ISSN 2089 -3019
9 772089 30102 8
Membuka Cakrawala
Menghunus Waktu
Menyelami Dimensi
Menebas Jarak
Menyelami Sukma
Menadah Embun
Meraik Momentum
ISSN: 2089-3019
MOMENTUM Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial dan Keagamaan Volume 02, Nomor 02, November 2012 Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Sekolah Tinggi Islam Blambangan (STIB) BANYUWANGI
Pelindung Drs. H. Teguh Sumarno, MM Penasehat Dra. Hj. Isnaiwati, M.Pd Penanggung Jawab Drs. Suyitno, M.Pd Ketua Redaksi Dadang Aji P, S.Fil.I., M.Hum. Wakil Ketua Redaksi M. Amir Mahmud, S.H.I., MA Redaktur Pelaksana Agus Sultoni, S.Fil.I., M.S.I
Penyunting Dr. Hasyim Ashari, M.S.I Umi Najikhah Fikriyati, MA Vaesol Wahyu Eka, S.Pd.I., M.Pd.I Hendro Juwono, ST., MM
Bendahara Didik Subiyanto, S.Sos Layout dan Desain Sultoni, SS Wisnu Utomo Distributor Hadiqoh Asmuni, S.Pd.I Hafidz Indri Purbajati, M.Hum
MOMENTUM adalah publikasi ilmiah enam bulanan yang memfokuskan kepada isu-isu sosial dan keagamaan. Naskah artikel dalan jurnal ini dihasilkan dari penelitian empirik dan penelitian konseptual (hasil refleksi kritis atas suatu konsep atau teori tertentu). Jurnal MOMENTUM diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Sekolah Tinggi Islam Blambangan (STIB) Banyuwangi. Redaksi menerima dan mengundang berbagai kalangan baik dosen, mahasiswa, cendikia, peneliti ataupun para pemikir yang ingin menumpahkan ide-ide kreatif, inovatif dan solutif-nya dalam upaya mengembangkan khazanah ilmu sosial dan keagamaan. Alamat Redaksi:
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Bakti Indonesia (UBI) Kampus Terpadu Bumi Cempokosari No. 40 Cluring-Banyuwangi Telp. 0333-392720, Fax. 0333-392216 E-Mail:
[email protected] [email protected]
PENGANTAR REDAKSI Jauh hari para akademisi telah mengumandangkan bahwa jurnal merupakan sebuah labolatorium ilmiah, alias wadah untuk mengotak-atik, mengekplorasi, bereksperimen, mengolah dan membedah berbagai khazanah ilmiah yang bergulir seiring dengan dinamika kehidupan manusia yang kompleks. Oleh karena itu, tidak heran jika jurnal menjadi media para ilmuwan untuk berdiskusi, mengkritisi dan menetaskan gagasan-gagasan baru. Gagasan-gagasan yang mampu menjadi resep generik dalam menanggulangi berbagai anomali dan patologi sosial. Jurnal merupakan respon ilmiah atas berbagai fenomena kehidupan manusia yang terus menuntut kita untuk berpartisipasi aktif secara nyata dalam memecahan berbagai problematika dunia. Eksistensi jurnal bukan semata-mata rentetan koleksi tulisan atau ide-ide hampa yang dipampang sebagai asesoris akademis, terlebih untuk meningkatkan gengsi, atau bahkan sebagai ajang narsis. Wujud jurnal merupakan nadi wacana akademis layaknya penelitian yang menjadi nadi ilmu pengetahuan. Petuah yang telah digaungkan para akademisi di atas, tiada lain merupakan generator yang menggerakan kami untuk menerbitkan jurnal Momentum dua kali dalam setahun. Penerbitan jurnal ini merupakan respon moral dan intelektual atas berbagai kegamangan dan anomali-anomali yang timbul di dalam rutinitas dan ritualitas kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat Indonesia. Melalui jurnal ini kami berusaha untuk memtransformasikan berbagai ide atau gagasan yang berkembang seiring dengan deras arus zaman. Selain itu, sebagaimana diungkapkan di atas, harapan kami kehadiran jurnal ini benar-benar mampu menjadi labolatorium atau inkubator sivitas academica, -khususnya yang berada dalam naungan Sekolah Tinggi Islam Blambangan (STIB) Banyuwangi- yang darinya menetas ide-ide baru yang transformatif, aplikatif dan solutif. Sejak pertama kali muncul, kami selalu mengidamkan agar jurnal ini terbit seideal mungkin sebagaimana fungsi dan tujuannya. Namun, seperti pepatah lama yang sering diungkapkan oleh para leluhur kita, "tak ada gading yang tak retak". Pepatah tersebut menyadarkan kami bahwa ruang lingkup jurnal Momentum hanya membahas secuil (sosial-keagamaan) dari kompleksitas permasalahan hidup manusia. Maka dari itu, menjadi maklum jika jurnal ini masih jauh dari kata sempurna dan harapan ideal, apalagi eksistensi jurnal ini masih seumur jagung. Lebih lanjut, kami pun menyadari bahwa untuk menggapai format ideal sebuah jurnal, diperlukan ekplorasi dan penjelajahan pulau-pulau dan belantara hutan ilmiah serta membuka ruang-ruang dialogis atau komunikasi. Oleh karena itu demi kemajuan dan kematangan materi-materi yang akan diterbitkan pada edisi selanjutnya, kami mengharapkan dan menanti masukan, sanggahan atau bahkan kritik dari semua pembaca. Dari sekian waktu yang kami habiskan untuk menyusun jurnal ini, tidak afdhol jika tidak menyebutkan orang-orang yang berperan aktif demi terbitnya jurnal ini. Mereka itu adalah pembina dan ketua Yayasan Puspa Dunia, Drs. H.Teguh Sumarno, MM dan Dra. Hj. Isnaeniwati, M.Pd, Ketua STIB, Drs. Suyitno, M.Pd, dan seluruh keluarga besar STIB, utamanya Amir Mahmud, MA., Hasim Ashari, MSI., Agus Sultoni, MSI., Vaesol Eka Wahyu, M.Pd.I, Hadiqoh Asmuni, S.Pd.I., Didik Subiyanto, S.Sos dan mas Wisnu. Pun
dengan para hidden man yang mendukung di balik bilik redaksi yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Dan tidak lupa kepada para penulis dihaturkan terima kasih. Last but not least, Tak ada curahan rasa yang paling indah, selain yang terucap dalam Alhamdulillah, dan tak ada tujuan yang paling indah selain menggapai keridoanNya. Karena itu, sedalam isi qalbu kami menghaturkan terima kasih atas keridoanMu. Atas ridho dan kuasaMu-lah jurnal Momentum Volume 02, No. 02 November 2012 ini bisa terbit.
Banyuwangi, 2012
ISSN: 2089-3019
MOMENTUM Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial dan Keagamaan Volume 02, Nomor 02, November 2013
DAFTAR ISI Dewan Redaksi Pengantar Redaksi Daftar Isi Pesantren di Tengah Kepungan Globalisasi M. Amir Mahmud ................................
1
Gaya Hidup Masyarakat Hiper-Realitas di Panggung Postmodernitas Dadang Aji Permana ...............................
11
Pemberdayaan Wanita Rawan Sosial Ekonomi (Wrse) Melalui Penerapan Technology Of Partisipatory (Top) Di Desa Sarimulyo Kecamatan Cluring Kabupaten Banyuwangi Hendro Juwono, Agus Sultoni Hadiqoh A &Vaesol Wahyu ................
32
Membangun Ketahanan Keluarga Melalui Penguatan Pondasi Agama Ashabul Fadhli .........................................
53
LGBT dalam Kontroversi Sejarah Seksualitas dan Relasi Kuasa Noviandy ................................................
65
Ber-Multikultural dalam Feminisme Fiena “Ulya ........................................
77
Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam dalam Surat Luqman Aufa Safrijal Putra .................................
Pedoman Penulisan
90
Pesantren Di Tengah Kepungan Globalisasi
PESANTREN DI TENGAH KEPUNGAN GLOBALISASI Oleh
M. Amir Mahmud⃰
[email protected] Abstrak Percepatan informasi dan teknologi menjadikan dunia seolah tanpa jarak dan batas. Inilah yang kemudian di sebut dengan worl flat (dunia yang datar). Kehadiran pesantren disebut sebagai agen perubahan sosial yang melakukan kerja-kerja pembebasan (liberation) pada masyarakat dari kehancuran moral, penindasan politik dan ekonomi, pemiskinan ilmu pengetahuan, dan tak ketinggalan kesesatan dalam ideologi. Globalisasi dengan neoliberalismenya membawa dampak negatif yang tak terelakkan. Meskipun ada aspek keberhasilan yang diraih dari globalisasi, namun hanya sedikit kelompok yang merasakanya. Globalisasi yang awalnya sangat mengancam posisi pesantren ternyata justru telah menimbulkan semangat jihad para kyai untuk tetap memperjuangkan agama Islam lewat jalur pesantren dengan menggunakan sistem yang modern. Kata kunci: pesantren, kepungan, globalisasi
Pendahuluan
1
Arus perubahan sosial masyarakat bergulir semakin cepat. Percepatan informasi dan teknologi menjadikan dunia seolah tanpa jarak dan batas. Inilah yang kemudian di sebut dengan world flat (dunia yang datar). Dimana setiap manusia di muka bumi manapun dapat melakukan komunikasi dan perjumpaan tanpa batasan waktu dan jarak. Dunia dapat kita hadirkan dalam genggaman dan ruang-ruang kerja. Orang sering menyebut proses ini sebagai globalisasi. Seiring dengan itu, perubahan dalam masyarakatpun menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Ada ancaman dan juga peluang yang dapat ditangkap oleh masing-masing kelompok ataupun individu masyarakat. Tak ketinggalan terhadap dunia pendidikan Islam tradisional, pesantren. Sebuah lembaga pendidikan yang keberadaannya jauh sebelum terbentuknya bangsa Indonesia dan juga dikenalnya sistem pendidikan klasikal ala barat oleh masyarakat Indonesia saat ini. Karenanya tidak berlebihan jika Nurcholis Madjid menyebutnya sebagai Indigenous pendidikan Indonesia yang juga memiliki makna keindonesiaan.1 Pesantren merupakan lembaga pendidikan pertama di Indonesia yang sebenarnya tidak hanya sebatas pada transformasi pengetahuan agama Islam (tafaquh fi al-din). Namun pesantren menurut Haedari Amin2 memiliki fungsi yang tak kalah penting, yakni kontrol sosial dan juga perekayasa sosial (social engineering). Ketiga fungsi tersebut diperankan oleh pesantren dalam rangka mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih baik, dalam kehidupan di dunia maupun di hari kelak (akhirat).
M O M E N T U M
⃰ Dosen Sekolah Tinggi Islam Blambangan (STIB) Banyuwangi. 1 Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), 3. 2 Haedari Amin, dkk., Panorama Pesantren dalam Cakrawala Modern (Jakarta: Diva Pustaka, 2005), 17. Volume 02 No. 02 November 2012
Pesantren Di Tengah Kepungan Globalisasi
Sebagaimana diungkapkan oleh Saefudin Zuhri3 pesantren sebagaimana awal keberadaanya merupakan respon terhadap situasi dan kondisi sosial suatu masyarakat yang dihadapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral. Kehidupan masyarakat saat itu ditengarai lekat dengan kemaksiatan dan kedzoliman, baik yang dilakukan oleh penguasa maupun kelompokkelompok penindas. Kehadiran pesantren disebut sebagai agen perubahan sosial yang melakukan kerja-kerja pembebasan (liberation) pada masyarakat dari kehancuran moral, penindasan politik dan ekonomi, pemiskinan ilmu pengetahuan dan tak ketinggalan kesesatan dalam ideologi. Pendek kata, pesantren mampu mentransformasikan masyarakat dari kekafiran menuju kesalihan, dan kefakiran menuju kamakmuran dan kesejahteraan. Kehadiran pesantren menjadi suatu keniscayaan sebagai institusi yang dilahirkan atas kehendak dan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian pesantren telah membentuk hubungan yang harmonis sehingga komunitas pesantren kemudian diakui sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat pembentuknya. Pada tataran ini pesantren telah berfungsi sebagai pelaku kontrol sosial, pengembang (social engeneering) sekaligus pemberdaya masyarakat (empowering). Sebagai institusi pendidikan, pesantren berfungsi mentransformasi ajaran universalits Islam ke seluruh pelosok nusantara yang bercorak plural, baik dalam dimensi kepercayaan, budaya dan sosial masyarakat. Ilmu keagamaan yang di sebarluaskan pesantren tentu saja bertentangan dengan kepercayaan dan keyakinan masyarakat saat itu. Namun kepiawaian para wali, berhasil mentransformasi ilmu-ilmu agama Islam yang diterima masyarakat dengan tangan terbuka (penetration pasifique). Hal ini tak lepas dari nilai-nilai ajaran yang dibawa bersifat inklusif, egaliter, patriotik, luwes dan bergairah dalam upaya-upaya transformatif. Internalisasi nilai-nilai telah melahirkan kader-kader bangsa yang patriotis dan berpandangan inklusif. Pada tataran ini pesantren berfungsi sebagai institusi pendidikan yang sangat berarti dalam masyarakat. Sejalan dengan perubahan zaman, pesantren sebagai institusi pendidikan dan juga pengembang masyarakat mengalami benturan-benturan. Terutama ketika dihadapkan dengan sebuah masa yang sering kita sebut sebagai globalisasi. Paling tidak tiga fungsi sebagaimana disebutkan di atas mendapat ujian dari sebuah masa yang berideologi liberalisme. Pertama, pesantren sebagai institusi pendidikan Islam tradisional, mulai tidak mendapatkan tempat dalam kehidupan masyarakat. Kedua, merupakan akibat lebih lanjut, yakni tercerabutnya pesantren dari fungsi vitalnya sebagai perekasaya (social engineering) dan pengembang masyarakat. Hal ini terjadi karena pesantren mulai menutup diri dari dunia luar dan bahkan cenderung eksklusif. Hal ini ditandai dengan kecurigaan akan hal-hal baru. Apakah kondisi ini akan terus berlanjut dalam kehidupan pesantren? Mengapa pesantren menjadi cenderung eksklusif ditengah perkembangan masyarakat? Lalu bagaimana peluang pesantren dalam mengarungi masa depannya dalam tatanan kampung global (global village)? Tulisan ini hendak memperbincangkan ancaman global terhadap dunia pendidikan Islam tradisional, pesantren dan mencoba melihat peluang yang dapat diraih pesantren untuk terus dapat memainkan fungsinya sebagai institusi pendidikan alternatif dan sekaligus perekayasa sosial.
3 Saefudin Zuhri, “Pendidikan Pesantren di Persimpangan Jalan.“, dalam Said Aqiel Siradj, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999. Volume 02 No. 02 November 2012
2 M O M E N T U M
Pesantren Di Tengah Kepungan Globalisasi
Sekilas Tentang Pesantren Pesantren awalnya merupakan sebuah lembaga pendidikan yang didirikan oleh seorang untuk mentrasferkan ilmu pengetahuannya kepada masyarakat setempat. Kyai adalah seorang alim ulama yang memiliki pengetahuan keagamaan yang mendalam. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mengajarkan pengetahuan keagamaan yang diambil dari kitab-kitab "kuning"5 klasik. Zamakhsyari Dhofier menyebutkan setidaknya ada lima elemen terbentuknya sebuah pesantren, yakni; kyai, masjid, santri, podokan (asrama tempat santri tinggal), dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik).6 Kelima elemen tersebut merupakan ciri khusus yang dimiliki pesantren dan membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan yang lain. Meskipun kelima elemen tersebut saling mendukung eksistensi pesantren figur kyai nampaknya elemen yang begitu sentral dalam dunia pesantren. Sebagai salah satu unsur dominan dalam kehidupan pesantren, kyai mengatur irama perkembangan dan kelangsungan kehidupan suatu pesantren dengan keahlian, kedalaman ilmu, karismatik, dan ketrampilannya. 7 Seorang kyai pada umumnya menjadi direktur sekaligus manajer bagi pesantren yang dipimpinnya. Inilah yang seringkali manajerial dalam pesantren terkesan "amburadul", dikarenakan segala sesuatu terletak pada kebijakan dan keputusan kyai. Seringkali pula kecakapan manajerial secara profesional yang dimiliki seorang kyai kurang memadai. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mentransformasikan keilmuan Islam yang banyak ditulis pada masa keemasan Islam abad XV. Dengan menggunakan metode sorogan,8 wetonan9 dan bandongan.10 Kitab-kitab klasik yang diajarkan mencakup cabangcabang ilmu; fiqh, tauhid, tasawuf dan nahwu-sharaf (ilmu gramatikal bahasa Arab). Menurut Nurcholis Madjid,11 konsentrasi keilmuan yang berkembang dipesantren pada umumnya mencakup tidak kurang dua belas macam disiplin keilmuan, antara lain; nahwu, sharaf, balaghah (ilmu sastra Arab), tauhid (theologi Islam), fiqh (hukum Islam), ushul fiqh, qawaidul fiqhiyyah (keduanya ilmu metodologi penggalian hukum Islam), tafsir, hadist (materi hadist rasul), muthalahul hadist (ilmu mengenai hadist), tasawuf (ahlaq), dan mantiq (ilmu logika). Keilmuan tersebut dimaksudkan untuk membekali santri kelak ketika ia merampungkan pendidikannya di pesantren. kyai4
4 Istilah kyai yang digunakan disini merujuk pada seorang alim ulama. Kata kyai kadangakala digunakan untuk menyebut suatu benda keramat, atau pusaka, dan hewan yang dihormati. Seperti halnya penyebutan "kyai Garuda Kencana" dipakai untuk sebutan kereta emas yang ada di keraton Yogyakarta. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta: LP3ES, 1984), 55. 5 Istilah kitab kuning ini memang didasarkan pada terbitan kitab yang dicetak dengan menggunakan kertas warna kuning kecoklatan. Istilah kitab kuning kemudian digunakan rujukan untuk menyebut kitab klasik oleh banyak kalangan. 6 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 47-49 7 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 49. 8 Sorogan adalah belajar kitab dengan langsung face to facedengan kyai atau santri senior. Santri membacakan kitab tertentu dihadapan kyai kemudian kyai menanyakan isi dan maksud dari bacaannya tersebut. 9 Kyai membacakan suatu kitab dan memberikan keterangan terkait dengan isi kitab. 10 Metode ini kyai membacakan suatu kitab tertentu, santri datang dan menyimak bacaan dan keterangan kyai. Wetonan dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu tidak seperti bandongan yang biasanya rutin setiap hari. 11 Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), 28-29. Volume 02 No. 02 November 2012
3 M O M E N T U M
Pesantren Di Tengah Kepungan Globalisasi
Pada perkembangan selajutnya, sistem pengajaran pesantren dengan menggunkan sistem klasikal, yakni santri dikelas-kelaskan berdasarkan tingkat kemapuan yang dimilikinya. Kelas dibagi menjadi tiga; awaliyah (tingkatan dasar), wustha (tingkat menengah), dan ulya (tingkat tinggi). Kurikulum yang diberikan didasarkan pada tingkatan tersebut. Kondisi pondokan (asrama tinggal santri) pada pesantren biasanya sangat meprihatinkan. Seperti ungkapan Imam Bawani, pondok-pondok dan asrama santri adakalanya berjejer laksana kios sebuah pasar. Disinalah terlihat kesan kekurangteraturan, kesemrawutan dan lainnya.12 Fenomena ini merupakan gambaran kesederhanaan yang menjadi ciri khas dari kesederhanaan santri di pesantren. Dengan segala keterbatasan fasilitas yang ada bukan berarti mengurangi semangat belajar santri terhadap ilmu-ilmu agama. Pesatnya perkembangan pesantren saat ini, mununjukkan indikasi yang lain bahwa pesantren tidaklah seperti pada awal keberadaannya. Akselarasi dan inovasi kurikulum dan sistem pendidikan yang digunakan juga mengadopsi sisten "barat" (sistem pendidikan konvensional). Kenyataan ini dikarenakan semakin banyaknya santri dan putra-putri kyai yang mengenyam pendidikan modern barat, di lembaga-lembaga pendidikan umum (SD, SMP, SMA), bahkan tak jarang dari mereka yang mengeyam pendidikan tinggi strata satu hingga strata dua dan tiga Banyak di antara mereka yang mempelajari managemen, teknik, pertanian, serta ilmu-ilmu sosial. Tentu hal ini akan berimplikasi pada karakteristik pesantren yang akan dipimpin kelak ketika meraka kembali. 4
Menguak Tabir Globalisasi Kata globalisasi nampaknya bukan sesuatu yang baru dalam kehidupan saat ini. Hampir semua orang memperbincangakan globalisasi. Dari ruang seminar, bangku kuliah, bahkan hingga bilik-bilik santri. Seorang santri nampaknya tidak afdhol jika tidak menyisipkan kata globalisasi dalam setiap ceramahnya. Namun sebagaimana para pakar kemukakan bahwa makna globalisasi sesungguhnya cukup kabur dan berbeda-beda, bahkan mengesankan saling bertentang termasuk di kalangan ilmuan sekalipun. Banyak para pakar yang memberikan pengertian mengenai globalisasi, ada cenderung melihat globalisasi dari satu aspek tertentu saja. Meskipun demikian dalam beberapa hal terjadi semacam kesepakatan terhadap fenomena globalisasi. Ada yang menyebut globalisais sebagai fenomena semakin meningkatnya keterkaitan global (increasing global interconnection), intensifikasi hubungan-hubungan sosial berskala dunia dalam tempo yang cepat (the rapid intensification of worldwide social relation), pemampatan atau pemadatan ruang waktu (the compression of time and space). Ada pula yang mengungkapkan sebagai serangkaian proses-proses kompleks yang digerakkan oleh perpaduan pengaruh ekonomi dan politik, dan arus modal, orang, dan gagasan yang bergerak cepat dan relatif tanpa hambatan yang melintasi batas-batas nasional.13 Gambaran ini memperlihatkan kompleksitas persoalan yang menyangkut globalisasi. Setidaknya ada empat ranah yang dapat kita amati berdasar beberapa pengertian di atas, yaitu:
12 Bawani, Imam, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam (Surabaya: al-Ikhlas, 1993), 45. 13 Manfred B Steger, Globalisme: Bangkitnya Ideologi Pasar (Yogyakarta: Lafadl, 2005), 17-19. Volume 02 No. 02 November 2012
M O M E N T U M
Pesantren Di Tengah Kepungan Globalisasi
1. Ranah ekonomi. Globalisasi sama artinya proses integrasi pola produksi nasional ke pola ekonomi global yang bercorak kapitalistik. Integrasi tersebut ditandai oleh hancurnya corak produksi nasional yang digantikan dengan corak produksi seragam model kapitalisme dan internasionalisasi transaksi perdagangan dan keuangan. 2. Ranah politik. Globalisasi dimaknai sebagai internasionalisasi kebijakan politik. Hal ini ditandai oleh hipotesis yang menghentakkan kesadaran kolektif nasionalisme, yakni matinya nationstate. Jika karakter suatu bangsa berdaulat dengan mengacu pada pemikiran Soekarno, TRISAKTI (berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian secara budaya), maka praktis semuanya hilang dalam konteks globalisasi, kedaulatan nasional teredusir oleh berbagai lembaga internasional seperti lembaga ekonomi dan politik (mega-state) yang menyebabkan kedaulatan politik menjadi amat lemah. Fenomena empiris ditunjukkan pada kelumpuhan kedaulatan hukum nasional yang di gantikan oleh lembaga-lembaga internasional. Peran negara dengan demikian dibatasi secara struktural dan sistematis. Dengan kata lain sejak munculnya globasilasi kekuasaan negara tidak akan mampu melampaui batas-batas struktural yang dibangun oleh struktur di luar dirinya. Walhasil, kekuasaan struktural suatu negara-bangsa didefinisikan oleh kekuatan struktural di luar dirinya. 3. Ranah budaya Globalisasi ditandai oleh terjadinya proses homogenisasi atau penyeragaman kebudayaan yang berbasis pada dunia pertama. Apa yang menjadi trend dunia pertama dengan segera dan massif juga menjadi trend di dunia ketiga. Inilah budaya pop yang mengancam otensitas kebudayaan lokal di manapun juga. 4. Ranah teknologi Globalisasi erat kaitannya dengan teknologi informasi dan komunikasi. Penemuan teknologi membuat dunia yang luas ini menjadi global village atau desa buana. Teknologi memungkinkan manusia melampaui keterbatasan ruang waktu historis. Wilayah-wilayah di seluruh dunia dapat dengan mudah saling dihubungkan dengan beberapa helai serat atau kabel.14 Dengan demikian globalisasi ditandai dengan beberapa hal, yaitu; pertama globalisasi terkait erat dengan kemajuan dan inovasi teknologi, arus informasi atas komunikasi yang melitasi batas-batas negara. Kedua, globalisasi tidak dapat dilepaskan dari akumulasi kapital, semakin tingginya intensitas arus investasi, keuangan, dan perdaganagan global. Ketiga, globalisasi berkaitan dengan semakin tingginya intensitas perpindahan manusia, pertukaran budaya, nilai, dan ide yang lintas batas negara. Dan keempat, globalisasi di tandai dengan semakin meningkatnya keterkaitan dan ketergantungan tidak hanya antarbangsa namun juga antar masyarakat.15 14 Mujtahidur Ridlo, Reiventing IPNU: Mengayun Sampan di Perkampungan Global (Yogyakarta: elKuts, 2003), 65-75. 15 Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Volume 02 No. 02 November 2012
5 M O M E N T U M
Pesantren Di Tengah Kepungan Globalisasi
Pendeknya globalisasi menggiring terjadinya pergeseran di level ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang melibatkan seperangkat gagasan dan motor penggerak baik individual, negara, samapai transnasional, yang resonansinya mengguncang level lokal, nasional, dan global. Globalisasi mau tak mau telah merasuk dalam sendi-sendi kehidupan manusia, ada yang banyak berharap dan ada juga yang mengkhawatirkan keberadaannya. Setidaknya ini memunculkan tiga kelompok dalam menanggapai gelombang globalisasi,16 yaitu: Pertama, kelompok optimis. Kelompok ini menerima globalisasi sebagai sesuatu keharusan. Mereka terpesona dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, penemuan ilmu pengetahuan mutahir, serta gandrung dengan budaya modern. Namun mereka lupa memberi perhitungan terhadap dampak negatif yang mengancam masyarakat. Kedua, kelompok skeptis. Kelompok ini menyadari bahwa globalisasi lebih merupakan pendewaan ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya yang tidak memperhitungkan manusia. Globalisasi menjadi tuan segalanya. Bagi kelompok ini globalisasi merupakan kolonisasi politik-ideologi gaya baru. Ketiga, kelompok kompromistis-kritis. Kelompok ini menyadari dan memahami globalisasi sebagai bentuk kolonial baru, namun karena globalisasi dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dielakkan mereka mulai melihat ada secercah peluang yang dapat diambil dari kemajuan teknologi, dan perkembangan ilmu pengetahuan. 6
Neoliberalisme sebagai Ideologi Globalisasi Hubungan antara globalisasi dan neoliberalisme dapat diibaratkan seperti dua sisi dari sekeping mata uang yang sama. Sebagaimana dikemukakan Lafontaine, berbicara mengenai globalisasi sama artinya dengan berbicara mengenai penyebarluasan neoliberalisme. Sebaliknya, berbicara mengenai neoliberalisme sama artinya dengan berbicara mengenai ekspansi kepentingan para pemodal negara-negara kaya.17 Sebab dalam tataran empiris, esensi keduanya sama, walaupun pandangan ini baru memiliki kekuatan argumentatif jika diletakkan dalam asumsi epistimologi globalisasi sebagai hasil kekuatan ekonomi. Revolusi teknologi, keputusan politik, atau gabungan keduanya diletakkan dalam kerangka kepentingan ekonomi kapitalis. Globalisasi sesungguhnya hanya kedok. Di balik kedok globalisasi bersembunyi agenda-agenda ekonomi neoliberal yang dimotori oleh para pemodal negara-negara kaya. Alasan ini didasari oleh banyak hal, di antaranya: Pertama, sudah sejak era tahun 90-an, menjelang berakhirnya perang dingin, terjadi pergeseran di tingkat tata dunia global. Saat itu ideologi sebagai paradigma dan politik sebagai panglima sudah mulai tergeser oleh kepentingan ekonomi sebagai panglima. Kedua, berbagai fenomena global memiliki esensi paling dalam yang berujung pada kepentingan akumulasi modal. Sehingga penjelasan suatu fenomena apapun tanpa mengaitkan atau menyertakan penjelasan ekonomi politik akan Vol.7 NO 2, November 2003, 181. 16 Machali, Imam, “Pendidikan Nasional dalam Telikungan Globalisasi; Telaah Dampak Globalisasi tergadap Sistem Penddikan Nasional.”, dalam Imam Machali dan Mustofa (ed) Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi: Buah Pikiran Seputar Filsafat, Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Yogyakarta: Presma UIN Sunan Kalijaga, 2004), 112-113. 17 Baswir, dalam http//www.Swaramuslim_netForIzzatul/Islam/WalMuslimin/walMu'minat.htm. Volume 02 No. 02 November 2012
M O M E N T U M
Pesantren Di Tengah Kepungan Globalisasi
menjadi penjelasan yang tidak cukup memadai. Imperialisme terhadap Irak, penjualan berbagai BUMN di Indonesia, kenaikan BBM dan juga tarif dasar listrik (TDL), komersialisasi pendidikan, kampanye perang anti terorisme, mengandung aspek-aspek ekonomi politik yang sangat kental. Dengan demikian, memahami globalisasi dengan baik juga harus memahami neoliberalisme yang menjadi ideologi globalisasi itu sendiri. Apa yang sebenarnya yang dimaksud neoliberlisme? Siapa motor penggeraknya? Susan george merumuskan butir-butir doktrin neoliberal yang harus diadopsi sebagi kebijakan negara-negara berkembang, yakni: 1. 2. 3. 4. 5.
Pasar harus diberi kebebasan untuk membuat keputusan sosial dan politik yang penting. Negara harus secara suka rela mengurangi peranannya dalam ekonomi. Perusahaan harus diberi kebebasan total. Serikat buruh harus diberangus. Proteksi sosial bagi warga negara harus dikurangi.
Sementara menurut Mas’oed.18 pada level internasional, neoliberalisme mengutamakan tiga pendekatan pokok, yakni: 1. Perdagangan bebas untuk barang dan jasa, 2. Kebebasan sirkulasi kapital, dan 3. Kebebasan investasi. Siapakah penggerak globalisasi? Dalam hal ini dapat dipilah menjadi dua, Pertama, diperankan oleh kaum intelektual kanan baru yang mempropagandakan doktrin-doktrin neoliberal seperti konsep matinya negara-bangsa (death of nation-state). Kalangan ini mengabaikan bahwa globalisasi telah menghancurkan kebudayaan-kebudayaan lokal, merobek pasar-pasar di belahan dunia mana pun, dan merobohkan dinding-dinding batas antar negara.19 Kedua, seperti di katakan oleh William Greider dalam bukunya One World, Ready or Not, The Manic Global Capitalism (1998), bahwa motor di balik globalisasi adalah apa yang disebutnya "kapitalisme global." Kelompok ini diperankan oleh perusahaan transnasional (TNC/MNC) serta persekongkolan lembaga yang disebut unholy trinity, yakni IMF, Worl Bank, dan WTO hingga PBB yang mereduksi kedaulatan politik dan ekonomi nasional. Secara lanjut I Wibowo menunjukkan penggerak kapitalisme global ini adalah para spekulan uang yang jumlahnya tidak lebih dari 200.000 orang (yang terkenal di antaranya adalah George Soros), dan sekitar 53.000 perusahaan multinasional (multi-national corporations) yang mempekerjakan sekitar enam juta orang di seluruh dunia.
