4 " Page
MENGKAJI KONSEP TUHAN DALAM BERBAGAI AGAMA
Written by Imam Nawawi Friday, 15 January 2010 00:17
Konsep Tuhan merupakan konsep yang sangat mendasar bagi setiap agama yang ada. Dari sinilah lahir konsep tentang manusia, kenabian, wahyu dan juga konsep-konsep yang lainnya.
Oleh : Nurhadi*
Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (QS. Al Ikhlas 1-4)
Konsep Tuhan merupakan konsep yang sangat mendasar bagi setiap agama yang ada. Dari sinilah lahir konsep tentang manusia, kenabian, wahyu dan juga konsep-konsep yang lainnya. Berikut merupakan hasil kajian dan diskusi ilmiah LDK STAIL, Kamis (13/01) 2010 tentang konsep Tuhan dalam Agama-agama, Filsafat dan Islam oleh pembicara Ust. Sohibul Anwar, M.H.I.
Konsep Tuhan dalam Agama Hindu tidaklah pasti. Mereka ada yang percaya pantheisme, monotheisme, politheisme, dan bahkan atheism. Kaum Hindu Bali biasa menyebut Tuhan mereka dengan panggilan " Ida Sang Hyang Widhi Wasa" atau Brahman. Sedang panggilan Sang Hyang Widhi yang terkenal dengan sebutan "Timurti" yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa [ IB Suparta Ardhana, Sejarah Perkembangan Agama Hindu, (Denpasar: Paramita, 2002)] konsep Trimurti ini sama dengan konsep Trinitas yang mempercayai Tuhan itu tiga tapi satu.
Dalam Agama Budha Tuhan tidak bernama. Buddha tidak menyebutkan nama Tuhannya dengan sebutan tertentu. Tapi mereka mnyakini bahwa Tuhan itu Sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak dijelmakan, tidak diciptakan, Yang Mutlak. Tuhan Yang Maha Esa di dalam agama Buddha adalah Anatman (Tanpa Aku), suatu yang tidak berpribadi, suatu yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. [Priastana, Be Buddhist Be Happy, (Jakarta: Yasodhara Puteri Jakarta, 2005)]
Pada Agama Yahudi, hingga kini, masih belum menemukan dan berspekulasi tentang nama Tuhan mereka. Dalam konsep Judaism (agama Yahudi), nama Tuhan tidak dapat diketahui dengan pasti. Kaum Yahudi modern hanya menduga-duga, bahwa nama Tuhan mereka adalah Yahweh. Harold Bloom, dalam buku terkenalnya, Jesus and Yahweh, juga menulis, bahwa YHWH adalah nama Tuhan Israel yang tidak pernah bisa diketahui bagaimana mengucapkannya: "The fourletter YHWH is God's proper name in the Hebrew Bible, where it appears some six thousand times. How the name was pronounced we never will know." Sehingga setiap kali terdapat kata YHWH dalam Alkitab, orang Yahudi membacanya dengan kata Adonay (Tuhan) "
Konsep Kristen tentang Tuhan juga beragam, nama Tuhan disesuaikan dengan tradisi dan budaya setempat. Di Timur Tengah, kaum Kristen menyebut "Alloh" sama dengan orang Islam; di Indonesia melafazkan nama Tuhannya menjadi "Allah"; dan di Barat kaum Kristen menyebut Tuhan mereka dengan "God" atau "Lord".
Tahun 1999, muncul kelompok Kristen yang menamakan dirinya "Iman Taqwa Kepada Shirathal Mustaqim" (ITKSM) yang melakukan kampanye agar kaum Kristen menghentikan penggunaan lafaz Allah. Kelompok ini kemudian mengganti nama menjadi Bet Yesua Hamasiah (BYH). Kitab Bibel versi BYH ini mengganti kata "Allah" menjadi "Eloim", kata "TUHAN" diganti menjadi "YAHWE"; kata"Yesus" diganti dengan "Yesua", dan "Yesus Kristus" diubah menjadi "Yesua Hamasiah".
Jika dikaji mendalam sebenarnya banyak kejanggalan konsep Tuhan dalam Kristen. Pertama, doktrin Kristen terhadap sain. Contohnya kasus Gali Galileo mengenai bumi itu pusat tata surya atau bukan. Kedua, konsep Trinitas yang membingungkan. Ketiga, permalahan siapakah Yesus itu apakah tuhan atau anak tuhan
Konsepsi Tuhan menurut filsafat banyak dipengaruhi pemikiran Ariestoteles yang berpendapat "Saya berfikir maka saya ada". Saya berfikir Tuhan itu ada maka Tuhan itu ada Jadi jika saya tidak berfikir maka saya tidak ada dan jika saya berfikir tuhan itu tidak ada maka tuhan tidak ada. Ini adalah pemikiran yang rancu. Apakah ketika saya berfikir di samping ada donat maka secara nyata aka nada donat.
Tuhan, dalam Islam, dikenal dengan nama Allah. Lafaz 'Allah'الله dibaca dengan bacaan yang tertentu. Kata "Allah" tidak boleh diucapkan sembarangan, tetapi harus sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah saw – maka kaum Muslimin tidak menghadapi masalah dalam penyebutan nama Tuhan. Umat Islam juga tidak berbeda pendapat tentang nama Tuhan, bahwa nama Tuhan yang sebenarnya ialah Allah. Dengandemikian, "nama Tuhan", yakni "Allah" juga bersifat otentik dan final. Umat Islam tidak melakukan 'spekulasi filosofis' untuk menyebut nama Allah, karena nama itu sudah dikenalkan langsung oleh Allah SWT, melalui al-Quran, dan diajarkan langsung cara melafalkannya oleh Nabi Muhammad saw.
Allah adalah nama diri (propoer name) yang dipergunakan untuk memperkenalkan dirinya kepada makhluknya. Walaupun nama "Allah" sudah digunakan oleh musyrik Arab maupun kaum Kristen. Bahkan baru-baru ini di Malaysia terjadi perdebata yang sengit mengenai boleh tidaknya penggunaan Nama Allah bagi Kristen. Bagi mereka Allah adalah salah satu tuhan dari sekian Tuhan yang ada bagi mereka
Allah dalam Islam sudah dibersihkan konsepnya dari unsur-unsur syirik, seperti dipahami oleh kaum Kristen dan musyrik Arab. Bukan salah satu tuhan di antara tuhantuhab yang ada. Karena itu, bisa dipahami, untuk mengenal Allah secara murni (tauhid), maka tidak bisa tidak harus mengakui kenabian Muhammad saw. Sebab, Nabi Muhammad saw adalah utusan Allah terakhir, yang bertugas menjelaskan siapa Allah, nama dan sifat-saifat-Nya,dan cara untuk beribadah kepadaNya.
Terlebih konsepsi Islam tentang Tuhan, mempunyai tiga dimensi tauhid. Pertama, Tauhid Rububiyah yang mengakui adanya pencipta alam semesta dan iman kepada takdir Allah, kedua, tauhid Uluhiyah yang harus tunduk taat beribadah hanya kepada Allah saja dengan Ikhlas dan ittiba kepada Rasul. dan tauhid Asma wa Sifat yang menyakini bahwa Allah mempunyai nama dan sifat yang layak baginya (istbat) dan menolak nama-nama yang tidak sesuai dengan Allah (nafyu). Sehingga dalam menyembah kepada tuhan tidak sekedar diimani sebagai rurubiyah saja melainkan dengan tiga dimensi tadi.
*Penulis adalah Anggota Kesatuan Mandiri Syabab Hidayatullah STAIL Surabaya
Diakses dari: http://syababhidayatullah.or.id/artikel/opini/703-mengkaji-konsep-tuhan-dalam-berbagai-agama
Konsep Ketuhanan dalam Agama Hindui
Wujud Tuhan
Pertanyaan awal yang menarik terkait dengan agama Hindu: Apakah Tuhan Agama Hindu mempunyai wujud? Hal ini terkait dalam sistem pemujaan agama Hindu para pemeluknya membuat bangunan suci, arca (patung-patung), pratima, pralinga, mempersembahkan bhusana, sesajen dan lain-lain. Hal ini menimbulkan prasangka dan tuduhan yang bertubi-tubi dengan mengatakan umat Hindu menyembah berhala.
Penjelasan lebih lanjut tentang pelukisan Tuhan dalam bentuk patung adalah suatu cetusan rasa cinta (bhakti). Sebagaimana halnya jika seorang pemuda jatuh cinta pada kekasihnya, sampai tingkat madness (tergila-gila) maka bantal gulingpun dipeluknya erat-erat, diumpamakan kekasihnya., diapun ingin mengambarkan kekasihnya itu dengan sajak-sajak yang penuh dengan perumpamaan. Begitu pula dalam peribadatan membawa sajen (yang berisi makanan yang lezat dan buah-buahan) ke Pura, apakah berarti Tuhan umat Hindu seperti manusia, suka makan yang enak-enak? Pura dihias dan diukir sedemikian indah, apakah Tuhan umat Hindu suka dengan seni? Tentu saja tidak. Semua sajen dan kesenian ini hanyalah sebagai alat untuk mewujudkan rasa bhakti kepada Tuhan.
Brahman/Tuhan Yang Maha Esa
Tuhan dalam agama Hindu sebagaimana yang disebutkan dalam Weda adalah Tuhan tidak berwujud dan tidak dapat digambarkan, bahkan tidak bisa dipikirkan. Dalam bahasa Sanskerta keberadaan ini disebut Acintyarupa yang artinya: tidak berwujud dalam alam pikiran manusia. Tuhan Yang Maha Esa ini disebut dalam beberapa nama, antara lain:
* Brahman: asal muasal dari alam semesta dan segala isinya
* Purushottama atau Maha Purusha
* Iswara (dalam Weda)
* Parama Ciwa (dalam Whraspati tatwa)
* Sanghyang Widi Wasa (dalam lontar Purwabhumi Kemulan)
* Dhata: yang memegang atau menampilkan segala sesuatu
* Abjayoni: yang lahir dari bunga teratai
* Druhina: yang membunuh raksasa
* Viranci: yang menciptakan
* Kamalasana: yang duduk di atas bunga teratai
* Srsta: yang menciptakan
* Prajapati: raja dari semua makhluk/masyarakat
* Vedha: ia yang menciptakan
* Vidhata: yang menjadikan segala sesuatu
* Visvasrt: ia yang menciptakan dunia
* Vidhi: yan menciptakan atau yang menentukan atau yang mengadili.
Tuhan Yang Maha Esa ini apapun namaNya digambarkan sebagai:
· Beliau yang merupakan asal mula. Pencipta dan tujuan akhir dari seluruh alam semesta
· Wujud kesadaran agung yang merupakan asal dari segala yang telah dan yang akan ada
· Raja di alam yang abadi dan juga di bumi ini yang hidup dan berkembang dengan makanan
· Sumber segalanya dan sumber kebahagiaan hiudp
· Maha suci tidak ternoda
· Mengatasi segala kegelapan, tak termusnahkan, maha cemerlang, tiada terucapkan, tiada duanya.
