COR PULMONAL CHRONIC STADIUM KOMPENSATA ec PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK ec BRONKITIS KRONIK
DISUSUN OLEH:
Fionna Masitah (1008260019) Parida Hanum Siregar (1008260006) PEMBIMBING
dr. Armon Rahimi, Sp.PD
ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT HAJI MEDAN SUMATERA UTARA 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat dan atas segala limpahan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan laporan kasus yang telah direncanakan. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW beserta seluruh keluarga dan sahabatnya yang selalu eksis membantu perjuangan beliau dalam da lam menegakkan Dinullah di muka bumi ini. Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan, maka saran dan kritik yang konstruktif dari semua pihak sangat diharapkan demi penyempurnaan selanjutnya. selanjutnya. Akhirnya hanya kepada Allah SWT kita kembalikan semua urusan dan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya, semoga Allah SWT meridhoi dan dicatat sebagai ibadah disisi-Nya, amin.
Medan, 23 Mei 2014
i
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.................................................................................... i DAFTAR ISI ................................................................................................ ii BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1.Latar Belakang .......................................................................................... 1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 2
2.1.Kor Pulmonal Kronik ................................................................................ 2 2.1.1. Definisi .............................................................................................2 2.1.2. Etiologi..............................................................................................2 2.1.3. Klasifikasi ........................................................................................ 2 2.1.4. Patofisiologi ...................................................................................... 3 2.1.5. Manifestasi Klinik ............................................................................. 3 2.1.6. Penatalaksanaan ................................................................................. 4 2.2. PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik) ................................................... 5 2.2.1. Definisi .............................................................................................5 2.2.2. Etiologi ..............................................................................................6 2.2.3. Patofisiologi ...................................................................................... 6 2.2.4. Manifestasi Klinik ............................................................................. 7 2.2.5. Diagnosis..........................................................................................7 2.2.6. Penatalaksanaan ................................................................................. 8 2.3.Bronkitis Kronis ........................................................................................ 9 2.3.1. Definisi .............................................................................................9 2.3.2.Etiologi...............................................................................................9 2.3.3. Manifestasi Klinik ............................................................................. 9 2.3.4. Patofisiologi .................................................................................... 10 2.3.5. Pemeriksaan Penunjang ................................................................... 10 2.3.6. Penatalaksanaan ............................................................................... 11 2.4. Emfisema ............................................................................................... 12 2.4.1. Definisi ........................................................................................... 12 2.4.2. Bentuk Emfisema ........................................................................... 12 2.4.3. Patogenesis ..................................................................................... 12 ii
2.4.4. Manifestasi Klinik .......................................................................... 13 2.4.5. Pemeriksaan Penunjang ................................................................... 13 2.4.6. Penatalaksanaan .............................................................................. 14 BAB 3 PENUTUP ........................................................................................ 16
3.1. Kesimpulan .............................................................................................16 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 17
iii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang
Kor pulmonal merupakan suatu keadaan timbulnya hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan tanpa atau dengan gagal jantung kanan, timbul akibat penyakit yang menyerang struktur atau fungsi paru atau pembuluh darahnya. Diperkirakan insidensi kor pulmonale adalah 6% sampai 7% dari seluruh penyakit jantung.
1
Untuk menetapkan adanya kor pulmonal secara klinis pada pasien gagal napas diperlukan tanda pada pemeriksaan fisis yakni edema. Hipertensi pulmonal “sine qua non” dengan kor pulmonal maka definisi kor pulmonal yang terbaik adalah adalah hipertensi pulmonal yang disebabkan penyakit mengenai struktur dan atau pembuluh darah paru, hipertensi pulmonal yang menghasilkan pembesaran ventrikel kanan (hipertrofi dan atau dilatasi) dan berlanjut dengan berjalannya waktu menjadi gagal jantung kanan. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyebab utama insufisiensi respirasi kronik dan kor pulmonal, diperkirakan 80-90% kasus.
2
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan penyakit paru yang paling sering ditemukan dan diperkirakan menjangkiti sekitar 17 juta orang Amerika. Insidensi penyakit ini semakin meningkat.
