New Economic Policy (NEP) bagi Keeelompok Melayu di Malaysia SKRIPSI
Disusun oleh : Nama
: FADMA WIJAYATI
NIM
: 06 / 195079 / SP / 21413
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA © 2010
DAFTAR ISI
Halaman Judul Daftar Isi
i
Daftar Tabel
ii
Daftar Grafik
iii
BAB I : PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang
1
B. Rumusan Masalah
4
C. Landasan Konsep
4
D. Argumen Utama
9
E. Metode Penulisan
11
F. Sistematika Penulisan
12
i
BAB II : DINAMIKA PLURALITAS MALAYSIA A. Fenomena Pluralitas Malaysia
14 16
B. Konflik Komunal dan Sentimen Etnis Berujung dikeluarkannya Singapura dari Federasi Malaysia C. Ketimpangan Ekonomi antar Etnis Melahirkan Riot 13 Mei 1969 BAB III : NEW ECONOMIC POLICY DI MALAYSIA
23 25 28
A. Kebijakan Ekonomi Baru Malaysia NEP
28
B. Langkah NEP dalam mengharmonisasi Etnisitas Malaysia
30
C. Reaksi Etnis Cina terhadap NEP
40
D. NEP bagi Etnisitas Malaysia
46
BAB IV : KESIMPULAN
49
DAFTAR PUSTAKA
52
DAFTAR TABEL
TABEL I
The Mean Incomes of Households by Ethnic Group 1957 – 1970
TABEL II
28
Ownership of Limited Company Share Capital (at per value) of Limited Companies According to Ethnic Group
34
ii
DAFTAR GRAFIK
GRAFIK I
Penguasaan Asset di malaysia selama periode NEP
GRAFIK II
Development of KSM ( Koperasi Serba Guna Malaysia ), 1968 - 1980
35
45
iii
ABSTRACT
Malaysia is a multi-ethnic state with a long record of communal conflicts. As noted in the history, friction between groups of interest has been become a serious threat to state’s integrity. After the occurrence of a bloody tragedy in May 1969, Malaysian government set up New Economic Policy called NEP that aim to eliminate economic inequality between ethnic groups. Malaysian government considers the NEP as a legitimate solution for problems of ethnic divides while others considers that NEP is a manifestation of government’s authoritarian action. As public policy, the NEP is considered aggressive and discriminatory and triggers the controversial reactions from various parties, both domestic and foreign. Protest also came from non-recipient groups of NEP especially Malaysian Chinese ethnic groups who feel excluded from the noble ideals of the NEP. They felt that the NEP only benefits Melayu ethnic and can’t accommodate the interests of all ethnic groups evenly.
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Sebagai
bekas
koloni
Inggris,
pasca
kemerdekaanya
Malaysia
mengembangkan produk-produk kebijakan domestik yang sesuai dengan kondisi Negara yang sedang dalam proses pembentukan bangsa (Nation Building). Dengan demikian perumusan dan pelaksanaan kebijakan domestik Malaysia tidak dapat terlepas dari pengaruh sejarah, geopolitk, etnisitas, serta dorongan yang kuat untuk menjadi Negara industri modern. Oleh karena itu pada level domestik, pemerintah Malaysia menjadikan ketenangan dan stabilitas politik sebagai indikator tercapainya keamanan domestik. Dinamika politik dalam negeri menunjukan etnisitas sebagai persoalan mendasar bagi kelangsungan Malaysia. Sebagaimana banyak dialami oleh negara yang plural, Malaysia dihadapkan pada permasalahan kemajemukan. Diferensiasi sebagai konsekuensi logis dari pluralitas ini pada banyak kasus menjadi pemicu sensitifitas konflik etnis. Kepentingan-kepentingan dari konsolidasi etnis yang ada tidak mengerucut menuju satu kesamaan kehendak bersama. Merujuk pada paparan Furnivall, masyarakat majemuk didefinisikan menjadi masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen atau tatanan sosial yang hidup berdampingan namun tanpa membaur dalam satu unit politik.1 Konsepsi inilah yang digunakan dalam 1
Furnivall, J. S. 1944 ( orig. 1939 ). Netherlands India : Study of Plural Economy. New York : Macmillan. Hal : 446
1
mengidentifikasi relasi Melayu, Cina dan India di Malaysia, dimana kombinasi kedekatan geografis dengan segregasi sosial diikuti dengan klasifikasi peran. Segregasi sosial ini, pada akhirnya memunculkan sebuah kondisi yang oleh Furnivall sebagai ciri politik yang paling mengelisahkan dari format masyarakat majemuk, yakni ketiadaan kehendak “sosial umum” diantara mereka.2 Furnivall mendefinisikan tuntutan sosial sebagai selera-selera, nilai-nilai, dan identitas-identitas bersama yang dihayati oleh seorang individu sebagai salah satu anggota masyarakat yang dapat dipenuhi dengan menjadi salah satu anggota masyarakat itu. Ketiadaan kehendak sosial umum akan terus menjadi kegelisahan selama crass cross issue tidak dapat diterapkan dengan baik. Dalam konteks permasalahan keberagaman Malaysia, paparan tersebut dipahami sebagai segregasi kelompok-kelomok etnis tidak hanya dalam koridor diversifikasi identitas, tetapi juga benturan-benturan kepentingan yang berawal dari kecemburuan privilege yang diperoleh Bumiputera. Ketiadaan kehendak umum menjadi konsekuensi logis ketika nation building yang ada dilakukan melalui proses pemaksaan, bukan melalui proses distribusi peran yang imparsial. Oleh karenanya manajemen konflik etnis dilakukan dengan pengalihan isu-isu kebijakan rasial menjadi paparan isu-isu yang lebih dilihat sebagai isu yang dimiliki bersama. Dalam konteks Malaysia dapat dilihat, uapaya persemakmuran nasional adalah isu yang coba diangkat untuk mengantisipasi sentiment rasial. Meskipun “hidden agenda” dari Melayu jelas terlihat dalam kebijakan ekonomi tersebut, strategi konsolidasi ini pada akhirnya dapat membawa keberhasian NEP dalam hegemoni Malaysia.
Sebagai Negara dengan keanekaragaman etnik dan kebudayaan, pemerintah Malaysia memiliki tantangan unifikasi untuk mempertahankan stabilitas nasional Negara tersebut. Konstitusi merupakan unsur pembentuk konsepsi stabilitas nasional Malaysia. Melalui konstitusi etnis Melayu memastikan dominasinya sebagai pribumi dengan mengagendakan privilege bagi penduduk Melayu untuk mendapatkan pekerjaan pada sector birokrasi, mendapatkan pendidikan dan beasiswa, serta mendapatkan akses bisnis yang lebih mudah. Hak-hak istimewa ini dengan sengaja 2
Furnivall, J. S. Op Cit. Hal : 448
2
dipertahankan agar penduduk pribumi dapat memelihara hegemoninya atas penduduk non-pribumi. Kerusuhan rasial berdarah tahun 1969 memperkuat argumen urgensi “kesetaraan“ posisi penduduk pribumi atas penduduk non-pribumi. Etnisitas dalam politik Malaysia memperkuat argument tentang urgensi factor domestik dalam pembentukan konsep keamanan nasional. Dominansi etnis Melayu dalam politik Malaysia merefleksikan adanya inter-play antara konsepsi etnis Melayu dan konsepsi stabilitas nasional. Bahkan terminologi aman dan tidak aman bagi UMNO dan Malaysia-pun secara bertahap berhimpitan dengan terminologi aman dan tidak aman dari etnis Melayu. Dengan demikian, dengan memperkuat “rasa aman” etnis Melayu, Malaysia direpresentasikan telah melakukan usaha untuk memperkuat stailitas nasionalnya pada level domestik. Sejarah mencatat kebijakan-kebijakan rasial
menjadi
bagian
yang
membentuk
sistem
ekonomi
politik
negara
persemakmuran ini. Isu etnis tumbuh menjadi potensi konflik yang kemudian berujung pada tragedi Mei 1969 yang merupakan refleksi kemenangan kaum sentimen anti-Melayu terhadap rivalnya yang terdiri dari aliansi gabungan UMNO (The United Malays Nasional Organitation), MCA (Malaysian Chinese Association), dan MIC (Malaysian Indian Congress). Oleh karena itu, sepanjang dekade 1970-an, pemerintah Malaysia melakukan berbagai upaya untuk memperkuat kepentingan etnis Melayu. Kebijakan NEP ( New Economic Policy ) yang digelar setelah kerusuhan berdarah tahun 1969, merupaka refleksi dari keinginan kuat elit Melayu dalam upaya meningkatkan dominasi Melayu di bidang ekonomi yang secara ekonomi lemah apabila dibandingkan dengan etnis Cina. NEP adalah kebijakan rasial yang dinilai sebagai
ethnic-based
affirmative
action
programs
yang
sukses
dijalakan
pemerintahan Melayu Malaysia. Dengan mengedepankan disparitas pendapatan antara etnis Melayu dengan dominasi Politik dan etnis Cina dengan dominansi ekonominya, pada akhirnya relasi inter-ethnic dapat di stabilisasi. Kondisi ini
3
semakin didukung dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan bagi etnis Melayu sejalan keberhasilan NEP.3 Secara umum gagasan NEP adalah representasi dari tujuan menciptakan stabilitas politik nasional melalui penguatan pemerintah yang ditopang oleh barisan Nasional. Pada akhirnya stabilitas politik nasional inilah yang diharapkan memiliki spill over effect yang akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi dalam koridor NEP.
B.
Rumusan Masalah Bagaimana kebijakan pemerintah Malaysia dalam NEP (New Economic
Policy) mempengaruhi posisi kelompok Melayu di Malaysia ?
C.
Landasan Konsep Sebagai Negara yang multi-kultur, Malaysia menghadapi tantangan konflik
etnis yang kompleks. Terdapat 2 hal yang menyebabkan munculnya konflik etnis. Pertama adalah karena adanya struggle for power dan yang kedua adalah konflik terjadi akibat adanya sebuah proses global dalam masyarakat
4
yang selanjutnya
berimplikasi pada munculnya penyebab terjadinya konflik itu sendiri yang biasanya bersumber pada defense for identity. Lipschutz
menguraikan hubungan antara
etnisitas dan identitas. Etnik menunjuk pada identitas kelompok yang sangat eksklusif (dan relative berskala besar) yang didasarkan pada ide kesamaan asal-usul, 3
Fiss, Owen M. Affirmative Action as a Strategy of Justice. 1996. Paper presented at "Affirmative Action Talk," a symposium sponsored by the Whitney Humanities Center and Yale Law School, October 1996. (http://www.puaf.umd.edu/IPPP/6QQ.HTM)
4
Lipschutz, Ronnie D. 1998. Seeking A State Of One’s Own: An Analytical Framework For Assessing Ethnic And Sectarian Conflicts. GAIA Research Series, UC Berkeley, Global, Area, and International Archive
4
keanggotaan
yang
terutama
berdasarkan
kekerabatan,
dan
secara
khusus
5
menunjukkan kadar kekhasan budaya. Dengan pemahaman seperti itu maka etnik bisa mencakup pada kelompok-kelompok yang dibedakan oleh warna kulit, bahasa dan agama, etnik meliputi suku bangsa, ras, kebangsaan dan kasta. Sedangkan identitas lebih kepada proses alamiah, yang lebih didapat dari proses sosial. Tantangan tersebut disikapi oleh pemerintah Malaysia dengan mengimplementasikan strategi affirmative action dalam pembentukan kebijakan publik negara tersebut guna menjalankan upaya nation building negara tersebut. Terdapat berbagai pengertian atau definisi yang mampu menjelaskan makna dari kebijakan publik. Secara sederhana, Dye memaknai kebijakan public sebagai “ what government do, why they do it, and what differences it makes ”.6 David Easton mendefinisikannya sebagai the impact of government activity.7 Sementara Dwijowijoto, mendefinisikan kebijakan publik sebagai “kebijakan yang dibuat oleh administratur negara yang mengatur kehidupan bersama (masalah bersama) seluruh masyarakat yang berada di negara tersebut”. Namun pendefinisian kebijakan publik seperti tertulis di atas belum cukup untuk menjelaskan secara tepat, karena dimensi analisa kebijakan publik yang begitu luas. Definisi yang paling tepat mengenai kebijakan publik mengacu pada konsep James Anderson yakni “ arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam suatu masalah atau suat persoalan ”.8 5
Diamond, Larry & Plattner, Marc F. Nationalism, Ethnic Conflict and Democracy, Nasonalisme, konflik etnik dan demokrasi ,diterjemahkan oleh Drs.Somardi. 1998. Bandung : Penerbit ITB, hal, 20a
6
R.N. Dwijowijoto. 2006. Kebijakan Publik untuk Negara-Negara Berkembang. Jakarta : Elex Media Komputindo. Hal : 23
7
Ibid. Hal : 25
8
Winarno, Budi. 2000. Kebijakan Publik : Teori dan Proses. Yogyakarta : Media Pressiondo. Hal : 18
5
Ketepatan definisi tersebut karena lebih memusatkan perhatian kepada apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan. Konsep ini juga membedakan kebijakan dari keputusan yang merupakan pilihan di antara berbagai alternatif yang ada. Sebuah kebijakan publik akan dipengaruhi oleh faktorfaktor bukan pemerintah, seperti misalnya kelompok-kelompok penekan (pressure groups) maupun kelompok-kelompok kepentingan (interest group). Pengaruh dari aktor-aktor dan faktor-faktor tersebut menunjukkan bahwa kebijakan publik merupakan hasil tarik-menarik antara kepentingan kelompokkelompok yang terkait dengan sebuah masalah. Karl Deutsh mendefiniskan interest group sebagai “ a collection of persons who expect a parallel or joint reward for some possible course of events, and who are therefore likely, though not certain, to act in some ways in common in regard to what they perceive to be their common chances ”.9 Dimensi
Analisis
government-politics
atau
birokrasi-politik
menjadi
pembahasan yang sangat penting dalam memahami kebijakan NEP. Menelaah dimensi analisis birokrasi politik maka perlu melihat model kebijakan apa yang digunakan oleh negara dimana suatu kebijakan publik tersebut berlangsung. Birokrasi politik sebagai sebuah dimensi analisis sejalan dengan model kebijakan elitis yang digunakan di berbagai negara berkembang yang cenderung berdasar pada sistem otoriter. Model kebijakan elitis ini didasari oleh teori elit yang mengatakan bahwa semua lembaga politik dan lembaga-lembaga masyarakat lainnya tidak bisa dielakkan didominasi oleh sekelompok individu yang sangat kuat, yang memanipulasi instrument-instrumen kekuasaan bagi kepentigan mereka.10 Sekelompok individu
9
Deutsch, K.W. 1978. The Analysis of International Relations (second edition). New Jersey : Prentice Hall. Hal : 57
10
Winarno. Op. Cit. Hal : 42
6
yang dimaksudkan disini adalah kelompok-kelompok yang berfungsi dan berperan dalam mengejar kepentingan mereka, baik dalam bentuk kelompok kepentingan (interest group) maupun kelompok penekan (pressure group). Dimensi analisis birokrasi politik yang memahami bahwa kebijakan/keputusan dibuat dari proses negosiasi dan kompromi dari konflik kepentingan yang terjadi diantara aktor-aktor politik.11 Strategi affirmative action merupakan salah satu strategi yang dikenalkan oleh pemerintah Amerika kepada publik dunia pada abad ke 20. yakni pada tahun 1961, dimana Presiden John F. Kennedy menandatangani Executive Order 10925 yang mengatur dan menyatakan bahwa pemerintah harus mengambil langkah affirmative action untuk memastikan bahwa para pekerja tidak dipekerjakan berdasar hanya pada ras, warna kulit dan kebangsaan. Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk memberi
kesempatan yang lebih luas bagi golongan yang terdiskriminasi.
