Potensi Modul Survei Sosial-Ekonomi Nasional untuk Pemantauan Pembangunan Milenium (Ir. Aryago Mulia, M.Si)
I. Pendahuluan
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) adalah survei rumah tangga mengenai berbagai karakteristik sosial-ekonomi penduduk, terutama yang erat kaitannya dengan pengukuran tingkat kesejahteraan masyarakat. Secara umum perkembangan kegiatan Susenas dapat dibagi ke dalam 2 tahap; tahap I antara 1963-1991, dan tahap II mulai 1992 sampai dengan sekarang. Susenas dilaksanakan pertama kali tahun 1963 dengan sampel 16.000 rumah tangga dan hanya dilaksanakan di Pulau Jawa. Karakteristik yang dicakup adalah demografi, ketenagakerjaan dan konsumsi/pengeluaran dengan pendekatan rumah tangga biasa. Sampai dengan tahun 1970, Susenas dilaksanakan sebanyak 4 kali, dengan cakupan wilayah dan ukuran sampel berbeda. Pelaksanaan Susenas pertama sampai dengan keempat seluruhnya dibiayai dan dibantu secara teknis oleh UN. Susenas tahun 1964-1965 sudah mencakup seluruh propinsi, kecuali Maluku dan Irian, dan pada pada kegiatan Susenas tahun 1967, cakupan lokasinya berkurang hanya meliputi Pulau Jawa. Pada tahun 1969-1970, Susenas kembali mencakup seluruh propinsi, kecuali Maluku dan Irian. Susenas ke-5 dilaksanakan tahun 1970, dengan dana seutuhnya dari pemerintah dan ditangani seluruhnya oleh BPS, dengan cakupan sampel yang sama dengan tahun sebelumnya. Selanjutnya untuk tahun 1971-1975, BPS tidak menyelenggarakan kegiatan Susenas. Susenas dilaksanakan kembali tahun 1976 dan sejak tahun 1978, Susenas sudah dapat dilaksanakan setiap tahun sekali melalui dana pemerintah, kecuali tahun 1983 karena bersamaan dengan kegiatan Sensus Pertanian Pertanian dan tahun 1988 yang bersamaan dengan kegiatan kegiatan Survei Biaya Hidup (SBH). Pada tahun 1980-1991 banyak instansi sektoral meminta agar Susenas juga mencakup kebutuhan kebutuhan data data sektor, antara lain, Ditjen Pariwisata meminta memasukkan materi perjalanan wisata, Departemen Kesehatan (Depkes) menambahkan materi antropometri (penimbangan balita) dan kesehatan, pada tahun 1986, dan Kepolisian Republik Indonesia menambahkan materi pertanyaan kriminalitas. Dalam tahap 91
tersebut secara umum banyak topik (materi pertanyaan) yang masuk ke dalam Susenas, antara lain fertilitas, pendidikan, kesehatan, perumahan, sosial-budaya, perjalanan, dan kriminalitas. Sampai dengan tahun 1981 Susenas dianggap sebagai survei konsumsi/ pengeluaran, karena materi konsumsi rumah tangga selalu hadir, sementara topik lain tidak tentu. Karena cakupan materi semakin banyak, maka sejak tahun 1981 materi konsumsi rumah tangga dipisah sendiri dan dijadwalkan 3 tahun sekali, sehingga Susenas identik dengan Survei Konsumsi, sementara materi kesehatan, pendidikan, sosial-budaya, perjalanan dan kriminalitas juga dilaksanakan 3 tahun sekali di antara tahun-tahun penyelenggaraan materi konsumsi rumah tangga atau atau tergantung tergantung kebutuhan pendataan. Sampai dengan dengan tahun tahun 1990 hanya materi konsumsi rumah tangga yang mengikuti jadual tiga tahun sekali, sementara yang lainnya tidak tentu. Sejak tahun 1992 terdapat dua set daftar pertanyaan, yaitu kor untuk estimasi sampai dengan kabupaten/kota dan modul untuk estimasi propinsi. Untuk sampel kor dan modul yang informasinya berasal dari rumah tangga yang sama, sebenarnya kedua data tersebut digabungkan untuk memperoleh informasi yang lebih detil dan lengkap, sayangnya informasi yang lengkap tersebut hanya cukup untuk mendapatkan indikator di tingkat propinsi saja. II. Perkembangan Materi Susenas
Dikembangkannya materi Susenas pada tahun 1992 dengan mengenalkan istilah Kor Susenas (inti), dan Modul Susenas (sasaran/rinci), karena semakin banyaknya materi yang disertakan di dalam setiap kegiatan Susenas, sehingga perlu dipikirkan indikator apa saja yang selalu dibutuhkan setiap tahun dan indikator lainnya yang cukup tiga tahun sekali. Sebelum tahun 1992 yang disebut Kor adalah 5 (lima) karakteristik demografi yang selalu ada dalam setiap Susenas yaitu nama, hubungan dengan kepala rumah tangga, jenis kelamin, umur, dan status perkawinan. Setelah melakukan seleksi dan uji coba terhadap daftar pertanyaan yang dianggap selalu diperlukan setiap tahun dan dapat dibandingkan antarwilayah secara berlanjut, maka dibentuklah daftar tersendiri yang disebut daftar Kor. Untuk dapat menyediakan data penting bidang sosial secara rutin (tahunan) dengan indikator yang terjaga ketersediaannya, maka mulai tahun 1992 data Kor ditetapkan untuk mencakup berbagai aspek kesejahteraan rumah tangga, antara lain: demografi, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, sosial-budaya, fertilitas dan KB, perjalanan, kriminalitas, perumahan, dan konsumsi/pengeluaran. 92
tersebut secara umum banyak topik (materi pertanyaan) yang masuk ke dalam Susenas, antara lain fertilitas, pendidikan, kesehatan, perumahan, sosial-budaya, perjalanan, dan kriminalitas. Sampai dengan tahun 1981 Susenas dianggap sebagai survei konsumsi/ pengeluaran, karena materi konsumsi rumah tangga selalu hadir, sementara topik lain tidak tentu. Karena cakupan materi semakin banyak, maka sejak tahun 1981 materi konsumsi rumah tangga dipisah sendiri dan dijadwalkan 3 tahun sekali, sehingga Susenas identik dengan Survei Konsumsi, sementara materi kesehatan, pendidikan, sosial-budaya, perjalanan dan kriminalitas juga dilaksanakan 3 tahun sekali di antara tahun-tahun penyelenggaraan materi konsumsi rumah tangga atau atau tergantung tergantung kebutuhan pendataan. Sampai dengan dengan tahun tahun 1990 hanya materi konsumsi rumah tangga yang mengikuti jadual tiga tahun sekali, sementara yang lainnya tidak tentu. Sejak tahun 1992 terdapat dua set daftar pertanyaan, yaitu kor untuk estimasi sampai dengan kabupaten/kota dan modul untuk estimasi propinsi. Untuk sampel kor dan modul yang informasinya berasal dari rumah tangga yang sama, sebenarnya kedua data tersebut digabungkan untuk memperoleh informasi yang lebih detil dan lengkap, sayangnya informasi yang lengkap tersebut hanya cukup untuk mendapatkan indikator di tingkat propinsi saja. II. Perkembangan Materi Susenas
Dikembangkannya materi Susenas pada tahun 1992 dengan mengenalkan istilah Kor Susenas (inti), dan Modul Susenas (sasaran/rinci), karena semakin banyaknya materi yang disertakan di dalam setiap kegiatan Susenas, sehingga perlu dipikirkan indikator apa saja yang selalu dibutuhkan setiap tahun dan indikator lainnya yang cukup tiga tahun sekali. Sebelum tahun 1992 yang disebut Kor adalah 5 (lima) karakteristik demografi yang selalu ada dalam setiap Susenas yaitu nama, hubungan dengan kepala rumah tangga, jenis kelamin, umur, dan status perkawinan. Setelah melakukan seleksi dan uji coba terhadap daftar pertanyaan yang dianggap selalu diperlukan setiap tahun dan dapat dibandingkan antarwilayah secara berlanjut, maka dibentuklah daftar tersendiri yang disebut daftar Kor. Untuk dapat menyediakan data penting bidang sosial secara rutin (tahunan) dengan indikator yang terjaga ketersediaannya, maka mulai tahun 1992 data Kor ditetapkan untuk mencakup berbagai aspek kesejahteraan rumah tangga, antara lain: demografi, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, sosial-budaya, fertilitas dan KB, perjalanan, kriminalitas, perumahan, dan konsumsi/pengeluaran. 92
Sejak tahun 1993, materi Kor dikumpulkan setiap tahun, materi Modul setiap 3 tahun secara bergantian. Modul yang dicakup Susenas dikelompokkan ke dalam 3 paket, dengan frekuensi pengumpulan datanya 3 tahun sekali. Data modul tersebut adalah: i. Konsumsi, pengeluaran dan pendapatan, tahun 1990, 1993, 1996, 1999, 2002, dan 2005; ii. Sosial-budaya, perjalanan, kriminalitas, dan kesejahteraan kesejahteraan rakyat (kesra), tahun 1991, 1994, 1997, 2000, 2003, dan 2006, namun modul perjalanan dan kriminalitas sejak tahun 2000 tidak lagi berada di dalam Susenas sehingga di tahun-tahun tersebut modulnya adalah sosial-budaya dan pendidikan); iii. Kesehatan, pendidikan, dan perumahan, tahun 1992, 1995, 1995, 1998, 2001, 2004, dan 2007, dan karena kebutuhan khusus maka tahun 2001 diselenggarakan modul kesehatan dan perumahan. Modul 1: Konsumsi, Pengeluaran dan Pendapatan Latar belakang dikumpulkannya data Modul Konsumsi Pengeluaran dan pendapatan rumah tangga di antaranya adalah untuk mendapatkan besaran rata-rata konsumsi kalori dan protein per-kapita per hari (kecukupan asupan gizi masyarakat), yang dapat diolah untuk mendapatkan angka jumlah/presentase rumah tangga kurang gizi (miskin). Selain itu, Modul Konsumsi dilaksanakan untuk memantau pola konsumsi rumah tangga baik pola konsumsi makanan (beras, umbiumbian, ikan, daging, sayur, buah-buahan, makanan jadi, rokoktembakau, dan bahan minuman) maupun kelompok non-makanan (perumahan, bahan bakar, penerangan, pendidikan, kesehatan, transportasi, dan lainnya). Modul Konsumsi dirancang dengan format daftar pertanyaan identitas pengenalan tempat, keterangan rumah tangga (nama kepala rumah tangga dan jumlah anggota rumah tangga), kemudian konsumsi makanan, minuman, dan tembakau untuk seluruh anggota rumah tangga selama seminggu yang lalu. Penekanan periode waktu seminggu yang lalu, 7 hari sebelum petugas datang untuk menanyakan ke responden, artinya yang dikonsumsi responden hari ini tidak dalam pencatatan survei. Pola bertanya seperti ini mempunyai kelemahan, karena bagi responden yang mempunyai daya ingat kurang mengakibatkan tidak tercatatnya beberapa bahan makanan yang dikonsumsi oleh rumah tangga, menyebabkan data konsumsi makanan under estimate . Cakupan konsumsi untuk seluruh anggota rumah tangga juga menjadi penyebab under estimate . Idealnya informasi konsumsi seluruh anggota rumah tangga dapat tercatat dengan baik, namun kenyataannya 93
