Paradigma HI dan Strategi Kontraterorisme Anggalia Putri Permatasari
I.
Pengantar Sejak peristiwa 11 September 2001, kekhawatiran dunia akan terorisme internasional terus meningkat. Apa
yang oleh Lesser dkk. (1999) disebut sebagai ‘terorisme baru’ ini terus menjadi catchphrase dalam studi Hubungan Internasional kontemporer meskipun sebenarnya fenomena terorisme itu sendiri telah ada sejak lama. Terorisme internasional telah ‘mempermalukan’ negara yang secara tradisional menempati posisi terhormat sebagai aktor utama dalam hubungan internasional. Kelompok teroris menyerang aspek fisik negara (teritori dan penduduknya) sekaligus non-fisik (legitimasi politik dan monopoli akan penggunaan kekerasan yang sedianya hanya dimiliki oleh negara). Pasca-9/11, pemerintahan Bush melancarkan ‘Perang Global melawan Teror’ (GWOT) yang kemudian dinyatakan sebagai ‘‘new new master strategic narrative’ narrative’ yang menggantikan konteks strategis Perang Dingin (Gray 2007: 119). GWOT telah mempengaruhi seluruh negara di dunia karena Bush Jr. memaksudkannya seperti itu, sebagaimana tercermin dalam pernyataannya: “either “ either you are with us or against us.” us.” (Musarrat 2009: 175). GWOT telah mengundang banyak kritik, terutama dari pihak-pihak yang tidak setuju bahwa terorisme dan kontraterorisme harus dipandang sebagai perang dalam artian non-metaforis. Berbagai pandangan yang bertentangan tentang respon yang tepat terhadap terorisme ini sering dikelompokkan ke dalam dua perspektif besar, yaitu respon statist yang menekankan peran negara dan instrumen represif, termasuk kekuatan militer, dan respon communitarian yang menekankan respon legal dan kerja sama internasional (Shimko 2005: 293). Upaya mengkaji terorisme dalam studi Hubungan Internasional tidak dapat dilakukan tanpa mengkaji berbagai paradigma utama dalam HI. Makalah ini bertujuan untuk mengkaji perspektif yang ditawarkan berbagai paradigma arus-utama dalam HI terhadap karakter terorisme, jejaring terorisme, dan strategi anti/kontraterorisme. Paradigma-paradigma yang akan diulas dalam makalah ini adalah realisme, liberalisme, strukturalisme, dan konstruktivisme. Sebagaimana akan kita lihat, paradigma yang berbeda akan memandang terorisme sebagai sesuatu yang berbeda pula dan hal ini akan mengarah pada perbedaan dalam hal preskripsi penanggulangan terorisme. Tentunya berbagai paradigma ini tidak pernah diterapkan secara mutually exclusive di dunia nyata. Untuk menggambarkan kompleksitas konsepsi dan penanggulangan terorisme dalam dunia nyata, makalah ini akan mencontohkan strategi anti/kontraterorisme pada masa pemerintahan Bush Jr.
1.1 Definisi Definisi Terorisme Terorisme Hingga saat ini, tidak ada satu pun definisi terorisme yang disepakati semua pihak. U.S. Department of State mendefinisikan terorisme sebagai “premeditated, “premeditated, politically motivated violence perpetrated against noncombatant targets by subnational groups or clandestine agents usually intended to influence an audience.” .” (Pillar 2001: 13). Definisi ini menekankan aktor non-negara sebagai pelaku terorisme. Terorisme juga didefinisikan sebagai “deliberate “deliberate and systematic assault on civilians to inspire fear for political ends.” ends.” (Netanyahu 2001: 8). Definisi ini membuka peluang untuk melihat negara sebagai pelaku teror. Tokoh yang lebih ‘kritis’ 1
seperti Nassar mendefinisikan terorisme sebagai “a “ a political label given to people who are perceived to be planning or carrying out acts of violence for political ojectives.” Definisi ini menekankan sifat pendefinisian terorisme yang secara inheren bersifat politis dan merupakan pelabelan peyoratif. Menurutnya, terorisme tidak selalu dilakukan oleh individu atau kelompok di bawah negara, tetapi juga oleh pemerintah dan agen pemerintah (Nassar 2010: 18). Makalah ini akan memfokuskan diri pada aksi teror yang dilakukan oleh individu dan kelompok non-negara sesuai dengan pandangan sebagian besar paradigma arus-utama yang dibahas dalam makalah ini.