· Absolut dalam segala-galanya, tidak dilahirkan karena Beliau ada dengan sendirinya (swayambhu)
Penggambaran tentang Tuhan Yang Maha Esa ini, meskipun telah berusaha menggambarkan Tuhan semaksimal mungkin, tetap saja sangat terbatas. Oleh karena itu kitab-kitab Upanisad menyatakan definisi atau pengertian apapun yang ditujukan untuk memberikan batasan kepada Tuhan Yang Tidak Terbatas itu tidaklah menjangkau kebesaranNya. Sehingga kitab-kitab Upanisad menyatakan tidak ada definsi yang tepat untukNya, Neti-Neti (Na + iti, na + iti), bukan ini, bukan ini.
Untuk memahami Tuhan, maka tidak ada jalan lain kecuali mendalami ajaran agama, memohon penjelasan para guru yang ahli di bidangnya yang mampu merealisasikan ajaran ketuhanan dalam kehidupan pribadinya. Sedangkan kitab suci Veda dan temasuk kitab-kitab Vedanta (Upanisad) adalah sumber yang paling diakui otoritasnya dalam menjelaskan tentang Brahman (Tuhan Yang Maha Esa).
Brahman memiliki 3 aspek:
1. Sat: sebagai Maha Ada satu-satunya, tidak ada keberadaan yang lain di luar beliau
Dengan kekuatanNya Brahman telah menciptakan bermacam-macam bentuk, warna, serta sifat banyak di alam semesta ini. Planet, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan serta benda yang disebut benda mati berasal dari Tuhan dan kembali pada Tuhan bila saatnya pralaya tiba. Tidak ada satupun benda-benda alam semesta ini yang tidak bisa bersatu kembali dengan Tuhan, karena tidak ada barang atau zat lain di alam semesta ini selain Tuhan.
2. Cit: sebagai Maha Tahu
Beliaulah sumber ilmu pengetahuan, bukan pengetahuan agama, tetapi sumber segala pengetahuan. Dengan pengetahuan maka dunia ini menjadi berkembang dan berevolusi, dari bentuk yang sederhana bergerak menuju bentuk yang sempurna. Dari avidya (absence of knowledge- kekurangtahuan) menuju vidya atau maha tahu.
3. Ananda
Ananda adalah kebahagiaan abadi yang bebas dari penderitaan dan suka duka. Maya yang diciptakan Brahman menimbulkan illusi, namun tidak berpengaruh sedikitpun terhadap kebahagiaan Brahman. Pada hakikatnya semua kegembiraan, kesukaran, dan kesenangan yang ada, yang ditimbulkan oleh materi bersumber pula pada Ananda ini bersumber pula pada Ananda ini, bedanya hanya dalam tingkatan. Kebahagiaan yang paling rendah ialah berwujud kenikmatan instingtif yang dimiliki oleh binatang pada waktu menyantap makanan dan kegiatan sex. Tingkatan yang lebih tinggi ialah kesenangan yang bersifat sementara yang kemudian disusul duka. Tingkatan yang tertinggi adalah suka tan pawali duhka, kebahagian abadi, bebas dari daya tarik atau kemelekatan terhadap benda-benda duniawi.
Alam semesta ini adalah fragmenNya Tuhan. Brahman memiliki prabawa sebagai asal mula dari segala yang ada. Brahman tidak terbatas oleh waktu tempat dan keadaan. Waktu dan tempat adalah kekuatan Maya (istilah sansekerta untuk menamakan sesuatu yang bersifat illusi, yakni keadaan yang selalu berubah baik nama maupun bentuk bergantung dari waktu, tempat dan keadaan) Brahman.
Jiwa atau atma yang menghidupi alam ini dari makhluk yang terendah sampai manusia yang tersuci adalah unsur Brahman yang lebih tinggi. Adapun bnda-benda (materi) di alam semesta ini adalah unsur Brahman yang lebih rendah. Walaupun alam semesta merupakan ciptaan namun letaknya bukan di luar Brahman melainkan di dalam tubuh Brahman.
Devata atau Deva
Prasangka banyak orang yang menganggap konsep teologis Hindu adalah politeistik berangkat dari pemahaman yang salah tentang Deva. Deva adalah sesuatu yang memancar dari Tuhan Yang Maha Esa. Beraneka Deva itu adalah untuk memudahkan membayangkanNya.
Dewa-dewa atau devata digambarkan dalam berbagai wujud, yang menampakkan diri sebagai yang personal, yang berpribadi dan juga yang tidak berpribadi. Yang Berpribadi dapat kita amati keterangan tentang dewa Indra, Vayu, Surya, Garutman, Ansa yang terbang beas di angkasa, dan sebagainya. Sedang Yang Tidak Berpribadi, antara lain sebagai Om (Omkara/Pranava), Sat, Tat, dan lain-lain.
Dalam kitab suci Rgveda seperti halnya Atharvaveda disebutkan jumlah dewa-dewa itu sebanyak 33 dewa. Bila kita membaca mantram-mantram lainnya dari kitab suci Rgveda ternyata jumlah Dewa-dewa sebanyak 3339
Personal God dan Impersonal God
Tuhan menurut monotheisme transenden digambarkan dalam wujud personal. Sedangkan menurut monotheisme Immanent, Tuhan Yang Maha Esa selalu digambarkan impersonal. Memang menyembah Tuhan impersonal tanpa mempergunakan sarana jauh lebih sulit dibandingkan dengan menyembah Tuhan personal melalui Bhakti dan Karma Marga.
Tuhan Yang Maha Esa di dalam Veda digambarkan sebagai Personal God, dapat dibagi menjadi tiga kategori:
1. Penggambaran Antrophomorphic: sebagai manusia dengan berbagai kelebihan seperti bermata seribu, berkaki tiga, bertangan empat dan sebagainya.
2. Penggambaran Semianthrophomorphic: sebagai setengah manusia atau setengah binatang. Hal ini lebih menonjol dalam kitab-kitab Purana seperti dewa Ganesha (manusia berkepala gajah), Hayagriwa (manusia berkepala kuda, dan sebagainya.
3. Penggambaran Unantrophomorphic: tidak sebagai manusia melainkan sebagai binatang saja, misalnya Garutman (Garuda), sebagai tumbuh-tumbuhan, misalnya Soma dan lain-lain.
Referensi:
Cudami. 1989. Pengantar Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi. Yayasan Dharma Sarathi: Jakarta
Titib, I Made. 2003. Teologi & Simbol-Simbol dalam Agama Hindu. Penerbit Paramita: Surabaya.
This entry was posted in Biography, Filsafat. Bookmark the permalink.
Diakses dari: http://grelovejogja.wordpress.com/2008/10/17/konsep-ketuhanan-dalam-agama-hindu/
Agama Hindu
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Agama Hindu (Bahasa Sanskerta: Sanātana Dharma सनातन धर्म "Kebenaran Abadi" [1]), dan Vaidika-Dharma ("Pengetahuan Kebenaran") adalah sebuah agama yang berasal dari anak benua India. Agama ini merupakan lanjutan dari agama Veda (Brahmanisme) yang merupakan kepercayaan bangsa Indo-Iran (Arya). Agama ini diperkirakan muncul antara tahun 3102 SM sampai 1300 SM dan merupakan agama tertua di dunia yang masih bertahan hingga kini.[2][3] Agama ini merupakan agama ketiga terbesar di dunia setelah agama Kristen dan Islam dengan jumlah umat sebanyak hampir 1 milyar jiwa.[4]
Penganut agama Hindu sebagian besar terdapat di anak benua India. Di sini terdapat sekitar 90% penganut agama ini. Agama ini pernah tersebar di Asia Tenggara sampai kira-kira abad ke-15, lebih tepatnya pada masa keruntuhan Majapahit. Mulai saat itu agama ini digantikan oleh agama Islam dan juga Kristen. Pada masa sekarang, mayoritas pemeluk agama Hindu di Indonesia adalah masyarakat Bali, selain itu juga yang tersebar di pulau Jawa,Lombok, Kalimantan (Suku Dayak Kaharingan), Sulawesi (Toraja dan Bugis - Sidrap).
Etimologi
Dalam bahasa Persia, kata Hindu berakar dari kata Sindhu (Bahasa Sanskerta). [5] Dalam Reg Veda, bangsa Arya menyebut wilayah mereka sebagai Sapta Sindhu (wilayah dengan tujuh sungai di barat daya anak benua India, yang salah satu sungai tersebut bernama sungai Indus). Hal ini mendekati dengan kata Hapta-Hendu yang termuat dalam Zend Avesta (Vendidad: Fargard 1.18) — sastra suci dari kaum Zoroaster di Iran. Pada awalnya kata Hindu merujuk pada masyarakat yang hidup di wilayah sungai Sindhu.
Keyakinan dalam Hindu
Hindu seringkali dianggap sebagai agama yang beraliran politeisme karena memuja banyak Dewa, namun tidaklah sepenuhnya demikian. Dalam agama Hindu, Dewa bukanlah Tuhan tersendiri. Menurut umat Hindu, Tuhan itu Maha Esa tiada duanya. Dalam salah satu ajaran filsafat Hindu, Adwaita Wedanta menegaskan bahwa hanya ada satu kekuatan dan menjadi sumber dari segala yang ada (Brahman), yang memanifestasikan diri-Nya kepada manusia dalam beragam bentuk.
Dalam Agama Hindu ada lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan Pancasradha. Pancasradha merupakan keyakinan dasar umat Hindu. Kelima keyakinan tersebut, yakni:
Widhi Tattwa - percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala aspeknya
Atma Tattwa - percaya dengan adanya jiwa dalam setiap makhluk
Karmaphala Tattwa - percaya dengan adanya hukum sebab-akibat dalam setiap perbuatan
Punarbhava Tattwa - percaya dengan adanya proses kelahiran kembali (reinkarnasi)
Moksa Tattwa - percaya bahwa kebahagiaan tertinggi merupakan tujuan akhir manusia
Konsep ketuhanan
Agama Hindu merupakan agama tertua di dunia dan rentang sejarahnya yang panjang menunjukkan bahwa agama Hindu telah melewati segala paham ketuhanan yang pernah ada di dunia.[9] Menurut penelitian yang dilakukan oleh para sarjana, dalam tubuh Agama Hindu terdapat beberapa konsep ketuhanan, antara lain henoteisme, panteisme, monisme, monoteisme, politeisme, dan bahkan ateisme. Konsep ketuhanan yang paling banyak dipakai adalah monoteisme (terutama dalam Weda, Agama Hindu Dharma dan Adwaita Wedanta), sedangkan konsep lainnya (ateisme, panteisme, henoteisme, monisme, politeisme) kurang diketahui. Sebenarnya konsep ketuhanan yang jamak tidak diakui oleh umat Hindu pada umumnya karena berdasarkan pengamatan para sarjana yang meneliti agama Hindu tidak secara menyeluruh.
Monoteisme
Dalam agama Hindu pada umumnya, konsep yang dipakai adalah monoteisme. Konsep tersebut dikenal sebagai filsafat Adwaita Wedanta yang berarti "tak ada duanya". Selayaknya konsep ketuhanan dalam agama monoteistik lainnya, Adwaita Wedanta menganggap bahwa Tuhan merupakan pusat segala kehidupan di alam semesta, dan dalam agama Hindu, Tuhan dikenal dengan sebutan Brahman.