informasi seluruh anggota rumah tangga tidak bisa didapat, terutama bila ada anggota rumah tangga yang sering makan di luar atau di tempat kerjanya. Daftar pertanyaan Modul Konsumsi dibuat sedemikian rincinya dengan maksud membantu responden dalam mengingat semua yang dikonsumsi dalam periode rujukan, akan tetapi konsekuensinya, petugas dan responden harus meluangkan waktu yang lebih lama (lebih dari satu jam). Terdapat kemungkinan petugas ataupun responden merasa jenuh dengan wawancara selama itu, dan ingin mempercepat proses wawancara, akibatnya bisa saja beberapa rincian tidak tercatat. Daftar pertanyaan komoditi bahan makanan terdiri atas 14 jenis kelompok, seperti padi-padian (10 jenis bahan padi-padian serta hasil olahan salah satunya tepung beras), umbi-umbian (9 jenis bahan umbiumbian) sampai dengan kelompok ke-14 yaitu tembakau dan sirih (6 jenis seperti rokok kretek filter, rokok kretek tanpa filter, rokok putih, tembakau, sirih/pinang, dan lainnya). Yang dimaksud dengan mengkonsumsi bahan makanan adalah artinya, apabila rumah tangga membeli atau memperoleh bahan makanan dalam periode survei (7 hari yang lalu) tetapi belum habis dikonsumsi, maka yang dicatatkan hanya yang habis dikonsumsi saja, sementara yang belum dikonsumsi tidak dicatat. Jenis-jenis bahan makanan yang di dalam daftar dibuat rinci dimaksudkan agar petugas maupun responden terbantu dalam menentukan apakah suatu jenis barang dikonsumsi atau tidak dalam satu minggu terakhir. Penggunaan daftar bahan makanan seperti ini mempunyai kelemahan apabila di daerah tertentu ada makanan khas yang tidak tercakup dalam daftar. Seharusnya nilai konsumsi makanan tersebut masuk dalam kelompok lainnya, namun petugas maupun responden bisa lupa memasukkannya. Oleh sebab itu, setiap kali akan melakukan survei Modul Konsumsi Susenas harus dilakukan modifikasi (manambahkan atau mengurangi daftar bahan makanan) apabila dijumpai jenis bahan makanan baru yang banyak dikonsumsi rumah tangga, atau sebaliknya harus membuang dari daftar bahan makanan apabila sudah tidak ada lagi yang mengkonsumsinya. Yang dimaksud dengan “mengkonsumsi komoditi non-makanan” adalah membeli barang jenis tersebut walaupun belum digunakan. Contoh: membeli 3 stel pakaian dan baru digunakan satu stel, maka yang dicatat dikonsumsi oleh rumah tangga tetap 3 stel pakaian. Jenis komoditi non-makanan, satu bulan dan satu tahun yang lalu dijadikan sebagai referensi waktu survei. Dengan batasan waktu 94
sepanjang itu mungkin responden sudah lupa kuantitas konsumsi barang tertentu. Jenis komoditi non-makanan kelompok perumahan terdiri dari perkiraan sewa rumah, kontrak, pengeluaran minyak, gas, listrik, telepon, dan air. Kemudian ada kelompok biaya kesehatan, biaya pendidikan, pembelian barang tahan lama yang tidak termasuk barang modal, biaya transportasi, jasa dan kebutuhan lain. Ada jenis komoditi yang harus diperkirakan nilainya, seperti perkiraan sewa rumah. Informasi mengenai pengeluaran dari konsumsi makanan dan nonmakanan dikumpulkan bersamaan dengan informasi mengenai pendapatan. Data pendapatan rumah tangga sangat relevan dikumpulkan di Modul karena dapat dijadikan sebagai kontrol secara tidak langsung terhadap besarnya pengeluaran rumah tangga. Besarnya pendapatan kadang kala lebih kecil dari pengeluaran yang dicatat dalam daftar ini. Kondisi tersebut dapat terjadi apabila responden membeli suatu jenis barang dengan menggunakan uang tabungan, atau responden merasa sungkan untuk menyatakan besarnya pendapatan yang diperolehnya dan cenderung mengecilkan nilainya, mungkin karena takut kalau-kalau datanya dijadikan sebagai informasi untuk pembayaran pajak. Pertanyaan tentang pendataan diperoleh dengan menanyakan besarnya gaji rutin, upah dari usaha di sektor pertanian, non-pertanian dan jasa. Selain itu ditanyakan juga pendapatan yang berasal dari kiriman (transfer) dan lainnya. Selain Susenas, Survei BPS yang lain mengumpulkan data pendapatan adalah Survei Khusus Tabungan dan Investasi Rumah Tangga (SKTIR). Penekanan dari survei SKTIR utamanya untuk memperoleh data tabungan yang dikumpulkan setiap tahunnya dengan besaran sampel untuk estimasi di tingkat nasional. Karena kesamaan konsep dan model yang dipakai antara SKTIR dan Modul Konsumsi, maka setiap kali menyelenggarakan Modul Konsumsi, beberapa pertanyaan mengenai pendapatan rumah tangga dimasukkan untuk memperoleh estimasi pendapatan nasional dengan cakupan sampel yang bisa diestimasi sampai dengan tingkat propinsi. Modul 2: Sosial Budaya, Perjalanan, Kesra, dan Kriminalitas Modul kesejahteraan rakyat dimaksudkan untuk menangkap persepsi kepala rumah tangga tentang dampak pembangunan terhadap kemajuan dari tingkat kehidupan dan kesejahteraan rumah tangga. Responden diminta untuk membandingkan kondisi ekonomi rumah tangga, pendapatan, perumahan, fasilitas tempat tinggal, pakaian, sekolah, kesehatan, dan akses terhadap berbagai fasilitas kesejahteraan. 95
Modul Sosial Budaya ditujukan untuk mengumpulkan keterangan tentang kegiatan anggota rumah tangga dalam pemanfaatan media massa, dan olahraga apa yang dilakukan selama satu minggu yang lalu. Modul Sosial Budaya dimaksudkan untuk memperoleh data yang utamanya dapat menunjukkan seberapa luas pemanfaatan media massa. Modul Kriminalitas utamanya ditujukan untuk mengumpulkan informasi rumah tangga yang menjadi korban tindak kejahatan. Hanya saja tindak kejahatan tergolong peristiwa yang jarang terjadi. Kejadian rumah tangga mengalami kejahatan kadang kala menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan, sehingga beberapa informasi yang dihasilkan menjadi “underestimate ”. Modul Pariwisata dianggap sebagai sumber informasi pola dan kebiasaan berwisata dari wisatawan dalam negeri. Data tersebut akan dapat memberikan gambaran tentang masalah yang dihadapi dalam industri pariwisata Indonesia yang merupakan masukan yang berharga bagi perencana di tingkat pusat dan daerah. Modul Sosial Budaya, Perjalanan Wisata dan Kesejahteraan Rakyat dikemas dalam satu paket pertanyaan yang disingkat dengan nama Modul MSBP. Semenjak krisis moneter tahun 1997, informasi yang dikumpulkan melalui Modul Kriminalitas dan Perjalanan Wisata semakin dibutuhkan, bahkan yang lebih rinci lagi, sehingga semenjak itu materi mengenai pertanyaan kriminalitas dan perjalanan wisata yang rinci tidak lagi disertakan di dalam Modul MSBP. Ibarat rangkaian kereta, Susenas adalah lokomotif yang membawa gerbong-gerbong yang bertambah panjang dan memuat berbagai material yang dapat memperlambat jalannya kereta karena muatannya terlalu padat. Akibatnya, beban yang harus dipikul petugas dan responden semakin berat yang mungkin menyebabkan kurang terjaganya kualitas data yang dihasilkan. Pemisahan Modul Kriminalitas dan perjalanan wisata dari Susenas MSBP adalah salah satu upaya agar kualitas data Modul Susenas yang dihasilkan semakin baik. Modul 3: Kesehatan, Pendidikan, dan Perumahan Modul Kesehatan mencakup karakteristik kesehatan untuk seluruh anggota rumah tangga. Materi kesehatan dimulai dengan pertanyaan apakah responden sakit, bila sakit, apakah diobati, apakah melakukan pengobatan ke unit pelayanan kesehatan, apakah mengalami rawat jalan untuk periode satu bulan yang lalu, apakah mengalami rawat inap untuk periode satu tahun yang lalu, besarnya biaya rawat jalan, 96
besarnya biaya rawat inap, dan apakah pernah mengobati diri sendiri. Bagi responden yang berusia 15 tahun ke atas, ditanyakan apa pernah menikah, jumlah saudara perempuan yang masih hidup dan yang sudah meninggal. Di antara Modul Susenas, Modul Kesehatan yang paling banyak dan paling sering mengalami perubahan materi pertanyaan. Tuntutan perubahan didasari atas kebutuhan dari Departemen Kesehatan untuk melakukan evaluasi dan pemantauan terhadap program-program kesehatan, di samping itu juga terjadi perubahan yang mendasar mengenai paradigma kesehatan yang sebelumnya hanya memantau angka kesehatan, bergeser ke arah kualitas pelayanan kesehatan. Modul Pendidikan Susenas dirancang untuk mengumpulkan data tentang keterangan pendidikan dari anggota rumah tangga yang berumur 5-39 tahun. Beberapa keterangan yang dikumpulkan dalam daftar modul pendidikan menyangkut biaya pendidikan dari mereka yang masih bersekolah pada periode pencacahan. Anggota rumah tangga di dalam Modul Pendidikan dibagi dalam tiga kelompok, yaitu mereka yang tidak/belum pernah sekolah, mereka yang masih sekolah, dan mereka yang tidak sekolah lagi. Bagi mereka yang tidak/belum pernah sekolah ditanyakan alasan dan kesertaannya dalam kegiatan kursus, sedangkan bagi mereka yang masih sekolah ditanyakan jenjang, jurusan, rata-rata lama waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke sekolah, menggunakan alat transportasi apa, selama sekolah tinggal bersama siapa, apakah mengikuti kegiatan kursus-kursus di luar jam sekolah, biaya pendidikan, dan sumber biaya pendidikannya. Modul perumahan dan lingkungan diharapkan dapat menggambarkan keadaan atau kondisi rumah tinggal dan sekaligus dapat menunjukkan tingkat kesejahteraan dan kualitas perumahan. Pertanyaan Modul Perumahan Susenas dikelompokkan atas beberapa katagori yaitu kepemilikan, lokasi dan kualitas bangunan, perlengkapan dan pemanfaatan pekarangan, dan kualitas sanitasi. III. Pengembangan Jumlah Sampel
Sampai tahun 1991 jumlah sampel Susenas bervariasi antar-tahun, yang berkisar antara 32.000 rumah tangga (1989) sampai dengan 55.000 rumah tangga (1980), tergantung ketersediaan dana. Pada tahun 1992 ukuran sampel dinaikkan menjadi 65.000 rumah tangga (baik untuk Kor maupun Modul), selanjutnya pada tahun berikutnya (tahun 1993), sampel Susenas Kor ditingkatkan lagi jumlahnya dari ± 65.000 rumah tangga menjadi ± 210.000 rumah tangga, agar bisa mengestimasi 97
