1
MUSHAF‐MUSHAF SAHABAT SEBELUM MUSHAF UTSMANI
Oleh: Luthfi Yansyah
PROGRAM MAGISTER FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013
2
PENDAHULUAN
Dalam tenggang waktu sekitar 20-an tahun, mulai dari wafatnya Nabi Saw sampai pengumpulan al-Qur’an di masa Utsman, hanya sekitar empat mushaf sahabat yang berhasil memapankan pengaruhnya di kalangan masyarakat. Asal-muasal pengaruh ini tentunya terpulang kepada individu-individu yang dengan namanya mushaf-mushaf itu dikenal. Keempat sahabat Nabi Saw yang dimaksud di sini adalah: (1) Ubay bin Ka‘ab, yang kumpulan al-Qur’annya berpengaruh di sebagian besar daerah Syiria; (2) Abdullah bin Mas‘ud, yang mushafnya mendominasi daerah Kufah; (3) Abu Musa al-Asy‘ari, yang mushafnya memperoleh pengakuan masyarakat Bashrah; dan (4) Miqdad bin Aswad (w. 33H), yang mushafnya diikuti penduduk Kota Hims.1 Manuskrip mushaf keempat sahabat Nabi Saw itu sayangnya tidak sampai ke tangan kita, sehingga permasalah tentang bentuk lahiriah dan kandungan tekstualnya hanya bisa dijawab melalui sumber-sumber sekunder 2 atau tidak langsung. Bahkan, Mushaf Miqdad bin Aswad tidak dapat ditelusuri jejaknya sama sekali dalam berbagai sumber. Berikut ini akan dijelaskan tiga mushaf di atas (Ubay, Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa) ditambah dengan mushaf Ibnu Abbas yang walaupun tidak menjadi otoritas pada masanya, tapi kiranya juga perlu mendapatkan perhatian, mengingat signifikansinya yang nyata dalam perkembangan kajian al-Qur’an. MUSHAF UBAY BIN KA’AB
Ubay bin Ka‘ab adalah seorang Anshar dari bani Najjar, yang masuk Islam pada masa cukup awal dan turut serta dalam sejumlah pertempuran besar di masa Nabi, seperti dalam Perang Badar dan Uhud. Ia merupakan salah seorang yang mengkhususkan diri
1
Al-Qur’an , (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), h. 185. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an Arthur Jeffery mengklasifikasikan mushaf-mushaf lama ke dalam dua kategori, yaitu mushaf primer dan mushaf sekunder. Mushaf-mushaf primer ialah mushaf-mushaf yang dikumpulkan secara individual/pribadi individual/pribadi oleh para sahabat, sedangkan mushaf-mushaf sekunder adalah mushaf-mushaf yang dikumpulkan para tabiin yang sangat bergantung pada mushaf primer. 2
3
dalam mengumpulkan wahyu dan merupakan salah satu di antara empat sahabat3 yang disarankan Nabi agar umat Islam mempelajari al-Qur’an darinya. Dalam beberapa hal, otoritasnya tentang masalah-masalah al-Qur’an bahkan lebih besar dari Ibnu Mas‘ud. Selain itu, ia juga dikenal sebagai Sayyid al-Qurra` (pemimpin para pelafal/penghafal al-Qur’an). Tidak dapat diketahui secara pasti kapan ia mengumpulkan materi-materi wahyu ke dalam mushafnya. Barangkali, ketika ditunjuk Nabi untuk menyalin wahyu, kegiatan pengumpulan al-Qur’an telah dimulainya. Tetapi, kapan ia selesai menyusun bahan bahan wahyu yang membentuk kodeksnya4 tidak dapat dipastikan. Yang pasti adalah bahwa sebelum kemunculan mushaf standar utsmani, mushaf Ubay telah populer di Syiria.5 Mushaf Ubay dikabarkan turut dimusnahkan ketika dilakukan standardisasi teks al-Qur’an pada masa Utsman. Ibnu Abi Dawud menuturkan suatu riwayat bahwa beberapa orang datang dari Irak menemui putra Ubay, Muhammad, untuk mencari keterangan dalam mushaf ayahnya. Namun, Muhammad mengungkapkan bahwa mushaf tersebut telah disita Utsman. Sekalipun demikian, dari berbagai riwayat yang sampai kepada kita, dapat ditelusuri aransemen surat-surat di dalam mushafnya, bacaan bacaannya yang berbeda dari varian bacaan dalam tradisi teks utsmani. Di antaranya perbedaan vokalisasi, kerangka konsonan teks, penempatan kata yang diakhirkan atau didahulukan, pembolak-balikan urutan ayat, penambahan atau pengurangan kata atau ayat banyak dijumpai dalam mushaf Ubay. Bahkan ditemukan ayat alternatif atau ayat ekstra dalam mushaf Ubay. Contohnya, huruf “alif” dan “nun” bisa dibaca “inna”, “anna”, ataupun “an”. “Mim”
dan “nun” dibaca “man” atau “min”. Dalam surat 4:171, “an yakûna”, dalam
mushaf Utsmani misalnya, telah dibaca oleh Ubay menjadi “in yakûnu”. Perbedaan vokalisasi ini terkadang juga bisa mengakibatkan perbedaan arti.