Dalam keyakinan umat Hindu, Brahman merupakan sesuatu yang tidak berawal namun juga tidak berakhir. Brahman merupakan pencipta sekaligus pelebur alam semesta. Brahman berada di mana-mana dan mengisi seluruh alam semesta. Brahman merupakan asal mula dari segala sesuatu yang ada di dunia. Segala sesuatu yang ada di alam semesta tunduk kepada Brahman tanpa kecuali. Dalam konsep tersebut, posisi para dewa disetarakan dengan malaikat dan enggan untuk dipuja sebagai Tuhan tersendiri, melainkan dipuji atas jasa-jasanya sebagai perantara Tuhan kepada umatnya.
Filsafat Adwaita Wedanta menganggap tidak ada yang setara dengan Brahman, Sang pencipta alam semesta. Dalam keyakinan umat Hindu, Brahman hanya ada satu, tidak ada duanya, namun orang-orang bijaksana menyebutnya dengan berbagai nama sesuai dengan sifatnya yang maha kuasa. Nama-nama kebesaran Tuhan kemudian diwujudkan ke dalam beragam bentuk Dewa-Dewi, seperti misalnya: Wisnu, Brahma, Siwa, Laksmi, Parwati, Saraswati, dan lain-lain. Dalam Agama Hindu Dharma (khususnya di Bali), konsep Ida Sang Hyang Widhi Wasa merupakan suatu bentuk monoteisme asli orang Bali.
Panteisme
Dalam salah satu Kitab Hindu yakni Upanishad, konsep yang ditekankan adalah panteisme. Konsep tersebut menyatakan bahwa Tuhan tidak memiliki wujud tertentu maupun tempat tinggal tertentu, melainkan Tuhan berada dan menyatu pada setiap ciptaannya, dan terdapat dalam setiap benda apapun[10], ibarat garam pada air laut. Dalam agama Hindu, konsep panteisme disebut dengan istilah Wyapi Wyapaka. Kitab Upanishad dari Agama Hindu mengatakan bahwa Tuhan memenuhi alam semesta tanpa wujud tertentu, beliau tidak berada di surga ataupun di dunia tertinggi namun berada pada setiap ciptaannya.
Ateisme
Agama Hindu diduga memiliki konsep ateisme (terdapat dalam ajaran Samkhya) yang dianggap positif oleh para teolog/sarjana dari Barat. Samkhya merupakan ajaran filsafat tertua dalam agama Hindu yang diduga menngandung sifat ateisme. Filsafat Samkhya dianggap tidak pernah membicarakan Tuhan dan terciptanya dunia beserta isinya bukan karena Tuhan, melainkan karena pertemuan Purusha dan Prakirti, asal mula segala sesuatu yang tidak berasal dan segala penyebab namun tidak memiliki penyebab[11]. Oleh karena itu menurut filsafat Samkhya, Tuhan tidak pernah campur tangan. Ajaran filsafat ateisme dalam Hindu tersebut tidak ditemui dalam pelaksanaan Agama Hindu Dharma di Indonesia, namun ajaran filsafat tersebut (Samkhya) merupakan ajaran filsafat tertua di India. Ajaran ateisme dianggap sebagai salah satu sekte oleh umat Hindu Dharma dan tidak pernah diajarkan di Indonesia.
Konsep lainnya
Di samping mengenal konsep monoteisme, panteisme, dan ateisme yang terkenal, para sarjana mengungkapkan bahwa terdapat konsep henoteisme, politeisme, dan monisme dalam ajaran agama Hindu yang luas. Ditinjau dari berbagai istilah itu, agama Hindu paling banyak menjadi objek penelitian yang hasilnya tidak menggambarkan kesatuan pendapat para Indolog sebagai akibat berbedanya sumber informasi. Agama Hindu pada umumnya hanya mengakui sebuah konsep saja, yakni monoteisme. Menurut pakar agama Hindu, konsep ketuhanan yang banyak terdapat dalam agama Hindu hanyalah akibat dari sebuah pengamatan yang sama dari para sarjana dan tidak melihat tubuh agama Hindu secara menyeluruh[12]. Seperti misalnya, agama Hindu dianggap memiliki konsep politeisme namun konsep politeisme sangat tidak dianjurkan dalam Agama Hindu Dharma dan bertentangan dengan ajaran dalam Weda.
Meskipun banyak pandangan dan konsep Ketuhanan yang diamati dalam Hindu, dan dengan cara pelaksanaan yang berbeda-beda sebagaimana yang diajarkan dalam Catur Yoga, yaitu empat jalan untuk mencapai Tuhan, maka semuanya diperbolehkan. Mereka berpegang teguh kepada sloka yang mengatakan:
"
Jalan mana pun yang ditempuh manusia kepada-Ku, semuanya Aku terima dan Aku beri anugerah setimpal sesuai dengan penyerahan diri mereka. Semua orang mencariku dengan berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna)[13]
"
Pustaka suci
Ajaran agama dalam Hindu didasarkan pada kitab suci atau susastra suci keagamaan yang disusun dalam masa yang amat panjang dan berabad-abad, yang mana di dalamnya memuat nilai-nilai spiritual keagamaan berikut dengan tuntunan dalam kehidupan di jalan dharma. Di antara susastra suci tersebut, Weda merupakan yang paling tua dan lengkap, yang diikuti dengan Upanishad sebagai susastra dasar yang sangat penting dalam mempelajari filsafat Hindu. Sastra lainnya yang menjadi landasan penting dalam ajaran Hindu adalah Tantra, Agama dan Purana serta kedua Itihasa (epos), yaitu Ramayana dan Mahabharata. Bhagawadgita adalah ajaran yang dimuat dalam Mahabharata, merupakan susastra yang dipelajari secara luas, yang sering disebut sebagai ringkasan dari Weda.
Hindu meliputi banyak aspek keagamaan, tradisi, tuntunan hidup, serta aliran/sekte. Umat Hindu meyakini akan kekuasaan Yang Maha Esa, yang disebut dengan Brahman dan memuja Brahma, Wisnu atau Siwa sebagai perwujudan Brahman dalam menjalankan fungsi sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur alam semesta.
Secara umum, pustaka suci Hindu dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok kitab Sruti dan kelompok kitab Smerti.
Sruti berarti "yang didengar" atau wahyu. Yang tergolong kitab Sruti adalah kitab-kitab yang ditulis berdasarkan wahyu Tuhan, seperti misalnya Weda, Upanishad, dan Bhagawadgita. Dalam perkembangannya, Weda dan Upanishad terbagi lagi menjadi bagian yang lebih kecil, seperti misalnya Regweda dan Isopanishad. Kitab Weda berjumlah empat bagian sedangkan kitab Upanishad berjumlah sekitar 108 buah.
Smerti berarti "yang diingat" atau tradisi. Yang tergolong kitab Smerti adalah kitab-kitab yang tidak memuat wahyu Tuhan, melainkan kitab yang ditulis berdasarkan pemikiran dan renungan manusia, seperti misalnya kitab tentang ilmu astronomi, ekonomi, politik, kepemimpinan, tata negara, hukum, sosiologi, dan sebagainya. Kitab-kitab smerti merupakan penjabaran moral yang terdapat dalam kitab Sruti.
Weda
Weda merupakan kitab suci yang menjadi sumber segala ajaran agama Hindu. Weda merupakan kitab suci tertua di dunia karena umurnya setua umur agama Hindu. Weda berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari kata vid yang berarti "tahu". Kata Weda berarti "pengetahuan". Para Maha Rsi yang menerima wahyu Weda jumlahnya sangat banyak, namun yang terkenal hanya tujuh saja yang disebut Saptaresi.
Ayat-ayat yang diturunkan oleh Tuhan kepada para Maha Rsi tersebut tidak terjadi pada suatu zaman yang sama dan tidak diturunkan di wilayah yang sama. Resi yang menerima wahyu juga tidak hidup pada masa yang sama dan tidak berada di wilayah yang sama dengan resi lainnya, sehingga ribuan ayat-ayat tersebut tersebar di seluruh wilayah India dari zaman ke zaman, tidak pada suatu zaman saja. Agar ayat-ayat tersebut dapat dipelajari oleh generasi seterusnya, maka disusunlah ayat-ayat tersebut secara sistematis ke dalam sebuah buku. Usaha penyusunan ayat-ayat tersebut dilakukan oleh Bagawan Byasa atau Krishna Dwaipayana Wyasa dengan dibantu oleh empat muridnya, yaitu: Bagawan Pulaha, Bagawan Jaimini, Bagawan Wesampayana, dan Bagawan Sumantu.
Setelah penyusunan dilakukan, ayat-ayat tersebut dikumpulkan ke dalam sebuah kitab yang kemudian disebut Weda. Sesuai dengan isinya, Weda terbagi menjadi empat, yaitu: Regweda Samhita, Ayurweda Samhita, Samaweda Samhita, Atharwaweda Samhita. Keempat kitab tersebut disebut "Caturweda Samhita". Selain keempat Weda tersebut, Bhagawadgita yang merupakan intisari ajaran Weda disebut sebagai "Weda yang kelima".
Karakteristik
Dalam agama Hindu, seorang umat berkontemplasi tentang misteri Brahman dan mengungkapkannya melalui mitos yang jumlahnya tidak habis-habisnya dan melalui penyelidikan filosofis. Mereka mencari kemerdekaan dari penderitaan manusia melalui praktik-praktik askese atau meditasi yang mendalam, atau dengan mendekatkan diri kepada Tuhan melalui cinta kasih, bakti dan percaya (Sradha).
Umat Hindu juga menyebut agamanya sebagai Sanatana Dharma yang artinya Dharma yang kekal abadi.
Menurut kepercayaan para penganutnya, ajaran Hindu langsung diajarkan oleh Tuhan sendiri, yang turun atau menjelma ke dunia yang disebut Awatara. Misalnya Kresna, adalah penjelmaan Tuhan ke dunia pada zaman Dwaparayuga, sekitar puluhan ribu tahun yang lalu[14]. Ajaran Kresna atau Tuhan sendiri yang termuat dalam kitab Bhagawadgita, adalah kitab suci Hindu yang utama. Bagi Hindu, siapapun berhak dan memiliki kemampuan untuk menerima ajaran suci atau wahyu dari Tuhan asalkan dia telah mencapai kesadaran atau pencerahan. Oleh sebab itu dalam agama Hindu wahyu Tuhan bukan hanya terbatas pada suatu zaman atau untuk seseorang saja. Bahwa wahyu Tuhan yang diturunkan dari waktu ke waktu pada hakekatnya adalah sama, yaitu tentang kebenaran, kasih sayang, kedamaian, tentang kebahagiaan yang kekal abadi, tentang hakekat akan diri manusia yang sebenarnya dan tentang dari mana manusia lahir dan mau ke mana manusia akan pergi, atau apa tujuan yang sebenarnya manusia hidup ke dunia.
Enam filsafat Hindu
Terdapat dua kelompok filsafat India, yaitu Astika dan Nastika. Nastika merupakan kelompok aliran yang tidak mengakui kitab Weda, sedangkan kelompok Astika sebaliknya. Dalam Astika, terdapat enam macam aliran filsafat. Keenam aliran filsafat tersebut yaitu: Nyaya, Waisasika, Samkhya, Yoga, Mimamsa, dan Wedanta. Ajaran filsafat keenam aliran tersebut dikenal sebagai Filsafat Hindu.