sampai dengan tingkat kabupaten/kota, sementara modul tetap dengan sampel ± 65.000 rumah tangga. Sebagai catatan, sampel Modul adalah bagian dari sampel Kor, sehingga ada rumah tangga yang hanya dicacah dengan daftar Kor saja (± 145.000 rumah tangga) namun ada yang dicacah dengan daftar Kor maupun Modul (± 65.000 rumah tangga). Ukuran besarnya sampel untuk setiap kabupaten/kota ditetapkan proporsional terhadap jumlah penduduk, sehingga semakin besar jumlah penduduk, maka semakin banyak sampel yang dibutuhkan. Selama ini jumlah sampel per kabupaten/kota berkisar antara 500 -1.300 rumah tangga. Sejalan dengan perkembangan pemekaran wilayah propinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa, maka jumlah sampel Susenas juga ikut berkembang. Untuk Susenas tahun 2006 sampel Kor naik menjadi 209.552 rumah tangga sedangkan sampel Modul menjadi 68.800 rumah tangga, untuk 33 propinsi dan 440 kabupaten/kota. Pemilihan sampel dilakukan secara bertahap (biasanya 2 tahap), pada setiap tahap pemilihan dilakukan secara sistematik: tahap pertama, pemilihan wilayah pencacahan (wilcah)/blok sensus (BS), tahap kedua pemilihan rumah tangga. Pada pemilihan tahap pertama dan kedua digunakan kerangka sampel yang disebut Kerangka Contoh Induk (KCI) yang memuat seluruh wilcah/BS. Pada tahap kedua, dengan hasil pendaftaran rumah tangga sebagai kerangka, dipilih sebanyak 16 rumah tangga dari setiap blok terpilih. Wilcah/blok sensus (BS) adalah suatu unit wilayah kerja di bawah desa yang dibentuk dengan sejumlah kriteria, antara lain, jumlah rumah tangga atau bangunan dan batas yang jelas. Wilcah/BS dibentuk menjelang setiap sensus penduduk dan digunakan untuk jangka waktu 10 tahun. Setiap wilcah/BS tersedia sketsanya sebagai pedoman pencacahan. IV. Panel Modul Susenas (Kor dan Modul Konsumsi)
Sejak tahun 2002, BPS mengembangkan kegiatan pengumpulan Modul Konsumsi yang diberi nama Susenas Panel. Susenas Panel adalah survei Kor + Modul Konsumsi di rumah tangga biasa yang sampelnya menyebar di seluruh propinsi, dengan maksud untuk mendapatkan angka estimasi rumah tangga miskin di tingkat nasional pada tahuntahun ketika survei Modul Konsumsi tidak diselenggarakan. Pada tahun 2002 sampel Modul Konsumsi ± 68.000 rumah tangga, dipilih sebayak ± 10.000 rumah tangga yang menyebar di seluruh propinsi sebagai sampel panel Modul Konsumsi tahun 2002. Maksud dari penggunaan data panel tersebut adalah untuk mempercepat perolehan hasil penghitungan 98
kemiskinan, karena apabila menunggu hasil lengkap Modul Konsumsi tahun 2002, maka estimasi rumah tangga miskinnya belum akan dapat diperoleh sebelum bulan Agustus. Data Modul Konsumsi tersebut bersama dengan data Kor pasangannya diolah terlebih dahulu untuk memperoleh estimasi kemiskinan nasional dan digunakan sebagai bagian dari bahan acuan pidato Presiden setiap tanggal 17 Agustus. Pada tahun 2003, diselenggarakan lagi kegiatan pengumpulan data panel Modul Konsumsi ± 10.000 rumah tangga. Karena sifatnya panel, maka rumah tangga yang terpilih sampel tahun 2002 didatangi ulang pada tahun 2003 sebagai sampel panel. Untuk rumah tangga-rumah tangga yang sudah pindah atau karena sesuatu hal terkena bencana sehingga rumah tangga terpilih sudah tidak ada lagi di lokasi, maka diputuskan untuk tidak dijadikan responden, akibatnya jumlah sampel semakin menurun. Dari perolehan hasil pengumpulan data lapangan, terdapat penurunan sekitar 5 persen, sehingga sampel panel Modul Konsumsi tahun 2003 lebih kecil dibandingkan dengan sampel panel tahun 2002. Pada tahun 2004, kembali diselenggarakan kegiatan pengumpulan data panel Modul Konsumsi ± 10.000 rumah tangga. Ini berarti selama dua tahun berturut-turut sampel rumah tangga yang sama dicacah kembali dengan menggunakan daftar Kor dan Modul Konsumsi. Sementara itu, untuk penyelenggaraan Susenas besar Modul non-Konsumsi (pendidikan dan sosial budaya serta kesehatan dan perumahan) tetap berjalan dengan jadual waktu yang sama (bulan Februari). Dengan denikian Susenas panel seolah-olah independent kegiatannya dengan Susenas tahun 2004. Konsekuensi dari kegiatan panel Susenas dari sisi responden adalah akan didatangi terus menerus selama 3 tahun. Untuk menghindari kejenuhan, maka pada tahun keempat (tahun 2005) bersamaan dengan diselenggarakannya survei Modul Konsumsi, maka sampel dasar panel ± 10.000 rumah tangga dipilih kembali dari sampel ± 68.000 rumah tangga, sehingga sampel panel tahun 2005 adalah sampel panel yang berbeda dengan sampel panel terdahulu. Pada tahun 2005, penyelenggaraan pengumpulan data Susenas digeser dari bulan Januari-Februari ke bulan Juli-Agustus, namun waktu penyelenggaraan panel Susenas tetap pada bulan Januari-Februari meskipun Kor Susenas dan pasangan Modulnya diselenggarakan pada bulan Juli-Agustus. Perkembangan ekonomi dan kebijakan pemerintah pada akhir tahun 2005 dengan menaikkan bahan bakar minyak (BBM), sedikit banyak 99
mendongkrak peningkatan jumlah rumah tangga miskin. Pada tahun tersebut diselenggarakan juga pengumpulan data rumah tangga miskin. Untuk pemantauan rumah tangga miskin di tingkat propinsi, maka pemerintah memandang perlu untuk melakukan pengumpulan data panel Modul Konsumsi tahun 2007 dengan rumah tangga sampel panel ± 68.000 rumah tangga yang merupakan rumah tangganya sampel Modul Konsumsi tahun 2005. Agar dihasilkan data yang lebih berkualitas, maka dilakukan pencacahan dengan menggunakan kelompok petugas (tim), yang terdiri dari satu orang koordinator tim dan dua orang pencacah. Setiap tim akan mencacah di antara 3-6 kelompok segmen, di mana setiap segmen terdiri atas 16 responden terpilih. Dengan upaya tambahan ini diharapkan data konsumsi tahun 2007 dapat menghasilkan angka estimasi penduduk miskin per propinsi tahun 2007 yang lebih berkualitas. V. Survei Sosial Ekonomi Daerah (Suseda)
Beberapa kabupaten yang melihat potensi yang dihasilkan dari daftar Kor dan Modul, dan juga karena kebutuhan pemerintah daerah setempat untuk dapat menghasilkan informasi indikator sampai di level kabupaten/kota, maka pemerintah daerah meminta BPS kabupaten untuk menyelenggarakan Suseda. Penyelenggaraan Suseda di kabupaten/kota merupakan momen yang tepat untuk memenuhi kebutuhan daerah, dengan biaya yang relatif murah. Suseda dalam pelaksanaannya diintegrasikan dengan Susenas melalui tiga model yaitu: 1. Dengan menambah besaran sampel Modul menjadi sama besar dengan sampel Kor sehingga cukup untuk menghasilkan indikatorindikator yang lebih banyak di level kabupaten/kota, 2. Dengan menambah besaran sampel Kor saja, sehingga bisa memperoleh estimasi sampai level kecamatan untuk indikator yang dihasilkan Kor saja, dan 3. Dengan menambahkan beberapa pertanyaan pada lembaran yang terpisah sesuai dengan jumlah sampel Kor, sehingga diperoleh indikator indikator yang sesuai dengan kebutuhan daerah. Apabila ada kabupaten/kota yang melaksanakan Suseda, yaitu sampel Suseda disertakan sebagai bagian dari sampel nasional, maka estimasi kabupaten/kota yang menambah sampel bisa berbeda dengan hasil sampel tanpa tambahan. Jadi, untuk daerah yang menambah sampel Suseda tapi tidak disertakan dalam sampel nasional, dimungkinkan terdapat dua hasil estimasi yang berbeda. 100
VI. Pelaksanaan Pengumpulan Data Petugas pencacah sebelumnya sudah dilatih dengan menerapkan sistem pelatihan berjenjang. Tahap awal dilatih petugas Intama (instruktur utama) oleh Master Intama. Intama, yang telah mendapat materi pelatihan, memberikan pelatihan ke Innas (instruktur nasional). Innas kemudian melatih petugas pewawancara dan pengawas. Pencacahan dilaksanakan oleh petugas pewawancara pada bulan Pebruari setiap tahun, dengan menggunakan metode wawancara langsung (mendatangi rumah tangga terpilih). Setiap petugas mewawancarai paling sedikit 16 rumah tangga (satu blok sensus) dan paling banyak 48 rumah tangga (tiga blok sensus). Setiap 3–5 petugas pencacah diawasi oleh satu orang petugas pengawas. Dengan pola tersebut, setiap kali menyelenggarakan pelatihan Susenas maka akan dibutuhkan petugas Master Intama dan Intama antara 50 – 60 orang, petugas Innas antara 150 – 200 orang, dan petugas pencacah dan pengawas ± 16.000 orang. Ada dua pola petugas pencacah yang pernah diterapkan melaksanakan tugas wawancara di daerah untuk sampel Kor dan Modul, yaitu: 1. Menugaskan satu orang petugas pewawancara di satu rumah tangga untuk mewawancarai daftar Kor dan Modul menggunakan dua daftar pertanyaan sekaligus, 2. Menugaskan petugas Kor yang berbeda dengan petugas Modul di satu rumah tangga yang sama, atau satu rumah tangga ada dua petugas. Dengan pola pertama, sulit untuk menghindari terjadinya human error dan kenakalan petugas untuk merekayasa pengisian daftar. Dengan pola kedua bisa terjadi human error dari sisi perbedaan kualitas antarpetugas dan jawaban responden yang bisa berbeda karena didatangi dua kali. Kemungkinan responden memberikan jawaban berbeda jika wawancara dilakukan dalam waktu yang berbeda. Kemungkinan lain adalah jika petugas Kor mewawancarai kepala rumah tangga sedangkan petugas Modul mewawancarai istri kepala rumah tangga. Akibatnya pengisian dokumen Kor dan Modul bisa terjadi tidak konsisten. Pola yang paling ideal, adalah wawancara dilakukan oleh tim (kelompok pewawancara), sehingga dapat diminimalkan tingkat kesalahan baik dari sisi petugas maupun responden, hanya saja model yang ideal ini membutuhkan dana pencacahan yang cukup besar. Lamanya waktu wawancara untuk setiap rumah tangga tergantung dari jenis daftar, banyaknya anggota rumah tangga, dan lokasi sampel: 101
1. Rata-rata lama waktu wawancara daftar Kor antara 1-1,5 jam, 2. Rata-rata lama waktu wawancara daftar Modul Konsumsi 1.5-2.5 jam, 3. Rata-rata lama wawancara daftar Modul Kesehatan, Pendidikan, Perumahan, Sosial Budaya) masing-masing 0.5-1.5 jam. Dengan demikian, untuk rumah tangga yang terpilih sampel Kor saja dibutuhkan waktu berkisar antara 1-1,5 jam tergantung banyaknya anggota rumah tangga, sedangkan rumah tangga yang terpilih sampel Kor dan Modul Konsumsi lama wawancara berkisar antara 2-3.5 jam, dan untuk yang terpilih sampel Kor dan Modul yang lain membutuhkan waktu antara 2-2,5 jam. Akan berbeda pula waktu yang dibutuhkan untuk lokasi wawancara di daerah perkotaan dan perdesaan, biasanya wawancara di perkotaan lebih lama dibanding perdesaan karena di kota pola konsumsi bisa sangat beragam sedangkan di perdesaan pola konsumsi lebih sederhana. VII. Management Pengolahan Data Susenas
