Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia.1997. (Jakarta: Balai Pustaka), hlm. 751
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo, 1987), hlm. 221
F. Ivan Nye, "Role Constrcts: Measurement," dalam F. Ivan Nye, Role Structure and Analysis of The Familiy (Beverly Hills - London: Sage Publications, 1976), hlm. 15
Martin E.P Seligman, Authentic Happiness, terj. Jalaluddin Rakhmat (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 257-259.
Ibid., hlm. 264.
Sofyan S. Willis, Konseling Keluarga (Bandung: ALFABETA, 2011), hlm. 143.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera
Mohamad Surya, Bina Keluarga, (Semarang: Aneka Ilmu, 2001), hlm. 12.
Norma juga merupakan sesuatu yang mengikat dalam sebuah kelompok masyarakat, yang pada keselanjutannya disebut norma sosial, karena menjaga hubungan dalam bermasyarakat. Norma pada dasarnya adalah bagian dari kebudayaan, karena awal dari sebuah budaya itu sendiri adalah intraksi antara manusia pada kelompok tertentu yang nantinya akan menghasilkan sesuatu yang disebut norma. Sehingga kita akan menumukan definisi dari budaya itu seperti ini; budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Berdasarkan klasifikasinya, norma dikelompokkan menjadi (1) Norma agama, yaitu peraturan hidup manusia yang berisi perintah dan larangan yang berasal dari Tuhan, (2) Norma moral/kesusilaan, yaitu peraturan atau kaidah hidup yang bersumber dari hati nurani dan merupakan nilai-nilai moral yang mengikat manusia, (3) Norma kesopanan, yaitu peraturan atau kaidah yang bersumber dari pergaulan hidup antar manusia, (4) Norma hukum, yaitu peraturan atau kaidah yang diciptakan oleh kekuasaan resmi atau negara yang sifatnya mengikat atau memaksa, Herimanto dan winarmo, Ilmu sosial & budaya dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm. 132
Kant, Fundamental Principles of the Metaphysics of Morals, Translated by Thomas K. Abbott with an introduction by Marvin Fox (New York: The Bobbs-Merill Company, Inc., 1949), hlm. 57.
Robert I. Watson dan Henry Cly Lindgren, Psychology of the Child (New York: Jon Wiley and Sons, 1974), hlm. 187.
Gejala yang ditunjukkan di atas tarafnya bermacam-macam. Mulai dari yang paling ringan hingga yang paling berat. Umumnya, gejala psikologis tersebut dilandasi karena faktor lingkungan. Lingkungan merupakan jaringan yang berkaitan dengan faktor eksternal dan kondisi yang melingkupinya. Kondisi itulah yang kemudian membentuk kepribadian individu dan membentuk caranya merespon berbagai kondisi disekitarnya, seperti problematika keluarga dan kekerasan. Lihat, Dadang Hawari, Al-Qur'an, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan JIwa (Yogyakarta: PT. Dhana Bhakti Prima Yasa, 1995), hlm. 43-45.
Gejala dan keluhan somatik (psikomatis) adalah penyakit fisik dengan keluhan fisik yang disertai gejala-gejala fisik yang nyata. Gejala ini cukup serius untuk menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Penyebabnya adalah tekanan psikologis atau stress. Menurut Bath, gejala pada anak tidak sepenuhnya sama dengan gejala yang dialami orang dewasa. Lihat, Bath, "The Three Pillars of Trauma Informed-Care", Journal Reclaiming Childreen and Youth, Vol.17, No.3, 2008 hlm. 17-21. Lihat Juga Tjipto Susana, "Pendekatan Tiga Pilar Terhadap Anak Yang Mengalami Trauma Kekerasan", Jurnal Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga, Vol. II, No. 3, 2009, hlm. 24-25.
Harian Republika, 19 Oktober 2012, hlm. 1
Kehadiran lembaga social sangat berpengaruh besar terhadap implementasi norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada kebutuhan pokok manusia dalam arti bahwa norma kemasyarakatan itu dikenal, diakui, dihargai, dan kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut lihat, Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Meskipun Anderson berangkat sebagai peneliti yang diklaim sebagai outsider, namun hasil temuannya memiliki sudut pandang tersendiri dan relevan dengan studi keluarga dalam Islam. Lihat, J. N. D. Anderson. Source, "Reforms in Family Law in Morocco", Journal of African Law: Cambridge University Press on Behalf of the School of Oriental and African Studies, Vol. 2, No. 3, 1958, hlm. 148.
Cik Hasan Bisri, Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hlm.8.
Dalam hal ini para ulama' merumuskan suatu kaidah, sebagaimana yang dikutip oleh T.M Hasbie Ash-Shiddieqy, "تناهي النصوص وعدم تناهي الوقائع". T.M Hasbie Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 45.
Jaih Mubarok, Ijtihad Kemanusiaan, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), hlm. 9.
QS. Al-Rum (33): 21.
Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, (Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZAFFA, 2007), hlm. 5-6.