1.2
Antiterorisme dan Kontraterorisme Istilah antiterorisme dan kontraterorisme seringkali dipertukarkan, meskipun sebenarnya tidak sama.
Pemaknaannya pun berbeda-beda dari satu tokoh ke tokoh lainnya. Antiterorisme adalah istilah resmi AS untuk menyebut langkah-langkah defensif melawan terorisme, misalnya perlindungan ‘keamanan fisik’ ketika terjadi serangan teroris, sedangkan kontraterorisme berkaitan dengan upaya-upaya yang lebih proaktif dengan jangkauan yang lebih luas untuk mengendalikan dan mengurangi insiden teroris (Pillar 2001: 10). Menurut Ganor (2007), antiterorisme mencakup upaya-upaya untuk mengeliminasi teror, mulai dari mengatasi akar masalah, masalah, motivasi kelompok radikal, hingga mewujudkan Carthaginian Peace dengan menghancurkan semua teroris, namun mencakup juga upaya untuk mengendalikan kerusakan akibat insiden teroris seperti perlindungan fasilitas-fasilitas strategis dan pencegahan metode teror baru. Sementara itu, kontraterorisme mencakup upaya-upaya untuk mengendalikan eskalasi teror dengan cara mengendalikan konflik dan jejaring teror. Menurut Sommer (2009), antiterorisme mencakup upaya pengumpulan dan penyebarluasan informasi, promosi wacana publik (yang menentang terorisme), upaya melobi pembuat kebijakan untuk mendorong kebijakan dan legislasi untuk mengurangi kekerasan, mengadili teroris secara sipil, dan mengorganisasi institusiinstitusi sosial untuk menjalankan fungsi-fungsi ini. Sementara itu, itu , kontraterorisme adalah pendekatan taktis yang digunakan oleh pemerintah, militer, penegak hukum, dan pihak-pihak lain dalam menangani teroris, yang mencakup upaya-upaya intelijen dan penggunaan kekuatan (force ( force)) untuk mengeliminasi teroris. Militer AS mendefinisikan kontraterorisme sebagai “operasi-operasi yang meliputi langkah-langkah ofensif untuk mencegah, menangkal, menyerang terlebih dulu (preempt ( preempt), ), dan merespon terorisme.” (U.S. Department of Defense 2007). Jadi, dapat dikatakan bahwa secara esensial, kontraterorisme bersifat ofensif , represif dan supresif . Dari berbagai definisi di atas, kita dapat melihat bahwa terdapat sedikit perbedaan pendapat tentang cakupan antiterorisme dan kontraterorisme. Untuk kepentingan makalah ini, kontraterorisme dipandang sebagai kebijakan taktis, ofensif, represif, dan supresif untuk mengendalikan krisis yang terjadi pada saat ini dan bukan untuk menghilangkan akar penyebab terorisme sedangkan antiterorisme dipandang sebagai upaya-upaya strategis jangka panjang untuk mengurangi dan menghentikan terorisme dengan menghilangkan akar penyebab dan mengubah lingkungan yang mendorong terjadinya aksi teroris, serta langkah-langkah defensif untuk melindungi fasilitas-fasilitas strategis.
2
II.
Paradigma Realisme dalam Hubungan Internasional Realisme adalah paradigma yang dominan dalam HI meskipun saat ini banyak ditantang oleh paradigma-
paradigma yang lebih baru. Realisme memiliki empat asumsi utama, yaitu: 1) negara adalah aktor dan unit analisis utama dalam studi HI. Aktor-aktor non-negara dipandang kurang penting dibandingkan negara. Dengan demikian, realisme bersifat state-centric dan berfokus pada hubungan antarnegara 2) negara adalah aktor yang manunggal (unitary (unitary)) di mana seluruh perbedaan di dalam negara dianggap sudah selesai dan negara memiliki satu suara resmi, 3) negara adalah aktor yang rasional dalam artian mengejar tujuan-tujuannya dengan mempertimbangkan berbagai alternatif yang ada dan kapabilitas yang dimilikinya, dan 4) politik internasional dikarakteristikkan oleh pengejaran power dan power politics di antara negara-negara sehingga isu keamanan (high politics) politics) menempati prioritas tertinggi dalam agenda negara (Viotti dan Kauppi 1999: 55-7).