Terdapat enam Astika (filsafat Hindu) — institusi pendidikan filsafat ortodok yang memandang Weda sebagai dasar kemutlakan dalam pengajaran filsafat Hindu — yaitu: Nyāya, Vaisheṣhika, Sāṃkhya, Yoga, Mīmāṃsā (juga disebut dengan Pūrva Mīmāṃsā), dan Vedānta (juga disebut dengan Uttara Mīmāṃsā) ke-enam sampradaya ini dikenal dengan istilah Sad Astika Darshana atau Sad Darshana. Diluar keenam Astika diatas, terdapat juga Nastika, pandangan Heterodok yang tidak mengakui otoritas dari Weda, yaitu: Buddha, Jaina dan Carvaka.
Meski demikian, ajaran filsafat ini biasanya dipelajari secara formal oleh para pakar, pengaruh dari masing-masing Astika ini dapat dilihat dari sastra-sastra Hindu dan keyakinan yang dipegang oleh pemeluknya dalam kehidupan sehari-hari.
Konsep Hindu
Hindu memiliki beragam konsep keagamaan yang diterapkan sehari-hari. Konsep-konsep tersebut meliputi pelaksanaan yajña, sistem Catur Warna (kasta), pemujaan terhadap Dewa-Dewi, Trihitakarana, dan lain-lain.
Dewa-Dewi Hindu
Dalam ajaran agama Hindu, Dewa adalah makhluk suci, makhluk supernatural, penghuni surga, setara dengan malaikat, dan merupakan manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Kata "dewa" berasal dari kata "div" yang berarti "beResinar". Dalam kitab suci Reg Weda, Weda yang pertama, disebutkan adanya 33 Dewa, yang mana ketiga puluh tiga Dewa tersebut merupakan manifestasi dari kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Di antara Dewa-Dewi dalam agama Hindu, yang paling terkenal sebagai suatu konsep adalah: Brahmā, Wisnu, Çiwa. Mereka disebut Trimurti.
Dalam kitab-kitab Weda dinyatakan bahwa para Dewa tidak dapat bergerak bebas tanpa kehendak Tuhan. Para Dewa juga tidak dapat menganugerahkan sesuatu tanpa kehendak Tuhan. Para Dewa, sama seperti makhluk hidup yang lainnya, bergantung kepada kehendak Tuhan. Filsafat Advaita (yang berarti: "tidak ada duanya") menyatakan bahwa tidak ada yang setara dengan Tuhan dan para Dewa hanyalah perantara antara beliau dengan umatnya.
Sistem Catur Warna (Golongan Masyarakat)
Dalam agama Hindu, dikenal istilah Catur Warna bukan sama sekali dan tidak sama dengan kasta. Karena di dalam ajaran Pustaka Suci Weda, tidak terdapat istilah kasta. yang ada hanyalah istilah Catur Warna. Dalam ajaran Catur Warna, masyarakat dibagi menjadi empat golongan, yaitu:
Brāhmana : golongan para pendeta, orang suci, pemuka agama dan rohaniwan
Ksatria : golongan para raja, adipati, patih, menteri, dan pejabat negara
Waisya : golongan para pekerja di bidang ekonomi
Sudra : golongan para pembantu ketiga golongan di atas
Menurut ajaran catur Warna, status seseorang didapat sesuai dengan pekerjaannya. Jadi, status seseorang tidak didapat semenjak dia lahir melainkan didapat setelah ia menekuni suatu profesi atau ahli dalam suatu bidang tertentu. Catur Warna menekankan seseorang agar melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Keempat golongan sangat dianjurkan untuk saling membantu agar mereka dapat memperoleh hak. Dalam sistem Catur Warna terjadi suatu siklus "memberi dan diberi" jika keempat golongan saling memenuhi kewajibannya.
Pelaksanaan ritual (Yajña)
Dalam ajaran Hindu, Yajña merupakan pengorbanan suci secara tulus ikhlas kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada para leluhur, kepada sesama manusia, dan kepada alam semesta. Biasanya diwujudkan dalam ritual yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan umat Hindu. Tujuan pengorbanan tersebut bermacam-macam, bisa untuk memohon keselamatan dunia, keselamatan leluhur, maupun sebagai kewajiban seorang umat Hindu. Bentuk pengorbanan tersebut juga bermacam-macam, salah satunya yang terkenal adalah Ngaben, yaitu ritual yang ditujukan kepada leluhur (Pitra Yadnya).
Sekte (aliran) dalam Hindu
Jalan yang dipakai untuk menuju Tuhan (Hyang Widhi) jalurnya beragam, dan kemudian dikenallah para dewa. Dewa yang tertinggi dijadikan sarana untuk mencapai Hyang Widhi. Aliran terbesar agama Hindu saat ini adalah dari golongan Sekte Waisnawa yaitu menonjolkan kasih sayang dan bersifat memelihara; yang kedua terbesar ialah Sekte Siwa sebagai pelebur dan pengembali yang menjadi tiga sekte besar, yaitu Sekte Siwa, Sekte Sakti (Durga ), dan Sekte Ganesha, serta terdapat pula Sekte Siwa Siddhanta yang merupakan aliran mayoritas yang dijalani oleh masyarakat Hindu Bali, sekte Bhairawa dan Sekte - Sekte yang lainnya. Yang ketiga ialah Sekte Brahma sebagai pencipta yang menurunkan Sekte Agni, Sekte Rudra, Sekte Yama, dan Sekte Indra. Sekte adalah jalan untuk mencapai tujuan hidup menurut Agama Hindu, yaitu moksha (kembali kepada Tuhan), dan pemeluk Hindu dipersilahkan memilih sendiri aliran yang mana menurutnya yang paling baik/bagus.
Toleransi umat Hindu
Agama ini memiliki ciri khas sebagai salah satu agama yang paling toleran, yang mana di dalam kitab Weda dalam salah satu baitnya memuat kalimat berikut:
Alihaksara: Ekam Sat Vipraaha Bahudhaa Vadanti
Cara baca dalam bahasa Indonesia: Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti
Bahasa Indonesia: "Hanya ada satu kebenaran tetapi para orang pandai menyebut-Nya dengan banyak nama."
— Rg Weda (Buku I, Gita CLXIV, Bait 46)
Dalam berbagai pustaka suci Hindu, banyak terdapat sloka-sloka yang mencerminkan toleransi dan sikap yang adil oleh Tuhan. Umat Hindu menghormati kebenaran dari mana pun datangnya dan menganggap bahwa semua agama bertujuan sama, yaitu menuju Tuhan, namun dengan berbagai sudut pandang dan cara pelaksanaan yang berbeda. Hal itu diuraikan dalam kitab suci mereka sebagai berikut:
samo 'haṁ sarva-bhūteṣu na me dveṣyo 'sti na priyah
ye bhajanti tu māṁ bhaktyā mayi te teṣu cāpy aham
(Bhagawadgita, IX:29)
Arti:
Aku tidak pernah iri dan selalu bersikap adil terhadap semua makhluk.
Bagi-Ku tidak ada yang paling Ku-benci dan tidak ada yang paling Aku kasihi.
Tetapi yang berbakti kepada-Ku, dia berada pada-Ku dan Aku bersamanya pula
Ye yathā mām prapadyante tāms tathaiva bhajāmy aham,
mama vartmānuvartante manusyāh pārtha sarvaśah
(Bhagawadgita, 4:11)
Arti:
Jalan mana pun yang ditempuh seseorang kepada-Ku,
Aku memberinya anugerah setimpal. Semua orang mencari-Ku
dengan berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna)
Yo yo yām yām tanum bhaktah śraddhayārcitum icchati,
tasya tasyācalām śraddhām tām eva vidadhāmy aham
(Bhagawadgita, 7:21)
Arti:
Kepercayaan apapun yang ingin dipeluk seseorang,
Aku perlakukan mereka sama dan
Ku-berikan berkah yang setimpal supaya ia lebih mantap
Meskipun ada yang menganggap Dewa-Dewi merupakan Tuhan tersendiri, namun umat Hindu memandangnya sebagai cara pemujaan yang salah. Dalam kitab suci mereka, kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda:
ye 'py anya-devatā-bhaktā yajante śraddhayānvitāḥ
te 'pi mām eva kaunteya yajanty avidhi-pūrvakam
(Bhagawadgita, IX:23)
Arti:
Orang-orang yang menyembah Dewa-Dewa dengan penuh keyakinannya
sesungguhnya hanya menyembah-Ku, tetapi mereka melakukannya
dengan cara yang keliru, wahai putera Kunti (Arjuna)
Pemeluk agama Hindu juga mengenal arti Ahimsa dan "Satya Jayate Anertam". Mereka diharapkan tidak suka (tidak boleh) membunuh secara biadab tapi untuk kehidupan pembunuhan dilakukan kepada binatang berbisa (nyamuk) untuk makanan sesuai swadarmanya, dan diminta jujur dalam melakukan segala pikiran, perkataan, dan perbuatan.
Tuhan dalam agama Buddha
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Dalam ajaran agama Buddha, Sang Buddha bukanlah Tuhan dalam agama Buddha yang bersifat non-teis (yakni, pada umumnya tidak mengajarkan keberadaan Tuhan sang pencipta, atau bergantung kepada Tuhan sang pencipta demi dalam usaha mencapai pencerahan; Sang Buddha adalah pembimbing atau guru yang menunjukkan jalan menuju nirwana).
Pandangan umum tentang Tuhan menjelaskan suatu keberadaan yang tidak hanya memimpin tetapi juga menciptakan alam semesta. Pemikiran dan konsep tentang inilah yang sering diperdebatkan oleh banyak Buddhis dalam perpecahan agama Buddha. Dalam agama Buddha, asal muasal dan penciptaan alam semesta bukan berasal dari Tuhan, melainkan karena hukum sebab dan akibat yang telah disamarkan oleh waktu. Bagaimanapun, beberapa Sutra Mahayana tertentu (seperti Sutra Nirwana dan Sutra Teratai) dan terutama tantra-tantra tertentu seperti Kunjed Gyalpo Tantra memberikan menunjukkan bahwa sikap memandang Buddha yang maha hadir, mempunyai intisari yang membebaskan dan abadi kenyataan dari segala benda, sampai sejauh ini, boleh dibilang sudah mendekati pandangan Tuhan sebagai segalanya.
Pemikiran sebagai "Sang Pencipta"
Dalam agama Buddha, tidak ada makhluk sakti yang menjadi pencipta segalanya. Buddha Gautama menyatakan bahwa pemikiran kitalah yang telah menjadikan dunia ini. Sang Buddha menganggap buah pikiran sebagai pencipta. Kita adalah buah pikiran kita sendiri.
"
Semuanya tentang kita muncul dari pemikiran kita sendiri.
Dengan buah pikiran kita, kita menciptakan dunia kita.
(Dhammapada, 1.1-3)
"
Tuhan sebagai perwujudan pikiran
Salah satu dari Mahayana Sutra, yaitu Lankavatara Sutra, menyatakan konsep Tuhan yang berdaulat, atau Atman adalah imajinasi belaka atau perwujudan dari pikiran dan bisa menjadi halangan menuju kesempurnaan karena ini membuat kita menjadi terikat dengan konsep Tuhan Maha Pencipta:
"
Semua konsep seperti sebab, pelanjutan, atom, unsur-unsur dasar, yang membuat kepribadian, jiwa pribadi, roh sakti, Tuhan yang berdaulat, pencipta, adalah imajinasi belaka dan perwujudan dari pemikiran manusia.