3
Mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal, dan Salim, budak Abu Huzaifah. (HR. al-Bukhari). 4 Kodeks ialah naskah kuno yang berupa tulisan tangan. 5 Al-Qur’an , (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), h. 186. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an
4
Dalam surat 13:43, “Wa man ‘indahû ‘ilmul kitâbi, yang bermakna, “dan orang yang ada padanya (atau memiliki) ilmu al-kitab,” a l-kitab,”
terbaca dalam mushaf Ubay, “wa min
‘indihî ‘ilmul kitâbi , yang berarti, “dan yang darinya (datang) ilmu al-kitab.”
Perbedaan lainnya, kalimat dalam surat 2:18 dan 171, “shummun bukmun ‘umyun”, dhâlîn”,
dibaca “shumman bukman ‘umyan”. Lalu dalam surat al-Fâtihah, “wa ladh
disalin dalam mushaf Ubay dengan, “ghairidh dhâlîn. Dalam surat 16:112, kata-
kata “libâsal jû’i wal khaufi, dibalik menjadi, “libâsal khaufi wal jû’i”. Berikut beberapa contoh lain perbedaan dalam mushaf Ubay dengan mushaf Utsmani:6
lgf edcba m (
•
)
7
l_ ^ ] \ [ Zm 8
(
•
)
Dalam kaitannya dengan susunan surat, terdapat perbedaan yang relatif kecil antara mushaf Ubay dengan mushaf utsmani. Dalam kitab al-Itqân surat-surat dalam mushaf Ubay dapat dikemukakan sebagai berikut:9 ,
,
,
,
,
,
6
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
Ibnu Abi Dawud, Kitâbul Mashâhif , (Beirut: Darul Basya`ir al-Islamiyah), al-Islamiyah), 2002, h. 292. QS. al-Baqarah: 158. 8 QS. an-Nisâ`: 24. 9 Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqân fî ‘Ulûmil Qur’ân , (Beirut: Mu’assasah Mu’assasah ar-Risalah, 2008), c. I, h. 141. 7
5
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
.
,
,
,
,
,
,
,
,
,
Dalam al-Itqân, dijelaskan surat-surat dalam mushaf Ubay berjumlah 116 surat, karena terdapat tambahan surat al-Khal dan al-Hafd. Ada pula yang menyatakan bahwa jumlah suratnya sebanyak 115 surat, karena k arena surat al-Fiil dan Quraisy digabung menjadi 1 surat, sebagaimana yang dinyatakan oleh as-Sakhawi. Susunan surat dalam mushaf Ubay –sekalipun dengan sejumlah perbedaan yang relatif cukup besar jika dibandingan dengan mushaf Utsmani– secara garis besarnya memperlihatkan prinsip yang umumnya dipegang dalam penyusunan tata urutan surat dalam mushaf-mushaf al-Qur’an yang awal, termasuk mushaf Utsmani, yakni: mulai dari surat-surat panjang ke arah surat-surat yang lebih pendek. Hal ini bisa dilihat pada bagian permulaan dan bagian penghujung daftar surat.