III.
Paradigma Liberalisme dalam Hubungan Internasional Liberalisme dapat dikatakan sebagai ‘personal ‘ personal nemesis’ nemesis’ dan alternatif historis dari realisme (Dunne 2008:
110). Tidak seperti realisme yang menekankan anarki, liberalisme berupaya memproyeksikan nilai-nilai domestik seperti kebebasan, keadilan, toleransi, dan tatanan ke dalam sistem internasional ( Ibid: Ibid: 111). Liberalisme berasumsi bahwa: 1) aktor non-negara sama pentingnya dengan negara, 2) negara bukan aktor yang manunggal karena tersusun atas individu dan kelompok di bawah negara yang saling bersaing untuk mempengaruhi negara dan oleh karenanya negara tidak selalu rasional karena keputusannya seringkali merupakan hasil tawar-menawar dan kompromi, 3) agenda politik internasional sangat ekstensif, tidak hanya terfokus pada isu keamanan nasional (Viotti dan Kauppi 1999: 199-200). Liberalisme juga menekankan pentingnya kerja sama antarnegara dan antara negara dan aktor-aktor non-negara serta pentingnya mempromosikan interdependensi ekonomi sebagai langkah untuk mengurangi kecenderungan konflik internasional (Reeson 2006).
IV.
Paradigma Paradigma Strukturalisme dalam Hubungan Internasional Strukturalisme dalam Hubungan Internasional berasumsi bahwa: 1) untuk memahami politik internasional,
kita harus terlebih dahulu memahami konteks struktural-global di mana negara dan entitas-entitas lain berinteraksi, 2) sangat penting menerapkan analisis historis untuk memahami struktur sistem internasional saat ini, 3) terdapat mekanisme dominasi yang menghambat perkembangan negara-negara Dunia Ketiga, dan 4) faktor ekonomi sangat penting dalam menjelaskan perkembangan dan berlangsungnya sistem kapitalis dunia serta subordinasi negara-negara Dunia Ketiga (Viotti dan Kauppi 1999: 341-342).
V.
Paradigma Paradigma Konstr utivis me dalam Hubungan Internasional Konstruktivisme dalam Hubungan Internasional menekankan pentingnya peran ide-ide dan kekuatan non-
material dalam membentuk politik dunia. Konstruktivisme mengeksplorasi bagaimana makna dan realitas material dikonstruksi oleh gagasan-gagasan dan interpretasi kolektif, misalnya melalui bahasa, pengetahuan,
3
simbol, dan aturan-aturan. Dengan demikian, kaum konstruktivis berpandangan bahwa semua realitas sosial adalah hasil konstruksi (Barnett 2008: 162-3).
VI.
Realisme dan Pandangan tentang Terorisme
6.1
Realis Realis me dan Karakter Terorism e Bagaimana sebuah paradigma memandang karakter terorisme akan menentukan strategi
anti/kontraterorisme yang disarankannya. Paradigma realis secara tradisional tidak ‘melirik’ isu terorisme yang dilakukan oleh aktor non-negara karena ia menekankan hubungan antarnegara. Salah satu tokoh (neo)realis, John Mearsheimer, ketika ditanya apa yang dapat ditawarkan oleh perspektif realis terhadap isu terorisme, bahkan menjawab ““not not a whole heck of a lot” lot” (Kreisler 2002). Meskipun demikian, menurut Mearsheimer, terorisme adalah sebuah fenomena yang berlangsung dalam konteks sistem internasional dan arena negara sehingga logika realisme mengenai perilaku negara akan berdampak signifikan terhadap bagaimana ‘perang terhadap terorisme’ dijalankan (Ibid (Ibid.). .). Mengenai karakter terorisme, realisme memandangnya sebagai ‘perang’ dalam artian non-metaforis. Dalam konteks ini, Carr (2002) menyatakan terorisme sebagai ‘ warfare’ terhadap penduduk sipil dan berpandangan bahwa kelompok teror “mengorganisasi diri mereka seperti halnya pasukan tentara.” Dengan demikian, aksi teroris dikonsepsikan sebagai ancaman terhadap negara dan keamanan nasional dan oleh karenanya harus diperlakukan sebagai perang asimetris. Selain itu, kaum realis juga memandang terorisme internasional sebagai semacam ‘proxy ‘ proxy war ’ yang merupakan jalan negara-negara untuk mengejar power dan mempertahankan kelangsungan hidupnya sebagai alternatif dari perang konvensional. (Reeson 2006: 1). Dengan demikian, terorisme internasional dipandang sebagai kepanjangan tangan negara dalam upaya struggle for power .
