Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 7, No 2, Juli 2012
Model Pemberhentian Presiden...(Ana Suheri) 115-122
MODEL PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DI INDONESIA Ana Suheri Dosen Fakultas Hukum Universitas PGRI Palangka Raya Abstrak : Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), mengenai alasan pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya diatur dalam Pasal 7 A. Presiden dan/ atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
PENDAHULUAN Prosedur pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, diatur dalam Pasal 7B, yang rumusnya berbunyi sebagai berikut: “Usul pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi penyuapan tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/ atau pendapat bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden.” Oleh karena kedudukan DPR sejajar/seimbang dengan Presiden sehingga tidak dapat saling menjatuhkan, DPR tidak memproses dan mengambil putusan terhadap pendapatnya sendiri, tetapi mengajukan – ISSN : 2085-4757
kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat yang berisi dugaan DPR itu. Disamping pengaturan tentang prosedur pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden, perubahan UUD 1945 juga mengatur mengenai larangan pembekuan dan/ atau pembubaran DPR oleh Presiden, sebagaimana tercantum dalam Pasal 7C yang berbunyi sebagai berikut: “Presiden tidak dapat membekukan dan/ atau membubarkan DPR.” Perubahan juga terjadi pada Pasal 8 UUD 1945, yang berbunyi sebagai berikut: (1) Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya. (2) Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari, MPR menyelenggarakan siding untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden.
115
Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 7, No 2, Juli 2012
Perubahan Keempat UUD 1945 juga melengkapi kekurangan pengaturan dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) yang telah diputuskan dalam perubahan ketiga (tahun 2001), dengan menambahkan ayat (3), dengan rumusan sebagai berikut. “jika Presiden dan / atau Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksanaan tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya 30 (tiga puluh hari) setelah itu, MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan/ atau Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan/ atau Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan/ atau Wakil Presiden meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya sampai berakhir masa jabatannya.” Sebelum terjadi Perubahan UUD 1945 tentang keadaan Presiden dan Wakil Presiden berhalangan, diatur dalam Ketetapan MPR RI No.VII/MPR/1973 tentang keadaan Presiden dan/ atau Wakil Presiden RI berhalangan. Dengan adanya tambahan materi di ayat (3) dari Pasal 8 UUD 1945 di atas tampaknya telah mengintegrasikan muatan materi Ketetapan MPR (Pasal 5 ayat (2)) tersebut ke dalam UUD 1945. Perubahan tersebut dimaksudkan untuk memperjelas dan mempertegas solusi konstitusional untuk menghindarkan bangsa dan Negara dari kemungkinan terjadinya krisis politik kenegaraan akibat kekosongan jabatan Presiden dan/ atau Wakil Presiden, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersamaan. Penambahan faktor penyebab pergantian Presiden dan/ ISSN : 2085-4757
Model Pemberhentian Presiden...(Ana Suheri) 115-122
atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, dalam ayat (1) dengan kata “diberhentikan”, dirumuskan dalam konteks adanya upaya konstitusional yang dating dari luar diri Presiden dan/ atau Wakil Presiden. 1 Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut, maka permasalahan yang timbul adalah Bagaimana Model Pemberhentian Presiden Dan Wakil Presiden Di Indonesia? PEMBAHASAN Model Pemberhentian dan/ atau Pergantian Presiden dan Wakil Presiden Menurut Catatan Sejarah Pemimpin Kekuasaan Di Indonesia. Presiden Soekarno Masa 17 Agustus 1966 (Surat Perintah Sebelas Maret). Supersemar bukan sebuah penyerahan kekuasaan, supersemar adalah suatu perintah peng-amanan (perintah pengamanan jalannya pemerintahan dan juga pengamanan keselamatan pribadi Presiden, perintah pengamanan wibawa Presiden, perintah pengamanan ajaran Presiden). Hal mana perintah itu di dimandatkan kepada Jendral Soeharto untuk melaksanakannya. Supersemar adalah catatan sejarah yang tak pernah terbuktikan keabsahannya hingga kini. Isi Supersemar adalah perintah Presiden Sukarno kepada Letjen Soeharto yang secara implisit mengalihkan tanggungjawab kepresidenan. Segera setelah Supersemar keluar, Soeharto mengambil tindakan-tindakan atas nama 1