Dalam hal ini disebut juga dengan nuclear family atau keluarga inti (al usrah). Selain itu juga dikenal Al 'Ailah, yang merupakan pengertian luas atau bisaa dikenal dengan extended family. Lebih lanjut lihat, Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 63
Abd al Wahha Khallaf, "Ilmu Ushul al-Fiqh, cet ke-8, (ttp: Maktabah al-Da'wah, 1989), hlm. 32.
QS: Ar-Rum (30): 21
QS. Al-Baqarah (2): 187
Said Agil Husin al-Munawwar, Agenda Generasi Intelektual: Ikhtiar Membangun Masyarakat Madani (Jakarta: Pena Madani, 2003), hlm 62-63.
QS. An-Nisa' (4):19 dan QS. Al-Baqarah (2):228
Badriyah Fayumi, Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda (Yogyakarta : LKiS, 2002), hlm. 106-107
QS. An-Nahl (16):97
Khalil Abdul Karim, al-Sahabah wa al-sahabah (Kairo: Sina Li Nasyr, 1997), hlm. 410-411
CD Room Mausu'ah al-Hadis asy-Syarif al-Kutubu at-Tis'ah,
صحيح البخاري , كتاب النكاح , باب ما يكره من ضرب النساء 4908
Noordjannah Djihantini (ed.), Memecah Kebisuan, Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan, Respon Muhammadiyah (Jakarta: KOMNAS Perempuan, 2009), hlm. 147-149
MEMBANGUN KETAHANAN KELUARGA
MELALUI PENGUATAN PONDASI AGAMA
Oleh: Ashabul Fadhli
(Dosen STAIN Batusangkar)
Abstract
A study of family sociology is a study that looked at that family is made up of social system that affects every element in it. A family portrait which is presented from the results of this study will generate facts and actual social phenomena. One of them is about the resilience of families in the era of globalization. Indeed, families are able to survive are families who have early instill social values in the form of norms and regulations, including religion. This is because religion holds firm control as well as the instructions that are absolute for humans. Thus, the role and function of the family really become a major media to achieve progress and success of the nation.
Keywords: family resilience, sakinah family, norms
Pengantar
Keluarga diyakini sebagai awal terbentuknya dinamika sosial di tengah masyarakat. Kehadiran keluarga sebagai satu kesatuan dari suami, istri dan anak merupakan sistem terkecil yang menghadirkan pola hubungan interpersonal. Maka tidak salah ketika diasumsikan bahwa keluarga secara sioasial memiliki peranan penting secara vertikal melalui peran dan hubungannya sesama manusia (hablum minan nas).
Gerak dan ruang keluarga perlu dipahami secara dinamis. Ini terkait dengan bentuk dan ragam keluarga yang saling berbeda satu sama lain. Setiap keluarga tentu mempunyai standar kehidupan sendiri dalam menjalani perannya. Katakanlah itu dalam hal pembagian peran dan pemahamannya tentang hakikat keluarga. Selain itu, pengaruh perkembangan budaya juga mempengaruhi terhadap kehidupan keluarga. Ini terjadi karena institusi keluarga tidak bergerak secara statis, namun senantiasa terus berkembang mengikuti perputaran zaman.
Menurut pandangan Islam, relasi yang diterapkan dalam keluarga sangat berpotensi untuk membimbing terwujudnya hubungan yang baik (mu'asyirah bil ma'ruf). Ikatan tersebut berawal melalui lembaga perkawinan yang bersifat mitsaqan ghalizhan yaitu perjanjian/ikatan yang kuat yang terbentuk melaui lembaga perkawinan. Perjanjian inilah (akad) yang kemudian bermanifestasi menjadi cikal bakal lahirnya konsep kesesuaian, keseimbangan dan ketahanan dalam keluarga. Kesesuaian tersebut menghasilkan out put yang bersifat mitra antara suami dengan istri, bukan lagi sebagai pemimpin dan yang dipimpin. Begitu juga dengan kehadiran anak. Seyogyanya, anak diposisikan sebagai anugrah yang maha kuasa agar senantiasa bersyukur dan bertanggung jawab atas kepercayaan yang disandang.
Artikel ini disamping mengeksplorasi asumsi dasar mengenai institusi keluarga, juga akan mengkaji lebih jauh tentang konsep ketahanan keluarga dengan menggunakan kacamata sosial dan agama.
Peranan dalam Keluarga
Peranan adalah tindakan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu peristiwa atau bagian yang dimainkan seseorang dalam suatu peristiwa. Peranan lebih banyak menunjukan pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses, jadi tepatnya adalah bahwa seseorang menduduki suatu posisi atau tempat dalam masyarakat serta menjalankan peraturan. Peranan mempunyai aspek-aspek sebagai berikut:
Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi seseorang dalam masyarakat dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat.
Peranan adalah suatu konsep, perihal yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.
Ivan Nye, yang meraih gelar Ph.D dalam studi Sosiologi di Universitas California, membagi teori yang berkenaan tentang sosiologi keluarga yang salah satunya adalah role theory atau teori peran. Role theory adalah teori tentang bagaimana individu mengambil peran dalam hidup. Menurut role theory, peranan adalah sekumpulan tingkah laku yang dihubungkan dengan suatu posisi tertentu, peranan yang berbeda membuat jenis tingkah laku yang berbeda pula, tetapi apa yang membuat tingkah laku itu sesuai dalam suatu situasi dan tidak sesuai dalam situasi lain relatif independent (bebas) pada seseorang yang menjalankan peranan tersebut.