6.2
Realis Realis me dan Jejaring Terorism e Realisme memandang jejaring teror sebagai sesuatu yang tidak hanya meliputi kelompok teroris yang
terdiri dari sel-sel individual yang saling berhubungan, tetapi turut mencakup negara-negara yang mensponsori mereka. Jadi, realisme selalu melihat teroris internasional sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari negara berdaulat sebagaimana dinyatakan oleh Netanyahu, “There “ There is no international terrorism without the support of sovereign states.” states.” (Netanyahu 2001: xiii). Berdasarkan pandangan ini, jejaring teroris internasional didasarkan bukan pada kelompok teroris itu sendiri, melainkan pada rezim-rezim pemerintahan yang ‘mempromosikannya,’ seperti_menurut Netanyahu_Iran pasca-Revolusi 1979, Irak, Suriah, Taliban-Afghanistan, Otoritas Palestina, dan rezim-rezim Arab lain seperti Sudan (Ibid (Ibid.,., h. xiv). Oleh karena itu, kaum realis akan selalu memandang Al-Qaeda sebagai bagian yang terpisahkan dari Taliban-Afghanistan, Hizbullah dari wilayah Libanon yang dikontrol oleh Suriah, serta Hamas, Palestine Islamic Jihad, Jihad, dan Tanzim dari Otoritas Palestina. Organisasi dan negara ‘teroris’ ini bersama-sama membentuk jejaring teror yang teror yang saling mendukung baik secara operasional maupun secara politis (Ibid (Ibid.) .)
6.3
Realis Realis me dan Strategi Anti /Kontrat eroris me 4
Konsepsi terorisme sebagai ‘perang terhadap negara’ mensyaratkan kontraterorisme dalam konsepsi yang sama, yakni perang asimetris. Hal ini berarti respon realis terhadap terorisme adalah respon yang termiliterisasi (fully-militerised response), response), bukan sekadar pemanfaatan militer untuk membantu otoritas sipil dalam upaya kontrateror (hal ini yang membedakannya dari respon liberalisme) (Wilkinson 2006: 70). Strategi kontrateror realis tidak ragu untuk menggunakan kekuatan militer untuk mencegah, mengendalikan eskalasi, dan mengeliminasi jejaring teroris (tidak hanya kelompoknya, tetapi juga negara yang mendukungnya) sebagaimana dikemukakan Shimko, “...terrorist attacks as acts of war...might require a forceful response not only against terrorist organizations but also against states that actively support or passively tolerate them(Shimko them(Shimko 2005: 293). Strategi inilah yang diadopsi oleh U.S. Department of Defense, yang mendefinisikan kontraterorisme sebagai ‘langkah-langkah ofensif,’ termasuk di dalamnya pre-emptive dan preventive strike. strike. Hal ini berkaitan erat dengan pandangan realis terhadap jejaring teror yang selalu menghubungkan atau menarik garis lurus antara kelompok teroris dengan negara teroris yang memberikan dukungan dan perlindungan terhadapnya. Realisme meresepkan respon yang ‘kuat’ terhadap teroris, termasuk aksi ofensif terhadap negara lain, karena terorisme dipandang sebagai ancaman terhadap keamanan nasional (Van Evera 2006: 10), bukan hanya kejahatan terhadap kemanusiaan. kemanusiaan. Negara yang menyatakan perang, seperti ketika Bush menyatakan bahwa Amerika adalah “ nation at war ” pasca-9/11 (Murray 2004: v), menyiratkan sebuah kondisi ‘supreme ‘supreme emergency,’ emergency,’ suatu kondisi di mana masyarakat/negara menghadapi ancaman penghancuran dahsyat (anihilasi) yang akan datang dengan segera (Fiala 2002). Dalam kondisi ini, negara dapat memberlakukan ‘supreme ‘ supreme emergency exemption,’ exemption,’ yaitu pengecualian-pengecualian terhadap kehidupan normal, termasuk pembatasan kebebasan sipil misalnya dalam bentuk langkah-langkah intelijen terhadap warga negaranya sendiri sampai langkah-langkah ekstrim seperti pelarangan aktivitas-aktivitas berkelompok dan