Tidak, Mahamati, doktrin Tathágata dari rahim ke-Tathágata-an tidaklah sama dengan filosofi Atman.
"
Selain daripada Tuhan sebagai persona pencipta, sutra menyebutkan tentang "Pemikiran Kreatif", dan juga konsep sebagaimana apa adanya (tathata = kebenaran dari segalanya adalah sebagaimana apa adanya), yang didefinisikan sebagai:
"
Sebagaimana apa adanya dapat dikarakterisasikan sebagai Kebenaran, Kenyataan, Pengetahuan eksak, batas, sumber, keberadaan diri, Yang Tidak Dapat Diperoleh.
(Suzuki, Lankavatara Sutra, p. 198).
"
Dalam pernyataan tersebut terdapat banyak petunjuk-petunjuk supranatural dan kemuliaan yang tak terbantahkan.
Terlebih lagi, sutra yang sama juga menanggap Buddha menungkapkan bahwa dia adalah "Seorang Yang Tidak Dikenal", yang sebenarnya diungkapkan ketika semua manusia memproyeksikan konsep dari keTuhanan kemudian bercakap-cakap dengan "Tuhan" oleh pemikiran mereka yang belum terbangun. Buddha berkata bahwa begitu banyak nama untuk keberadaan yang paling hebat atau kebenaran pada kenyataannya merupakan aksi penamaan dirinya yang membodohi orang. Dia menyatakan:
Kasus yang sama boleh dinyatakan kepada aku ketika aku hadir dalam dunia kesabaran di hadapan orang-orang yang bodoh dan dimana aku dikenal dengan sejuta nama-nama yang tak terhitung.
Mereka memanggil aku dengan nama-nama yang berbeda tidak menyadari itu semua merupakan nama-nama dari satu Tathagatagarbha.
Beberapa mengenal saya sebagai matahari, sebagai bulan; beberapa sebagai hasil reinkarnasi dari orang-orang bijak; beberapa sebagai "10 kekuatan"; beberapa sebagai Rama, beberapa sebagai Indra, dan beberapa sebagai Baruna. ada pula yang memanggil saya sebagai "Yang Tak Terlahirkan", sebagai "Kehampaan", sebagai "Apa adanya", sebagai "Kebenaran", sebagai "Kenyataan", sebagai "Prinsip Terakhir"; masih ada juga yang memanggil saya sebagai Dharmakaya, sebagai Nirwana, sebagai "Yang Abadi"; beberapa ada yang menyebutkan saya sebagai kesatuan, sebagai "Yang tidak ada duanya", sebagai "Yang tidak akan mati", sebagai "Yang tak berbentuk"; beberapa menganggap saya sebagai doktrin atau penyebab Buddha, atau sebagai emansipasi, atau sebagai Jalan Kemuliaan; beberapa juga menganggap saya sebagai pemikiran yang mulia dan kebijaksanaan yang mulia.
Demikian dalam dunia ini dan dalam dunia lain, aku dikenal dengan nama-nama yang tak terhitung jumlahnya, tapi mereka melihat aku seperti bayangan bulan di air. Walaupun mereka menghormati, memuji dan menyembah aku, mereka tidak mengerti sepenuhnya arti dan akibat dari kata-kata yang mereka ucapkan; tanpa mengerti kenyataan diri dari kebenaran, mereka bergantung kepada kata-kata dari buku peraturan mereka, atau dari apa yang mereka dengar, atau apa dari yang mereka bayangkan, dan gagal untuk mengetahui bahwa nama yang mereka pakai tidak lain adalah satu nama dari sekian banyak nama Tathagatagarbha.
Dari penelitian mereka, mereka mengikuti kata-kata hampa dari teks dengan sia-sia tanpa mengerti arti sebenarnya, bukannya berusaha untuk memiliki kepercayaan dalam "teks", dimana kenyataan yang mengkonfirmasikan diri sendiri mengungkapkan dirinya yaitu memiliki kepercayaan diri dalam perwujudan kebijaksanaan yang mulia.
Dalam sutra bagian Sagathakam (yang berisi peryataan yang berkebalikan dengan bab-bab sebelumnya), juga menyebutkan kenyataan dari diri yang murni (atman), yang (tidak sama dengan atman dalam agama Hindu) disamakan dengan Tathagatagarbha (Intisari-Buddha):
"
Atma (diri) dikarakterisasikan dengan kemurnian adalah keadaan dari perwujudan diri sendiri; ini adalah Tathagatagarbha, yang tidak dapat diteorikan.
"
Tathagatagarbha terletak di dalam Sutra Lankavatara yang dikenal sebagai akar dari kesadaran penuh semua makhluk hidup, yaitu Alaya-vijnana. Tathagatagarbha-Alayavijnana ini dinyatakan tidak dapat dispekulasikan, tetapi dapat dimengerti secara langsung dengan
"
Bodhisatva-Mahasattvas (Bodhisattva Agung) yang seperti engkau [Mahamati] diberkati dengan daya pemikiran yang menembus logika, halus, baik, dan yang pengertiannya sesuai menurut arti sebenarnya...
"
Matrix Buddha yang mengandung segala (Tathagatagarbha) atau basis dari kesadaran universal (Alayavijnana) memiliki hubungan dengan konsep kemuliaan yang menaruh Alayavijnana sebagai kenyataan di belakang dan dalam semua makhluk hidup. "Diri" ini terletak di dalam naskah Buddha Mahayana dan tantra-tantra yang disamakan dengan asal, unsur dasar dari Buddha kosmik yang mengandung segalanya (dianggap sebagai Samantabhadra atau Mahavairochana). "Tuhan" dalam konteks tersebut kemudian dimengerti sebagai makhluk mental spiritual yang pandai dan abadi dalam seluruh alam semesta yang terlihat dan yang tak terlihat.
Konsep Tuhan dlm Agama Buddha
August 20, 2008 in categorized
Tuhan dalam Agama Buddha
Perlu ditekankan bahwa Buddha bukan Tuhan. Konsep ketuhanan dalam agama Buddha berbeda dengan konsep dalam agama Samawi dimana alam semesta diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir dari hidup manusia adalah kembali ke sorga ciptaan Tuhan yang kekal.
Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Sang Buddha yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII : 3, yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam agama Buddha. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam bahasa Pali adalah Atthi Ajatam Abhutam Akatam Asamkhatam yang artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak". Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asankhata) maka manusia yang berkondisi (sankhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.
Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Mahaesa ini, kita dapat melihat bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah berlainan dengan konsep Ketuhanan yang diyakini oleh agama-agama lain. Perbedaan konsep tentang Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini, sebab masih banyak umat Buddha yang mencampur-adukkan konsep Ketuhanan menurut agama Buddha dengan konsep Ketuhanan menurut agama-agama lain sehingga banyak umat Buddha yang menganggap bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah sama dengan konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain.
Bila kita mempelajari ajaran agama Buddha seperti yang terdapat dalam kitab suci Tipitaka, maka bukan hanya konsep Ketuhanan yang berbeda dengan konsep Ketuhanan dalam agama lain, tetapi banyak konsep lain yang tidak sama pula. Konsep-konsep agama Buddha yang berlainan dengan konsep-konsep dari agama lain antara lain adalah konsep-konsep tentang alam semesta, terbentuknya Bumi dan manusia, kehidupan manusia di alam semesta, kiamat dan Keselamatan atau Kebebasan.
Di dalam agama Buddha tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan (anuttara samyak sambodhi) atau pencerahan sejati dimana batin manusia tidak perlu lagi mengalami proses tumimbal lahir. Untuk mencapai itu pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada pengaruhnya. Tidak ada dewa – dewi yang dapat membantu, hanya dengan usaha sendirilah kebuddhaan dapat dicapai. Buddha hanya merupakan contoh, juru pandu, dan guru bagi makhluk yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan melihat kebenaran & realitas sebenar-benarnya.
http://khmand.wordpress.com/2008/08/20/konsep-tuhan-dlm-agama-buddha/
Agama Buddha
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Agama Buddha lahir di negara India, lebih tepatnya lagi di wilayah Nepal sekarang, sebagai reaksi terhadap agama Brahmanisme. Sejarah agama Buddha mulai dari abad ke-6 SM sampai sekarang dari lahirnya Buddha Siddharta Gautama. Dengan ini, ini adalah salah satu agama tertua yang masih dianut di dunia. Agama Buddha berkembang dengan unsur kebudayaan India, ditambah dengan unsur-unsur kebudayaan Helenistik (Yunani), Asia Tengah, Asia Timur dan Asia Tenggara. Dalam proses perkembangannya, agama ini praktis telah menyentuh hampir seluruh benua Asia dan telah menjadi agama mayoritas di beberapa negara Asia seperti Thailand, Singapura, Kamboja, Myanmar, Taiwan, dsb. Pencetusnya ialah Siddhartha Gautama yang dikenal sebagai Gautama Buddha oleh pengikut-pengikutnya. Ajaran Buddha sampai ke negara Tiongkok pada tahun 399 Masehi, dibawa oleh seorang bhiksu bernama Fa Hsien. Masyarakat Tiongkok mendapat pengaruhnya dari Tibet disesuaikan dengan tuntutan dan nilai lokal.
Setiap aliran Buddha berpegang kepada Tripitaka sebagai rujukan utama karena dalamnya tercatat sabda dan ajaran sang hyang Buddha Gautama. Pengikut-pengikutnya kemudian mencatat dan mengklasifikasikan ajarannya dalam 3 buku yaitu Sutta Piṭaka (kotbah-kotbah Sang Buddha), Vinaya Piṭaka (peraturan atau tata tertib para bhikkhu) dan Abhidhamma Piṭaka (ajaran hukum metafisika dan psikologi).
Konsep Ketuhanan
Perlu ditekankan bahwa Buddha bukan Tuhan. Konsep ketuhanan dalam agama Buddha berbeda dengan konsep dalam agama Samawi dimana alam semesta diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir dari hidup manusia adalah kembali ke surga ciptaan Tuhan yang kekal.
"
Ketahuilah para bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
"
Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Buddha yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII : 3, yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam agama Buddha. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam bahasa Pali adalah Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang yang artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak". Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asamkhata) maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.
Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Maha Esa ini, kita dapat melihat bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah berlainan dengan konsep Ketuhanan yang diyakini oleh agama-agama lain. Perbedaan konsep tentang Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini, sebab masih banyak umat Buddha yang mencampur-adukkan konsep Ketuhanan menurut agama Buddha dengan konsep Ketuhanan menurut agama-agama lain sehingga banyak umat Buddha yang menganggap bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah sama dengan konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain.
Bila kita mempelajari ajaran agama Buddha seperti yang terdapat dalam kitab suci Tripitaka, maka bukan hanya konsep Ketuhanan yang berbeda dengan konsep Ketuhanan dalam agama lain, tetapi banyak konsep lain yang tidak sama pula. Konsep-konsep agama Buddha yang berlainan dengan konsep-konsep dari agama lain antara lain adalah konsep-konsep tentang alam semesta, terbentuknya Bumi dan manusia, kehidupan manusia di alam semesta, kiamat dan Keselamatan atau Kebebasan.
Di dalam agama Buddha tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan (anuttara samyak sambodhi) atau pencerahan sejati dimana roh manusia tidak perlu lagi mengalami proses tumimbal lahir. Untuk mencapai itu pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada pengaruhnya. Tidak ada dewa - dewi yang dapat membantu, hanya dengan usaha sendirilah kebuddhaan dapat dicapai. Buddha hanya merupakan contoh, juru pandu, dan guru bagi makhluk yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan melihat kebenaran & realitas sebenar-benarnya.