3
Pada bronkitis kronik, hipersekresi mukus serta batuk produktif yang kronis berlangsung selama tiga bulan dalam satu tahun dan terjadi sedikitnya selama dua tahun berturut-turut.
3
Kurang lebih 20 persen laki-laki dewasa menderita bronkitis kronik, namun hanya sejumlah kecil darinya yang secara klinis cacat. Berdasarkan semua survei, laki-laki lebih sering menderita dibandingkan perempuan .
4
Perokok merupakan faktor etiologi tunggal yang paling penting , pemajanan akibat kerja dan lingkungan, terutama sebagai unsure penambah bagi efek yang ditimbulkan oleh merokok.
4
1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kor Pulmonal Kronik 2.1.1. Definisi
Pembesaran ventrikel kanan sekunder terhadap penyakit paru, toraks, atau sirkulasi paru.4 2.1.2. Etiologi
Penyakit-penyakit yang menyebabkan kor pulmonal adalah penyakit yang secara primer menyerang pembuluh darah dan penyakit yang mengganggu aliran darah paru akibat penyakit pernapasan obstruktif atau restriktif. Penyakit-penyakit pernapasan restriktif yang menyebabkan kor pulmonal dapat berupa penyakit penyakit instrinsik seperti fibrosis paru difus dan kelainan ekstrinsik, seperti obesitas yang ekstrim, kifoskoliosis atau gangguan neuromuskular berat yang melibatkan otot-otot pernapasan.
1
Kelainan yang disebabkan oleh berbagai penyakit di luar paru, seperti berbagai penyakt di batang otak, dinding toraks dan diafragma. 5 2.1.3. Klasifikasi
1. Kor Pulmonal Akut Disebabkan penyakit vaskuler paru embolik. Beban embolik menyebabkan keadaan curah keluar mendadak rendah akibat ketidakmampuan ventrikel kanan untuk menghasilkan tekanan yang diperlukan untuk mendorong darah melalui anyaman vaskuler paru yang secara akut terganggu. 4 2.
Kor pulmonal Kronik Sekunder Terhadap Penyakit Vaskuler Paru
Berlawanan dengan tromboembolisme akut yang massif, jika peningkatan resistensi vaskuler bertahap, tekanan vaskuler paru yang lebih tinggi, kadangkadang bahkan melebihi batas arteri sistemik. Kor pulmonal kronik dapat juga disebabkan oleh hipertensi pulmonal primer atau tiap vaskulitis luas yang kroni.4 Pembagian kor pulmonal kronik a. Kompesansai (tanpa DC) Redistribusi curah jantung berfungsi sebagai mekanisme kompensasi penting. Aliran darah direstribusikan sehingga pengantaran oksigen ke 2
organ vital, dipertahankan pada kadar normal atau mendekati normal. Abnormalitas berkurang setelah kompensasi klinis yang dicapai melalui terapi.4 b. Dekompensasi Sindroma klinis yang bermanifestasi sebagai tanda gagal jantung kongestif pada penyakit paru. Biasanya dengan adanya dispneu, ortopneu, dispnea paroksismal
(nocturnal),
peningkatan
hepatomegali, asites maupun edema tungkai.
tekanan
vena
jugularis,
2,4
2.1.4. Patofisiologi
Penyakit paru kronis akan mengakibatkan: (1) Berkurangnya
“vascular bed”
paru, dapat disebabkan oleh semakin
terdesaknya pembuluh darah oleh paru yang mengembang atau kerusakan paru (2) Asidosis dan hiperkapnia (3) Hipoksia alveolar, yang akan merangsang vasokontriksi pembuluh darah paru (4) Polisitemia dan hiperviskositas darah.