18 Mas’oed, Mochtar, Tantangan Internasional dan Keterbatasan Nasional; Analisis Ekonomi-Politik tentang Globalisasi Neo-Liberal, Pidato Pengukuhan Guru besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2002. 19 Wibowo, “Globalisasi dan Kapitalisme Global.“, dalam Kompas, Sabtu 27 April 2002. Volume 02 No. 02 November 2012
7 M O M E N T U M
Pesantren Di Tengah Kepungan Globalisasi
Pesantren dalam Telikungan Globalisasi Globalisasi dengan neoliberalismenya membawa dampak negatif yang tak terelakkan. Meskipun ada aspek keberhasilan yang diraih dari globalisasi, namun hanya sedikit kelompok yang merasakanya. Noerena, memberi komentar atas keberhasilan semu neoliberlisme: “kapilatisme laissez-faire tampak telah meraih kejayaannya, menyerahkan perekonomian pada pasar tampaknya nerupakan pilihan yang tepat, sekilas memang begitu. Namun seperti yang mereka katakan, “there is no free lunch.” Dengan demikian, harga apa yang harus kita bayar?”.20 Tidak ada makan siang gratis, demikianlah pepatah barat mengatakan. Globalisasi memiliki kepentingan tersendiri, yang ternyata mengakibatkan dampak negatif dalam wilayah politik, ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan. Dalam tataran politik, sebagaimana diteriakkan oleh Kenichi Ohmae globalisasi membawa dampak pada berakhirnya kedaulatan negara-bangsa (the death of nation-state). Dengan globalisasi kekuasaan negara menjadi semakin terbatas. Lebih dari itu diungkapkan oleh Ulrich Beck, sebagaimana dikutip Sindhunata, globalisasi menimbulkan banyak dilema, diantaranya dilema kedaulatan nasional dan dilema demokrasi.21 Globlasisasi ternyata telah membuat posisi pesantren yang keberadannya merupakan lembaga pendidikan masyarakat bawah (grass root) menjadi sangat terjepit. Betapa tidak. Globalisasi ternyata telah membawa nuansa budaya dan nilai yang mempengaruhi selera dan gaya hidup masyarakat. Melalui media yang kian terbuka dan terjangkau, masyarakat menerima berbagai informasi tentang peradaban baru yang datang dari seluruh penjuru dunia. Padahal, kita menyadari belum semua warga negara mampu menilai sampai dimana kita sebagai bangsa berada. Begitulah, misalnya, banjir informasi dan budaya baru yang dibawa media tak jarang teramat asing dari sikap hidup dan norma yang berlaku. Terutama masalah pornografi, dimana sekarang wanita-wanita Indonesia sangat terpengaruh oleh trend mode dari Amerika dan Eropa yang dalam berbusana cenderung minim, kemudian ditiru habis-habisan. Sehingga kalau kita berjalan-jalan di mal atau tempat publik sangat mudah menemui wanita Indonesia yang berpakaian serba minim mengumbar aurat. Di mana budaya itu sangat bertentangan dengan norma yang ada di Indonesia. Belum lagi maraknya kehidupan free sex di kalangan remaja masa kini. Terbukti dengan adanya video porno yang pemerannya adalah orang-orang Indonesia. Pesantren yang dulunya banyak diminati kalangan muda yang ingin menuntut ilmu untuk memperdalam agama kini mulai pudar. Model pendidikan yang ditawarkan ala pesantren dianggap sudah tidak menjadi menarik lagi, ketinggalan jaman, tidak modern dan lain-lain. Dalam posisi yang demikian ini pesantren-pesantren mulai menyadari bahaya yang mengancam dirinya, kalau ini dibiarkan, maka pendidikan pesantren sedikit-demi sedikit akan ditinggalkan masyarakat dan akhirnya akan mati. Ini dibuktikan dengan matinya pesantrenpesantren salaf. Kesadaran para kyai yang menjadi motor penggerak pesantren untuk tetap mempertahankan pesantren sebagai pilar-pilar agama Islam memunculkan berbagai macam ide agar pesantren tetap eksis. Salah satu cara pesantren dalam mempertahankan eksistensinya 20 Mujtahidur Ridlo, Reiventing IPNU: Mengayun Sampan di Perkampungan Global, 90-91 21 Basis NO 01-02, 2003: 11-12. Volume 02 No. 02 November 2012
8 M O M E N T U M
Pesantren Di Tengah Kepungan Globalisasi
yaitu pesantren tidak hanya menerapkan model murni pesantren, namun dengan menambahkan lembaga pendidikan formal dengan kurikulum integreted dari diknas dan depag dengan ekselerasi dan inovasi yang berciri dan menceburkan diri dalam arus globalisasi dengan filter keimanan yang kuat. Pada pendidikan formal tersebut siswa diajarkan dengan berbagai macam teknologi. Dengan demikian pesantren tidak hanya mengaji untuk mendalami ilmu agama saja, melainkan juga mempelajari dan menggunakan teknologi yang berkembang. Pesantren mulai tidak lagi berpandangan sempit mengenai ambivalensi orientasi pendidikan. Misalnya masih terdapat anggapan bahwa hal-hal yang terkait dengan keduniawian seperti penguasaan disiplin ilmu umum (sains), keterampilan dan profesi merupakan garapan khusus sistem pendidikan sekuler.22 Pesantren tetap bertahan sebagai pendidikan nonformal di bidang agama, tetapi dengan dilengkapi pelbagai ketrampian. Pesantren juga telah menguatkan pandangan dalam memahami ilmu secara universal, tidak parsial atau dikotomis yang memisahkan ilmu agama dan pengetahuan umum (sains). Mereka merujuk pada pandangan al-Ghazali tentang klasifikasi ilmu yang dimaksud bukanlah pembenturan secara vis-a-vis antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan duniawi (sains), melainkan klasifikasi antara yang prinsip dan paling prinsip. Pandangan seperti ini justru bertentangan dengan semangat Islam sendiri yang mengajarkan tentang kesatuan antar duniaakhirat; bahwa ilmu umum adalah bagian dari agama yang tidak boleh dipisahkan.23 Globalisasi yang awalnya sangat mengancam posisi pesantren ternyata justru telah menimbulkan semangat jihad para kyai untuk tetap memperjuangkan agama Islam lewat jalur pesantren dengan menggunakan sistem yang modern. Menjamurnya pendidikan-pendidikan pesantren ala modern semakin memperkokoh posisi pesantren dalam menegakkan Syari’at Islam. Penutup Globalisasi pada hakikatnya ternyata telah membawa nuansa budaya dan nilai yang mempengaruhi selera dan gaya hidup masyarakat secara luas, tidak terkecuali lembaga pesantren terkena imbasnya. Globlasisasi yang awalnya adalah makhluk yang dibenci oleh pesantren, karena keberadaanya telah mengancam dunia pesantren kini malah oleh pesantren sendiri sekarang dijadikan kendaraan untuk berdakwah mensyiarkan agama Islam. Tekanantekanan globlalisasi yang begitu kuat, malah menjadikan pesantren menyadari posisi yang sedang dihadapinya dan bangkit secara serentak mengubah pola piker Islam kuno, ketinggalan jaman menjadi al islam ya’lu wala yu’la alaih Islam itu tinggi dan tidak ada yang menyamainya, yang harus mengusai tidak dikuasai. Cara yang ditempuh pesantren dalam mempertahankan eksistensinya yaitu pesantren tidak hanya menerapkan model murni pesantren, namun dengan menambahkan lembaga pendidikan formal dengan kurikulum integreted dari diknas dan depag dengan ekselerasi dan inovasi yang berciri dan menceburkan diri dalam arus globalisasi dengan filter keimanan yang kuat. Dengan demikian pesantren menjadi lembaga pendidikan yang cantik dan menarik serta tetap diperhitungkan 22 Saefudin Zuhri, “Pendidikan Pesantren di Persimpangan Jalan.“, 23. 23 Kholil, Ahmad, “Kearah Kurikulum Pendidikan Pesantren yang Berwawasan Global." dalam Majalah Pesantren, Jakarta: LAKPESDAM-NU, 2002. Volume 02 No. 02 November 2012
9 M O M E N T U M
Pesantren Di Tengah Kepungan Globalisasi
keberadaannya. Arah perbaikan, pesantren. Sebagai lembaga pendidikan agama Islam, Keilmuan agama Islam yang diajarkan tidak hanya terfokus pada ajaran Islam klasik yang tidak upto date, tetapi juga diengkapi wacana filosofis dan dikursus Islam kontemporer, sehingga tidak terjebak pada konservatifisme. Daftar Pustaka Bawani, Imam, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam, Surabaya: al-Ikhlas, 1993. Baswir, Revrisond, “Bahaya Globalisasi Neoliberal.”, dalam http//www.Swaramuslim_net For Izzatul Islam Wal Muslimin wal Mu'minat.htm B Steger, Manfred, Globalisme: Bangkitnya Ideologi Pasar, Yogyakarta: Lafadl, 2005. Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai, Jakarta: LP3ES, 1984. Haedari, Amin, dkk., Panorama Pesantren dalam Cakrawala Modern, Jakarta: Diva Pustaka, 2005. Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Vol.7 NO 2, November 2003. Kholil, Ahmad, “Kearah Kurikulum Pendidikan Pesantren yang Berwawasan Global." dalam Majalah Pesantren, Jakarta: LAKPESDAM-NU, 2002. Machali, Imam, “Pendidikan Nasional dalam Telikungan Globalisasi; Telaah Dampak Globalisasi tergadap Sistem Penddikan Nasional.”, dalam Imam Machali dan Mustofa (ed) Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi: Buah Pikiran Seputar Filsafat, Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Yogyakarta, Presma UIN Sunan Kalijaga, 2004. Madjid, Nurcholis, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997. Mas’oed, Mochtar, Tantangan Internasional dan Keterbatasan Nasional; Analisis EkonomiPolitik tentang Globalisasi Neo-Liberal, Pidato Pengukuhan Guru besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2002. Ridlo, Mujtahidur, Reiventing IPNU; Mengayun Sampan di Perkampungan Global, Yogyakarta: el-Kuts, 2003. Wibowo, “Globalisasi dan Kapitalisme Global.“, dalam Kompas, Sabtu 27 April 2002. Zuhri, Saefudin, “Pendidikan Pesantren di Persimpangan Jalan.“, dalam Said Aqiel Siradj, Pesantren Masa Depan; Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.
Volume 02 No. 02 November 2012
10 M O M E N T U M
Gaya Hidup Masyarakat Hiper-Realitas
GAYA HIDUP MASYARAKAT HIPER-REALITAS DI PANGGUNG POSTMODERNITAS Oleh
Dadang Aji Permana⃰
[email protected] Abstrak Tidak bisa disangkal bahwa Televisi dan computer merupakan karya agung ilmuwan di era postmodernitas. Kemampuannya untuk mengerutkan, mensimulasikan dan menduplikasi dunia ke dalam bentuk audio-visual, memungkinkan kita untuk menyaksikan beragam rangkaian peristiwa di setiap jengkal penjuru bumi. Dinamika teknologi berbasis informatika ini memiliki daya kreatif sekaligus destruktif bagi kehidupan manusia, terutama di dalam pola dan proses interaksi sosial. Selain memberikan informasi positif, chanel-chanel yang disiarkan full time 24 jam, juga memiliki aspek negatif, yaitu memunculkan budaya baru, a Culture of Spectacle (budaya tontonan). Budaya yang memaksa setiap orang untuk menjadi penonton sekaligus ditonton. Di kedalaman budaya ini setiap orang dituntut untuk senantiasa bersolek dan mengagungkan gaya hidup demi memperteguh pencitraan, dan dari sinilah muncul masyarakat pesolek (dandy society). Gempuran iklan yang mengisi setiap saluran-saluran media massa mampu menstimulus hasrat materialistik masyarakat tersebut, hasrat yang kemudian diejawantahkan menjadi pesta pora konsumerisme. Fenomena ini dijadikan momentum oleh kapitalime lanjut (late capitalism) dengan merubah budaya popoler menjadi budaya masa dengan tujuan agar konsumsi menjadi motif dan orientasi utama seluruh proses interaksi sosial. Di dalam realitas budaya inilah seluruh elemen masyarakat terbius oleh pil ectasy gaya hidup. Sebuah hyper-reality yang menyuguhkan aneka ilusi dan mimpi. . Kata kunci: posmodernitas, simulacra, budaya popular, gaya hidup, masyarakat hiperrealitas
Pendahuluan Dimana para lelaki menyimpan jati diri, wibawa dan kejantanannya saat ini? Di tengah himpitan kedua buah payudara Julia Peres yang menabur sensualitas gerak pantat pada saat menyenandungkan “Belah Duren” di panggung tontonal masal para pria binal, seraya mengkampanyekan kondom yang dibubuhi kecupan sensual? Dimana para wanita menyimpan kehormatan, kecantikan dan kefemininannya saat ini? Di balik warna lipstik dan bedak mantra sihir kosmetika amora, di bawah sinar gemerlap busana biduanita, selebrita dan sosialita, di saku baju ala Harajuku, di balik Lifestyle ala Hallyu, atau di dalam balutan celana pensil ketat dan kerudung gaul yang ditambah dengan sedikit semprotan aroma parfum Paris dengan slogan terpampang “Penghilang Bau Dosa Bagi Pemuja Budaya Hura-Hura Yang Bergegap Gempita Ala Selebrita”? Dimana tempat manusia berserah diri serta menyimpan jiwa dan nyawa mereka? Di dalam kitab naskah takdir yang di setiap lembarannya termaktub logo “Asuransi Jiwa Jasa Raharja”, atau di Hypermarket bernama The Bank of Sperm yang menjual bakalbakal janin kehidupan? Dimana etika, spiritualitas dan agama saat ini? Di dalam lipatan doa para dai‟ yang diproduksi dan disimulasikan pada tabung-tabung kaca televisi setiap pagi? Di ⃰ Koordinator LiSEL (Lingkar Studi Ekologi dan Lifestyle). Volume 02 No. 02 November 2012
11 M O M E N T U M
Gaya Hidup Masyarakat Hiper-Realitas
dalam kemasan paket-paket wisata religi yang ditawarkan travel agent berlabel surgawi? Atau pada riasan wajah keriput ulama bersorban dan bergamis yang mengumandangkan kebesaran Tuhan dalam epik cinta telenovela romantika remaja? Benarkah gaya hidup (lifestyle) segalanya bagi manusia? Benarkah kompleksitas permainan gaya-gaya yang diproduksi kaum kapital spekulan melalui jejaring media telah menjadi agama baru yang menawarkan bentuk hedonisme semu dunia-akhirat? Pertanyaanpertanyaan tersebut muncul dan bergumul dalam kisah baru peradaban manusia yang terus bersinggungan dengan robot-robot teknologi berbasis informatika. Sebuah era kebingungan yang memperkenalkan diri sebagai Postmodern. Dewasa ini, sebagain besar masyarakat meyakini dan mengamini bahwa untuk bisa eksis di dalam gonjang ganjing bahtera kehidupan sosial, tidak bisa lepas dari gaya hidup berpola konsumsi. Sebuah bentuk keyakinan baru yang menarasikan bahwa kebahagiaan dan harga diri manusia dapat diukur oleh sejauhmana seseorang mampu mengkonsumsi aneka barang komoditas. Fenomena sosial ini muncul karena masyarakat kontemporer selalu dikelabui dan dirayu oleh visualisasi iklan-iklan gombal media massa dengan menggunakan simbol-simbol kemapanan kaum borjuis, dimana para selebriti sexy sebagai figurannya. Melalui bujuk rayu iklan, masyarakat dikondisikan agar percaya bahwa gaya hidup konsumtif akan meningkatkan citra, identitas, dan derajat eksistensi diri. Sekalipun dalam beberapa hal gaya hidup diperlukan, namun ia akan menjadi malapetaka manusia takala gaya hidup menjadi tujuan hidup, dan tujuan hidup adalah gaya hidup. Pada posisi ini, gaya hidup sudah menjadi kesadaran eksistensial yang melekat dan menjadi atribut kedirian manusia. Oleh karena itu, makna identitas kedirian manusia menjadi kabur, yang ada hanya balutan gaya yang penuh dengan pencitraan dan simbol-simbol surut makna. Celakanya, di semua lini kehidupan saat ini, komoditas ekonomi sudah diproduksi dan diarahkan untuk menunjang struktur-struktur bangunan gaya hidup. Jika diilustrasikan dengan sebuah bangunan, struktur-sruktur gaya hidup tersebut menyerupai balok material penyusun bangunan yang terus disusun dan membentuk aneka ruang megah di sebuah istana. Namun, istana ini bersifat fatamorgana, sebuah istana yang oleh Baudrillard diidentifikasi dengan Simulacra. Istana idaman yang nantinya dianggap sebagai tujuan dan tempat akhir kehidupan manusia. Sekalipun maya, istana tersebut terasa nyata. Hal ini dikarenakan manusia yang menjadi penghuninya, dibius oleh pil ecstasy yang menciptakan halusinasi estetika dan eksotika dunia, sebuah mayantara idealita penuh aroma semerbak bunga-bunga cinta yang sengaja dihidangkan untuk sesaji pemujaan kepada Tuhan baru bernama “GAYA”, nabinya bernama “MEDIA“ dan kitabnya bernama “CITRA”. Di istana ini manusia tidak pernah memperoleh intimidasi dan terror fisik dari Tuhan, Nabi ataupun sesama pengiman kitabnya. Namun, di istana ini mereka dikeloni dengan selimut kabut, buaian nina bobo dan secawan anggur kehampaan yang membuat setiap penghuninya merasa dikejar “Ajal” jika tidak tampil cantik, estetik, nyentrik, eksotik, trendi, sensual, glamor, seksi, perlente dan segala hal yang menunjukan serba wah, atau seperti ungkapan sang biaduanita yang diisukan masuk dalam deretan diva Indonesia, Sahrini, “sesuatu banget“. Dengan ditunjang media massa berbasis informatika, orang-orang yang hidup di istana tersebut selalu merasa senang dan sembringah. Apalagi jika mereka menjadi referensi utama yang disajikan untuk gosip murahan yang mengisi setiap baris kolom koran, majalah, terlebih media elektronika. Mereka akan bersuka cita dan terbahak-bahak kegirangan jika masuk layar kaca (televisi), karena akan segera populer dan menjadi idola para wanita atau jejaka, bahkan Volume 02 No. 02 November 2012
12 M O M E N T U M
Gaya Hidup Masyarakat Hiper-Realitas
mereka merasa dirinya sebagai para pahlawan utama media karena terus menjadi sumber berita. Sebaliknya, mereka akan merasa kecewa, menderita dan hampa, jika mati gaya dan kehilangan fan setia. Di istana ini, komoditas massal yang sudah dilabeli eklusive, limited edition, cosmopolitan dan sebagainya, dipampang untuk para shopaholic (penggila shoping) yang ingin memperoleh identitas leisure class, sekaligus menjadi pelopor trend mode terbaru. Dari istana ini pula sebuah budaya tercipta dan memperkenalkan dirinya sebagai risalah suci, “Popular Culture”, Sebuah budaya daur ulang (recycling) yang membangun swargaloka impian khayal, panggung ideal komsumer schizophrenic yang larut dalam pementasan massal estetika gaya. Di istana ini, mimpi-mimpi menjadi proyek agung peradaban manusia mengalahkan realitas sebenarnya. Kesederhanaan, ke‟arifan, kesalehan sosial yang dikumandangkan doktrin agama disulap dengan mantra materialistik dan dikemas dengan simbol-simbol hedonistik yang terus dikumandangkan melalui iklan-iklan media massa. Wal hasil, masyarakat terarahkan untuk membangun sistem sosial dan komunitas baru, -meminjam istilah Eco dan Baudrillardmasyarakat hiper-realitas (mass of hyper-reality). Sebuah masyarakat yang lebih percaya dengan realitas maya dari pada realitas yang sebenarnya. Sebuah masyarakat yang tujuan dan totalitas hidupnya untuk gaya hidup. Lantas, bagaimana kita melawan keyakinan baru tersebut dan menciptakan resep generik atau ramuan jitu yang dalam waktu singkat bisa menyadarkan masyarakat hiperrealitas yang sudah pulas dalam halusinasi dan ektasi gaya hidup? Apa yang harus dilakukan untuk menggali nilai-nilai esensial agama yang sudah lama terkubur bersama peti mati pemuja mimpi di pemakaman komoditi? Inilah sebuah tantangan baru peradaban manusia masa kini yang akan digali kembali dalam tulisan ringkas ini melalui sisi humanism dan dogma ketauhidan Islam. Panggung Postmodernitas Dalam ruang akademis, kata postmodernisme sudah menjadi menu lezat yang tercatat hampir di setiap resep (literatur) kontemporer, dan biasa dihidangkan di atas meja kuliah. Saking nikmatnya, lidah para akademisi akrab sekali dengan aroma dan rasanya, dan bahkan ketika ada seseorang yang mengumandangkan syair-syair lagu merdu pluralisme, multikulturalisme, dan relativisme kebenaran, mereka langsung menebak “ini pasti wangi aroma bunga sesaji postmodern”. Kendati demikian, ketika mereka diminta untuk mendeskripsikan semerbak wangi (definisi) postmodern, mayoritas akademisi dan budayawan terkapar di padang gusar, dan linglung di gurun bingung, alias tak sanggup mendefinisikannya. Salah satu kebingungan mereka diabadikan dalam kamus The Modern Day Dictionary of Received Ideas yang mendefinisikan kata “Postmodernisme” sebagai “Kata ini tak punya arti, gunakan saja sesering mungkin”.1 Apa yang menyebabkan para filosof, budayawan dan intelektual lainnya kebingungan? Mereka mengungkapkan bahwa kebingungan definitif tersebut diakibatkan oleh awalan “post” dan akhiran „isme”. Bila ditinjau dari catatan historis para budayawan dan seniman, kata postmodern –tanpa isme- bisa dirunut dari awal kemunculannya dalam literatur seni. Menurut Ihab Hasan dan Charles Jencks, istilah postmodern muncul pertama kali sekitar tahun 1930-an dalam karya 1 Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 13-24. Volume 02 No. 02 November 2012
13 M O M E N T U M
Gaya Hidup Masyarakat Hiper-Realitas
Federico de Onis yang diterbitkan di Madrid, Antologica de la Poesia Espanola e Hispanoamericana. Penggunaan kata “Postmodern“ dalam karya ini dimaksudkan sebagai sebuah reaksi atas modernisme.2 Sembilan tahun setelah penerbitan buku tersebut, sejarawan kondang kebangsaan Inggris, Arnold J. Toynbee, menyelipkan kata postmodern pada jilid kelima karyanya, A Study of History (1939), namun, tanpa memaknainya dengan jelas. Penjelasan kata postmodern oleh Toynbee baru muncul pada tahun 1954. Dalam konteks ini, posmodern dimaknai sebagai era baru pasca modern yang bergulir pada akhir abad ke-19. Dalam perkembangan selanjutnya, tepatnya pada tahun 1949, kata postmodern tercatat dalam Oxford English Dictionary dengan merujuk kepada artikel Josep Hudnut “The Postmodern House”. Secara spesifik kata postmodern dalam kamus tersebut digunakan dalam khazanah arsitektur, yaitu untuk mengidentifikasi komponen rumah prefabrikasi. Pada tahun 1960-1970-an kata posmodern menjadi sangat rancu ketika para sastrawan, sejarawan, arsitek dan seniman asal negeri Paman Sam, Amerika, menambahkan akhiran “isme” pada postmodern (menjadi posmodernisme). Wal hasil, kata “postmoderinisme” melanglang buana menjelajah ke berbagai penjuru belantara hutan dan pulau ilmiah tanpa makna yang jelas. 3 Meskipun demikian kata tersebut cukup berhasil mempergaduh dan memporak-porandakan berbagai otoritas ilmiah.4 Kekaburan makna postmodern yang diakibatkan oleh akhiran isme, menjadi alasan para pemikir kontemporer memunculkan kata baru untuk mengimbangi kata posmodernisme, yaitu kata “Postmodernitas“. Sebuah kata yang mendeskripsikan kondisi sosial pasca modern. Menurut Bambang Sugiharto, kata postmodernisme lebih sering digunakan sebagai kritik filosofis atas world view, epistemologi dan idiologi-idiologi modern. Sedangkan postmodernitas digunakan sebagai deskripsi situasi dan kondisi sosial yang bergelut dengan produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang
2 Menurut Valtimo dan Levin, akhir dari lembaran sejarah modernitas pertama kali digaungkan oleh Nietzsche dan Heidegger melalui konsep nihilism dan diferensi. Kritik atas modernitas sendiri, seperti yang dipetakan oleh Piliang, terjadi dalam dua arah, kritik diri (self-criticism) dan kritik di luar modernitas. Arah pertama digaungkan oleh kelompok yang tergabung dalam Frankfurt School, seperti Adorno, Horkheimer, Marcuse dan Habermas. Dalam konteks ini mereka memfokuskan untuk melanjutkan proyek modernitas yang belum rampung. Sedangkan arah kedua, sebaliknya, ingin meruntuhkan proyek modernitas yang gagal seperti yang dilakukan oleh Nietzsche dan Heidegger, dan kemudian dilanjutkan oleh pemikir poststrukturalis seperti, Foucault, Deleuze, Guattari, Lyotard, Baudrillard, Kristeva dan Valtimo. Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultiral Studies Atas Matinya Makna (Yogyakarta: Jalasutra, 2003), 77-78. 3 Terlepas dari kekaburan definitif, mayoritas akademisi sepakat bahwa janin postmodernisme lahir dari sebuah reaksi kritis atas modernisme. Menurut Paulin M. Rosenau dalam Postmodernism and Social Sciences:Insight, Inroads and Intrusion, ada lima gugatan yang membidani kelahiran janin postmodernisme, yaitu: (1) Kegagalan modernisme dalam mewujudkan perbaikan hidup manusia seperti yang termaktub dalam garis haluan proyeknya. (2) Sains modern sulit untuk keluar dari kungkungan otoritas tertentu yang cenderung menyalahgunakan otoritas ilmiah. (3) Banyaknya anomali dan kontradiksi antara teori dan fakta. (4) Keyakinan bahwa sains modern bisa menjadi solusi hidup manusia, musnah seiring dengan timbulnya berbagai patologi sosial. (5) Sains modern kurang apresiatif terhadap masalah mistis dan metafisika, serta lebih menekankan kepada dimensi fisik manusia. Secara sederhana, modernisme yang dielu-elukan sebagai Satrio Piningit peradaban tidak mampu menyelesaikan permasalahan kemanusiaan, tetapi malah menambah angkara murka dunia dan patologi sosial. Dikutip dari Medhy Agita Hidayat, Kebudayaan Postmodern Menurut Jean Baudrillard. http://socialpoliticarticle.blogspot.com/2009/04/kebudayaan-postmodern-menurut-jean.html. 4 Armahedi Mahzar, Revolusi Integralisme Islam (Bandung: Mizan, 2004), 13-22. Volume 02 No. 02 November 2012
14 M O M E N T U M
Gaya Hidup Masyarakat Hiper-Realitas
berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara bangsa dan penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi.5 Ketika kata posmodernisme mendarat di negeri kiblat mode, Prancis, ia disambut baik oleh Jean Francois Lyotard, dan bahkan mempersilahkannya untuk masuk ke dalam khazanah sastra, seni, filsafat dan sains. Tidak sekedar mengapresiasi, melalui karyanya La Condition Posmoderne: Rapport sur le savoir, Lyotard menegaskan juga bahwa posmodernisme –dalam arti postmodernitas- bermula dari ledakan teknologi computer sekitar tahun 1950-an. Dalam pandangannya, maraknya jaringan computer, transformasi informasi yang sangat kompleks menjadi pemicu kegaduhan dan ke-chaos-an sistem sosial serta menghancurkan narasi agung kebenaran tunggal. Pluralisme, multikulturalisme dan relativisme menjadi sabda-sabda baru yang dikumandangkan di layar-layar kaca berbasis teknologi informatika. Kechaosan dan kompleksitas jejaring informasi inilah yang menjadi embrio deklarasi kematian narasi-narasi agung (grand narrative) modernisme. Dengan teknologi computer, dunia bisa diciutkan menjadi, mengutip istilah McLuhan, Global Village, alias desa buana. Hamparan luas wilayah yang telah tersekat-sekat geografis negara dan rentang zona waktu, disulap menjadi desa mungil yang dikemas menjadi berita audio-visual dan kemudian disimulasikan pada tabungtabung televisi, handphone, tablet dan jejaring internet, yang selanjutnya bisa disiarkan secara langsung (live) dalam satu waktu dan bisa disaksikan oleh jutaan pasang mata di seantero penjuru negeri. Kepekaan masyarakat terhadap informasi dan kecepatan transformasi informasi kepada masyarakat, telah meningkatkan mobilitas dan dinamika kehidupan manusia ratusan kali lipat dari sebelumnya. Efeknya, semua pranata dan struktur sosial berubah total dan menimbulkan berbagai kegaduhan dan patologi sosial baru. Gagasan inilah yang kemudian menjadi poin dasar analisa Jean Baudrillard dalam pendeskripsian postmodernitas, sebuah kondisi sosial di mana manusia dan media harus bercengkrama dan melebur dalam sebuah realitas yang sama bernama Mediaspace. Media dalam hal ini bukan lagi berfungsi sebagai kepanjangan tangan manusia, tetapi sudah beranjak jauh, menjadi ruang atau realitas baru manusia yang di dalamnya manusia harus bisa mengarungi bahtera hidup untuk menemukan eksistensi dirinya. Di dalam realitas ini, segala permasalahan hidup manusia seperti pencarian jati diri, hakikat alam, dan menuntut ilmu, hampir tidak perlu lagi peran guru ataupun menjelajah melintas negeri, cukup nongkrong dan menghanyutkan diri dalam program-program televisi atau berselancar di internet yang menyuguhkan berbagai informasi secara full time dan pure tanpa sensor. Bila dideskripsikan dalam bentuk organ manusia, bentuk peradaban manusia di era postmodernitas ini sudah menemukan kapasitasnya yang hampir sempurna. Mesin-mensin baja yang dilahirkan dari rahim revolusi industri, kini telah mewujud menjadi otot dan tulang rangka yang membentuk postur peradaban. Telescope, telegraph, radio, lampu, telephone dan televisi telah menyatu dengan otot dan tulang untuk menjadi pancaindranya. Kompleksitas jejaring computer menyempurnakan postur peradaban tersebut dengan menjadi jaringan saraf dan peredaran darah yang mengkoordinasikan dan mengintegrasikan seluruh organ tubuh peradaban secara sistemik. Artificial Intelligence (AI) dalam bentuk micro processor menyempurnakan kemampuan robotik peradabaan dengan fungsinya sebagai otak peradaban.