6
MUSHAF IBNU MAS’UD
Ibnu Mas‘ud merupakan salah satu otoritas terbesar dalam al-Qur’an. Hubungannya yang intim dengan Nabi telah memungkinkannya mempelajari sekitar 70 surat secara langsung dari mulut Nabi. Riwayat mengungkapkan bahwa ia merupakan salah seorang yang pertama-tama mengajarkan bacaan al-Qur’an. Ia dilaporkan sebagai orang pertama yang membaca bagian-bagian al-Qur’an dengan suara lantang dan terbuka di Makkah, sekalipun mendapat tantangan yang keras dari orang-orang Quraisy yang melemparinya dengan batu. Lebih jauh, sebagaimana telah disinggung, hadits juga mengungkapkan bahwa ia merupakan salah seorang dari empat sahabat yang direkomendasikan Nabi sebagai tempat bertanya tentang al-Qur’an. Otoritas dan popularitasnya dalam al-Qur’an memuncak ketika bertugas di d i Kufah, di mana ma na mushafnya memiliki pengaruh yang luas. Tidak ada informasi yang jelas kapan Ibnu Mas‘ud mengawali pengumpulan mushafnya. Kelihatannya, ia mulai mengumpulkan wahyu-wahyu pada masa Nabi dan melanjutkannya sepeninggal Nabi. Setelah ditempatkan di Kufah, ia berhasil memapankan pengaruh mushafnya di kalangan penduduk kota tersebut. Ketika Utsman mengirim salinan resmi teks al-Qur’an standar ke Kufah dengan perintah untuk memusnahkan teks-teks lainnya, dikabarkan bahwa Ibnu Mas‘ud menolak menyerahkan mushafnya, karena sebuah teks yang disusun seorang pemula seperti Zaid bin Tsabit lebih diutamakan dari mushafnya. Padahal, ia telah menjadi Muslim tatkala Zaid masih tenggelam dalam alam kekafiran. Namun, akhirnya ia ridha dengan apa yang dilakukan Utsman. Di Kufah sendiri, sejumlah Muslim menerima keberadaan mushaf baru yang dikeluarkan Utsman. Tetapi, sebagian besar penduduk kota ini tetap memegang mushaf Ibnu Mas‘ud, yang ketika itu telah dipandang sebagai mushaf orang-orang Kufah. Kuatnya pengaruh mushaf Ibnu Mas‘ud bisa dilihat dari sejumlah mushaf sekunder – misalnya mushaf Alqamah bin Qais, Mushaf al-Rabi‘ bin Khutsaim, mushaf al-Aswad, mushaf al-A‘masy, dan lainnya yang mendasarkan teksnya pada mushaf Ibnu Mas’ud. Salah satu karakteristik mushaf Ibnu Mas‘ud adalah ketiadaan 3 surat pendek, yakni surat 1, 113 dan 114 di dalam teksnya. Riwayat lain mengungkapkan bahwa hanya
7
2 surat, yakni surat 113 dan 114 yang tidak terdapat dalam mushafnya. Ibnu Nadim mengungkapkan bahwa ia telah melihat sebuah manuskrip mushaf Ibnu Mas‘ud yang berusia sekitar 200 tahun yang mencantumkan pembuka kitab (surat ke-1).10 Karakteristik lainnya dari mushaf Ibnu Mas‘ud terletak pada susunan surat di dalamnya yang berbeda dari mushaf utsmani. Dalam kitab al-Itqân surat-surat dalam mushaf Ibnu Mas’ud adalah sebagai berikut:11 :
.
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
.
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
10 11
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
:
,
,
,
.
,
,
,
,
,
,
,
,
:
,
:
:
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
:
,
,
,
Ibnu Nadim , al-Fihris, (Beirut: Darul Ma’rifah, t.t.), h. 39-40. Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqân fî ‘Ulûmil Qur’ân , (Beirut: Mu’assasah Mu’assasah ar-Risalah, 2008), 2008), c. I, h. 142
8
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
.
