MUSHAF-MUSHAF MUSHAF-MUSHAF DI INDONESIA Oleh : Cecep Darul Iwan A. Pend Pendah ahul ulua uan n
Al-Qur’an Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang diyakini diyakini merupakan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW selama rentang waktu kenabiannya. Bagi umat Islam otentisitas al-Qur’an tidak dapat ditawartawar lagi sehingga ia menjadi corpus tertutup yang tidak dapat diganggu-gugat lagi keberadaannya. Ia menjadi panduan panduan dan pegangan umat Islam serta dianggap sebagai sumber hukum tertinggi. Namun demikian, al-Qur’an sebagai produk sejarah tidak dapat lepas dari perjalanan sejarah itu sendiri, sehingga ia tidak kebal terhadap kritik terutama berkaitan berkaitan
dengan dengan proses pelestarian pelestarian (baca: penulisan penulisan)) yang melibatkan melibatkan usaha
manusia di dalamnya. Telah banyak teori yang dikemukakan oleh para sarjana, baik Muslim maupun non Muslim, yang berupaya menjelaskan proses penulisan dan penyebaran al-Qur’an. Sebagian dari teori-teori yang dikemukakan mungkin berbeda dari apa yang selama ini dipegang dan diyakini oleh umat Islam. Mayo Mayori ritas tas sarja sarjana na Musl Muslim im meya meyaki kini ni bahw bahwaa al-Q al-Qur ur’a ’an n telah telah dija dijaga ga otentisitasnya semenjak ia lahir pada masa kenabian. Para sahabat Nabi –atas peri perint ntah ah Nabi Nabi send sendir irii- melak melakuk ukan an pele pelest star aria ian n deng dengan an dua dua cara: cara: perta pertama ma,, menjaganya menjaganya dalam hafalan ( fi ), kedua, mereka menuliskan menuliskan ayat-ayat ayat-ayat al fi al-sudur ), Qur’an pada bahan-bahan tulisan yang dikenal saat itu seperti pelepah kurma, tulang-belulang, batu, dan kulit binatang. Menurut Taufik Adnan Amal, sebagian sarjana Barat memandang penyebutan beberapa bahan di atas sebetulnya –tidak lebihlebih- sebaga sebagaii upaya upaya untuk untuk mengga menggamba mbarka rkan n kesede kesederha rhanaa naan n kehidu kehidupan pan para para sahabat bila dibandingkan kemewahan yang dipraktekkan oleh Bani Umayyah. 1 Melalui sebuah riwayat yang diterima dari Zaid ibn Tsabit, mayoritas sarjana Muslim meyakini bahwa upaya pertama pengumpulan al-Qur’an –yang pada masa Nabi belum tersusun ke dalam sebuah mushaf- dilakukan oleh Abu Bakar Siddiq pada saat ia menjabat sebagai khalifah. Adalah Umar ibn Khattab 1
Taufik Adnan Amal, Rekonstr Yogyakarta:: Forum kajian kajian Rekonstruksi uksi Sejarah Sejarah al-Qur’an, al-Qur’an, Yogyakarta Budaya dan Agama (FkBA), 2001, hal. 193.
1
orang yang pertama memandang pentingnya pengumpulan al-Qur’an setelah ia melihat banyaknya sahabat penghafal al-Qur’an yang gugur dalam medan perang Yamamah. Upaya penyalinan mushaf al-Qur’an kemudian diteruskan oleh khalifah ketiga Utsman ibn Affan. Sumber berita mengenai penyalinan ini datang dari Ibn Syihab al-Zuhri yang ia peroleh dari Anas ibn Malik. 2 Menurut riwayat yang diyakini oleh mayoritas sarjana Muslim ini, Utsman ibn Affan memerintahkan Zaid ibn Tsabit untuk melakukan penyalinan atas al-Qur’an yang telah dikumpulkannya dahulu. Salinan ini –yang dikenal sebagai rasm utsmani, mushaf
utsmani, atau mushaf al-iman- kemudian disebarkan ke beberapa kota besar Islam untuk menjadi pegangan umat Islam agar tidak terjadi perselisihan karena perbedaan bacaan. Bersama pengiriman salinan-salinan al-Qur’an tersebut, Utsman memerintahkan agar tulisan-tulisan al-Qur’an yang lain –yang sebagian sahabat masih memilikinya- untuk dimusnahkan. Setelah Islam tersebar ke berbagai penjuru benua Asia dan Afrika bahkan Eropa, penulisan Al-Qur’an mayoritas didasarkan atas mushaf Utsmani. Bagaimana sejarah mencatat penulisan Al-Qur’an di kawasan Nusantara? Makalah ini akan mencoba mengulas hal-hal yang berkaitan dengan penulisan AlQur’an di kawasan Nusantara.