pemberlakuan larangan keluar rumah ( curfew). curfew). (Beyer 2006 ) Semua ini dilakukan karena_seperti dikemukakan oleh Van Evera_“business Evera_“ business as usual will not suffice” suffice” (Van Evera 2006: 22). Yang menarik dari realisme adalah kemunculan ‘sayap progresif’ realisme yang menyatakan bahwa kontraterorisme perlu dilakukan dengan menggunakan hard power , tetapi juga harus disertai dengan upaya diplomasi publik (penggunaan soft power ) untuk “memenangkan hati dan pikiran” masyarakat dunia, terutama di negara-negara sponsor terorisme itu sendiri (Kreisler 2002; Nye; 2006; Van Evera 2006). Langkah-langkah antiterorisme menurut perspektif ini turut mencakup pemanfaatan media global, program pertukaran, bantuan pembangunan dan bencana, dan kerja sama militer dalam damai. Meskipun demikian, soft power ini hanya dimaksudkan sebagai pelengkap, bukan pengganti hard power . Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa realisme pertama-tama memandang terorisme sebagai ‘ act of war ’ terhadap negara dan bahwa organisasi teroris tidak dapat dipisahkan dari negara yang mensponsorinya sehingga strategi anti/kontraterorisme ditekankan pada penggunaan intelijen dan militer untuk mengeliminasi organisasi teror (dalam bentuk perang asimetris dengan tujuan mencapai Carthiginian Peace), Peace), termasuk respon militer terhadap negara-negara sponsor terorisme. Karena berfokus pada terorisme sebagai ‘ act of war ,’,’ realisme tidak tertarik untuk berupaya mengeliminasi ‘akar penyebab’ terorisme ( Ibid.) Ibid.) karena realisme memandang 5
terorisme sebagai akibat dari adanya ‘fundamental ‘ fundamental clash of values’ values’ yang tidak akan pernah dapat dihilangkan (Shimko 2005: 293). VII.
Liberalisme dan Pandangan Pandangan tentang Terorisme Terorisme
6.1
Lib eralisme dan Karakter Terorism e Liberalisme termasuk ke dalam perspektif komunitarian yang memandang terorisme sebagai aksi
kejahatan terhadap kemanusiaan atau aksi kriminal terhadap penduduk sipil (Shimko 2005: 293; Wilkinson 2006: 49) dalam bentuk kekerasan yang non-diskriminatif. Terorisme, berdasarkan taktik-taktik yang digunakannya (pemboman, penculikan, pembunuhan, pambajakan) dipandang pertama-tama sebagai “aksi kriminal dalam pengertian klasik” (Lesser et al. 1999: 7) meskipun ia memiliki motif politik. Seandainya kaum liberal menerima aksi teroris sebagai ‘act ‘act of war ’ sekalipun, terorisme akan dipandang sebagai ‘kejahatan perang’ yang tetap jatuh dalam ranah kriminal (Schmid 2010: 22). Liberalisme cenderung melihat terorisme sebagai akibat dari ‘akar penyebab’ tertentu, yaitu represi rezim diktatorial yang mengekang hak-hak sipil dan politik warga negaranya ( Ibid., Ibid., h. 50).
6.2 6.2
Liberalisme dan Jejaring Terorisme Terorisme Liberalisme tidak serta-merta menarik garis lurus antara individu teroris atau organisasi teroris dengan
negara yang dianggap mensponsorinya karena liberalisme mengakui peran independen aktor non-negara ( in its own rights). rights). Perspektif liberal secara tradisional memandang konsep ‘jejaring’ sebagai modalitas utama dari aktoraktor non-negara, termasuk kelompok teroris. Jejaring teror internasional dipandang sebagai kumpulan individu dan organisasi (dalam bentuk sel-sel individual) yang menggunakan metode terorisme untuk mencapai tujuannya, yang berjalin-kelindan dan saling mendukung secara operasional melintasi batas-batas negara. Dengan demikian, liberalisme memandang jejaring teror pertama-tama jejaring transnasional (Beyer 2006) yang memiliki derajat independensi tersendiri dan tidak serta-merta mengaitkannya secara absolut dengan negara sponsor tertentu.