Dalam al-Itqân, mushaf Ibnu Mas’ud hanya memiliki 108 surat dalam daftarnya. Di samping surat 1; 113 dan 114, hilang juga dalam daftar tersebut sebanyak 3 surat – surat 50; 57 dan 69– kemungkinan disebabkan terlewatkan secara tidak sengaja dalam periwayatannya atau sekadar kesalahan penulisan. Namun, ketiga surat tersebut terdapat terdap at dalam daftar kitab Fihrist . Kemudian, beberapa perbedaan bacaan dengan mushaf Utsmani ialah seperti adanya sisipan atau penghilangan partikel gramatik yang juga turut mempengaruhi vokalisasi. Contoh, kalimat “tathawwa’a khairan”, disisipkan huruf “ba”, sehingga dibaca “tathawwa’a bi khairin” (QS. 2:184). Penghilangan “‘an” dalam “yas`alûnaka ‘anil anfâl”,
menjadi, “yas`alûnakal anfâl” (QS. 8:1). Penggantian kata dengan kata lain
yang bermakna sama, seperti kata “aydiyahumâ” (tangan keduanya) dalam QS. 5:38, dibaca “aymânahumâ” (tangan kanan keduanya). Dan ada yang bermakna lain, seperti kata “ilyâsa” dan “ilyâsîn” (QS. 37:123 dan 130), dibaca dengan “idrîsa” dan “idrâsîn, keduanya menunjuk kepada nama dua Nabi yang berbeda. Penyisipan beberapa kata seperti dalam (QS. 33:6), “wa azwâjuhû ummahâtuhum (+ wa hua ’abun lahum) ,” ,” “dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka (+ dan dia –Muhammad- adalah bapak mereka).” Dalam (QS. 5:89), fashiyâmu tsalâtsati ayyâmin (+ mutatâbi‘âtin), “maka berpuasalah selama tiga hari (+ berturut-turut)”. Pengurangan atau penghilangan kelompok kata, bahkan, ketika satu ayat dihilangkan seluruhnya, seperti dalam 94:6 yang merupakan satu-satunya kasus dalam teks Ibnu Mas‘ud, yaitu “inna ma‘al ‘usri yusran,” maka maknanya juga tidak terdistorsi, karena ayat ini merupakan pengulangan dari ayat
9
sebelumnya (94:5), dan posisinya di sini barangkali hanya untuk memberi penekanan atau penegasan. Adapun beberapa contoh lain perbedaan dalam mushaf Ibnu Mas’ud dengan mushaf Utsmani yaitu:12
lk j i h g f m (
)
13
l¦¥ ¤ £ m (
•
)
14
l ¡ ~ } |{ m (
•
)
15
,
•
,
,
•
(
16
l ¥ ¤ £ ¢ m (
17
•
)
MUSHAF IBNU ABBAS
Dalam peta perkembangan tafsir al-Qur’an di kalangan kaum Muslimin, Ibnu Abbas, keponakan Nabi menduduki posisi yang sangat terkemuka. Hal ini terlihat dari figurisasi dirinya sebagai penafsir al-Qur’an terbaik , berilmu sedalam lautan , dan intelektual umat. Ibnu Abbas memperoleh kemasyhuran bukan lantaran aktivitasnya di panggung politik, tetapi karena pengetahuan agamanya yang luas, terutama dalam al12
Ibnu Abi Dawud, Kitabul Mashâhif , (Beirut: Darul Basya`ir Basya`ir al-Islamiyah), 2002, 2002, h. 294. QS. an-Nisâ`: 40. 14 QS. Âli Imrân: 43. 15 QS. al-Baqarah: 61. 16 QS. al-‘Ashr: 1-3. 17 QS. al-Baqarah: 196. 13
10