B. Penulisan Mushaf al-Qur’an di Indonesia
Diskusi mengenai penulisan mushaf al-Qur’an di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah masuknya Islam di kepulauan nusantara. Islam diperkirakan masuk ke Indonesia pada akhir
abad ke-13, ditandai dengan
munculnya kerajaan Samudera Pasai di Sumatera3. Menurut Federspiel, bahkan pada menjelang abad ke-12, pusat-pusat studi di Aceh dan Palembang di Pulau Sumatera, Jawa Timur, dan Goa telah menghasilkan tulisan-tulisan penting dan 2
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta: Forum kajian Budaya dan Agama (FkBA), 2001, hal. 196-197. 3 Di kawasan Asia Tenggara sendiri, Islam diduga telah hadir pada abad ke-7 sampai 11 yang didasarkan pada sumber-sumber pedangan Cina dan Arab yang melewati selat Malaka. Lihat Uka Tjandrasasmita, Kedatangan dan Penyebaran Islam, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Asia Tenggara, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002. Hal 10-11.
2
menarik para siswa untuk belajar. 4 Berdasarkan teori ini, para sarjana Muslim nusantara memandang bahwa upaya penulisan mushaf al-Qur’an di Indonesia telah dilakukan pada waktu itu. Meskipun demikian, mushaf yang dihasilkan pada masa ini tidak dapat ditemukan. Mushaf tertua yang berhasil ditemukan adalah mushaf yang berasal dari akhir abad ke-16, tepatnya Jumadil-Awal 993 H (1585) yang dikoleksi oleh William Marsden5 seorang pegawai pemerintah kolonial Inggris yang bekerja di Bengkulu pada akhir abad ke-18. Adalah Annabel T. Gallop, seorang peneliti berkebangsaan Inggris, mencoba untuk meneliti berbagai koleksi naskah yang dimiliki oleh William Marsden. Naskah-naskah koleksi Marsden sekarang tersimpan di perpustakaan School of Oriental and African Studies University of London. Salah satu koleksi itu adalah sebuah mushaf bernomor MS 12716 dengan kolofon bahasa Arab, Jumadil-Awal 993 (1585). Berdasarkan kertas, bentuk buku, dan tulisannya, Gallop berkesimpulan bahwa mushaf itu berasal dari Indonesia, dan kemungkinan dari Sumatera.6 Mushaf tertua kedua adalah mushaf yang ditulis oleh seorang ulama Ternate, Maluku Utara, al-Faqih al-Salih Afifuddin Abdul Baqi bin Abdullah alAdni bertanggal 7 Dzulqa’dah 1005 H (1597). Mushaf tua lainnya ditemukan di Belanda, yang diperoleh dari Johor pada tahun 1606. Mushaf ini berkolofon tulisan jawa.7 Tidak banyak sumber sejarah yang membicarakan upaya penulisan mushaf di Indonesia pada masa selanjutnya. Namun diyakini bahwa sepanjang abad 19 sampai dengan awal abad 20 penyalinan al-Qur’an di Indonesia terus berlangsung di berbagai kota besar dan wilayah Islam lainnya seperti di Aceh, Palembang, 4
Howard M. Federspiel, Kajian al-Qur’an di Indonesia, terj. Tajul Arifin, Bandung: Mizan, 1996, hal. 1-2. 5 William Marsden (1754-1836) adalah seorang orientalis, ahli bahasa, dan numismatis berkebangsaan Inggris. Ia merupakan salah satu pioneer dalam studi ilmiah mengenai Indonesia. Pada 1771 ia ditugaskan ke Bengkulu dan sekembalinya ke Inggris 1779 ia menulis buku History of Sumatra. Selengkapnya dapat dilihat dalam dengan John Bastin, “Sumber-sumber Inggris bagi Sejarah Indonesia Modern” dalam Historiografi Indonesia; Sebuah Pengantar, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 1995, hal 222-226. 6 Fadhal AR. Bafadal dkk. Mushaf-mushaf Kuno di Indonesia, Jakarta: Puslitbang Balitbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2005, hal. viii 7 Ibid.