2
2.1.5. Manifestasi Klinik
Diagnosis kor pulmonal terutama berdasarkan pada dua kriteria: adanya penyakit pernapasan yang disertai hipertensi pulmonal dan adanya hipertrofi ventrikel kanan. Adanya hipoksemia yang menetap, hiperkapnia dan asidosis atau pembesaran ventrikel kanan. Dispnea yang memburuk dengan mendadak atau kelelahan, pingsan pada waktu bekerja atau rasa tidak enak angina pada substernal.1 Gagal jantung ditandai oleh bertambahnya pitting edema, batuk paroksismal dan kadang-kadang, asites. Penemuan spesifik timbul dan hilang dengan cepat dengan timbul dan hilang dengan cepat dengan timbul dan hilangnya gagal pernapasan akut. Seringkali ada sianosis sentral dan hati yang nyeri tekan .6 Tanda-tanda fisik hipertensi pulmonal berupa kuat angkat sistolik pada area parasternal, mengerasnya bunyi pulmonik kedua, dan bising akibat insufisiensi katup triskupidalis dan pumonalis. Irama gallop (suara jantung S3 dan S4), 3
distensi vena jugularis dengan gelombang A yang menonjol, hepatomegali dan 1
edema perifer dapat terlihat pada pasien dengan gagal ventrikel kanan.
Pemeriksaan radiologi pada penyakit kronik dimanan didapatkan pelebaran arteri pulmonalis (lebih besar dari 17 mm). Pada stadium yang telah lanjut didapatkan pelebaran arteri pulmonalis dan ventrikel kanan.
5
Ekokardiografi memungkinkan pengukuran ketebalan dinding ventrikel kanan dan meskipun perubahan volume tidak dapat diukur, teknik ini dapat memperlihatkan pembesaran kavitas ventrikel kanan dalam hubungan dengan pembesaran ventrikel kiri . 4 2.1.6. Penatalaksanaan
a. Terapi Oksigen Pemakaian oksigen secara kontinyu selama 12 jam (National Institute of Health/NIH, Amerika), 15 jam (British Medical Research Council/MRC) dan 24 jam (NIH) meningkatkan kelangsungan hidup dibandingkan dengan pasien tanpa terapi oksigen. Indikasi terapi oksigen (di rumah) adalah: PaO2 ≤ 55 mmHg atau SaO2 ≤ 88%, PaO2 55 -59 mmHg disertai salah satu dari : edema disebabkan gagal jantung kanan, P pulmonal pada EKG, ertrositosis hematokrit > 56%.
2
Pemberian yang dilakukan memakai nasal prong dengan aliran udara O 2 sebanyak 1 hingga 2L/menit. 4 b. Vasodilator Rubin
menemukan
pedoman
untuk
menggunakan
vasodilator
bila
didapatkan 4 respons hemodinamik sebagai berikut: (1) Resistensi vascular paru diturunkan minimal 20% (2) Curah jantung meningkatkan atau tidak berubah (3) Tekanan arteri pulmonal menurunkan atau tidak berubah (4) Tekanan darah sistemik tidak berubah secara signifikan Kemudian harus dievaluasi setelah 4 atau 5 bulan untuk menilai apakah keuntungan hemodinamik di atas masih menetap atau tidak. Pemakaian sildenafil untuk melebarkan pemuluh darah paru pada Primary Pulmonary Hypertension, sedang ditunggu hasil penelitian untuk kor pulmonal lengkap.
2
c. Digitalis 4
Digitalis hanya digunakan pada pasien kor pulmonal bila disertai gagal jantung
kiri.
Disamping
itu
pengobatan
dengan
digitalis
menunjukkan
peningkatkan terjadinya komplikasi aritmia.2 Pemberian dosis digitalis biasanya 0,125-0,25 mg sehari jika fungsi ginjal normal (pada lansia biasanya 0,25 mg). 8 d. Diuretika Diuretika diberikan bila ada gagal jantung kanan. Pemberian yang berlebihan dapat menimbulkan alkalosis metabolik yang bisa memicu peningkatan hiperkapnia. Disamping itu dengan terapi diuretik dapat terjadi kekurangan cairan yang mengakibatkan preload ventrikel kanan dan curah jantung menurun. 2 Diuretika lengkung (loop) harus digunakan dengan hati-hati karena dapat menyebabkan alkalosis metabolik sehingga menunpulkan kendali respirasi.