Kata “diberhentikan” sebelumnya tidak dicantumkan dalam Pasal 8 UUD 1945 (lama). Ketika Presiden Abdurrahman Wahid diberhentikan dari jabatannya dan digantikan oleh Wakil Presiden Megawati
116
Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 7, No 2, Juli 2012
Pemimpin Besar Revolusi seperti menyatakan terlarangnya organisasi PKI termasuk kepada mantan anggota PKI, membuat kabinet baru Kabinet Dwikora, membatasi penyiaran RRI dan TVRI supaya setiap informasi harus atas persetujuan Kepala Pusat Penerangan Angkatan Darat, mengangkat A.H. Nasution sebagai Panglima Komando Ganyang Malaysia (KOGAM). Orde Revolusi Sukarno akhirnya berubah menjadi Orde Baru, dengan kata lain Orde Militer Soeharto. Hingga kini nuansa militer tak pernah lepas dalam tubuh pemerintahan, dari pusat hingga kabupaten/kotamadya, bahkan sampai tingkat kecamatan ataupun kelurahan. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa supersemar adalah sebuah perintah pengamanan bukan suatu penyerahan kekuasaan pemerintahan. Presiden Soeharto (Tuntutan Reformasi) Jika dilihat pendapat Jimly Asshidiqqie pengertian berhenti jika dikaitkan dengan berhentinya Presiden Soeharto dapat diartikan sebagai tindakan atau pernyataan mengundurkan diri sepihak karena alasan-alasan yang dapat dipertanggug jawabkan (tuntutan Reformasi). Tetapi jika dilihat pada Pasal 4 TAP MPR III/MPR/19785, yang berbunyi: Majelis dapat memberhentikan Presiden sebelum habis masa jabatannya, karena: a) Atas permintaan sendiri; b. Berhalangan tetap; c. Sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara. Dalam Pasal 4 TAP MPR Nomor III/MPR/1978 dijelaskan MPR dapat memberhentikan Presiden dengan alasan atas permintaan sendiri. Apakah sama pengertian berhenti pada Pasal 8 UUD 1945 dengan atas permintaan sendiri. Dari Pasal 4 TAP MPR Nomor III/MPR/1978 dapat ditafsirkan bahwa ISSN : 2085-4757
Model Pemberhentian Presiden...(Ana Suheri) 115-122
Presiden dapat berhenti atas permintaan sendiri harus melalui keterlibatan MPR yang dapat berupa adanya permintaan atau permohonan kepada MPR. Jika permintaan dan permohonan itu diterima maka MPR akan memberhentikan Presiden. Sedangkan berhenti menurut Pasal 8 UUD 1945 tidak mengatakan perlu adanya permintaan atau permohonan kepada MPR. Jika dianalisa berhenti dalam Pasal 8 UUD 1945 dengan atas permintaan sendiri dalam Pasal 4 TAP MPR Nomor III/MPR/1973 apakah memiliki subtansi yang sama? Menurut pendapat penulis untuk menjawab pertanyaan tersebut harus dibedakan terlebih dahulu pengertian penggantian dengan pemberhentian. Masa Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Memorandum MPR). Wacana tentang pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid mulai mengemuka ketika namanya dikaitkan dengan adanya kasus dana Yanatera Bulog sebesar Rp 35 miliar pada Mei 2000. Selain kasus itu, kasus lain yang juga terkait dengan pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid adalah soal pertanggungjawaban Dana Sultan Brunei Darussalam sebesar US$ 2 juta yang, menurut beberapa pihak, seharusnya dimasukkan sebagai pendapatan/ penerimaan negara, bukan bersifat pribadi. Kalangan politisi DPR yang berjumlah 236 anggota langsung merespon persoalan ini dengan mengajukan usul penggunaan hak mengadakan penyelidikan. Usul tersebut disetujui oleh DPR RI pada Rapat Paripurna tanggal 28 Agustus 2000 dan secara resmi Panitia Khusus (Pansus) DPR RI mengadakan penyelidikan terhadap kedua kasus tersebut yang dibentuk pada tanggal 5 September 2000. Dalam laporannya kepada Rapat Paripurna DPR 117
Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 7, No 2, Juli 2012