6.3 6.3
Liberalisme dan Strategi Strategi Anti dan Kontraterorisme Karena terorisme dipandang sebagai permasalahan kriminal yang mengganggu public order (bukan
ancaman terhadap keamanan nasional), penanganannya harus dilakukan melalui penegakkan hukum ( law enforcement) enforcement) (Fiala 2002). Pandangan ini beresonansi dengan respon komunitarian terhadap terorisme yang menurut Shimko harus mencakup respon internasional dan multilateral dalam konteks hukum dan organisasi internasional (2005: 299). Langkah-langkah antiterorisme dalam paradigma liberal mencakup pembentukan tribunal internasional untuk mengadili individu teroris yang melakukan serangan, penyusunan legislasi untuk membatasi hal-hal yang memfasilitasi pergerakan dan operasi teroris (misalnya pendanaan) sebagai penangkalan, juga yang memiliki karakter penanganan keluhan rakyat yang legitimate (prophylaxis), prophylaxis), dan kerja sama internasional dalam hal anti/kontraterorisme (Shimko 2005: 293; Wilkinson 2006: 80). Dalam upaya penegakkan hukum ini (termasuk penangkapan, peradilan, dan penahanan), paradigma liberal selalu menekankan dijunjung tingginya hak asasi manusia, termasuk HAM para tersangka dan terdakwa teroris. 6
Kaum liberal, sesuai dengan pandangannya terhadap ‘akar penyebab’ terorisme, juga menekankan promosi demokrasi (Wilkinson 2006: 51) dan pendekatan diplomasi dan politik (melalui peace process) process) sebagai strategi antiterorisme jangka panjang, salah satunya dengan mempromosikan penyelesaian konflik Israel-Palestina (Ibid., Ibid., h. 58). Sebagian besar upaya kontraterorisme liberal diletakkan di pundak penegak hukum, yaitu polisi (dalam, bentuk intelijen dan agensi khususnya, misalnya Densus 88) untuk mencegah dan mengendalikan eskalasi insiden teror. Meskipun demikian, paradigma liberal juga memungkinkan dimasukannya unsur militer dalam strategi kontraterorisme, yaitu dalam konsep MACP atau military aid to civil power dan power dan bukan dalam bentuk fully-militerised response sebagaimana telah dibahas sebelumnya (Wilkinson 2006: 70). Paradigma liberal juga menekankan peran intelijen dalam kontraterorisme, namun harus tetap berada di bawah otoritas sipil dan dikaji secara periodik oleh parlemen. Liberalisme tidak akan membenarkan ‘perang melawan teror’ dalam bentuk kampanye militer penuh dengan alasan tingginya resiko jatuhnya korban yang tidak bersalah dan resiko terjadinya full-scale war ( war (Ibid., Ibid., h. 72) ‘Perang melawan teror’ dalam konteks liberal hanya bersifat metaforis dan harus dilakukan dalam konteks hukum yang berlaku (Fiala 2002). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa paradima liberal memandang terorisme sebagai aksi kriminal dan jejaring teror pertama-tama sebagai kumpulan individu dan organisasi yang melakukan aksi teror (tidak sertamerta mengaitkannya secara absolut terhadap sebuah negara sponsor). Strategi anti dan kontraterorisme dalam paradigma liberal mencakup upaya-upaya diplomatik dan politik untuk menyelesaikan konflik internal dan internasional (peace (peace process), process), penegakkan hukum melalui aksi polisional, peradilan kriminal (sipil), dan bantuan militer terhadap otoritas sipil (MACP). Dalam jangka panjang, strategi antiteror liberalisme mencakup eliminasi akar penyebab terorisme, yaitu dengan mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia tanpa pemaksaan ataupun kekerasan.
VIII.