Qur’an. Dari kebesaran semacam ini, seseorang bisa menduga bahwa kodeksnya akan sama terkenal dengan mushaf sahabat-sahabat Nabi lainnya, seperti Ibnu Mas‘ud atau Ubay. Tetapi kenyataan sejarah menunjukkan hal berbeda: mushaf Ibnu Abbas terlihat tidak pernah menjadi panutan masyarakat kota tertentu, sekalipun sejumlah mushaf sekunder seperti mushaf Ikrimah, Atha’, dan Sa‘id bin Jubair dipandang meneruskan tradisi teksnya. Ketenarannya dalam tafsir terjadi pada tahap belakangan dalam karirnya, ketika ia berupaya memanfaatkan syair-syair pra Islam untuk menjelaskan menjela skan makna al-Qur’an dalam tradisi teks utsmani. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kodeks al-Qur’annya dikumpulkan pada masa mudanya. Nama Ibnu Abbas sering muncul dalam daftar orang yang mengumpulkan alQur’an pada masa Nabi. Tetapi, kenyataan bahwa usianya masih sangat muda pada waktu itu jelas menegaskan kemungkinan aktivitas pengumpulannya. Paling jauh, hal ini hanya mencerminkan bahwa ia dikenal sebagai salah satu pengumpul al-Qur’an pada masa pra Utsman. Jeffery menduga bahwa teks mushaf Ibnu Abbas mencerminkan salah satu bentuk tradisi teks Madinah. Dari hubungan dekatnya yang resmi dengan Utsman pada masa persiapan kodifikasi al-Qur’an, dapat dipastikan bahwa mushaf Ibnu Abbas juga telah diserahkan untuk dimusnahkan bersama mushaf-mushaf lainnya. Itulah sebabnya, seperti terlihat dalam pentas historis, mushaf Ibnu Abbas tidak memainkan peran yang signifikan dalam sejarah awal teks al-Qur’an. Salah satu karakteristik mushaf Ibnu Abbas adalah eksisnya dua surat ekstra, yaitu surat al-Khal dan surat al-Hafd di dalamnya, sebagaimana yang terdapat dalam mushaf Ubay dan Abu Musa. Dengan demikian, jumlah keseluruhan surat yang ada di dalam mushaf Ibnu Abbas adalah sebanyak 116 surat. Sekalipun demikian, kedua surat ekstra ini tidak muncul dalam daftar susunan surat mushafnya, jadi jumlahnya 114. Ibnu Abbas berpedoman urutan kronologis dalam menyusun tartib surat. Berawal dari d ari surat Iqra` dan berakhir dengan surat an-Nâs. Berikut susunan surat dalam mushaf Ibnu Abbas dalam kitab Tarikh al-Qur’an:18 18
Ibrahim al-Abyari, Târîkh al-Qur’ân, (Kairo: Darul Kitab al-Mishri, 1991), h. 87.
11
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
.
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
Beberapa perbedaan antara mushafnya dengan mushaf Utsmani dicontohkan seperti: perbedaan vokalisasi dengan kerangka konsonantal kata yang sama, seperti “fi ‘ibâdi
(QS. al-Fajr: 29), dibaca “fî ‘abdî”. Kemudian perbedaan baca sejumlah kata
dalam bentuk jamak oleh Ibnu Abbas atau sebaliknya. Contoh dalam QS. 30:41, yakni “al-barri wal bahri” (tunggal), yang dibaca oleh Ibnu Abbas dalam bentuk jamak “alburûri wal buhûri”. Kata “matsalu” (
) dalam QS. 47:15, dibaca dengan amtsâlu (
).
Kasus sebaliknya, ketika teks Utsmani mengungkapkan suatu kata dalam bentuk jamak, tetapi dibaca dalam bentuk tunggal oleh Ibnu Abbas, contoh “âyâtun bayyinâtun” dalam QS. 3:97, dibaca Ibnu Abbas dengan âyatun bayyinatun. Penambahan kata dalam ayat juga ditemukan dalam mushaf Ibnu Abbas seperti dalam QS. 19:24, “fanâdâhâ min tahtihâ”
disisipi kata “malakun”, sehingga dibaca “fanâdâha malakun min tahtihâ”.