3
Yogyakarta, Solo, Madura, Lombok, Banjarmasin, Samarinda, Makassar, dan Ternate.8 Penulisan mushaf-mushaf di Indonesia didorong oleh semangat dakwah untuk mengajarkan al-Qur’an. Naskah-naskah yang dihasilkan semuanya berupa tulisan tangan karena teknologi mesin cetak, terutama pada abad ke-19, belum menyentuh dunia Islam di Indonesia. Memasuki awal abad 20, semangat penyalinan al-Qur’an nampaknya semakin menurun. Kemungkinan hal ini karena kebijakan pemerintah Kolonial Belanda yang membatasi upaya umat Islam untuk memahami dan menjalankan ajaran Islam sepenuhnya. Terdapat tiga komponen masyarakat yang biasanya memprakarsai penulisan al-Qur’an di Indonesia, yaitu: kerajaan/ kesultanan, pesantren, dan kelompok elit masyarakat. Penulisan al-Qur’an yang dilakukan oleh para pujangga kraton biasanya diawali oleh perintah sultan, seperti Kanjeng Kiai AlQur’an yang dibuat atas perintah sultan 9. Disamping itu pesantren sebagai pusat pendidikan agama yang tertua di Indonesia juga memegang peranan penting dalam penulisan mushaf al-Qur’an ini, seperti mushaf yang terdapat di pesantren Tegalsari Ponorogo, pesantren Buntet Cirebon dan lain-lain. Sementara itu beberapa elit masyarakat juga memprakarsai upaya penulisan al-Qur’an seperti yang pernah dilakukan oleh Ibnu Sutowo sehingga menghasilkan Mushaf Ibnu
Sutowo, atau seperti Mushaf at-Tin atas prakarsa Presiden Soeharto, walaupun mungkin terdapat tujuan tertentu dari upaya penulisan seperti ini.