Affirmative action bisa dimaknai sebagai langkah positif untuk
menyelesaikan
diskriminasi, mencegah kemunculan kembali diskriminasi, dan untuk membangun kesempatan baru yang sebelumnya tidak dialami oleh golongan yang terdiskriminasi. Terdapat tiga substansi dalam affirmative action yaitu fairness, merit dan diversity. Namun penerapan affirmative action banyak dinilai oleh berbagai pihak justru sebagai suatu bentuk legitimasi bagi suatu tindak ketidakadilan itu sendiri. Pandangan kontra ini dilatarbelakangi oleh pendapat bahwasanya kebijakan affirmative action merupakan suatu bentuk penerapan ketidakadilan, sebab mengingat pihak-pihak yang menerima tindakan diskriminatif adalah generasi yang tidak mengerti apa-apa dan biasanya tindakan kompensasinyya diberikan kepada generasi setelahnya yang tidak mengalami tindakan diskriminatif tersebut secara langsung, sehingga tidak sesuai dengan prinsip restitusi. Disamping itu, Affirmative action merupakan kebijakan yang
11
Dwijowijoto. Op. Cit. hal 52
7
tidak seharusnya diaplikasikan pada sektor politik dan ekonomi. Hal ini dikarenakan pada kedua sektor ini secara teori tergantung pada persaingan yang ada, bukan berdasarkan pada aturan kebijakan yang memihak, sehingga pada penegakan affirmative action justru menimbulkan adanya ketidakefisienan sebab parameter yang digunakan bukan lagi pada kualifikasi yang ada Dalam implementasi dari affirmative action di Malaysia selanjutnya diikuti dengan aplikasi dari teori compensatory justice12 yang merupakan tindakan dimana seseorang mendapatkan kompensasi yang adil atas kerugian/penderitaan yang dialami yang disebabkan oleh pihak lain. Seperti halnya proses pengedilan, seorang yang mengalami perlakuan tidak adil selanjutnya diberikan keadilan melalui lembaga peradilan yang bebas serta tidak mengikat. Namun bedanya dalam isu pergesekan etnis di Malaysia tidak jelas proses peradilan macam apa yang digunakan untuk menentukan parameter keadilan itu sendiri, dan sampai batas mana keadilan harus ditegakan hingga pihak yang dirugikan berhak menerima kompensasi. Sedangkan parameter keadilan sendiri sangat relative untuk diputuskan. Sebagai respon atas kompleksitas pluralitas Malaysia, pemerintah Malaysia menerapkan strategi politik consociational sebagaimana dikemukakan oleh Arend Lijphart yaitu dengan mengupayakan legitimasi melalui kebersamaan pada sebuah identitas nasional namun tetap memisahkan golongan etnis dalam beberapa aspek.13 Dalam konteks umum, Lijphart mendefinisikan identitas sebagai proses kognitif dan sosial sebagaimana menempatkan seseorang ke dalam kelas tertentu. Identitas tidak dapat dipolitisasi karena jika politik adalah struggle for power maka identitas bukan merupakan objek dari usaha tersebut. Namun dewasa ini identitas justru dapat dipengaruhi oleh kondisi politik. Hal ini dilatarbelakangi oleh kondisi identitas 12
Fiss, Owen M. Op. Cit.
13
Lijphart, Arend. 1977. Democracy in Plural Societies : a Comparative Exploration. New Haven : Yale University Press. Hal : 5
8
tersebut yang belum stabil dan masih ada kemungkinan untuk mencari identitas baru. Dan identitas nasional adalah analytic tools untuk menyatakan ‘bangsa’ dan ‘negara’, di mana negara adalah hukum dan batas teritori sementara bangsa adalah sekelompok orang yang memiliki kesamaan tertentu.14 Penerapan teori consociational ini banyak dipilih oleh negara-negara dengan masyarakat majemuk sebagai suatu solusi bagi permasalahan pluralitas yang muncul menyertai kemajemukan itu. Seperti halnya Malaysia, Belgia, Canada, Austria, Swiss dan banyak negara plural lain menggunakan consociational sebagai formula managemen konflik mereka. Konflik muncul sebagai dampak dari distribusi sumber daya yang tidak merata. Dengan demikian consociational muncul dengan menawarkan suatu sistem power sharing sehingga diharapkan mampu memberikan implikasi positif berupa stabilitas tatanan sosial dalam suatu negara, disamping juga diharapkan mampu memunculkan perdamaian di tengah konflik etnis yang ada untuk selanjutnya menciptakan suatu sistempolitik yang adil dan partisipatis.
D.
Argumen Utama Pasca kerusuhan berdarah yang terjadi di Malaysia pada 13 Mei 1969,
pemerintah Malaysia memahami akan adanya potensi konflik pada Negara plural seperti halnya Malaysia. Terlebih bilamana pluralitas yang ada selanjutnya diikuti dengan adanya fenomena ketimpangan ekonomi pada masyarakatnya. Seolah belajar dari kesalahan yang ada, pasca terjadinya vacuum power akibat kerusuhan berdarah Mei 1969, pemerintahan Malaysia yang baru mengeluarkan kebijakan ekonomi baru bagi Malaysia. New Economic Policy atau yang lebih dikenal
14
Lipschutz, Ronnie D. Op. Cit.
9
dengan NEP ini diharapkan mampu menjadi jalan keluar bagi permasalahan etnis dan ekonomi yang terjadi pada masyarakat di Malaysia. Banyak pihak memandang bahwasanya kebijakan pemerintah Malaysia melalui NEP merupakan suatu tindakan agresif pemerintah Malaysia yang dinilai diskriminatif dalam menyikapi kondisi plural yang ada pada masyarakatnya. Sebab kebijakan NEP oleh pemerintah Malaysia tersebut dengan terang-terangan menunjukan adanya perlakuan berbeda kepada etnis Melayu yang disebutkan sebagai penduduk Bumiputera dengan memberikan privilege tersendiri kepadanya dimana perlakuan tersebut tidak diberikan juga terhadap etnis lain non-Bumiputera. Sehingga dengan menguntungkan salah satu kelompok etnis saja maka melalui kebijakan NEP pemerintah Malaysia seolah mengkerdilkan persaingan pasar yang ada, sebab penguasaan terhadap sector perekonomian tidak lagi ditentukan melalui standar kualifikasi kualitas melainkan melalui kuota jumlah kuantitas etnis tersebut. Sebagai suatu kebijakan yang lahir dari ketidakpuasan salah satu kelompok terhadap kelompok lain sudah barang tentu NEP tidak terhindarkan dari adanya reaksi protes dan tidak setuju dari kelompok lain yang merasa dirugikan. Namun menyadari akan pentingnnya stabilitas keamanan dan harmonisasi etnis, pemerintah Malaysia selanjutnya mengeluarkan peraturan-peraturan lain sebagai respon akan reaksi tidak setuju terhadap NEP, antara lain melalui peraturan Internal Security Act dan Sediction Act yang dikeluarkan sebagai respon akan reaksi protes kelompok etnis Cina yang keberatan akan implementasi kebijakan NEP. Bahkan pemerintah Malaysia juga mengeluarkan peraturan PPPA sebagai wujud adanya kontrol pemerintah Malaysia akan pemberitaan pers dimana dengan demikian diharapkan mampu membantu pencitraan positif bagi pemerintah. Yakin akan keberhasilan yang nantiya dibawa oleh NEP pemerintah Malaysia tetap menjalankan kebijakan ekonomi baru tersebut dengan sangat mantap. Tindakan
10
preventif dan represif yang ditunjukan oleh pemerintah Malaysia melalui NEP tersebut selanjutnya diharapkan mampu membawa dampak positif pada kondisi etnisitas dan perekonomian Malaysia pasca berakhirnya kebijakan NEP pada tahun 1990. Pada akhir periodenya pencapaian ekonomi yang sangat signifikan ditunjukan pada peningkatan GNP serta GDP Malaysia. Pembagian potongan kue ekonomi Malaysia pun tidak lagi menbentang lebar, sehingga sejalan dengan kondisi tersebut hal serupa juga nampak pada iklim komunal Malaysia. Sentiment antar etnis serta pergesekan-pergesekan etnis yang sebelumnya ada pada iklim etnisitas di Malaysia akibat dari ketimpangan ekonomi yang tajam dalam masyarakat seolah tereduksi dengan sangat baik sebagai output dari kebijakan ekonomi baru oleh pemerintah dalam NEP.
E.
Metode Penulisan Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian analisis deskkriptif
komparatif dalam penyajianya serta menerapkan metode penelitian normatif kualitatif dalam melihat fenomena social ekonomi Malaysia pada pengelolaan dan harmoniasasi etnisnya, melalui wawancara serta yang dikuatkan oleh studi pustaka dengan penggunaan sumber-sumber data dan literatur-literatur pendukung. Konsentrasi penelitian ini dititik beratkan pada analisa terhadap metode pengelolaan etnis Malaysia melalui penerapan affirmative action dan consociational yang membawa pengaruh signifikan dalam arah kebijakan sosial politik serta ekonomi antar etnis yang direfleksikan oleh pemerintah Malaysia melalui aplikasi NEP di Negara tersebut. Dan selanjutnya dilihat pula bagaimana aplikasi serta implikasi dari kebijakan tersebut terhadap iklim social ekonomi Malaysia dan harmonisasi etnis pada msyarakatnya.
11
F.
Sitematika Penulisan Penulisan skripsi ini terbagi atas bagian-bagian seperti berikut : Pada BAB Pertama akan dijelaskan overview mengenai kondisi geopolitik, sejarah, serta komposisi identitas yang ada di Malaysia yang pada akhirnya mebentuk relasi sosial budaya yang menjadi identitas sosial politik Malaysia. Pada bagian ini juga akan dibahas bagaimana relasi etnis yang ada di Malaysia menjadi faktor penentu kebijakan-kebijakan rasial yang dijalankan
peerintah
Malaysia.