5 Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat, 24. Volume 02 No. 02 November 2012
15 M O M E N T U M
Gaya Hidup Masyarakat Hiper-Realitas
Oleh karena itu, tidak heran jika dalam peradaban ini robot-robot informatika hidup bergandengan dengan manusia, sebuah masa yang oleh para teknolog disebut dengan era Mega-Cyborg. Celakanya, dengan bergulirnya waktu, robot-robot tersebut terus memproduksi masalah-masalah yang menimbulkan disorientasi dan patologi sosial baru yang tidak pernah disadari manusia sebelumnya. Di samping itu, manusia terus mengalami ketergantungan hidup kepada robot-robot teknologi berbasis informatika tersebut. Perlahan namun pasti, dalam realitas keseharian, robot-robot ini telah menggantikan peran manusia sekaligus mengarahkan kehidupan manusia itu sendiri. Dengan robot-robot teknologi jaringan informatika, semua bentuk informasi valid bisa didapat dengan mudah tanpa terganjal oleh sekat ruang dan waktu. Segala bentuk informasi terintegrasi dan bercampur baur dalam ruang maya informatika yang bisa diakses kapanpun, dimanapun dan oleh siapapun, tanpa ada sensor dari otoritas tertentu. Dalam dunia ini, otoritasotoritas tunggal musnah, hierarki sosial kandas oleh heterarki (kesetaraan tanpa ada pusat) dan absolutisme kebenaran hancur lebur menjadi serpihan buih. Realitas inilah yang dimaksudkan oleh Lyotard dengan kebudayaan postindustrial (postmodern) yang tertuang dalam karyanya La Condition Posmoderne: Rapport sur le savoir. Sebuah hunian baru masyarakat komputerisasi yang transformatif, dimana segala bentuk narasi agung (grand narrative) modern dirobohkan, dan sekaligus perayaan bagi lahirnya pluralisme kebenaran dan pluralisme realitas (paralogi). Transformasi jaringan computer inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya pergeseran struktur dan pranata masyarakat. Selain media massa, fenomena krusial yang lahir dari rahim postmodernitas adalah munculnya budaya populer. Pada awalnya, budaya ini tumbuh dengan sendirinya di dalam proses interaksi sosial masyarakat bawah. Karena muncul dari golongan bawah, maka, budaya ini sering juga disebut dengan folk culture atau lowbrow culture, istilah yang sering digunakan sebagai lawan dari highbrow culture (budaya tinggi), budaya yang diwujudkan oleh kaum elitis dan borjuis. Meskipun demikian, saat ini budaya populer sudah dimanifulasi dan identik dengan budaya massa. Budaya yang sengaja diciptakan oleh kaum kapitalisme lanjut sebagai ladang persemaian keuntungan. Manifulasi ini terjadi karena budaya popular bersifat massal, terbuka, mengakar di khalayak banyak dan marketable. Kedua budaya yang menjadi identik ini, tumbuh dan berkembang sebagai efek dari keterbukaan informasi serta keterlibatan media massa dalam upaya pendistribusian dan peningkatan ekonomi yang bersifat massal. Eratnya keterjalinan media massa dengan budaya popular memberi efek signifikan dalam realitas keseharian manusia yang melahirkan berbagai patologi sosial. Seluruh dimensi kehidupan manusia saat ini sudah terarahkan kepada gaya hidup materialistik, hedonistik dan konsumtif. Dalam konteks ini segala hal yang menyangkut dengan kemanusiaan selalu diukur dan diarahkan kepada upaya pencapaian hal-hal duniawiyah, tanpa makna, dan hilangnya nilai-nilai etis dan religious. Sehingga tidak aneh jika orientasi dan motif kehidupan manusia terarahkan kepada aktivitas konsumsi yang berlebihan. Emo ergo sum (aku belanja maka aku ada), demikian sajak heroik kaum hedonistik.
Volume 02 No. 02 November 2012
16 M O M E N T U M
Gaya Hidup Masyarakat Hiper-Realitas
Ilusi Gaya Hidup di Layar Televisi “Television is the world” (Baudrillard)6 “The simulation is never what hides the truth –it is truth that hides the fact that there is none” “The simulacrum is true” (Baudrillard)7 Dari sekian penemuan dan inovasi ilmiah para ilmuwan, televisi dan computer adalah dua hal yang sangat signifikan dalam mengubah berbagai aspek kehidupan manusia, mulai dari ekonomi, politik, budaya, hukum, spiritualitas, agama, gaya hidup dan bahkan sexualitas yang sebelumnya kita anggap sangat privasi. Kita tidak bisa mengelak dari fakta sejarah bahwa televisi dan computer telah mampu mengerutkan, mensimulasikan, dan menduplikasi dunia nyata kita menjadi bentuk informasi audio-visual yang bisa disiarkan ke seluruh penjuru negeri untuk ditonton oleh jutaan pasang mata penikmat dunia. Dengan teknologi berbasis informatika ini, kita bisa melihat berbagai rangkaian peristiwa yang terjadi di setiap senti belahan bumi secara langsung (live). Dengannya pula kita disuguhkan berbagai informasi yang membantu kita dalam memahami berbagai khazanah ilmiah, termasuk pencarian jati diri, tanpa perlu lagi dominasi dan eksistensi guru, alias cukup nongkrong menyaksikan chanel-chanel (saluransaluran) berita, atau berselancar di dunia maya informatika. Sesuatu hal yang dulu oleh para leluhur kita dianggap mustahil, kini menjadi hal yang nyata, karena televisi dan computer, yang pada awalnya berfungsi sebagai alat komunikasi dan informasi, ternyata tidak hanya sekedar mampu menduplikasi dan mensimulasikan realitas faktual, tetapi juga mampu membuat realitas-realitas fiktif, fantasi dan ilusi, yang bisa ditonton dan dinikmati seakan-akan realitas kehidupan pragmatis kita yang nyata. Film adalah salah satu karya agung abad kontemporer yang menjadi representasi realitas fiktif dimaksud. Film merupakan ruang atau realitas semu yang mampu menyedot animo seluruh warga planet bumi. Bagaimana tidak? Film yang dipertontonkan kepada kita dengan aneka kemasannya -mulai dari drama, kolosal, horor, kartun, fiksi sains, dokumenter, dan telenovela- ternyata mampu menghipnotis setiap orang untuk keluar dari realitas eksistensial dirinya dan terbenam dalam realitas fiktif nan ilutif. Dengan menonton film, setiap orang bisa mengetahui, merasakan dan menghayati berbagai lelakon hidup. Lebih dari itu, kita juga bisa terhipnotis untuk membenci, berempati, dan mencinta kepada sang empu lakon. Dengannya pula kita terstimulus untuk berangan-angan menjadi sang pahlawan protagonis yang setiap saat siap menumpas para bandit antagonis, seperti yang dikisahkan dalam lakon episodik telenovela semi romantika. Realitas-realitas fiktif dan fantasi yang disiarkan melalui televisi dan computer tersebut, tiada lain adalah apa yang oleh Baudrillard disebut dengan ruang simulasi atau Simulacra.8 Realitas baru abu-abu yang tidak jelas pangkalnya, namun realitas ini terus diproduksi dan 6 Jean Baudrillard, The Ecstasy of Communication (New York: Semiotext[e], 1987), 32. 7 Jean Baudrillad, Simulations, terj. Paul Foss, et.al (USA: Semiotext[e],1983), 1. 8 Dalam Oxford Advancer Learner’s, “Simulacra” diartikan (1) Sesuatu yang tampak, atau dibuat tampak seperti yang lain (2) Salinan (Copy). Dalam pemikiran Baudrillard, kata simulacra erat kaitannya dengan salinan, terkhusus, counterfeit, duplicate, facsimile, model, reproduction dan xerox. Yasraf Amir Piliang, Postrealitas: Realitas Kebudayaan Dalam Era Posmetafisika (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), 57-63 Volume 02 No. 02 November 2012
17 M O M E N T U M
Gaya Hidup Masyarakat Hiper-Realitas
menduplikasi diri sehingga menciptakan realitas-realitas semu yang semakin kompleks. Kendati tanpa asal-usul yang jelas dan semu, kompleksitas realitas simulacra ini mampu memalingkan kesadaran manusia dari realitas pragmatiknya yang serba nyata Di dalam jalajala realitas semu (simulacra) ini, segala hal yang bersifat esensial menjadi kabur. Apa yang kita ketahui tentang realitas fiktif, realitas faktual, nilai, makna, citra, simbol, produksi, komsumsi, representasi, idiologi, politik, ekonomi, referensi, etika dan agama melebur menjadi benang kusut berlumut yang sulit di urai. Di dalam jala kusut simulacra inilah kita hidup. Oleh karena itu, tidak aneh jika dinamika sosial masyarakat yang berkubang dalam realitas ini pada akhirnya akan terdorong menuju ruang baru bernama Hyper-Reality.9 Sebuah kondisi dimana manusia sudah tidak mampu lagi membedakan antara realitas fantasi dan realitas faktual, makna dan tanda, serta fakta dan fiksi. Keadaan dimana setiap orang lebih percaya kepada realitas simulasi dari pada yang asli, sehingga segala hal yang dikerjakan menjadi absurd atau nihil. Sedemikian dominannya televisi dalam ritualitas dan rutinitas kehidupan manusia, maka menjadi hal yang lumrah jika Bryan S. Turner mengomentari wujud televisi sebagai berikut: Television is the real world of postmodern culture which has entertainment as its ideology, the spectacle as the emblematic sign of the commodity form, lifestyle advertising as popular psychology pure, empty seriality as the bond which unites the simulacrum of the audience, electronic image as its most dynamic, and only, form of social cohesion, elite media politics as its ideological formula, the buying and selling of abstracted attention as the locus of its marketplace rational, cynicism as its dominant culture sign, and the diffusion of network of relational power as its real product.10 (Televisi adalah dunia nyata dalam budaya postmodern dengan hiburan sebagai idiologinya, tontonan sebagai pertanda simbolik dari wujud komoditasnya, iklan gaya hidup sebagai psikologi popularnya, tontonan serial sebagai pengikat yang menyatukan simulakrum pemirsanya, gambar elektronik sebagai gerak dinamisnya dan satu-satunya bentuk penyatu sosial, media politik elitis sebagai formula idiologinya, jual beli simpati atau citra abstrak sebagai lokus rasio pasarnya, sinisme sebagai pertanda budaya dominan, dan penyebaran jaringan relasi kekuasaan sebagai produk realnya). Dengan maraknya tayangan-tayangan televisi yang disiarkan secara non-stop 24 jam, masyarakat digiring agar terus berada di depan layar kaca untuk menyaksikan berbagai berita dunia, roman cinta, entertainment, video games, tragedi, aksi-aksi terorism, horrorism, sadism, sexism, genoside, musik, atau sekedar mendengar gosip-gosip murahan para selebriti yang diumbar secara massal. Semuanya menjadi tontonan publik yang dikemas dengan citra dan simbol-simbol estetik, namun surut makna. Realitas semu yang ditonton para pemirsapun, acap kali diaplikasikan ke dalam realitas nyata keseharian mereka, dengan harapan bisa ditonton seperti halnya sang selebrita idola. Pengaplikasian realitas fiktif dalam kehidupan nyata tersebut pun, pada akhirnya menciptakan ruang-ruang atau realitas-realitas baru semu yang terus bertambah kompleks dan tak berujung, sehingga kita senantiasa terjebak dan sulit untuk 9 Jean Baudrillad, Simulations, 1-2. 10 Bryan Turner, “Modernity, Postmodernity and the Present” dalam Theory of Modernity and stmodernity, ed. Bryan Turner (London: Sage, 1990), 169. Volume 02 No. 02 November 2012
18 M O M E N T U M
Gaya Hidup Masyarakat Hiper-Realitas
membedakan antara realitas nyata dan realitas maya. Realitas-realitas semu inilah yang sebenarnya mengaburkan segala makna esensial kehidupan manusia. Atas dasar ini pula kenapa Baudrillard mengungkapkan bahwa era postmodernitas lebih menekankan kepada fiction (fiksi) dari pada function (fungsi), signs (tanda) dari pada things (hakikat benda) dan aesthetics (estetika) dari pada ethics (etika).11 Dalam konteks ini pula, tidak salah jika David Chaney mengungkapkan bahwa efek signifikan dari munculnya televisi dan computer adalah lahirnya budaya baru yang disebut dengan a culture of spectacle (budaya tontonan). Sebuah budaya dimana semua elemen masyarakat digiring untuk menjadi penonton sekaligus ditonton.12 Efek yang lebih tragis dari fenomena di atas adalah munculnya mentalitas pengekor, dalam artian, masyarakat menjadi sekedar sekelompok pribadi-pribadi pasif, individual serta hanya menerima segala bentuk informasi taken for granted, tanpa ada filterisasi ataupun verifikasi ilmiah terhadap data-data dan informasi yang telah diterimanya. Sehingga tidak ayal jika informasi-informasi yang diterima menjadi semu atau menjadi bahan gibah ibu-ibu, tidak lagi menjadi pengetahuan yang bernilai dan mencerahkan. Informasi tersebut hanya menjadi data sampah yang semakin menjerumuskannya ke dalam jurang keterasingan. Dan secara perlahan, namun pasti, data-data sampah tersebut pada akhirnya menjadi sumber timbulnya berbagai patologi sosial. Di dalam budaya tontonan, nilai esensial realitas keseharian masyarakat menyusut menjadi sekedar panggung festival massal. Semua ritual dan rutinitas keseharian masyarakat dengan sendirinya terbentuk menjadi drama kolosal yang harus dipertontonkan dan ditonton, serta diarak ke khalayak publik, tidak terkecuali dogma-dogma agama dan rutinitas privasi. Dalam hal ini, setiap individu dengan sendirinya terarahkan menjadi aktor-aktor yang harus memainkan peran dan menunjukan citra dan cita rasa eksistensialnya dengan mengoptimalkan nilai-nilai estetis, sekalipun harus mengenyampingkan masalah etis. Dengan demikian menjadi wajar jika turunan dari budaya tontonan adalah “Image Culture” (Budaya Citra) dan “Taste Culture” (Budaya Cita Rasa). Di dalam budaya tontonan, citra dan cita rasa menjadi modus dan identitas eksistensial setiap orang yang harus dibentuk sebaik mungkin untuk kemudian dipamerkan di ranah publik. Karena tuntutan citra dan cita rasa, setiap individu dalam suatu masyarakat pada akhirnya harus memperhatikan gaya hidup (lifestyle). Dan tentunya organ-organ tubuh menjadi objek estetis gaya hidup yang paling dominan. Di dalam situasi inilah seluruh elemen masyarakat dipicu untuk senantiasa bersolek dan merias diri meniru-niru sang nona dan jejaka idola. Kita tidak perlu bingung untuk melihat fakta sosial ini, karena di sepanjang jalan, di perkantoran, di sekolahan, bahkan di pengajian dan di hari-hari besar keagamaan, kita bisa menyaksikan pria dan wanita tampil trendi, glamour, sexy, macho, dan perlente dengan segala esesoris necisnya.13
11 David Harvey, The Condition of Postmodernity: An Enquiry into the Origins of Cultural Change (Oxford: Blackwell Publishers, 1990), 102 12 Baca David Chaney, Lifestyles: Sebuah Pengantar Komprehensif, terj. Nuraeni (Yogyakarta: Jalasutra, 2008). 13 Dalam realitas keseharian kita yang dipenuhi dengan dunia-dunia simulacra, persepsi kita tentang tubuh fisik semakin dibentuk oleh citraan-citraan abstrak, yang menurut Bambang Sugiharto, berperan juga sebagai Volume 02 No. 02 November 2012
19 M O M E N T U M
Gaya Hidup Masyarakat Hiper-Realitas
Fenomena massal ini muncul karena gaya hidup atau urusan tampangisme (lookism) bukan lagi dihakpatenkan teruntuk para biduanita, selebrita, ataupun kaum sosialita, tetapi gaya hidup sudah mendarah daging menjadi kebutuhan primer seluruh elemen masyarakat. Oleh karena itu, menjadi hal yang lumrah jika masyarakat dewasa ini sudah memiliki kecenderungan untuk tampil seolah menjadi selebriti. Seperti diungkapkan Thomas C. O‟Guinn “twenty-first century is all about celebrity”.14 Sebagai contoh, tidak aneh jika saat ini setiap pemudi merasa wajib melihat hairstyle Sahrini yang bermotif terowongan casablangka, dan bulu mata anti badai, atau mengetahui di salon mana krisdayanti mengecat rambut, pedicure dan medicure, dan bahkan harus memburu gamis ala Asanti dan Sahrini untuk dikenakan di hari raya Idul Fitri. Semuanya karena alasan “demi totalitas gaya hidup”. Fenomena sosial seperti inilah yang menjadi alasan kenapa Chaney mengidentifikasi masyarakat saat ini dengan dandy society (masyarakat pesolek). Sebuah masyarakat yang meyakini dan mengagungkan doktrin sucinya, mengutip Idi Subandy, “Kamu Bergaya Maka Aku Ada”.15 Kamu akan tersingkir jika tidak punya gaya, dan kamu akan dianggap musnah jika tidak bergaya. Ujung pangkal dari pengagungan gaya hidup ini adalah pengkultuskan diri, “Aku Narsis Maka Aku Eksis” (Narcissuso Ergo Sum).16 Inilah alasan fundamental kenapa kaum kapital saat ini menganggap gaya hidup sebagai komoditas ekonomi yang paling sexy, dan mengorientasikan semua komoditas ekonomi untuk menunjang kebutuhan atau strukturstruktur gaya hidup masyarakat. Dalam relasi fungsionalnya antara media massa dengan ekonomi, iklan menjadi sarana ampuh yang dapat mengubah mood, trend dan materialistic desire para konsumen. Mengenai hal ini, Stuar Ewen melalui karyanya, Captains of Consciousness: Advertising and the Social Root of the Consumer Culture,17 menegaskan bahwa logika hawa nafsu menjadi paradigma pokok yang digunakan oleh para ahli ekonomi untuk mengobarkan hasrat konsumeristik seluruh lapisan masyarakat. Energi inilah yang menjadi motor penggerak keberhasilan terjadinya peralihan komoditas ekonomi, dari kebutuhan pokok (need) menjadi komoditas ekonomi keinginan (want). Modus operandi logika ini dijalankan melalui rayuan bahasa iklan (seduction of advertising language). Iklan yang dikemas dengan bahasa rayuan dan dipertontonkan secara visual telah berhasil membentuk pencitraan dan pencitarasaan suatu komoditas ekonomi. Dengannya pula status komoditas ekonomi keinginan (want) mampu menanjak naik menjadi komoditas gaya hidup sekaligus menjadi falsafah hidup. Seperti diungkapkan Strinati, penampakan dan gaya-gaya visual iklan merupakan representasi dari gaya hidup konsumennya.18 Idi Subandy mempertajam hal ini dengan mengatakan bahwa iklan kerangka metafisikanya. Bambang Sugiharto, “Penjara Jiwa, Mesin Hasrat: Tubuh Sepanjang Buday” dalam Menguak Tubuh. Kalam Jurnal Budaya. Jakarta, No.15, 2000, 34-45. 14 Ibid., 20. 15 Ibid., 16. 16 Penulis menisbatkan ungkapkan Narcissuso Ergo Sum dari ungkapan filsuf modern, Descartes, Cogito Ergo Sum. Kata Narcissuso diambil dari kata Narcissus yang diambil dari bahasa Yunani “Narcosis” atau “Numbness”. Narcissus adalah nama dari seorang pemuda dalam mitologi Yunani yang gemar bercermin di atas kolam untuk melihat image atau kecakapan dirinya. Marshal McLuhan, Understanding Media: The Extensions of Man (London: Sphere Books Ltd, 1964). 17 Stuar Ewen, Captains of Consciousness: Advertising and the Social Root of the Consumer Culture (New York: McGraw Hill, 1976). 18 Dominic Strinati, An Introduction to Theories of Popular Culture (London and New York: Routledge, 2004), 232. Volume 02 No. 02 November 2012
20 M O M E N T U M
Gaya Hidup Masyarakat Hiper-Realitas
telah mewujud menjadi “saluran hasrat” (channel of desire) dan sekaligus channel of discourse mengenai konsumsi dan gaya hidup. Inilah alasan utama kenapa seorang kritikus media massa, Marshal McLuhan, mengungkapkan bahwa iklan merupakan salah satu dari karya agung manusia di abad ke-20.19 Budaya Massa dan Budaya Populer di Panggung Postmodernitas Dalam An Introduction to Theories of Popular Culture, Dominic Strinati mengungkapkan bahwa diskursus postmodern telah mendeskripsikan kemunculan suatu masyarakat di mana media massa dan popular culture (budaya populer) menjadi dua kekuatan besar yang bisa mengkontrol dan membentuk seluruh tipe hubungan sosial.20 Oleh karena itu, tidak salah jika pada abad kontemporer ini, selain media massa, budaya popular menjadi problematika postmodernitas yang tidak pernah kering dari pembicaraan para pemikir dan terus menjadi hot isu di seantero jagat. Bagaimana sejarah kemunculan budaya populer dan apa yang sebenarnya menjadi tema sentral dalam budaya ini? Untuk menjawab secara pasti pertanyaan tersebut, tentunya tidak semudah membalikan tangan, perlu analisis historis. Hal ini dikarenakan ada banyak pendapat mengenai asal-usul budaya populer, baik itu yang datang dari para sosiolog, antropolog ataupun para ahli sejarah.21 Leo Lowenthal misalnya, menelusuri genealogi budaya populer dari karya-karya Pascal dan Montaigne di Abad ke-16 dan ke-17, dan mengaitkannya dengan peningkatan pasar ekonomi. Dari analisisnya atas karya tersebut, ia menyimpulkan bahwa kemunculan budaya ini bisa dilacak semenjak adanya kekaisaran Romawi, yaitu ketika merebaknya produksi roti dan sirkus. Dalam konteks ini, roti dan siskus bukan lagi dominasi para elitis Romawi, tetapi sudah menjelma menjadi budaya dan tontonan yang juga dinikmati oleh seluruh elemen bangsa Romawi. Lain halnya dengan Burke. Ia berpendapat bahwa budaya populer muncul dan diasosiasikan dengan kesadaran akan nasionalisme yang terjadi di akhir abad ke-19, dan hasil usaha para intelektual yang merubah budaya populer menjadi budaya nasional. Terlepas dari keragaman definitif dan historis, yang dimaksud dengan budaya popular di abad postmodern adalah, seperti diungkapkan Strinarti, bentuk budaya yang diidentifikasi dengan budaya massa. Budaya yang datang seiring dengan serbuan media massa dan peningkatan komersialisasi budaya dan waktu luang (leisure), yang merebak mulai tahun 1920an. Dalam konteks ini, budaya populer adalah budaya yang diproduksi melalui rekayasa teknik industri yang memproduksi produk masal, dan dipasarkan kepada khalayak public demi memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.22 Mengenai asal-usul dan keidentikan budaya populer dengan budaya massa, dijelaskan secara gamblang oleh MacDonald sebagai berikut: Folk art grew from below. It was a spontaneous, autochthonous expression of the people, shaped by themselves, pretty much without benefit of high culture, to suit their own needs. Mass culture is imposed from above. It is 19 David Chaney, Lifestyles: Sebuah Pengantar Komprehensif, 19. 20 Dominic Strinati, An Introduction to Theories of Popular Culture, 211. 21 Ibid, 1-2 22 Ibid., 10 Volume 02 No. 02 November 2012
21 M O M E N T U M
Gaya Hidup Masyarakat Hiper-Realitas
fabricated by technicians hired by businessmen; its audiences are passive consumers, their participation limited to the choice between buying or not buying… folk Art was the prople‟s own institution, their private little garden walled off from the great formal park of their master‟s High Culture. But mass Culture breaks down the wall, integrating the masses into a debased form of High Culture and thus becoming an instrument of political domination.23 (Budaya populer (Folk art) tumbuh dari bawah. Ia muncul secara spontan, ekpresi polos rakyat yang dibentuk oleh mereka sendiri, indah tanpa ada kepentingan dari budaya tinggi, untuk menyerasikan kebutuhan mereka. Budaya massa muncul dari atas (high culture). Budaya yang dibuat oleh para ahli yang dibayar oleh para pengusaha; audiennya adalah konsumen pasif, partisipasi mereka dibatasi antara dua pilihan, membeli atau tidak membeli… budaya populer adalah adat kebiasaan rakyat sendiri, taman kecil mereka yang privasi dan terbendung dari kebun raya pemilik budaya tinggi. Tetapi budaya massa menghancurkan bendungannya, menyatukan massa ke dalam kerendahan budaya tinggi dan kemudian menjadi sebuah instrumen dominasi politik). It is a debased, trivial culture that voids both the deep realities (sex, death, failure, tragedy) and also the simple, spontaneous pleasures, since the realities would be too real and the pleasures too lively to induce. A narcotized acceptance of mass culture and of the commodities it sells as a substitute for the unsettling and unpredictable (hence unstable) joy, tragedy, wit, change, originality, and beauty of real life. The masses, debauched by several generations of this soft thing, in turn come to demand trivial and comportable culture product.24 (Budaya massa adalah budaya yang hina, budaya remeh yang hampa akan realitas esensial (seks, kematian, kegagalan, tragedi) dan juga realitas simpel, kenikmatan-kenikmatan spontan, karena realitas-realitas ini benar-benar telah menjadi nyata dan kenikmatan terlalu mudah untuk dibujuk. Sebuah sambutan budaya massa yang membius, dan komoditas-komoditas yang dijual sebagai pengganti kesenangan, tragedi, lelucon jenaka, perubahan, originalitas, dan keindahan hidup. Masyarakat yang dirayu oleh rangkaian hal sepele tersebut pada akhirnya berbalik menuntut produk budaya yang sepele dan nyaman ini). Dari penjelasan MacDonald di atas, dapat dipahami bahwa budaya populer dan budaya massa dalam realitas faktual saat ini sudah sulit dibedakan. Keduanya menyatu menjadi identitas baru kaum elitis yang juga melebur dan bisa dinikmati oleh para petani kubis, hingga pengemis sekalipun. Faktor signifikan dari peleburan keduanya adalah membludaknya aktivitas konsumsi (consumption) yang mengalahkan aktivitas produksi (production). Kondisi ini sebenarnya bentuk dari politisasi pasar kaum kapitalisme lanjut (late capitalism) yang berkembang sejak tahun 1920-an. Tujuannya, untuk mengkonstruksi rasio dan kesadaran
23 Dikutip dari Dominic Strinati, An Introduction to Theories of Popular Culture, 9. 24 Mac Donald, “A Theory of Mass Culture” dalam Mass Culture. Ed. Rojek, et. al. (Glencoe: Free Press, 1957), 71. Volume 02 No. 02 November 2012
22 M O M E N T U M
Gaya Hidup Masyarakat Hiper-Realitas
masyarakat agar menjadikan konsumsi sebagai motif utama penggerak realitas sosial, budaya, pendidikan dan bahkan politik. Jika di abad modern, Karl Marx mengungkapkan bahwa masyarakat kapital memanjakan para konsumen dengan komoditas ekonomi yang syarat dengan nilai guna (use value) dan nilai tukar (exchange-value). Maka, Menurut Baudrillard, di era postmodern, kedua nilai tersebut sudah tergeser oleh nilai tanda (sign-value) dan nilai simbol (symbol value). Tanda-tanda dan simbol-simbol telah mewujud menjadi motif dan orientasi utama aktivitas konsumsi masyarakat. Kita bisa menyaksikan hal ini dalam realitas keseharian kita melalui aktivitas konsumsi masyarakat dewasa ini yang lebih banyak ditujukan bukan untuk komoditas yang memiliki nilai guna, tetapi untuk komoditas yang memiliki tanda-tanda atau simbol-simbol kemapanan, prestise, gengsi, gaya, derajat eksistensi dan sebagainya. Sekedar contoh, saat ini, baik pria ataupun wanita merasa perlu membeli sepatu lebih dari satu. Bukan karena alasan fungsinya untuk melindungi kaki, tetapi untuk menyesuaikan warna dan style sepatu dengan corak pakaian yang dikenakan supaya memberi kesan matching, perlente, necis, stylish dan glamour. Menurut Subandy,25 prinsip dan modus operandi marketisasi yang dilakukan kaum kapitalisme lanjut tersebut adalah: Pertama, Memasyarakatkan produk (mass production). Kedua, Mengemas komoditas dengan penyeragaman cita rasa (homogenization of taste). Ketiga, Menekan biaya produk serendah-rendahnya (minimization of cost). Keempat, Standarisasi (standarization). Kelima, diferensiasi (diffenziation). Keenam, Percepatan yang konstan (constan acceleration). Keenam prinsip tersebut pada dasarnya dikemas untuk mengelabui seluruh elemen masyarakat agar terjaring dalam pola hidup konsumtif dan menghilangkan dimensi kelas sosial dalam komoditas. Disadari atau tidak, di dalam realitas pragmatis kita, cengkraman keenam prinsip di atas sudah menggurita dan sangat sulit untuk kita lepaskan. Sebegitu kuat cengkraman itu, tak ayal jika seluruh lapisan masyarakat menjadi linglung dan kehilangan dimensi rasionalitasnya. Hilangnya kesadaran inilah yang menjadikan sebagaian besar motif dan orientasi kehidupan masyarakat saat ini terarahkan kepada pola hidup konsumtif demi mewujudkan gaya hidup sebagai tujuan hidup. Kekhilafan atau hilangnya rasionalitas dalam diri masyarakat menjadi sangat wajar, karena pada saat ini komoditas-komoditas yang diproduksi tidak sekedar berupa komoditas primer, seperti peralatan rumah tangga, pakaian ataupun bahan baku makanan, tetapi bergerak merambah ke semua lini kehidupan masyarakat yang sekunder dan tersier, mulai dari hunian mewah, apartemen, real estate, produk kecantikan, obat-obatan, transportasi, wisata, hiburan, berita, seks, nasihat, gosip, waktu luang (leisure time), hingga produk yang berlabelkan agama. Semua komoditas ini didesain sedemikian rupa agar menjadi komoditas murah meriah, memiliki standard penjaminan kualitas, style yang bineka, namun, dengan citra dan cita rasa yang sama, dalam artian bisa dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat, tanpa mengenal status sosial. Ketika segala hal dijadikan komoditas, maka dengan sendirinya, seluruh elemen masyarakat pasti terjerat dalam pola hidup konsumtif. Celakanya, seiring bergulirnya waktu yang didukung oleh gempuran iklan, komoditas yang sekunder dan tersier-pun berubah menjadi komoditas primer, alias komoditas yang wajib disantap demi meningkatkan citra diri dan menonjolkan cita rasa. Karena hal ini, maka semua 25 Idi Subandy (ed), Ecstasy Gaya Hidup (Bandung: Mizan, 1997), 19. Volume 02 No. 02 November 2012