C. Kondisi Mushaf al-Qur’an di Indonesia
Sedikitnya sumber-sumber yang membahas mengenai mushaf-mushaf di Indonesia merupakan imbas dari minimnya penelitian mushaf al-Qur’an nusantara. Faktor utama penghambatnya adalah dana. Oleh karena itu penelitian yang dapat disajikan dalam makalah ini adalah dua penelitian mengenai mushaf, yaitu: pertama, penelitian yang dilaksanakan oleh Departemen Agama melalui Puslitbang Lektur Keagamaan Balitbang Agama dan Diklat secara berturut-turut 8
Ibid. ix M. Jandra. "Kanjeng kyai" Al-Qur'an pusaka Kraton Yogyakarta, ed., M. Jandra, Tashadi/ Yayasan Kebudayaan Islam Indonesia bekerjasama dengan IAIN Sunan Kalijaga,Yogyakarta: 2004 9
4
pada 2003, 2004, dan 2005. Kedua,
penelitian Yayasan Kebudayaan Islam
Indonesia bekerja sama dengan IAIN Sunan Kalijaga pada 2004 yang meneliti Kanjeng Kiai Al-Qur’an Kraton Yogyakarta. Pada tahun 2003 Puslitbang Departemen Agama melakukan penelitian atas 13 wilayah dengan naskah temuan sebagai berikut: Banten 4 naskah, Jawa Barat 4 naskah, Jawa Tengah 21 naskah, Yogyakarta 9 naskah, Jawa Timur 57 naskah, Nusa Tenggara Barat 15 naskah, Sumatera Selatan 10 naskah, Sumatra Barat 3 naskah, Riau 10 naskah, Sumatera Utara 1 naskah, Kalimantan Selatan 1 naskah, Kalimantan Timur 10 naskah, dan Sulawesi Selatan 15 naskah. Jumlah naskah yang diteliti pada tahun ini adalah 161 naskah. 10 Pada tahun 2004 dilakukan penelitian kembali terhadap 30 naskah di sembilan provinsi, yaitu: Sumatera utara 2 naskah, Sumatera Barat 3 naskah, Banten 5 naskah, Jawa Barat 5 naskah, Bali 1 naskah, Nusa Tenggara Barat 2 naskah, Kalimantan Selatan 3 naskah, Sulawesi Selatan 6 naskah, dan Ternate 4 naskah. Selanjutnya pada 2005 penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Departemen Agama ini menghasilkan temuan baru di 7 provinsi, yaitu: Jawa Barat 2 naskah, Jawa Timur 8 naskah, Bali 6 naskah, Nusa Tenggara Barat 14 naskah, Kalimantan Barat 13 naskah, Sulawesi Tengah 4 naskah, dan Sulawesi Tengara sebanyak 3 naskah. Jumlah naskah yang diteliti pada tahun ini adalah 60 naskah. Secara keseluruhan rangkaian penelitian ini telah menggarap 241 naskah nusantara yang tersebar di beberapa propinsi. Hasil dari penelitian ini menyebutkan sebagian besar kondisi naskah sudah dalam keadaan rusak dan kurang terawat. Para ahli waris, pengelola museum, atau perpustakaan tempat penyimpanan naskah-naskah itu tidak melakukan perawatan sebagaimana mestinya atau menyimpannya pada ruangan yang kondusif, sehingga mempercepat proses pelapukan naskah. Pada beberapa naskah yang diteliti telah banyak yang kondisi kertasnya lapuk dimakan rayap.
10
Fadhal AR. Bafadal dkk. Ibid. hal. xii
5
Sementara itu bahan yang digunakan sebagian besar adalah kertas Eropa yang memiliki cap, water mark, sehingga dapat diketahui dengan jelas tahun pembuatan kertas itu yang pada gilirannya dapat memperkirakan usia naskah. Sebagian naskah dibuat pada kertas dluwang atau kertas kulit kayu. Dalam hal penulisan, naskah-naskah yang ditemukan dalam penelitian ini sebagian ditulis dengan rasm utsmani dan sebagian lagi dengan rasm imla’i. Kecuali pada lafal-lafal tertentu yang tetap mengacu pada kaidah penulisan rasm