Sistem pengolahan data dilakukan dengan prinsip sentralisasi dan desentralisasi pengolahan. Pada tahun-tahun 1963-1991, sistem pengolahan data menggunakan komputer main frame dengan menggunakan bahasa program Cobol dan Fortran, sehingga pelaksanaan input data (edit, entry ) dilaksanakan seluruhnya di BPS pusat. Pengolahan data dengan komputer main frame membutuhkan waktu yang cukup lama, satu kegiatan Susenas baru diperoleh hasilnya dalam waktu satu tahun lebih, setelah dokumen dari lapangan melalui proses pengolahan, sehingga publikasi Susenas kala itu sudah tidak up-to-date karena tertinggal 1-2 tahun. Proses pengolahan input data sampai clean data memerlukan waktu yang lama karena melalui beberapa putaran ( system input data yang berulang). Biasanya untuk sampai clean data dibutuhkan proses input data sampai dengan 3-5 putaran, tergantung dari kualitas hasil pengisian lapangan dan editing petugas. Di tahun 1992, sistem pengolahan beralih ke Personal Computer (PC) dengan menggunakan software ISSA ( Integrated System for Survei Analysis) dengan sistem berbasis DOS sampai dengan tahun 1999. Dengan menggunakan sistem input data ISSA, telah terjadi percepatan pengolahan data, karena sistem ini selain berbasis pada sistem PC juga menerapkan prinsip interaktif , yaitu pada saat berlangsungnya proses input data secara langsung program sudah bisa menjaga konsistensi antar-isian dan antar-blok pertanyaan, dan range interval 102
isian kode untuk setiap pertanyaan. Dengan demikian, proses input data tidak lagi menggunakan prinsip ”putaran input data ”, karena hasil entry data dalam satu kali input data sudah menghasilkan data clean. Proses pengolahan data mulai dari dokumen hasil lapangan sampai tabulasi membutuhkan waktu 4-6 bulan, sehingga publikasi sudah dapat diselesaikan pada akhir tahun yang sama. Kemudian di tahun 2000-2004 sistem data input Susenas menggunakan CSPro yang merupakan pengembangan ISSA dengan sistem yang berbasis Windows. Akan tetapi untuk tahun-tahun Susenas dengan Modul Konsumsi (1993, 1996, 1999, dan 2002), ISSA tidak bisa diterapkan karena keterbatasan kemampuan sehingga digunakan suatu sistem dengan bahasa Cobol. Pada tahun tersebut sudah dikembangkan bahasa Cobol for PC dengan sistem yang dirancang dengan pola interaktif, sehingga waktu pengolahan data sudah semakin cepat. Sesuai dengan ketersediaan teknologi informasi (TI) yang semakin maju, maka Susenas mengembangkan sistem input datanya di tahun 2005 dengan menggunakan system PHP My SQL for PC untuk daftar Kor maupun Modul Konsumsi. Karena di BPS propinsi dan BPS kabupaten/kota masih ada keterbatasan sumber daya manusia serta fasilitas komputer belum seluruhnya memadai, maka tahun 2006 pengolahan input datanya kembali menggunakan CSPro. Dengan tersedianya PC di setiap propinsi, maka sejak tahun 1993 pelaksanaan input data untuk dokumen Kor dan Modul secara bertahap diserahkan ke BPS daerah. Awalnya, hanya dokumen Kor saja diserahkan ke propinsi untuk melaksanakan input data, walaupun ada beberapa propinsi yang belum sanggup melaksanakannya (khususnya untuk daerah Indonesia Timur). Kemudian secara bertahap di tahun 1995, seluruh propinsi sudah dapat melaksanakan entry daftar Kor saja. Pada tahun-tahun tersebut, BPS pusat melaksanakan input data Modul dan Kor pasangannya. Sejak tahun 1996 sampai dengan sekarang, secara bertahap pelaksanaan entry data Kor sudah dapat dilaksanakan di BPS kabupaten/kota, sedangkan propinsi melaksanakan entry dokumen Kor yang punya pasangan Modulnya, sementara itu BPS pusat melaksanakan entry data daftar Modul saja. Peranan BPS pusat di samping melaksanakan input data modul, juga melaksanakan kompilasi hasil entry data Kor dari seluruh kabupaten/kota kemudian menguji kualitas hasil entry tersebut dan mengecek kelengkapan hasil entry data sesuai dengan target sampel. Selanjutnya dilakukan 103
revalidasi dan uji konsistensi datanya, sehingga data yang dihasilkan sudah bersih (clean data ). Rencana sistem pengolahan data di tahun mendatang, baik Kor maupun Modul, diharapkan bisa ditangani seluruhnya di propinsi dan kabupaten/kota, sehingga peranan BPS pusat lebih fokus hanya menyiapkan sistem input data, kompilasi, validasi dan tabulasi. Untuk dapat meningkatkan pemanfaatan data Susenas di tingkat kabupaten/kota, maka secara bertahap sejak tahun 1995 telah dilaksanakan pelatihan untuk peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) dengan mengadakan pelatihan-pelatihan teknis pengolahan dan analisa data Susenas dengan menggunakan software SPSS. Upaya dilakukan bertahap, dari jenjang propinsi kemudian ke kabupaten/kota. Peserta pelatihan tidak saja dari unsur statistik akan tetapi juga dari instansi lain yang terkait dengan data Susenas seperti Depkes, Diknas dan BKKBN. Penerapan pola entry data dengan dibantu oleh BPS propinsi dan BPS kabupaten/kota dimaksudkan untuk: 1. Menghasilkan hasil data entry dengan waktu yang lebih cepat, 2. Memudahkan petugas pengolahan untuk meminta memperbaiki isian ke petugas lapangan apabila dijumpai daftarnya belum terisi lengkap, proses update dan kontrol kualitas pengisian daftar lebih dekat, 3. Meningkatkan rasa memiliki sehingga kabupaten/kota mempunyai kemampuan untuk mengolah data sendiri, dan 4. Memanfaatkan data hasil entry untuk bahan kebutuhan analisa menjadi lebih maksimal. VIII. Tahapan Proses Pengolahan Data Modul Konsumsi
Dalam proses pengolahan data dilalui beberapa tahapan sebelum data dinyatakan clean dan siap untuk ditabulasikan. Pertama, dokumen Kor maupun Modul melalui dua tahapan: recieving dan batching, maksudnya melakukan kontrol kehadiran dokumen sesuai dengan target sampel yang telah ditetapkan. Aktivitas ini tidak menggunakan komputer. Tahap berikutnya adalah edit dokumen. Proses editing Kor lebih mudah dilakukan, karena hanya melihat kelengkapan isian antar-blok dan konsistensi isian antar-pertanyaan. Proses yang sama juga dilakukan untuk dokumen Modul, hanya saja untuk dokumen Modul 104
Konsumsi tahapan editing lebih berat karena selain mengecek pengisian setiap pertanyaan editor juga melakukan proses penjumlahan dan kewajaran isi nilai semua jenis komoditi yang dikonsumsi rumah tangga. Dalam contoh Tabel 1, semua jenis komoditi yang ditanyakan di Susenas mempunyai format nilai maksimum dan minimum. Apabila satu rumah tangga mengkonsumsi 3 kg beras lokal dalam satu minggu untuk 4 anggota rumah tangga, maka nilai rupiah yang terisi adalah minimum Rp 3.000,- dan maksimum Rp 22.500,-. Harga beras Rp 1.000,- dimungkinkan bagi rumah tangga yang memperoleh beras raskin (rumah tanggga miskin). Di bawah ini contoh tabel nilai maksimum dan minimum dari beberapa jenis bahan makanan. Tabel 1. Nilai Maksimum dan Minimum untuk Seluruh Jenis Padi-padian Komoditi Bahan Makanan No.
Jenis Komoditi
Satuan
Minimum (Rp)
Maksimum (Rp)
PADI-PADIAN [R.2-R.5] 1
Beras (beras lokal, kualitas unggul, impor)
Kg
1000
7500
2
Beras ketan
Kg
1000
7500
3
Jagung basah dengan kulit
Kg
500
6000
4
Jagung pipilan/beras jagung
Kg
1000
7000
5
Tepung beras
Kg
2000
8000
6
Tepung jagung (maizena)
Kg
1500
10000
7
Tepung Terigu
Kg
3000
7000
8
Lainnya
Kg
1000
7000
Sumber: BPS, Buku pedoman pengolahan entry data Susenas tahun 2002
Dalam pembuatan program data entry Modul Konsumsi, daftar tabel A yang lengkap untuk seluruh jenis komoditi juga dimasukkan dalam sistem program, sehingga di dalam proses input data apabila masih terdapat kekeliruan di dalam proses editing maka program komputer akan memeriksa konsistensi isian kuesioner sesuai dengan batasan yang telah ditetapkan. 105
Hal lain yang juga diperhatikan di dalam proses editing adalah kewajaran di dalam besaran volume yang dikonsumsi. Misalnya satu rumah tangga dengan jumlah anggota rumah tangga 4 orang, tercatat bahwa mengkonsumsi beras lokal selama satu minggu sebanyak 50 kg. Jelas terjadi kesalahan di dalam pengisian. Mungkin yang terjadi adalah rumah tangga tersebut dalam pola pembelanjaan beras, setiap bulannya membeli 50 kg, sedangkan yang benar-benar dikonsumsi selama satu minggu tidak sedemikian banyaknya. Ada tabel kontrol lainnya yang memuat maksimum nilai kewajaran untuk semua jenis bahan makanan BPS (2002). Petugas editorlah yang meneliti besaran nilai rupiah dan volume dari setiap jenis komoditi yang ditanyakan. Tahapan selanjutnya adalah entry data. Apabila proses input data sudah dilalui dan data dinyatakan clean , maka dapat dilaksanakan proses tabulasi, namun sebelumnya masih ada proses yang harus dilaksanakan, di antaranya membuat kalkulasi nilai rata-rata yang dikonsumsi untuk seluruh jenis komoditi per kapita, dan konversi kuantitas konsumsi menjadi gizi. Untuk mendapatkan nilai rata-rata yang dikonsumsi, menggunakan formula berikut: Rata-rata nilai per Kapita konsumsi (beras)
Nilai Konsumsi Beras seluruh RT = ------------------------------------------Jumlah Penduduk Seluruhnya
Adakalanya jenis komoditi tertentu dikonsumsi oleh beberapa rumah tangga saja, sementara rumah tangga lainnya tidak mengkonsumsi. Meskipun demikian di dalam formula di atas pembaginya bukan jumlah anggota rumah tangga yang mengkonsumsi jenis komoditi itu saja, akan tetapi jumlah seluruh anggota rumah tangga dari seluruh sampel Susenas. Hal yang sama berlaku untuk seluruh jenis komoditi yang ditanyakan, sehingga apabila jenis komoditi tertentu tersebut jarang dikonsumsi oleh rumah tangga secara umum akan menghasilkan nilai yang sangat kecil. Berikutnya adalah membuat tidak kalah pentingnya adalah menciptakan variabel bentukan dari hasil perkalian variabel kuantiti (volume yang dikonsumsi) dengan tabel yang berisi pengali untuk konversi ke kalori, protein, lemak, dan karbohidrat. Tabel 2 berisi contoh konversi jenis komoditi bahan makanan yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan RI hasil kajian Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi Bogor (Puslitbang Gizi Bogor). 106
Tabel 2.