Moral Buddha
Sebagai mana agama Islam dan Kristen ajaran Buddha juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemoralan. Nilai-nilai kemoralan yang diharuskan untuk umat awam umat Buddha biasanya dikenal dengan Pancasila. Kelima nilai-nilai kemoralan untuk umat awam adalah:
Panatipata Veramani Sikkhapadam Samadiyami
Adinnadana Veramani Sikkhapadam Samadiyami
Kamesu Micchacara Veramani Sikhapadam
Musavada Veramani Sikkhapadam Samadiyami
Surameraya Majjapamadatthana Veramani Sikkhapadam Samadiyami
yang artinya:
aku bertekad akan melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup.
aku bertekad akan melatih diri menghindari pencurian/mengambil barang yang tidak diberikan.
aku bertekad akan melatih diri menghindari melakukan perbuatan asusila
aku bertekad akan melatih diri menghidari melakukan perkataan dusta
aku bertekad akan melatih diri menghindari makanan atau minuman yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran
Selain nilai-nilai moral di atas, agama Buddha juga amat menjunjung tinggi karma sebagai sesuatu yang berpegang pada prinsip sebab akibat. Kamma (bahasa Pali) atau Karma (bahasa Sanskerta) berarti perbuatan atau aksi. Jadi ada aksi atau karma baik dan ada pula aksi atau karma buruk. Saat ini, istilah karma sudah terasa umum digunakan, namun cenderung diartikan secara keliru sebagai hukuman turunan/hukuman berat dan lain sebagainya. Guru Buddha dalam Nibbedhika Sutta; Anguttara Nikaya 6.63 menjelaskan secara jelas arti dari kamma:
"Para bhikkhu, cetana (kehendak)lah yang kunyatakan sebagai kamma. Setelah berkehendak, orang melakukan suatu tindakan lewat tubuh, ucapan atau pikiran."
Jadi, kamma berarti semua jenis kehendak (cetana), perbuatan yang baik maupun buruk/jahat, yang dilakukan oleh jasmani (kaya), perkataan (vaci) dan pikiran (mano), yang baik (kusala) maupun yang jahat (akusala).
Kamma atau sering disebut sebagai Hukum Kamma merupakan salah satu hukum alam yang berkerja berdasarkan prinsip sebab akibat. Selama suatu makhluk berkehendak, melakukan kamma (perbuatan) sebagai sebab maka akan menimbulkan akibat atau hasil. Akibat atau hasil yang ditimbulkan dari kamma disebut sebagai Kamma Vipaka.
Konsep Ketuhanan dalam Hindu
By Cahya " Published: 25 August 2010
Ada keramaian dan sedikit argumentasi yang agak panas di salah satu milis krama (bahasa lokal untuk istilah warga) Bali. Pasca menelusuri beberapa kiriman sebelumnya, ternyata salah satu pemicunya adalah tulisan salah satu narablog dalam negeri yang diangkat ke dalam milis – beberapa pihak mengatakan bahwa tulisan tersebut "dibuat seenaknya" sehingga tidak sesuai dengan realita, riwayat dan konsep yang sebenarnya dan terkesan 'melempar' citra buruk pada Hindu.
Sebenarnya – entah mengapa krama milis tersebut heboh – tulisan-tulisan seperti itu ada cukup banyak di Internet, kalau mereka mau menelusuri tentunya. Ada tulisan-tulisan yang memang menyinggung bagi – tidak hanya satu elemen tertentu, bahkan sindiran-sindiran terbuka pada pelbagai agama pun kerap muncul di Internet. Itu sering terjadi, dan biasanya akan menyulut debat yang berkepanjangan dan justru tidak sehat. Maka lenyap sudah etika berdialog di dunia maya.
Sebagaimana saya utarakan dalam tulisan-tulisan sebelumnya, saya bukanlah ahli agama, yang bisa memberikan pelbagai penjelasan secara akurat. Ini hanya tulisan pendek, dari sebagian kecil topik-topik yang sering diperdebatkan. Ya, saya sering kali menemukan perdebatan klasik tentang konsep ketuhanan dalam Hindu, namun tentu saja jika ingin diulas seluruhnya, seseorang harus membongkar seluruh Veda untuk itu.
Hindu, mungkin agak rumit dipahami dari kacamata agama-agama Abrahamik (konon demikian menyebutnya), mungkin karena dalam Hindu tidak ada istilah "a single God that commands". Jadi mungkin tidak ada yang pernah mendengarkan istilah "menjalankan perintah-Nya" dalam budaya Hindu.
Lalu apa fungsi agama jika demikian? Kalau Tuhan tidak memberikan perintah, lalu bagaimana? Apa berarti kitab-kitabnya tidak disusun berdasarkan perintah Tuhan? Atau memang di Hindu tidak ada Tuhan, malah menyembah dewa-dewa, atau bahkan berhala?
Ini kemudian berkembang dalam wacana, apakah Hindu itu menganut paham monoteisme, politeisme, atau malah panteisme atau bahkan ateisme?
Secara singkat mungkin dapat dijawab, bahwa semuanya adalah benar. Jika memang ada sesuatu yang disebut Tuhan dalam Hindu, maka itu dikenal dengan istilah Brahman – alasan dari segenap keberadaan. Jadi ya, jika mesti memaksakan bertanya apa ada konsep monoteisme, ya dalam Hindu itu ada.
Lalu mengapa dalam Hindu ada banyak sekali dewa dan dewi, atau bahkan pelbagai aliran yang menyembah Tuhan yang berbeda? Jadi bukankah agama Hindu itu politeisme? Ini adalah pertanyaan klasik yang lainnya. Biasanya debat akan mulai panas jika ada yang bertahan bahwa Hindu adalah agama monoteisme, dan mengesampingkan fakta-fakta yang ada, yah…, perdebatan akan sangat panjang.
Pertama-tama, Hindu sendiri adalah nama yang diberikan oleh masyarakat dunia pada sebuah kultur religius yang begitu beragam namun harmonis. Menurut sejarah, karena pertama kali dikenal oleh dunia Barat sebagai bagian dari peradaban di lembah sungai Sindu di India. Dan tidak semua masyarakat dalam Hindu itu sendiri, menyebut dirinya sebagai Hindu. Umumnya ini terjadi pada perbedaan 'sekolah' atau 'aliran' filosofis dalam Hindu itu sendiri.
Ada pertanyaan sederhana yang sering muncul, "so how is God look like?" – Tuhan itu seperti apa? Hal yang paling sederhana untuk mendeskripsikannya dalam Hindu adalah satu kata, yaitu acintya atau atintya – yang bermakna tidak terpikirkan, atau tidak terjangkau oleh imajinasi. Jika di alam semesta ini ada sesuatu yang tak terbatas (infinite), maka itu adalah Brahman, dan jika ada sesuatu yang terbatas, maka itu adalah pikiran manusia. Pikiran manusia yang terbatas ini tidak akan mampu mencapai yang tak terbatas.
Namun manusia selalu diliputi rasa ingin tahu, bagaimanakah Tuhan itu, apa saja yang bisa saya lakukan untuk menuju pada-Nya, bagaimana Ia melihat saya? Karena kata acintya tidak akan memuaskan rasa ingin tahu manusia.
Untuk memandu ke dalam pertanyaan tak terjawab ini, pelbagai Guru menerapkan titik tolak filosofis yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan orang. Sehingga dalam Hindu, bisa ditemukan filsafat-filsafat lebih lanjut yang menjelaskan sifat Brahman. Beberapa menyampaikan bahwa Tuhan itu adalah persona, beberapa transeden, dan lain sebagainya. Beberapa sudut pandang filosofis yang banyak digunakan dalam Hindu untuk menjelaskan hal ini adalah dari Advaita Vedanta, Visishtadvaita, dan Dvaita Vedanta. Pengertian istilah-istilah ini dapat ditelusuri lebih lanjut di pelbagai kepustakaan jika berminat, namun saya rasa tidak perlu menuliskannya di sini.
Ini adalah konsep-konsep tentang bagaimana pelbagai filsafat memandang Tuhan. Indera manusia tidak bisa 'menangkap' Tuhan, namun keinginan untuk memahami Tuhan selalu ada. Jika kemudian dilihat ada banyak penjelasan tentang Brahman yang saling bertentangan bagi banyak logika secara umumnya – ya itulah acintya dalam makna sesungguhnya, jika ini terlihat bagi logika sebagai politeisme karena ada banyak wujud Tuhan yang berbeda-beda, ya jangan paksakan itu sebagai monoteisme. Yang membuat kebenaran berbeda, hanyalah sudut pandang manusia.
Ada juga alasan lain mengapa Hindu disebut sebagai agama yang menganut paham politeisme. Karena orang bisa menemukan di Bali – misalnya – tempat-tempat untuk memuja dewa, atau roh leluhur yang didewakan. Tidakkah seharusnya orang Hindu memuja Tuhan yang tunggal, dan bukannya malah memuja dewa dan roh leluhur?
Mungkin akan terdengar aneh dalam pandangan pandangan agama lain, karena sepanjang pengetahuan saya, dalam Hindu tidak ada kewajiban menyembah atau memuja Tuhan, dan tidak ada larangan memuja sesuatu yang lain selain Tuhan. Tentu saja dalam pelbagai filsafat terdapat tata cara pemujaan terhadap berbagai aspek Brahman, tapi tidak pernah ditekankan sebagai kewajiban. Lebih pada pengetahuan, ajakan atau anjuran.
Dalam Hindu ada penekanan terhadap suatu aware consciousness, bagaimana seseorang menyatu dalam kehidupan sepenuhnya. Jika orang hanya memikirkan harta, kemudian menumpuk harta, mencintai harta, dan pada akhirnya memuja harta – maka seluruh kehidupannya jatuh dan melekat pada harta. Jika ada yang menyindir hartanya dia tersinggung, jika ada yang mencuri atau merusak hartanya dia marah, jika hartanya hilang – dia sedih. Tentu saja harta bisa berarti makna yang sesungguhnya atau makna kiasan.
Kemelekatan membutakan seseorang, kemelekatan adalah awal dari konflik di seluruh permukaan bumi, kemelekatan adalah yang melahirkan laut suka-duka dalam dualitas dunia yang berkesinambungan, dalam Hindu disebut sebagai samsara. Inti dalam ajaran Hindu adalah akhir dari samsara ini, terbebas dari segala bentuk kemelekatan, sesuatu yang disebut pembebasan sepenuhnya atau moksha.
Tuhan – saya rasa – tidak perlu turun langsung dan memberikan perintah pada manusia untuk menjauhi kemelekatan, dan berkata bahwa itu bisa membuat dunia jadi gila. Manusia dengan aware consciousness–nya akan mampu melihat bahwa kemelekatan adalah sumber kerusakan dan korupsi dunia ini. Jika mereka tetap memilih kemelekatan, maka samsara adalah kepastian, itu adalah bagaimana alaminya hal itu terjadi pada masing-masing kita, kita mengalami ketakutan berpisah dari kemelekatan kita, kita mengalami kesedihan dan duka yang mendalam ketika kehilangannya, ya – maka itulah samsara, dan itulah bagaimana (hukum) karma berkerja.