23 M O M E N T U M
Gaya Hidup Masyarakat Hiper-Realitas
aktivitas masyarakat akan tertuju pada aktivitas konsumsi yang berlebihan. Atas dasar inilah kenapa aktivitas produksi senantiasa terkalahkan oleh aktivitas konsumsi. Tidak hanya itu, nilai guna komoditas-pun terkalahkan oleh simbol-simbol kosong, begitu juga dengan kedalaman makna, terkalahkan oleh penampakan tanda. Pada titik ini, logika komunikasi manusia sudah tergantikan oleh logika hawa nafsu yang sudah memujud bukan hanya menjadi sistem pemikiran, tetapi juga menjadi hasrat hidup.26 Terkhusus di Indonesia, fenomena krusial dan dilematis saat ini adalah ketika agama menjadi komoditas paling sexy yang dikemas dengan balutan sensual gaya hidup populer. Kedalaman makna-makna doktrin agama tergerus oleh penampakan tanda-tanda estetis yang glamour. Pesan-pesan etis prophetis tereduksi oleh image-image erotis simulasi media. Kebangiktan spiritualitas dan ghirah keagamaan senantiasa beriringan dengan kebangkitan gaya hidup. Oleh karena itu, seperti diungkapkan Idi Subandy, fenomena kebangkitan agama acap kali hanya mengambang pada level simbolik, sehingga artefak ketakwaan seseorang terkamuflasekan oleh simbol-simbol, tanda-tanda dan ikon-ikon religi. Sangat mudah untuk membuktikan fenomena di atas. Kita bisa saksikan bagaimana munculnya program-program religi, sebut saja, pildacil (pemilihan da‟i cilik) dan khutbahkhutbah keagamaan yang mensimulasikan sosok ustadz dan ustadzah pop yang pakaiannya menjadi proyek sponsor program. Begitu juga dengan moslem fashion show, iklan perbangkan syariah, iklan jasa perjalanan haji dan wisata religi. Tidak hanya itu, muncul juga pendidikan Islami dengan label “Plus“, serta komoditas-komuditas pasar berlabel Islami, mulai dari kerudung gaul, baju koko, peci, sajadah, hingga telepon celuler yang ber-softwear Islami. Inilah bagian dari sekian dilema krusial agama yang berkubang di dalam budaya populer. Masyarakat Hipperrealitas Dalam khazanah intelektual barat, sejarah dan genealogi gagasan masyarakat hiperrealitas yang dikaitkan dengan perkembangan teknologi media massa dan realitas kebudayaan postmodernitas, tidak bisa lepas dari analisis brilian seorang kritikus media massa, Marshall Mc Luhan, yang dituangkan ke dalam karyanya, The Gutenberg Galaxy dan Understanding Media: The Extensions of Man. Melalui kedua karya ini, McLuhan menganalisis dengan tajam mengenai sejarah, pergeseran fungsi teknologi dan efeknya terhadap kehidupan manusia. Dalam konteks postmodernitas, pembahasan yang urgen adalah berkenaan dengan dampak revolusi teknologi, dari mekanik menjadi elektronik. Tidak bisa kita sangkal bahwa revolusi teknologi, dari teknologi mekanik menjadi teknologi elektronik merupakan peristiwa sejarah intelektual manusia yang mampu mengubah pola dan tatanan hidup manusia secara keseluruhan. Disadari atau tidak, revolusi teknologi ini bukan semata-mata merubah bentuk fisik mesin-mesin teknologi tersebut, -dari manual menjadi digital- tetapi juga merubah peran dan fungsi teknologi itu sendiri. Menurut McLuhan, teknologi mekanik yang berfungsi sebagai “perpanjangan tangan manusia”, kini telah digeser 26 Logika komunikatif (communicative logic) adalah logika yang dicetuskan oleh Habermas sebagai antithesis dari binary opposition logic (logika oposisi bener) atau logika menang kalah yang diusung oleh Descartes. Dalam logika komunikatif, segala hal perlu dipikirkan dan diwacanakan dalam suatu proses dialogis untuk menemukan nilai-nilai esensial. Adapun logika hawa nafsu (desire logic) dikembangkan oleh Singmund Frued, yang menganggap bahwa aktivitas manusia selalu terarahkan untuk pemenuhan hasrat. Volume 02 No. 02 November 2012
24 M O M E N T U M
Gaya Hidup Masyarakat Hiper-Realitas
oleh fungsi teknologi elektronik, yaitu sebagai “perpanjangan jaringan saraf manusia”. Mesinmesin teknologi mekanis yang berotot besi dan bertulang baja hanya bekerja menggantikan tangan manusia, karena ia harus diperintah secara manual. Berbeda dengan mesin-mesin berteknologi elektronik yang memiliki daya respek dan respon digital. Dengan kemampuan ini, robot-robot teknologi elektronik mampu mengerjakan segala hal secara otomatis dan network, tak ubahnya dengan kinerja jaringan kompleks syaraf manusia. McLuhan sendiri menyebut revolusi teknologis ini dengan automation or cybernation revolution.27 Artefak nyata dari teknologi elektronik ini bisa kita lihat dalam wujud telepon, radio, televisi dan computer. McLuhan sangat optimis bahwa revolusi teknologi tersebut akan berdampak positif bagi kehidupan manusia, khususnya dalam perubahan pola komunikasi dan relasi manusia. Revolusi ini telah memungkinkan setiap insan berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain tanpa tersekat oleh batas-batas geografis, begitu juga dengan kendala waktu. Atas dasar ini, ia mengungkapkan bahwa realitas dunia yang terhampar luas menjadi pulau dan benua serta tersekat oleh samudra dan selat, kini tidak ubahnya sebuah desa buana atau Global Vilage. Sebuah perkampungan mungil dimana setiap orang bisa saling bercengkrama, bertransaksi dan berkomunikasi dengan fasilitas teknologi. Optimisme McLuhan tidak bisa disepelekan, karena pada faktanya hal ini terbuki dalam realitas keseharian kita. Dengan adanya jaringan internet misalnya, kita bisa berkomunikasi secara face to face seolah menafikan adanya sekat geografis. Begitu juga dengan televisi, kita bisa menyaksikan aneka rangkaian peristiwa dunia, termasuk yang terjadi di ujung benua. Ketika Baudrillard mengembangkan analisis media McLuhan dan membenturkannya dengan realitas kebudayaan barat, dimana teknologi media dan ekonomi sudah dimanifulasi oleh the late capitalism (kapitalisme lanjut). Maka optimisme yang diidamkan McLuhan beralih menjadi pesimisme, dan bahkan nihilisme. Dalam pandangan Baudrillard, fungsi teknologi elektronik (berbasis informatika), tidak sekedar sebagai kepanjangan tangan dan sistem saraf manusia, tetapi yang lebih fantatis dan dramatis, teknologi ini sudah mampu memproduksi realitas-realitas baru. Realitas fantasi nan ilusi yang disulap menjadi realitas faktual dan berkelindan menjadi bagian dari eksistensial manusia. Seperti yang telah dibahas di atas, film menjadi salah satu representasi dari realitas yang dimaksudkan Baudrillard. Melalui kemasan film, kita bisa mendalami dan mengkonstruksi sejarah masa lampau, atau membuat realitas baru dalam bentuk fiksi sains yang menawarkan mimpi-mimpi ideal. Begitu juga dengan segala bentuk nostalgia kita, bisa disimpan di hardisk dan diputar ulang di layar kaca. Singkatnya teknologi media massa mampu menjadi jembatan kokoh yang menghubungkan realitas alami dan mimpi karena kemampuannya, seperti diungkapkan Darmanto Jatman merubah fakta menjadi factoid yang lebih kuat daya persuasinya kepada masyarakat. Kekuatan persuasi media yang mewujud bagai magnet menjadi fasilitator tangguh dalam proses pembentukan citra individu, terlebih ketika disimulasikan dengan bujuk rayu iklan-iklan gombal di layar televisi. Fenomena inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh the late capitalism untuk mengeruk pundi-pundi ekonomi. Tidak
27 Marshall Mc Luhan, Understanding Media, 389-392. Volume 02 No. 02 November 2012
25 M O M E N T U M
Gaya Hidup Masyarakat Hiper-Realitas
ketinggalan juga dengan kaum Elitis (Elite without power) yang mempergunakannya untuk membangun pencitraan agar memperoleh simpati dan otoritas publik.28 Daya magnetik teknologi media telah dimonopoli oleh kapitalisme lanjut untuk melakukan marketisasi komoditas ekonomi dan menjebak masyarakat ke dalam jeruji konsumerisme. Modus operandinya adalah dengan cara membuat ruang-ruang simulasi (simulacra) yang di dalamnya komoditas-komoditas di-display layaknya barang-barang surgawi yang patut dinikmati. Di dalam ruang-ruang tersebut rasionalitas dan kesadaran kita digantikan oleh logika hawa nafsu yang terus dikumandangkan melalui corong-corong media massa dalam wujud iklan. Di dalam logika tersebut, manusia tidak diposisikan sebagai “subjek kreasi”, tetapi ditempatkan sebagai “objek pasif” komoditas ekonomi. Tegasnya, posisi manusia ditempatkan sebagai budak komoditas. Wujud nyata dari efek dominan logika ini bisa kita saksikan dalam realitas kehidupan pragmatis kita. Dengan gencarnya iklan (infomercial) dan infotainment yang berbasis gossip, dewasa ini setiap orang merasa butuh sepatu, sandal, tas dan assesoris baru hanya sekedar untuk mencocokan dengan warna baju. Para pria merasa perlu membeli sepeda motor sport sekalipun bukan pembalap dan harus membayarnya dengan cara kredit. Para wanita merasa perlu informasi bagaimana para selebriti merawat tubuh, kuku dan bahkan cara menghilangkan bulu ketiak. Semua itu bukti nyata daya pikat iklan yang ditayangkan di media. Menyesatkan, namun terasa tiupan angin segar di kepanasan. Tidak aneh jika Chaney mengatakan iklan sebagai penampakan luar yang menyesatkan (illusory surface) penuh guna-guna agar subjeknya terpana. Masyarakat yang berada di dalam ruang-ruang simulasi (simulacra) pada akhirnya terhipnotis menjadi budak konsumsi. Para budak yang menghuni ruang-ruang ini terus dipicu untuk bergaya dan melakukan perubahan-perubahan pada dirinya dengan cara mengkonsumsi aneka ragam komoditas yang sebenarnya sama sekali tidak diperlukan. Mereka akan merasa dikejar ajal jika tidak memperoleh info tentang bagaimana tampil beda. Sihir mantra simulacra yang penuh dengan semerbak bunga hedonistik inilah yang menjadikan manusia sulit untuk kembali kepada kehidupannya yang real dan esensial. Pada titik inilah puncak nihilisme menjadi akhir kehidupan para budak tersebut. Umberto Eco dan Jean Baudrillard menyebut para budak ini dengan istilah masyarakat hiperealitas. Masyarakat yang lebih percaya kepada pencitraan diri melalui ketergantungan kepada komoditas yang diiklankan media, dari pada realitas sebenarnya.29 Dalam kaitannya dengan nihilisme masyarakat hiperealitas, Yasraf Amir Piliang 30 mengidentifikasinya dengan tujuh ciri, sebagai berikut: 1. Hypercare Era postmodernitas yang gandrung akan budaya populer, logika hawa nafsu telah 28 Darmanto Jatman, “Pluralisme Media dalam Era Imagology” dalam Life style Ectasy. ed. Idi Subandy Ibrahim (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), 84. 29 Jean Baudrillard dan Umberto Eco adalah dua tokoh sentral yang berbicara masalah Hiper-Reality. Keduanya hidup sejaman dan menulis tema yang sama dalam periode bersamaan pula. Namun, antara keduanya tidak ada tulisan yang saling mengkritik sehingga mengesankan saling tidak tahu. Untuk melihat perbedaan signifikan antara keduanya, lihat Yasraf Amir Piliang, Posrealitas: Realitas Kebudayaan Dalam Era Posmetafisika (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), 58-59. 30 Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Postmodernisme (Bandung: Mizan, 1998),16 Volume 02 No. 02 November 2012
26 M O M E N T U M
Gaya Hidup Masyarakat Hiper-Realitas
mewujud menjadi instrument pokok kesadaran masyarakat. Dengan logika ini, seluruh elemen masyarakat secara otomatis dan spontan terdorong untuk mengoptimalkan perawatan dan estetisasi tubuh, sekalipun dengan teknik-teknik yang berlebihan. Sebut saja, operasi plastik, inplan, silikon, tato, sulam alis atau bibir, sedot lemak dan lain sebagainya. Di Korea Selatan misalnya, 70 persen dari pemudinya diarahkan untuk melakukan estetisasi wajah dengan cara bedah operasi plastik. Tujuannya, selain agar tampak good looking dan funny, juga agar mudah diterima kerja di perkantoran. Fenomena ini menunjukan kepada kita bahwa bersolek tidak semata-mata alasan pribadi, tetapi juga dikarenakan gaya hidup populer sudah menggurita hingga ke sistem dan struktur sosial dimana setiap orang sulit keluar darinya. Maka tidak mengherankan jika suatu saat di setiap pintu gerbang kantor akan tertera tulisan “Sexy and Beautiful Only”. Fenomena massal hypercare bukan hanya dominasi kalangan muda, tetapi mewabah pula di kalangan lansia. Di Indonesia baru-baru ini muncul anti-aging movement (gerakan anti penuaan) dengan slogannya Growing Older Without Aging; Sweet 18, Sweet 81; Change or Die Early?. Gerakan massal yang icon kecantikannya diwakili oleh Deby Susanty Vinski ini, melakukan perawatan dan estetisasi tubuh untuk melawan penuaan dengan mengkonsumsi suplemen-suplemen anti penuaan,kosmetik dan suntik hormon yang bahan dasarnya berasal dari embrio atau janin bayi yang diektrak (Exstract of Whole Embryo). Mereka merasa malu jika terlihat tua, cerewet, dan keriput. Oleh karena itu, mereka melakukan perawatan dan estetisasi tubuh yang berlebihan demi mengkonstrusi citra barunya sebagai sosok yang cantik, muda, vitalitas tinggi dan tetap produktif.31 2. Hypercomodity Keberhasilan kapitalisme lanjut meleburkan budaya populer ke dalam budaya massa berdampak kepada pemusnahan kelas yang tersembunyi di balik komoditas. Saat ini komoditas yang dianggap mewah, bukan lagi menjadi hak monopoli kaum borjuasi, tetapi bisa dikonsumsi oleh siapapun. Kepemilikan telepon seluler, sepeda motor dan mobil, bisa menjadi ilustrasi faktual akan kondisi ini. Jika dulu telepon seluler, sepeda motor dan mobil dianggap sebagai prestige kaum elitis, saat ini setiap orang bisa mengkonsumsinya. Hal ini dikarenakan ketiga produk tersebut sengaja dijadikan komoditas pasar yang melimpah tanpa kelas, bisa diperoleh dengan harga murah, dan bahkan bisa dibayar secara kredit. 3. Hypercomsumption Mengguritanya budaya popular ke dalam struktur dan sistem sosial menyebabkan motif dan orientasi masyarakat secara organisasional terarahkan kepada aktivitas konsumsi yang berlebihan. Dalam konteks ini, seluruh elemen masyarakat terjebak secara sistemik ke dalam totalitas penghambaan komoditas. Eksistensi kedirian manusia dengan sendirinya tereduksi oleh nilai material, karena manusia sudah menjadi objek komoditas. Di dalam rutinitas dan ritualitas keseharian, kita bisa 31 Untuk mengetahui secara jelas Anti-Aging Movement di Indonesia, lihat. Mahesa Mandiraatmaja, Gerakan Anti Penuaan: Politik Identitas Usia Lanjut Dalam Konstruksi Medis (Disertasi UGM, 2012). Volume 02 No. 02 November 2012
27 M O M E N T U M
Gaya Hidup Masyarakat Hiper-Realitas
menyaksikan bagaimana setiap orang dirayu dan dikondisikan agar terus mengkonsumsi komoditas yang diproduksi secara melimpah. Wal hasil, dalam kehidupan masyarakat ini, derajat, hargadiri dan identitas sosial selalu diukur oleh sejauhmana seseorang mampu mengkonsumsi ragam komoditas. 4. Hypermarket Di panggung postmodernitas, globalisasi ekonomi dan transformasi kapitalisme telah mewujud ke dalam bentuk pusat-pusat perbelanjaan yang menyuguhkan berbagai komoditas yang dapat menopang stuktur-struktur gaya hidup. Mall dan Super Market merupakan dua tempat dari sekian tempat perbelanjaan yang disimulasikan menjadi pusat aktivitas baru masyarakat urbanis yang punya gaya hidup hedonis. Mall-mall ini kemudian disulap menjadi ruang sentral yang menyajikan segala bentuk penyaluran hasrat dan kesenangan hidup. Mulai dari toko-toko, kids garden, sekolah, bank, spa, salon, bioskop, biro perjalanan, restoran, fitness club, hingga sex shop dipadukan menjadi satu ruang yang memanjakan para konsumen. Tidak haya itu, untuk memikat komsumen fasilitas-fasilitas tersebut dilabeli Exlusive, Cosmopolitan, Natural, VVIP, Executive, International Licence dan sebagainya. 5. Hypersensibility Di dalam proses interaksi sosial, masyarakat yang hidup di era postmodernitas selalu terkungkung oleh nilai-nilai materialistik dan hedonistik. Karena alasan ini, segala bentuk interaksi sosial dan berbagai aktivitasnya selalu diukur oleh pundipundi ekonomi. Nilai-nilai ekonomis inilah yang menyebabkan kepekaan seluruh elemen masyarakat selalu tertuju untuk pemenuhan hasrat duniawi. Maka dari itu, tidak mengherankan jika totalitas aktivitas masyarakat saat ini diarahkan untukmengoptimalkan kepuasan indrawi (hypersensibility). 6. Hypersexuality Problematika postmodernitas yang efek negatifnya bersinggungan langsung dengan masalah etika dan agama adalah hypersexuality. Gempuran media massa (utamanya media internet) yang bisa diakses langsung oleh siapapun dan tanpa ada sensor dari otoritas tertentu, telah mengubah wajah sex yang tabu menjadi komoditas nafsu yang paling laku. Aktivitas seksual yang sangat privatif kini diumbar dan diarak ke khayayak publik tanpa rasa malu. Homosexual, lesbi, pedopilia, masokisme, sadism, dildoisme, senam sex, dan pil-pil penambah stamina pria dan wanita, sudah menjamur menjadi konsumsi yang siap saji di warung-warung maya informatika. 7. Hyperspace Kecerdikan kaum kapital yang memanfaatkan media sebagai sarana untuk membuat ruang-ruang simulasi demi mengeruk pundi-pundi ekonomi, kini menjamur di berbagai negeri, tidak terkecuali Indonesia. Taman-taman wisata, taman-taman pintar, arena pacuan, sarana out bound, bioskop, dunia fantasi, video games, serta makam dan situs religi, merupakan ruang-ruang simulasi baru yang menjadi lahan bisnis waktu luang (leisure time). Semua ruang ini didesain se-estetis mungkin agar bisa dirasakan seolah menjadi bagian dari realitas eksistensial kita. Ruang-ruang yang didesains seindah nirwana ini, mampu menyedot animo masyarakat karena menjadi
Volume 02 No. 02 November 2012
28 M O M E N T U M
Gaya Hidup Masyarakat Hiper-Realitas
obat mujarab menghilangkan pekat dan kejenuhan masyarakat, dan bahkan memalingkan kesadaran manusia itu sendiri hingga terbuai dalam impian khayali. “Cogito Ergo Sum” (Aku Berpikir (Sadar) Maka Aku Ada), demikian slogan masyhur sang pelopor modernisme, Rene Descartes. Slogan tersebut menjadi popular karena dianggap mampu memuat dan mempresentasikan aspek fundamental peradaban manusia modern, yaitu rasionalitas atau kesadaran. Dalam konteks ini, derajat eksistensial manusia modern sangat ditentukan oleh sejauhmana kualitas pemikiran atau kesadarannya. Pendulum waktu bergulir, zaman-pun berganti. Dan tampaknya slogan popular tersebut mulai tersingkir oleh petuah konsumerisme postmodernitas, ”Emo Ergo Sum” (aku belanja maka aku ada). Petuah ini diamini oleh para shopaholic yang hidup di dalam cengkraman budaya popular. Di dalam budaya popoler para pemuja komoditi melakukan berbagai estetisasi diri agar meraih pencitraan. Oleh karena itu mereka menyerukan sabda baru “Aku Dandan Maka Aku Ada”. Tidak berhenti di sini, untuk menunjukan bahwa dirinya eksis, maka mereka berusaha memampangkan diri dengan berpose di media-media agar bisa ditonton atau menonton sesamanya. Untuk alasan ini mereka berkata “Narcissuso Ergo Sum” (Aku Narcis maka aku Eksis). Semua hal dilakukan karena mereka percaya, Survival of the Narcisest. Inilah deskripsi masyarakat hiper-realitas di panggung postmodernitas. Apa Kata Agama Islam Tentang Masyarakat Hiper-Realitas? Diriwayatkan oleh Muslim bahwa suatu ketika nabi Muhamamad SAW pernah bersabda "Islam itu dimulai dalam keadaan asing, dan suatu saat akan kembali menjadi asing. Maka beruntunglah orang-orang yang berpegang teguh kepada yang asing tersebut". Tentunya banyak ulama yang menginterpretasikan maksud dan makna sabda tersebut. Namun, bila dikaitkan dengan kondisi postmodernitas dimana budaya popular menganga, menurut hemat penulis, kata “asing” yang dimaksudkan bukan berarti agama Islam menjadi agama minoritas atau secara kuantitatif dianut oleh sekelompok kecil umat, seperti pada awal kelahirannya di jazirah Mekah. Tetapi, agama Islam akan dijadikan agama populer yang biasa mengisi setiap ruang-ruang kehidupan manusia, terlebih ruang media masa atau simulacra. Meskipun demikian, secara kualitatif doktrin esensial agama Islam menjadi sesuatu hal yang asing bagi masyarakat postmodern. Tegasnya, asing di dalam pengat kerumunan umat yang hanyut dalam pemuasan hasrat duniawiah. Hanya segelintir umat yang memahami dan tetap berpegang erat kepada risalah kenabian sang juru selamat, baginda Muhammad SAW. Apa yang sebenarnya menjadi esensi doktrin Islam dalam kaitannya dengan kehidupan manusia? Bila kita teliti lebih cermat, pada dasarnya ada dua tema esensial yang digaungkan oleh doktrin Islam yaitu, humanisme (memanusiakan manusia) dan totalitas penghambaan umat kepada sang Esa (Tauhid). Humanisme berkaitan erat dengan gerakan pembebasan manusia dari segala bentuk penindasan, kesetaran derajat manusia, dan ukhuwah al-insaniyah (persaudaraan umat manusia). Di jazirah Mekah ketika itu, humanisme merupakan barang langka, oleh karenanya, Islam yang mengusung humanisme dianggap sebagai barang asing yang mengancam budaya patriarkal jahiliyah, dan karenanya pula diasingkan oleh para pemuka tanah Ka‟bah. Adapun Tauhid berkaitan dengan penghapusan perbudakan massal dan penghambaan plural. Dalam konteks ini, para budak yang diharuskan menuhankan tuannya, dan para tuan yang menuhankan banyak tuhan, oleh Islam diganti dengan penuhanan dan Volume 02 No. 02 November 2012
29 M O M E N T U M
Gaya Hidup Masyarakat Hiper-Realitas
penghambaan total kepada kemanunggalan Tuhan. Di era postmodernitas kedua makna doktrin Islam tersebut di atas sudah terkamuflasekan oleh sinar gemerlap materialisme, konsumerisme, dandiesme, imagisme, populerisme, dan hedonisme. Jika dulu nabi Muhammad SAW berusaha keras membebaskan umat dari segala bentuk perbudakan. Pada saat ini, dengan sendirinya umat memilih jalan perbudakan kembali, namun, dengan modus operandi yang berbeda. Jika dulu umat berusaha lari dari perbudakan fisik para raja garang otokratik, saat ini umat berebut masuk karena terobsesi oleh perbudakan yang tampil dengan wajah baru yang imut dan rupawan. Perbudakan baru yang dihidangkan dengan cumbu rayu ruang simulasi semu, mantra gaya biduanita, nirwana komoditas, teknologi media yang menawarkan populeritas, dan resepresep generik hedonistik yang menawarkan solusi hidup instan penawar kegalauan. Tegasnya, manusia kini menjadi budak hasrat. Jika dulu makna humanisme memiliki gaung yang tinggi karena ruh dasarnya ingin mewujudkan pembebasan, kesamaan, dan persaudaraan, berbeda dengan humanisme di era postmodernitas, maknanya mendekati nihil. Ini dikarenakan makna humanisme sudah terkebiri oleh motif konsumsi ekonomi dan simbol-simbol gaya hidup yang dikobarkan di bawah panji budaya populer. Pada titik ini, humanisme mengambang pada level simbolik, humanisme hanya dipahami sebagai menyatunya budaya kaum borjuasi dan budaya rendah dalam satu tujuan yang sama, motif konsumsi. Oleh karena itu, makna humanisme menyusut menjadi kesamaan gaya hidup, dan kesamaan tujuan hidup, yaitu untuk gaya hidup. Pun dengan nilai esensial ketauhidan. Totalitas penghambaan kepada Sang Maha Tunggal pada faktanya sering kali hanya sebatas basa basi khutbah yang terus diproduksi dan disimulasikan melalui layarlayar televisi setiap pagi. Karena di era ini setiap gerak langkah individu senantiasa terjerat dalam jejaring gaya hidup hedonistik-materialistik, maka menjadi lumrah jika tujuan hidupnya bukan terarah demi totalitas penghambaan kepada kemanunggalan Tuhan, tetapi untuk meraih pencitraan diri yang abstrak. Pencitraan yang abstrak inilah yang sebenarnya menjadi basis dan keyakinan metafisis masyarakat hiperrealitas. Sangat tepat jika Milan Kundera menamai abad ini dengan abad imagologi, alias erapencitraan. Inilah kenapa doktrin Islam selalu menyuruh kita untuk melakukan refleksi atas diri dan realitas kehidupan sekelilingnya. Renungan filosofis agar kita tidak hanyut di dalam jerujijeruji realitas simulasi (jala simulacra). Agar kita senantiasa sadar diri, dan tidak lalai dalam memaknai humanisme dan menuhankan Tuhan yang Maha Tunggal, seperti diungkapkan oleh Ali bin Abi Thalib “Barang siapa yang mengetahui dirinya maka ia akan mengetahui Tuhannya, dan barang siapa yang mengetahui Tuhannya maka ia akan senantiasa merasa bodoh”. Tuhan sendiri telah mewanti-wanti manusia dalam surat al-An'Am: 32, al-Ankabut: 64, dan Muhammad: 36. “Dunia ini hanya sekedar permainan dan canda gurau”. Dalam konteks postmodernitas, dunia hanya panggung permainan gaya hidup dan komoditas missal yang terus disuguhkan dan dijadikan bahan candaan atau gosip murahan komunitas hiperrealitas. Hanya orang-orang yang memahami bahwa dunia hanya sebatas simulasi permainanlah yang akan selamat, yaitu orang-orang yang dalam kehidupan praktisnya berjalan dalam rel-rel esensial humanisme dan ketauhidan. Orang-orang yang oleh Allah diidentifikasi dengan Muttaqin (orang-orang takwa). Orang-orang inilah yang akan menjadi komunitas asing di tengah hiruk pikuk aktivitas over-konsumtif masyarakat hiper-realitas. Bagaimana dengan kita, apa termasuk komunitas asing tersebut? Hanya diri kita sendirilah yang bisa menilai.
Volume 02 No. 02 November 2012
30 M O M E N T U M
Gaya Hidup Masyarakat Hiper-Realitas
Daftar Pustaka Baudrillad, Jean, Simulations. Edisi Inggris diterjemahkan oleh Paul Foss, Paul Patton and Philip Beitchman, USA, 1983. ______________ The Ecstasy of Communication, New York: Semiotext[e], 1987) Chaney, David, Lifestyles: Sebuah Pengantar Komprehensif, terj. Nuraeni. Yogyakarta: Jalasutra, 2008. Eco, Umberto, Tamasya Dalam Hiperealitas, terj Iskandar Zulkarnaen. Yogyakarta: Jalasutra, 2008. Ewen, Stuar, Captains of Consciousness: Advertising and the Social Root of the Consumer Culture. New York: McGraw Hill, 1976. Harvey, David, The condition of Postmodernity: An Enquiry into the Origins of Cultural Change. Blackwell: Oxford, 1989. Ibrahim, Subandy, Idi, Life Style Ecstasy. Yogyakarta: Jalasutra, 2009. Mahzar, Armahedi, Revolusi Integralisme Islam. Bandung: Mizan, 2004. Mandiraatmaja, Mahesa, Gerakan Anti Penuaan: Politik Identitas Usia Lanjut Dalam Konstruksi Medis. Disertasi UGM, 2012. MacDonald, “A Theory of Mass Culture” dalam Mass Culture. Ed. Rojek, et. al., Glencoe: Free Press, 1957. McLuhan, Marshal, The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic. Canada: University of Toronto Press, 1962. _______________ Understanding Media: The Extensions of Man. London: Sphere Books Ltd, 1964. Piliang, Amir, Yasraf, Dunia Yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Postmodernisme. Bandung: Mizan, 1998. _________________ Hipersemiotika: Tafsir Cultiral Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra, 2003. _________________ Postrealitas: Realitas Kebudayaan Dalam Era Posmetafisika.Yogyakarta: Jalasutra, 2004. Strinati, Dominic, An Introduction to Theories of Popular Culture. London & New York: Routledge, 2004. Sugiharto, Bambang I., Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1996. ___________________ “Penjara Jiwa, Mesin Hasrat: Tubuh Sepanjang Budaya” dalam Menguak Tubuh. Kalam Jurnal Budaya. Jakarta, No.15, 2000.