4
Pemberian dosis diuretik lengkung (loop) diberikan dengan dosis 20-80 mg atau 2-3 x sehari. 8 e. Flebotomi Tindakan flebotomi pada pasien kor pulmonal dengan hematokrit yang tinggi untuk menurunkan hematokrit sampai dengan nilai 59% hanya merupakan terapi tambahan pada pasien kor pulmonal dengan gagal jantung kanan akut.
2
f. Antikoagulan Pemberian antikoagulan pada kor pulmonal didasarkan atas kemungkinan terjadinya tromboemboli akibat pembesaran dan disfungsi ventrikel kanan dan adanya faktor imobilisasi pada pasien.2 Pengobatan umumnya dimulai dengan dosis kecil 5-10mg/hari,selanjutnya didasarkan pada masa protrombin. Dosis pemeliharaan umumnya 5-7 mg/hari.
8
2.2. PPOK ( Penyakit Paru Obstruktif Kronik) 2.2.1. Definsi
PPOK merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya.
1
5
2.2.2. Etiologi
PPOK didefinisikan sebagai keadaan yang didalamnya terdapat obstruksi kronik aliran udara pernapasan yang disebabkan oleh bronkitis kronik dan emfisema.4 Merokok merupakan faktor risiko terpenting penyebab PPOK di samping faktor risiko lainnya seperti polusi udara, faktor genetik dan lainlainnya.2 Perbedaan Blue Bloater (Bronkitis) dengan Pink Puffer (Emfisema) Blue Bloater
Pink Puffer
Kulit: kebiruan (sianosis)
Kulit: kemerahan
Batuk menonjol
Batuk tidak menonjol
Dahak banyak
Dahak Sedikit
Sesak intermitten
Sesak progresif
Gemuk
Kurus
Diameter AP normal
Diameter AP bertambah
Radiologi:
Radiologi:
Normal atau corakan paru meningkat Hiperlusen, sela iga melebar, diafragma dan jantung normal atau lebih
letak rendah atau datar jantung kurus
2.2.3. Patofisiologi
Terjadinya penyempitan dari saluran pernafasan yang disebabkan oleh karena sekresi mukus yang mengental terutama pada pasien bronkitis dan bronkopasme.
Kontraksi dari otot bronkus yang disertai dengan cairan edema akibat inflamasi pada asma kronik.
Destruksi dari paru pada emfisema Penyempitan dari bronkus ini dapat menyebabkan terjadinya
Obstruksi saluran pernafasan menahun
Terjadinya perangkap udara, oleh karena udara yang masuk sewaktu inspirasi lebih mudah daripada waktu ekspirasi. Hal ini terutama ditemukan pada kasus asma dan emfisema pulmonal obstuktif. 6
Hal yang kedua ini dapat menyebabkan terjadinya gejala-gejala hipertrofi
dari otot inspirasi .5 2.2.4. Manifestasi klinis - penurunan kemampuan melakukan aktivitas fisik atau pekerjaan yang cukup
berat dan keadaan ini terjadi karena penurunan cadangan paru. - Batuk produktif akibat stimulasi refleks batuk oleh mukus - Dispneu pada aktivitas fisik ringan - infeksi saluran nafas yang sering terjadi - Hipoksemia intermiten atau kontinu - Hasil tes faal paru yang menunjukkan kelainan yang nyata 3
- Deformitas toraks . 2.2.5. Diagnosis
Pemeriksaan radiologi
Gambaran radiologi paru-paru tergantung penyebab dari PPOK. Pada bronkitis kronik tampak adanya penambahan bronkovaskular dan pelebaran dari arteri pulmonalis, disamping itu ukuran ja ntung juga mengalami pembesaran.
5
Tes faal paru
FEV1 dan FVC mengalami penurunan. Penyempitan dari lumen bronkus dapat dari penurunan FEV1/FVC. Pada fase permulaan PPOK justru terjadi kenaikan PaCO2, tetapi pada fase selanjutnya akan terjadi penurunan. Sebagai akibat dari hipoksemia ini dapat terjadi:
Hipoksia jaringan tubuh
Hipoksia pada miokardia, sehingga dapat menimbulkan dekompensasi dan kongesti
Hipoksia pada paru dapat menimbulkan hipertensi pulmonal dan pulmonal
Hiperkapnia dapat disebabkan oleh 2 tipe, yakni Pink Puffer dan blue blotter. Pada tipe pink puffer ditandai dengan sesak nafas yang terus menerus, terutama pada waktu gerak badan, sedangkan pada tipe blue 5
blotter dispnea terjadi secara episodik.