utsmani. Sebagian mushaf mencantumkan qiraat sab’ah di bagian pinggir dan sebagian juga mencantumkan bacaan selain bacaat qiraat Hafs. Hal ini menunjukkan pemahaman para penulis tentang hal-hal yang berkaitan dengan ulumul Qur’an yang cukup luas. Sebagian naskah ditulis dengan sistem pojok, artinya setiap halaman selalu diakhiri dengan satu ayat, sebagian lagi tidak dengan jumlah baris pada setiap halaman berbeda-beda. Dilihat dari segi kaligrafinya, penulisan mushaf di Indonesia tidak termasuk tulisan Arab yang baik ( khatt )11 karena penulisnya kemungkinan bukan ahli khatt . Namun demikian semua tulisan pada naskah cukup konsisten dilihat dari ukuran huruf, kerapatan, maupun gayanya. Gaya kaligrafi yang digunakan adalah gaya naskhi, adapun kepala-kepala surat dan juz menggunakan gaya
tsuluts, naskhi, dan gaya “floral”, suatu gaya tradisional yang dikembangkan secara lokal.12 Sementara aspek iluminasi, menyangkut jenis-jenis motif dan simbolsimbol visual yang digunakan, umumnya terdiri atas tiga bagian, yaitu: (1) iluminasi pada bagian awal (umm al-Qur’an), tengah ( nisf al-Qur’an ), dan akhir mushaf (khatm al-Qur’an ), (2) iluminasi pada kepala-kepala surat, dan (3) iluminasi pada pinggir halaman berupa iluminasi untuk tanda-tanda juz, nisf, hizb,
nisf hizb, dan lain-lain yang terdapat pada ruang kosong kiri kanan teks mushaf. Iluminasi pada awal, tengah, dan akhir al-Qur’an sering dalam bentuk kombinasi sepasang halaman yang membentuk sebuah komposisi tunggal dengan 11
Seperti mushaf al-Qur’an yang terdapat di Perpustakaan Pakualaman juz I – VII yang tidak ditulis dengan kaidah khat tertentu. 12 Fadhal AR. Bafadal dkk. Ibid. hal. xiv
6
posisi simetris. Sementara ragam hias yang digunakan adalah ragam floral (tumbuh-tumbuhan) dan pada umumnya tidak menggunakan ragam hias geometris yang banyak digunakan dalam mushaf-mushaf Timur Tengah. Temuan penting dari penelitian ini mengenai iluminasi adalah beragamnya motif iluminasi yang muncul pada mushaf-mushaf di Indonesia. Hal ini tentu karena beragamnya corak budaya yang dimiliki oleh masing-masing daerah.
D. Mushaf Syekh al-Banjari
Di sini akan disajikan hasil penelitian Abdan Syukri terhadap Mushaf Syekh al-Banjari sebagai salah satu mushaf yang diteliti dalam rangkaian penelitian Puslitbang Departemen Agama terhadap mushaf-mushaf di Indonesia. Mushaf Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari disimpan di Museum Negeri Kepurbakalaan Banjarbaru, namun sayang di Museum ini hanya terdapat sepuluh juz mulai dari surat al-Baqarah ayat 142 sampai dengan juz 10. Surat al-Fatihah dan permulaan surat al-Baqarah telah rusak dan hilang. Sisanya, 20 juz lagi disimpan oleh ahli warisnya yaitu H. Irsyad Zin (silsilah ke enam dari Syekh alBanjari).13 Mushaf ini merupakan mushaf tulisan tangan Syekh al-Banjari yang mulai ditulis pada 1779. Mushaf ini dilengkapi dengan qiraah sab’ah di pinggir halaman, atau di luar teks. Bahan yang digunakan adalah kertas Eropa. Sampul mushaf ini telah lepas dan diganti dengan kertas karton dan dilapisi kain berwarna hijau. Menurut penyimpannya, al-Qur’an ini keramat dan dapat membawa berkah, sehingga ia tidak boleh dilangkahi kucing dan tak sembarang orang boleh mengambilnya. Menurut Abdan Syukri, mushaf ini menggunakan khatt naskhi dengan
rasm imla’i, kecuali pada lafal-lafal tertentu menggunakan rasm utsmani, namun menurut Syukri, penulisannya tidak konsisten. Ia mencontohkan pada lafal
assamaawaat huruf mim diberi baris fathah miring yang seharusnya tegak, dan huruf waw dengan tanda mad alif yang seharusnya memakai fathah tegak.