Pemujaan pada Tuhan tidak diwajibkan, namun lebih seperti pilihan bagi orang-orang. Seseorang bisa bebas memilih jalan hidupnya, dan demikianlah hukum sebab-akibat akan juga berjalan padanya sesuai dengan pilihan yang diambilnya. Juga tidak ada artinya, jika seseorang dengan berkata bahwa ia mencintai Tuhan, maka demikianlah ia bisa membenci orang lain. Ia bisa membenci, menyakiti hingga membunuh orang lain untuk membela Tuhan. Maka itu bukan cinta sama sekali, ia hanya memuja Tuhan yang diciptakan pikirannya sendiri, dan kemelekatan pikiran itu juga yang dengan sendirinya melahirnya kebencian.
Kembali pada wacana politeisme sebelumnya, Hindu di nusantara mengalami berbagai akulturasi budaya menurut kajian historisnya. Beberapa aspek dalam budaya ini ada perhatian terhadap keselarasan kehidupan manusia dengan alamnya, bukan hanya dengan Tuhan dan dengan manusia semata. Di Bali ini dikenal dengan konsep Tri Hita Karana, dan aplikasi praktis dari konsep ini masih berhubung dengan doktrin tua tentang sistem alam semesta dalam pandangan yang diatur (atau tepatnya dijaga) oleh elemen-elemen tertentu. Sedemikian hingga dalam Hindu dikenal banyak sekali dewa-dewi yang bisa menjadi simbol keselarasan masing-masing elemen. Dalam tradisi Hindu, setidaknya ada lebih dari 300 juta dewa dan dewi dikenal. Inilah yang menjadi dasar ditemukannya pemujaan terhadap dewa dan dewi dalam Hindu, atau dalam istilah di Bali dikenal sebagai bhatara.
Tentunya tetap saja dewa dan dewi ini bukanlah Brahman dalam konsep ketuhanan Hindu. Tidakkah Tuhan marah jika umat justru memuja dewa dan dewi? Ha ha…, saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika Tuhan datang pada seseorang dan memarahinya karena salah memuja objek yang tepat. Saya tidak begitu paham masalah pemujaan pada dewa dan dewi, namun analogi sederhananya begini….: Jika sebuah negara memerlukan sistem komunikasi yang baik, setidaknya pos harus berjalan lancar. Dan suatu hari seseorang berterima kasih pada tukang pos karena sudah mengantarkan surat padanya sampai daerah terpencil. Lalu, haruskah seorang presiden marah pada rakyat itu, karena bukannya berterima kasih pada pimpinan tertinggi negara itu dan malah berterima kasih pada tukang pos yang jabatannya tidak seberapa? Nah, kurang lebih demikian analoginya, walau saya tidak yakin selalu bisa dianalogikan demikian. Anda harus bertanya pada seseorang yang lebih memahami konsep pemujaan dewa dan dewi untuk penjelasan yang lebih baik.
Pun pemujaan dewa dan dewi ini kemudian dipandang sebagai bentuk politeisme, ya silakan saja. Saya enggan mendebatkan hal-hal semacam ini.
Lalu pertanyaan klasik berikutnya, apakah dalam Hindu itu konsepnya panteisme? Karena sedikit-dikit ada saja terdengar bahwa Tuhan dalam pandangan Hindu ada di mana-mana, dan semuanya adalah Tuhan, sedemikian hingga orang-orang Hindu sering terlihat menyembah batu dan pohon-pohon angker sebagai (aspek) Tuhan.
Saya sendiri pernah mendapatkan pertanyaan ini dengan nada yang begitu polos, sehingga saya hampir tidak bisa menahan tawa (mungkin karena saya tipe orang yang mudah meluapkan emosinya). Sebagian pernyataan dari pertanyaan itu mungkin ada benarnya.
Memang ada konsep bahwa Brahman meresapi segala sesuatu di dunia ini, dalam pemahaman bahwa tiada tempat yang tidak terjangkau oleh-Nya. Tuhan dalam konsep Hindu bukanlah sosok yang tinggal di surga dan memerintah para dewa dan dewi. Jika memang demikian, maka dewa dan dewi dalam banyak kisah Hindu pasti bisa tidak hanya mengenal Tuhan, namun memahami-Nya dengan baik – namun di banyak kisah justru para dewa sering tidak memahami Tuhan, bahkan kesulitan mencerna maksud-maksud yang disampaikan oleh Trimurti (Brahma, Wisnu dan Siwa) yang merupakan aspek terdekat dengan Ilahi.
Saya ingat dalam yagna mantra (doa sebelum makan) yang diambil bait awalnya dari Bhagavad Gita IV.24.
Om Brahmarpanam Brahma havir
Brahmagnau Brahmana Hutam
Brahmaiva Tena Gantavyam
Brahma-Karma-Samadhina
(The whole creation being a gross projection of Brahman, the Cosmic Consciousness itself) so the food too is Brahman, the process of offering it is Brahman, it is being offered to the fire of Brahman. He who thus sees Brahman in action, alone reaches Brahman.
Dalam konsep Hindu, Tuhan ada di seluruh semesta, dan dalam setiap bentuk keberadaan. Dalam cahaya matahari, dalam kegelapan malam, dalam bulir padi yang menguning, dalam saya, Anda dan mereka. Dan dalam pengertian dua arah bisa menjadi, cahaya matahari itulah Tuhan, kegelapan malam itulah Tuhan, saya, Anda dan mereka adalah Tuhan.
Jika sekilas dilihat, tentu saja konsep ketuhanan seperti ini tampak sangat angkuh, menyamakan diri seseorang dengan Yang Maha Kuasa. Namun filosofinya tidak terletak di sana. Dalam konsep ketuhanan, ada yang disebut sebagai core of existence – atau intisari keberadaan.
Konon manusia dibentuk oleh berbagai lapisan, badan yang terluar yang tampak dengan kasat mata adalah bagian yang paling mudah dikenali sebagai suatu entitas. Kemudian ada konsep tentang badan yang lebih halus, bisa saja disebut sebagai roh, atau jiwa atau batin – kalau dalam banyak kisah, inilah bagian manusia yang mengalami reinkarnasi, mengalami sorga dan neraka. Ada yang menjadi sumber keberadaan sebuah jiwa, dan itu disebut sebagai 'self', sang diri, aku, atau atman.
Dan inilah 'self' atau atman yang identik dengan 'higher self' atau Brahman itu sendiri. So, while Brahman is the very core of existence, then atman is the core of existence itself. Jadi atman bisa dikatakan sebagai prinsip kehidupan yang universal, pencipta dari setiap bentuk keberadaan. Menurut sumber-sumber tertentu, ini lebih mirip prinsip panenteisme daripada panteisme.
Jadi Brahman dan atman adalah sama pada hakekatnya, namun pembedaan dapat tercipta jika terdapat jarak di antara keduanya. Jarak menciptakan ruang dan waktu yang melahirkan perbedaan (ini mungkin lebih mudah dipahami dengan teori fisika kuantum). Jika sang diri tidak menyadari dirinya sendiri, maka kesadaran akan atman sebagai entitas tidak akan muncul. Jika kesadaran tidak muncul, maka ia akan memandang setiap manusia dan bentuk keberadaan yang lainnya adalah sesuatu yang berbeda-beda pada intinya. Ketidaksadaran ini disebut gelapan, atau kabut kebodohan – avidya. Dan dalam avidya inilah lahir kemelekatan.
Dalam kisah Mahabharata, Arjuna yang kebingungan menolak maju ke medan perang. Sehingga Krishna terpaksa mewejangkan Bhagavad Gita kepada putra Kunti tersebut, sehingga ia memahami hakikat atman dan Brahman.
Tentu saja memahami di sini tidak dalam artian memahami secara konseptual. Jika saya menulis ini, dan membaca ulang, kemudian mengerti isinya, ya itu pemahaman secara konseptual. Namun apa itu dapat membuat saya menyadari atman sebagai sebuah kesejatian?
Pemahaman yang muncul, adalah pemahaman yang aktual, bukan konseptual. Konsepsi tidak berbeda dengan buah pikiran manusia, yang terbatas dan sempit. Jika dalam kesempitan itu manusia berpikir bahwa dirinya adalah atman, yang dalam tanda petik juga acintya dan tak terbatas – ya, kita bisa mengatakan itu keangkuhan, atau lebih tepatnya selaras dengan ketidakacuhan.
Jika seseorang dapat menyadari atman, atau dalam artian "when self realize itself", itu akan menghadirkan sebuah ledakan batin yang religius. Dalam kesadaran yang baru itu, di sana ada kebebasan yang luar biasa, karena segala kemelekatan telah luluh dengan sendirinya. Ia 'terlahir kembali' sesuatu yang sepenuhnya baru dan penuh akan kehidupan, dalam istilah lama di Bali digunakan kata 'dwijati'.
Kesadaran ini memberikan bukan pemahaman, namun realita bahwa segala sesuatunya memiliki esensi yang sama. Ia akan mampu melihat dirinya juga merupakan pada orang lain, dan orang lain juga adalah dirinya. Karena kesadarannya memandang 'core of existence' pada segalanya.
Pada keadaan ini, ia melihat, bahwa segala sesuatu adalah dirinya, dan segala sesuatu itu adalah Brahman jua. Jika ia berkata melihat Tuhan dalam sekuntum bunga, itu bukan berarti bermakna kiasan atau sekadar pemahaman akan ajaran kitab suci, namun itulah realita baginya. Sehingga tidak ada tempat bagi kebencian, atau pun amarah hadir dalam dirinya, karena kemanapun ia memandang, hanya wajah Ilahi yang tampak, apapun yang terdengar hanyalah suara Ilahi.
Ini adalah pemahaman sejati dalam 'tat tvam asi' yang dikatakan sebagai salah satu ajaran tertinggi dalam agama Hindu (merujuk Mahavakya pada kisah Uddalaka dalam Chandogya Upanishad 6.8.7 – Sama Veda). Jadi makna "aku adalah kamu, dan kamu adalah aku" – bukanlah mengembangan empati dan toleransi terhadap sesama manusia, namun sebuah bentuk kesadaran bahwa "aku adalah itu" – itu yang merujuk pada keberadaan yang sejati. Karena dalam kesadaran 'tat tvam asi', sudah tidak ada lagi 'aku' dan 'kamu' – karena semuanya adalah satu kesejatian. Hal yang sama juga dimaknai dalam Mahavakya yang lainnya, seperti 'Aham Brahmasmi' – "aku adalah Brahman" (Brhadaranyaka Upanishad 1.4.10 – Yajur Veda); 'Prajnanam Brahma' – "Kesadaran adalah Brahman" (Aitareya Upanishad 3.3 – Rig Veda); 'Ayam Atma Brahma' – "Sang Diri adalah Brahman" (Mandukya Upanishad 1.2 – Atharva Veda).
Namun dengan penyebab satu dan lain hal, tidak semua orang berada dalam kesadaran ini. Maka para Guru umumnya memberikan bimbingan yang lebih ringan, membuat manusia menghargai alam sekitarnya, baik dalam bentuk kehidupan maupun unsur alam lainnya. Menanamkan rasa kepedulian terhadap segala sesuatu yang ada di alam ini. Bagi mereka yang berada dalam dualitas, maka menghargai kehidupan dan keberadaannya di dunia adalah adalah pilihan yang dapat diberikan. Namun bukan berarti itu menyembah dan mendewa-dewakan segala sesuatunya. Jika dalam ranah ritual praktis, ya, kembalikan lagi pada budaya yang melingkupi – dan kembali saya bukanlah orang yang tepat untuk menjelaskan hal tersebut.