Strukturalisme dan Pandangan tentang Terorisme
6.1
Karakter Terorism e Pada dasarnya, strukturalisme memandang terorisme sebagai aksi kriminal. Namun, strukturalisme lebih
menekankan akar penyebab dari terorisme itu sendiri dan radikalisasi identitas. Dalam hal ini, terorisme internasional dapat dipandang sebagai reaksi terhadap hegemoni global AS yang telah melakukan intervensi ekstensif, baik secara militer maupun politik, di berbagai kawasan dunia, termasuk di Timur Tengah, yang kemudian menumbuhkan perasaan anti-Amerika dan radikalisme di kawasan-kawasan tersebut. Dengan demikian, struktur mendasar dari terorisme adalah keterlibatan AS secara militer-politik di berbagai kawasan dunia dan pemaksaan kepentingan AS dalam perpolitikan regional (Beyer 2006: 1). Deprivasi relatif dan ketidaksetaraan struktural yang dibawa globalisasi pun dipandang sebagai faktor yang menyebabkan terorisme. Dengan demikian, terorisme dipandang sebagai reaksi terhadap tatanan global yang hirarkis dan tidak adil, yang di antaranya termanifestasikan dalam kebijakan luar negeri AS yang dominan, interventif, imperialis, dan hegemonik. Dalam
7
kerangka konseptualisasi teror dari Schmid (2010), terorisme dari paradigma strukturalis dapat dipandang sebagai aktivitas politik untuk mewujudkan tatanan baru yang lebih adil.
6.2
Jejaring Terorism e Pandangan strukturalisme mengenai jejaring teror dapat dikatakan sama dengan cara liberalisme
memandangnya, yaitu terutama sebagai jejaring transnasional. Hal ini terjadi karena strukturalisme dan liberalisme sama-sama mengakui independensi aktor non-negara dan menentang pandangan yang state-centric. state-centric.
6.3 6.3
Strategi Strategi Anti dan Kontraterorisme Karena menekankan akar penyebab terorisme, strategi antiterorisme dari pandangan strukturalis pun
difokuskan pada eliminasi faktor-faktor struktural yang menyebabkan terorisme ini, yaitu perubahan kebijakan luar negeri AS di berbagai kawasan di dunia, penghormatan terhadap HAM, bantuan ekonomi, dan demokratisasi tanpa intervensi militer (Beyer 2006), deradikalisasi, serta perbaikan kesejahteraan ekonomi-sosial secara umum. Seperti dalam paradigma liberal, strategi kontraterorisme dari paradigma ini lebih menekankan penggunaan soft power.
IX.
Konstrukt ivisme dan Pandangan tentang tentang Terorisme
6.1 6.1
Konstruk tivism e dan Karakter Karakter Terorisme Terorisme Konstruktivisme memandang terorisme sebagai produk diskursus (Hülsse dan Spencer 2008: 572), suatu
kesepakatan bersama yang diperoleh melalui interaksi dan dialog. Kaum konstruktivis mengkaji bagaimana makna terorisme dikonstruksi secara sosial. Dengan demikian, terorisme dapat dikonstruksikan sebagai apapun: perang, kriminal, aktivitas politik, komunikasi, hingga bentuk ritual agama (Schmid 2010: 2) atau bahkan benturan antarperadaban (Arifin 2001: 134). Menurut Hülsse dan Spencer, pada awalnya terorisme dikonstitusikan sebagai ‘perang,’ namun sejak tahun 2004, metafora yang digunakan di media massa AS mulai bergeser menjadi ‘terorisme sebagai kriminal’ seiring dengan bergesernya kontraterorisme AS dari respon militer menuju respon yudisial (Ibid (Ibid.) .)..
6.2 6.2
Konstruk tivism e dan Jejaring Terorisme Terorisme Seperti halnya, karakter terorisme, karakter jejaring teror juga merupakan produk diskursus: apakah
jejaring tersebut akan difokuskan pada organisasi-organisasi teroris atau organisasi teroris sebagai perpanjangan tangan negara sponsor.
6.3 6.3
Konstruk tivism e dan Strategi Strategi Anti/Kontraterorisme
8
Strategi anti/kontraterorisme dalam paradigma konstrutivis bergantung pada bagaimana karakter dan jejaring terorisme dikonstruksikan. Pada intinya, strategi anti/kontraterorisme merupakan produk diskursif yang terbentuk melalui interaksi dan dialog yang menciptakan kesepakatan bersama yang mengikat semua pihak dalam bentuk regulative speech. speech. Strategi kontrateror yang ofensif dan represif, misalnya, merupakan hasil dari proses sekuritisasi yang melibatkan speech act untuk meningkatkan ‘status’ terorisme dari aksi kriminal biasa menjadi ancaman terhadap keamanan nasional. Begitupula sebaliknya, dapat terjadi desekuritisasi yang mengubah makna terorisme dan pada gilirannya mengubah strategi anti/kontrateror untuk menghadapinya.
7.