RI, Pansus membuat kesimpulan sebagai berikut: 1) Dalam Kasus dana Yanaterta Bulog, Pansus berpendapat: “patut diduga bahwa presiden abdurahman wahid berperan dalam pencairan dan penggunaan dana yanatera bulog”; 2) dalam kasus dana bantuan sultan brunei darusalam, pansus bependapat: “adanya inkonsistesi pernyataan presiden abdurrahman wahid tentang masalah bantuan sultan brunei darusalam, menunjuk bahwa presiden telah menyampaikan keterangan yang tidak sebenarnya kepada masyarakat”. Berdasarkan laporan hasil kerja pansus sebagaimana dijelaskan di atas dan berdasarkan pendapat fraksi-fraksi, maka Rapat Paripurna DPR-RI ke-36 tanggal 1 Peburuari 2001 memutuskan untuk : a) Menerima dan menyetujui laporan hasil kerja Pansus dan memutuskan untuk untuk ditindaklanjuti dengan menyampaikan Memorandum untuk mengingatkan bahwa Presiden K.H Abdurahman Wahid sungguh melanggar Haluan Negara, yaitu: 1) Melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang sumpah jabatan; 2)Melanggar TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN; 3) Hal-hal yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran hukum, menyerahkan persoalan ini untuk diproses berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Memorandum DPR terhadap Presiden Abdurrahman Wahid menyebutkan adanya dua pelanggaran haluan negara yang dituduhkan, yaitu: a) Melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal mengenai Sumpah Jabatan Presiden; dan b) Melanggar Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
ISSN : 2085-4757
Model Pemberhentian Presiden...(Ana Suheri) 115-122
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Setelah Memorandum itu, disusullah dengan Memorandum Kedua pada tanggal 1 Mei 2001 dan Sidang Istimewa MPR RI pada tanggal 1-7 Agustus 2001 untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid. Menjelang Sidang Istimewa MPR RI yang seharusnya diadakan pada tanggal 1-7 Agustus 2001, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan kebijakan yang kontroversial dan dianggap melanggar peraturan perundangundangan, yaitu memberhentikan Jenderal Polisi S. Bimantoro sebagai Kapolri dan menggantinya dengan Komisaris Jenderal Polisi Chaerussin Ismail. Kebijakan ini dinilai melanggar Pasal 7 ayat (3) Ketetapan MPR No. VI/MPR 2000 yang mengharuskan adanya persetujuan DPR RI untuk pemberhentian dan pengangkatan Kapolri. Oleh karena itu, Sidang Istimewa MPR RI dipercepat menjadi tanggal 21-23 Juli 2001. Selain itu, kebijakan yang juga kontroversial adalah penerbitan Maklumat Presiden Abdurrahman Wahid yang berisi pembekuan MPR RI dan pembekuan Partai Golkar. Pada akhirnya, MPR RI memberhentikan Presiden Abdurrahman Wahid karena dinyatakan sungguhsungguh melanggar haluan negara, yaitu karena ketidakhadiran dan penolakan Presiden Abdurrahman Wahid untuk memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR RI tahun 2001 dan penerbitan Maklumat Presiden Republik Indonesia tanggal 23 Juli 2001. Kesimpulan dari beberapa rangkaian peristiwa penting menuju pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid adalah pertama, Memorandum pertama yang ditetapkan dengan Keputusan DPR-RI Nomor 33/DPR-RI/III/2000-2001 tentang 118
Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 7, No 2, Juli 2012
Penetapan Memorandum DPR-RI kepada Presiden K.H. Abdurrahman Wahid tertanggal 1 Februari 2001. Kedua, Memorandum kedua yang ditetapkan Keputusan DPR-RI Nomor 47/DPRRI/IV/2000-2001 tentang penetapan memorandum yang kedua DPR-RI kepada Presiden K.H.Abdurrahhman Wahid tertanggal 30 April 2001. Ketiga, Sidang Istimewa berdasarkan Keputusan Rapat Paripurna ke-36 tertanggal 1 Februari 2001 yang menyatakan bahwa Presiden K.H. Abdurahman Wahid tidak mengidahkan memorandum kedua. Keempat, diberhentikannya Presiden K.H.Abdurrahman Wahid. Pada masa kekuasaan pemerintahan Abdurrahman Wahid, dalam hal Presiden Abdurrahman yang menurut penilaian DPR sudah sungguh-sungguh melanggar haluan negara, dan karena itu telah diberikan dua kali memorandum, menurut konstitusi dalam arti luas bisa diterima. Begitu pula proses kelanjutannya. Apabila memo II tidak diindahkan dalam satu