran pencernaan. Hal ini dibuktikan dengan adanya hasil dari pemeriksaan histopatologi, yaitu terjadi nekrosis pada epitel trakea yang disertai infiltrasi sel radang, nekrosis pada paru-paru, dan nekrosis pada vili usus halus, dan nekrosis pada vili usus besar. Degenrasi pada otak, peradangan dan perdarahan pada septa alveoli, dan perdarahan pada tubulus ginjal merupakan salah akibat dari infeksi canin distemper, karena penyakit distemper dapat menyebabkan perubahan histopatologi seperti degenerasi dan perdarahan pada sel neuron, perdarahan dan peradangan pada septa alveoli, dan perdarahan pada tubulus ginjal (Sitepu et al., 2013), menurut Koutinas et al (2004) perubahan histopatologi pada otak berupa degenerasi sel neuron. Reaksi peradangan akut dapat terjadi pada organ paru-paru anjing yang terinfeksi virus distemper terutama pada minggu pertama setelah terinfeksi. Reaksi peradangan akut ini dapat mengakibatkan pembuluh darah yang berada di daerah septa alveoli mengalami peningkatan permeabilitas dan bervaso-dilatasi untuk mengaktivasi sel-sel pertahanan tubuh lalu bermigrasi keluar vaskuler yang selanjutnya melakukan reaksi berupa fagositosis atau ke tingkat imunitas yang lebih spesifik. Cheville (1999) menyebutkan hyperemia pada suatu organ atau jaringan terjadi karena kapilerkapiler yang ada pada organ / jaringan tersebut berdilatasi. Bila hal ini terjadi, maka organ atau jaringan tersebut akan tampak mengalami kemerahan. Pada kasus anjing yang terinfeksi penyakit distemper, perubahan dapat terjadi di berbagai organ yang diikuti dengan adanya eksudat pada organ tempat virus distemper berpredisposisi, misalnya pada saluran cerna, terutama usus halus, radang kataral hingga mukopurulen sering ditemukan. Tidak jarang peradangan dengan 15
kandungan eksudat yang sama juga dapat ditemukan pada saluran pernafasan (Rodriguez-Tovar et al ., 2007), dalam kasus ini eksudat ditemukan pada alveoli paru paru. Dari hasil pemeriksaan histopatologi, paru-paru mengalami Pneumonia interstitialis, secara mikroskopis paru-paru dari hewan yang terinfeksi canin distemper akan tampak mengalami peradangan. Virus distemper yang masuk melalui saluran pernafasan akan menginfeksi sel-sel jaringan atau organ di sepanjang saluran pernafasan termasuk paru-paru. Peradangan akut pada kasus distemper anjing umumnya menyebabkan reaksi peradangan derajat ringan sampai berat dari organ tersebut. Bila berlangsung kronis, reaksi peradangan akan meluas sampai ke bagian alveoli (Kardena et al ., 2011). Hasil pemeriksaan histopatlogi hati terdapat infiltrasi sel radang, degenerasi hidrofik, degenarasi melemak, dan nekrosis pada sel hati. Pada ginjal mengalami infiltrasi sel radang, hemoragi pada tubulus, dan atropi pada glomerulus. Menurut Sitepu (2013), lesi berupa degenerasi pada hati anjing yang berumur 2,5 bulan dan 4 bulan ditemukan degenerasi paling berat. Hal tersebut didasarkan karena infeksi virus dalam jaringan limfoid menyebabkan leukopenia dan penghambatan aktifitas proliferasi limfosit. Dalam keadaan imunosupresif, maka virus akan merusak berbagai organ termasuk hati dan ginjal. Perubahan nekrosis jaringan ginjal kemungkinan disebabkan oleh terjadinya gagal ginjal sebagai kompensasi dari dehidrasi yang sangat hebat dan mengakibatkan penderita mengalami kematian (Subronto, 2006). Kehilangan cairan dan elektrolit merupakan akibat dari diare yang perlu diwaspadai. Air, sodium, chloride, bicarbonat dan potassium merupakan unsur-unsur utama yang hilang dari tubuh. Kehilangan air, sodium dan chloride akan menyebabkan dehidrasi. Kehilangan bicarbonat akan menimbulkan asidosis metabolik, sedangkan kehilangan potassium akan menyebabkan kelemahan dan penurunan nafsu makan (Lewis, et al., 1992). Limpa mengalami nekrosis, degenasi hidrofik, hemoragi, dan deplesi folikel limfoid. Hal ini terjadi karena virus dibawa oleh makrofag dari cavum nasi, faring dan 16