Simpulan Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa secara sederhana, paradigma realis memandang terorisme
sebagai perang asimetris yang harus ditanggapi secara militer, liberalisme memandang terorisme sebagai aksi kriminal yang harus ditangani melalui prosedur hukum dalam konteks nilai dan norma demokratis, strukturalisme memandang terorisme sebagai aksi kriminal/aktivitas politik sebagai reaksi terhadap ketidakadilan struktural dan radikalisasi yang harus ditangani dengan menghilangkan root cause dan deradikalisasi, sedangkan konstruktivisme memandang terorisme dan strategi penanganannya sebagai produk diskursif yang dicapai melalui regulative speech. speech. Perbandingan antarparadigma dan contoh kasus dapat dilihat dalam Tabel 1 dan 2 berikut.
9
No 1
2
Kriteria Pembanding Karakter Terorisme ‘Root Cause’
Realisme Realisme
Liberalism e
Terorisme sebagai perang (asimetris)
Terorisme sebagai aksi kriminal/kekerasan nondiskriminatif Fundamental clash of Rezim pemerintahan yang values represif dan tidak demokratis
Strukturali sme Terorisme sebagai aksi kriminal atau aktivitas aktivitas politi politik k Ketimpangan ekonomi akibat globalisasi, globalisasi, deprivasi, deprivasi, dominasi global AS, kebijakan luar negeri AS yang interventif
Konstr uktiv isme Terorisme sebagai produk diskursus; keamanan-resiko Bergantung pada proses diskursif
Radikalisasi
3
Jejaring Terorisme
4
Strategi Antiterorisme
Organisasi rganisasi teroris dan negara sponsor sebagai sebuah kesatuan yang tak terpisahkan Carthaginian Peace
Organisasi teroris sebagai aktor transnasional
Organisasi rganisasi teroris sebagai aktor transnasional
Ibid. Ibid.
Legislasi, Legislasi, peradil peradilan, an, pendidi pendidikan, kan, promosi promosi
Perbaikan kesejahteraan sosial-
Bergantung pada proses proses diskursif: diskursif:
10
Tabel 1. 1. Perbandingan Antarparadigma dalam Memandang Terorisme
demokras demokrasii dan HAM
ekonomi global, global, perubahan KLN AS Deradikalisasi
5
Strategi Kontrateror
Perang asimetris, intelijen, operasi khusus
6
Agensi/ Institusi
Militer-i iliter-intelijen ntelijen
Aktivitas polisional khusus, khusus, peran militer sebagai pembantu otoritas sipil (MACP) Terfragmentasi entasi dan terdiferensiasi dengan adanya koordinasi, akuntabilitas, akuntabilitas, dan transparansi
Penggunaan soft power
Badan Antiteror Nasional
sekuritisasi; kesepakatan bersama dalam bentuk regulative speech menuju keamanan komprehensif Ibid. Ibid.
Badan Badan Kontrateror Kontrateror Nasional
Tabel 2. Contoh Kasus Strategi Anti/Kontraterorisme AS pada Masa Pemerintahan Bush Jr. (Strategi 4D)
No
Prinsip Kebijakan Kontrateroris me AS
Elemen Paradigma Paradigma
1
“Defeat terrorist organizations” organizations” (militer (militer dan polisi) polisi ) (kontraterori (kontraterorisme sme))
Reali Realisme sme dan liberali liberalisme sme
2
“Deny further sponsorship, support, and sanctuary” sanctuary ” (kontraterori (kontraterorism sme) e)
Reali Realisme sme
3
“Diminish the underlying conditions” conditions” (antiterori (antiterorisme sme))
Liberalisme Liberalisme dan struktural strukturalisme isme
4
“Defend the United States” States ” (antiteror (antiterorisme) isme)
Reali Realisme sme dan Liberalisme Liberalisme
5.
Penggunaa Penggunaan n metafor metafora a ‘perang,’ ‘negara ‘negara sponsor,’ ‘crusade,’ crusade,’ ‘promosi demokrasi,’
Konstruktivisme
dan oposisi biner antara ‘good’ ‘good’ and ‘evil’ ‘evil’ serta dehumanisasi teroris dalam diskursus strategi anti/kontraterorisme Bush Jr. dicirikan sebagai diskursus ‘neo-konservatif liberal’ atau ‘realisme idealis’
Juml ah Kata: 3.499 3.499
11