Menurut role theory ini, sebenarnya dalam pergaulan sosial itu sudah ada skenario atau peran-peran yang telah disusun oleh masyarakat, yang mengatur apa dan bagaimana peran setiap orang dalam pergaulannya. Jika seorang mematuhi skenario, maka hidupnya akan harmonis, tetapi jika menyalahi skenario, maka ia akan dicemooh oleh "penonton" dan ditegur oleh "sutradara". Contohnya manusia yang berkumpul di suatu tempat dengan jumlah yang banyak kemudian disebut sebagai masyarakat, masyarakat kemudian menunjuk seorang sebagai pemimpin, misalnya Ketua RT, yang berperan mengatur dan membimbing masyarakat. Demikian juga dengan peran suami, isteri, ayah, ibu, anak, dan seterusnya. Hal ini dikarenakan bahwasanya keluarga merupakan suatu sistem peranan, dimana setiap anggotanya nempunyai peranan yang berbeda namun saling melengkapi.
Dalam masyarakat tradisional struktur peran terlihat kontras satu sama lain. Berbeda dengan masyarakat teknologi maju (modern), tampaknya ditandai dengan keharusan dan luasnya berbagi peran. Dalam kehidupan rumah tangga misalnya, untuk memnuhi segala kebutuhan hidup yang bersifat primer maupun skunder, tentunya suami, istri dan anak harus melakukan pembagian peran. Ketika suami berperan sebagai pencari nafkah, sementara istri tidak bekerja secara ekonomi, maka sudah selayaknya istri mengambil peran pada wilayah domestik. Begitu juga sebaliknya. Namun ketika suami dan istri sama-sama bekerja untuk mencari nafkah, pembagian peran tentu harus dibagi secara bijak. Tanpa mengenyampingkan kewajiban lain seperti pengasuhan anak. Oleh karena itu, harus diasumsikan bahwa tidak semua pasangan akan memberlakukan peran serupa. Dalam kerangka peran ini, dua ukuran peran yang penting ditetapkan:
Pembagian kerja antara suami-isteri dan
Pembagian antara mereka dan pelaku peran lain - baik dalam keluarga maupun dalam organisasi sosial lainnya. Ini memungkinkan berlakunya gambaran peran oleh anggota keluarga lain atau menyewa pembantu.
Sebagai contoh, sejumlah istri berperan sebagai ibu rumah tangga yang bertugas memenuhi kebutuhan keluarganya seperti memasak, mencuci dan sebagainya. Pekerjaan tersebut tidak berarti bahwa mereka memiliki kewajiban untuk melakukannya secara terus-menerus dan akan mendapatkan sanksi jika mereka tidak melakukannya pada konteks tertentu. Hal yang sama dapat dilihat dari sisi suami. Ketika suami bekerja sebagai buruh atau kantoran, tidak menutup kemungkinan akan menerima resiko seperti habis kontrak, dipecat bahkan pensiun. Pada masa transisi itu, istri dapat menyikapi posisi suaminya dengan membantu peran suaminya pada wilayah ekonomi, hingga ekonomi keluarga pulih dan stabil kembali.
Frank Fincham, profesor di State University of New York di Buffalo dan Thomas Bradbury yang juga merupakan Profesor di universitas UCLA selama lebih dari satu dekade menelusuri efek emosi bagi pasangan suami-istri. Menurut hasil penelitian yang dilakukan, sikap optimis (saling percaya dalam berbagi peran) masing-masing pasangan membantu dalam hubungan perkawinan. Dalam tulisannya, dinarasikan bahwa pasangan yang baik adalah pasangan yang selalu membicarakan setiap permasalahan yang datang kepadanya. Ketika salah istri merasa tidak senang/nyaman, suami sehendaknya segera berusaha untuk menemukan penjelasan temporer atas ketidak nyamanan istrinya.
Sebaliknya, hubungan yang tidak baik adalah ketika hubungan itu dimulai dengan emosi yang pesimis. Hubungan pesimis disini dimaksudkan sebagai hubungan yang tertutup dan tidak terbuka satu sama lain. Suami atau istri tidak mau meluangkan waktunya untuk bercerita dan sharing ketika terjadi miskumunikasi atau perpecahan diantara mereka. Akibatnya, pasangan tersebut akan saling menyalahkan dan merasa sama-sama berada di pihak yang benar.
Perbedaan pandangan dan sikap di atas dapat mengarah pada konflik peran (role conflict), dimana pelaksanaan kegiatan atau kerja dengan satu tekanan dapat menyulitkan hal yang lain dengan tekanan yang menyertainya. Role conflict memiliki beberapa tipe:
Konflik antara individu dengan perannya, yaitu konflik yang terjadi antara kepribadian individu dan harapan akan perannya, dengan kata lain konflik yang terjadi dalam individu pemegang peran karena peran yang diterima oleh individu bertentangan atau tidak konsisten dengan harapan pemegang peran.