Bagian
pertama
merupakan
bagian
pendahuluan yang akan membahas latar belakang masalah serta alasan penarikan judul dari karya tulis ini, juga akan dibahas sepintas tentang bagaimana arah kebijakan pemerintah Malaysia dalam rangka pengelolaan etnis sosialnya serta konstelasinya dengan tonggak pembahasan fenomena politik dan social, ekonomi yang terjadi pasca tahun 1969 khususnya pada tragedi etnis 13 Mei dan korelasinya dengan arah kebijakan di Negara tersebut. BAB Kedua merupakan bagian isi, yang membahas tentang bagaimana dinamika pluralitas di Malaysia dan akan ditulis pula komparasi social ekonomi yang terjadi di Malaysia serta aplikasi bagi nation building Malaysia dan penyelarasan etnis dalam social kemasyarakatanya. Selanjutnya adalah BAB Ketiga pembahasan analisa dari rumusan masalah Bagaimana kebijakan pemerintah Malaysia dalam NEP (New Economic Policy) mempengaruhi etnisitas Malaysia. Dalam bab ini akan dibahas bagaimana proses yang terjadi serta langkah pemerintah dan dinamikanya sehingga NEP dengan input negative (diskriminasi etnis) mampu menghasilkan output yang positif (harmonisasi etnis). Bab ini akan memaparkan bagaimana NEP dengan berbagai aksi otoroternya mampu 12
membawa stabilitas yang pada akhirnya memberi impact pada keberhasilan cita-citanya. Secara umum bab ini akan menjelaskan langkah dari kebijakan yang telah dijalankan oleh pemerintah Malaysia sebagai upaya harmonisasi etnis pasca tahun 1969, juga polarisasi etnis pada sektor perekonomian dan sosial lain melalui urgensi NEP. Bagian ketiga ini juga akan membahas pula tentang reaksi etnis Cina Malaysia terhadap kebijakan NEP serta bagaimana pencapaian tujuan dari kebijakan tersebut mempengaruhi proses harmonisasi etnis di Malaysia sehingga tercipta adanya suatu keselarasan sosial dalam masyarakat BAB Keempat berisikan tentang kesimpulan serta uraian singkat dari materi yang diangkat, yaitu tentang bagaimana kebijakan pemerintah Malaysia
dalam
NEP
(New
Economic
Policy)
akhirnya
mampu
mempengaruhi posisi kelompok Melayu di Malaysia serta bagaimana kondisi etnisitas di Malaysia pasca NEP.
13
BAB II DINAMIKA PLURALITAS MALAYSIA
Demokrasi menjadi model ideal moderenitas yang diusung oleh tokoh-tokoh besar memasuki abad ke-19. Post-modernis mengusung euforia demokrasi secara global pada aspek sosio-politis dengan meletakan negara sebagai main actor-nya. Meski demikian komunitas koridor demokrasi mempunyai konsekuensi yang kompleks terkait tuntutan-tuntutan ekualitas dimana manajemen konflik yang efektif merupakan seuatu keharusan dalam mengantisipasi perpecahan-perpecahan etnis, religius dan linguistis yang tajam dalam masyarakat, terlebih bagi negara yang sangat majemuk. J. S. Miller mengungkapkan bahwa “ institusi-institusi merdeka nyaris tak mungkin muncul di negara yang terdiri dari bangsa-bangsa yang saling berlainan. Diantara orang-orang yang tidak memiliki rasa kesamaan, khususnya jika mereka membaca dan berbicara dengan bahasa-bahasa yang berlainan, maka opini publik yang menyatu, yang perlu bagi bekerjanya pemerintahan yang representatif, tidak akan bisa hidup “.15 Para optimis demokrasi berpendapat bahwa gesekan-gesekan sosial yang ada memang sesuatu yang retoris dalam sebuah proses pendemokrasian sebuah bangsa. Pandangan optimis demokrasi meyakini akan adanya akomodasi mayoritas dan minoritas yang mampu terwujud melalui proses demokrasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Huntington “integrasi nasional menuntuut penggantian sejumlah 15
Miller, J. S. 1958. Considerations on Representative Government. New York : Liberal Arts. Hal : 230
14
besar otoritas politik tradisional, religius, familial, dan etnis dengan sebuah otoritas politik nasional yang sekuler dan tunggal”16 Dari pemahaman itulah selanjutnya muncul pemikiran tentang pentingnya penegakan Nation Building bagi kelangsungan kedaulatan suatu negara. Hechter dalam bukunya menyebutkan bahwasanya nation building merupakan suatu proses nasionalisme pembangunan negara yang bertujuan mengasimilasi atau menggabungkan wilayah dan atau kelompok yang secara kultural bersifat berbeda-beda ke dalam suatu negara kesatuan yang ada dengan menumbuhkan rasa kecintaan, kesamaan dan rasa sama-sama memiliki.17 Mengikuti perspektif modernis yang sebelumnya ada, selanjutnya Eric Hobsbawn mendefinisikan bangsa sebagai tradisi turunan dan berpendapat bahwa “suatu bangsa modern terdiri dari banyak gagasan dan diasosiasikan dengan suatu simbol atau suatu wacana yang sesuai seperti sejarah nasional”18 Tradisi seperti itu digunakan untuk melegitimasi pembakuan dari administrasi dan hukum, serta pada pembentukan kebijakan publik lain sehingga dapat menjadikan bermacam civil society ke dalam satu kesatuan identitas kebangsaan. Dan dalam hal ini, kesuksesan Malaysia sebagai suatu negara sangat tergantung pada harmoni rasial yang ada mengingat kondisi masyarakatnya yang plural, disamping juga bergantung pada stabilitas sosial dan politik dalam negerinya. Seperti nampak dalam cita-cita penyetaraan ekonomi di Malaysia yang diharapkan mampu menghilangkan perbedaan diantara warga negara dan menciptakan masyarakat yang homogen, suatu masyarakat yang setara. 16
Huntington, Samuel P. 1968. Political Order in Changing Societies. New Haven : Yale University Press. Hal : 34
17
Hechter, Michael. 2000. Containing Nationalism. Oxford, New York : Oxford university press. Hal : 15
18
Hosbawm, Eric J. & Ranger, Terence O. 1983. The Invention of Tradition. Cambridge, England : cambidge university. Hal : 1
15
Jika kebangsaan selalu dianalogikan sebagai suatu kesatuan pemahaman, maka menurut Karl Deutsch “suatu kelompok sosial dalam masyarakat dihubungkan dengan kelompok sosial lain dengan bantuan komunikasi sosial yang ada berupa wacana ekonomi yang selanjutnya akan berubah menjadi suatu bangsa ketika muncul kekuatan di dalamnya”.19 Sehingga muncul asumsi kemudian bahwa kesuksesan demokrasi oleh suatu bangsa majemuk adalah ketika kepentingan mayoritas yang terkotak-kotak dalam suatu tatanan masyarakat majemuk mampu mengakomodasi hak-hak dari pihak minoritas. Hal ini dimaksudkan bahwa dengan adanya suatu mobilisasi sosial yang cenderung menyerap kelompok linguistik yang berbeda ke dalam suatu bangsa yang terdiri dari berbagai ragam budaya yang berbeda untuk selanjutnya mengasimilasikanya ke dalam kelompok yang lebih dominan, maka diharapkan akan mampu menciptakan tegaknya nation building yang berjalan seirama dengan tegaknya demokrasi pada suatu negara.
A.
Fenomena Pluralitas Malaysia Sebagaimana yang dikhawatirkan dalam berbagai teori kebangsaan,
bahwasanya pluralisme pada suatu negara menjadikan keberadaan masyarakat majemuk sebagai salah satu masalah yang kompleks yang akan terus menerus mengalami pergesekan. Di Asia Tenggara teori ini seolah terbukti pada tragedi kekerasan etnis yang melanda Malaysia pada tahun-tahun pasca Perang Dunia II yang menemui puncaknya pada tragedi Mei 1969. Perdebatan etnoreligius lagi-lagi menjadi sumbu pemicu pecahnya konflik domestik tersebut. Namun tidak hanya sampai disitu saja, masalah etnoreligius dan sentiment etnis yang diwarnai dengan kompetisi dalam sektor ekonomi antar etnis menjadikan masalah pluralisme ini justru
19
Deutsch, Karl. W. 1977. Ecosocial Systems and Ecopolitics : a Reader on Human and Social Implications of Environmental Management in Developing Countries. UN : UNESCO
16
semakin runcing saja, yang selanjutnya bahkan memunculkan core baru dalam konflik ini yakni keadilan dan partisipasi. Apakah salah satu kelompok etnis atau religius menerima ketidakadilan pertumbuhan ekonomi dari yang lain ? Apakah aturan ekonomi dibuat secara tidak adil untuk menguntungkan salah satu segmen saja? Dan haruskan proses pasar dikomplementasikan dengan program penyetaraan (affirmative action ) untuk membantu kelompok yang belum mendapatkan potongan adil “ kue “ ekonomi mereka ? Sementara parameter keadilan itu sendiri sangat relatif. Tema baru seperti ekonomi dan kesenjangan social justru hadir sebagai minyak pada bara api, yang selanjutnya memancing problematika berkelanjutan seperti apakah potongan kue ekonomi sebaiknya didasarkan pada pembagian yang merata ataukah harus berdasar pada kualitas yang dimiliki sebagaimana telah diatur dalam pandangan kompetisi yang sehat dan ataukah harus didasarkan pada kuota kuantitas masing-masing ? Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang muncul dan memicu terjadinya kekerasan-kekerasan etnis serta konflik etnis Mei 1969 di Malaysia. Sebagaimana diungkapkan oleh Clifford Geertz bahwa kemerdekaan nasional akan merangsang sentimen
etnoreligius
di
negara-negara
baru,
sebagaimana
kemerdekaan
memperkenalkan “ hadiah perebutan baru yang sangat berharga “ yaitu kontrol atas negara.20 Konsepsi ini tidak hanya berlaku dalam iklim politik kehidupan berbangsa saja, melainkan juga berlaku dalam sektor ekonomi dan penguaaan pasar serta distribusi kekayaan nasional suatu negara kepada pihak-pihak dan atau kelompok masyarakat yang ada pada negara tersebut. Keberhasilan proses ini selanjutnya mampu
20
memperkuat
cita-cita
demokrasi
dalam
keselarasan
sipil
dan
Geertz, Clifford. 1973a. After the Revolution : The Fate of Nationalism in the New State, dalam The Interpretation of Cultures, 234 – 254. New York : Basic. Hal : 270
17
kewarganegaraan. Namun ketika proses distribusi ini hanya mengkonsentrasikan kekayaan dan kekuasaan ditangan salah satu segmen etnis, religius, atau budaya saja, maka kemungkinan besar justru hanya akan memperburuk ketegangnan serta merongrong akomodasi sipil yang menjadi basis dari kesejahteraan jangka panjang. Untuk itu disinilah diperlukan adanya pertimbangan pada penciptaan pasar ( market making ), pengambilan keputusan ( decision making ) dan pembentukan bangsa ( nation building ) pada negara-negara dengan sistem masyarakat majemuk seperti Malaysia. Ketegangan antara ideal-ideal eksklusivitas etnis dengan hal-hal yang bersifat majemuk memang sudah lama berlangsung dalam sejarah Melayu Malaysia. Hal ini semakin terasah bilamana Malaysia mulai dibanjiri dengan pendatang-pendatang khususnya dari Cina dan India, sehingga fenomena ini memicu persepsi yang lebih miring dari masyarakat melayu yang bahkan sebelumnya sudah miring terhadap etnis non-melayu pendatang tersebut. Dan yang lebih penting adalah ketika akhirnya elite melayu memandang bahwa dirinya tengah terlibat dalam persaingan dengan orangorang Cina dan India pendatang. Penghayatan kepercayaan itu mereka beri ekspresi “ etnis “ yang bahkan lebih sempit lagi daripada sebelumnya.21 Mereka lebih senang menyebutnya demikian. Bahwa melayu adalah pribumi dan non-melayu merupakan pendatang. Ketika sebelumnya perselisihan yang terjadi antara etnis melayu dan nonmelayu secara implisit disebabkan oleh masalah religius terlebih dari masalah linguistis dan budaya, yang dimana hal ini kemudian menjadikan orang melayu secara eksplisit adalah muslim, sedangkan yang lainya adalah bukan, maka perselisihan ini pun bertransformasi menjadi semakin meruncing. Dengan demikian
21
Nagata, Judith. 1984. The Reflowering of Malaysian Islam : Modern Regious Radicals and Their Roots. Vancouver : University of British Columbia Press
18
sebagaimana telah diungkapkan oleh Hussin Muthalib, bahwa akhirnya orang melayu menggunakan Islam sebagai instrumen persaingan etnis dan kontrol negara.22 Meruncingnya perselisihan antar etnis ini diindikasikan juga karena faktor ekonomi, dimana etnis melayu sebagai etnis mayoritas di Malaysia justru cenderung tertinggal dalam bidang ekonomi bila dibandingkan dengan etnis lain khususnya Cina. Lagi-lagi pengkotakan etnis kembali tersentuh bahkan turut membawa “mayoritas” sebagai ekor tambahanya. Sitem politik di Malaysia merupakan kombinasi romantis antara sistem demokratis dan otoriter. Yang dimana sejalan dengan prinsip consociational yang demokratis menempatkan perwakilan politik dari setiap kelompok sebagai pengawasan tensi komunal pada penegakan demokrasi yang utuh. Namun dibalik itu seolah sadar dengan iklim yang ada pemerintah mempercayakan penyetaraan ( affirmative action ) dan conpensatory justice sebagai alat otoritarian untuk melestarikan kekuasaan yang ada dalam rangka menekan gerakan konflik komunal agar tidak terus berkembang sehingga nantinya dapat membahayakan posisi pemerintahan dan stabilitas nasional. Teori consociational mengupayakan legitimasi melalui kebersamaan pada sebuah identitas nasional namun tetap memisahkan golongan etnis dalam beberapa aspek.23 Sebagaimana diungkapkan A. Lijphart consociational theory merupakan suatu proses kesepakatan dari masing-masing kelompok yang merupakan bagian dari sistem masyarakat yang terkotak-kotak (majemuk/plural) untuk saling berbagi pemerintahan dengan mengedepankan koalisi, proporsionalitas, serta menghargai hak-hak minoritas.24 22
Muthalib, Hussin. 1990. Islam and Ethnicity in Malay Politics. Singapura : Oxford University Press
23
Lijphart, Arend. 1977. Op Cit.. Hal : 5
24
Lijphart, Arend. 2000. “Varieties of Nonmajoritarian Democracy,” in Democracy and Institutions : The Life Work of Arend Lijphart, ed. Markus Crepaz, Thomas Koelble, and David Wilsford. Michigan : University of Michigan Press. Hal : 228
19
Wacana consociational juga diterapkan dibeberapa negara plural lain, seperti Belanda, Swiss, Belgia, dan Austria. Hampir sama dengan malaysia, di Belgia diversifikasi etnis terjadi dari tahun 1970. Consociational diaplikasikan oleh pemerintah Belgia dengan pendekatan teritorial dan non-teritorial, yakni dengan mengartikulasikan cara devolve power simultaneousely pada tiga region, yakni Flanders, Wallonia, dan Brussels, dan pada dua komunitas yaitu komunitas berbahasa Belanda dan komunitas berbahasa Perancis. Hal yang hampir sama juga dilakukan pada aplikasi sisttem consociational oleh pemerintah Austria.25 Pada tahun 1957 tercatat penduduk Malaysia terdiri dari 50% penduduk asli dan 37% penduduk pendatang etnis Cina serta sisanya adalah etnis India dan lainlain.26 Namun dengan keluarnya Singapura dari federasi Malaysia pada tahun 1963 maka menurut hasil sensus pada tahun 1965 tercatat jumlah penduduk asli Malaysia sebesar 55,5% ( yang merupakan 46,8% etnis melayu dan 8,7% penduduk asli etnis lain ), sementara jumlah penduduk non-pribumi sebesar 44.5% ( yang terdiri dari 34,1% etnis Cina, 9% etnis India dan lainya sebesar 1,4%).27 Menengok angka hasil sensus tersebut dipastikan bahwa etnis Melayu merupakan kelompok mayoritas di Malaysia. Angka yang besar tersebut diwarnai pula dengan keseragaman yang ada pada internal etnis tersebut. Semua etnis melayu di Malaysia berbahasa melayu dan hampir semuanya muslim. Dengan berbagai macam dialek namun disatukan oleh kesamaan tulis dalam bahasa bakunya. Sehingga dengan jumlah besar yang homogen, etnis melayu memiliki kekuatan kesamaan kepentingan untuk diperjuangkan, selain juga mereka merupakan “tuan rumah” di Negara tersebut. Di sisi lain, etnis Cina dan India di Malaysia terdiri dari berbagai macam induk budaya, bahasa dan agama. Di antara etnis Cina terdapat sebagian kecil 25
Lijphart, Arend. 1977. Op. Cit. Hal : 150 – 153
26
Ratnam, K.J. 1965. Communalism and The Political Process in Malaya. Malaysia : for The University of Singapore by The University of Malaya Press.