13
Fadhal AR. Bafadal dkk. Ibid . hal. 213
7
Tinta yang digunakan untuk menulis mushaf ini terbuat dari arang para yang terdapat di atas tempat memasak yang ditempatkan pada mangkuk keramik. Arang tersebut dicampur dengan cuka la’ang, cuka yang terbuat dari air nira/ aren. Adapun warna merah dibuat dari pentil kelapa (katilambung ) . Kini tempat campuran tinta itu masih tersimpan di rumah H. Irsyad. Sampul mushaf ini berwarna coklat kehitaman dengan ukuran sesuai kertasnya yaitu 45x62 cm. Tebal mushaf yang 10 juz adalah 3,5 cm sementara yang 20 juz 6,5 cm. Jenis kertas Eropa yang digunakan sedikit tebal dan terdapat garis-garisnya berwarna kuning agak kelabu. Jumlah baris tiap halaman 15 baris dengan jarak antar baris 3 cm. Setiap halaman memiliki garis bingkai teks dengan ukuran 29 x 48 cm. Tanda wakaf yang ada adalah juz, nisf, rubu’, dan tsumun. Mushaf ini dijilid dengan rapi dan kuat menggunakan jahitan benang. Di luar bingkai teks dipenuhi keterangan qiraah sab’ah dan tanda baca. Pada awal surat, di bagian atas, terdapat ornamen tertentu yang menjadi penghias. Dalam penelitiannya ini, Abdan Syukri menyimpulkan mengenai kekayaan corak hias yang digunakan oleh Syekh al-Banjari yang begitu beragam. Sebagai contoh pada setiap awal juz yang merupakan halaman berhias banyak dijumpai lukisan pohon, rumah, bangunan masjid dan lain-lain. 14
E. Penutup
Penelitian mengenai mushaf-mushaf di Indonesia sampai saat ini belum banyak dilakukan. Persoalan utama yang mungkin banyak dihadapi oleh para penelitia adalah luasnya wilayah yang harus dicakup sehingga berakibat pada besarnya dana yang dibutuhkan. Karena itu kajian-kajian mengenai mushaf alQur’an di Indonesia masih terasa kurang bila dibandingkan dengan kajian-kajian al-Qur’an lainnya seperti tafsir, aspek-aspek kemukjizatan, sejarah al-Qur’an dan lain-lain. Oleh karena itu rangkaian
penelitian yang dilakukan
Puslitbang
Departemen Agama terhadap mushaf-mushaf nusantara dan penelitian yang 14
Fadhal AR. Bafadal dkk. Ibid . hal. 216
8
dilakukan oleh Yayasan Kebudayaan Islam Indonesia bekerja sama dengan IAIN Sunan Kalijaga terhadap Kanjeng Kiai al-Qur’an merupakan sumbangan yang luar biasa terhadap kajian mushaf di Indonesia. Dari beberapa penelitian yang dilakukan, nampak bahwa mushaf yang digunakan dalam proses penulisan di Nusantara didominasi –untuk tidak mengatakan seluruhnya- oleh mushaf Utsmani. Sementara dalam segi rasm atau gaya penulisan ternyata ada berbagai macam jenis. Yang menarik adalah aspek seni hiasan pinggir dalam penulisan Al-Qur’an ternyata penulisan Al-Qur’an di Nusantara memiliki ciri khas tersendiri.
9
DAFTAR PUSTAKA
Amal, Taufik Adnan. Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta: Forum kajian Budaya dan Agama (FkBA), 2001. Bafadhal, Fadhal AR. (ed.), Mushaf-Mushaf Kuno di Indonesia, Jakarta: Puslitbang Balitbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2005. Bastin, John. “Sumber-sumber Inggris bagi Sejarah Indonesia Modern” dalam Historiografi Indonesia; Sebuah Pengantar, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 1995. Federspiel, Howard M. Kajian al-Qur’an di Indonesia, terj. Tajul Arifin, Bandung: Mizan, 1996. Jandra, M. "Kanjeng kyai" Al-Qur'an pusaka Kraton Yogyakarta , ed., M. Jandra, Tashadi/ Yayasan Kebudayaan Islam Indonesia bekerjasama dengan IAIN Sunan Kalijaga,Yogyakarta: 2004. Tjandrasasmita, Uka. “Kedatangan dan Penyebaran Islam” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam ; Asia Tenggara, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
10