Tabel Konversi Komoditi Bahan Makanan ke dalam Kalori, Protein, Lemak, dan Karbohidrat
7
Jenis Bahan Makanan Padi-padian Beras Beras ketan Jagung basah dengan kulit Jagung pocelan/pipilan Tepung beras Tepung jagung (maizena) Tepung terigu
8
Lainnya
Kg
3520
73
9
762
II 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Umbi-umbian Ketela pohon Ketela rambat Sagu Tales/Keladi Kentang Gaplek Tepung gaplek (tiwul) Tepung ketela pohon Lainnya
Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg
1309 1252.2 3380 1135.4 520.8 3380 3630 3620 1794.5
8.5 11.78 6 15.5 17.64 15 11 5 13
2.55 3.26 3 3.78 1.68 7 5 3 1.75
312.8 293.68 831 257.31 113.4 813 882 869 432.27
No. I 1 2 3
4 5 6
Satuan
Kalori
Protein
Lemak
Karbohidrat
Kg Kg
3622 3605
84.75 77
14.5 15.5
775.5 764.5
Kg Kg
361.2 3200
11.48 82.8
3.64 39
84.84 663.3
Kg
3640
70
5
800
Kg Kg
3550 3330
92 90
39 10
737 772
Sumber: BPS, Buku pedoman pengolahan entry data Susenas tahun 2002
Dengan diperolehnya peubah-peubah bentukan hasil kalkulasi, maka tahapan selanjutnya adalah menghasilkan tabel-tabel. IX. Kekuatan dan Kelemahan Data Susenas A. Kekuatan Sebagai satu-satunya survei bidang kesra yang dilaksanakan setiap tahun, mencakup berbagai aspek sosial, ekonomi, dan budaya penduduk (komprehensif), maka Susenas menjadi satu sumber data yang sangat kaya untuk bahan analisis lintas-sektor. Kecuali sensus, maka Susenas adalah survei dengan sampel besar sehingga untuk sejumlah variabel hasilnya cukup representatif disajikan pada level kabupaten/kota. 107
Data Susenas digunakan sebagai bahan utama untuk penghitungan penduduk miskin, untuk penghitungan berbagai indikator makro, seperti IPM, bahan perencanaan dan evaluasi program sektoral, bahan pidato presiden pada 17 Agustus dan banyak lagi. Sejak tahun 2002, digunakan untuk analisis gender, dan penghitungan indikator MDGs di tingkat kabupaten/kota. Dengan memadukan data Kor dan Modul, maka cakupan informasi yang dihasilkan semakin banyak, sehingga Susenas berpotensi untuk dapat menghasilkan analisis yang luas. Sejak tahun 1993 metodologi, ukuran sampel, dan cakupan materi Susenas (khususnya Kor) sudah relatif stabil sehingga hasilnya dapat dibandingkan untuk melihat perkembangan antar-tahun. Susenas diibaratkan sebagai suatu “lokomotif” yang menarik gerbong-gerbong yang bermacam-macam isinya untuk penyediaan data di bidang kesra, sangat diminati karena kontinuitas dan cakupannya yang luas. B. Kelemahan
Untuk estimasi tingkat kabupaten/kota tingkat kesalahan karena faktor sampling (sampling error ) cukup besar, khususnya untuk karakteristik yang frekuensi kejadiannya relatif jarang. Kesalahan karena faktor sampling dapat dihitung. Fluktuasi hasil dapat dikurangi dengan membuat angka rata-rata untuk beberapa tahun. Sebagai lokomotif penyedia data, beban Susenas terkadang terlalu berat, baik bagi pencacah maupun responden, sehingga tingkat kecermatan hasilnya dapat berkurang (tingkat kesalahan karena faktor non-sampling menjadi besar), salah satunya kejenuhan dan terlalu lamanya waktu yang dibutuhkan untuk wawancara. Kesalahan karena faktor non-sampling sulit diukur. Karena merupakan survei dengan sampel besar dan cakupan wilayah yang luas, hasil Susenas membutuhkan waktu pengolahan data yang cukup lama, paling cepat diperoleh 5-6 bulan setelah pencacahan. Karena pencacahan dokumen Kor dan Modul dilakukan petugas yang berbeda maka isian keduanya bisa tidak konsisten. Hasil entry Kor dan Modulnya untuk rumah tangga yang sama bisa berbeda. 108
X. Pemanfaatan Data Susenas
Hasil Susenas sudah biasa dimanfaatkan untuk penghitungan berbagai indikator/statistik, antara lain: 1. Indikator Kesejahteraan Rakyat, 2. Indikator Gender, 3. Indikator Kelangsungan Hidup, Perkembangan, dan Perlindungan Ibu dan Anak, 4. Indeks Pembangunan Manusia (IPM), 5. Tingkat Kemiskinan, 6. Tingkat kecukupan gizi dan status gizi balita, 7. Distribusi pendapatan/Indeks Gini, dan 8. Indikator Melenium Development Goal (MDGs). XI. Indikator MDGs Dalam Modul Konsumsi Susenas
Indikator-indikator untuk evaluasi MDGs yang disusun dari data Modul Konsumsi Susenas antara lain: Indikator 1-7 yang mempunyai tujuan menanggulangi kemiskinan dan kelaparan. 1. Proporsi penduduk yang hidup di bawah US $1 per hari untuk tingkat nasional dan propinsi, 2. Kontribusi kuantil pertama penduduk yang berpendapatan terendah terhadap konsumsi nasional dan propinsi, 3. Proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan propinsi dan nasional, 4. Kesenjangan kemiskinan untuk tingkat propinsi dan nasional, 5. Proporsi penduduk yang berada di bawah garis konsumsi minimum (2100 kkal/kapita/hari) untuk tingkat propinsi dan nasional, 6. Proporsi penduduk yang mengkonsumsi di bawah 55 gram protein untuk tingkat propinsi dan nasional, dan 7. Proporsi pengeluaran makanan terhadap total pengeluaran untuk tingkat propinsi dan nasional. 109
Metodologi Penghitungan 1. Proporsi Penduduk Hidup Dengan Pendapatan di Bawah US $1 Per Hari Definisi:
Batasan US $ 1 per hari adalah garis kemiskinan absolut standar yang ditetapkan oleh Bank Dunia, kemudian menjadi kesepakatan internasional untuk diadopsi guna memudahkan perbandingan jumlah dan persentase penduduk miskin secara global. Garis kemiskinan ini tergantung dari nilai tukar dolar Amerika terhadap mata uang lokal. Meskipun secara global ditetapkan batas US $ 1 namun setiap negara dapat menentukan garis kemiskinan menurut kriteria masingmasing, mengingat setiap negara mempunyai komoditas pangan (Lampiran 1 dan 2) yang menjadi ukurannya, serta adanya perbedaan harga pada setiap komuditi. Penetapan US $ 1 per hari akan menjadikan garis kemiskinan di suatu negara tidak berubah dari tahun ke tahun, sehingga angka kemiskinan sekarang mungkin dapat terbanding dengan angka kemiskinan satu dekade yang lalu, dengan catatan bahwa definisi kemiskinan tidak berubah. Pengukuran garis kemiskinan absolut sangat penting jika orang mencoba menilai efek dari kebijakan anti kemiskinan antar-waktu, atau memperkirakan dampak dari suatu proyek (misalnya pemberian kredit skala kecil) terhadap kemiskinan. Perbandingan yang sah (legitimate ) angka kemiskinan satu negara dengan negara lain hanya dapat dibuat jika garis kemiskinan absolut yang sama digunakan di kedua negara tersebut.
Rumus: Jumlah penduduk yang hidup di bawah US $1 per hari Jumlah penduduk seluruhnya
110
2. Kontribusi Kuantil Pertama Penduduk Berpendapatan Terendah Terhadap Jumlah Pendapatan Propinsi atau Nasional
Definisi: Pengukuran golongan penduduk termiskin kuantil pertama (20 % termiskin dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pengeluaran) merupakan penduduk yang relatif miskin. Bila didefinisikan dengan cara ini, maka tak dapat disangkal lagi bahwa “orang miskin selalu hadir bersama kita”. Ukuran atau definisi tersebut sering membantu kita untuk menentukan sasaran program yang ditujukan untuk membantu penduduk miskin. Kegunaan: Indikator ini digunakan untuk menunjukkan ketimpangan pendapatan di suatu propinsi atau negara. Rumus: Jumlah pendapatan penduduk di kuantil pertama di propinsi Jumlah pendapatan penduduk di propinsi tersebut 3. Proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan
Definisi: Perbandingan antara jumlah pendapatan penduduk di bawah garis kemiskinan propinsi tertentu atau nasional dengan jumlah seluruh penduduk di propinsi tersebut atau nasional (metode penghitungan garis kemsikinan dituliskan dalam bagian yang sama). Kegunaan: Indikator ini digunakan untuk menunjukkan jumlah penduduk miskin di tingkat propinsi dan nasional. Rumus: Jumlah pendapatan penduduk di bawah garis kemiskinan propinsi atau nasional Jumlah penduduk di propinsi atau nasional Mengikuti kebiasaan umum, penduduk miskin didefinisikan sebagai mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi dasar, termasuk komponen makanan dan bukan makanan. Untuk menghitung jumlah penduduk miskin digunakan metode head count index. Menurut metode ini, penduduk miskin adalah yang berada di bawah garis nilai tertentu, yaitu yang disebut sebagai garis kemiskinan, sehingga agar dapat dioperasikan perlu dilakukan terlebih dahulu penghitungan dan penetapan garis kemiskinan. 111
Dari hasil widyakarya pangan dan gizi tahun 1978, orang dikatakan hidup dengan standar hidup layak dari sisi energi apabila memenuhi kebutuhan enerji minimal 2100 kilo kalori per hari. Kebutuhan tersebut dapat terpenuhi dengan mengkonsumsi berbagai jenis bahan makanan seperti beras, ubi-ubian, ikan, daging, dan sebagainya. Agar orang dapat hidup layak, pemenuhan akan kebutuhan makanan saja tidak akan cukup, oleh karena itu perlu pula dipenuhi kebutuhan dasar bukan makanan, seperti perumahan, pendidikan, kesehatan, pakaian, serta aneka barang dan jasa lainnya. Batas miskin untuk makanan ditambah pengeluaran minimum untuk pemenuhan kebutuhan bukan makanan itulah yang disebut dengan Garis Kemiskinan. Jadi garis kemiskinan diperoleh dengan menentukan sekelompok pengeluaran ( consumption bundle ) yang diperkirakan cukup untuk kebutuhan konsumsi dasar. Dengan kata lain, garis kemiskinan diartikan sebagai nilai rupiah yang harus dikeluarkan dalam memenuhi kebutuhan makanan dan bukan makanan minimum individu. Dalam penghitungan, garis kemiskinan kebutuhan hidup minimum senilai 2100 kilokalori per kapita per hari didasarkan pada pola konsumsi makanan dari hasil pengumpulan data Susenas pada kelompok penduduk kelas marjinal (di antara decile 20), yaitu penduduk yang hidup sedikit di atas estimasi awal garis kemiskinan yang diperoleh dari garis kemiskinan tahun sebelumnya yang sudah disesuaikan dengan tingkat inflasi. Penduduk pada kelas marjinal inilah yang disebut sebagai penduduk referensi ( reference population). Konsep tersebut diterapkan pada data hasil Modul Konsumsi Susenas (sampel ± 65.000 rumah tangga) dan modul panel (± 10.000 rumah tangga), untuk mendapatkan nilai garis kemiskinan tingkat makro, yaitu batas yang digunakan untuk mendapatkan jumlah penduduk miskin pada tingkat propinsi (data modul) dan nasional (data panel). Langkah-langkah mengukur garis kemiskinan dengan standar yang terbanding dengan menggunakan data Modul Konsumsi atau panel Modul adalah sebagai berikut: a. Menentukan kelompok penduduk referensi, yaitu sedikit di atas estimasi garis kemiskinan tahun penghitungan sebelumnya, yaitu garis kemiskinan tahun sebelumnya digerakkan dengan tingkat inflasi selama periode antar-waktu pengukuran (waktu survei). 112
b. Dengan menggunakan data Reference Population , dipilih 52 komoditi dasar makanan untuk tingkat nasional. Lalu dihitung distribusi penduduk menurut pengeluaran riil. Rata-rata harga dihitung secara tertimbang, dengan penimbang proporsi pengeluaran untuk masingmasing komoditas yang tercakup dalam paket nasional terhadap total pengeluaran ke-52 komoditi untuk setiap propinsinya. Masingmasing harga komoditas dipisahkan untuk data perkotaan dan perdesaan dengan rumus: Pij = ∑ Pijk αik di mana: Pij = rata-rata harga di daerah i dan di propinsi j Pijk = rata-rata harga di daerah i, propinsi j, dan komoditi k αik = proporsi pengeluaran komoditi k (bundel 52 komoditi), di daerah i, yaitu: Vik/Vi di mana: Vik = pengeluaran untuk komoditi k, Vi = total pengeluaran bundel 52 komoditi. c.