bulan, tidak bisa tidak, Presiden harus dibawa ke muka Sidang Istimewa MPR atas permintaan DPR untuk dimintai pertanggungjawaban. Perlu dicatat, prosedur ketatanegaraan yang ditempuh saat ini hakikatnya adalah perbaikan dari preseden yang sudah dimulai pada 1967. Ketika itu, DPRGR membuat memorandum untuk langsung memanggil Sidang Istimewa MPRS guna meminta tanggung jawab Presiden Sukarno, tanpa memakai tahapan peringatan seperti memo I dan II. Prosedur itu adalah hasil inovasi untuk mengisi kekosongan hukum ketatanegaraan di masa itu. Pasalnya, dalam kondisi obyektif saat itu, diperlukan pertanggungjawaban presiden sebagaimana dimungkinkan oleh penjelasan UUD 1945, tapi belum ada aturan konstitusionalnya. ISSN : 2085-4757
Model Pemberhentian Presiden...(Ana Suheri) 115-122
Seperti diakui Prof. Dr. Ismail Sunny di beberapa kesempatan, proses memorandum itu adalah karya dia, Dahlan Ranuwihardjo, dan penulis sendiri. Dilihat dari materinya, ketentuan Pasal 7 Tap MPR III/1978 itu pun tidak bertentangan dengan Pasal 8 UUD 1945 karena hakikatnya hanya mengatur tata cara pemberhentian presiden. Pasal 8 UUD 1945 sendiri hanya mengatakan presiden berhenti. Itu dapat berarti diberhentikan atau mengundurkan diri seperti Presiden Soeharto. Jadi, sebetulnya tidak ada tafsir halal-haram antara DPR dan presiden andai kata tidak ada keinginan yang kuat dari orang di sekitar presiden untuk mempertahankan kekuasaan. Keputusan DPR untuk memanggil sidang istimewa, dan MPR kemudian memutuskan, adalah masalah politik yang tidak bisa diadili. Kalau pandangan Harun itu didukung kuat oleh masyarakat dengan menggunakan landasan hukum yang kukuh, barulah diperlukan satu lembaga atau pihak ketiga yang independen untuk menguji atau mengadilinya, yaitu mahkamah konstitusi yang berdiri sendiri. Bisa juga oleh Mahkamah Agung, tapi lagi-lagi diperlukan perubahan UUD lebih dulu untuk memberikan kewenangan tambahan kepada MA. Jalan tengah yang diusulkan Tim Tujuh pembahas memorandum DPR yang dipimpin Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan Susilo Bambang Yudoyono ataupun Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung untuk melimpahkan wewenang presiden kepada wakil presiden. Tidak ada dasar hukumnya dalam konstitusi. Kalau itu dipaksakan, akan berakibat cacat hukum. Model seperti ini bukan saja tidak terdapat dalam UUD, tapi juga tidak dikenal dalam konvensi dan praktek ketatanegaraan selama ini. Di samping itu, diragukan keefektifannya, 119
Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 7, No 2, Juli 2012
mengingat Presiden Abdurrahman tidak bisa diandalkan dalam pelimpahan semacam itu. Hak uji materiil terhadap UUD 1945 tetap ada pada mahkamah konstitusi, tidak bisa dilakukan oleh MPR. Mengapa? Kita bukan negara demokrasi tok, melainkan negara demokrasi konstitusional (rechtstaat). Majelis Permusyawaratan Rakyat memang penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang memegang kekuasaan tertinggi dari kedaulatan rakyat. Tapi salah besar bila karena itu MPR bisa membuat keputusan apa saja atas nama rakyat atau demokrasi. MPR hanya boleh membuat keputusan apa pun dalam framework dan landasan konstitusi yang berlaku. Kalau ada keputusan yang akan dibuat di luar landasan itu, konstitusinya harus diubah dulu dengan kuorum 2/3 anggota dan persetujuan dari 2/3 jumlah yang hadir. Baru setelah itulah MPR dapat mengambil keputusan baru berdasarkan konstitusi yang baru. Mengacu pada Pasal 8 UUD 1945, dapat disimpulkan bahwa hanya ada tiga jalan untuk mengganti kepala negara, yakni jika presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat menjalankan kewajibannya. Karena itu, upaya penggantian presiden melalui tahap memorandum I DPR, memorandum II, dan Sidang Istimewa MPR adalah tak konstitusional. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Pasal 7A dan 7B UUD 1945). Dalam hal pemerintahan pada masa Pemerintahan Sulilo Bambang Yodhoyono, mengenai model pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden semakin rinci telah di jabarkan dalam ketentuan Pasal 7A dan 7B UUD 1945. Presiden dan / atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan ISSN : 2085-4757