27
Milne, R. S. & Mauzy, D. K. 1980. Politics and Government in Malaysia. Michigan : Times Books International
20
yang memeluk agama Kristen dimana selebihnya memeluk agama Budha, Kong Hu Chu dan Taoisme. Selain itu diantara etnis pun memiliki macam-macam bahasa yang saling berlainan, yang terbagi dari beberapa induk budaya berbeda seperti Kanton, Hakka, Tio Ciu, Hokkian, Kek, dan lain sebagainya. Sementara hal serupa juga terjadi dalam internal etnis India, yang sebagian besar penduduk memeluk agama Hindhu namun ada pula yang beragama Sikh, Islam dan lain sebagainya. Induk budaya mereka pun tidak selalu seragam, ada beberapa diantaranya berasal dari induk budaya Tamil, Malayalee, Telugu, dan Sikh, yang tentunya masing-masing memiliki ragam budaya dan bahasanya sendiri. Fenomena ini menunjukan mudahnya kesatuan melayu menancapkan panji-panji hegemoninya kepada etnis lain diluar mereka yang secara nyata terkotak-kotak di dalam kotak mereka yang sudah sempit. Kelompok etnis di Malaysia juga Nampak jelas terbedakan dalam partisipasi ekonomi yang ada. Etnis melayu hidup sebagai petani dan nelayan. Hanya satu dari lima kota yang di dominasi oleh etnis melayu dimana mereka hidup dan bekerja di bidang pemerintahan.28 Sebaliknya etnis Cina dan India bekerja pada bidang ekonomi modern seperti bekerja di perkebunan dan pertambangan. Ada juga yang bergelut di bidang administrasi di perusahaan asing. Memang terdapat sebagian kecil etnis nonmelayu yang juga bekerja pada sektor pemerintahan, yang menempati jabatan tinggi, akibat warisan dari kebijakan kolonial Inggris etnis melayu memperoleh legitimasi politik di Malaysia.29 Dominasi birokrasi dan politik oleh etnis melayu terhadap etnis lain memang sudah dimiliki sebelumnya sedari pemerintahan kolonial Inggris. Namun hal tersebut tidak lantas mampu mengubah posisi etnis melayu dalam partisipasi ekonomi Malaysia. Perbedaan sektor bidang kerja ini selanjutnya turut pula mempengaruhi tingkat pembagian kelas dalam masyarakat.
28
Ratnam, K.J. Op. Cit.
29
Roff, William R. Op Cit.
21
Kebijakan consociational diperlukan di Malaysia, sebab jika menurut Robert Dahl demokrasi merupakan pemberian hak politik, memilih dan dipilih pada sebuah PEMILU yang bebas dan adil, serta dituangkan dalam sebuah jaminan atas kebebasan berserikat dan berpendapat yang dijamin oleh institusi publik yang membela kepentingan umum.30 Maka penegakan demokrasi di Malaysia akan dapat terwujud dalam strategi kebijakan consociational. Power sharing dalam prinsip consociational sangat diperlukan dalam masyarakat plural guna mencegah terjadinya konflik komunal yang rentan terjadi. Sebagaimana kekhawatiran pemerintahan kolonial Inggris sebelumnya, bahaya laten komunis sewaktu-waktu mengancam stabilitas politik dan kepentingan Malaysia di masa depan, terlebih bila terdapat di dalamnya dukungan dari Cina. Penerapan kebijakan consociational ini selanjutnya menjadi penting bagi Malaysia sebagai sarana guna menjaga stabilitas tatanan sosial negara, dengan demikian mampu memunculkan perdamaian ditengah konflik etnis yang ada. Melalui kebijakan ini pemerintah Malaysia juga mengharapkan terciptanya suatu sistem politik yang adil dan partisipatif. Aplikasi kebijakan consociational nampak jelas pada komposisi Barisan Nasional Malaysia yang terdiri dari koalisi The United Malays National Organization ( UMNO ), The Malays Chinese Association ( MCA ), dan The Malays Indian Congress ( MIC ) yang dengan sukses aliansi ini berhasil memenangkan PEMILU antara tahun 1965 – 1969. Namun kebijakan consociational di Malaysia dilakukan oleh pemerintah dengan tetap melestarikan jaminan hak-hak privilege melayu yakni dengan cara membatasi kebebasan sipil berupa pembatan hak berpendapat dan pembatasan hak politik. Hal ini nampak pada kebijakan pemerintah Malaysia dalam 30
Dahl, Robert A. 1956. A Preface to Democratic Theory. United State of America : University of Chicago Press
22
Internal Security Act ( ISA ), Sedition Act ( SA ), dan Printing Presses Publivation Act ( PPPA ). Dengan demikian consociational di Malaysia diterapkan dengan dasar dominasi etnis mayoritas, sehingga memaksa etnis minoritas untuk menerima otoritas dari mayoritas. Disamping itu, sistem politik dan kebijakan Malaysia juga dikompromikan dengan gabungan karakter sosialisme dan nasionalisme.31 Fenomena ini seperti halnya kelemahan kebijakan consociational yang membutuhkan keterlibatan yang tinggi dari tiap pemimpin kelompok yang ada, selanjutnya menjadikan pimpinan dari kelompok tersebut memiliki pengaruh struktur pemerintahan dan politik yang sangat signifikan, sehingga mendatangkan konsekuensi logis berupa kecenderungan akan merugikan kelompok yang tidak memiliki posisi tinggi dan pengaruh besar.32
B.
Konflik komunal dan Sentimen Etnis berujung dikeluarkanya Singapura dari Federasi Malaysia Tahun 1960-an merupakan tahun dimana ketegangan social dan ancaman
konflik komunal di Malaysia meningkat. Pembagian post-post serta sector antar etnis yang dipahami pada tahun 1957 akan hak-hak politik dan ekonomi mulai menimbulkan
kesenjangan
dalam
masyarakat
sehingga
memicu
adanya
ketidakpuasan social pada amasyarakat. Negosiasi yang berlangsung diantara para elit pengambil kebijakan tidak dipahami secara utuh pada tingkat bawah dan menimbulkan adanya ketegangan antara etnis melayu dan etnis non-melayu. Pembangunan politik Malaysia telah mengesampingkan orientasi pada pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Bahkan pertumbuhan ekonomi yang 31
Funston, John. 2001. Government and Politics in Southeast Asia. Singapore : Institute of Southeast Asian Studies.
32
Lijphart, Arend. 1977. Op. Cit.
23
adapun tidak merata pada seluruh kelompok masyarakat.33 Ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat menimbulkan adanya disparsitas komunal. Perbandingan yang timpang pada partisipasi ekonomi antara etnis melayu dan non-melayu hampir merata pada setiap sector. Pada sector pedesaan dan tradisional ketertinggalan etnis melayu terhadap etnis lain berbanding tiga disbanding satu. Sedangkan pada sector modern menunjukan adanya angka lima banding dua, yang lagi-lagi menunjukan ketertinggalan etnis melayu.34 Fenomena ini tentu saja turut serta mempengaruhi besarnya pendapatan etnis melayu yang juga tertinggal dari etnis lain non-melayu. Data menunjukan pada tahun 1961 pendapatan etnis melayu per bulan rata-rata hanya mencapai 172 $. Angka ini sangat jauh tertinggal bilamana dibandingkan dengan pendapatan etnis India yang berkisar rata-rata 304 $ per bulan dan 394 $ per bulan bagi etnis Cina. Etnis melayu hanya menguasai sector pemerintahan. Hal ini pun dikarenakan kebijakan warisan dari pemerintahan colonial Inggris. Dari dinamika yang ada partisipasi aktivitas ekonomi oleh etnis melayu Nampak jelas kurang apabila dibandingkan dengan etnis lainya. Selanjutnya ketimpangan antar etnis dalam menjlankan fungsi ekonomi ini tentunya menimbulkan protes-protes penyetaraan. Dimana etnis melayu menganggap bahwasanya Malaysia sudah seharusnya menjadi rumah hanya untuk bangsa Malaysia asli ( yang menurut mereka direpresentasikan dengan penduduk pribumi / melayu ). Ketegangan antar etnis yang ada menjadi lebih parah ketika pada tahun 1963 federasi baru Malaysia justru memutuskan masuknya Singapura ke dalam kesatuan Negara Malaysia. Hal ini turut pula mempengaruhi kondisi relasi etnis Malaysia, mengingat penduduk Singapura yang didominasi oleh etnis Cina. Pasca 33
Jomo, K. S. 1986. A Question of Class : Capital, the State, and Unevn Development in Malaysia. Kuala Lumpur : Oxford University Press.
34
Shamsul A. B. 1988. The "battle royal": The UMNO elections of 1987. In Southeast Asian Affairs 1988, edited by Mohammed Ayoob and Ng Chee Yuen. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
24
bergabungnya Singapura, prosentase penduduk etnis Cina di Malaysia dari yang sudah ada meningkat
menjadi 42%. Keadaan ini sudah barang tentu memicu
timbulnya konflik komunal serta aksi protes dari etnis melayu. Aksi-aksi frontal dilakukan oleh etnis melayu sebagai wujud kekecewaanya. Tidak sedikit toko-toko milik etnis Cina dijarah dan dibakar. Tindak teror pun dilancarkan terhadap etnis Cina dengan maksud mengacaukan kehidupan mereka agar turut merasakan kesengsaraan yang “dirasakan” oleh bangsa melayu. Kondisi ini terus berlangsung sepanjang tahun1964 hingga akhirnya berujung pada dikeluarkanya Singapura dari federasi Malaysia pada tahun 1965. Keputusan mengaluarkan Singapura ini diambil guna mengambalikan dominasi politik melayu di Malaysia yang sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi.
C.