Konflik intrarole (intrarole conflict), yaitu konflik ini dihasilkan oleh harapan yang kontradiktif terhadap bagaimana peran tertentu harus dijalankan, atau konflik yang terjadi ketika individu-individu pemegang peran dengan harapan yang berbeda saling berinterkasi.
Konflik interrole (interrole conflict), konflik ini dihasilkan dari persyaratan yang berbeda dari dua atau lebih peran yang harus dijalankan pada saat bersamaan,
Konflik overrole (overrole conflict), merupakan tipe konflik peran yang lebih kompleks, terjadi ketika harapan yang dikirimkan pada pemegang peran dapat digabungkan akan tetapi kinerja mereka melampaui jumlah waktu yang tersedia bagi orang yang melaksanakan aktivitas yang diharapkan.
Sebagai solusi atas permasalahan pasangan yang cendrung pesimis (tidak percaya akan peran masing-masing pasangan), terdapat teknik-teknik yang dapat berguna untuk melakukan percakapan sehari-hari. Salah satunya adalah teknik yang disebut "ritual pembicara-pendengar". Dalam menjaga hubungan agar tetap selalu baik, teknik ini penting untuk digunakan. Karena bagi pasangan yang sedang bermasalah, hampir setiap diskusi adalah sensitif dan gampang memuncak hingga menyebabkan pertengkaran.
Ketika suami atau istri merasa bahwa perbincangan tentang uang, seks, mertua adalah hal yang sensitif, teknik ritual diatas penting untuk dilakukan. Saat ritual ini dijalankan, sekiranya butuh selembar tikar atau tempat nyaman yang hanya bisa diduduki oleh pihak pembicara. Artinya, pada tahap ini yang berhak berbicara hanyalah pihak yang memegang tikar. Sementara yang tidak memiliki tikar saat itu hanyalah sebagai pendengar. Pada saat tertentu, si pembicara akan menyerahkan tikarnya kepada pihak pendengar. Artinya saat itu si pendengar telah menjadi pembicara, begitujuga sebaliknya. Ritual ini berisi tentang menyimak dan menanggapi tapi tidak menafsirkan, serta upaya dalam menemukan solusi bagi permasalahan yang sensitif.
Oleh karena itu, ketahanan sebuah keluarga haruslah dimulai dari metode pembagian peran yang baik dan benar. Pembagian tersebut harus terlepas dari bayang-bayang pesimis, ketidak percayaan, menguasai dan kekerasan. Dengan adanya perhatian dan perasaan bahwa pasangannya tidak akan tergantikan, seyogyanya keharmonisan dalam keluarga akan tetap terjaga. Kemampuan menyimak dan berbicara sebagaimana ritual di atas adalah jalan keluar terbaik saat mengahadapi masalah.
Ketahanan Keluarga
Keluarga dapat dipahami sebagai sebuah sistem. Sistem ini terjadi akibat adanya komunikasi dua arah (suami-istri) dan komunikasi segala arah bagi semua anggota keluarga (ayah, ibu dan anak). Maka, setiap komponen keluarga berfungsi untuk saling mengarahkan, membina, memberikan perhatian dan kasih sayang kepada setiap anggota keluarga.
Dalam rangka membangun dan mensejahterakan institusi keluarga, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera disebutkan bahwa keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat mempunyai peran yang penting dalam pembangunan nasional, oleh karena itu perlu dibina dan dikembangkan kualitasnya agar senantiasa dapat menjadi keluarga sejahtera serta menjadi sumber daya manusia yang efektif bagi pembangunan nasional.
Berdasarkan amanat Undang-Undang di atas, maka sudah menjadi suatu keharusan bagi setiap anggota keluarga wajib mengembangkan kualitas diri dan fungsi keluarga. Pengembangan berupa sumber daya manusia (SDM) berpotensi dalam membentuk kemandirian dan mampu mengembangkan kualitas keluarga. Peningkatan SDM tersebut dapat berupa peningkatan pada sisi pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, mental-spritual serta nilai-nilai keagamaan yang sangat penting untuk membentuk pola pikir dalam menyikapi sebuah persoalan. Hal ini dilandasi karena manusia merupakan makhluk sosial dan tak akan pernah bisa lepas oleh pergulatan sosial.
Manusia sebagai makhluk sosial atau yang menurut Aristoteles disebut dengan Zoon Politikon, dikodratkan hidup dalam kebersamaan dalam masyarakat. Kehidupan dalam kebersamaan berarti adanya hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Dalam hubungan sosial itu selalu terjadi interaksi sosial yang mewujudkan jaringan/relasi sosial (a web of sosial relationship) yang disebut sebagai masyarakat. Relasi tersebut menuntut cara berperilaku antara satu dengan yang lainnya untuk mencapai suatu ketertiban.
Agar tercapainya pola hubungan yang bersifat timbal balik sebagaimana di atas, dapat dilakukan dengan membangun mental dan jiwa yang mapan, salah satunya dengan pendidikan. Pendidikan dapat dilakukan secara secara internal dan non-formal berbasis keluarga. Jadi tidak hanya pendidikan yang diterapkan di sekolah formal. Alasannya adalah keluarga menjadi tempat paling strategis dalam membangun karakter manusia. Melalui pranata inilah anak manusia untuk pertama kalinya mengalami proses pendidikan yang sesungguhnya. Anak-anak mengenal cara berkomunikasi, berbahasa, berinteraksi dengan sesama. Hingga pada akhirnya, setiap anggota keluarga siap secara intelektual, pribadi, sosial, spiritual dan fisik.