Model Pemberhentian Presiden...(Ana Suheri) 115-122
Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan / atau Wakil Presiden. Mekanisme Pemberhentian Presiden Pasca Perubahan UUD 1945. Berbeda dengan sistem presidensil yang dianut sebelum perubahan, menempatkan Presiden di bawah MPR. Karena MPR yang mengangkat Presiden, MPR juga yang dapat memberhentikan Presiden walaupun dengan alasan-alasan politis karena Presiden membuat kebijakan yang melanggar haluan Negara. Jadi sistem ini sebenarnya hampir sama dengan sistem Parlementer yang menganut supremasi parlemen atas eksekutif. Mekanisme pemberhentian Presiden dalam sistem sebelumnya dilakukan dengan usulan Sidang Istimewa dari DPR, setalah DPR menyampaikan Memorandum Pertama dan Kedua kepada Presiden. Atas dasar usulan DPR itu MPR melaksanakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden. Jika Presiden tidak datang memberikan pertanggungjawaban atau pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR, Presiden bisa diberhentikan oleh MPR. Dalam proses ini tidak ada pembuktian yuridis oleh institusi peradilan (yudikatif) untuk memberikan penilaian secara hukum atas kesalahan Presiden itu. Dalam sistem baru pasca perubahan UUD, Presiden tidak dapat diberhentikan hanya karena alasan-alasan politis. Presiden hanya dapat diberhentikan dalam hal Presiden atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum yang berupa, 120
Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 7, No 2, Juli 2012
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya serta perbuatan tercela dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden (pasal 7A). Demikian juga mekanisme pemberhentian Presiden harus menempuh mekanisme yang sulit dan panjang, yaitu melalui pengkajian dan penyelidikan yang dilakukan oleh DPR yang menghasilkan pendapat berupa keputusan DPR yang mengusulkan pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden kepada MPR. Sebelum proses pengajuan ke MPR, DPR harus terlebih dahulu meminta putusan kepada Mahkamah Konstitusi apakah secara yuridis pendapat DPR ini dibenarkan atau tidak. Jika secara yuridis usulan DPR tidak berdasar, maka usulan pemberhentian itu tidak dapat dilanjutkan. Sebaliknya kalau secara yuridis benar, maka DPR melanjutkan usulan itu kepada MPR untuk memutuskannya. Atas pertimbangannya sendiri MPR dapat memberhentikan atau tidak memberhentikan Presiden berdasar jumlah dukungan suara anggota MPR. Logikanya, jika usulan pemberhentian tersebut telah mendapat dukungan kuat dari anggota DPR, maka dapat dipastikan akan mendapat dukungan kuat dari MPR, karena lebih dari duapertiga anggota MPR adalah anggota DPR. PENUTUP Pemberhentian Presiden dan /atau Wakil Presiden diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan ISSN : 2085-4757
Model Pemberhentian Presiden...(Ana Suheri) 115-122
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan atau pendapat bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan / atau Wakil Presiden. Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan / atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan dengan seadiladilnya terhadap Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi. Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela; dan /atau terbukti bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan / atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh 121
Jurnal Ilmu Hukum, Jilid 7, No 2, Juli 2012
Model Pemberhentian Presiden...(Ana Suheri) 115-122
hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut. Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan / atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat. PUSTAKA ACUAN Jimly Asshiddiqie. 2000. Pemberhentian dan Penggantian Presiden. Jakarta: Pusat Studi HTN. Harun Alrasid. 1999. Pengisian Jabatan Presiden. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Nimatul Huda. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Sudikno Mertokusumo. 1999. Mengenal Hukum, Cet. 2. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.
ISSN : 2085-4757
122