Ketimpangan Ekonomi Antar Entis Melahirkan Riot 13 Mei 1969 Kerusuhan sosial menjadi episode historis tersendiri dalam dinamika politik
Domestik Malaysia. Seperti halnya kerusuhan rasial tahun 1964 yang menyebabkan terpisahnya Singapura, fenomena konflik terus berlanjut dan mencapai eskalasinya pada Mei 1969 ketika pecah konflik etnis yang lebih besar hingga mempengaruhi stabilitas nasional Negara tersebut. Konflik ini disebabkan oleh masalah lama yang sempat teredam namun kembali mengemuka yaitu masalah pergesekan etnis, dalam konteks isu hasil Pemilu. Setelah sebelumnya sejarah pernah mencatat situasi di Malaysia pada tahun 1964 yang tidak kondusif akibat ketimpangan ekonomi antara golongan keturunan Cina yang umumnya pedagang serta menguasai sebagian besar perekonomian Malaysia juga mendominasi kekayaan negara, dengan golongan miskin, dari etnis Melayu yang justru merupakan etnis mayoritas di Malaysia. Isu ini selanjutnya semakin mencapai tataran eskalasi konflik. Fenomena pergesekan antar golongan serta ras yang
25
menyentuh emosi dan sentimen kemudian justru diangkat menjadi tema utama dalam kampanye Pemilu 1969. Konsekuensi logisnya, gesekan antara etnis Melayu dan etnis Cina menjadi semakin signifikan. Bahkan dalam kampanyenya selama selama praPemilu 1969, partai-partai politik di Malaysia, khususnya oleh partai oposisi justru menjadikan isu sensitive unequality antar etnis menjadi topik utama mereka. Hal ini semakin mengasah konflik serta sentiment rasial di Malaysia. Puncaknya pada Pemilu Malaysia tanggal 10 Mei 1969, kemenangan Democratic Action Party (DAP) yang merupakan partai terbesar dari etnis Cina atas partai koalisi yang saat itu tengah berkuasa, United Malays National Organization (UMNO) menjadikan masalah ini semakin kompleks. Saat itu partai koalisi ( yang terdiri dari UMNO,MCA,MIC ) hanya mendapatkan 66 kursi dalam Dewan Rakyat (parlemen), menurun drastis dari perolehan mereka pada atahun 1964 yaitu sejumlah 89 kursi. Kondisi ini menyebabkan partai koalisis harus kehilangan sebanyak dua per tiga dari kursi Dewan Rakyat ( parlemen ) Malaysia. Sementara itu partai DAP dan PPP merayakan kemenangan mereka dengan mengadakan pawai kemenangan di berbagai daerah di Malaysia. Konflik berawal ketika UMNO melakukan pawai tandingan. Pawai tandingan ini terus berlangsung hingga kemudian tersebar berita bahwa telah terjadi penyerangan oleh etnis Cina kepada etnis Melayu yang tengah melintas di Setapak, beberapa mil di utara Selangor. Berita ini menjadi pemicu sentimen etnis melayu. Puncaknya adalah ketika aktivis UMNO membunuh dua orang Tiong Hoa yang tengah melakukan pawai kemenangan DAP. Kerusuhan terjadi hampir setiap hari di seluruh wilayah di Malaysia. Bahkan keadaan semakin parah hingga hingga pada tanggal 16 Mei 1969, pemerintah Malaysia mengumumkan Negara tengah berada pada keadaan darurat dan jam malam pun diberlakukan di seluruh wilayah Negara. Keadaan ini berlangsung selama kurang
26
lebih seminggu hingga kemudian jam malam dihapuskan oleh pemerintah dimana sebelumnya sempat terjadi pengurangan jam malam pada tanggal 18 Mei 1969. Menurut data polisi, tercatat 184 orang meninggal, 356 terluka, akibat tragedi berdarah ini. Dan terjadi 753 kasus pembakaran serta 211 perusakan dan penghancuran kendaraan. Bahkan sumber lain menyebutkan jumlah yang meninggal sekitar 196 orang atau bahkan lebih dari 200 orang. Dan beberapa sumber lainya sampai memperkirakan jumlah kematian bahkan mencapai 700 orang sebagai akibat dari tragedi Mei 1969 ini.
27
BAB III NEW ECONOMIC POLICY BAGI ETNISITAS MALAYSIA
A.
Kebijakan Ekonomi Baru Malaysia NEP Inisiatif penting pasca kerusuhan rasial di Malaysia tahun 1969 adalah
perumusan NEP (New Economic Policy) dimana dalam implementasinya mengedepankan adanya perimbangan ekonomi antara Melayu dan Cina yang sebelumnya timpang. TABEL I
Dari data di atas dapat dilihat bahwasanya pendapatan kelompok etnis melayu terus mengalami penurunan semenjak tahun 1957 sampai dengan awal tahun 1970an. Hingga pada awal kelahiran NEP bahkan pendapatan kelompok etnis melayu tidak mencapai setengah dari perolehan pendapatan kelompok etnis lain seperti Cina
28
dan juga masih cukup jauh apabila dibandingankan dengan India. Kondisi inilah yang selanjutnya menjadikan wacana bagi pemerintah Malaysia untuk mengeluarkan kebijakan penyetaraan / affirmative action melalui NEP. Pada awal kelahiranya banyak pihak pesimis terhadap perumusan NEP bahkan tidak sedikit yang cenderung bersikap skeptis terhadapnya. NEP dinilai sebagai kebijakan semu yang sama halnya dengan ersatz capitalism yang akan menguap bilamana campur tangan dan subsidi dari pemerintah dihentikan. Tapi bagi pemerintah Malaysia, NEP bukan hanya sekedar kabijakan penyetaraan semata, namun lebih dari itu mengandung ambisi yang kuat dalam mengurangi tingkat kemiskinan Melayu untuk kemudian menciptakan kelahiran sebuah kelas baru yaitu kapitalis Melayu. Hal ini nampak jelas pada tujuan utama NEP itu sendiri, yaitu meningkatkan taraf hidup etnis melayu sehingga dapat setara dengan etnis ” minoritas ” lain (Cina) dengan menargetkan pula kuota partisipasi etnis Melayu sebesar 30 % dari seluruh prosentasi perekonomian Malaysia. Dalam menghindari protes serta respon negatif internal maupun eksternal pemerintah Malaysia menggunakan istilah bumiputera guna merepresentasikan etnis Melayu dan bangsa pribumi yang lainya. NEP merupakan suatu program social ekonomi di Malaysia yang diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Tun Abdul Razak Dato' Hussein, yaitu dengan : 1. Mengurangi ketidakseimbangan dalam struktur organisasi berbagai sector sesuai dengan porsi etnis tersebut. 2. Mengatur penguasaan sector perekonomian sebesar 30 % bagi etnis melayu di Malaysia 3. Meningkatkan angka kepemilikan sektor produktif bagi rakyat yang diorientasikan pada kaum Bumiputera ( etnis Melayu )
29
Program NEP ini selanjutnya oleh pemerintah Malaysia diimplementasikan melalui berbagai program kerakyatan melayu seperti : 1. Membuka lapangan pekerjaan baru 2. Mengurangi jurang pemisah antar etnis dan antar daerah 3. Memperbaiki kualitas serta taraf hidup masyarakat melalui pendidikan, kesehatan, serta kemudahan infrastruktur dan lain sebagainya Kebijakan
NEP
bagi
Malaysia
nampaknya
memang
tidak
hanya
memunculkan nilai pragmatis dan kebijakan yang baik melainkan juga memunculkan pandangan keberuntungan yang tengah memihak, hal ini disimbolkan bak mendapat durian runtuh NEP Malaysia dirumuskan dan terjadi bersamaan dengan ledakan ekonomi Asia tahun 1970-an sampai dengan 1980-an. Terlepas dari banyaknya kecacatan yang mewarnainya, sebagai kebijakan penyetaraan yang dinilai sangat dan bahkan paling ambisius yang pernah ada, tidak dapat dipungkiri bahwasanya NEP telah mampu mereduksi dengan sukses ketidaksetaraan antar etnis di Malaysia dalam bidang ekonomi yang kemudian bak efek domino turut pula mempengaruhi multisektor lainya.
B.
Langkah NEP dalam Mengharmonisasi Etnisitas Malaysia Kelahiran NEP sebagai inisiatif penting pasca kerusuhan merupakan ujung
tombak kebijakan pemerintahan Malaysia untuk memperjuangkan apa yang mereka sebut dengan “kesetaraan“ antara etnis melayu dan etnis lain khususnya, Cina, serta sebagai solusi yang dianggap tepat oleh pemerintah dalam menangani ketimpangan ekonomi yang sangat mencolok keberadaannya. Pemerintah Malaysia menganggap ketegangan antar etnis yang ada merupakan akibat dari masalah ketimpangan ekonomi yang berlarut antara etis melayu yang cenderung tertinggal dengan etnis 30
lainya. Maka dari itu pemerintah Malaysia memutuskan suatu kebijakan untuk pengembalian stabilitas dan harmonisasi etnis yang diartikulasikan dengan kebijakan conso-otoritarian yang disertai dengan affirmative action yang ditujukan bagi etnis melayu dalam mengejar ketertinggalanya terhadap etnhis lain.35 Kebijakan ini kemudian dituangkan pemerintah Malaysia melalui NEP ( New Economic Policy ) Malaysia selama 20 tahun kedepan antara 1970-1990. Melalui NEP Teori Van Dijk seolah diaplikasikan oleh etnis Melayu di Malaysia dengan sangat relevan untuk mempertahankan hegemoninya terhadap etnis lain. Pemerintah Malaysia berusaha menerapkan polarisasi pada etnis lain pribumi dengan menyalahkan ketimpangan ekonomi yang ada untuk menjadikan kelompok ‘ the others ‘ ( etnis lain diluar Melayu dan pribumi ) sebagai pihak jahat ( bad evil ) dengan image negative sehingga perlu memberikan tindakan penegakan keadilan bagi Melayu sebagai konsekuensi ketertinggalanya. Pasca tahun 1969 dimana isu etnis nampaknya menjadi menu utama kebijakan pemerintah Malaysia yang melalui kebijakan affirmative action – nya seolah ingin menjadikan NEP sebagai satu-satunya alat pemersatu Malaysia dan bukan yang lainya. Kebijakan negara dengan proses pasar terpadunya berusaha mewujudkan distribusi sumber daya yang dirasa lebih adil diantara
pecaha-pecahan
etnis
yang
ada.
Hal
ini
dilakukan
dengan
mengkombinasikan kebijakan affirmative action dan consociational melalui compensatory justise. Melalui kebijakan ini kelompok etnis mayoritas di Malaysia yaitu melayu berusaha menyetarakan posisinya terhadap kelompok lain dengan menuntutkan
suatu
kebijakan
kompensasi
relatif
yang
merugikan
karena
mengkerdilkan posisi kompetisi sebagai formulanya. Berbagai
cara
dilakukan
oleh
pemerintah
Malaysia
dalam
rangka
menggairahkan aktivitas ekonomi melayu di Malaysia. Disamping melalui sector ekonomi pemerintah Malaysia juga memberikan hak khusus bagi etnis melayu di 35
Lijphart, Arend. 1977. Op. Cit.
31
Malaysia dalam sector-sektor lain, antara lain pendidikan, ketenagakerjaan, dan kependudukan. Hal ini dimaksudkan agar kesetaraan yang tercipta antar etnis dengan menjadikan etnis melayu sebagai center of interest –nya mampu membawa dampak positif bagi kelangsungan keselarasan etnis di Negara ini. Ketertinggalan etnis Melayu dibidang ekonomi dibandingkan etnis lain menjadikan wacana ekonomi sebagai topik utama kebijakan penyetaraan di Malaysia. Seperti halnya tertuang dalam NEP, pemerintah Malaysia menargetkan penguasaan ekonomi sebesar 30% bagi etnis Melayu di Malaysia selama 20 tahun periode NEP. Target ini diaplikasikan oleh pemerintah Malaysia antara lain melalui pemberian subsidi kepada pengusaha melayu yang bergerak baik dalam bidang produksi maupun jasa. Pemberian subsidi ini dilakukan guna menunjang pertumbuhan industri melayu serta pengusaha local di Malaysia. Pemberian subsidi dilakukan oleh pemerintah Malaysia melalui beberapa cara antara lain melalui pemotongan pajak bagi pengusaha melayu, pemberian kredit tanpa jaminan bagi pengusaha melayu serta pengusahaan modal bagi usaha kecil dan menengah di Malaysia. Selain itu pemerintah juga memberikan kemudahan birokrasi bagi industry melayu serta prioritas investasi bagi perusahaan-perusahaan yang membawa label melayu. Dengan demikian pencapaian ekonomi bagi etnis melayu dapat meningkat melalui kebijakan NEP. Dari data tabel berikut ini dapat dilihat dari 100% aktifitas kepemilikan aset di Malaysia, penduduk melayu Malaysia berhasil memacu diri hingga terus mencatat peningkatan selama 20 periode NEP. Dari semula 2,4% pada tahun 1970, melayu berhasil mencapai angka 4.050,5 juta ringgit di tahun 1980 yakni sebesar 12,5% dan mencapai 21.796,2 juta ringgit atau sekitar 19,6% pada decade berikutnya yakni ditahun 1990. Fenomena peningkatan juga turut mewarnai pencapaian ekonomi oleh etnis lain non-melayu di Malaysia. Dari semula 34,3% pada tahun 1970, pencapaian ekonomi oleh etnis non-melayu juga mengalami peningkatan di sepuluh tahun 32
berikutnya, yakni sebesar 44,6% dengan perolehan sebesar 14,442,9 juta ringgit ditahun 1980. Dan erus meningkat untuk satu decade selanjutnya yakni pada tahun 1990 menjadi 57,7% atau sebesar 69.124,5 juta ringgit untuk pencapaian oleh etnis Cina sebesar 32,5% atau yang sebanding dengan 36.116 juta ringgit dan oleh etnis India sebesar 1,2% yang atau sebanding dengan 1.297,1 juta ringgit. Sedangkan sebesar 0,9% sisanya atau yang sebanding dengan 1.044,8 juta ringgit dicapai oleh etnis non-pribumi lainya diluar etnis Cina dan India. Fenomena berbeda justru ditunjukan pada penguasaan aset oleh pihak asing di Malaysia. Dari besaran 63,3% ditahun 1970 justru kemudian menurun menjadi 42,9% pada tahun 1980 atau menurun sebasar 20,4% menjadi 13.297 juta ringgit. Dan bahkan terus mengalami penurunan hingga tercatat menjadi 23,7% atau sebesar 26.352,8 juta ringgit pada akhir periode NEP yaitu ditahun 1990. Dari data tersebut menunjukan bahwasanya pencapaian ekonomi oleh penduduk Malaysia mengalami peningkatan yang signifikan selama 20 tahu periode NEP yaitu sebesar 39,6% tidak seperti perolehan yang ditampakan oleh pihak asing yang justru mengalami penurunan dengan sangat tajam sebesar 29,6% hingga akhir periode NEP ditahun 1990.