Dan untuk pertanyaan klasik yang terakhir, apakah dalam Hindu juga ada ateisme? Bukankah bertentangan sekali konsep teisme dan ateisme itu?
Saya tidak tahu apa hal-hal yang sering dipertanyakan itu bisa digolongkan ke dalam ateisme, yah…, kalau dipaksakan sedikit mungkin juga bisa.
Pertanyaan umumnya selalu dikaitkan dengan tokoh Siddhartha Gautama, atau Sang Buddha. Saya sebenarnya tidak jelas benar dari mana akar permasalahannya, namun tampaknya ada beberapa argumentasi yang menyatakan bahwa Buddha menyebarkan ajaran yang bersifat ateisme. Dan tentu saja setelah disangkutpautkan terhadap konsep avatar dalam Hindu, sehingga Hindu menjadi mengajarkan ateisme.
Dalam tradisi Veda, ketika dunia dilanda kekacauan, ketika adharma merajalela dan mereka yang hidup sesuai dharma mengalami penindasan, maka kesadaran Ilahi akan turun ke dunia dan mengambil bentuk kehidupan tertentu guna menyelamatkan dharma. Dan persona Ilahi yang turun ke dunia disebut sebagai avatar. Bisa dikatakan ketika kekuatan kesadaran Ilahi mengambil wujud di dunia, maka itu adalah avatar.
Avatar biasanya bersumber dari Trimurti (menurut Purana seperti Garuda Purana, Shiva Purana dan Bhagavata Purana), dan juga Paramadewa Ganesha (Ganesha Purana). Biasanya Shiva dan Vishnu turun ke dunia sebagai kesadaran Ilahi yang saling membantu dan menyeimbangkan, karena konon jika Mahavishnu sendiri yang turun ke dunia maka kekuatannya dapat meluluhlantahkan dunia, sebagaimana dikisahkan dalam dalam avatar Shiva – Virabhadra atau Sharabha yang muncul pada masa munculnya avatar Vishnu – Narasimha.
Tentu saja ada avatar-avatar yang lebih dikenal oleh masyarakat Indonesia secara luas. Dalam kisah Ramayana, di sana ada Rama sebagai avatar Vishnu yang turun ketika dharma disalahgunakan oleh Raja Rahwana, dan situ ada Hanoman – avatar Shiva yang membantu Rama. Hanoman juga hadir dalam kisah Mahabharata, membantu Pandawa dalam perang keluarga Bharata, dan tentu saja ada Krishna – avatar Vishnu.
Dan avatar terakhir yang cukup dikenal adalah Buddha – avatar Vishnu, dalam tradisi Veda (Garuda Purana), Buddha merupakan avatar Vishnu kesembilan. Dan kini masih banyak filosofi dan sekolah-sekolah Hindu yang mengakui keberadaan Buddha sebagai persona Ilahi.
Mungkin debat tentang hal ini sudah dimulai sejak zaman Buddha itu sendiri. Kehadiran Buddha Gautama yang tercerahkan, membuat efek yang luar biasa di tanah India, nyaris-nyaris agama Hindu lenyap dari sana saking kuatnya pengaruh Buddhisme.
Konon Buddha mengkritisi keras praktik tradisi Veda yang melakukan pelbagai korban persembahan untuk upacara keagamaan. Di zaman itu konon ada banyak kaum brahmana menyalahgunakan wewenangnya, dan membuat pelbagai upacara keagamaan yang tidak pada tempatnya. Tradisi Veda ketika itu mengalami zaman kegelapannya, dan untuk menyelamatkan dharma, maka Vishnu turun ke dunia sebagai Buddha.
Setelah melalui pencerahan, Sang Buddha berkeliling negeri menyampaikan tentang kehidupan, tentang dukha, tentang ketidakabadian, dan tentang berakhirnya dukha. Ajarannya tentang cinta kasih dan ahimsa, menjadi pukulan keras bagi praktik tradisi Veda ketika itu yang menggunakan banyak hewan persembahan pada Tuhan dan para dewa.
Buddha menekankan bahwa kesadaran akan kehidupan jauh lebih bernilai daripada praktik yang kejam dan semena-mena. Ajaran Buddha pada tecermin pada Buddhisme dan Zen. Konon, Buddha sama sekali tidak menitikberatkan tentang pemujaan atau ketuhanan, Buddha memperkenalkan apa yang disebut sebagai jalan tengah. Adalah sebuah jalan untuk 'menemukan' self realization.
Lalu sebenarnya apakah ada Tuhan dalam Buddhisme? Saya tidak begitu memahami dengan benar, beberapa doktrin tua – dalam Buddhisme terdapat esensi supreme being, sekarang tergantung sudut pandangnya, apakah dengan doktrin Theravada atau dengan doktrin Mahayana dan Vajrayana.
Pun demikian, tampaknya pada era Buddha, memang sama sekali tidak menyentuh tentang ketuhanan, bahkan Buddha sering dikatakan mempertanyakan tentang ketuhanan itu sendiri. Dalam pelbagai Nikaya, sosok Buddha lebih ditangkap sebagai anti-spekulatif daripada ateistik.
Tuhan merupakan salah satu objek pencarian bagi orang-orang yang katanya religius, di sana-sini ada perdebatan tentang bagaimana Tuhan itu. Bahkan dalam Hindu, sejak dulu ada perdebatan antara kaum Advaita dan Dvaita yang tidak ada habisnya – sesuatu seperti memperbincangkan yang mana ada lebih dahulu "telur atau ayam". Tuhan menjadi hanya sekadar spekulasi pikiran manusia, dan Tuhan yang hadir dari spekulasi itulah yang sering kali menjadi kemelekatan atau keterikatan bagi manusia. Jika ada yang memuja Tuhan-nya, dia akan senang sekali, jika ada yang berbicara buruk tentang Tuhan-nya dia benci sekali, jika ada yang mengheni Tuhan-nya dia bahkan siap mengangkat senjata, jika pimpinan kelompoknya mengatakan bahwa Tuhan-nya perlu ini dan itu, maka ia segera menyiapkannya tak peduli berapa hewan harus dikorbankan dan berapa hutan harus dibabat. Inilah lautan sukha – dukha kehidupan, inilah samsara.
Memupus dukha dan mengakhiri samsara adalah apa yang disampaikan oleh Buddha, bahkan jika itu berarti mengakhiri kemelekatan terhadap Tuhan sendiri. Saya rasa mungkin ini adalah yang menyebabkan pembicaraan tentang Tuhan menjadi tidak esensial dalam Buddhisme, karena ketika kebanyakan orang berbicara Tuhan dalam tataran konsepsi, maka Buddha telah menyampaikan fakta riil tentang kehidupan.
Mencapai pembebasan sepenuhnya, maka Buddha tidak terikat dengan tradisi atau konsep apapun. Kondisi bebas dari pelbagai belenggu ini tercapai dalam nirvana atau nibbana yang secara harfiah bermakna 'padam' – yaitu padamnya sang diri yang menciptakan belenggu dan melahirkan samsara. Kata yang serupa dalam tradisi Veda tentang moksha atau mukti, yang secara harfiah bermakna 'lepas' – lepasnya sang diri dari belenggu samsara.
Demikianlah, banyak orang suci dalam Hindu sendiri menghormati sosok Buddha, Dia yang sudah tercerahkan – Dia yang membimbing orang-orang menuju pembebasan sejati.
Ketika manusia terperangkap dalam dualitas – ia cenderung melahirkan pelbagai konflik di dunia, ia berada dalam samsara. Dalam Hindu, Veda termasuk segala tradisi dan filosofi ketuhanan di dalamnya hanya sebagai alat untuk menyeberangi lautan samsara, dan melahirkan kebebasan yang sejati. Ketika seseorang sudah terbebaskan, maka ia tidak akan memerlukan lagi semua alat itu, semua konsep, tradisi dan filosofi itu.
Selama berada dalam dualitas, manusia hanya melihat hitam, putih dan abu-abu dalam pikirannya, Tuhan bukan sesuatu yang dapat dijangkau oleh pikiran yang terbatas dan terbelenggu. Kebenaran hanya menjadi sebatas nalar, pemikiran, warisan, tradisi, argumentasi, budaya, atau agama. Karena kebenaran itu adalah hasil pikiran manusia yang terbatas, maka ia memiliki sisi-sisi yang dapat bersinggungan dengan kebenaran-kebenaran lainnya, sehingga setiap gesekan potensial menghadirkan konflik. Konflik menghadirkan dukha dan samsara.
Berakhirnya dualitas adalah pembebasan dari semua belenggu, apa yang ada setelah itu, tidak bisa disampaikan dengan kata-kata. Karena kata-kata hanya akan melahirkan pemikiran yang lainnya, dan kata-kata bukanlah 'itu' – apa yang ada ketika berakhirnya dualitas. Kata-kata hanya menyebut 'itu' sebagai kebebesan, kesejatian, kebenaran, Tuhan, atau bahkan 'itu' adalah kamu dan juga aku.
Ini bukanlah sesuatu yang dapat ditangkap pikiran manusia, karenanya, jauh-jauh sebelum masuk ke dalam konsep ketuhanan, tradisi Veda mengingatkan, bahwa 'itu' adalah acintya – tak terjamah oleh pikiran. Karena jika seseorang berusaha menjamah 'itu' dengan pikiran, maka ia akan terperangkap dalam belenggu, dan ini adalah sebentuk ketidacuhannya, ini berbahaya, maka sering juga disebutkan sebagai avidya – sesuatu yang sangat ditakuti oleh Veda itu sendiri. Seluruh cara pencapaian 'itu' terangkum dalam intisari Veda, yang disebut Vedanta – secara harfiah berarti berakhirnya seluruh Veda. Ketika dualitas berakhir, maka 'itu' ada dan nyata baginya – bukan sekadar konsep dan kepercayaan, dan secara sendirinya Veda akan runtuh, karena ia tak lagi diperlukan, karena ia hanyalah kumpulan konsep dan tradisi, ia hanya menggambarkan 'itu; dan menunjukkan jalan menuju 'itu' – namun dia bukanlah 'itu'.
Konsep ketuhanan dalam Veda bisa ditemukan dalam lebih banyak lagi sumber yang valid, tulisan ini saya buat bukan sebagai seorang yang ahli dalam agama Hindu. Saya sama sekali tidak memahami apa-apa tentang agama Hindu, saya hanya seorang pejalan yang pandangan matanya terlalu sempit untuk memandang dunia yang luas.
Saya hanya tidak menyukai perdebatan yang terlalu panjang, bahkan entah di mana ujung pangkalnya. Jika ada yang bertanya lagi pada saya, "bagaimana sih Tuhan-nya orang Hindu itu?" – ya semoga tulisan pendek ini bisa memberikan gambaran ringkas secara konseptual sederhana, tapi secara faktual, saya akan angkat bendera putih – well, I never sightseeing to heaven and meet the Lord itself while saying 'Hi', so I can't describe how is God look like.
Diakses dari: http://catatan.legawa.com/2010/08/konsep-ketuhanan-dalam-hindu/