Volume 02 No. 02 November 2012
31 M O M E N T U M
Pemberdayaan Wanita Rawan Sosial Ekonomi
PEMBERDAYAAN WANITA RAWAN SOSIAL EKONOMI (WRSE) MELALUI PENERAPAN TECHNOLOGY OF PARTISIPATORY (ToP) DI DESA SARIMULYO KECAMATAN CLURING KABUPATEN BANYUWANGI Oleh
Hendro Juwono, Agus Sultoni Hadiqoh Asmuni dan Vaesol Wahyu⃰ Abstrak Di dalam realitas pragmatis masyarakat perempuan merupakan kelompok masyarakat yang rawan kemiskinan. Orientasi penelitian ini adalah untuk menerapkan Technology of Parsipatory (ToP) dalam menyusun program pemberdayaan Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE), menghasilkan program pemberdayaan yang memberi kesempatan kepada WRSE untuk menentukan nasib dan masa depannya berdasarkan kekuatannya sendiri, dan juga untuk mengetahui perubahan tingkat keberdayaan WRSE. . Kata kunci: pemberdayaan, WRSE, ToP
Pendahuluan
32
Masalah kemiskinan merupakan salah satu masalah konvensional, namun masih relevan untuk didiskusikan karena permasalahannya yang terus meningkat dan semakin kompleks. Salah satu kelompok masyarakat yang termasuk dalam kemiskinan adalah perempuan. Secara statistik, perempuan di Indonesia jumlahnya lebih tinggi dari pada jumlah pria, namun kesempatan untuk menerima pembangunan masih dirasakan berbeda. Dalam hal pendidikan, jumlah perempuan buta huruf dua kali lipat lebih besar dibanding dengan laki-laki. Jumlah ini menjadi lebih besar jika dilihat di dusun dan desa terpencil yang akses untuk memperoleh informasi masih terbatas. Pada sektor kesehatan, perempuan lebih mudah mengalami masalah kesehatan karena perempuan secara kodrati memiliki alat reproduksi yang berhubungan dengan kehamilan dan melahirkan. Di bidang pekerjaan, tenaga kerja perempuan yang terserap di dunia kerja 45,6 %, sedangkan pria 73,5 %.1 Di sektor ekonomi Pusdatin Departemen Sosial, mencatat data tentang jumlah wanita rawan sosial ekonomi (WRSE) terus bertambah. Pada tahun 2000 sebanyak 1.360.263 dan pada tahun 2002 berjumlah 1.449.203, bertambah sekitar 6.53 % dalam kurun waktu dua tahun. Wanita Rawan Sosial Ekonomi adalah seorang wanita dewasa usia 18-59 tahun baik yang belu/sudah menikah/janda yang mempunyai penghasilan namun belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.2 Telah banyak program dan proyek yang dilaksanakan guna menanggulangi masalah kemiskinan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swadaya masyarakat. Namun program tersebut belum memberikan hasil yang diinginkan. Sejak tahun 1948 sampai 2006, tidak kurang dari 29 jenis program yang diluncurkan oleh Pemerintah untuk menanggulangi
M O M E N T U M
⃰ Dosen Sekolah Tinggi Islam Blambangan (STIB) Banyuwangi 1 Data Kementrian Pemberdayaan Perempuan 2002 2 Pusat Data dan informasi Dinas Kesejahteraan Sosial, 2011 Volume 02 No. 02 November 2012
Pemberdayaan Wanita Rawan Sosial Ekonomi
kemiskinan. Tetapi kemiskinan tetap bertahan.3 Permasalahan di atas muncul antara lain karena pendekatan yang digunakan tidak melibatkan orang miskin dalam proses perencanaan program maupun dalam pelaksanaannya. Orang miskin dianggap tidak memiliki potensi dan kekuatan sehingga mereka dianggap sebagai objek. Pendekatan ini secara tidak langsung memperparah kondisi orang miskin, karena mengakibatkan ketergantungan baik secara ekonomi, sosial, maupun politik. Ketergantungan ekonomi, dia hanya menerima apa yang diberikan orang lain kepadanya tanpa ada upaya untuk memperolehnya. Ketergantungan sosial, menyangkut ketidakmampuan untuk mengakses sistem sumber sebagai dasar produksi. Ketergantungan politik adanya ketidakberanian dalam mengambil keputusan untuk menentukan masa depan dan nasibnya sendiri. Kondisi ini yang kemudian disebut dengan ketidakberdayaan atau powerless. Menurut Hill dalam Zastrow,4 ketidakberdayaan tersebut terutama banyak dialami oleh kaum perempuan (Feminization of Poverty). Berdasarkan permasalahan di atas, maka pendekatan dalam memerangi kemiskinan harus mulai dirubah. Pendekatan dari yang sifatnya pemberian bantuan ke pemberdayaan. Pemberdayaan merupakan salah satu pendekatan yang melibatkan perempuan dalam proses kegiatan secara aktif. Salah satu teknologi yang mampu memfasilitasi perempuan untuk mengekspresikan kekuatannya tersebut adalah ToP (Technology of Parsipatory). ToP merupakan salah satu teknologi partisipatif dalam pengembangan masyarakat. Menurut Ilham,5 ToP memiliki tiga metode utama, yaitu Metode Diskusi, Workshop dan Action Plan. Metode Diskusi dengan pendekatan ORID (Objektif, Reflektif, Interpretatif, dan Desisional). Metode ini merupakan suatu alat untuk mengajak orang berdiskusi mulai dari tahap yang sederhana sampai pada tahap pengambilan keputusan terhadap suatu objek. Metode Workshop adalah suatu teknik yang digunakan untuk mengambil keputusan dalam kelompok. Metode ini digunakan untuk mengajak seluruh kelompok mencurahkan ide melalui individu kemudian perkelompok kecil, dan pada akhirnya seluruh peserta. Metode Action Plan, yaitu suatu teknik dalam menyusun rencana program yang dirinci secara detail oleh kelompok. Melalui ToP WRSE yang menjadi subjek penelitian diajak untuk merencanakan program pengentasan kemiskinan yang dihadapinya dengan sumber daya yang mereka miliki. Kondisi sosial masyarakat Desa Sarimulyo cukup baik. Hal ini nampak dengan adanya pranata-pranata sosial seperti kelompok pengajian, kelompok arisan yang mewadahi partisipasi masyarakat dan kekerabatan warga. Kelembagaan ekonomi juga tersedia dengan adanya koperasi, sebuah kelompok simpan pinjam. Namun lembaga-lembaga ekonomi tersebut belum dapat mewadahi seluruh warga miskin, apalagi WRSE, sehingga masih banyak WRSE yang mempunyai usaha skala mikro yang belum tersentuh program bantuan ekonomi. Kalaupun ada namun sifatnya masih pemberian ’bantuan’, seperti pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT), infak, zakat, dan hadiah. Program tersebut tidak mengajak mereka untuk berdialog, tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk mengekspresikan perasaannya, kebutuhannya, apalagi rencana hidupnya di masa mendatang. 3 Pikiran Rakyat, 6 Maret 2006 4 Zastrow Charles, Introduction to Social Welfare Institutions Social Problems, Services, and Current Issues (USA : The Dorsey Press, 1982). 5 Ilham Cendekia. Metode Fasilitasi Pembuatan Keputusan Partisipatif (Jakarta: PATTIRO, 2002). Volume 02 No. 02 November 2012
33 M O M E N T U M
Pemberdayaan Wanita Rawan Sosial Ekonomi
Begitu pula dengan gencarnya program penanganan kemiskinan, namun sifatnya masih reaktif dan tidak substansial. Oleh karena itu masalah kemiskinan bukan berkurang, tetapi semakin kompleks. Masalah tersebut semakin dirasakan terutama oleh kelompok miskin perempuan. Perempuan yang paling merasakan dampak kemiskinan keluarganya, karena selain mengalami serba kekurangan dia juga harus mengalami tindak kekerasan. Dalam program pengentasan kemiskinan, perempuan miskin hampir dilupakan keberadaannya, kalaupun ada hanya sebagai pelengkap untuk memenuhi persyaratan di dalam pengarusutamaan jender. Pada titik inilah masalahnya, yaitu bagaimana penerapan Technolgy of Partisipatory (ToP) dalam pemberdayaan Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE) di desa Sarimulyo Kecamatan Cluring bisa diaplikasikan. Metode Penelitian a. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode participatory action research. Mengacu pada pendapat Chris Argyris and Donald Schon dalam Dictionary Qualitative Inquiry (1997) bahwa Action research adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk melakukan perubahan pada organisasi dan masyarakat. Dalam penelitian ini perubahan diarahkan WRSE. Perubahan tersebut diharapkan bisa dicapai melalui serangkaian kegiatan yang dilakukan bersama antara peneliti dengan subjek penelitian sedangkan participatory, menjadi tekanan utama dalam penelitian ini. Melalui pelibatan subjek (WRSE) dalam setiap tahap penelitian, diharapkan subjek penelitian tidak hanya sekedar ikut-ikutan kegiatan penelitian, tetapi tercipta pemaknaan dan kesadaran untuk merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap program yang disusun. Action research participatory, apabila mengacu pada pendapat Yoland6 dikembangkan dalam bentuk spiral sebagai siklus dari perencanaan, kegiatan/implementasi, evaluasi, refleksi. Action research participatory dalam penelitian ini apabila digambarkan dalam diagram akan tampak seperti berikut:
6 Yoland Wadsworth, Everyday Evaluation On The Run (Melbourne: Action Research Issues Association (Incorporated), 1991). Volume 02 No. 02 November 2012
34 M O M E N T U M
Pemberdayaan Wanita Rawan Sosial Ekonomi
Tahap 1 : Identifikasi kebutuhan program melalui kegiatan: pengumpulan data tentang masalah, prioritas masalah dan sumber daya yang dimiliki WRSE (bulan Juni’12)
Tahap 2 : Menyusun Rencana Program Pemberdayaan bersama WRSE dengan menggunakan ToP(JuliAgst’12)
Tahap 3 : Implementasi program Pemberdayaan WRSE dengan berdasar pada hasil ToP (Agst-Sept’12)
Tahap 5 : Refleksi tentang penerapan ToP dalam Program Pember-dayaan WRSE (Sept ’12)
Tahap 4 : Evaluasi (Sept’12)
Diagram 2 : Siklus action research participatory Program Pemberdayaan WRSE
Action research participatory yang dilakukan diawali dengan tahap identifikasi masalah dan sumber. Hal ini dilakukan karena penyusunan rencana dilakukan berdasar kepada masalah dan sumber daya yang dimiliki subjek penelitian. b. Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Pendekatan ini digunakan untuk memahami WRSE yang sangat unik dengan memposisikan anggota WRSE sebagai subjek penelitian dan pelaksana utama dalam keseluruhan proses. Pelibatan subjek penelitan dalam kegiatan bersama akan lebih bermakna apabila digambarkan secara kualitatif. Dengan pendekatan ini peneliti bersama subjek penelitian akan memperoleh penghayatan, pengalaman, pemahaman, dan pemberian arti pada keseluruhan proses penelitian. c. Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah WRSE, yaitu seorang wanita yang belum atau telah menikah atau janda yang berperan sebagai pencari nafkah utama atau pembantu pencari nafkah keluarga yang penghasilannya tidak cukup untuk kebutuhan pokok sehari-hari. Setiap WRSE secara individu menjadi kajian analisis, sehingga setiap individu bisa dilihat perubahan keberdayaannya. d. Penentuan Subjek Penelitian Penentuan subjek penelitian dilakukan secara purposive. Pemilihannya berdasarkan pada rekomendasi dari masyarakat setempat dan kesediaan yang bersangkutan untuk
Volume 02 No. 02 November 2012
35 M O M E N T U M
Pemberdayaan Wanita Rawan Sosial Ekonomi
menjadi subjek penelitian. Jumlah subjek penelitian tergantung pada tersedianya informasi yang bisa menjawab permasalahan penelitian. e. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah : 1. Focus Group Discussion (FGD). Teknik ini digunakan terutama pada tahap pertama untuk menjaring informasi yang berhubungan dengan permasalahan dan sumberdaya yang dimiliki WRSE. 2. Wawancara mendalam (indepth interview). Wawancara dilakukan untuk menggali informasi yang lebih mendalam tentang informasi yang diperoleh melalui FGD pada tahap pertama. Seperti halnya dalam FGD, melalui wawancara informasi yang dijaring juga yang berhubungan dengan permasalahan dan sumberdaya yang dimiliki WRSE pada tahap kesatu, wawancara mendalam ini berfungsi sebagai recek. 3. Technology of Participatory (ToP). Teknik ini digunakan pada tahap kedua, dengan informasi yang digali adalah proses perumusan rencana program. WRSE duduk bersama merumuskan kegiatan tentang program yang menurut mereka tepat dan efektif. 4. Observasi partisipatif Setiap tahapan penelitian peneliti selalu bersama-sama subjek penelitian. Data yang diperoleh melalui teknik ini adalah kondisi fisik dan perumahan subjek penelitian, keterlibatan, ketekunan dan keseriusan subjek penelitian dalam mengikuti tahapan penelitian. f. Lokasi Penelitian ini dilakukan di Desa Sarimulyo, Kecamatan Cluring, Kabupaten Banyuwangi. Lokasi tersebut dipilih karena terdapat WRSE yang perlu dioptimalkan keberdayaannya. Penelitian yang dilakukan diharapkan bisa membantu merekonstruksi pendekatan program yang selama ini cenderung top down menjadi bottom up. g. Langkah-langkah Kegiatan Penelitian Untuk memperoleh hasil yang optimal, Action research participatory ini dilakukan dengan melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. Tahap persiapan yang meliputi empat hal, yaitu (a) Penyusunan rancangan penelitian (b) Penyusunan pedoman wawancara, pedoman observasi, skenario FGD, dan skenario ToP (c) Penyempurnaan rancangan penelitian, pedoman wawancara, pedoman observasi, skenario FGD, dan skenario ToP (d) Pengurusan Surat Ijin Penelitian. b. Tahap pelaksanaan yang meliputi enam hal, yaitu (a) Koordinasi dengan key person di lokasi penelitian (b) FGD untuk identifikasi kebutuhan program dengan mengumpulkan data tentang permasalahan dan sumberdaya yang dimiliki WRSE (c) Wawancara Mendalam (d) Penerapan ToP melalui pertemuan warga (e) Implementasi program (f) Melakukan Refleksi.
Volume 02 No. 02 November 2012
36 M O M E N T U M
Pemberdayaan Wanita Rawan Sosial Ekonomi
Gambaran Umum Lokasi Penelitian a. Geografi Desa Sarimulyo Desa Sarimulyo merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Cluring. Jarak antara Desa dengan kota Banyuwangi kurang lebih 30 km. Jarak Desa Sarimulyo ke ibu kota Kecamatan Cluring adalah 5 km. Secara administrative batas wilayah Desa Sarimulyo di sebelah barat adalah Desa Tamanagung Kecamatan Cluring, sebelah timur berbatasan dengan Desa Tapanrejo Kecamatan Muncar, sebelah utara berbatasan dengan Desa Kebaman Kecamatan Srono, dan sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sraten Kecamatan Cluring. Penetapan batas wilayah Desa Sarimulyo ini berdasarkan pada Perdes No. 1 tahun 1990 dan Perda No.79. Desa Sarimulyo terdiri atas empat dusun yaitu: Dusun Sempu, Rejomulyo, Pandansari dan Cempokosari. Desa Sarimulyo termasuk desa dataran rendah dengan ketinggian sekitar 60 meter diatas permukaan laut, curah hujan rata-rata 0,5 mm/tahun dengan suhu rata-rata harian berkisar 36°C. Jumlah bulan hujan adalah 3 bulan. Luas wilayah desa Sarimulyo sekitar 477 ha/m 2 dengan uraian sebagaimana tertera pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Luas Wilayah menurut Penggunaan URAIAN
SATUAN
Luas pemukiman
128 ha/m
Luas persawahan
280 ha/m2
Luas perkebunan
1,5 ha/m2
Luas kuburan
3,5 ha/m2
Luas pekarangan
15,5ha/m2
Perkantoran
0,5 ha/m2
Luas prasarana umum
48 ha/m2
TOTAL
477 ha/m2
Sumber: Profil Desa Sarimulyo, 2011 Berdasarkan data diatas maka sebagian besar wilayah Desa Sarimulyo digunakan untuk persawahan dan pemukiman. Pertanian sawah Desa Sarimulyo seluruhnya menggunakan pengairan yang berasal dari Proyek Pengairan Teknis (P2T) yang dikoordinir desa. Oleh karena itu lahan persawahan memungkinkan untuk ditanami padi, dalam setahun petani dapat menanam dan memanen padi hingga tiga kali. Selain menanam padi, sawah juga ditanami dengan tanaman pangan lainnya seperti yang tertera pada Tabel 2.
Volume 02 No. 02 November 2012
37
2 M O M E N T U M
Pemberdayaan Wanita Rawan Sosial Ekonomi
Tabel 2. Luas Tanaman Pangan menurut Komoditas Uraian
Satuan
satuan
Padi sawah
280 ha
1 ton/ha
Kacang kedelai
180 ha
0,5 ton/ha
Jagung
68 ha
5 ton/ha
Kacang tanah
0,5 ha
0,3 ton/ha
Cabe
2 ha
0,5 ton/ha
Tomat
1 ha
1 ton/ha
Mentimun
2 ha
1,5 ton/ha
Terong
3 ha
5 ton/ha
Kangkung
2 ha
3 ton/ha
Tumpang sari
2 ha
0,5 ton/ha
Sumber: Profil Desa Sarimulyo, 2011 b. Demografi Data statistik Desa Sarimulyo menunjukkan bahwa pada tahun 2010, penduduk berjumlah 5.851 jiwa dengan pembagian jumlah penduduk laki-laki 2.802 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 3.049 jiwa. Sementara itu, pada tahun 2011 penduduk berjumlah 5.835 jiwa dengan pembagian jumlah penduduk laki-laki 2.756 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 3.029 jiwa dengan kedatan penduduk 125 per km. Dari sini dapat diketahui bahwa pertumbuhan penduduk dalam satu tahun ini menurun 66 jiwa, dengan pembagian laki-laki menurun 46 jiwa dan perempuan menurun 20 jiwa (Tabel 3 dan 4). Dari hasil wawancara dengan petugas desa pertumbuhan penduduk yang sangat kecil ini berlaku mulai jaman dulu hingga sekarang. Sementara itu, menurut seorang petugas Keluarga Berencana di Desa Sarimulyo ledakan penduduk yang sangat kecil ini adalah disebabkan keberhasilan pemerintah dalam melaksanakan program KB (keluarga berencana). Di Desa Sarimulyo terdapat 2400 KK (kepala keluarga) dan terbagi atas 45 RT dan 12 RW. Tabel 3. Pertumbuhan Penduduk Desa Sarimulyo pada tahun 2011
Jumlah penduduk laki-laki Jumlah penduduk perempuan Total jumlah penduduk
Volume 02 No. 02 November 2012
Th. 2010 2.802 3.049 5.851
Jumlah Th. 2011 2.756 3.029 5.835
Selisih 46 20 66
38 M O M E N T U M
Pemberdayaan Wanita Rawan Sosial Ekonomi
Tabel 4. Komposisi penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin Jenis Kelamin
Kelompok umur 0-12 bulan 1-5 tahun 7-18 tahun 18-56 75< Sumber: Profil Desa Sarimulyo 2011
Laki-laki 25 98 489 1378 121
Perempuan 30 129 493 1525 219
Sarana pendidikan yang ada di Desa Sarimulyo yaitu 4 buah Taman Kanak-kanak (TK), 8 buah Sekolah Dasar (SD), 2 buah SMP, 1 buah SMA. Jika dilihat dari tingkat pendidikannya sebagian besar masyarakat Desa Sarimulyo tamatan SMP/sederajat. Pada tahun 2011, penduduk Desa Sarimulyo yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan SD berjumlah 203 orang, tamat SMP sebanyak 1240 orang, tamat SMA 744 orang dan yang melanjutkan hingga perguruan tinggi sebanyak 808 orang. Selain Sekolah dasar dan sekolah menengah di Sarimulyo juga terdapat 2 buah perguruan tinggi swasta. c. Ekonomi Dengan tingkat pendidikan yang tergolong rendah (tamatan SMP/sederajat) sebagian besar (42,5 %) penduduk Desa Sarimulyo bekerja sebagai buruh tani dan sisanya bekerja sebagai petani, pengrajin industri rumah tangga, karyawan perusahaan swasta, PNS, tukang batu, dan peternak (Tabel 5). Pendapatan masyarakat Sarimulyo selain diperoleh dari hasil menaman padi dan tanaman pangan lainnya juga di peroleh dari tanaman bijibijian seperti jeruk seluas 2 ha dengan penghasilan 6 ton/ha dan semangka seluas 1 ha yang menghasilkan 4 ton/ha. Sektor perkebunan juga memberi kontribusi terhadap perekonomian penduduk, perkebunan berasal dari tanaman kelapa (luas 0,5 ha) dengan hasil 4 kw dan tembakau (0,5 ha) menghasilkan 2 kw. Untuk sektor peternakan, usaha yang berkembang di desa Sarimulyo adalah ternak sapi (164 ekor), kerbau (4 ekor), ayam kampung (8470 ekor), ayam broiler (1000 ekor), bebek (225 ekor), kambing (59 ekor) dan angsa (40 ekor). Industri rumah tangga yang berkembang di Desa Sarimulyo adalah usaha mebel, usaha anyaman, usaha kue, usaha jahitan, dan rias penganten. Usaha anyaman meliputi anyaman lidi dan anyaman godong yang digunakan sebagai tempat pindang. Pendapatan yang diperoleh dari usaha anyaman godong ini relatif rendah sehari hanya bisa menghasilkan uang maksimal Rp. 6.000 itu pun kalau bekerja tanpa ada halangan kalau ada halangan pendapatan bisa kurang dari itu. Untuk usaha pembuatan kue merupakan pekerjaan musiman, usaha ini berjalan pada bulan-bulan menjelang hari raya, setelah hari raya pendapatan dari usaha ini relatif menurun. Usaha mebel menghasilkan produk berupa meja kursi, almari, pintu dan kusen. Jenis Pekerjaan Petani Buruh tani PNS
Volume 02 No. 02 November 2012
Tabel 5. Mata pencaharian pokok N 1.354 1.912 217
% 30 42,5 4,8
39 M O M E N T U M
Pemberdayaan Wanita Rawan Sosial Ekonomi
Pengrajin industri rumah tangga Pedagang keliling Peternak Pengusaha kecil dan menengah Karyawan perusahaan swasta Tukang batu TOTAL Sumber: Profil Desa Sarimulyo, 2011
475 21 62 27 357 74 4.499
10,6 0,5 1,4 0,6 7,9 1,6 100
Tabel 6. Pendapatan perkapita menurut sektor usaha Sektor usaha
Jumlah pendapatan perkapita untuk setiap rumah tangga
a. Pertanian
Rp. 10.000.000
b. Peternakan
Rp. 40.000.000
c. Perikanan
Rp. 25.000.000
d. Kerajinan
Rp. 10.000.000
Sumber: Profil Desa Sarimulyo, 2011 Pendapatan riil keluarga: jumlah kepala keluarga sebanyak 2400 KK, jumlah anggota keluarga 5.835 orang, jumlah pendapatan kepala keluarga Rp. 500.000, jumlah pendapatan dari anggota keluarga yang bekerja adalah Rp. 500.000. Jumlah total pendapatan keluarga adalah Rp. 1.000.000 sedangkan rata-rata pendapatan peranggota keluarga sebesar Rp. 500.000. Penduduk Sarimulyo yang bekerja di bidang jasa berjumlah 152 orang. Dari jumlah tersebut 2 orang merupakan pemilik jasa transportasi dan perhubungan, 6 orang buruh jasa transportasi dan perhubungan, 1 orang kontraktor, 7 orang pemilik usaha jasa hiburan dan pariwisata, 10 orang buruh hiburan dan pariwisata, 13 orang pemilik usaha hotel dan penginapan, 24 orang PNS, 5 orang TNI/POLRI, 5 orang perawat swasta, 2 orang dukun, 3 orang dosen swasta, 10 orang guru swasta, 2 orang pensiunan TNI/POLRI, 23 orang pensiunan PNS, 4 orang pembantu rumah tangga, 3 orang sopir, 26 orang buruh migran perempuan, 4 orang buruh migrant laki-laki, 2 orang jasa penyewaan peralatan pesta. Diantara usaha jasa yang ada, yang paling diminati adalah menjadi buruh migrant. Bagi sebagian orang menjadi buruh migrant merupakan pilihan yang paling cepat untuk mendapatkan uang dalam jumlah “banyak” karena bayaran yang mereka peroleh dalam bentuk mata uang asing. Padahal jika di kurskan kedalam rupiah gaji mereka di luar negeri berkisar 1-1,5 juta rupiah/bulan itupun masih harus dipotong untuk biaya pemberangkatan yang notabene masih hutang. Para buruh migrant ini sepulang dari luar negeri kebanyakan diantara mereka tidak punya pekerjaan tetap, uang yang mereka dapat dari menjadi buruh migrant habis digunakan untuk membangun rumah dan biaya anak sekolah serta untuk membeli sawah. Kebanyakan yang menjadi buruh migrant adalah para wanita jika dibandingkan dengan laki-laki, karena mereka lebih banyak dibutuhkan
Volume 02 No. 02 November 2012
40 M O M E N T U M
Pemberdayaan Wanita Rawan Sosial Ekonomi
terutama untuk dijadikan sebagai pembantu rumah tangga, pengasuh/perawat balita dan manula. Para laki-laki yang bekerja ke luar negeri biasanya bekerja di pabrik atau sebagai sopir. Berdasarkan tingkat kesejahteraannya penduduk Desa Sarimulyo terbagi menjadi dua kategori yaitu keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera. Keluarga sejahtera sendiri dibagi menjadi empat yaitu keluarga sejahtera 1, 2, 3 dan 3 plus. Warga yang termasuk dalam keluarga prasejahtera berjumlah 117 keluarga, sedangkan yang masuk dalam kategori sejahtera 1 berjumlah 543 keluarga, sejahtera 2 berjumlah 1.327 keluarga, sejahtera 3 berjumlah 115 keluarga dan sejahtera 3 plus berjumlah 310 keluarga. Kesejahteraan masyarakat banyak terbantu oleh unit simpan pinjam yang ada di Desa Sarimulyo yaitu terdapat 2 unit Koperasi Simpan Pinjam, 2 unit kelompok simpan pinjam, serta 1 unit Bumdes. Unit simpan pinjam diperuntukkan bagi kelompok masyarakat yang memiliki usaha mikro seperti usaha godong, usaha pupuk organik, petani sayur, kerajinan lidi dan kue, ternak sapi dan dana sosial bagi para buruh dan RTM. d. Organisasi Sosial dan Keagamaan Kehidupan sosial masyarakat Desa Sarimulyo diantaranya PKK, kelompok tani, kelompok pengajian bagi ibu-ibu dan bapak-bapak, istigosah, santunan yatim piatu dan Batsul Masail. Batsul masail adalah pembahasan masalah-masalah fiqih yang dilakukan oleh warga NU. Masalah yang dibahas dalam forum ini adalah masalah yang memerlukan penanganan khusus yang belum ditemukan norma hukumnya serta masalahmasalah kontemporer. Majlis Batsul Masail bertempat dimasjid secara bergantian antar dusun yang ada di wilayah Desa Sarimulyo. Di Sarimulyo sendiri terdapat 10 buah masjid dan 44 buah mushola. Batsul masail dilaksanakan secara bergilir 40 hari sekali. Untuk santunan anak yatim dilaksanakan setiap bulan muharam (suro) setiap tahunnya. Pengajian bagi ibu-ibu dan bapak-bapak meliputi pengajian muslimat, yasinan, dzikru fida’, Nariyah, dan istigosah. Kelompok tani/kelompok masyarakat (PokMas) terdiri atas Rukun Jaya yang memiliki kegiatan membuat godong, Sukses Makmur kegiatannya membuat pupuk organic, Sido Muncul merupakan perkumpulan bagi petani sayur, Usaha Kita merupakan kelompok masyarakat pembuat kerajinan dari lidi dan pembuat kue, dan kelompok peternak sapi brangus bergerak dalam pembudidayaan sapi. PKK memiliki kegiatan berupa Posyandu yang dilaksanakan setiap minggu sekali dan Dasawisma. e. Sejarah Pada awalnya wilayah Desa Sarimulyo secara administrative merupakan bagian dari desa Sraten Kecamatan Cluring, karena dianggab terlalu luas maka dipecah dan didirikanlah Desa Sarimulyo. Berbeda dengan Desa Sraten yang kebanyakan penduduknya suku using, penduduk Sarimulyo seluruhnya termasuk suku Jawa dan menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa kesehariannya. f. Kehidupan Budaya Kehidupan budaya di Desa Sarimulyo sudah mulai berganti dengan budaya modern. Selamatan merupakan budaya yang masih dijalankan oleh penduduk Desa Sarimulyo karena dianggab sebagai warisan leluhur yang harus dilestarikan. Masyarakat Desa
Volume 02 No. 02 November 2012
41 M O M E N T U M
Pemberdayaan Wanita Rawan Sosial Ekonomi
Sarimulyo melakukan ritual selamatan untuk berbagai peristiwa yaitu selamatan daur hidup (kelahiran, khitanan, perkawinan dan kematian), peringatan hari besar (sura, syawal, Mulud, Besar) hingga selamatan yang berkaitan dengan lingkungan. Selamatan 3, 7, 40, 100 hari bagi orang meninggal yang dilanjutkan dengan selamatan “mendhak pisan”, “mendhak pindho” dan 1000 hari. Selamatan ini sebenarnya warisan dari budaya Hindu yang masih ada hingga sekarang dengan dimasuki nilai-nilai islami. Budaya bernuansa islami yang masih ada hingga sekarang adalah mengarak kembang telur yang ditancapkan ke pohon pisang dan diarak keseluruh dusun diiringi dengan tabuhan rebana pada saat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.