Menghitung nilai riil pengeluaran di setiap rumah tangga. Sebelumnya harus dilakukan terlebih dahulu standarisasi menggunakan data harga komoditi yang sama di propinsi DKI dengan formulasi: Pis = Pij /Pdki Jakarta, Pis = deflator harga (harga Pij yang distandarisasi) Formula penghitungan nilai riil: RE = E/Pis RE = Pengeluaran riil (dihitung untuk setiap rumah tangga) E = Pengeluaran nominal.
d. Identifikasi komoditi di setiap propinsi yang didasarkan pada pola konsumsi penduduk reference di masing-masing propinsi. Dari komoditi terpilih tersebut akan diperoleh garis kemiskinan makanan dan non-makanan untuk setiap propinsi. GKMj = ∑ Pjk Q jk = ∑ Vjk GKMj = garis kemiskinan daerah sebelum disetarakan dengan 2100 kkalori : j = perkotaan/perdesaan Pjk = harga komoditi k di daerah j Q jk = rata-rata kuantitas komoditi k yang dikonsumsi di daerah j Vjk = nilai pengeluaran untuk konsumsi komoditi k di daerah j. 113
e.
Selanjutnya GKM tersebut disetarakan dengan 2100 kilo kalori dengan mengalikannya dengan harga implisit kalori dari penduduk reference tersebut, ____ HK j =
∑ V jk
-----------∑ K jk
di mana
____ HK j = harga rata-rata kalori di daerah j K jk = kalori dari komoditi k di daerah j ____ F j = HK j x 2100 di mana Fj
= kebutuhan minimum makanan di daerah j, yaitu yang menghasilkan energi 2100 kilokalori/ kapita/ hari.
Dari hasil penentuan GKM (garis kemiskinan makanan), selanjutnya dihitungkan pula garis kemiskinan non-makanan (GKNM), dengan menggunakan formulasi berikut: GKNM = ∑ ri Vi di mana: ri = rasio pengeluaran barang non-makanan terhadap sub-kelompok pengeluaran menurut daerah pada penduduk referensi, rasio r dihitung dari Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD) tahun 2004. SPKKD memberikan informasi mengenai jenis-jenis barang dan jasa yang dikonsumsi secara sangat rinci, sehingga terdapat informasi proporsi dari pengeluaran masing-masing komoditi yang dikatagorikan sebagai kebutuhan pokok. Vi = nilai pengeluaran komoditi non-makanan menurut daerah. i = jenis barang non-makanan terpilih di masing-masing daerah. Jumlah GKM dan GKNM adalah garis kemiskinan. Dengan menggunakan garis tersebut, maka dapat dihitung jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan di setiap propinsi. 114
4. Kesenjangan kemiskinan untuk tingkat Propinsi atau Nasional
Definisi: Ukuran kemiskinan yang cukup populer adalah indeks kesenjangan kemiskinan (poverty gap index), yang menghitung seberapa jauh individu jatuh di bawah garis kemiskinan (jika mereka termasuk kategori miskin), dan menyatakan indeks tersebut sebagai suatu persentase terhadap garis kemiskinan. Secara lebih spesifik, mendefinisikan jurang kemiskinan (poverty gap) sebagai garis kemiskinan dikurangi pendapatan/ pengeluaran aktual (yi) untuk individu/penduduk miskin; jurang (gap ) bernilai 0 untuk mereka yang tidak miskin. Kegunaan: Indikator ini digunakan untuk menunjukkan kesenjangan dan kedalaman tingkat miskin di tingkat propinsi dan nasional. Rumus:
sehingga poverty gap index(P1) dapat ditulis sebagai
P = 1
1
N
∑
G
n
N i =1 z
Dengan menggunakan fungsi indeks, kita mempunyai Gn = (z – yi). I(yi < z).
Ukuran ini merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran/ pendapatan masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan (penduduk yang tidak miskin mempunyai gap bernilai 0). Ada orang berpendapat bahwa ukuran ini dapat dianggap sebagai biaya untuk mengentaskan kemiskinan (relatif terhadap garis kemiskinan), karena ukuran tersebut menunjukkan berapa banyak uang yang harus ditransfer kepada penduduk miskin untuk mengangkat pengeluaran/pendapatan mereka melebihi garis kemiskinan (dalam arti mengentaskan mereka dari kemiskinan). Biaya minimum untuk pengentasan kemiskinan dengan menggunakan transfer kepada target sasaran secara sederhana merupakan jumlah dari besarnya jurang kemiskinan (poverty gap ) dalam suatu penduduk; setiap gap yang terjadi pada setiap individu memerlukan sejumlah transfer untuk mencapai garis kemiskinan. 115
Meskipun demikian interpretasi ini hanya masuk akal jika transfer dapat dilakukan secara sempurna dan efisien, misalnya dengan transfer sejumlah uang tertentu (lump sum transfer ). Kondisi ini dapat berjalan apabila pajak yang tinggi ditarik dari kelompok atas dan hasilnya ditransfer secara sempurna pada kelompok rumah tangga miskin. 5.
Proporsi penduduk di bawah garis konsumsi minimum (2100 kkal/kapita/hari) untuk tingkat propinsi dan nasional
Definisi: Proporsi dari jumlah penduduk yang berada di bawah garis konsumsi minimum 2100 kkal/kapita/hari untuk tingkat propinsi atau nasional terhadap jumlah penduduk seluruhnya di propinsi atau nasional. Kegunaan: Mengetahui besaran jumlah penduduk yang berada di bawah standar hidup sehat atau minimum kecukupan nilai kalori yang dikonsumsi per kapita per hari. Rumus: Jumlah penduduk dengan konsumsi di bawah 2.100 kkal/kapita/hari di propinsi atau nasional Jumlah penduduk di propinsi atau nasional 6.