33
34
35
berdasarkan sensus penduduk pada tahun 1992 diketahui Malaysia mengalami loncatan jumlah penduduk sebesar 2.5% dari yang tercatat pada awal tahun 1970, fenomena ini menjadikan perubahan pada hasil hitung pada peningkatan GNP Malaysia sebagai nilai positif NEP yakni sebesar 4.2% per tahunya selama dua decade NEP antara tahun 1970-1990. Dengan catatan ini Malaysia berhasil menjadi salah satu Negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat kala itu. Angka-angka banyak berbicara mengenai keberhasilan ekonomi Malaysia. Ketika Malaysia baru saja memperoleh kemerdekaanya, Negara ini merupakan salah satu Negara termiskin di dunia. Daya beli domestic Malaysia saat itu setara dengan Haiti, Honduras Mesir, dan bahkan 5% dibawah Ghana. Namun pasca NEP hingga sekarang pendapatan Malaysia mencapai 7,8 kali pendapatan Ghana, lebih dari 5 kali pendapatan Honduras dan hampir 3 kali pemdapatan Mesir. Dalam kacamata global bahkan pertumbuhan ekonomi Malaysia termasuk dalam 11 tertinggi dunia, dan termasuk dalam kelompok lima teratas bersama Cina, Taiwan, Korea Selatan, dan Thailand. Distribusi potongan kue ekonomi Malaysia dibagi merata bagi semua penduduknya. Seiring dengan perekonomian nasionalnya yang semakin membaik, kekuatan ekonomi Malaysia juga menampakan sinar cerahnya. angka kemiskinan yang menyurut diikuti dengan peningkatan kelas menengah masyarakat Malaysia dengan cukup tajam pula. Peningkatan GNP dan GDP Malaysia pun tidak dapat dielakan lagi. Malaysia dengan sangat manis mampu mengatasi kesenjangan pendapatan yang terjadi antar kelompok etnis, bukan dengan menyeret yang di atas untuk turun ke bawah melainkan dengan mengangkat yang di bawah untuk naik ke atas. Kebijakan khusus lain juga diberikan oleh pemerintah Malaysia kepada etnis melayu dalam sector pendidikan. Dalam bidang pendidikan pemerintah menggalakan
36
program beasiswa bagi siswa bumiputera yang berprestasi. Memang dalam program terdapat adanya diskriminasi terhadap kelompok lain non-bumiputera namun dengan adanya program belajar ini tidak sedikit pelajar bumiputera Malaysia yang dikirim ke luar negeri untuk belajar selanjutnya pulang ke negaranya, Malaysia dengan mengemban misi perbaikan kondisi kehidupan kemasyarakatan Malaysia. Disamping itu terdapat pula beberapa kebijakan besar di bidang pendidikan tinggi yang dikeluarkan pemerintah Malaysia, yakni Universitied and University College Act 1974 (UUCA) , Sistem Quota dan Bahasa Nasional. UUCA merupakan undang-undang pemerintah Malaysia yanng mengatur kontrol penuh oleh pemerintah dalam mengenendalikan pendidikan tinggi di Malaysia. Pemerintah melaranng pendirian perguruan tinggi swasta diluar ijin pemerintah dan dapat dipastikan ijin oleh pemerintah pun tidak mudah untuk dikeluarkan. Kedua adalah Sistem Quota kebijakan ini dimaksudkan untuk megatur porsi siswa di perguruan tinggi yang didasarkan pada jumlah porsi etnis dalam masyarakat. Sistem Quota ini selanjutnya mampu meningkatkan jumlah angka siswa melayu di perguruan tinggi yakni dari 21% di tahun 1963 menjadi 67% di tahun 1980. Sedangka partisipasi siswa non-melayu di perguruan tinggi justru mengalami penurunan yang cukup signifikan yakni sebesar 33% dalam satu dekade dari 60% pada tahun 1970 menjadi 27% ditahun 1980.36 Kebijakan ketiga adalah kebijakan bahasa. Bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar pada program pendidikan di Malaysia adalah bahasa Melayu. Pada tahun 1970 pemerintah Malaysia mengatur penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar bagi pendidikan di Malaysia, hal ini dimaksudkan untuk mereduksi
36
Ghee, Lim Teck, Social and Economic integration of different ethnic groups in South-east Asia, with special reference to Malaysia; A review of the literature and empirical material, hal. 14
37
persaingan pada siswa melayu sehingga mampu bersaing dengan siswa non-melayu lainya. Selanjutnya langkah penyetaraan lain juga diaplikasikan NEP melalui sector ketenagakerjaan. Dalam sector ketenagakerjaan pemerintah Malaysia memberikan prioritas terhadap etnis melayu untuk menduduki jabatan-jabatan krusial pada jajaran kepemerintahan. Selain itu etnis melayu juga diberikan ruang untuk lebih mendomiasi angka ketenagakerjaan pada perusahaan-perusahaan milik pemerintah yang bergerak dibidang lain non-birokrasi. Dengan demikian penciptaan lapangan kerja oleh pemerintah Malaysia berhasil ditingkatkan hingga mencapai angka 261% yakni sebanyak 7,24 juta lapangan kerja baru bagi penduduk Malaysia khususnya penduduk bumiputera selama dua decade periode NEP. Berkat pemerintah Malaysia dan NEP angka penduduk bumiputera yang bergiat disektor industri meningkat dari yang semula tercatat pada tahun 1970 sebesar 173.000 menjadi 918.000 ditahun 1990. fenomena serupa juga terjadi pada sector layanan jasa, dimana pada tahun 1970 tercatat pekerja bumiputera pada sector ini sebesar 213.000 bahkan meningkat tajam pada tahun 1990 dengan catatan angka sebesar 1.200.000. Peningkatan angka ini sebagaimana telah ditargetkan melalui menerapan NEP di Malaysia. Namun tentunya tidak semua cita-cita NEP terwujud dengan gemilang. Penduduk melayu Malaysia ( bumiputera ) masih tetap tidak terepresentasikan dalam level tinggi sector swasta, mereka hanya menguasai tidak lebih dari 29% dari seluruhnya dimana sisanya lebih banyak dikuasai oleh etnis Cina Malaysia. Kebijakan penyetaraan khusus juga diberikan oleh pemerintah Malaysia pada bidang pengadaan perumahan dan rumah tinggal serta pada sector kesehatan bagi etnis melayu. Pada bidang pengadaan perumahan dan rumah tinggal pemerintah Malaysia menggalakan perumahan sederhana bagi penduduk melayu yang membutuhkan. Program penngadaan ini tentunya diberikan diiringi dengan berbagai
38
kemudahan yang diberikan juga bagi penduduk melayu Malaysia. Hal ini dilakukan dengan memberikan prioritas kredit bagi penduduk melayu serta keringanan angsuran bagi kreditor melayu. Pemerintah juga mengadakan program rumah tinggal serta perbaikan rumah tinggal bagi mereka penduduk melayu yang tinggal di pedesaan dan pinggiran Malaysia, hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi ketimpangan berkelanjutan bagi penduduk desa dan kota serta bagi bumiputera dan nonbumiputera. Disamping itu pada bidang kesehatan, pemerintah Malaysia juga memberikan prioritas serta subsidi dan jaminan kesehatan begi penduduk melayu khususnya. Jaminan kesehatan serta subsidi ini diberikan melalui pemberian tunjangan kesehatan bagi pegawai pemerintahan. Selain itu pemerintah juga memberikan anjuran akan jaminan kesehatan bagi tenaga kerja melayu melalui perusahaan-perusahaan swasta baik milik domestic maupun asing. Melalui NEP ketertinggalan etnis melayu terhadap etnis lain khususnnya dalam sector ekonomi mampu direrduksi dengan baik, sehingga seperti halnya hukum sebab akibat, peningkatan ekonomi pada suatu tatanan masyarakat tentunya akan diikuti dengan perbaikan kualitas hidup oleh masyarakat tersebut sebagai pembuktian dan tolok ukur dari keberhasilan pencapaian ekonomi mereka. Hal ini juga terjadi pada masyarakat Malaysia pada akhir NEP tahun 1990. Sebagaimana diungkapkan oleh Program Pembangunan PBB dibawah komando Mahbub ul-Huq. Peningkatan kualitas hidup Malaysia dalam rentang waktu 1970-1990 menduduki peringkat 4 dunia di bawah Saudi Arabia, Korea Selatan dan Mauritius. Hasil ini diperoleh dengan melihat peningkatan yang dicapai oleh Negara-nagara tersebut dengan menjadikan kualitas pendidikan dan kesehatan sebagai ekspektasi dasar penilaianya.
39
C.
Reaksi Etnis Cina terhadap NEP Pada tahun-tahun awalnya NEP banyak mengalami penolakan-penolakan dan
protes keras dari berbagai elemen masyarakat terutama dari mereka yang merasa dianak tirikan oleh NEP. Aksi protes terhadap kebijakan pemerintah NEP ini terus dilancarkan oleh banyak pihak terutama pihak yang merasa dirugikan. Kelompok radikal etnis Cina yang tergabung dalam Chinese Unity Movement bahkan tak segan melontarkan protes dan kritik pedas bagi pemerintah Malaysia. Kelompok ini juga banyak melakukan unjuk rasa serta demontrasi pada hampir sepanjang tahun 1970. Tak jarang pula unjuk rasa ini diserta pengrusakan pada bangunan-bangunan milik pemerintah sebagai wujud bentuk kekecewaan mereka pada kebijakan pemerintah yang tidak merepresentasikan kepentingan mereka di dalamnya. Selain itu bentrok antara para demostran dan aparat keamanan juga tak jarang terjadi mewarnai demontrasi yang dilakukan. Hal ini seringkali terjadi karena unjuk rasa yang dilakukan tak jarang keluar dari kategori aman yang diputuskan oleh pemerintah Malaysia. Reaksi berbagai pihak ini justru ditanggapi sinis oleh pemerintah Malaysia. Mengacu pada Internal Security Act (ISA) tahun 1960, pemerintah Malaysia selanjutnya mengeluarkan Sedition Act pada tahun 1971 yang menyatakan siapapun yang menolak NEP akan dikategorikan telah berkhianat pada negara.37 ISA merupakan undang-undang yang berisikan kebijakan pemerintah Malaysia guna menghapuskan aktivitas komunis di negara Malaysia. ISA dikeluarkan oleh pemerintah Malaysia pada tahun 1960 sebagai lanjutan dari kebijakan pemerintahan kolonial Inggris yang sudah ada sebelumnya yaitu Malayan Emergency (ME).
37
Salleh, Halim. Globalization and the Challenges to Malay Nationalism. Hal : 144
40
ME dikeluarka pada tahun 1948 oleh pemerintahan colonial Inggris dan diberlakukan pada periode peralihan kedaulatan di Malaysia dari colonial kepada pemerintah Malaysia berdaulat, yakni pada tahun 1940-an hingga awal masa kemerdekaan Malaysia. Kebijakan ini bertujuan untuk mencegah ancaman komunis pada awal kemerdekaan Malaysia. Sejak diberlakukanya ISA di Malaysia, kebijakan inipun banyak menuai kontroversi dari berbagai pihak, baik pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak. Terlebih pasca kerusuhan berdarah Mei 1969, isu ISA mulai mengemuka kembali. ISA ditegakan lebih keras daripada sebelumnya. Pada ISA bagian 73(1) disebutkan aturan yang mengatur hak-hak aparat untuk menangkap dan menahan barang siapa yang dirasa potensial melakukan aktivitas yang dapat membahayakan keamanan Negara serta pemerintahan juga atas pemeliharaan dan penegakan kebijakan pemerintah tanpa melewati proses percobaan dan peradilan. "Any police officer may without warrant arrest and detain pending enquiries any person in respect of whom he has reason to believe that there are grounds which would justify his detention under section 8; and that he has acted or is about to act or is likely to act in any manner prejudicial to the security of Malaysia or any part there of or to maintenance of essential services there in or to the economic life there of." 38 Dalam ISA bagian 8 juga disebutkan pula bagaimana mekanisme penahanan serta penegakan aturan pada ISA yang tidak mendasarkan keadilan hukum serta peradilan bebas yang tidak memihak melainkan pada aturan ISA itu sendiri. "(i) If the Minister is satisfied that the detention of any person is necessary with a view to preventing him from acting in any manner prejudicial to the security of Malaysia or any part there of or to the maintenance of essential services there in or the economic life there of, he may make an order (here in
38
Malaysia. 1988. Towards Preserving National Security. Kuala Lumpu r: Government of Malaysia, Kertas Pemerintah 14.