Data dan Temuan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian PAR (Parsipatory Action Research), yaitu suatu penelitian dimana subyek penelitian terlibat aktif dalam penelitian. Pada awal penelitian pada bulan Juni 2012 dilakukan observasi awal guna mendapatkan informasi mengenai WRSE yang ada di Desa Sarimulyo. Dari hasil wawancara dengan Kepala Desa Sarimulyo diperoleh informasi bahwa seluruh dusun-dusun yang ada di Desa Sarimulyo yaitu dusun Sempu, Cempokosari, Rejomulyo dan Pandansari, semuanya terdapat WRSE. Hal paling mudah yang dapat diamati adalah pemahaman penduduk terhadap kesehatan dan lingkungan. Di dusun Pandansari hampir setiap rumah memanfaatkan aliran irigasi yang melintas di depan rumah mereka untuk MCK (Mandi, Cuci, Kakus). Aliran irigasi tersebut sebenarnya ditujukan untuk pengairan sawah bukan untuk kegiatan rumah tangga. Di sepanjang aliran sungai tersebut juga banyak di jumpai tempat-tempat yang memang sengaja disediakan untuk aktivitas MCK dan dibuat dengan sangat sederhana (terbuat dari daun pisang yang sudah kering/klaras dan lembaran plastik). Selain digunakan untuk kegiatan MCK aliran sungai juga dimanfaatkan oleh warga untuk menggembala bebek. Sarana air bersih sebenarnya sudah dimiliki oleh sebagian warga yaitu berupa sumur galian namun belum dimanfaatkan secara optimal. Untuk sarana jalan dusun, tergolong masih buruk. Sebenarnya akses jalan menuju Dusun Pandansari sudah beraspal namun kurang terawat dengan baik akibatnya jalan banyak yang berlubang dan rusak berat sehingga menyebabkan kurang nyaman untuk dilalui. Sarana penerangan/listrik sudah masuk dusun dan pemanfaatannya sudah berjalan namun untuk penerangan jalan masih relative kurang. Rumah warga sebagian besar juga sudah baik yaitu bangunan permanen, berdinding semen dan beratapkan genteng namun masih ada beberapa yang memiliki rumah semi permanen yaitu berdinding anyaman bambu dan beratapkan genteng. Selain di Pandansari WRSE juga banyak di jumpai di dusun Cempokosari. Dusun Cempokosari ini memiliki wilayah yang cukup luas, sebagian wilayahnya dilintasi oleh jalan provinsi, dan sebagian lagi berada lebih kedalam jauh dari akses jalan raya. Jika dilihat lebih dalam, di dusun Cempokosari ini masih terlihat adanya kesenjangan kesejahteraan penduduknya. Bagi penduduk yang tinggal di tepi jalan raya pada umumnya memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik, karena mereka dapat memanfaatkan tanah PJKA untuk tempat berbisnis seperti membuka warnet, pertokoan, mini market, jasa travel, salon dan sekolah. Meskipun demikian dibalik rumah dan gedung-gedung megah tersebut juga masih terdapat WRSE. Pada tahap I penelitian dilakukan identifikasi kebutuhan program melalui FGD dengan Volume 02 No. 02 November 2012
42 M O M E N T U M
Pemberdayaan Wanita Rawan Sosial Ekonomi
para WRSE. Penentuan WRSE sebagai subyek penelitian dilakukan atas dasar rekomendasi dari kepala dusun dan atas kemauannya sendiri. Peneliti melakukan FGD di dua tempat yaitu di Dusun Cempokosari bagi warga Cempokosari dan di Dusun Pandansari bagi warga Pandansari. Alasan untuk melakukan FGD di dua tempat didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu: tempat kedua dusun tersebut relative berjauhan dan dipisahkan oleh sawah, warga masingmasing dusun juga sama-sama tidak mau untuk di jadikan satu pekumpulan. FGD bagi warga Pandansari dilaksanakan di rumah Bapak Kepala Dusun Pandansari yaitu Bapak Agus Salim dan FGD bagi WRSE warga Cempokosari dilaksanakan di rumah Bapak Kepala Dusun Cempokosari. Hasil observasi pada saat FGD 1 terlihat bahwa proses diskusi berjalan dengan baik meskipun para WRSE pada awalnya masih malu-malu dalam mengutarakan permasalahan yang dimilikinya khususnya yang berhubungan dengan masalah ekonomi sehingga harus senantiasa dipancing oleh fasilitator. Setiap peserta diskusi mendapat kesempatan yang sama untuk menyampaikan uneg-unegnya meskipun banyak diantaranya yang terkesan masih malu dalam berbicara. Kepala dusun memberikan undangan kepada 30 orang WRSE untuk mengikuti acara FGD, akan tetapi yang dapat menghadiri acara FGD hanya 16 orang WRSE. Hasil FGD 1 bagi warga dusun Pandansari, diperoleh data bahwa dari 16 orang WRSE yang terlibat dalam diskusi semuanya ingin meningkatkan taraf hidupnya menjadi yang lebih baik melalui wirausaha namun belum bisa merealisasikan karena kendala modal. Meskipun di Desa Sarimulyo terdapat unit simpan pinjam namun belum bisa menjawab permasalahan mereka, Keengganan untuk memanfaatkan unit simpan pinjam, dikarenakan bunganya yang dirasa terlalu besar dan khawatir jika gagal usahanya tidak mampu mengembalikannya. Mereka menginginkan usaha yang bisa berjalan meskipun dengan modal sedikit. Beberapa usaha yang ingin dijalankan oleh WRSE ini meliputi usaha ternak ayam kampung, menjahit, usaha sembako, usaha jamur dan usaha kerajinan. Selain usaha, para WRSE ini juga memiliki keinginan untuk mendapatkan ketrampian dengan harapan mereka dapat mandiri tanpa bergantung pada orang lain dan ketrampilannya tersebut dapat digunakannya untuk menambah penghasilan. Berdasarkan wawancara mendalam dengan WRSE diperoleh data: Kebanyakan para WRSE ini berlatar belakang pendidikan minimal SD/MI (Madrasah Ibtidaiyah) dan maksimal SLTA dan kebanyakan putus sekolah. Pendapatan keluarga < 500 ribu perbulan, bahkan ada yang minim sekali 300 ribu perbulan. Secara umum para WRSE ini menyadari kalau sebenarnya mereka memiliki masalah terutama berkaitan dengan perekonomian hanya saja mereka juga masih belum menemukan solusi atas permasalahan yang mereka hadapi tersebut. Setelah wawancara lebih mendalam sebenarnya mereka memiliki potensi yang bisa digali dan di kembangkan, mereka ada yang sudah memiliki dasar-dasar menjahit, membuat kerajinan tangan (membuat gelang tangan), meronce monte (manik-manik), beternak ayam kampung dan berjualan. Mereka mengerjakan pekerjaan tersebut hanya sebatas pekerjaan sampingan dan belum menekuninya secara serius. Kemampuannya tersebut diperoleh secara autodidak sehingga belum dikelola dengan baik. Dalam berorganisasi baik organisasi social maupun politik, hampir keseluruhannya mengaku tidak pernah mempuyai pengalaman apalagi menjadi pengurus. Tahap II penelitian ini adalah menyusun rencana program pemberdayaan bersama dengan WRSE dengan menggunakan ToP. Pesertanya merupakan WRSE terdiri atas 16 orang Volume 02 No. 02 November 2012
43 M O M E N T U M
Pemberdayaan Wanita Rawan Sosial Ekonomi
warga dusun Pandansari dan 10 orang warga dusun Cempokosari. Mereka diajak untuk mendiskusikan permasalahan yang mereka hadapi dan ketersediaan sumber daya yang dimilikinya. Pencarian program dilaksanakan dengan cara diskusi duduk bersama, para WRSE ini dibimbing untuk mencari sendiri program pemberdayaannya. Setelah didiskusikan bersama, program pemberdayaan yang berhasil disetujui di kedua dusun tersebut adalah pemberdayaan para WRSE melalui kerajinan piring lidi dengan pertimbangan: a) bahan baku pembuatan kerajinan berupa lidi dari daun kelapa melimpah dan banyak tersedia di sekitar rumah, b) Mudah dalam pembuatannya, waktunya relative singkat dan bisa dikerjakan dirumah, c) Bisa dikerjakan oleh siapa saja terutama ibu-ibu, d) peluang usaha terbuka luas karena permintaan pasar cukup tinggi, pengrajin bisa menjualnya sendiri atau melalui perantara yang siap untuk memasarkannya, e) keuntungannya cukup lumayan, pengrajin piring lidi dalam waktu satu hari mampu menghasilkan kerajinan piring lidi kurang lebih sebanyak 50-60 biji. Harga untuk satu biji piring lidi bervariasi mulai harga Rp. 1.500,- hingga harga Rp. 5.000,- tergantung ukurannya. Jika dihitung pendapatan yang mereka peroleh dalam sehari bisa mencapai Rp. 75.000,- Alasan lain mengapa WRSE tertarik dengan kerajinan piring lidi ini karena sebenarnya di desa mereka (Sarimulyo) terdapat pengrajin pembuat piring dari lidi, namun pengrajin tersebut masih tertutup dan enggan bertukar ilmu dengan warga yang lain. Kesamaan program yang diinginkan oleh kedua warga dusun itu adalah karena pada dasarnya mereka mempunyai latar belakang pengalaman yang sama yaitu pada saat-saat tertentu, pada saat ada order (pesanan) mereka bekerja membuat kerajinan gelang tangan dari benang hanya saja menurut pengakuan mereka hasilnya masih relative kecil. Para WRSE ini dalam membuat kerajinan gelang dalam satu harinya mampu menghasilkan 20 biji sampai 25 biji, untuk satu biji kerajinan gelang dihargai oleh pengepul Rp. 200,- sampai Rp. 300,-, jika ditotal pendapatan mereka perhari mencapai Rp. 4.000,- sampai Rp. 7.500,-. Kelemahannya mereka tidak bisa menjual sendiri gelang yang mereka hasilkan, mereka harus menjualnya ke perantara tentunya dengan harga yang lebih rendah karena para WRSE ini tidak punya jaringan pemasaran. Para WRSE berharap dengan adanya pemberdayaan melalui kerajinan piring lidi, mereka dapat lebih berdaya memperoleh penghasilan sendiri dan yang paling penting dapat meningkatkan kesejahteraannya. Di akhir pertemuan FGD, WRSE memutuskan untuk mencari orang yang tepat yang dapat melatih membuat kerajinan piring lidi. Dari hasil diskusi bersama, WRSE menemukan seorang trainer bernama Srianah yang berasal dari Desa Parijatah yang juga merupakan pengrajin piring lidi professional. Hasil ToP disepakati program yang akan dijalankan adalah pemberdayaan melalui pelatihan ketrampilan anyaman piring dari lidi. Program ini bertujuan untuk memberikan ketrampilan bagi para WRSE yang ada di Desa Sarimulyo agar mereka lebih berdaya guna. Sasaran program ini adalah para WRSE baik yang belum atau sudah menikah atau janda yang memiliki pendapatan namun belum mencukupi kebutuhannya. Tahap III penelitian ini merupakan pelaksanaan program yang dihasilkan pada saat ToP. Telah disepakati bersama bahwa program pemberdayaan yang mereka kehendaki yaitu pelatihan keterampilan membuat kerajinan piring dari lidi. Pelatih berjumlah dua orang, satu laki-laki dan satu perempuan berasal dari Desa Parijatah. Dalam proses pelatihan ini pelatih mengawali dengan menjelaskan kepada para WRSE bahwa membuat kerajinan piring dari lidi ini sangat mudah hanya membutuhkan bahan dari lidi daun kelapa, tali raffia dengan alat berupa pemukul kayu, parang, pisau, dan gunting. Volume 02 No. 02 November 2012
44 M O M E N T U M
Pemberdayaan Wanita Rawan Sosial Ekonomi
Adapun tahapan pembuatan kerajinan piring lidi adalah sebagai berikut: pertama-tama lidi dipilah berdasarkan ukurannya (Gambar 1). Hal ini dilakukan untuk memudahkan dalam menganyam agar menghasilkan produk kerajinan yang rapi. Selanjutnya lidi yang sudah dipilah kemudian dipotong bagian pangkalnya (Gambar 2). Bagian pangkal lidi yang tidak digunakan tersebut dapat dimanfaatkan/dijual sebagai tusuk sate. Selanjutnya diambil enam lidi sebanyak tujuh pasang sehingga semuanya berjumlah 42 lidi. Enam pasang lidi ditata secara melingkar dengan formasi saling bertumpukan dan satu pasang lidi digunakan untuk mengayam, jadilah anyaman dasar piring (Gambar 3 dan 4), anyaman dasar diikat dengan tali rafia agar tidak terberai sedangkan pangkal lidi diratakan dengan pemukul kayu. Arah anyaman dilakukan dengan cara melingkar dari kiri ke kanan (Gambar 5). Ujung lidi ditarik disesuaikan dengan besar kecilnya ukuran. Terakhir ujung lidi dipotong dengan gunting agar rapi (Gambar 6).
45
Gambar 1. Proses pemilahan lidi menjadi ukuran panjang dan pendek
Gambar 2. Proses pemotongan bagian pangkal lidi
Volume 02 No. 02 November 2012
M O M E N T U M
Pemberdayaan Wanita Rawan Sosial Ekonomi
Gambar 3. Membuat anyaman dasar
Gambar 4. Hasil anyaman dasar piring
Gambar 5. Membuat anyaman dengan arah dari kiri ke kanan
46 M O M E N T U M
Gambar 6. Proses merangkai/menganyam piring lidi, terbentuk anyaman piring lidi, proses finishing. Pelatihan pembuatan kerajinan piring lidi ini dilakukan selama dua hari dan hasilnya para WRSE mampu dan terampil membuat kerajinan piring dengan baik. Tahap IV dari penelitian ini adalah FGD 2 untuk mengevaluasi program yang telah dijalankan. Dari hasil diskusi bersama, para WRSE ini sebagian menginginkan bahwa hasil kerajinannya itu dapat dipasarkan dan mereka ,mengharapkan ada perantara yang dapat menampung hasil kerajinannya tersebut. Sebagian lagi menginginkan hasil kerajinannya itu di jual sendiri dengan alasan untungnya bisa lebih besar. Bagi mereka yang menginginkan hasil kerajinannya ada yang memasarkan karena mereka belum memiliki jaringan untuk memasarkannya, sementara bagi mereka yang menginginkan hasil kerajinannya dijual sendiri, ternyata mereka sudah mampu memasarkannya sendiri dan mereka sudah mulai banyak orderan. Dalam waktu tiga hari setelah pelatihan mereka mendapat tawaran order sebanyak 200
Volume 02 No. 02 November 2012
Pemberdayaan Wanita Rawan Sosial Ekonomi
biji dengan harga Rp. 2.500 perbiji. Untuk itu para WRSE ini merasa senang dan tertolong dengan adanya pelatihan ini. Pada tahap V penelitian ini dilakukan refleksi. Setelah dievaluasi atas terlaksananya program ToP dan keterlaksanaan pemberdayaan bahwa sebagian besar WRSE masih belum terbiasa dengan kemandirian untuk maju, mereka masih harus senantiasa didampingi dan didorong dalam pengambilan keputusan. Wanita Rawan Sosial Ekonomi WRSE (Wanita Rawan Sosial Ekonomi) adalah Seorang wanita dewasa belum menikah atau sudah menikah atau janda yang tidak mempunyai penghasilan cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan pokoknya sehari-hari (Keputusan Menteri Sosial Nomor. 24/HUK/1996). Beberapa kriteria yang digunakan untuk mengklasifikasikan seorang wanita termasuk dalam kategori WRSE diantaranya adalah wanita usia 18 - 59 tahun, berpenghasilan kurang atau tidak mencukupi untuk kebutuhan fisik minimum, tingkat pendidikan rendah (umumnya tidak tamat/maksimal pendidikan dasar), isteri yang ditinggal suami tanpa batas waktu dan tidak dapat mencari nafkah, sakit sehingga tidak mampu bekerja. Wanita rawan sosial ekonomi di Desa Sarimulyo sebagian besar adalah wanita yang tidak memiliki pekerjaan tetap, bahkan banyak juga yang menjadi pengangguran. Pendidikan yang rendah dan keterampilan yang minim menjadikan mereka semakin tidak berdaya di dalam kehidupan bermasyarakat. Kondisi demikian jika dibiarkan secara terus menerus akan berdampak pada kehidupan anak yang diasuhnya. Oleh karena itu mereka patut mendapatkan tambahan keterampilan agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan keluarga. Masyarakat Desa Sarimulyo sebagian besar adalah petani dan buruh tani. Sebagai petani mereka tidak bisa menggantungkan seluruh kebutuhan hidupnya dari hasil bertani (khususnya padi) karena hasilnya baru dapat mereka rasakan setelah waktu tiga bulan apalagi jika pekerjaannya sebagai buruh tani hasilnya jauh lebih kecil jika dibandingkan yang pekerjaannya sebagai petani. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara mendalam secara umum pendapatan keluarga WRSE kurang dari Rp. 500.000,- rupiah. Jika dihitung pendapatan seharihari kurang dari Rp. 20.000. Pendapatan ini harus dibagi untuk kebutuhan makan, biaya sekolah anak, kesehatan dan biaya lainnya. Menurut Zastrow (1982) masalah kemiskinan berhubungan erat dengan masalah-masalah sosial seperti tingkat pengangguran yang tinggi, tingkat kesehatan yang buruk, dan tingkat pendidikan yang rendah. Jika dilihat secara fisik di Dusun Pandansari, masalah kesehatan nampaknya belum secara maksimal diperhatikan. Hal ini terlihat dari aliran-aliran sungai irigasi banyak dimanfaatkan sebagai tempat untuk MCK. Padahal fungsi awal dari sungai ini adalah untuk mengairi sawah. Kondisi seperti ini tentunya selain dapat mengganggu kesehatan penggunanya juga dapat mencemari lingkungan serta mengurangi nilai estetika karena dilakukan didepan rumah. Selain kesehatan, masalah kemiskinan juga berkaitan dengan tingkat pendidikan yang rendah. Wanita Rawan Sosial Ekonomi di dusun Pandansari dan dusun Cempokosari umumnya pendidikannya tergolong rendah yaitu lulusan SD/sederajat bahkan ada pula yang tidak lulus sekolah. Hal ini menyebabkan WRSE kurang bisa diterima di dunia kerja karena pendidikannya yang rendah tersebut. Akibatnya mereka menjadi pengangguran atau menjadi buruh musiman terutama pada saat panen di sawah. Berdasarkan data desa bahwa sebagian besar (42,5%) penduduk Desa Volume 02 No. 02 November 2012
47 M O M E N T U M
Pemberdayaan Wanita Rawan Sosial Ekonomi
Sarimulyo adalah buruh tani dan terbanyak terdapat di dusun Cempokosari dan Pandansari. Menurut Zastrow7 bahwa kemiskinan merupakan sebuah siklus, dimana orang yang sudah masuk didalamnya sulit untuk keluar. Keluarga miskin dengan anak yang masih kecil menyebabkan kehidupan mereka dibawah standar, sehingga menyebabkan orang tua tidak tertarik untuk menyekolahkan anaknya. Anak menjadi drop out atau bekerja dengan upah yang rendah dan atau menikah dini. Dengan menikah dini menyebabkan keterbatasan kesempatan mereka untuk meningkatkan pendidikan/ketrampilannya. Jika mereka memiliki anak dengan keuangan yang terbatas maka mereka akan mengalami kesulitan dan terjebak dalam kemiskinan. Lingkaran kemiskinan menjadi lengkap dan berlanjut ke generasi berikutnya. Permasalahan yang dihadapi oleh WRSE ini utamanya berkaitan dengan ekonomi. Permasalahan mulai mereka sadari ketika sudah berkeluarga dan memiliki anak. Kebutuhan akan sandang, pangan dan papan dan kehidupan yang layak. Untuk mengatasi masalah tersebut mereka bekerja srabutan misalnya menjadi pelayan toko, buruh tani musiman, membuat kerajinan tangan (gelang) dari benang, dan bekerja di pabrik pengolahan ikan namun hasil yang diperoleh dari pekerjaanya tersebut masih belum mencukupi. Untuk itu masalah yang dihadapi oleh WRSE ini membutuhkan penanganan yang terpadu dari hanya memberikan bantuan sosial kearah pemberdayaan. Sebenarnya WRSE bisa lebih diberdayakan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di sekeliling mereka. Sumber daya yang ada di sekeliling WRSE tersebut berupa sumber daya manusia yaitu adanya tokoh masyarakat (kepala dusun, ketua RT, ketua RW) yang memiliki banyak koneksi dengan orang lain. Sumber daya alam berupa sawah:280 ha/m 2 , perkebunan: 1,5 ha/m2 , pekarangan: 15,5 ha/m2, hasil panen pohon kelapa: 4 kw/ha, hasil panen padi: 1 ton/ha, hasil panen jagung: 5 ton/ha, hasil panen kedelai: 0,5 ton/ha, hasil panen kacang tanah: 0,3 ton/ha, hasil panen Cabe: 0,5 ton/ha. Sumber daya sosial berupa kelompok masyarakat dan sumber daya ekonomi yaitu adanya unit simpan pinjam dan dana social.8 Prinsip dari pemberdayaan adalah mengoptimalkan potensi yang ada pada individu, lingkungan individu, memperkuat potensi tersebut serta melindungi individu supaya tidak bertambah lemah.9 Sumber daya yang ada dalam diri WRSE dan lingkungannya tersebut merupakan suatu potensi yang dapat dioptimalkan, diperkuat dan dilindungi sehingga WRSE menjadi lebih berdaya. Pemberdayaan WRSE melalui program ToP Pemberdayaan WRSE melalui ToP, memungkinkan masyarakat menemukan sendiri permasalahan yang dihadapinya dan merencanakan pemecahannya. ToP merupakan suatu tekhnologi partisipatif yang mengajak orang untuk berdiskusi mulai dari tahap yang sederhana hingga pengambilan keputusan (Ilham, 2002). Pada penelitian ini WRSE yang ada di Desa Sarimulyo khususnya yang ada di Dusun Pandansari dan Cempokosari diajak berdiskusi untuk mengungkap permasalahan yang mereka hadapi dan potensi yang dimilikinya kemudian mereka dibimbing oleh fasilitator untuk mencari pemecahan masalahnya sesuai dengan 7 Zastrow Charles, Introduction to Social Welfare Institutions Social Problems, 67. 8 Profil desa, 2011. 9 Hadi, PA., Konsep Pemberdayaan, Partisipasi dan Kelembagaan dalam Pembangunan. Diakses dari http://suniscome.50webs.com. Volume 02 No. 02 November 2012
48 M O M E N T U M
Pemberdayaan Wanita Rawan Sosial Ekonomi
keinginan dan potensi yang mereka miliki. Pada awal penelitian ada beberapa kendala yang dihadapi berkaitan dengan WRSE. Hal ini terlihat ketika peneliti pertama kali mengundang WRSE lewat kepala dusun untuk melakukan FGD. Hampir sebagian besar WRSE memberi tafsir yang hampir sama mengenai undangan peneliti yaitu peneliti akan membagi-bagikan uang atau barang. Pola pikir semacam ini merupakan dampak dari program pemerintah yang selama ini senantiasa memberikan bantuan berupa bantuan langsung tunai (BLT) yang diberikan kepada keluarga miskin setiap 3 bulan sekali. Akhirnya secara tidak sadar mental dan pola pikir mereka menjadi manja. Pemberian tidak selamanya baik, terkadang pemberian dalam bentuk langsung akan membunuh kreatifitas si penerima kalau pemberian itu dilakukan secara terus menerus. Oleh karena itu ketika mereka diajak untuk merencanakan program pemberdayaan mereka juga kurang begitu antusias. Faktor lain yang mempengaruhi WRSE adalah geografis wilayah. Letak dan kondisi alam yang berbeda ternyata memberi pengaruh terhadap pola pikir masyarakat. Di Dusun Pandansari yang secara geografis letaknya berjauhan dengan jalan raya, akses untuk memperoleh informasi sedikit terhambat ditambah lagi kondisi sarana jalan dusun yang rusak berat. Dusun tersebut juga sedikit terisolir karena untuk mencapainya harus melewati persawahan yang luas. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap karakter WRSEnya, kebanyakan WRSE di dusun itu memiliki karakter kurang siap untuk menerima perubahan. Hal ini jika dibandingkan dengan WRSE yang ada di dusun Cempokosari pada saat dilakukan program ToP dan pemberdayaan. Di dusun Cempokosari mereka lebih antusias. Dari hasil pengamatan ketika pelaksanaan ToP di Dusun Pandansari pertama terlihat bahwa WRSE lebih pasif dalam menyampaikan ide dan kurang bersemangat sehingga fasilitator harus kerja keras mencari jalan untuk membimbing mereka menemukan program pemberdayaan yang tepat dan sesuai bagi merekaa. Hal ini memang tidak terlepas dari latar belakang mereka yang berlatar pendidikan minim, dan pengalaman dalam berorganisasi kurang. Pada akhirnya mereka dapat mengikuti ToP dengan cukup baik. Dari hasil ToP, para WRSE membutuhkan suatu pelatihan untuk mengasah ketrampilan yang dimilikinya dengan memanfaatkan SDA yang ada di sekeliling mereka yaitu pohon kelapa yang banyak terdapat dipekarangan rumah. Pelatihan yang mereka harapkan adalah pelatihan membuat piring dari lidi karena mudah, waktunya cepat dan ibu-ibu bisa membuatnya sendiri dirumah. Untuk pemasaran sudah ada pedagang yang siap untuk menampung hasil kerajinannya tersebut atau mereka bisa menjualnya sendiri. Meski mereka terlihat lambat dalam mengikuti program ToP akan tetapi perubahan tetap ada, para WRSE berhasil membuat sebuah program melalui ToP yaitu pelatihan kerajinan piring lidi. Awal pemberdayaan melalui pelatihan pembuatan piring lidi di Dusun Pandansari dihadiri tujuh belas orang WRSE, akan tetapi yang aktif mengikuti pelatihan sekitar lima orang, peserta WRSE yang lainya terlihat pasif. Alasan mereka tidak terlalu aktif karena ingin melihat terlebih dahulu cara pembuatannya. Hari berikutnya pelatihan dihadiri empat orang WRSE, akan tetapi yang mengikuti dengan antusias pelatihan hanya dua orang, dua orang WRSE yang lain meninggalkan tempat pelatihan dengan alasan yang tidak jelas. Dua orang WRSE yang mengikuti pelatihan sampai selesai pada akhirnya bisa membuat kerajinan dengan sangat baik. Dari hasil pengamatan dan wawancara secara mendalam ini ditemukan bahwa kebanyakan warga Pandansari mempunyai karakter pasif, akan tetapi mereka akan mengikuti warganya yang lain jika warga tersebut dapat membuktikan bisa. Begitu juga mengenai Volume 02 No. 02 November 2012
49 M O M E N T U M
Pemberdayaan Wanita Rawan Sosial Ekonomi
pelatihan kerajinan piring lidi ini, mereka pasrah kepada seseorang yang dianggap bisa mengikuti pelatihan, kalau sudah bisa yang lain mereka akan belajar kepada temannya yang sudah bisa. Proses pemberdayaan WRSE yang berada di dusun Pandansari ini dapat dikategorikan dalam jenis kelompok penganut lambat (late majority), yaitu orang-orang yang baru bersedia menerima suatu inovasi apabila menurut penilaiannya semua orang di sekelilingnya sudah menerimanya. Berbeda halnya dengan yang terjadi di dusun Cempokosari, yang letaknya lebih dekat dengan jalan raya dan tidak terisolir WRSEnya, meski WRSE yang hadir lebih sedikit akan tetapi mereka lebih antusias dalam mengikuti kegiatan dan program yang mereka buat sendiri. Karena tingkat antusias yang berbeda, maka hasil yang dicapaipun juga berbeda, semua yang ikut pelatihan mampu membuat kerajinan. Dari sini terlihat bahwa WRSE yang berada di dusun Cempokosari perubahannya lebih cepat jika dibandingkan dengan dusun Pandansari. Dalam hal ini, WRSE yang berada di Cempokosari dapat dikategorikan kepada jenis kelompok penganut dini (early majority),yaitu orang-orang yang menerima suatu inovasi selangkah lebih dahulu dari orang lain. Walau demikian, tidak dipungkiri bahwa setiap masyarakat mempunyai respon sendiri terhadap suatu inovasi. Inovasi merupakan awal terjadinya perubahan sosial, dan perubahan sosial pada dasarnya merupakan inti dari pembangunan masyarakat. Rogers dan Shoemaker10 menjelaskan bahwa proses difusi merupakan bagian dari proses perubahan sosial. Adopsi sering kali diartikan sebagai suatu proses mentalitas pada diri seseorang atau individu, dari mulai seseorang tersebut menerima ide-ide baru sampai memutuskan menerima atau menolak ide-ide tersebut. Proses adopsi, menurut Samsudin (1984) adalah proses dimulai dari keluarnya ide-ide dari satu pihak kemudian disampaikan pada pihak lain sampai ide tersebut diterima pihak masyarakat sebagai pihak yang kedua. Menurut Suriatna,11 proses adopsi merupakan proses mentalitas yang bertahap mulai dari kesadaran (awareness), minat (interest), menilai (evaluation), mencoba (trial), dan akhirnya menerapkan (adoption) maka perlu memahami setiap tahapan yang berlangsung pada diri seseorang tersebut agar berbagai faktor penghambat dapat diketahui dan dipelajari. Dalam proses pemberdayaan, dimana salah satu tujuannya adalah agar terjadi perubahan sikap perilaku yang mengarah pada tindakan maka proses terjadinya adopsi inovasi yang bertahap sering kali tidak sama pada setiap individu. Kecepatan dalam mengadopsi suatu inovasi kadang antara satu individu dengan individu yang lain berbeda, ini sangat tergantung bagaimana karakter individu yang bersangkutan. Berdasarkan tingkat kecepatan dalam mengadopsi inovasi, maka masyarakat dapat dikelompokkan menjadi: kelompok Perintis (innovator), yaitu mereka yang pada dasarnya sudah menyenangi hal-hal yang baru dan sering melakukan percobaan. Kelompok Pelopor (early adopter), yaitu orangorang yang berpengaruh di sekelilingnya dan merupakan orang yang lebih maju dibandingkan dengan orang-orang di sekitarnya. Kelompok Penganut Dini (early majority),yaitu orang-orang yang menerima suatu inovasi selangkah lebih dahulu dari orang lain. Kelompok Penganut Lambat (late majority), yaitu orang-orang yang baru bersedia menerima suatu inovasi apabila menurut penilaiannya semua orang di sekelilingnya sudah menerimanya 10 Rogers, Everett M & Shoemaker, Floyd F., Communication of innovations: A Cross-Culture Approach 2nd ed. (New York: The Free Press, 1993). 11 Suriatna, Metode Penyuluhan Pertanian (Jakarta: Melton Putra, 1987). Volume 02 No. 02 November 2012
50 M O M E N T U M
Pemberdayaan Wanita Rawan Sosial Ekonomi
Jika dilihat secara umum WRSE di kedua dusun tersebut telah mampu melaksanakan program pemberdayaan dengan cukup baik, walaupun keduanya melalui tahapan yang berbeda, WRSE di Pandansari lebih lambat jika dibandingkan dengan WRSE yang berada di Cempokosari. Indikator yang bisa terlihat adalah mereka telah memiliki ketrampilan membuat piring dari lidi dan mereka juga langsung bisa memasarkannya dan memperoleh keuntungan. Pemberdayaan masyarakat dilakukan dalam rangka membangun ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Pem be rda yaa n i ni bersifat “people centred, participatory, empowering, and sustainable”. Jangkauan dari pemberdayaan ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net).12 Dengan tujuan utama pemberdayaan adalah untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia bagi para WRSE dan untuk mengurangi/mengentaskan kemiskinan. Melalui pelatihan kerajinan ini para WRSE digiring untuk mengeksplorasi potensi yang ada dalam dirinya (people centred) dengan cara mereka sendiri yang aktif berpartisipasi (participatory) dalam merencanakan dan melaksanakan program pemberdayaan dalam hal ini berupa pelatihan pembuatan kerajinan dari lidi (ToP) sehingga mereka menjadi berdaya dan memiliki kemampuan serta kekuatan untuk memperbaiki hidupnya (empowering) namun juga tetap berkelanjutan (sustainable). Program ini tentunya sejalan dengan program pemerintah khususnya dalam hal pengentasan kemiskinan dan membuka lapangan pekerjaan baru bagi para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) dalam hal ini adalah WRSE. Penutup Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa: Technology of Parsipatory (ToP) dapat digunakan untuk menyusun program pemberdayaan bagi WRSE di Desa Sarimulyo. Program yang dihasilkan dari ToP ini adalah program pelatihan pembuatan kerajinan piring yang bahan dasarnya dari lidi kelapa. Keberdayaan WRSE ini dapat dilihat dari hasil pelatihan yaitu mereka telah memiliki kemampuan untuk membuat dan memasarkan hasil kerajinannya. Daftar Pustaka Bambang Rustanto, Metode Partisipatori Assesment dan Rencana Tindak Dalam Pengembangan Masyarakat, STKS Bandung, 2002. Tidak dipublikasikan. Elison, Kenneth, Technology of Participation (TOP) basic Group Fasilitation Methods Manual, Manila: ARD/Gold, 1997. Hadi, PA., Konsep Pemberdayaan, Partisipasi dan Kelembagaan dalam Pembangunan. http://suniscome.50webs.com. Ife Jim. 2002. Community Development Community-Based Alternatives in an Age of Globalisation. Australia : Person Education Australia, 2002. Ilham Cendekia, Metode Fasilitasi Pembuatan Keputusan Partisipatif. Jakarta: PATTIRO, 2002. 12 Hadi, PA., Konsep Pemberdayaan, Partisipasi dan Kelembagaan dalam Pembangunan. Diakses dari http://suniscome.50webs.com. Volume 02 No. 02 November 2012
51 M O M E N T U M
Pemberdayaan Wanita Rawan Sosial Ekonomi
Keputusan Menteri Sosial Nomor. 24/HUK/1996 Prijono S. Ony, Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan, dan Implementasi. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 1996. Profil Desa, Instrumen Pendataan. Badan Pemberdayaan Masyarakat Jawa Timur, 1993. Rogers, Everett M & Shoemaker, Floyd F., Communication of innovations: A Cross-Culture Approach 2nd ed., New York: The Free Press, 1993. Sarantakos S., Social Research. Melbourne: Macmillan Education Australia, 1993. Schwandt A. Thomas, Dictionary of Qualitative inquiry. London: Sage Publications, 1997. Suharto Edi, Analisis Kebijakan Publik. Bandung: ALPABETA, 2005. Suriatna, Metode Penyuluhan Pertanian. Jakarta: Melton Putra, 1987. Zastrow Charles, Introduction to Social Welfare Institutions Social Problems, Services, and Current Issues. USA : The Dorsey Press, 1982. Yoland Wadsworth, Everyday Evaluation on the Run. Melbourne: Action Research Issues Association (Incorporated), 1991.
52 M O M E N T U M
Volume 02 No. 02 November 2012
Membangun Ketahanan Keluarga
MEMBANGUN KETAHANAN KELUARGA MELALUI PENGUATAN PONDASI AGAMA Oleh
Ashabul Fadhli⃰
[email protected] Abstrak Kajian sosiologi keluarga merupakan sebuah studi yang memandang bahwa keluarga terbentuk dari sistem sosial yang mempengaruhi setiap elemen yang berada di dalamnya. Potret keluarga yang disajikan dari hasil studi ini akan menghasilkan fenomena sosial secara faktual dan aktual. Salah satunya mengenai ketahanan keluarga di era globalisasi. Sejatinya, keluarga yang akan mampu bertahan adalah keluarga yang telah sejak dini menanamkan nilai-nilai sosial berupa norma-norma yang berlaku, termasuk agama. Hal ini dikarenakan agama memegang kendali yang kuat sekaligus sebagai petunjuk yang bersifat absolout bagi manusia. Kata kunci: ketahanan keluarga, agama dan mu’asyarah bil ma’ruf.