Pemeriksaan elektrokardiografi 7
Berbagai faktor yang berhubungan dengan terjadinya hipertrofi pada ventrikel kanan dinyatakan sebagai berikut:
Right axis deviation
Jantung mengalami pemutaran kearah kanan dan terdorong kearah inferior dan anterior
Tinggi 0,044 sec R pada V 3R atau V1
Perbandingan R/S pada V 1R 1, sedangkan V 6 1
RsR’ atau rSR’ pada V 3 dengan R 5 mm atau S
RAD dengan sV 1 yang dangkal atau rSR 1 dan penonjolan pada SV 5-6 (menunjukkan permulaan RVH)
S1, S2 dan S 3 syndrome
R dalam aVR 5 mm
Terdapat RBBB dengan RAD tanpa blok QRS atau R’V 1 15 mm. 5 Pemeriksaan Bronkoskopi
Dapat ditemukan adanya obstruksi dan kolaps pada alveoli dan kadangkadang dapat meliputi bronkus yang besar. Pada bronkitis kronik tampak warna mukosa yang merah dan hipersekresi. 5
Pemeriksaan Darah Rutin
Dapat ditemukan adanya peninggian hematokrit dan eritema, serta hipoksemia kronik. 5 2.2.6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan PPOK mencakup penghentian merokok, imunnisasi influenza, vaksin pneumokokus, pemberian antibiotic, bronkodilator dan kortikosteroid, terapi oksigen, pengontrolan sekresi, serta latihan dan rehabilitasi yang berupa latihan fisik, latihan napas khusus dan bantuan psikis. 7 Obat antibiotik yang biasa diberikan adalah amoksisilin, trimetroprim, eritromisin atau dosisiklin yang digolongkan sebagai obat antibiotic lini pertama tidak memberikan efek, antibiotik lini kedua (amoksisilin + klavulanat, siprofloksasin, azitromisin) dapat diberikan.7 Pemberian kortiskoteroid memberikan perbaikan yang signifikan dan mengurangi frekuensi terjadinya eksaserbasi. Pemberian kortikosteroid pada kasus 8
ini harus secara sistemik dan bukan perinhalasi. Pada PPOK yang disertai eksaserbasi akut, pemberian kortikosteroid per inhalasi tidak memberikan perbaikan .7 Pemberian prednisone dengan dosis 30 mg sehari. 4 Hidrasi yang adekuat sangat membantu untuk mengencerkan sputum yang kental. Pemberian ekspetoran guaifenesin ataupun iodide akan mengurangi gejala.7 Pada eksaserbasi akut PPOK, hiperkapnia lebih sering terjadi dibandingkan dengan hipoksemia, namun keduanya dapat terjadi bersamaan. Gagal napas akut ditandai dengan PaCO2 < 50 mmHg atau dapat juga PaCO2 > 50 mmHg, dengan pH < 7,35. Suplemen oksigen akan mengurangi vasokontriksi kapiler paru dan juga mengurangi beban jantung kanan, mengurangi iskemia otot jantung dan memperbaiki penyerapan oksigen. 7 Pemberian yang dilakukan memakai nasal prong dengan aliran udara O 2 sebanyak 1 hingga 2L/menit. 4
2.3. Bronkitis Kronis 2.3.1. Definisi
Yang dimaksud dengan bronkitis kronis adalah batuk berulang dan berdahak selama lebih dari 3 bulan setiap tahun dalam periode paling sedikit 3 tahun, sebab utamanya adalah merokok, berbagai penyakit akibat pekerjaan, polusi udara, dan usia tua, terutama pada laki-laki. Hipersekresi dan tanda-tanda adanya penyumbatan saluran nafas yang kronik merupakan tanda dari penyakit ini. 5 2.3.2. Etiologi
Etiologi utama adalah merokok dan polusi udara yang lazim terjadi didaerah industry. Polusi udara yang terus menerus juga merupakan presdiposisi infeksi rekuren karena polusi memperlambat aktivitas silia dan fagositosis, sehingga timbunan mukus meningkat sedangkan mekanisme pertahanannya melemah. 1 2.3.3. Manifestasi klinis