41
after referred to as a detention order) directing that that person be detained for any period not exceeding two years."39 Pada kedua bagian ISA tersebut banyak mengandung ketidaksesuaian dasar keadilan hukum serta peradilan, sehingga hal inilah yang selanjutnya banynak menuai kritikan dari berbagai pihak seperti halnya dari para aktivis HAM bahkan kritikan juga datang dari Negara adidaya seperti Amerika Serikat yang menilai perlu diadakan amandemen sertta penghapusan pada beberapa bagian ISA yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan serta demokrasi. Mereka beranggapan bahwasanya ISA sebagai suatu kebijakan memuat unsur arogansi yang berlebihan, antara lain : 1. Tidak menerapkan sistem praduga tak bersalah sebagaimana tertuang dalam ISA bagian 73 (1) 2. Penahanan atas penyangkaan dilakukan tanpa melalui proses percobaan sebagaimana tersebutkan pada ISA bagian 8 3. Dalam penegakanya tidak dikenal adanya proses peradilan bebas yang tidak memihak 4. Tidak terdapat dasar hukum yang jelas yang mengatur dakwaan serta penjatuhan hukuman 5. Aparat memiliki dual fungsi yakni penegak sekaligus pemutus 6. Sarat
akan
kamuflase
sangkaan
serta
penyusupan
kepentingan-
kepentingan pihak penguasa 7. Melanggar hak-hak asasi manusia seperti : hak hidup bebas, hak bicara, hak membela diri, serta hak berpendapat Protes serta kritikan pedas pun tak hanya dilancarkan oleh pihak asing, melainkan juga oleh pihak domestic Malaysia yang merasa dirugikan. Kelompokkelompok masyarakat seperti PAS, DAP, PKR dan kelompok-kelompok swadaya masyarakat Cina Malaysia minoritas yang ditindas juga mengungkapkan keberatanya 39
Malaysia. 1988. Op. Cit.
42
akan ISA. Mereka menilai ISA seringkali digunakan sebagai alat politik kotor pemerintah yang berkuasa guna menyingkirkan lawan politiknya yakni mereka yang memiliki suara vocal terhadap pemerintahan yang diskriminatif dan arogan. Banyak tokoh-tokoh penting yang ditangkap dan ditahan tanpa diadili sebagai dampak penegakan ISA. Mengiringi perjalanan NEP di Malaysia pemerintah Malaysia mengeluarkan atran tambahan Sedition Act pada tahun 1971. Aturan ini lahir sebagai reaksi pemerintah akan protes tidak puas yang dilayangkan kepada pemerintah oleh masa dan pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat ISA maupun NEP. Sedition Act dikeluarkan sebagai buah inspirasi dari ISA yang dimana di dalamnya berisikan aturan tambahan pada sector ekonomi dalam kaitanya dengan lahirnya NEP. Sedition Act merupakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Malaysia
terkait dengan
manajemen rasial yang diformulasikan dengan konsepsi utama " the government or engender feelings of ill-will and hostility between different races". Provisi yang ada dalam kebijakan tersebut secara keseluruhan adalah kontrak sosial Malaysia terkait relasi etnis yang ada di Malaysia, sebagaimana dijabarkan dalam pasal 135 yang mengatur hak-hak istimewa yang diperoleh bumiputera Malaysia. Dimana hak-hak tersebut antara lain sebagaimana tertuang dalam NEP, cita-cita NEP serta artikulasinya. Sadar akan keterbatasan kemampuanya, etnis Cina Malaysia mulai memikirkan strategi lain dalam meng-counter kebijakan NEP dengan lebih elegan dengan tidak lagi melakukan protes-protes keras terhadap pemerintah yang jelas nantinya justru akan lebih merugikan mereka sendiri. Dengan adanya partisipasi dari DAP kelompok Cina anti NEP mulai menggunakan media sebagai sarana penyalur aspirasinya. Melalui pers kelompok ini menyuarakan kritikanya terhadap implementasi NEP dengan menyoroti para elit bisnis dan politikus yang bermain dibelakangnya, selain itu mereka juga mengkampanyekan dampak buruk NEP kepada
43
masyarakat luas bahkan sampai pada ranah pendidikan. Dimana gerakan ini mereka namai dengan label unfair NEP. Namun aksi mereka ini pun mendapatkan reaksi yang tidak kalah keras dari pemerintah Malaysia yang mengeluarkan peraturan PPPA sebagai wujud adanya kontrol pemerintah Malaysia akan pemberitaan pers dimana dengan demikian diharapkan mampu membantu pencitraan positif bagi pemerintah. Usaha kelompok Cina anti NEP tidak hanya berakhir sampai disitu saja, mereka mulai menemukan cara lain dalam menggalakan kekuatan guna menahan dampak yang ditimbulkan oleh NEP. Konsolidasi dan korporasi antar pengusaha Cina Malaysia pun mulai diterapkan. Mereka melawan aksi ekonomi dengan aksi ekonomi yaitu mengandalkan gabungan kekuatan ekonomi intern-nya. System pertahanan atas dampak yang ditimbulkan NEP ini menerapkan mekanisme pertahanan gotong royong. Mereka sadar bahwasanya aset Negara merupakan aset tak terbatas yang mustahil untuk ditandingi secara terpisah sehingga system quasi banks menjadi salah satu system yang diharapkan mampu menahan keadaan ekonomi saat itu. System ini merupakan mekanisme simpanan investasi yang ditarik dari hampir 99% Cina Malaysia pada setiap level dengan menjanjikan pengembalian untung sebesar 14%. System kongsi investasi ini selanjutnnya terbukti mampu meng-counter NEP dengan cukup signifikan serta manjadikan kongsi ini sebagai unit koperasi terbesar di Malaysia kala itu di bawah bendera Koperasi Serba Guna Malaysia (KSM). Bahkan pada resesi ekonomi tahun 1980-an KSM mampu mencapai angka deposit hingga 4 miliar RM.40
40
Far East Economic Review – FEER 28 – 08 - 1986
44
45
D.
NEP bagi Etnisitas Malaysia Melalui NEP etnisistas yang majemuk diajarkan oleh pemerintah Malaysia
untuk mentolerir system dan mentolerir antara satu dengan yang lainya. Bagi etnis Melayu NEP mengajarkan mereka bagaimana memberdayakan diri dalam lingkup lingkungan yang plural dan kompetitif sedangkan bagi etnis lain non-melayu NEP mengajarkan mereka tentang apa yang dimaksud dengan persatuan, penerimaan dan pengertian. Mereka diajarkan akan persatuan yang diawali dengan perlakuan diskriminatif terhadap mereka, yaitu persatuan yang bersifat instrumental, kalkulatif dan semu, bukan halnya persatuan yang berasal dari lubuk hati. Disamping itu juga mereka harus belajar tentang arti penerimaan serta pengertian. Mereka harus mengerti akan kondisi yang dikenakan terhadap mereka dan diharuskan untuk menerimanya dengan baik walaupun tidak dengan rela. Kebijakan pemerintah melalui NEP harus dapat mereka terima dengan baik jika tidak mau dikatakan telah membelot terhadap Negara. Kelompok etnis non-melayu juga diharuskan untuk mampu mengerti dan mencari celah lain yang dapat mereka tempuh untuk terus dapat bertahan daripada harus menempuh jalan melawan institusi besar seperti halnya Negara. Sejalan dengan pelaksanaanya para non-penikmat NEP mulai menemui kenyamanan adaptasinya dengan menjalankan strategi celahnya dimana tangantangan NEP tidak dapat menjangkaunya. Mereka menyadari bahwasanya perusahaanperusahaan serta usaha mereka akan menjadi sia-sia belaka sebab perusahan mereka tidaklah sebanding jika dibandingkan dengan perusahaan besar seperti Negara yang sudah jelas menguasai asset terbesar di Malaysia.41 Bersamaan dengan tingginya adaptasi dari kelompok non-melayu selanjutnya turut membuka kesadaran Melayu bahwasanya keberhasilan yang dicapai dalam NEP akan bernilai lebih bilamana terjalin adanya suatu kewarganegaraan yang simetris 41
Heng, Pek Koon.1988. Chinese politics in Malaysia. Singapore : Oxford University Press.
46
sebagaimana diungkapkan Peter Evans dalam bukunya bahwa penciptaan suatu tatanan ekonomi yang kondusif adalah dengan menciptakan pula bersamanya suatu budaya politik yang harmonis dengan menggabungkan orang sebagai suatu warga Negara dan memberikan hak-hak partisipasi pada semua anggota masyarakat khususnya bagi individu-individu lemah dan kelompok-kelompok minoritas yang perlu dibela suaranya.42 Fenomena etnisitas semacam ini sangat mengesankan bagi kondisi kemasyarakatan di Malaysia. Apabila menengok dari sejarah dan melihat bagaimana kebijakan pemerintah Malaysia melalui NEP memperlakukan kelompok-kelompok etnis di Malaysia rasanya kondisi etnisitas yang harmonis menjadi unpredictibe value dari apa yang dicita-citakan pemerintah dalam NEP. Diluar dugaan NEP mampu memberikan angin segar bagi situasi etnisitas di Malaysia menjadi lebih harmonis. Secara teori memang akan lebih sulit bagi Negara dengan penduduk heterogen melakukan peningkatan pada sektor-sektor tertentu apabila dibandingkan dengan Negara berpenduduk homogen. Sebab Negara dengan kondisi penduduk yang tidak seragam diharuskan mampu mengakomodasikan banyak kepentingan dari masingmasing kelompok masyarakat yang antar satu dan yang lainya menilai diri dan kelompok mereka berbeda dengan yang lain sehingga merasa perlu mengedepankan kepentinganya sendiri yang tentunya telah dibuat sedemikian rupa sehingga berbeda dengan kelompok yang lainya. Hal ini seringkali menjadi hambatan bagi pertumbuhan sector-sektor penting dalam masyarakat seperti halnya ekonomi, dan bahkan tak jarang cenderung justru sebagai sumbu pemicu munculnya konflik antar kelompok kepentingan yang ada. Tabel dunia dari World Bank menyebutkan pada 42
Evans, Peter. 1996. Government Action, Social capital, and Development : Reviewing The Evidence and Synergy. World Development 24(6) : 1119-1132 Hafner, Robert W. 2000a. Civil islam : Muslims and Democratization in Indonesia. Princeton : Princeton University Press.
47
awal tahun 1990an terdapat 14 negara dengan pertumbuhan ekonomi per kapitanya sangat pesat yakni dengan acuan lebih dari 4% per sepuluh tahun dan atau lebih baik. Sepuluh diantaranya merupakan Negara dengan penduduk homogen dan hanya 4 diantaranya merupakan Negara berpenduduk heterogen, yakni Botswana, Indonesia, Thailand dan Malaysia. Terobosan pemikiran baru dalam NEP kemudian muncul pada dekade NEP di bawah Perdana Menteri Mahatir Mohammad. Yakni dengan mengemban misi tambahan dimana cita-cita NEP selanjutnya bertransformasi yaitu menjadikan Malaysia dari basis manufaktur kearah ekonomi pengetahuan yang berbasis informasi. Dan untuk mewujudkanya diperlukan adanya partisipasi antusias dari seluruh warga Negara Malaysia yang termasuk di dalamnya orang-orang MalaysiaCina. Hal yang sama juga disadari oleh kelompok menengah baru di Malaysia yang mengisyaratkan pentingnya bagi orang-orang Malaysia-Cina untuk ikut merasa memiliki dan mendapatkan bagian penuh serta setara dalam proyek-proyek pemeritah jika memang mengharapkan Malaysia akan dapat beranjak dari Negara manufaktur upah rendah menuju Negara dengan ekonomi berbasis pengetahuan. Selanjutnya perkembangan NEP dapat lebih sukses dengan warna baru tentang masyarakat dewasa yang membutuhkan sebuah politik sipil yang mampu mengakomodasikan dengan baik kemajuan social dan ekonominya. Selanjutnya banyak warga Negara kemudian menyadari bahwasanya cita-cita kewarganegaraan yang setara dan inklusif bukanlah sebuah ciptaan bangsa barat dan kolonial Inggris semata melainkan sudah seharusnya menjadi cita-cita bangsa dan ciptaan mereka sendiri.