Penanaman nilai-nilai atau yang lebih familiar dengan sebutan norma-norma tak ayal menjadi suatu keharusan. Tidak hanya yang bersifat duniawi semata, pendidikan agama yang diterapkan dalam keluarga tetap menjadi pondasi utama. Bahkan harus dimulai sejak usia dini. Bahkan, edukasi tersebut telah dimulai sejak bayi masih di dalam kandungan. Sejumlah masyarakat modern misalnya, telah memulainya dengan menggunakan berbagai metode seperti yang marak dilansir oleh media belakangan. Seluruh anggota keluarga ditanamkan kesadaran untuk melakukan pilihan antara nilai-nilai yang dikategorikan salah atau benar, baik atau buruk, pantas atau tidak pantas. Kebiasan-kebiasaan itu dapat dimulai dengan mempraktekkannya dalam kegiatan sehar-hari. Kemudian berlanjut dengan internalisasi nilai-nilai sebagaimana di atas, hingga mendarah daging dalam kehidupan seluruh anggota keluarga.
Mengutip pendapat Immanuel Kant (1724-1804), bahwa norma moral itu mengikat secara mutlak dan tidak tergantung dari apakah ketaatan atas norma itu membawa hasil yang menguntungkan atau tidak. Misalnya norma moral "jangan bohong" atau "bertindaklah secara adil" tidak perlu dipertimbangkan terlebih dulu apakah menguntungkan atau tidak, disenangi atau tidak, melainkan selalu dan di mana saja harus ditaati, entah apa pun akibatnya. Hukum moral mengikat mutlak semua manusia sebagai makhluk rasional.
Pendapat yang dilontarkan Kant di atas mengasumsikan, bahwa moral menjadi bagian terpenting dalam pertumbuhan karakter manusia. Moral sejatinya dapat menjadi garda terdepan dalam menyikapi segelumit persoalan. Institusi keluarga pun ditantang untuk siap menggempur setiap perubuhan yang datang. Tak jarang, dalam menjalani proses tersebut, ketika keluarga tidak lagi memiliki ketahanan yang baik, tentu akan mengalamai disorientasi nilai, yakni kehilangan arah dalam menentukan pilihan-pilihan hidup. Mobilitas yang berlebihan membuat beban dan fungsi keluarga menjadi lebih berat. Indikasinya akan melahirkan keluarga-keluarga yang keluar jalur (out-reach) atau berantakan. Jika sudah begini, sejumlah prilaku yang bersifat devian atau menyimpang akan lahir sebagai wujud ketidak mapanan.
Menurut riset yang pernah di lakukan, ketidak mapanan peran seorang ayah atau ibu tanpa disadarai akan berimbas lansung terhadap anak. Faktor penelantaran dan kekerasan adalah resiko yang cendrung dialami anak. Konflik suami istri menghadirkan problem baru bagi perkembangan anak. Anak akan cendrung mengalami masalah kesehatan mental yang berarti, serta berbagai kesulitan penyesuaian lainnya. Masalah kesehatan mental itu meliputi trauma, kecemasan, dan depresi, serta perilaku menantang, agresif, nakal dan sebagainya.
Prilaku negatif yang dilakukan anak, akan terus berlanjut hingga ke bangku pendidikan di sekolah formal. Anak akan terjebak pada ketidakmampuannya dalam mengikuti jam pelajaran dengan baik, menyelesaikan tugas dan mendapatkan nilai yang buruk. Dengan demikian, keluhan somatik seperti sakit kepala, sakit perut, asma, dan masalah eliminasi sering dialami oleh seorang anak. Apalagi pemberitaan di sejumlah media cetak maupun elektronik secara lugas menginformasikan, bahwa dunia pendidikan secara tidak lansung turut menerapkan beban ganda kepada peserta ajar.
Seperti yang dilansir oleh Dirjen pendidikan dasar kemendikbud Suyanto beberapa waktu lalu, bahwa jumlah pelajaran yang berlaku saat ini membebani siswa. Kurikulum pendidikan yang di luar batas kemampuan dan kebutuhan siswa, penambahan waktu belajar dengan mendorong anak mengikuti jam pelajaran tambahan, penerapan sangsi-sangsi yang kurang menunjang tercapainya tujuan pendidikan, disertai disiplin yang terlalu ketat, ketidak harmonisan antara peserta didik dan pendidik, kurangnya kesibukan belajar dirumah adalah segelumit persoalan yang dihadapi anak. Proses pendidikan seperti ini jelas sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan anak. Konflik keluarga dan pembiaran yang terus-menerus akan berujung pada kenakalan remaja.