Pendahuluan Keluarga diyakini sebagai awal terbentuknya dinamika sosial di tengah masyarakat. Kehadiran keluarga sebagai satu kesatuan dari suami, istri dan anak merupakan sistem terkecil yang menghadirkan pola hubungan interpersonal. Maka, tidak salah ketika diasumsikan bahwa keluarga secara sosial memiliki peranan penting dalam hierarki vertikal organisasi sosial, melalui peran dan hubungannya sesama manusia (hablum minan nas). Gerak dan ruang keluarga perlu dipahami secara dinamis. Ini terkait dengan bentuk dan ragam keluarga yang saling berbeda satu sama lain. Setiap keluarga tentu mempunyai standar kehidupan sendiri dalam menjalani perannya. Katakanlah itu dalam hal pembagian peran dan pemahamannya tentang hakikat keluarga. Selain itu, pengaruh perkembangan budaya juga mempengaruhi terhadap kehidupan keluarga. Ini terjadi karena institusi keluarga tidak bergerak secara statis, namun senantiasa terus berkembang mengikuti arus zaman. Menurut pandangan Islam, relasi yang diterapkan dalam keluarga sangat berpotensi untuk membimbing terwujudnya hubungan yang baik (mu’asyirah bil ma’ruf). Ikatan tersebut berawal melalui lembaga perkawinan yang bersifat mitsaqan ghalizhan yaitu perjanjian/ikatan yang kuat yang terbentuk melaui lembaga perkawinan. Perjanjian inilah (akad) yang kemudian bermanifestasi menjadi cikal bakal lahirnya konsep kesesuaian, keseimbangan dan ketahanan dalam keluarga. Kesesuaian tersebut menghasilkan out put yang bersifat mitra antara suami dengan istri, bukan lagi sebagai pemimpin dan yang dipimpin. Begitu juga dengan kehadiran anak. Seyogyanya, anak diposisikan sebagai anugrah yang maha kuasa agar senantiasa bersyukur dan bertanggung jawab atas kepercayaan yang disandang. Artikel ini disamping mengeksplorasi asumsi dasar mengenai institusi keluarga, juga akan mengkaji lebih jauh tentang konsep ketahanan keluarga dengan menggunakan kacamata sosial dan agama. ⃰ Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Volume 02 No. 02 November 2012
53 M O M E N T U M
Membangun Ketahanan Keluarga
Ketahanan Keluarga Keluarga dapat dipahami sebagai sebuah sistem. Sistem ini terjadi akibat adanya komunikasi dua arah (suami-istri) dan komunikasi segala arah bagi semua anggota keluarga (ayah, ibu dan anak). Maka, setiap komponen keluarga berfungsi untuk saling mengarahkan, membina, memberikan perhatian dan kasih sayang kepada setiap anggota keluarga. 1 Dalam rangka membangun dan mensejahterakan institusi keluarga, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera, disebutkan bahwa keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang mempunyai peran penting dalam pembangunan nasional, oleh karena itu perlu dibina dan dikembangkan kualitasnya agar senantiasa dapat menjadi keluarga sejahtera serta menjadi sumber daya manusia yang efektif bagi pembangunan nasional.2 Berdasarkan amanat Undang-Undang di atas, maka sudah menjadi suatu keharusan bagi setiap anggota keluarga untuk mengembangkan kualitas diri dan fungsi keluarga, tegasnya sumber daya manusia dalam keluarga. Pengembangan sumber daya manusia (SDM) berpotensi dalam membentuk kemandirian dan dalam pengembangan kualitas keluarga. Peningkatan SDM tersebut dapat berupa peningkatan pada sisi pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, mentalspritual serta nilai-nilai keagamaan yang sangat penting untuk membentuk pola pikir dalam menyikapi ragam persoalan. Hal ini dikarenakan manusia merupakan makhluk sosial, dan tak akan pernah bisa lepas dari pergulatan sosial. Manusia sebagai makhluk sosial atau yang menurut Aristoteles disebut dengan Zoon Politikon, dikodratkan hidup dalam kebersamaan dalam masyarakat. Kehidupan dalam kebersamaan berarti adanya hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Dalam hubungan sosial itu, pastinya selalu terjadi interaksi sosial yang mewujudkan jaringan/relasi sosial (a web of sosial relationship) yang disebut sebagai masyarakat. Relasi tersebut menuntut cara berperilaku antara satu individu dengan individu lainnya untuk mencapai suatu ketertiban. Agar tercapainya pola hubungan yang bersifat timbal balik sebagaimana di atas, dapat dilakukan dengan membangun mental dan jiwa yang mapan, salah satunya dengan pendidikan. Pendidikan dapat dilakukan secara internal dan non-formal berbasis keluarga. Jadi tidak hanya pendidikan yang diterapkan di sekolah formal. Alasannya adalah keluarga menjadi tempat paling strategis dalam membangun karakter manusia. Melalui pranata inilah anak manusia untuk pertama kalinya mengalami proses pendidikan yang sesungguhnya. Anak-anak mengenal cara berkomunikasi, berbahasa, berinteraksi dengan sesama. Hingga pada akhirnya, setiap anggota keluarga siap secara intelektual, pribadi, sosial, spiritual dan fisik. 3 Penanaman nilai-nilai atau yang lebih familiar dengan sebutan norma-norma4 tak ayal 1 Sofyan S. Willis, Konseling Keluarga (Bandung: ALFABETA, 2011), 143. 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera. 3 Mohamad Surya, Bina Keluarga, (Semarang: Aneka Ilmu, 2001), 12. 4 Norma juga merupakan sesuatu yang mengikat dalam sebuah kelompok masyarakat, yang pada keselanjutannya disebut norma sosial, karena menjaga hubungan dalam bermasyarakat. Norma pada dasarnya adalah bagian dari kebudayaan, karena awal dari sebuah budaya itu sendiri adalah intraksi antara manusia pada kelompok tertentu yang nantinya akan menghasilkan sesuatu yang disebut norma. Sehingga kita akan menemukan definisi dari budaya itu seperti ini; budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh Volume 02 No. 02 November 2012
54 M O M E N T U M
Membangun Ketahanan Keluarga
menjadi suatu keharusan. Penanaman ini, tidak hanya yang bersifat duniawi semata, pendidikan agama yang diterapkan dalam keluarga tetap menjadi pondasi utama. Bahkan harus dimulai sejak usia dini, terlebih jika edukasi tersebut diaplikasikan sejak bayi masih di dalam kandungan. Sejumlah masyarakat modern misalnya, telah memulainya dengan menggunakan berbagai metode seperti yang marak dilansir oleh media belakangan. Seluruh anggota keluarga ditanamkan suatu kesadaran untuk melakukan pilihan antara nilai-nilai yang dikategorikan salah atau benar, baik atau buruk, pantas atau tidak pantas. Kebiasan-kebiasaan itu dapat dimulai dengan mempraktekkannya dalam kegiatan sehar-hari. Kemudian berlanjut dengan internalisasi nilai-nilai sebagaimana di atas, hingga mendarah daging dalam kehidupan seluruh anggota keluarga. Mengutip pendapat Immanuel Kant (1724-1804), bahwa norma moral itu mengikat secara mutlak dan tidak tergantung dari apakah ketaatan atas norma itu membawa hasil yang menguntungkan atau tidak. Misalnya norma moral "jangan bohong" atau "bertindaklah secara adil" tidak perlu dipertimbangkan terlebih dulu apakah menguntungkan atau tidak, disenangi atau tidak, melainkan selalu dan di mana saja harus ditaati, entah apa pun akibatnya. Hukum moral mengikat mutlak semua manusia sebagai makhluk rasional.5 Pendapat yang dilontarkan Kant di atas mengasumsikan, bahwa moral menjadi bagian terpenting dalam pertumbuhan karakter manusia. Moral sejatinya dapat menjadi garda terdepan dalam menyikapi segelumit persoalan. Institusi keluarga pun ditantang untuk siap menggempur setiap perubuhan yang datang. Tak jarang, dalam menjalani proses tersebut, ketika keluarga tidak lagi memiliki ketahanan yang baik, tentu akan mengalami disorientasi nilai, yakni kehilangan arah dalam menentukan pilihan-pilihan hidup. Mobilitas yang berlebihan membuat beban dan fungsi keluarga menjadi lebih berat. Indikasinya akan melahirkan keluarga-keluarga yang keluar jalur (out-reach) atau berantakan. Jika sudah begini, sejumlah perilaku yang bersifat devian atau menyimpang akan lahir sebagai wujud ketidakmapanan. Menurut riset yang pernah dilakukan, ketidakmapanan peran seorang ayah atau ibu tanpa disadarai akan berimbas lansung terhadap anak. 6 Faktor penelantaran dan kekerasan adalah resiko yang cendrung dialami anak. Konflik suami istri menghadirkan problem baru bagi perkembangan anak. Anak akan cendrung mengalami masalah kesehatan mental yang berarti, serta berbagai kesulitan penyesuaian lainnya. Masalah kesehatan mental itu meliputi trauma, kecemasan, depresi, perilaku menantang, agresif, nakal dan sebagainya. 7 sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Berdasarkan klasifikasinya, norma dikelompokkan menjadi (1) Norma agama, yaitu peraturan hidup manusia yang berisi perintah dan larangan yang berasal dari Tuhan, (2) Norma moral/kesusilaan, yaitu peraturan atau kaidah hidup yang bersumber dari hati nurani dan merupakan nilai-nilai moral yang mengikat manusia, (3) Norma kesopanan, yaitu peraturan atau kaidah yang bersumber dari pergaulan hidup antar manusia, (4) Norma hukum, yaitu peraturan atau kaidah yang diciptakan oleh kekuasaan resmi atau negara yang sifatnya mengikat atau memaksa. Herimanto dan winarmo, Ilmu sosial & budaya dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010),132. 5 Kant, Fundamental Principles of the Metaphysics of Morals, Translated by Thomas K. Abbott (New York: The Bobbs-Merill Company, Inc., 1949), 57. 6 Robert I. Watson dan Henry Cly Lindgren, Psychology of the Child (New York: Jon Wiley and Sons, 1974), 187. 7 Gejala yang ditunjukkan di atas tarafnya bermacam-macam. Mulai dari yang paling ringan hingga yang paling berat. Umumnya, gejala psikologis tersebut dilandasi karena faktor lingkungan. Lingkungan merupakan jaringan yang berkaitan dengan faktor eksternal dan kondisi yang melingkupinya. Kondisi itulah yang kemudian membentuk kepribadian individu dan cara merespon berbagai problematika disekitarnya, seperti masalah keluarga Volume 02 No. 02 November 2012
55 M O M E N T U M
Membangun Ketahanan Keluarga
Perilaku negatif yang dilakukan anak, akan terus berlanjut hingga ke bangku pendidikan di sekolah formal. Anak akan terjebak pada ketidakmampuannya dalam mengikuti jam pelajaran dengan baik, menyelesaikan tugas dan mendapatkan nilai yang buruk. Dengan demikian, keluhan somatik8 seperti sakit kepala, sakit perut, asma, dan masalah eliminasi sering dialami oleh seorang anak. Apalagi pemberitaan di sejumlah media cetak maupun elektronik secara lugas menginformasikan, bahwa dunia pendidikan secara tidak lansung turut menerapkan beban ganda kepada peserta ajar. Seperti yang dilansir oleh Dirjen Pendidikan Dasar Kemendikbud, Suyanto, beberapa waktu lalu, bahwa jumlah pelajaran yang berlaku saat ini membebani siswa.9 Kurikulum pendidikan yang di luar batas kemampuan dan kebutuhan siswa, penambahan waktu belajar dengan mendorong anak mengikuti jam pelajaran tambahan, penerapan sanksi-sanksi yang kurang menunjang tercapainya tujuan pendidikan, disertai disiplin yang terlalu ketat, ketidakharmonisan antara peserta didik dan pendidik, kurangnya kesibukan belajar di rumah adalah sekelumit persoalan yang dihadapi anak. Proses pendidikan seperti ini jelas sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan anak. Konflik keluarga dan pembiaran yang terus-menerus akan berujung pada kenakalan remaja. Meskipun demikian, jika meminjam konsep yang ditawarkan Aristoteles di atas, institusi keluarga pada dasarnya tidak berdiri sendiri. Sejumlah paguyuban yang langgeng di tengah masyarakat turut menopang pertahanan dari institusi keluarga. Keluarga tumbuh dan berkembang dalam institusi sosial sebagai bagian dari sistem sosial keseluruhan. Lembagalembaga kemasyarakatan-pun turut menjadi suplemen dalam membentuk kepribadian anak bangsa, seperti (a) Memberikan pedoman pada anggota-anggota masyarakat, bagaimana mereka arus bersikap atau bertingkah laku dalam menghadapi masalah-masalah yang muncul di lingkungan masyarakat, termasuk yang menyangkut hubungan pemenuhan kebutuhan (b) Menjaga keutuhan masyarakat yang bersangkutan (c) Memberikan pengarahan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial, yaitu sistem pengawasan masyarakat terhadap anggota-anggotanya.10 Disinilah letak pentingnya penguatan ketahanan keluarga, baik yang berasal dari internal keluarga, maupun dari interaksi yang ditawarkan lembaga kemasyarakatan dalam membentuk kepribadian bagi masing-masing anggota keluarga. Ketika dua hal ini telah dilaksanakan secara optimal mulai dari pengenalan norma-norma, adat istiadat, tradisi dan berbagai pranata sosial dan kekerasan. Dadang Hawari, Al-Qur’an, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan JIwa (Yogyakarta: PT. Dhana Bhakti Prima Yasa, 1995), 43-45. 8 Gejala dan keluhan somatik (psikomatis) adalah penyakit fisik dengan keluhan fisik yang disertai gejalagejala fisik yang nyata. Gejala ini cukup serius untuk menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Penyebabnya adalah tekanan psikologis atau stress. Menurut Bath, gejala pada anak tidak sepenuhnya sama dengan gejala yang dialami orang dewasa. Lihat, Bath, ”The Three Pillars of Trauma Informed-Care.” dalam Journal Reclaiming Childreen and Youth, Vol.17, No.3, 2008, 17-21. Lihat Juga Tjipto Susana, ”Pendekatan Tiga Pilar Terhadap Anak Yang Mengalami Trauma Kekerasan” dalam Jurnal Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga, Vol. II, No. 3, 2009, 24-25. 9 Harian Republika, 19 Oktober 2012,1 10 Kehadiran lembaga sosial sangat berpengaruh besar terhadap implementasi norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada kebutuhan pokok manusia, dalam arti bahwa norma kemasyarakatan itu dikenal, diakui, dihargai, dan kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut lihat, Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007). Volume 02 No. 02 November 2012
56 M O M E N T U M
Membangun Ketahanan Keluarga
lain, tentu akan mendatangkan warna baru yang dapat mengilhami seluruh lapisan masyarakat, terutama keluarga. Peranan dalam Keluarga Peranan adalah tindakan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu peristiwa, atau bagian yang dimainkan seseorang dalam suatu peristiwa.11 Peranan lebih banyak menunjukan pada fungsi, penyesuaian diri, dan sebagai suatu proses. Dalam konteks ini, peranan berarti kedudukan seseorang di dalam dinamika masyarakat pada saat ia menjalankan peraturan. Peranan mempunyai aspek-aspek sebagai berikut: 1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi seseorang di dalam masyarakat. Dalam arti ini, peranan meliputi rangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat. 2. Peranan adalah suatu konsep, perihal yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi. 3. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur social masyarakat.12 Ivan Nye, yang meraih gelar Ph.D dalam studi Sosiologi di Universitas California, membagi teori yang berkenaan tentang sosiologi keluarga, yang salah satunya adalah role theory atau teori peran.13 Role theory adalah teori tentang bagaimana individu mengambil peran dalam hidup. Menurut role theory, peranan adalah sekumpulan tingkah laku yang dihubungkan dengan suatu posisi tertentu, peranan yang berbeda membuat jenis tingkah laku yang berbeda pula, tetapi apa yang membuat tingkah laku itu sesuai dalam suatu situasi dan tidak sesuai bagi situasi lain, relatif independent (bebas) pada seseorang yang menjalankan peranan tersebut. Menurut role theory, sebenarnya dalam pergaulan sosial sudah ada skenario atau peranperan yang telah disusun oleh masyarakat, yang mengatur apa dan bagaimana peran setiap orang dalam pergaulannya. Jika seorang mematuhi skenario, maka hidupnya akan harmonis, tetapi jika menyalahi skenario, maka ia akan dicemooh oleh ”penonton” dan ditegur oleh ”sutradara”. Sebagai contoh, seorang individu yang dinobatkan oleh masyarakat untuk menjadi seorang pemimpin, sebut saja RT atau RW, yang mengatur proses interaksi sosial. Demikian juga dengan peran suami, isteri, ayah, ibu, anak, dan seterusnya. Hal ini dikarenakan keluarga merupakan suatu sistem peranan, dimana setiap anggotanya nempunyai peranan yang berbeda namun saling melengkapi. Dalam masyarakat tradisional struktur peran terlihat kontras satu sama lain. Berbeda dengan masyarakat teknologi maju (modern), tampaknya ditandai dengan keharusan dan luasnya berbagi peran. Dalam kehidupan rumah tangga misalnya, untuk memenuhi segala kebutuhan hidup yang bersifat primer maupun skunder, tentunya suami, istri dan anak harus 11 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia.1997. (Jakarta: Balai Pustaka), 751. 12 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo, 1987), 221. 13 F. Ivan Nye, “Role Constructs: Measurement,” dalam F. Ivan Nye, Role Structure and Analysis of The Familiy (Beverly Hills - London: Sage Publications, 1976), 15. Volume 02 No. 02 November 2012
57 M O M E N T U M
Membangun Ketahanan Keluarga
melakukan pembagian peran. Ketika suami berperan sebagai pencari nafkah, sementara istri tidak bekerja menghasilkan pundi-pundi ekonomi, maka sudah selayaknya istri mengambil peran pada wilayah domestik. Begitu juga sebaliknya. Namun, ketika suami dan istri samasama bekerja untuk mencari nafkah, pembagian peran tentu harus dibagi secara bijak. Tanpa mengenyampingkan kewajiban lain seperti pengasuhan anak. Oleh karena itu, harus diasumsikan bahwa tidak semua pasangan akan memberlakukan peran serupa. Dalam kerangka peran ini, dua ukuran peran yang penting ditetapkan: 1. Pembagian kerja antara suami-isteri, dan 2. Pembagian antara mereka dan pelaku peran lain, baik dalam keluarga maupun dalam organisasi sosial lainnya. Ini memungkinkan berlakunya gambaran peran oleh anggota keluarga lain atau menyewa pembantu. Sebagai contoh, sejumlah istri berperan sebagai ibu rumah tangga yang bertugas memenuhi kebutuhan keluarganya seperti memasak, mencuci dan sebagainya. Pekerjaan tersebut tidak berarti bahwa mereka memiliki kewajiban untuk melakukannya secara terusmenerus dan akan mendapatkan sanksi jika mereka tidak melakukannya pada konteks tertentu. Hal yang sama dapat dilihat dari sisi suami. Ketika suami bekerja sebagai buruh atau kantoran, tidak menutup kemungkinan akan menerima resiko seperti habis kontrak, dipecat bahkan pensiun. Pada masa transisi itu, istri dapat menyikapi posisi suaminya dengan membantu peran suaminya pada wilayah ekonomi, hingga ekonomi keluarga pulih dan stabil kembali. Frank Fincham, profesor di State University of New York di Buffalo dan Thomas Bradbury, Profesor di universitas UCLA, lebih dari satu dekade menelusuri efek emosi bagi pasangan suami istri. Menurut hasil penelitian yang dilakukan, sikap optimis (saling percaya dalam berbagi peran) masing-masing pasangan membantu dalam hubungan perkawinan. Dalam tulisannya, dinarasikan bahwa pasangan yang baik adalah pasangan yang selalu membicarakan setiap permasalahan yang datang kepadanya. Ketika seorang istri merasa tidak senang/nyaman, suami sehendaknya segera berusaha untuk menemukan penjelasan temporer atas ketidaknyamanan istrinya. Sebaliknya, hubungan yang tidak baik adalah ketika hubungan itu dimulai dengan emosi yang pesimis. Hubungan pesimis disini dimaksudkan sebagai hubungan yang tertutup dan tidak terbuka satu sama lain. Suami atau istri tidak mau meluangkan waktunya untuk bercerita dan sharing ketika terjadi miskomunikasi atau perpecahan diantara mereka. Akibatnya, pasangan tersebut akan saling menyalahkan dan merasa sama-sama berada di pihak yang benar.14 Perbedaan pandangan dan sikap di atas dapat mengarah pada konflik peran (role conflict), dimana pelaksanaan kegiatan atau kerja dengan satu tekanan dapat menyulitkan hal yang lain dengan tekanan yang menyertainya. Role conflict memiliki beberapa tipe: 1. Konflik antara individu dengan perannya, yaitu konflik yang terjadi antara kepribadian individu dan harapan akan perannya. Tegasnya, konflik akan muncul dalam diri individu pemegang peran, jika peran yang diterima oleh individu tersebut bertentangan atau tidak konsisten dengan harapan. 2. Konflik intrarole (intrarole conflict), yaitu konflik yang dihasilkan oleh harapan yang kontradiktif terhadap bagaimana peran tertentu harus dijalankan, atau konflik yang 14 Martin E.P Seligman, Authentic Happiness, terj. Jalaluddin Rakhmat (Bandung: Mizan, 2005), 257-259. Volume 02 No. 02 November 2012
58 M O M E N T U M
Membangun Ketahanan Keluarga
terjadi ketika individu-individu pemegang peran dengan harapan yang berbeda saling berinterkasi. 3. Konflik interrole (interrole conflict), konflik ini dihasilkan dari persyaratan yang berbeda dari dua atau lebih peran yang harus dijalankan pada saat bersamaan. 4. Konflik overrole (overrole conflict) merupakan tipe konflik peran yang lebih kompleks. Konflik ini terjadi ketika harapan yang dikirimkan pada pemegang peran dapat digabungkan, akan tetapi kinerja mereka melampaui jumlah waktu yang tersedia bagi orang yang melaksanakan aktivitas yang diharapkan. Sebagai solusi atas permasalahan pasangan yang cenderung pesimis (tidak percaya akan peran masing-masing pasangan), terdapat teknik-teknik yang dapat berguna untuk melakukan percakapan sehari-hari. Salah satunya adalah teknik yang disebut ”ritual pembicarapendengar”. Dalam menjaga hubungan agar tetap selalu baik, teknik ini penting untuk digunakan. Karena bagi pasangan yang sedang bermasalah, hampir setiap diskusi adalah sensitif dan gampang memuncak hingga menyebabkan pertengkaran. Ketika suami atau istri merasa bahwa perbincangan tentang uang, seks, mertua merupakan hal yang sensitif, maka, teknik ritual di atas penting untuk dilakukan. Saat ritual ini dijalankan, sekiranya butuh selembar tikar atau tempat nyaman yang hanya bisa diduduki oleh pihak pembicara. Artinya, pada tahap ini yang berhak berbicara hanyalah pihak yang memegang tikar. Sementara yang tidak memiliki tikar saat itu hanyalah sebagai pendengar. Pada saat tertentu, si pembicara akan menyerahkan tikarnya kepada pihak pendengar. Artinya saat itu si pendengar telah menjadi pembicara, begitu juga sebaliknya. Ritual ini berisi tentang menyimak dan menanggapi, tetapi tidak menafsirkan, serta upaya dalam menemukan solusi bagi permasalahan yang sensitif.15 Oleh karena itu, ketahanan sebuah keluarga haruslah dimulai dari metode pembagian peran yang baik dan benar. Pembagian tersebut harus terlepas dari bayang-bayang pesimis, ketidakpercayaan, menguasai dan kekerasan. Dengan adanya perhatian dan perasaan bahwa pasangannya tidak akan tergantikan, seyogyanya keharmonisan dalam keluarga akan tetap terjaga. Kemampuan menyimak dan berbicara sebagaimana ritual di atas adalah jalan keluar terbaik saat menghadapi masalah. Membangun Keluarga Dengan Semangat Al Qur’an Pada kajian sosiologi, dinamika yang terungkap dalam institusi keluarga dipotret melalui jalinan interaksi dan relasi sosial yang berkembang. Ikatan yang membentuk keluarga dapat dikatakan sebagai perjanjian yang kokoh (a stable covenant), kasih sayang yang tulus (founded on sincere affection), kerjasama yang kompak (genuine co-operation), perawatan yang komperhensif (comprehensive care), dan saling menghormati (mutual respect).16 Hal tersebut tidak lain supaya keluarga bisa bermartabat dan berkepribadian yang penuh tanpa ada
15 Ibid., 264. 16 Meskipun Anderson berangkat sebagai peneliti yang diklaim sebagai outsider, namun hasil temuannya memiliki sudut pandang tersendiri dan relevan dengan studi keluarga dalam Islam. Lihat, J. N. D. Anderson. Source, “Reforms in Family Law in Morocco”, Journal of African Law: Cambridge University Press on Behalf of the School of Oriental and African Studies, Vol. 2, No. 3, 1958, 148. Volume 02 No. 02 November 2012
59 M O M E N T U M
Membangun Ketahanan Keluarga
penghalang dan ketimpangan peran dan hak antara suami, istri dan anak. Berbeda dengan ketentuan yang bersumber dari Al Qur’an, gejala dan interaksi sosial yang ditunjukkan oleh manusia terikat oleh aturan Tuhan yang disebut Taqdir (Q.S Al Furqan: 2; Yasin: 38). Gejala kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, yang memiliki karakteristik individual dankolektif, terikat oleh hukum Allah yang disebut Sunnatullah (Q.S Al-Ahzab: 38, 62: Fathir: 43; Al-Mu’min: 85; Al-Fath: 23), yang secara empiris dikenal sebagai gejala perilaku manusia (human behaviour). Sementara itu, gejala kehidupan manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan berperadaban, yang memiliki keyakinan dan norma-norma kehidupan, terikat oleh hukum Allah yang disebut Syari’ah (Q.S Al-Syura: 13, Al-Jatsiyah: 18). Suatu “jalan kehidupan menuju mata air kebahagiaan”, sebagaimana tertuang dalam berbagai perintah (al-awamir) dan larangan (al-nawahi) Allah, yang secara empiris dikenal sebagai gejala budaya. Kandungan Q.S Al-Hujurat: 13, misalnya, menunjukkan bahwa manusia yang diciptakan Allah dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan dapat dipandang sebagai makhluk biologis. Ketika manusia dijadikan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, dapat dipandang sebagai makhluk sosial. Sedangkan ketika menusia diperintahkan untuk saling mengenal dan penilaian terhadap derajat mereka dengan menggunakan tolak ukur ketakwaan, dapat dipandang sebagai makhluk budaya, yang memiliki keyakinan dan terikat oleh normanorma kehidupan.17 Uraian di atas semakin menegaskan bahwa kehidupan manusia dalam berperilaku (taklif) terikat oleh hukum Tuhan. Ketentuan hal ini tidak terlepas dari norma atau kaidah yang ditetapkan. Namun, kebutuhan sosial masyarakat tidak selamanya termaktub di dalam titah Tuhan ataupun rasul-Nya secara eksplisit.18 Oleh karena itu, diperlukan suatu usaha untuk memahami Al Qur’an dan Sunnah yang kemudian disebut ijtihad; dan produk ijtihadnya disebut fikih.19 Fikih keluarga secara etimologi disebut juga dengan Al Ahwal Asy Syakshiyyah. Fikih ini merupakan grand design dari konsep keluarga ideal untuk mewujudkan ketahanan keluarga menurut pandangan Islam. Al Qur’an telah menegaskan bahwa, pembentukan jalinan keluarga dimaksudkan sebagai upaya (1) memelihara kehormatan diri (hifzh al-nafs) agar mereka tidak terjerumus ke dalam perbuatan terlarang, (2) memelihara kelangsungan kehidupan manusia/keturunan (hifz al-nasl) yang sehat, (3) mendirikan kehidupan rumah tangga yang dipenuhi kasih sayang antara suami dan istri dan saling membantu antara keduanya untuk kemaslahatan bersama.20 Secara istilah/terminologi fikih keluarga Islam adalah fikih yang mengatur kehidupan keluarga yang dimulai dari awal pembentukan keluarga (peminangan), sampai dengan berakhirnya keluarga (wafat atau perceraian) yang berisi pembahasan seputar munakahat (perkawinan), mawaris (pewarisan) dan juga wakaf.21 17 Cik Hasan Bisri, Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), 8. 18 Dalam hal ini para ulama’ merumuskan suatu kaidah, sebagaimana yang dikutip oleh T.M Hasbie AshShiddieqy, “ ًْ” انٕقائع تُاًْ ٔعدو انُصٕص تُا. T.M Hasbie Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 45. 19 Jaih Mubarok, Ijtihad Kemanusiaan, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), 9. 20 QS. Al-Rum (33): 21. 21 Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, (Yogyakarta: Volume 02 No. 02 November 2012
60 M O M E N T U M
Membangun Ketahanan Keluarga
Namun secara umum pengertian keluarga dapat dilihat dari dua sisi, pengertian sempit dan pengertian luas. Keluarga dalam pengertian sempit adalah kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami, isteri, dan anak yang berdiam dalam satu tempat tinggal. 22 Tujuannya adalah untuk mengatur hubungan antara suami, istri, dan anak dalam keluarga.23 Mengingat sangat pentingnya peran keluarga dalam kehidupan ini, maka Islam juga telah menawarkan konsep tentang keluarga, yang disebut oleh Al-Qur’an dengan istilah keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah.24 Hubungan suami istri dalam keluarga diibaratkan seperti pakaian/libas. Suami adalah pelindung bagi istri, dan istri adalah pelindung bagi suami. Sebagaimana dinyatakan dalam surat QS. Al-Baqarah (2): 187 ٍْ نبا ش نكى ٔاَتى نبا ش نٍٓ عهى هللا اَكى كُتى تختإٌَ اَفسكى فتا ب عهٍكى ٔعفا عُكى Menurut Said Agil, kata sakinah diambil dari akar kata yang terdiri atas huruf sin, kaf, dan nun yang mengandung makna ketenangan, diam atau tidak bergerak, Antonim dari guncang dan gerak. Berbagai bentuk kata yang terdiri atas ketiga huruf tersebut semuanya bermuara pada makna di atas. Rumah dinamai maskan karena ia merupakan tempat untuk meraih ketenangan setelah sebelumnya sang penghuni bergerak (beraktivitas di luar rumah). Mawaddah adalah jenis yang lebih melihat kualitas pribadi pasangan, dan rahmah adalah jenis cinta kasih yang lembut, siap berkorban dan siap memberi perlindungan kepada yang dicintai.25 Disebutkan bahwa sakana juka mempunyai derivasi sukkan, yang berarti penduduk, artinya keluarga adalah persekutuan atau perkumpulan hidup yang dimulai dengan pernikahan. Sehingga mengandung makna, keluarga sakinah adalah hidup berekelompok atara dua insan yang berbeda jenis kelamin untuk membentuk intraksi antara pasangan dan anggota keluarga yang didahului dengan upacan akad nikah. Atas dasar itu, terpenuhinya konsep sakinah, mawaddah dan rahmah dalam keluarga berarti telah mencerminkan ajaran Al Qur’an yang disebut mu’asyarah bi al-ma’ruf (pergaulan suami istri yang baik),26 serta keseimbangan antara hak dan kewajiban. Ayat-ayat ini memberikan pengertian bahwa Tuhan menghendaki perkawinan dan relasi suami istri berjalan dalam pola interaksi yang harmonis, suasana hati yang damai serta keseimbangan hak dan kewajiban. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa mu’asyarah bi al-ma’ruf merupakan landasan moral yang harus dijadikan acuan dalam semua hal yang menyangkut hubungan suami-istri.27 Prinsip keseimbangan dalam keluarga, mengandung pengertian bahwa baik suami maupun istri memilki kewajiban yang sama, yakni melaksanakan perintah-perintah agama. ACAdeMIA+TAZAFFA,2007), 5-6. 22 Dalam hal ini disebut juga dengan nuclear family atau keluarga inti (al usrah). Selain itu juga dikenal Al ‘Ailah,yang merupakan pengertian luas atau bisaa dikenal dengan extended family. Lebih lanjut lihat, Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), 63. 23 Abd al-Wahhab Khallaf, “Ilmu Ushul al-Fiqh, cet ke-8, (ttp: Maktabah al-Da’wah, 1989), 32. 24 QS: Ar-Rum (30): 21 25 Said Agil Husin al-Munawwar, Agenda Generasi Intelektual: Ikhtiar Membangun Masyarakat Madani (Jakarta: Pena Madani, 2003), 62-63. 26 QS. An-Nisa’ (4):19 dan QS. Al-Baqarah (2):228 27 Badriyah Fayumi, Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda (Yogyakarta : LKiS, 2002), 106-107. Volume 02 No. 02 November 2012
61 M O M E N T U M
Membangun Ketahanan Keluarga
Dalam tatanan relasi antar manusia, setiap laki-laki maupun perempuan memiliki peluang yang sama untuk memperoleh pahala bila mampu menjalankan perintah agama. Dan memiliki peluang yang sama untuk di azab bila masing-masing dari keduanya melanggar perintahperintah tersebut. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Surat An-Nahl (16):97 yang berbunyi:
ٌٕيٍ عًم صهذا يٍ ذكر أ اَثى ْٕٔ يؤيٍ فهُذٍٍُّ دٍٕة طٍبت ٔنُجسٌُٓى اجر ْى با دسٍ يا كا َٕا ٌعًه Diriwayatkan dari Hamid Ibn Nafi’ dari Ummu Kulsum binti Abu Bakar Shiddiq, bahwa Nabi pada suatu ketika di malam hari, didatangi oleh tujuh puluh perempuan yang kesemuanya mengadukan perihal pemukulan yang dilakukan suami mereka.28 Atas kejadian itu, Nabi menjadikan salah satu misi dakwah terpentingnya yakni membenahi tatanan kehidupan rumah tangga menuju keluarga sakinah, jauh dari perilaku kasar, penghinaan dan pemukulan. Dalam salah satu khutbahnya, dengan nada yang sedikit keras, Nabi menyeru para suami untuk meninggalkan perilaku-perilaku kasar dan melarang memukul istri-istri mereka. Sebagaimana sabda beliau, “Janganlah kamu memukul istrimu seperti kamu memukul budakmu, yang kemudian di malam harinya kamu gauli, tidakkah kamu malu.”