12
Bentuk-bentuk sisipan semacam ini tidak banyak mempengaruhi makna keseluruhan ayat, karena ia merupakan penjelasan. Berikut beberapa contoh lain perbedaan dalam mushaf Ibnu Abbas dengan mushaf Utsmani:19
l IH GF ED C BAm 20
(
)
lVUTSRm (
21
(
22
•
)
lji h g f edc m (
•
)
¦ ¥¤ m l° ¯ ® ¬ « ª ©¨§
23
•
•
)
MUSHAF ABU MUSA AL-ASY’ARI
Abu Musa pernah menjadi gubernur di Bashrah pada masa khalifah Umar bin Khattab, lalu dipindahtugaskan ke Kufah pada masa khalifah Utsman bin Affan. Abu Musa mulai menyusun mushafnya sejak zaman Nabi Saw dan diselesaikan setalah Nabi Saw wafat. Mushafnya yang dikenal dengan sebutan Lubab al-Nuqul menjadi kuat dan otoritaif di kalangan penduduk Bashrah kala ia menjabat sebagai gubernur. Dalam Kitab al-Mashahif disebutkan
seorang utusan datang membawa mushaf resmi Utsmani yang
akan diajdikan mushaf standar, Abu Musa berkata bahwa bagian apa pun dalam
19
Ibnu Abi Dawud, Kitabul Mashâhif , (Beirut: Darul Basya`ir Basya`ir al-Islamiyah), 2002, 2002, h. 339. QS. al-Baqarah: 238. 21 QS. Âli Imrân: 175. 22 QS. Âli Imrân: 7. 23 QS. al-Baqarah: 198. 20
13
mushafnya yang bersifat tambahan bagi mushaf Utsmani jangan dihilangkan, dan bila ada bagian mushaf Utsmani yang tidak terdapat dalam mushafnya agar ditambahkan. Mushaf Abu Musa terlihat semakin memudar pengaruhnya di kalangan muslimin seiring dengan diterimanya mushaf Utsmani sebagai mushaf resmi umat. Tidak ada riwayat yang menuturkan susunan surat mushaf Abu Musa. Jeffery menelusuri varian bacaan Abu Musa dan hanya menghasilkan jumlah yang tidak banyak. Ia hanya menemukan 4 varian bacaan Abu Musa yang berbeda, dan kesemuanya secara subsatnsial tidak berbeda maknanya dengan kodeks Utsmani. Yang pertama adalah dalam QS. 2:124, di mana kata “ibrâhîma” –demikian bacaan resmi utsmani– telah dibaca “ Ibrahâma” oleh Abu Musa, dan bacaan ini dipertahankan dalam keseluruhan bagian al-Qur’an. Yang kedua adalah ungkapan “lâ ya’qilûna”
dalam QS. 5:103, dibaca “lâ yafqahûna” yang tentunya merupakan sinonim.
Yang ketiga adalah kata “shawâffa” dalam QS. 22:36, dibaca “shawâfiya”, yang tidak mempengaruhi makna umum. Dan terakhir adalah ungkapan “man qablahu” dalam QS. 69:9, dibaca “man tilqâ`ahu” yang juga merupakan sinonim. Jadi varian-varian ini memperlihatkan tidak ada perbedaan substansial antara mushaf Abu Musa dan kodeks Utsmani.24 PENUTUP
Beberapa bukti di atas adalah penegasan bahwa tradisi tulis-menulis telah menjadi hal yang amat lazim di kalangan sahabat. Para sahabat telah melakukan upaya sungguhsungguh dalam melestarikan ragam bacaan yang bersumber dari Nabi Saw. Upaya standardisasi al-Qur’an yang dimotori oleh Khalifah Utsman yang menyeragamkan bacaan dan d an teksnya berhasil dengan sangat baik, dengan sedikit efek samping yang tentu tidak ia duga dari sebelumnya, bahwa mushaf lain yang ia musnahkan sesungguhnya amat bermanfaat bagi kajian kelimuan studi al-Qur’an. Tapi, hasil ijtihad para sahabat yang menyatukan bacaan al-Qur’an harus diterima dan dihargai, agar umat Islam tidak tercerai berai dan tidak menutup kemungkinan munculnya bacaan atau mushaf palsu di kalangan Muslimin. Wallahu a’lam. 24
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), h. 211.
14
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Abi Dawud, Kitabul Mashâhif , Beirut: Darul Basya`ir al-Islamiyah, 2002 Ibnu Nadim , al-Fihris, (Beirut: Darul Ma’rifah, t.t. Ibrahim al-Abyari, Târîkh al-Qur’ân, Kairo: Darul Kitab al-Mishri, 1991 Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqân fî ‘Ulûmil Qur’ân, Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 2008 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005