Meskipun demikian, jika meminjam konsep yang ditawarkan Aristoteles di atas, institusi keluarga pada dasarnya tentu tidak berdiri sendiri. Sejumlah paguyuban yang langgeng di tengah masyarakat turut menopang pertahanan dari institusi keluarga. Keluarga tumbuh dan berkembang dalam institusi sosial sebagai bagian dari sistem sosial keseluruhan. Lembaga-lembaga kemasyarakatanpun turut menjadi suplemen dalam membentuk kepribadian anak bangsa, seperti (1) Memberikan pedoman pada anggota-anggota masyarakat, bagaimana mereka harus bersikap atau bertingkah laku dalam menghadapi masalah-masalah yang muncul di lingkungan masyarakat, termasuk yang menyangkut hubungan pemenuhan kebutuhan, (2) Menjaga keutuhan masyarakat yang bersangkutan, (3) Memberikan pengarahan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial, yaitu sistem pengawasan masyarakat terhadap anggota-anggotanya.
Disinilah letak pentingnya penguatan ketahanan keluarga, baik yang berasal dari internal keluarga maupun dari interaksi yang ditawarkan lembaga kemasyarakatan dalam membentuk kepribadian bagi masing-masing anggota keluarga. Ketika dua hal ini telah dilaksanakan secara optimal mulai dari pengenalan norma-norma, adat istiadat, tradisi dan berbagai pranata sosial lain tentu akan mendatangkan warna baru yang dapat mengilhami seluruh lapisan masyarakat, terutama keluarga.
Membangun Keluarga dengan Semangat Al Qur'an
Pada kajian sosiologi, dinamika yang terungkap dalam institusi keluarga dipotret melalui jalinan interaksi dan relasi sosial yang berkembang. Ikatan yang membentuk keluarga dapat dikatakan sebagai perjanjian yang kokoh (a stable covenant), kasih sayang yang tulus (founded on sincere affection), kerjasama yang kompak (genuine co-operation), perawatan yang komperhensif (comprehensive care), dan saling menghormati (mutual respect). Hal tersebut tidak lain supaya keluarga bisa bermartabat dan berkepribadian yang penuh tanpa ada penghalang dan ketimpangan peran dan hak antara suami, istri dan anak.
Berbeda dengan ketentuan yang bersumber dari Al Qur'an, gejala dan interaksi sosial yang ditunjukkan oleh manusia terikat oleh aturan Tuhan yang disebut Taqdir (Q.S Al Furqan: 2; Yasin: 38). Gejala kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, yang memiliki karakteristik individual dan kolektif, terikat oleh hukum Allah yang disebut Sunnatullah (Q.S Al-Ahzab: 38, 62: Fathir: 43; Al-Mu'min: 85; Al-Fath: 23), yang secara empiris dikenal sebagai gejala perilaku manusia (human behaviour). Sementara itu, gejala kehidupan manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan berperadaban, yang memiliki keyakinan dan norma-norma kehidupan, terikat oleh hukum Allah yang disebut Syari'ah (Q.S Al-Syura: 13, Al-Jatsiyah: 18). Suatu "jalan kehidupan menuju mata air kebahagiaan", sebagaimana tertuang dalam berbagai perintah (al-awamir) dan larangan (al-nawahi) Allah, yang secara empiris dikenal sebagai gejala budaya. Kandungan Q.S Al-Hujurat: 13, misalnya, menunjukkan bahwa manusia yang diciptakan Allah dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan dapat dipandang sebagai makhluk biologis. Ketika manusia dijadikan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, dapat dipandang sebagai makhluk sosial. Sedangkan ketika menusia diperintahkan untuk saling mengenal dan penilaian terhadap derajat mereka dengan menggunakan tolak ukur ketakwaan, dapat dipandang sebagai makhluk budaya, yang memiliki keyakinan dan terikat oleh norma-norma kehidupan.
Uraian di atas semakin menegaskan bahwa kehidupan manusia dalam berprilaku (taklif) terikat oleh hukum Tuhan. Ketentuan hal ini tidak terlepas dari norma atau kaidah yang ditetapkan. Namun, kebutuhan sosial masyarakat tidak selamanya termaktub di dalam titah Tuhan ataupun rasul-Nya secara eksplisit. Oleh karena itu, diperlukan suatu usaha untuk memahami Al Qur'an dan Sunnah yang kemudian disebut ijtihad; dan produk ijtihadnya disebut fikih.
Fikih keluarga secara etimologi disebut juga dengan Al Ahwal Asy Syakshiyyah. Fikih ini merupakan grand design dari konsep keluarga ideal untuk mewujudkan ketahanan keluarga menurut pandangan Islam. Al Qur'an telah menegaskan bahwa, pembentukan jalinan keluarga dimaksudkan sebagai upaya (1) memelihara kehormatan diri (hifzh al-nafs) agar mereka tidak terjerumus ke dalam perbuatan terlarang, (2) memelihara kelangsungan kehidupan manusia/keturunan (hifz al-nasl) yang sehat, (3) mendirikan kehidupan rumah tangga yang dipenuhi kasih sayang antara suami dan istri dan saling membantu antara keduanya untuk kemaslahatan bersama.
Secara istilah/terminology fikih keluarga Islam adalah fikih yang mengatur kehidupan keluarga yang dimulai dari awal pembentukan keluarga (peminangan), sampai dengan berakhirnya keluarga (wafat atau perceraian) yang berisi pembahasan seputar Munakahat (perkawinan), Mawaris (pewarisan) dan juga wakaf.