paru-paru ke limfonodus lokal. Canine distemper virus paling pertama akan bereplikasi dalam makrofag dan monosit kemudian menyebar ke sel-sel limfatik lokal yaitu tonsil dan limfonodus peribronkhial, selanjutnya jumlah virus akan meningkat secara signifikan karena adanya replikasi virus. Virus ini kemudian disebarkan keseluruh tubuh melalui peredaran darah (viremia). Virus bermultiplikasi didalam folikel limfoid limpa, lamina propria lambung dan usus halus, limfonodus mesenterika dan sel kuppfer hati. (Beineke et al., 2009), Menurut Kardena et al ., (2011) gejala patognomonis dari penyakit distemper akan tampak lebih jelas terlihat pada kira-kira satu atau dua minggu pasca infeksi. Pada paru-paru tampak adanya zona nekrotik atau infark, sedangkan pada saluran pencernaan mengalami enteritis haemoragi, yang juga tampak pada saluran urinaria terutama pada vesika urinaria yang tampak mengalami peradangan serta pada daerah mukosanya terlihat adanya hemoragi. Kejadian infeksi distemper dilapangan sering kali dikelirukan dengan infeksi oleh agen penyakit yang lain. Perubahan patologi anatomi yang terjadi pada usus halus dan pemeriksaan secara mikroskopis ditemukan peradangan pada mukosa dan sub mukosa usus, mirip dengan infeksi parvovirus pada anjing. Gejala yang menciri pada canine parvovirus adalah paru yang mengalami oedema (Robinson et al., 1980), bagian usus membengkak pembendungan dan perdarahan lumen usus menyempit dan permukaan selaput lendir usus berisi cairan sereus granular hingga mukus kental berwarna kuning hingga kecoklatan, limfoglandula mesenterica membengkak (Winaya et al ., 2014). Diagnosis penyakit tidak mudah, terutama dilihat dari gejala klinis, perlu dilakukan uji laboratorium untuk menunjang diagnosis morfologi. Untuk meneguhkan diagnosa pada kasus ini, perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan d engan uji laboratorium yang meliputi, uji darah rutin, uji kimia darah, uji HA/HI, dan yang paling bagus dilakukan yaitu dengan uji Polymerase Chain Reaction (PCR) dan dilanjutkan dengan Elektroforesis (Amude et al ., 2011).
17
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Berdasarkan gejala klinis, perubahan patologi anatomi dan histopatologi, anjing dalam kasus ini diduga terinfeksi Canine Distemper Virus.
Saran
Pada kejadian infeksi virus pada anjing perlu kesadaran dari pemilik untuk melakukan tindakan pencegahan dengan vaksinasi hewan peliharaan secara teratur, menjaga kebersihan kandang dan lingkungan tempat hewan, sehingga anjing akan sehat dan terbebas dari infeksi virus.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih saya ucapkan kepada kedua orang tua dan dosen pembimbing Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) atas doa dan bimbingannya, serta terimakasih banyak kepada sahabatku (kelompok 9N) dan teknisi Laboratorium Patologi yang telah membantu selama pelaksanaan Koasistensi di Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.