Proporsi penduduk yang di bawah garis konsumsi 55 gram protein untuk tingkat propinsi dan nasional
Definisi: Proporsi dari jumlah penduduk yang berada di bawah kecukupan konsumsi 55 gram protein untuk tingkat propinsi atau nasional terhadap jumlah penduduk seluruhnya di propinsi atau nasional. Kegunaan: Mengetahui besaran jumlah penduduk yang berada di bawah standar hidup sehat atau minimum kecukupan nilai protein yang dikonsumsi per kapita per hari. Rumus: Jumlah penduduk dengan konsumsi di bawah 55 gram protein di propinsi atau nasional Jumlah penduduk di propinsi atau nasional 116
7. Proporsi pengeluaran makanan terhadap total pengeluaran untuk tingkat propinsi dan nasional
Definisi: Semakin besar nilai proporsi pengeluaran makanan terhadap total pengeluaran maka semakin miskin propinsi atau negara tersebut. Semakin besar proporsi kebutuhan untuk makan rumah tangga terhadap total artinya daya beli rumah tangga untuk kebutuhan lainnya lemah, sehingga fasilitas pendidikan, perumahan, kesehatan, dan rekreasi tidak dapat dibeli karena sebagian besar pendapatannya habis hanya untuk kebutuhan makan saja. Kegunaan: Mengetahui besaran jumlah penduduk yang berada di bawah standar hidup minimum. Rumus:
Jumlah konsumsi makanan -----------------------------------Jumlah konsumsi total
X
100 %
Beberapa peneliti menetapkan nilai proporsi bila melebihi nilai 80 persen besar kemungkinan masuk dalam katagori rumah tangga di bawah garis kemiskinan Sejarah Penghitungan Kemiskinan
Pengukuran tingkat kemiskinan di Indonesia pertama kali dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 1984 mencakup periode kemiskinan tahun 1976-1981. Untuk selanjutnya, secara berkala 3 tahun sekali dilakukan penghitungan yang sama dengan menggunakan data Modul Konsumsi sesuai dengan tahun penyelenggaraan Susenas. Sejak tahun 1993, penghitungan penduduk miskin telah menggunakan pendekatan kebutuhan minimum makanan berdasarkan standar kecukupan energi 2100 kilo kalori. Model yang sama dilanjutkan kembali pada penghitungan penduduk miskin tahun 1996. Penghitungan tingkat kemiskinan pada tahun 1993 dan 1996 keduanya belum memfasilitasi adanya perubahan pada pola konsumsi dan cakupan komoditi yang diperhitungkan dalam kebutuhan dasar, sehingga hasilnya kurang dinamis dan tidak meperhatikan nilai standar untuk perbandingan antar-propinsi dengan benar. Pada tahun 1998, metode penghitungan diperbaharui dengan menggunakan standar yang telah dimodifikasi (standar baru), yang lebih dinamis, yaitu memperhitungkan perubahan pola konsumsi penduduk dan memperluas cakupan komoditinya agar hasilnya lebih realistis. Metode juga disempurnakan agar keterbandingan antar-daerah dapat 117
terjaga. Penyempurnaan ini dilakukan dengan memperhitungkan perbedaan tingkat harga antar-daerah, melakukan standarisasi tingkat harga di setiap propinsi, yaitu tingkat harga di DKI Jakarta. Pola konsumsi reference population masing-masing daerah bisa berbedabeda, meskipun demikian, standar yang digunakan tetap didasarkan pada pola konsumsi penduduk yang sama pengeluaran riilnya, sehingga penilaian cukup terbandingkan (lihat pada Tabel Lampiran 1 dan tabel Lampiran 2 tahun 2005). Hasil ini juga dapat diartikan bahwa kebutuhan minimum di DKI Jakarta lebih tinggi jika dibandingkan dengan Nusa Tenggara Barat (NTB). Karena selera, adat istiadat, kebiasaan dan ketersediaan barang dan jasa yang berbeda antara kedua daerah, pola konsumsi penduduk Jakarta berbeda dengan penduduk NTB. Penduduk DKI Jakarta berbeda dengan penduduk NTB dalam hal 20 persen berpendapatan terendah, akan tetapi standar kelompok pengeluaran untuk reference population di setiap propinsi terjaga, dengan demikian, prinsip ini telah memfasilitasi keterbandingan antar-daerah dan antar-waktu. Tabel 3. Garis Kemiskinan Makanan, Garis Kemiskinan Non Makanan, dan Garis Kemiskinan menurut Daerah Perkotaan dan Perdesaan Perkotaan Tahun (1)
Pedesaan
NonGaris Makanan makanan kemiskinan
Makanan (2)
(3)
(4)
(5)
Garis kemiskinan
Nonmakanan (6)
(7)
1976**)
-
-
4.522
-
-
2.849
1978**)
-
-
4.969
-
-
2.981
1980**)
-
-
6.831
-
-
4.449
1981**)
-
-
9.777
-
-
5.877
1984**)
-
-
13.731
-
-
7.746
1987**)
-
-
17.381
-
-
10.294
1990**)
17.520
3.094
20.614
12.617
678
13.295
1993**)
23.330
4.602
27.905
15.576
2.668
18.244
1996**)
29.681
8.565
38.246
23.197
4.216
27.413
1999*)
70.959
21.450
92.409
59.822
14.450
74.272
2002*)
93.351
37.148
130.499
73.030
23.482
96.512
2005*)
103.992
46.807
150.799
84.014
33.245
117.259
Sumber: Data BPS Keterangan: *) Analisa dan penghitungan tingkat kemiskinan tahun 2005 **) Aryago Mulia 2005, Analisis Penetapan Penduduk Miskin, Tesis diajukan untuk memperoleh gelar Master di IPB, Bogor. 118
Pertumbuhan garis kemiskinan menurut komponennya pada periode tahun 1976-2005 dapat di lihat pada Tabel 3. Tampak di sana bahwa garis kemiskinan periode tahun 1976-1987 hanya menghasilkan garis kemiskinan perkotaan dan perdesaan tanpa dirinci menurut kelompok makanan dan bukan makanan. Sejak tahun 1990 sudah dapat dihasilkan pendataan yang lebih rinci dari kelompok makanan dan bukan makanan menurut daerah perkotaan dan pedesaan. Pertumbuhan penduduk miskin dibedakan antara perkotaan dan perdesaan, hasilnya menunjukkan fluktuasi yang tidak tentu polanya. Dari tahun 1976 ke tahun 1978 tingkat kemiskinan di perkotaan lebih tinggi pertumbuhannya dibandingkan daerah pedesaan, masing-masing 9.89 persen dan 4.63 persen, sedangkan dari tahun 1978 ke tahun 1980 justru pertumbuhan kemiskinan perdesaan lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan, masing-masing 37.47 persen dan 49,25 persen. Setelah tahun 1984 sampai dengan tahun 1996 pertumbuhan kemiskinan daerah perkotaan semakin tinggi dibandingkan dengan daerah perdesaan dan kecenderungannya sampai dengan tahun 2005 pola kemiskinan perdesaan pertumbuhannya lebih besar dibandingkan dengan daerah perkotaan. Tabel 4. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia menurut Daerah, Tahun 1996-2005 Ta-hun (1)
Jumlah Penduduk Miskin (dalam Juta) Kota+ Kota Desa Desa (2) (3) (4)
% Penduduk Miskin Kota
Desa
(6)
(7)
Kota+ Desa (8)
1996
9,42
24,59
34.01
13.39
19.78
17.47
1998 1999 Agustus 1999 2000 2001 2002 2003 2004
17,6 15,64 12,4 12,3 8,6 13,3 12,2 11,4
31,9 32,33 25,1 26,4 29,3 25.1 25,1 24,8
49.5 47.97 37.5 38.7 37.9 38.4 37.3 36.1
21.92 19.41 15.09 14.60 9.76 14.46 13.57 12.13
25.72 26.03 20.22 22.38 24.84 21.10 20.23 20.11
24.23 23.43 18.17 19.14 18.41 18.20 17.42 16.66
2005
12,4
22,7
35.1
11.37
19.51
15.97
Sumber data:
Analisa dan penghitungan tingkat kemiskinan, tahun 2005 119
Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa secara absolut jumlah penduduk miskin di Indonesia berkisar antara 34-49 juta dan secara proporsi antara 15-24 persen. Dari tahun 1998 tren persentase penduduk miskin semakin lama semakin menurun, sejalan dengan kondisi pemulihan setelah krisis moneter yang berkepanjangan sejak tahun 1997. Persentase penurunan penduduk miskin di daerah perkotaan lebih cepat jika dibandingkan dengan daerah perdesaan. Dari tahun 1998 ke tahun 2005 di daerah perkotaan, persentase penduduk miskin turun dari 21,92 persen menjadi 11,37 persen, sebaliknya di daerah perdesaan dari 25,72 persen baru turun sampai dengan 19,51 persen. XII. Indikator MDGs Dalam Modul Sosial Budaya dan Pendidikan Susenas
Indikator-indikator MDGs dan alternatif indikator MDGs yang bersumberkan data Modul Sosial-budaya dan Pendidikan Susenas, antara lain: 1. Persentase anak yatim piatu, 2. Persentase disabilitas/kecacatan (penglihatan, pendengaran, bicara, penggunaan alat gerak, kelainan bentuk tubuh, lumpuh layuh, penyakit kronis, keterbelakangan mental, dan penyakit jiwa), 3. Persentase orang tua (lansia) terlantar, balita terlantar, dan anak terlantar, 4. Persentase penerima BOS (Bantuan Operasional Sekolah), dan 5. Persentase penerima beasiswa. Metodologi Penghitungan Indikator
1. Persentase Anak Yatim Piatu Definisi: Persentase penduduk berusia 0 – 21 tahun dan statusnya belum menikah yang sudah tidak mempunyai bapak dan ibu kandung. Kegunaan: Indikator ini digunakan untuk menunjukkan persentase anak (kelompok usia bisa disesuaikan antara usia cakupan survei 0-21 th), dengan status anak yatim dan piatu. Rumus: Contoh untuk anak usia 0-4 tahun Jumlah anak usia 0-4 yang bapak dan ibunya sudah meninggal Jumlah penduduk usia 0-4 tahun 120
2. Persentase penduduk yang mengalami disabilitas/kecacatan (penglihatan, pendengaran, bicara, penggunaan alat gerak, kelainan bentuk tubuh, lumpuh layuh, penyakit kronis, keterbelakang mental, dan penyakit jiwa). Definisi: Persentase penduduk yang mengalami keterbatasan karena kecacatan atau keterbatasan yang disebabkan karena kondisi waktu lahir atau akibat sakit atau kecelakaan. Kegunaan: Indikator ini digunakan untuk menunjukkan persentase penduduk yang mengalami kecacatan penglihatan, pendengaran, bicara, penggunaan alat gerak, kelainan bentuk tubuh Jumlah penduduk yang mengalami kecacatan Jumlah penduduk seluruhnya 3. Persentase Orang Tua Terlantar. Definisi: Ketelantaran seseorang ditentukan dari variabel-variabel frekuensi makan makanan pokok dalam satu hari, frekuensi makan lauk-pauk berprotein tinggi, jumlah (stel) pakaian yang dimiliki, apakah mempunyai tempat tetap untuk tidur, apakah yatim atau piatu (untuk balita), frekuensi ditinggalkan orang tua (khususnya pengasuhan balita oleh orang tua), dan beberapa variabel yang diperoleh dari data Kor seperti apakah disusui, apakah pernah sekolah, apakah berobat bila sakit. Semakin banyak variabel-variabel tersebut memenuhi sarat keterlantaran maka, semakin tinggi tingkat keterlantarannya. Lansia adalah kelompok usia 65 ke atas. Anak adalah kelompok usia 5-18 tahun dan belum menikah. Balita adalah anak kelompok usia 0-4 tahun. Kegunaan: Indikator ini berguna untuk menunjukkan persentase penduduk yang mengalami keterlantaran sesuai dengan kelompok umur (lansia, 121
balita dan anak terlantar). Salah satu program dari Departemen Sosial (Depsos) di dalam penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), menggunakan indikator tersebut sebagai alat pemantauan dan evaluasi. Rumus: Lansia terlantar Jumlah lansia yang mengalami keterlantaran Jumlah lansia seluruhnya 4. Persentase Penerima BOS (Bantuan Operasional Sekolah) Definisi: Jumlah penduduk yang menerima BOS sesuai dengan jenjang pendidikan yang sedang diduduki. Kegunaan: Indikator ini untuk mendapatkan persentase penduduk yang menerima BOS dari setiap jenjang pendidikannya. Rumus: Untuk penerima BOS di jenjang Sekolah Dasar. Jumlah penduduk yang menerima BOS di tingkat SD Jumlah penduduk pada jenjang SD 5. Persentase penerima beasiswa Definisi: persentase penduduk yang menerima beasiswa sesuai dengan jenjang pendidikan yang sedang diduduki. Kegunaan: Indikator ini berguna untuk mendapatkan persentase penduduk yang menerima beasiswa dari setiap jenjang pendidikannya. Rumus: Untuk penerima beasiswa di jenjang sekolah dasar. Jumlah penduduk yang menerima beasiswa di tingkat SD Jumlah penduduk pada jenjang SD
122
XIII. Indikator MDGs dalam Modul Kesehatan dan Perumahan Susenas
Bab ini akan menyajikan indikator-indikator MDGs, dan alternatif indikator MDGs yang bersumber dari data Modul Kesehatan dan Perumahan. Indikator yang dimaksud antara lain: 1. Persentase rumah tangga yang tinggal di rumah milik sendiri dibangun di atas tanah bersertifikat, 2. Persentase rumah tangga yang mempunyai ruang tidur tersendiri, 3. Persentase rumah tangga yang tinggal di pinggir jalan/lorong/gang, 4. Persentase rumah tangga yang tempat tinggalnya dilengkapi sarana pembuangan air mandi, cuci/dapur dengan saluran tertutup, 5. Persentase rumah tangga yang di sekitar rumahnya keadaan air got/selokan mengalir lancar, 6. Persentase ibu kandung balita yang mengkonsumsi pil zat besi/pil tambah darah selama mengandung, 7. Persentase wanita yang sedang pemeriksaan kehamilan (K4),
mengandung
melakukan
8. Persentase balita yang mendapatkan vitamin A dosis tinggi selama satu tahun terakhir, dan 9. Persentase penduduk yang mengalami tes TBC/penyakit paru menurut propinsi dan nasional. Metodologi Penghitungan Indikator
1. Persentase rumah tangga yang tinggal di rumah milik sendiri dibangun di atas tanah bersertifikat Definisi: Persentase rumah tangga yang mempunyai tanah dengan status milik sendiri dan mempunyai sertifikat hak milik, hak guna bangunan dan hak pakai. Kegunaan: Indikator ini berguna untuk menunjukkan persentase rumah tangga dengan tingkat kesadaran hukum yang baik dan mempunyai kesejahteraan dan kemampuan ekonomi masyarakat yang baik di suatu daerah. 123
Rumus: Jumlah rumah tangga yang menempati tempat tinggal milik sendiri di atas tanah bersertifikat Jumlah rumah tangga seluruhnya 2. Persentase rumah tangga yang mempunyai ruang tidur tersendiri Definisi: Jumlah rumah tangga yang mempunyai ruang tidur tersendiri terhadap jumlah rumah tangga seluruhnya. Kegunaan: Indikator ini berguna untuk menunjukkan persentase rumah tangga yang mempunyai fasilitas ruangan dan tempat tinggal yang baik, serta memahami konsep kesehatan dan etika budaya yang baik serta mempunyai kesejahteraan dan kemampuan ekonomi masyarakat yang baik di suatu daerah. Rumus: Jumlah rumah tangga yang mempunyai ruang tidur tersendiri Jumlah rumah tangga seluruhnya 3. Persentase rumah tangga yang tinggal di pinggir jalan/ lorong/gang dengan lebar minimal 3 meter Definisi: Jumlah rumah tangga yang lokasi bangunannya berada di pinggir jalan/lorong/gang dengan lebar minimal 3 meter, dibagi jumlah rumah tangga seluruhnya, dikalikan seratus. Kegunaan: Indikator ini berguna untuk menunjukkan persentase rumah tangga yang memiliki rumah di tempat yang memadai memenuhi syarat lingkungan tempat tinggal. Apabila persentase rumah tangga yang tinggal di pinggir jalan/gang/lorong yang tingginya kurang dari 3 meter, maka besar pula persentase rumah tangga yang tinggal di lingkungan yang kurang sehat dan kurang sejahtera, dan ekonomi rumah tangga rendah.