Namun secara umum pengertian keluarga dapat dilihat dari dua sisi, pengertian sempit dan pengertian luas. Keluarga dalam pengertian sempit adalah kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami, isteri, dan anak yang berdiam dalam satu tempat tinggal. Tujuannya adalah untuk mengatur hubungan antara suami, istri, dan anak dalam keluarga.
Mengingat sangat pentingnya peran keluarga dalam kehidupan ini, maka Islam juga telah menawarkan konsep tentang keluarga, yang disebut oleh Al-Qur'an dengan istilah keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah. Hubungan suami istri dalam keluarga diibaratkan seperti pakaian/libas. Suami adalah pelindung bagi istri, dan istri adalah pelindung bagi suami.
هن لبا س لكم وانتم لبا س لهن علم الله انكم كنتم تختانون انفسكم فتا ب عليكم وعفا عنكم
Menurut Said Agil, kata sakinah diambil dari akar kata yang terdiri atas huruf sin, kaf, dan nun yang mengandung makna ketenangan, diam atau tidak bergerak, Antonim dari guncang dan gerak. Berbagai bentuk kata yang terdiri atas ketiga huruf tersebut semuanya bermuara pada makna di atas. Rumah dinamai maskan karena ia merupakan tempat untuk meraih ketenangan setelah sebelumnya sang penghuni bergerak (beraktivitas di luar rumah). Mawaddah adalah jenis yang lebih melihat kualitas pribadi pasangan, dan rahmah adalah jenis cinta kasih yang lembut, siap berkorban dan siap memberi perlindungan kepada yang dicintai.
Disebutkan bahwa sakana juka mempunyai derivasi sukkan, yang berarti penduduk, artinya kelurga adalah persekutuan atau perkumpulan hidup yang dimulai dengan pernikahan. Sehingga mengandung makna, keluarga sakinah adalah hidup berekelompok atara dua insan yang berbeda jenis kelamin untuk membentuk intraksi antara pasangan dan anggota keluarga yang didahului dengan upacan akad nikah.
Atas dasar itu, terpenuhinya konsep sakinah, mawaddah dan rahmah dalam keluarga berarti telah mencerminkan ajaran Al Qur'an yang disebut mu'asyarah bi al-ma'ruf (pergaulan suami istri yang baik), serta keseimbangan antara hak dan kewajiban. Ayat-ayat ini memberikan pengertian bahwa Tuhan menghendaki perkawinan dan relasi suami istri berjalan dalam pola interaksi yang harmonis, suasana hati yang damai serta keseimbangan hak dan kewajiban. Dengan kata lain dapatlah dikatakan bahwa mu'asyarah bi al-ma'ruf merupakan landasan moral yang harus dijadikan acuan dalam semua hal yang menyangkut hubungan suami-istri.
Prinsip keseimbangan dalam keluarga, mengandung pengertian bahwa baik suami maupun istri memilki kewajiban yang sama, yakni melaksanakan perintah-perintah agama. Dalam tatanan relasi antar manusia, setiap laki-laki maupun perempuan memiliki peluang yang sama untuk memperoleh pahala bila mampu menjalankan perintah agama. Dan memiliki peluang yang sama untuk di azab bila masing-masing dari keduanya melanggar perintah-perintah tersebut. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Surat An-Nahl (16):97 yang berbunyi:
من عمل صلحا من ذكر او انثى وهو مؤمن فلنحيينه حيوة طيبة ولنجزينهم اجرهم با حسن ما كا نوا يعملون
Diriwayatkan dari Hamid Ibn Nafi' dari Ummu Kulsum binti Abu Bakar Shiddiq, bahwa Nabi pada suatu ketika di malam hari, didatangi oleh tujuh puluh perempuan yang kesemuanya mengadukan perihal pemukulan yang dilakukan suami mereka. Atas kejadian itu, Nabi menjadikan salah satu misi dakwah terpentingnya yakni membenahi tatanan kehidupan rumah tangga menuju keluarga sakinah, jauh dari prilaku kasar, penghinaan dan pemukulan.
Dalam salah satu khutbahnya, dengan nada yang sedikit keras, Nabi menyeru para suami untuk meninggalkan prilaku-prilaku kasar dan melarang memukul istri-istri mereka. Sebagaimana sabda beliau, "Janganlah kamu memukul istrimu seperti kamu memukul budakmu, yang kemudian di malam harinya kamu gauli, tidakkah kamu malu."
حدثنا محمد بن يوسف حدثنا سفيان عن هشام عن أبيه عن عبد الله بن زمعة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لا يجلد أحدكم امرأته جلد العبد ثم يجامعها في آخر اليوم
Dalam hadis yang diriwayatkan Sunan Ibn Majah di atas, merupakan peringatan bagi para suami akan hak dan kewajibannya terhadap istrinya. Perintah berbuat baik dan larangan bertindak kekerasan, pada dasarnya sejalan dengan prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh Al Qur'an.
Sehubungan dengan itu, dapat diambil benang merah bahwasanya suami dan istri yang ideal sebagaimana yang telah dituntun oleh Rasulullah sebagai berikut:
Suami yang ideal Adalah :
Suami yang dapat berperan sebagai qawwam, bertanggung jawab, serta dapat melindungi dan mengayomi istri.
suami yang mampu memberikan nafaqah secara hasanah.