DAFTAR PUSTAKA
Amude, A.M., Alfieri A.A., Alfieri A.F. 2010. Use of Immunohistochemestry and Molecular Assays Such as RT-PCR for Precise Post Mortem Diagnosis of Distemper-Related Encephalitis. Curent Research. Formatex. Bildt, M.W.G., Kuinken, V.D.T., Visee, A.M., Lemas., Fitzjohn, T.R., Osterhaus, A.D.M.E. 2002. Distemper Outbreak and Its Effect on African Wild Dog Conservation. Emerging Infect Dis 8(2);211-213. Deem, S.L., Spelman, L.H., Yates, R.A., Montali, R.J. 2000. Canine Distemper In Teresterial Carnivores: A Review. Journal of Zoo and Wildlife Medicine, 31(4): 441-51. Dharmawan NS. 2009. Anjing Bali dan Rabies. Denpasar. Arti Foundation. Hal 84120. Cheville (1999) Erawan, IGMK., Suartha, IN., Batan, IW., Budiari, ES., Mustikawati, D. 2009. Analisis Faktor Risiko Penyakit Distemper pada Anjing di Denpasar. Jurnal Veteriner. 10(3).
18
Gershwin, L. J., Krakowka, S., Olsen, R.G. (1995). Immunology and Immunopathology of Domestic Animals. Missouri, Mosby-Year Book Inc. Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Methods. Theory. Practice Second ed. Perganon Press. 330-354. Koutinas, A.F., Baumgärtner, W., Tontis, D., Polizopoulou., Saridomichelakis, M.N., Lekkas, S. 2004. Histopathology and immuno histochemistry of canine distemper virus-induced footpad hyperkeratosis (hard pad disease) in dog with natural canine distemper. J Vet Pathol 41(1): 2-9. Legendre AM. 2005. Ettinger and Feldman Tex tbook of Veterinary Internal Medicine. London: Elsevier Inc. Lewis, L.D., Morris,M.L. and Hand, M.S., 1992. Small Animal Clinical Nutrition III. 3rd edition. Mark Morris Associates. Topeka-Kansas. Ramos, JJ., Lopez, A. 2007.“Combined Distemper -Adenoviral Pneumonia in Dog. The Canadian Veterinary Journal 48(6): 632-634. Robinson, W.F, C.R Huxtable dan D.A Pass. 1980. Canine Parvoviral Myocarditis; a morphological Description of the natural Disease. Vet,Path 17:281 -293. Rodriguez-Ridriguez-Tovar, LE., Ramirez-Romero, R., Valdes-Nava, Y., NavaresGarza, AM., ZarateSitepu, YV., Kardena, IM., Berata, IK. 2013. Gambaran Histopatologi Penyakit Distemper pada Anjing Umur 2 sampai 12 Bulan. Indonesia Medicus Veterinus 2013 2(5): 528 – 537. Sitorus, D.M., Silitonga, M. 2016. Pengaruh Ekstrak Etanol Daun Bangunbangun (Plectranthus Amboinicus (Lour) Spreng) Sebagai Preventif Dan Kuratif Terhadap Efek Toksik Rhodamin B Pada Histopatologi Limpa Tikus Putih (Rattus norvegicus). Jurnal Biosains 2(3):173-180. Sri AAP. 2013. Faktor-faktor yang Memotivasi Perempuan sebagai Pengelola Pondok Wisata di Kelurahan Ubud, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Jurnal Pariwisata. Vol 13(1):1-10 Subronto (2006). Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Kardena, IM., Winaya, OK., Berata, IK. 2011. Gambaran Patologi Paru-Paru pada Anjing Lokal Bali yang Terinfeksi Penyakit Distemper. Buletin Veteriner Udayana 3(1):17-24. (Beineke et al., 2009), Susatyoratih. 1985. Distemper pada Anjing. Skripsi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Winaya IBO, Berata IK, Adi AAAM, dan Kardena IM. 2014. Aspek Patologis Infeksi Parvo pada Anak Anjing di Kota Denpasar. Jurnal Kedokteran Hewan 8(2):85-89. Zhao J, Yan Y, Chai X, Martella V, Luo G, Zhang H, Gao H, Liu Y, Bai X, Zhang L, Chen T, Xu L, Zhao C, Wang F, Shao X, Wu W, Cheng S. 2009. Phylogenetic Analysis of the Haemaglutinin Gene of Canine Distemper Virus Strains Detected from Breeding Foxes, Racoons, Dogs, and Minks in China. Veterinary Microbiology. 140(1-2): 34-42. 19