Pada tingkat permulaan hanya cabang 2 bronkus dengan diameter kurang dari 2mm saja yang terkena. Pada fase selanjutnya maka cabang bronkus besar juga terkena dan dapat dibuktikan dengan pemeriksaan faal paru dimana terjadi penurunan dari fungsi obstruktif. 9
Berbagai gejala klinis yang didapatkan: - Sputum yang banyak dan berwarna kelabu, putih, atau pun kuning yang dihasilkan paru-paru - Batuk yang produktif - Dispnea - Sianosis - penggunaan otot-otot aksesorius pernafasan - takipnea akibat hipoksia - edema pedis akibat gagal jantung - distensi vena leher akibat gagaljantung kanan - penambahan berat badan akibat edema - mengi akibat aliran udara melewati saluran pernafasan yang sempit.3 2.3.4. Patofisiologi
Pada bronkitis kronik terjadi hipertrofi kelenjar mucus dari trakeobronkial , dimana dapat menyebabkan penyempitan pada saluran bronkus, sehingga diameter bronkus ini menebal lebih dari 30-40% dari tebal dindingnya bronkus yang normal, Sekresi dari sel goblet bukan saja bertambah dalam jumlahnya akan tetapi juga lebih kental sehingga menghasilkan substansi yang muko purulen. Keadaan ini juga disertai dengan bronkiektasis dan atelektasis yang diakibtkan oleh penyumbatan. Permukaan bronkus senantiasa terinfeksi oleh karna mekanisme untuk membersihkan bronkus melalui silia maupun dengan mekanisme sekresi menjadi hilang , sehingga paru selalu diifeksi oleh kuman Haemophilus influenza dan streptococcus pneumonia yang menghasilkan mucus yang purulen pada setiap eksaserbasi. Pada stadium akhir dari bronkitis kronis dapat terjadi hipoksemia dan hipertrofi ventrikel kanan yang disertai dengan penebalan pembuluh darah pulmonal dan arteriole, cabang dari arteri pulmonal .5 2.3.5. Pemeriksaan penunjang
- Foto rontgen toraks dapat memperlihatkan hiperinflasi dan peningkatan corakan bronkovaskuler
10
- Tes faal paru menunjukkan peningkatan volume residual, penurunan kapasitas vital, serta forced expiratory flow dengan kelenturan static dan kapasitas difusi yang normal. - Analisa gas darah arteri mengungkapkan penurunan tekanan parsial oksigen dalam darah arteri atau peningkatan tekanan parsial karbondioksida dalam darah arteri. - Analisis sputum dapat mengungkapkan banyak mikroorganisme dan sel-sel neutrofil - Elektrokardiografi dapat memperlihatkan aritmia atrium , gelombang p yang lancip pada lead II, III serta aVF, dan kadang-kadang hipertrofi ventrikel kanan.
3
2.3.6. Penatalaksanaan
Tindakan menghindari polutan udara (paling efektif)
Tindakan menghentikan kebiasaan merokok dan menghindari asap rokok
Pemberian antibiotik untuk mengatasi infeksi yang kambuhan
Pemberian obat-obat golongan bronkodilator untuk meredakan bronkospasme dan memfasilitasi klirens mukosilier
Terapi hidrasi yang kuat untuk mengencerkan secret
Fisioterapi dada untuk mengencerkan secret
Penggunaan
alat
nebulizer
ultrasonik
atau
mekanis
untuk
mengencerkan dan memobilisasi secret
Pemberian kortikosteroid untuk mengatasi inflamasi
Pemberian obat-obat golongan diuretic untuk mengurangi edema
Pemberian oksigen untuk mengatasi hipoksia. 3
11
2.4. EMFISEMA 2.4.1 Defenisi
Emfisema paru merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran alveolus dan duktus alveolaris yang tidak normal, serta destruksi dinding alveolar.