Menjadi mitra istri dalam mengokohkan budi pekerti dan akhlak mulia
Mendukung mengembangkan potensi dan aktualisasi diri istri sebagai khalifatullah
memberi perhatian dan selalu menjaga nama baik istri dan keluarganya.
Menciptakan hubungan yang demokratis dan seimbang dalam pengambilan keputusan dalam keluarga.
Mendialogkan dengan cara ma'ruf setiap masalah yang dapat menimbulkan konflik.
menghindari berbagai bentuk kekerasan, baik melalui nucapan, tindakan yang dapat menyebabkan penderitaan fisik maupun psikis.
Istri yang ideal adalah:
Qanitah, yaitu taat pada norma-norma agama, moral dan hukum.
Hafizhah yaitu menjaga kehormatan diri dan amanah
Menjadi mitra suami dalam mewujudkan kesakinahan keluarga.
Mengembangkan potensi dan aktualisasi diri sebagai khalifatullah
Bermusyawarah dengan suami dalam mengambil keputusan untuk kepentingan pengembangan diri, keluarga dan masyarakat.
E. Kesimpulan
Terwujudnya ketahanan keluarga seyogyanya tidak lepas dari beberapa faktor yang mempengaruhinya. Diantara faktor-faktor tersebut adalah upaya membentuk kepribadian anggota keluarga yang syarat dengan nilai atau norma. Hal itu penting disegerakan mengingat nilai atau norma adalah stimulan dalam pembentukan konsep diri. Dengan demikian, upaya tersebut harus berangkat melalui proses pembudayaan serta pemberdayaan mulai dari tingkat keluarga hingga masyarakat.
Faktor lain yang mempengaruhi ketahanan keluarga adalah keluwesan dalam berbagi peran. Ibarat pementasan teater, alur cerita tidak akan berjalan lancar ketika setiap aktor tidak menjalani perannya dengan baik dan benar. Semuanya tentu harus dilakukan secara berimbang. Pemenuhan hak dan kewajiban ditopang atas dasar amanah dan tanggung jawab. Ketika tawaran di atas dapat diterapkan secara optimal, pewacanaan kehidupan konsep keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah tentu akan mudah terealisasikan. Serupa dengan apa yang pernah diajarkan Rasulullah dalam sunahnya, bahwa Rasulullah meletakkan standar indikasi kesuksesan dunia dan akhirat adalah dengan meraih trust, competence dan responsibility.
DAFTAR PUSTAKA
Agil Husin al-Munawwar, Said, Agenda Generasi Intelektual: Ikhtiar Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Pena Madani, 2003.
Ash-Shiddieqy, Hasbie, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975
Djihantini, Noordjannah (ed.), Memecah Kebisuan, Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan, Respon Muhammadiyah Jakarta: KOMNAS Perempuan, 2009
Fayumi, Badriyah, Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda, Yogyakarta : LKiS, 2002.
Hawari, Dadang, Al-Qur'an, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Yogyakarta: PT. Dhana Bhakti Prima Yasa, 1995
Herimanto dan winarmo, Ilmu sosial & budaya dasar, Jakarta: Bumi Aksara, 2010
I. Watson, Robert dan Henry Cly Lindgren, Psychology of the Child, New York: Jon Wiley and Sons, 1974
J. N. D. Anderson. Source, "Reforms in Family Law in Morocco", Journal of African Law: Cambridge University Press on Behalf of the School of Oriental and African Studies, Vol. 2, No. 3, 1958
Kant, Fundamental Principles of the Metaphysics of Morals, Translated by
Nye, F. Ivan, "Role Constrcts: Measurement," dalam F. Ivan Nye, Role Structure and Analysis of The Familiy, Beverly Hills - London: Sage Publications, 1976
Seligman, Martin, Authentic Happiness, terj. Jalaluddin Rakhmat, Bandung: Mizan, 2005
Soekanto, Soejono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Susana, Tjipto, "Pendekatan Tiga Pilar Terhadap Anak Yang Mengalami Trauma Kekerasan", Jurnal Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga, Vol. II, No. 3, 2009
Thomas K. Abbott with an introduction by Marvin Fox, New York: The Bobbs-Merill Company, Inc., 1949
Hasan Bisri, Cik, Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004
Mubarok, Jaih, Ijtihad Kemanusiaan, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005
Nasution, Khoiruddin, Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZAFFA, 2007
Kadir Muhammad, Abdul, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993
Khallaf, Abd al Wahhab Ilmu Ushul al-Fiqh, cet ke-8, ttp: Maktabah al-Da'wah, 1989
S. Willis, Sofyan, Konseling Keluarga, Bandung: ALFABETA, 2011.
Surya, Mohamad, Bina Keluarga, Semarang: Aneka Ilmu, 2001
Lain-lain
CD Room Mausu'ah al-Hadis asy-Syarif al-Kutubu at-Tis'ah,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia.1997. Jakarta: Balai Pustaka
Harian Republika, 19 Oktober 2012, hlm. 1
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera
19