48
BAB IV KESIMPULAN
Dengan kondisi masyrakatnya yang plural yang cenderung memiliki potensi konflik yang tinggi, Malaysia banyak mengalami pasang surut pada sektor sosial, politik serta bahkan ekonominya. Kerusuhan dengan bau etnis dan religius yang terjadi pada 13 Mei 1969 membawa Malaysia pada babak baru pemerintahanya. NEP selanjutnya muncul sebagai kebijakan oleh pemerintah Malaysia yang bagi banyak pihak dipandang sebagai kebijakan berpihak yang sangat ambisius dan paling ambisius yang pernah ada. Pro dan kontra muncul mewarnai jalannya penerapan kebijakan NEP di Malaysia, namun hal inilah yang selanjutnya justru menjadikan NEP Malaysia sangat unik. NEP memang unik, selain secara terang-terangan kebijakan ekonomi oleh pemerintah Malaysia ini dinilai sangat agresif kebijakan ini juga dengan jelas mengandung bentuk diskriminasi rasial bertentangan dengan nilainilai demokrasi yang ada. Hal inilah yang menyebabkan NEP dipandang sebagai kebijakan kontrovesi yang dipaksakan, namun berakhir dengan cuup baik dan manis. Preferensi yang diberikan kepada penduduk bumiputera Malaysia dalam kebijakan ini merupakan suatu perwujudan atas kebijakan penyetaraan affirmative action yang diberikan oleh pemerintah Malaysia yang didominasi oleh etnis melayu sebagai buntut dari koflik komunal tahun 1969. NEP merupakan kebijakan yang memang bersifat diskriminatif namun positif dengan tujuan untuk mengangkat status sosial dan ekonomi penduduk Bumiputera yang tertinggal dalam pembangunan ekonomi di Malaysia serta untuk menghindari terjadinya lagi konflik antar komunal di Malaysia, yaitu dengan cara mempromosikan penduduk Bumiputera disektor
49
ekonomi, pendidikan, akses untuk mendapatkan pinjaman bank, rumah murah, lapangan kerja di pemerintahan dan kepemilikan saham. Pemerintah Malaysia menginginkan dengan ditekannya tingkat kesenjangan yang ada antar etnis diharapkan mampu menciptakan stabilitas politik dan sosial serta harmonisasi etnis yang baik sebagaimana telah dicitakan sebelumnya. Melalui program penyetaran NEP ini pemerinatah Malaysia terbukti mampu meningkatkan angka ekonomi etnis melayu seperti yang diharapkan meskipun belum mencapai target yang diinginkan yaitu 30%. Sebab sampai dengan tahun 2004 etnis melayu hanya menguasai 19% saja dari potongan kue ekonomi Malaysia. Namun hal ini masih dirasa cukup sukses, karena peningkatan bagian kue ekonomi oleh melayu tersebut turut dibarengi dengan fenomena penurunan angka kemiskinan di Malaysia. Ekspor nasional Malaysia juga mengalami peningkatan. Peningkatan juga nampak pada adanya perbaikan kualitas kehidupan masyarakatnya, dimana fenomena ini juga turut dibarengi dengan adanya pengurangan drastis pada tingkat angka pengangguran di berbagai wilayah negara. Keberhasilan NEP kemudian terasa sangat manis dengan terciptanya pula harmonisasi etnis yang baik di Malaysia yang ditandai dengan minimnya konflik komunal serta aksi protes yang beraromakan ketegangan etnis di Malaysia. Program NEP juga ini berhasil menciptakan lebih banyak lagi tenaga professional Malaysia seperti dokter, pengacara, insinyur serta tenaga terdidik lain yang sebagian besar angka peningkatan ini sudah barang tentu dinikmati oleh bumiputera. Dengan keberhasilan ekonomi yang telah dicapainya, bahkan Malaysia disebut-sebut sebagai salah satu Asian Miracle. Tentunya keberhasilan ini mengikutsertakan kontribusi etnis lain seperti Cina dan India di dalamnya. Sebagaimana dikatakan oleh Mahatir Mohamad “Malaysia would not enjoy the
50
prosperity it achieves now were it not for the contribution of the Chinese community“.43
43
Vicziany, Marika dan Puteh, Marlia, Vision 2020, The Multimedia Supercorridor and Malaysian Universities
51
DAFTAR PUSTAKA
Abraham, Collin E. R. 1997. Divide and Rule: The roots of race relations in Malaysia. Petaling Jaya : Institute for Social Analysis. Alagappa, Muthiah. 1995. Political Legitimacy in Southeast Asia. California : Stanford University Press. Brown, Ian. 1997. Economic Change in South-East Asia, c.1830 - 1980. Kuala Lumpur : Oxford University Press. Case, William. 1996. Elites and Regimes in Malaysia: Revisiting a consociational democracy. Clayton : Monash Asia Institute. Cipto, Bambang. 2007. Hubungan Internasional di Asia Tenggara. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Coedes, G. 1966. The Making of Southeast Asia. Berkeley : University of California Press. Crouch, H. 1996. Government and society in Malaysia. Ithaca, NY: Cornell University Press. Crouch, H. 2001. Managing ethnic tensions through affirmative action: The Malaysian experience. Crouch, Harold. 1996. Government and Society in Malaysia. St Leonard’s, New South Wales : Allen and Unwin.
52
Dahl, Robert A. 1956. A Preface to Democratic Theory. United State of America : University of Chicago Press. Deutsch, K.W. 1978. The Analysis of International Relations (second edition). New Jersey : Prentice Hall. Deutsch, Karl. W. 1977. Ecosocial Systems and Ecopolitics : a Reader on Human and Social Implications of Environmental Management in Developing Countries. UN : UNESCO Diamond, Larry & Plattner, Marc F. 1998. Nationalism, Ethnic Conflict and Democracy,
Nasonalisme,
konflik
etnik
dan
demokrasi
(diterjemahkan
oleh
Drs.Somardi) Bandung : Penerbit ITB. Elsa Lafaye de Micheaux, The role of educational policy in overcoming ethnic divisions and building Malaysia’s nation. Paper dalam Oxford International Conference on Education , September 1997. (http://matisse.univ-paris1.fr/eldm/eldm97.pdf) Eriksen, T. H. 1993. Ethnicity and nationalism: Anthropological perspectives. London: Pluto Press. Fiss, Owen M. 1996. Affirmative Action as a Strategy of Justice. Paper presented at "Affirmative Action Talk" a symposium sponsored by the Whitney Humanities Center and Yale Law School, October 17-18, 1996. (http://www.puaf.umd.edu/IPPP/6QQ.HTM) Funston, John. 2001. Government and Politics in Southeast Asia. Singapore : Institute of Southeast Asian Studies. Furnivall, J. S. 1944 ( orig. 1939 ). Netherlands India : Study of Plural Economy. New York : Macmillan.
53
Furnivall, J. S. 1956. Colonial Policy and Practice. New York : New York University Press. Geertz, Clifford. 1973a. After the Revolution : The Fate of Nationalism in the New State, dalam The Interpretation of Cultures, 234 – 254. New York : Basic. Ghee, Lim Teck. 1995. Social and Economic integration of different ethnic groups in South-east Asia, with special reference to Malaysia; A review of the literature and empirical material. Malaysia : Institute of Advanced Studies, University of Malaysia. Groarke, L. 1990. Affirmative Action as a Form of Restitution. Journal of Business Ethics. March 1990. Vol. 9 (3) Gungwu, Wang. 2005. Nation-Building : Five Southeast Asian Histories. Singapore : ISEAS Publications. Gurr, Ted Robert. 1993. Minorities at Risk: A global view of ethnopolitical conflicts. Washington, DC : United States Institute of Peace Press. Hafner, Robert W. 2000a. Civil islam : Muslims and Democratization in Indonesia. Princeton : Princeton University Press. Hara, Fujio. Malaysia's New Economic Policy and the Chinese Business Community : TheDeveloping Economies 29, no. 4 (December 1991), p. 369. Heng Pek Koon. 1992. The Chinese business elites of Malaysia. In Southeast Asian Capitalists, edited by Ruth McVey. Ithaca : Cornell University Press. Heng Pek Koon. 1997. The New Economic Policy and the Chinese community in Peninsular Malaysia. The Developing Economies 35 (3):262-292. Heng Pek Koon. 1998. Chinese responses to Malay hegemony (1957-1996). In Cultural Contestations: Mediating identity in a changing Malaysian society, edited by Zawawi Ibrahim. London : ASEAN Academic Press.
54
Heng, Pek Koon.1988. Chinese politics in Malaysia. Singapore : Oxford University Press. Horowitz, Donald L. 1985. Ethnic Groups in Conflict. Berkeley : University of California Press. Huntington, Samuel P. 1968. Political Order in Changing Societies. New Haven : Yale University Press. Husssein, Ismail. Some Aspects of the Cultural Problems in Malaysia. ( a paper presented at the Colloquium on Southeast Asian Culture, commemorating 500 years of the Tubingen University, Federal Republic of Germany, August 1977 ) Jomo Kwame Sundaram, Khoo Boo Teik, and Chang Yii Tan. 1995. Vision, policy and governance in Malaysia. PSD Occasional Paper. Washington, DC : World Bank Private Sector Development Department. Jomo, K. S. 1986. A Question of Class : Capital, the State, and Unevn Development in Malaysia. Kuala Lumpur : Oxford University Press. Khoo Khay Jin. 1992. The grand vision: Mahathir and modernisation. In Fragmented Vision: Culture and politics in contemporary Malaysia, edited by Joel S. Kahn and Francis Loh Kok Wah. Honolulu : University of Hawaii Press. Lee Kam Hing and Heng Pek Koon. 2000. The Chinese in the Malaysian political system. In The Chinese in Malaysia, edited by Lee Kam Hing and Tan Chee-Beng. Shah Alam : Oxford University Press. Lee, H. G. 2000. Ethnic relations in Peninsular Malaysia: The cultural and economic dimensions. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Lee, Molly N.N. 1999. Education in Malaysia: Towards Vision 2020. School Effectiveness and School Improvement 10 (1) :86-98.
55
Lijphart, Arend. 1977. Democracy in Plural Societies : a Comparative Exploration. New Haven : Yale University Press. Lijphart, Arend. 2000. “Varieties of Nonmajoritarian Democracy,” in Democracy and Institutions : The Life Work of Arend Lijphart, ed. Markus Crepaz, Thomas Koelble, and David Wilsford. Michigan : University of Michigan Press. Lipschutz, Ronnie D. 1998. Seeking A State Of One’s Own: An Analytical Framework For Assessing Ethnic And Sectarian Conflicts. GAIA Research Series, UC Berkeley, Global, Area, and International Archive. Loh Kok Wah, Francis. 2001. Where has (ethnic) politics gone?: The case of the BN non-Malay politicians and political parties. In The Politics of Multiculturalism: Pluralism and citizenship in Malaysia, Singapore and Indonesia, edited by Robert W. Hefner. Honolulu : University of Hawai'i Press. Loh Kok Wah, Francis. 2003. The Marginalization of the Indian Community in Malaysia. In Southeast Asia over Three Generations: Essays presented to Benedict R. O’G. Anderson, edited by James T. Siegel and Audrey R. Kahin. Ithaca, NY : Cornell University Southeast Asia Programme. Malaysia. 1988. Towards Preserving National Security. Kuala Lumpu r: Government of Malaysia, Kertas Pemerintah 14. Means, G. P. 1970. Malaysian Politics. New York : MacMillan Means, Gordon P. 1991. Malaysian Politics: The second generation. Singapore : Oxford University Press. Milne, R. S. & Mauzy, D. K. 1980. Politics and Government in Malaysia. Michigan : Times Books International.
56
Muthalib, Hussin. 1990. Islam and Ethnicity in Malay Politics. Singapura : Oxford University Press. Nagata, Judith. 1984. The Reflowering of Malaysian Islam : Modern Regious Radicals and
Their Roots. Vancouver : University of British Columbia Press.
Ratnam, K.J. 1965. Communalism and The Political Process in Malaya. Malaysia : for The University of Singapore by The University of Malaya Press. Roff, William R. 1967. The Origins of Malay Nationalism. Kuala Lumpur : Oxford University Press. Salleh, Halim. Globalization and the Challenges to Malay Nationalism. Shamsul A. B. 1988. The "battle royal": The UMNO elections of 1987. In Southeast Asian Affairs 1988, edited by Mohammed Ayoob and Ng Chee Yuen. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Smith, T.E. 1952. Population Growth in Malaya. London : Royal Insitute of International Affairs. Snodgrass, D. R. 1978. Summary evaluation of policies used to promote Bumiputra Participation in the modern sector in Malaysia [Development Discussion Paper No. 38]. Cambridge, MA: Harvard University Press, Institute of International Development. Snodgrass, Donald R. Successful Economic Development in a Multi-Ethnic Society: The Malaysian Case. the Harvard Institute for International Development : the Malaysian Development Studies Project. Suryadinata, Leo. 2002. Nationalism and Globalization : East and West. Singapore : Institute of Southeast Asian Studies.
57
Tan Liok Ee. 2000. Chinese schools in Malaysia: A case of cultural resilience. In The Chinese in Malaysia, edited by Lee Kam Hing and Tan Chee-Beng. Shah Alam : Oxford University Press. Van Dijk, N. M. 1993. Queuing Network and Products Forms. New York : New York Press. Vasil, R. L. 1971. Politics in a Plural Society – A study of a Non-communal Political Party in West Malaysia. Kuala Lumpur : Oxford University Press. Vorys, Karl Von . 1975. Democracy Without Consensus: Communalism and Political Stability in Malaysia. Princeton : Princeton University Press. Winarno, Budi. 2000. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta : Media Pressiondo. World Bank. 1993. The East Asian Miracle. Economic Growth and Public Policy. New York : Oxford University Press for the World Bank. Yusuff, M. A. 1992. Consociational Politics: The Malaysian Experience. Kuala Lumpur : Percetakan Pemuda Enterprise.
58