1
2.4.2. Bentuk Emfisema
Berdasarkan efek emfisema pada asinus maka emfisema dapat dibagi menjadi 4 tipe, yakni :
Emfisema asinus distal atau disebut juga dengan emfisema paaseptal. Lesi ini biasanya terjadi disekitar septum lobulus, bronkus, dan pembuluh darah atau disekitar pleura. 5
Emfisema sentrilobular disebut juga emfisema asinus proksimal atau emfisema bronkiolus respiratorius. Biasanya terjadi bersamasama dengan pneumokinosis atau penyakit – penyakit oleh karena debu lainnya.
5
Emfisema parasinar biasanya terjadi pada seluruh asinus. Secara klinis berhubungan erat dengan : -
Defisiensi alfa antitrypsin
-
Bronkus dan bronkiolus obliterasi (biasanya lebih jarang)
Salah satu bentuknya adalah sindroma swyer – james atau mac load dimana sebelah paru menjadi hiperlusen dan karnanya disebut dengan unilateral pulmonal hypertransradiansi.
Emfisema irregular atau disebut juga dengan emfisema jaringan parut . biasanya terlokalisir, bentuknya ireguler dan tanpa gejala klinis .
5
2.4.3. Patogenesis
Sesuai dengan morfologinya , kerusakan alveoli disebabkan oleh adanya proteolisis(degradasi)elastin oleh enzim elastase yang disebut protease. Elastin adalah komponen jaringan ikat yang meliputi kira-kira25% jaringan ikat diparu. Dalam keadaan normal , terdapat keseimbangan antara degradasi dan sintesis elastin atau keseimbngan antara protease yang mendegradasi jaringan paru 12
dan protease – inhibitor yang menghambat kerja protease. Pada perokok, jumlah protease meningkat karena julah lekosit dan makrofag diparu meningkat. Makrofag dan lekosit ini mengandung elastase dalam jumlah yang tinggi. Dengan banyaknya elastase diparu,banyak jaringan paru yang didegradasi .7 2.4.4. Manifestasi klinis
Trias emfisema adalah trdidri dari batuk, sputum yang banyak, sesak nafas yang progresif dan umumnya tidak terdapat wheezing ( mengi). Hipoinflasi dari paru yang ditimbulkan oleh perangkapan udara pada saat aspirasi dan puse lip breathing adalah sebagai usaha untuk mengelurkan udara ini. Toraks tampak berbentuk tong ( barrel chest), ekspansi paru mengurang dan sedikt sekali udara yang dapat masuk kedalam paru-paru. Ronki dapat didengarbila terjadi bersamaan dengan bronchitis. Fase terakhir dari emfisema adalah terjadinya kor pulmonale dan kegagalan pernafasan atau keduanya.5 Secara klinis diagnosis dari emfisema didasarkan atas:
Pelebaran yang permane dari sakus alveolaris. Pelebaran yang reversible, seperti pada asma, yang disebabkan oleh karena terperangkapnya udara dan dapat kembali menjadi normal tidak digolongkan kedalam emfisema. 5
Pelebaran dari sakus alveolaris (asinus) dan rusaknya dinding alveoli merupakan gambaran normal pada usia lanjut dan perubahan fisiologi ini bukan merupakan emfisema.
Yang terpenting pada emfisema adalah terdapatnya destruksi dari 5
jaringan alveoli . 2.4.5 Pemeriksaan penujang
a. Radiologi Gambaran yang khas adalah terlihat pembuluh darah yang sedikit dan terdapatnya bulla, terutama pada lobus bawah.5 b. Faal Paru Tampak penurunan fungsi obstruktif dan penurunan kapasitas vital .