124
Rumus: Jumlah rumah tangga yang tinggal di pinggir jalan/gang/lorong minimal 3 meter Jumlah rumah tangga seluruhnya 4. Persentase rumah tangga yang tempat tinggalnya dilengkapi sarana pembuangan air mandi, cuci, dan dapur dengan saluran tertutup. Definisi: Persentase rumah tangga yang mempunyai fasilitas sanitasi dan lingkungan yang baik ditunjukkan dengan kepemilikan sarana pembuangan limbah rumah tangga seperti limbah air mandi, cuci, dan dapur dengan saluran tertutup. Kegunaan: Indikator ini berguna untuk menunjukkan persentase rumah tangga yang memiliki rumah dengan tingkat kesadaran kesehatan yang cukup baik, ditunjukkan dengan adanya fasilitas sanitasi pembuangan limbah rumah tangga yang tertutup. Apabila rumah tangga tidak memiliki saluran limbah pembuangan rumah tangga, memiliki saluran akan tetapi tidak tertutup maka sumber air minum terdekat akan menjadi tercemar, di samping itu penghuni rumah rawan terhadap penyebaran penyakit cacing, kudis, kurap dan diare. Rumus: Jumlah rumah tangga yang memiliki saluran limbah rumah tangga tertutup Jumlah rumah tangga seluruhnya 5. Persentase rumah tangga yang keadaan air got/selokan di sekitar rumahnya mengalir lancar. Definisi: Jumlah rumah tangga yang mempunyai fasilitas sanitasi dan lingkungan yang baik ditunjukkan dengan kondisi saluran air got/selokan di sekitar rumah mengalir dengan lancar. Kegunaan: Indikator ini berguna untuk menunjukkan persentase rumah tangga yang memiliki rumah dengan tingkat kesadaran kesehatan yang cukup baik, ditunjukkan dengan fakta bahwa fasilitas sanitasi lingkungan saluran air got/selokan di sekitar rumah mengalir dengan lancar. Apabila saluran air got/selokan tidak mengalir dengan lancar 125
maka akan timbul jentik-jentik nyamuk (demam berdarah dan malaria), serta bibit penyakit-penyakit lainnya karena kebersihan lingkungan tidak terjaga dengan baik. Rumus: Jumlah rumah tangga yang memiliki saluran air/selokan/got mengalir dengan lancar Jumlah rumah tangga seluruhnya 6. Persentase ibu kandung balita yang mengkonsumsi pil zat besi pil tambah darah selama mengandung Definisi: Banyaknya ibu kandung balita yang mengkonsumsi pil/zat besi selama masa kehamilan dibagi dengan jumlah ibu mengandung seluruhnya dikalikan dengan seratus. Kegunaan: Indikator ini berguna untuk menunjukkan persentase wanita yang mengkonsumsi zat besi (ukuran kurang dari 90 tablet dan lebih dari 90 tablet) selama masa kehamilan. Wanita hamil memerlukan konsumsi pil tambah darah untuk menjaga kandungan dan ibu agar tetap sehat. Rumus: Jumlah Ibu yang mengandung mengkonsumsi pil zat besi selama kehamilan Jumlah ibu yang mengandung seluruhnya 7. Persentase wanita yang pemeriksaan kehamilan (K4).
sedang
mengandung
melakukan
Definisi: Banyaknya wanita selama masa kehamilan yang melakukan pemeriksaan kehamilan (K4) dengan tenaga medis dibagi dengan jumlah wanita yang mengandung seluruhnya. Kegunaan: Indikator ini berguna untuk menunjukkan persentase wanita pada masa kehamilan yang melakukan pemeriksaan kehamilannya pada tenaga medis untuk setiap kuartal masa kehamilan. Semakin banyak wanita hamil yang melakukan pemeriksaan setiap kuartalnya dengan
126
frekuensi yang disarankan, maka semakin aman wanita hamil dalam menjalankan proses kehamilannya. Rumus: Jumlah wanita yang mengandung melakukan pemeriksaan kehamilan ke tenaga medis selama masa kehamilan Jumlah wanita yang mengandung seluruhnya 8. Persentase balita yang mendapatkan vitamin A dosis tinggi selama satu tahun terakhir. Definisi: Banyaknya balita yang mendapatkan vitamin A dosis tinggi selama satu tahun dibagi dengan jumlah balita kali seratus. Kegunaan: Indikator ini berguna untuk menunjukkan persentase balita yang sudah mengkonsumsi vitamin A dosis tinggi selama satu tahun terakhir. Rumus: Jumlah balita yang mengkonsumsi vitamin A dosis tinggi Jumlah balita seluruhnya 9. Persentase penduduk yang mengalami tes TBC/penyakit paru menurut propinsi dan nasional Definisi: Banyaknya penduduk yang mengalami tes TBC/penyakit paru dibagi dengan banyaknya penduduk seluruhnya kali seratus. Kegunaan: Indikator ini berguna untuk menunjukkan persentase penduduk yang mengalami pemeriksaan penyakit TBC/penyakit paru. Semakin besar persentase penduduk yang melaksanakan tes TBC maka semakin rawan daerah tersebut terhadap penyakit TBC. Rumus: Jumlah penduduk yang mengalami pemeriksaan TBC/penyakit paru Jumlah penduduk seluruhnya File: Final 15-05’07
127
Daftar Pustaka
Aryago Mulia, 2005, Analisis Penetapan Penduduk Miskin , Tesis diajukan untuk memperoleh gelar master di IPB, Bogor Badan Pusat Statistik, 2005, Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan tahun 2005 , BPS, Jakarta _________________, 2002. Buku pedoman pengolahan entry data Susenas tahun 2002 , BPS, Jakarta. _________________, 2004. Data dan informasi kemiskinan tahun 2004 . buku 1: Propinsi, BPS: Jakarta _________________, 2004. Data dan informasi kemiskinan tahun 2004 . buku 2: Kabupaten, BPS: Jakarta _________________, 2005. Analisis dan penghitungan tingkat kemiskinan, tahun 2005 , BPS: Jakarta DR. Pajung Surbakti. 1995. Suatu Sumber Data Berkesinambungan Untuk Analisis Kesejahteraan Rakyat di Indonesia . Survei Sosial Ekonomi Nasional. Badan Pusat Statistik, Maret 2005
128
Lampiran 1 Tabel 1: Komoditas Pangan Perkotaan-Perdesaan 2005 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52.
Komoditas Beras Beras Ketan Jagung Pipilan Tepung Terigu Ketela Pohon Ketela Rambat Gaplek Tongkol/Tuna/Cakalang Kembung Teri Bandeng Mujair Daging Sapi Daging Babi Daging Ayam Ras Daging Ayam Kampung Tetelan Telur Ayam Ras Telur Itik/Manila Susu Kental Manis Susu Bubuk Bayam Buncis Kacang Panjang Tomat Sayur Daun Ketela Pohon Nangka Muda Bawang Merah Cabe Merah Cabe Rawit Kacang Tanah Tanpa Kulit Tahu Tempe Mangga Salak Pisang Ambon Pepaya Minyak Kelapa Kelapa Gula Pasir Gula Merah Teh Kopi Garam Kemiri Terasi/petis Kerupuk Mie Instan Roti Manis Kue Kering Kue Basah Rokok kretek filter Total
Unit Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Ons Kg Kg Kg Kg Kg No. Kg Kg Kg Ons Kg Kg Ons Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Liter No. Ons Ons Ons Ons Ons Ons Ons Ons Ons Kg Ons Ons Buah Batang
Kandungan Kalori Kota Desa 909,0 0,0 5,6 6,4 25,4 7,3 0,2 6,4 3,1 1,2 2,9 2,2 0,7 0,8 15,5 1,7 0,1 17,0 1,4 4,8 1,9 1,2 0,6 3,1 0,8 6,0 1,1 2,1 0,9 2,7 3,1 13,8 28,6 0,4 4,2 2,5 1,6 70,6 39,6 89,3 8,4 2,4 10,6 0,0 5,0 2,7 10,5 26,4 7,6 5,6 24,1 0,0
1032,6 2,8 46,5 7,4 33,7 16,5 3,8 6,9 2,3 1,3 1,9 1,7 0,4 2,7 6,3 3,5 0,0 9,2 1,2 2,6 0,9 1,3 0,8 3,6 0,6 11,6 1,3 1,9 0,7 3,4 3,0 11,2 22,6 0,5 2,5 3,1 1,2 86,0 53,3 81,3 9,2 2,1 13,4 0,0 5,0 2,7 9,3 18,1 5,8 4,2 13,9 0,0 1.557,6
Harga (Rp/Kap/bln) Kota Desa 23.306 0 107 218 572 187 3 1.506 1.093 358 632 714 308 110 2.046 297 29 2.819 225 567 309 691 123 767 441 442 139 1.261 930 716 150 1.661 1.929 82 261 340 209 1.522 941 4.035 329 749 1.235 368 228 344 485 1.889 688 440 1.480 8.503 68.786
25.709 67 707 256 600 357 40 1.273 538 313 419 519 160 302 787 447 6 1.601 217 293 132 530 153 766 327 652 90 1.180 659 778 124 1.191 1.516 98 155 256 136 1.950 992 3.705 343 612 1.336 503 213 325 435 1.315 463 271 874 5.626 62.314
Sumber: Analisis dan penghitungan tingkat kemiskinan 2005. 129