5
13
2.4.6 Penatalaksanaan a. Exercise dan nutrisi
Exercise dapat meningkatkan toleransi perasaan lebih sehat dalam diri pasien, perbaikan tersebut biasanya bersifat spesifik menurut jenis latihannya sehingga sebagian besar dokter lebih menganjurkan olahraga jalan ketimbang olahraga yang menggunakan alat khusus. 4 Jika terdapat malnutrisi, pemberian
makanan 4 sehat 5 sempurna yang
dapat memperbaiki kekuatan otot, dapat mengurangi perasaan mudah letih dan sesak nafas. 4 b. Obat bronkodilator
Obat ini sering cukup membantu untuk meringankan gejala, obat ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori :metilxantin. Preparat simpatomimetik dengan sifat stimulasi beta 2-adrenegikyang kuat dan anti kolinergi. 4 Obat stimulasi beta2 – selektif seperti albuterol dan metaprotenol dapat diberikan per oral maupun dalam bentuk aerosol dengan efek samping pada jantung lebih sedikit dari pada yang dialami pasien dengan pemberian 4
isoprotenol.
. c. Kortikosteroid Pedoman yang paling baik dalah pertama-tama mencoba memberikan obat kortikosteroid sistemik hanya setelah terapi dengan bronkodilator yang maksimal dan tindakan drainase bronkopulmoner sudah dicobatanpa hasil;kedua, memulai pemberian prednisone dengan dosis 30mg sekalisehari; ketiga, memastikan perubahan objektifyang tampak lewat pemeriksaan spirometri dan pertukaran gas, menghentikan pemberian preoarat ini jika tidak terlihat. 4 Terapi drainase bronkopulmoner
harus dipertahankan pada pasien
hipersekresi. Jika mekanisme batuknya tidak efektif atau jika terdapatserangan batuk proksimal yang melelahkan pasien , terapi drainase postural sering menjadi tindakan tambahan yang bermanfaat. 4 Alat intermitten positive pressure breathing dahulunya pernah dianjurkan untuk penanganan pasien dirumah. alasan yang dikemukakan mencakup
14
pengurangan pekerjaan bernafas, peningkatan drainase bronkopulmoner dan pemberian obat bronkodilator yang lebih efisien.
4
d. Terapi hipoksia eritrositosis
Kalau hipoksia arteri terjadi secara persisten dengan kor pulmonal secara persisten dan berat (PaO2 55 hingga 60 mmHg) yang disertai dengan cor pulmonal dan t anda gagal jantung kanan, terapi oksigen yang kontinu merupakan indikasi. Jika PaO2 secara persisten kurang dari 55 mmHg, dengan atau tanpa kor pulmonal, terapi oksigen yang kontinu harus dilakukan. Pemberian yang dilakukan memakai nasal prong dengan aliran udara O 2 sebanyak 1 hingga 2L/menit.4
15
BAB 3 PENUTUP 3.1. Kesimpulan
Kor pulmonal merupakan suatu keadaan timbulnya hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan tanpa atau dengan gagal jantung kanan, timbul akibat penyakit yang menyerang struktur atau fungsi paru atau pembuluh darahnya. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyebab utama insufisiensi respirasi kronik dan kor pulmonal, diperkirakan 80-90% kasus. PPOK merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya Yang dimaksud dengan bronkitis kronis adalah batuk berulang dan berdahak selama lebih dari 3 bulan setiap tahun dalam periode paling sedikit 3 tahun, sebab utamanya adalah merokok, berbagai penyakit akibat pekerjaan, polusi udara, dan usia tua, terutama pada laki-laki. Hipersekresi dan tanda-tanda adanya penyumbatan saluran nafas yang kronik merupakan tanda dari penyakit ini Emfisema paru merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran alveolus dan duktus alveolaris yang tidak normal, serta destruksi dinding alveolar.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Vol 3. Jakarta:EGC.2005. 2. Sudoyo AW. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing 3. Kowalak JP.dkk. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta:EGC.2011. 4. Isselbacher KJ.dkk. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Vol 3. Edisi ke-3.Jakarta: EGC.2000. 5. Rab T. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta : TIM.2010 6. Burnside JW. McGlynn TJ. Adams Diagnosis Fisik. Edisi ke-17. Jakarta:EGC.1995. 7. Djojodibroto D. Respirologi. Jakarta:EGC. 2009.
17