ددثُا دمحم بٍ ٌٕسف ددثُا سفٍاٌ عٍ ْشاو عٍ أبٍّ عٍ عبد هللا بٍ زيعت عٍ انُبً صهى هللا عهٍّ ٔ سهى قال ال 29 ٌجهد أددكى ايرأتّ جهد انعبد ثى ٌجايعٓا فً آخر انٍٕو Dalam hadis yang diriwayatkan Sunan Ibn Majah di atas, merupakan peringatan bagi para suami akan hak dan kewajibannya terhadap istrinya. Perintah berbuat baik dan larangan bertindak kekerasan, pada dasarnya sejalan dengan prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh Al Qur’an. Sehubungan dengan itu, dapat diambil benang merah bahwa hubungan suami dan istri yang ideal sebagaimana yang telah dituntun oleh Rasulullah adalah sebagai berikut: Suami ideal adalah: 1. Suami yang dapat berperan sebagai qawwam, bertanggung jawab, serta dapat melindungi dan mengayomi istri. 2. Suami yang mampu memberikan nafaqah secara hasanah. 3. Menjadi mitra istri dalam mengokohkan budi pekerti dan akhlak mulia 4. Mendukung, mengembangkan potensi dan aktualisasi diri istri sebagai khalifatullah 5. Memberi perhatian dan selalu menjaga nama baik istri dan keluarganya. 6. Menciptakan hubungan yang demokratis dan seimbang dalam pengambilan keputusan dalam keluarga. 7. Mendialogkan dengan cara ma’ruf setiap masalah yang dapat menimbulkan konflik. 8. Menghindari berbagai bentuk kekerasan, baik melalui ucapan, tindakan yang dapat menyebabkan penderitaan fisik maupun psikis. Istri ideal adalah: 1. Qanitah, yaitu taat pada norma-norma agama, moral dan hukum. 2. Hafizhah yaitu menjaga kehormatan diri dan amanah
28 Khalil Abdul Karim, al-Sahabah wa al-sahabah (Kairo: Sina Li Nasyr, 1997), 410-411. 29 CD Room Mausu’ah al-Hadis asy-Syarif al-Kutubu at-Tis’ah, 4908 باب و ٌكرِ يٍ ضرب انُساء, كتاب انُكاح, صذٍخ انبخاري Volume 02 No. 02 November 2012
62 M O M E N T U M
Membangun Ketahanan Keluarga
3. Menjadi mitra suami dalam mewujudkan kesakinahan keluarga. 4. Mengembangkan potensi dan aktualisasi diri sebagai khalifatullah. 5. Bermusyawarah dengan suami dalam mengambil keputusan untuk kepentingan pengembangan diri, keluarga dan masyarakat.30 Kesimpulan Terwujudnya ketahanan keluarga seyogyanya tidak lepas dari beberapa faktor yang mempengaruhinya. Diantara faktor-faktor tersebut adalah upaya membentuk kepribadian anggota keluarga yang syarat dengan nilai atau norma. Hal itu penting disegerakan mengingat nilai atau norma adalah stimulan dalam pembentukan konsep diri. Dengan demikian, upaya tersebut harus berangkat melalui proses pembudayaan serta pemberdayaan mulai dari tingkat keluarga hingga masyarakat. Faktor lain yang mempengaruhi ketahanan keluarga adalah keluwesan dalam berbagi peran. Ibarat pementasan teater, alur cerita tidak akan berjalan lancar ketika setiap aktor tidak menjalani perannya dengan baik dan benar. Semuanya tentu harus dilakukan secara berimbang. Pemenuhan hak dan kewajiban ditopang atas dasar amanah dan tanggung jawab. Ketika tawaran di atas dapat diterapkan secara optimal, pewacanaan kehidupan konsep keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah tentu akan mudah terealisasikan. Serupa dengan apa yang pernah diajarkan Rasulullah dalam sunahnya, bahwa Rasulullah meletakkan standard indikasi kesuksesan dunia dan akhirat dengan raihan trust, competence dan responsibility. Daftar Pustaka Agil, Husin al-Munawwar, Said, Agenda Generasi Intelektual: Ikhtiar Membangun Masyarakat Madani. Jakarta: Pena Madani, 2003. Ash-Shiddieqy, Hasbie, Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Bath, ”The Three Pillars of Trauma Informed-Care”, Journal Reclaiming Childreen and Youth, Vol.17, No.3, 2008. CD Room Mausu’ah al-Hadis asy-Syarif al-Kutubu at-Tis’ah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1997). Djihantini, Noordjannah, ed., Memecah Kebisuan, Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan, Respon Muhammadiyah. Jakarta: KOMNAS Perempuan, 2009. E.P Seligman, Martin, Authentic Happiness. Terj. Jalaluddin Rakhmat. Bandung: Mizan, 2005. Fayumi, Badriyah, Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda. Yogyakarta : LKiS, 2002. Hawari, Dadang, Al-Qur’an, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta: PT. Dhana Bhakti Prima Yasa, 1995. Herimanto dan winarmo, Ilmu sosial & budaya dasar. Jakarta: Bumi Aksara, 2010. 30 Noordjannah Djihantini (ed.), Memecah Kebisuan, Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan, Respon Muhammadiyah (Jakarta: KOMNAS Perempuan, 2009), 147-149. Volume 02 No. 02 November 2012
63 M O M E N T U M
Membangun Ketahanan Keluarga
I. Watson, Robert dan Henry Cly Lindgren, Psychology of the Child. New York: Jon Wiley and Sons, 1974. J. N. D. Anderson. Source, “Reforms in Family Law in Morocco”, Journal of African Law: Cambridge University Press on Behalf of the School of Oriental and African Studies, Vol. 2, No. 3, 1958 Kadir Muhammad, Abdul, Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993. Kant, Fundamental Principles of the Metaphysics of Morals, Translated by Thomas K. Abbott. New York: The Bobbs-Merill Company, Inc., 1949. Khallaf, Abd al Wahhab Ilmu Ushul al-Fiqh, cet ke-8, ttp. Maktabah al-Da’wah, 1989. Mubarok, Jaih, Ijtihad Kemanusiaan. Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005. Nasution, Khoiruddin, Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia. Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZAFFA, 2007. Nye, F. Ivan, “Role Constrcts: Measurement,” dalam F. Ivan Nye, Role Structure and Analysis of The Familiy. Beverly Hills - London: Sage Publications, 1976. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera. S. Willis, Sofyan, Konseling Keluarga. Bandung: ALFABETA, 2011.
64 M O M E N T U M
Volume 02 No. 02 November 2012
Membangun Ketahanan Keluarga
MEMBANGUN KETAHANAN KELUARGA MELALUI PENGUATAN PONDASI AGAMA Oleh
Ashabul Fadhli⃰
[email protected] Abstrak Kajian sosiologi keluarga merupakan sebuah studi yang memandang bahwa keluarga terbentuk dari sistem sosial yang mempengaruhi setiap elemen yang berada di dalamnya. Potret keluarga yang disajikan dari hasil studi ini akan menghasilkan fenomena sosial secara faktual dan aktual. Salah satunya mengenai ketahanan keluarga di era globalisasi. Sejatinya, keluarga yang akan mampu bertahan adalah keluarga yang telah sejak dini menanamkan nilai-nilai sosial berupa norma-norma yang berlaku, termasuk agama. Hal ini dikarenakan agama memegang kendali yang kuat sekaligus sebagai petunjuk yang bersifat absolout bagi manusia. Kata kunci: ketahanan keluarga, agama dan mu’asyarah bil ma’ruf.
Pendahuluan Keluarga diyakini sebagai awal terbentuknya dinamika sosial di tengah masyarakat. Kehadiran keluarga sebagai satu kesatuan dari suami, istri dan anak merupakan sistem terkecil yang menghadirkan pola hubungan interpersonal. Maka, tidak salah ketika diasumsikan bahwa keluarga secara sosial memiliki peranan penting dalam hierarki vertikal organisasi sosial, melalui peran dan hubungannya sesama manusia (hablum minan nas). Gerak dan ruang keluarga perlu dipahami secara dinamis. Ini terkait dengan bentuk dan ragam keluarga yang saling berbeda satu sama lain. Setiap keluarga tentu mempunyai standar kehidupan sendiri dalam menjalani perannya. Katakanlah itu dalam hal pembagian peran dan pemahamannya tentang hakikat keluarga. Selain itu, pengaruh perkembangan budaya juga mempengaruhi terhadap kehidupan keluarga. Ini terjadi karena institusi keluarga tidak bergerak secara statis, namun senantiasa terus berkembang mengikuti arus zaman. Menurut pandangan Islam, relasi yang diterapkan dalam keluarga sangat berpotensi untuk membimbing terwujudnya hubungan yang baik (mu’asyirah bil ma’ruf). Ikatan tersebut berawal melalui lembaga perkawinan yang bersifat mitsaqan ghalizhan yaitu perjanjian/ikatan yang kuat yang terbentuk melaui lembaga perkawinan. Perjanjian inilah (akad) yang kemudian bermanifestasi menjadi cikal bakal lahirnya konsep kesesuaian, keseimbangan dan ketahanan dalam keluarga. Kesesuaian tersebut menghasilkan out put yang bersifat mitra antara suami dengan istri, bukan lagi sebagai pemimpin dan yang dipimpin. Begitu juga dengan kehadiran anak. Seyogyanya, anak diposisikan sebagai anugrah yang maha kuasa agar senantiasa bersyukur dan bertanggung jawab atas kepercayaan yang disandang. Artikel ini disamping mengeksplorasi asumsi dasar mengenai institusi keluarga, juga akan mengkaji lebih jauh tentang konsep ketahanan keluarga dengan menggunakan kacamata sosial dan agama. ⃰ Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Volume 02 No. 02 November 2012
65 M O M E N T U M
Membangun Ketahanan Keluarga
Ketahanan Keluarga Keluarga dapat dipahami sebagai sebuah sistem. Sistem ini terjadi akibat adanya komunikasi dua arah (suami-istri) dan komunikasi segala arah bagi semua anggota keluarga (ayah, ibu dan anak). Maka, setiap komponen keluarga berfungsi untuk saling mengarahkan, membina, memberikan perhatian dan kasih sayang kepada setiap anggota keluarga. 1 Dalam rangka membangun dan mensejahterakan institusi keluarga, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera, disebutkan bahwa keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang mempunyai peran penting dalam pembangunan nasional, oleh karena itu perlu dibina dan dikembangkan kualitasnya agar senantiasa dapat menjadi keluarga sejahtera serta menjadi sumber daya manusia yang efektif bagi pembangunan nasional.2 Berdasarkan amanat Undang-Undang di atas, maka sudah menjadi suatu keharusan bagi setiap anggota keluarga untuk mengembangkan kualitas diri dan fungsi keluarga, tegasnya sumber daya manusia dalam keluarga. Pengembangan sumber daya manusia (SDM) berpotensi dalam membentuk kemandirian dan dalam pengembangan kualitas keluarga. Peningkatan SDM tersebut dapat berupa peningkatan pada sisi pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, mentalspritual serta nilai-nilai keagamaan yang sangat penting untuk membentuk pola pikir dalam menyikapi ragam persoalan. Hal ini dikarenakan manusia merupakan makhluk sosial, dan tak akan pernah bisa lepas dari pergulatan sosial. Manusia sebagai makhluk sosial atau yang menurut Aristoteles disebut dengan Zoon Politikon, dikodratkan hidup dalam kebersamaan dalam masyarakat. Kehidupan dalam kebersamaan berarti adanya hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Dalam hubungan sosial itu, pastinya selalu terjadi interaksi sosial yang mewujudkan jaringan/relasi sosial (a web of sosial relationship) yang disebut sebagai masyarakat. Relasi tersebut menuntut cara berperilaku antara satu individu dengan individu lainnya untuk mencapai suatu ketertiban. Agar tercapainya pola hubungan yang bersifat timbal balik sebagaimana di atas, dapat dilakukan dengan membangun mental dan jiwa yang mapan, salah satunya dengan pendidikan. Pendidikan dapat dilakukan secara internal dan non-formal berbasis keluarga. Jadi tidak hanya pendidikan yang diterapkan di sekolah formal. Alasannya adalah keluarga menjadi tempat paling strategis dalam membangun karakter manusia. Melalui pranata inilah anak manusia untuk pertama kalinya mengalami proses pendidikan yang sesungguhnya. Anak-anak mengenal cara berkomunikasi, berbahasa, berinteraksi dengan sesama. Hingga pada akhirnya, setiap anggota keluarga siap secara intelektual, pribadi, sosial, spiritual dan fisik. 3 Penanaman nilai-nilai atau yang lebih familiar dengan sebutan norma-norma4 tak ayal 1 Sofyan S. Willis, Konseling Keluarga (Bandung: ALFABETA, 2011), 143. 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera. 3 Mohamad Surya, Bina Keluarga, (Semarang: Aneka Ilmu, 2001), 12. 4 Norma juga merupakan sesuatu yang mengikat dalam sebuah kelompok masyarakat, yang pada keselanjutannya disebut norma sosial, karena menjaga hubungan dalam bermasyarakat. Norma pada dasarnya adalah bagian dari kebudayaan, karena awal dari sebuah budaya itu sendiri adalah intraksi antara manusia pada kelompok tertentu yang nantinya akan menghasilkan sesuatu yang disebut norma. Sehingga kita akan menemukan definisi dari budaya itu seperti ini; budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh Volume 02 No. 02 November 2012
66 M O M E N T U M
Membangun Ketahanan Keluarga
menjadi suatu keharusan. Penanaman ini, tidak hanya yang bersifat duniawi semata, pendidikan agama yang diterapkan dalam keluarga tetap menjadi pondasi utama. Bahkan harus dimulai sejak usia dini, terlebih jika edukasi tersebut diaplikasikan sejak bayi masih di dalam kandungan. Sejumlah masyarakat modern misalnya, telah memulainya dengan menggunakan berbagai metode seperti yang marak dilansir oleh media belakangan. Seluruh anggota keluarga ditanamkan suatu kesadaran untuk melakukan pilihan antara nilai-nilai yang dikategorikan salah atau benar, baik atau buruk, pantas atau tidak pantas. Kebiasan-kebiasaan itu dapat dimulai dengan mempraktekkannya dalam kegiatan sehar-hari. Kemudian berlanjut dengan internalisasi nilai-nilai sebagaimana di atas, hingga mendarah daging dalam kehidupan seluruh anggota keluarga. Mengutip pendapat Immanuel Kant (1724-1804), bahwa norma moral itu mengikat secara mutlak dan tidak tergantung dari apakah ketaatan atas norma itu membawa hasil yang menguntungkan atau tidak. Misalnya norma moral "jangan bohong" atau "bertindaklah secara adil" tidak perlu dipertimbangkan terlebih dulu apakah menguntungkan atau tidak, disenangi atau tidak, melainkan selalu dan di mana saja harus ditaati, entah apa pun akibatnya. Hukum moral mengikat mutlak semua manusia sebagai makhluk rasional.5 Pendapat yang dilontarkan Kant di atas mengasumsikan, bahwa moral menjadi bagian terpenting dalam pertumbuhan karakter manusia. Moral sejatinya dapat menjadi garda terdepan dalam menyikapi segelumit persoalan. Institusi keluarga pun ditantang untuk siap menggempur setiap perubuhan yang datang. Tak jarang, dalam menjalani proses tersebut, ketika keluarga tidak lagi memiliki ketahanan yang baik, tentu akan mengalami disorientasi nilai, yakni kehilangan arah dalam menentukan pilihan-pilihan hidup. Mobilitas yang berlebihan membuat beban dan fungsi keluarga menjadi lebih berat. Indikasinya akan melahirkan keluarga-keluarga yang keluar jalur (out-reach) atau berantakan. Jika sudah begini, sejumlah perilaku yang bersifat devian atau menyimpang akan lahir sebagai wujud ketidakmapanan. Menurut riset yang pernah dilakukan, ketidakmapanan peran seorang ayah atau ibu tanpa disadarai akan berimbas lansung terhadap anak. 6 Faktor penelantaran dan kekerasan adalah resiko yang cendrung dialami anak. Konflik suami istri menghadirkan problem baru bagi perkembangan anak. Anak akan cendrung mengalami masalah kesehatan mental yang berarti, serta berbagai kesulitan penyesuaian lainnya. Masalah kesehatan mental itu meliputi trauma, kecemasan, depresi, perilaku menantang, agresif, nakal dan sebagainya. 7 sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Berdasarkan klasifikasinya, norma dikelompokkan menjadi (1) Norma agama, yaitu peraturan hidup manusia yang berisi perintah dan larangan yang berasal dari Tuhan, (2) Norma moral/kesusilaan, yaitu peraturan atau kaidah hidup yang bersumber dari hati nurani dan merupakan nilai-nilai moral yang mengikat manusia, (3) Norma kesopanan, yaitu peraturan atau kaidah yang bersumber dari pergaulan hidup antar manusia, (4) Norma hukum, yaitu peraturan atau kaidah yang diciptakan oleh kekuasaan resmi atau negara yang sifatnya mengikat atau memaksa. Herimanto dan winarmo, Ilmu sosial & budaya dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010),132. 5 Kant, Fundamental Principles of the Metaphysics of Morals, Translated by Thomas K. Abbott (New York: The Bobbs-Merill Company, Inc., 1949), 57. 6 Robert I. Watson dan Henry Cly Lindgren, Psychology of the Child (New York: Jon Wiley and Sons, 1974), 187. 7 Gejala yang ditunjukkan di atas tarafnya bermacam-macam. Mulai dari yang paling ringan hingga yang paling berat. Umumnya, gejala psikologis tersebut dilandasi karena faktor lingkungan. Lingkungan merupakan jaringan yang berkaitan dengan faktor eksternal dan kondisi yang melingkupinya. Kondisi itulah yang kemudian membentuk kepribadian individu dan cara merespon berbagai problematika disekitarnya, seperti masalah keluarga Volume 02 No. 02 November 2012
67 M O M E N T U M
Membangun Ketahanan Keluarga
Perilaku negatif yang dilakukan anak, akan terus berlanjut hingga ke bangku pendidikan di sekolah formal. Anak akan terjebak pada ketidakmampuannya dalam mengikuti jam pelajaran dengan baik, menyelesaikan tugas dan mendapatkan nilai yang buruk. Dengan demikian, keluhan somatik8 seperti sakit kepala, sakit perut, asma, dan masalah eliminasi sering dialami oleh seorang anak. Apalagi pemberitaan di sejumlah media cetak maupun elektronik secara lugas menginformasikan, bahwa dunia pendidikan secara tidak lansung turut menerapkan beban ganda kepada peserta ajar. Seperti yang dilansir oleh Dirjen Pendidikan Dasar Kemendikbud, Suyanto, beberapa waktu lalu, bahwa jumlah pelajaran yang berlaku saat ini membebani siswa.9 Kurikulum pendidikan yang di luar batas kemampuan dan kebutuhan siswa, penambahan waktu belajar dengan mendorong anak mengikuti jam pelajaran tambahan, penerapan sanksi-sanksi yang kurang menunjang tercapainya tujuan pendidikan, disertai disiplin yang terlalu ketat, ketidakharmonisan antara peserta didik dan pendidik, kurangnya kesibukan belajar di rumah adalah sekelumit persoalan yang dihadapi anak. Proses pendidikan seperti ini jelas sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan anak. Konflik keluarga dan pembiaran yang terus-menerus akan berujung pada kenakalan remaja. Meskipun demikian, jika meminjam konsep yang ditawarkan Aristoteles di atas, institusi keluarga pada dasarnya tidak berdiri sendiri. Sejumlah paguyuban yang langgeng di tengah masyarakat turut menopang pertahanan dari institusi keluarga. Keluarga tumbuh dan berkembang dalam institusi sosial sebagai bagian dari sistem sosial keseluruhan. Lembagalembaga kemasyarakatan-pun turut menjadi suplemen dalam membentuk kepribadian anak bangsa, seperti (a) Memberikan pedoman pada anggota-anggota masyarakat, bagaimana mereka arus bersikap atau bertingkah laku dalam menghadapi masalah-masalah yang muncul di lingkungan masyarakat, termasuk yang menyangkut hubungan pemenuhan kebutuhan (b) Menjaga keutuhan masyarakat yang bersangkutan (c) Memberikan pengarahan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial, yaitu sistem pengawasan masyarakat terhadap anggota-anggotanya.10 Disinilah letak pentingnya penguatan ketahanan keluarga, baik yang berasal dari internal keluarga, maupun dari interaksi yang ditawarkan lembaga kemasyarakatan dalam membentuk kepribadian bagi masing-masing anggota keluarga. Ketika dua hal ini telah dilaksanakan secara optimal mulai dari pengenalan norma-norma, adat istiadat, tradisi dan berbagai pranata sosial dan kekerasan. Dadang Hawari, Al-Qur’an, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan JIwa (Yogyakarta: PT. Dhana Bhakti Prima Yasa, 1995), 43-45. 8 Gejala dan keluhan somatik (psikomatis) adalah penyakit fisik dengan keluhan fisik yang disertai gejalagejala fisik yang nyata. Gejala ini cukup serius untuk menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Penyebabnya adalah tekanan psikologis atau stress. Menurut Bath, gejala pada anak tidak sepenuhnya sama dengan gejala yang dialami orang dewasa. Lihat, Bath, ”The Three Pillars of Trauma Informed-Care.” dalam Journal Reclaiming Childreen and Youth, Vol.17, No.3, 2008, 17-21. Lihat Juga Tjipto Susana, ”Pendekatan Tiga Pilar Terhadap Anak Yang Mengalami Trauma Kekerasan” dalam Jurnal Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga, Vol. II, No. 3, 2009, 24-25. 9 Harian Republika, 19 Oktober 2012,1 10 Kehadiran lembaga sosial sangat berpengaruh besar terhadap implementasi norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada kebutuhan pokok manusia, dalam arti bahwa norma kemasyarakatan itu dikenal, diakui, dihargai, dan kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut lihat, Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007). Volume 02 No. 02 November 2012
68 M O M E N T U M
Membangun Ketahanan Keluarga
lain, tentu akan mendatangkan warna baru yang dapat mengilhami seluruh lapisan masyarakat, terutama keluarga. Peranan dalam Keluarga Peranan adalah tindakan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu peristiwa, atau bagian yang dimainkan seseorang dalam suatu peristiwa.11 Peranan lebih banyak menunjukan pada fungsi, penyesuaian diri, dan sebagai suatu proses. Dalam konteks ini, peranan berarti kedudukan seseorang di dalam dinamika masyarakat pada saat ia menjalankan peraturan. Peranan mempunyai aspek-aspek sebagai berikut: 1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi seseorang di dalam masyarakat. Dalam arti ini, peranan meliputi rangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat. 2. Peranan adalah suatu konsep, perihal yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi. 3. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur social masyarakat.12 Ivan Nye, yang meraih gelar Ph.D dalam studi Sosiologi di Universitas California, membagi teori yang berkenaan tentang sosiologi keluarga, yang salah satunya adalah role theory atau teori peran.13 Role theory adalah teori tentang bagaimana individu mengambil peran dalam hidup. Menurut role theory, peranan adalah sekumpulan tingkah laku yang dihubungkan dengan suatu posisi tertentu, peranan yang berbeda membuat jenis tingkah laku yang berbeda pula, tetapi apa yang membuat tingkah laku itu sesuai dalam suatu situasi dan tidak sesuai bagi situasi lain, relatif independent (bebas) pada seseorang yang menjalankan peranan tersebut. Menurut role theory, sebenarnya dalam pergaulan sosial sudah ada skenario atau peranperan yang telah disusun oleh masyarakat, yang mengatur apa dan bagaimana peran setiap orang dalam pergaulannya. Jika seorang mematuhi skenario, maka hidupnya akan harmonis, tetapi jika menyalahi skenario, maka ia akan dicemooh oleh ”penonton” dan ditegur oleh ”sutradara”. Sebagai contoh, seorang individu yang dinobatkan oleh masyarakat untuk menjadi seorang pemimpin, sebut saja RT atau RW, yang mengatur proses interaksi sosial. Demikian juga dengan peran suami, isteri, ayah, ibu, anak, dan seterusnya. Hal ini dikarenakan keluarga merupakan suatu sistem peranan, dimana setiap anggotanya nempunyai peranan yang berbeda namun saling melengkapi. Dalam masyarakat tradisional struktur peran terlihat kontras satu sama lain. Berbeda dengan masyarakat teknologi maju (modern), tampaknya ditandai dengan keharusan dan luasnya berbagi peran. Dalam kehidupan rumah tangga misalnya, untuk memenuhi segala kebutuhan hidup yang bersifat primer maupun skunder, tentunya suami, istri dan anak harus 11 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia.1997. (Jakarta: Balai Pustaka), 751. 12 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo, 1987), 221. 13 F. Ivan Nye, “Role Constructs: Measurement,” dalam F. Ivan Nye, Role Structure and Analysis of The Familiy (Beverly Hills - London: Sage Publications, 1976), 15. Volume 02 No. 02 November 2012
69 M O M E N T U M
Membangun Ketahanan Keluarga
melakukan pembagian peran. Ketika suami berperan sebagai pencari nafkah, sementara istri tidak bekerja menghasilkan pundi-pundi ekonomi, maka sudah selayaknya istri mengambil peran pada wilayah domestik. Begitu juga sebaliknya. Namun, ketika suami dan istri samasama bekerja untuk mencari nafkah, pembagian peran tentu harus dibagi secara bijak. Tanpa mengenyampingkan kewajiban lain seperti pengasuhan anak. Oleh karena itu, harus diasumsikan bahwa tidak semua pasangan akan memberlakukan peran serupa. Dalam kerangka peran ini, dua ukuran peran yang penting ditetapkan: 1. Pembagian kerja antara suami-isteri, dan 2. Pembagian antara mereka dan pelaku peran lain, baik dalam keluarga maupun dalam organisasi sosial lainnya. Ini memungkinkan berlakunya gambaran peran oleh anggota keluarga lain atau menyewa pembantu. Sebagai contoh, sejumlah istri berperan sebagai ibu rumah tangga yang bertugas memenuhi kebutuhan keluarganya seperti memasak, mencuci dan sebagainya. Pekerjaan tersebut tidak berarti bahwa mereka memiliki kewajiban untuk melakukannya secara terusmenerus dan akan mendapatkan sanksi jika mereka tidak melakukannya pada konteks tertentu. Hal yang sama dapat dilihat dari sisi suami. Ketika suami bekerja sebagai buruh atau kantoran, tidak menutup kemungkinan akan menerima resiko seperti habis kontrak, dipecat bahkan pensiun. Pada masa transisi itu, istri dapat menyikapi posisi suaminya dengan membantu peran suaminya pada wilayah ekonomi, hingga ekonomi keluarga pulih dan stabil kembali. Frank Fincham, profesor di State University of New York di Buffalo dan Thomas Bradbury, Profesor di universitas UCLA, lebih dari satu dekade menelusuri efek emosi bagi pasangan suami istri. Menurut hasil penelitian yang dilakukan, sikap optimis (saling percaya dalam berbagi peran) masing-masing pasangan membantu dalam hubungan perkawinan. Dalam tulisannya, dinarasikan bahwa pasangan yang baik adalah pasangan yang selalu membicarakan setiap permasalahan yang datang kepadanya. Ketika seorang istri merasa tidak senang/nyaman, suami sehendaknya segera berusaha untuk menemukan penjelasan temporer atas ketidaknyamanan istrinya. Sebaliknya, hubungan yang tidak baik adalah ketika hubungan itu dimulai dengan emosi yang pesimis. Hubungan pesimis disini dimaksudkan sebagai hubungan yang tertutup dan tidak terbuka satu sama lain. Suami atau istri tidak mau meluangkan waktunya untuk bercerita dan sharing ketika terjadi miskomunikasi atau perpecahan diantara mereka. Akibatnya, pasangan tersebut akan saling menyalahkan dan merasa sama-sama berada di pihak yang benar.14 Perbedaan pandangan dan sikap di atas dapat mengarah pada konflik peran (role conflict), dimana pelaksanaan kegiatan atau kerja dengan satu tekanan dapat menyulitkan hal yang lain dengan tekanan yang menyertainya. Role conflict memiliki beberapa tipe: 1. Konflik antara individu dengan perannya, yaitu konflik yang terjadi antara kepribadian individu dan harapan akan perannya. Tegasnya, konflik akan muncul dalam diri individu pemegang peran, jika peran yang diterima oleh individu tersebut bertentangan atau tidak konsisten dengan harapan. 2. Konflik intrarole (intrarole conflict), yaitu konflik yang dihasilkan oleh harapan yang kontradiktif terhadap bagaimana peran tertentu harus dijalankan, atau konflik yang 14 Martin E.P Seligman, Authentic Happiness, terj. Jalaluddin Rakhmat (Bandung: Mizan, 2005), 257-259. Volume 02 No. 02 November 2012
70 M O M E N T U M
Membangun Ketahanan Keluarga
terjadi ketika individu-individu pemegang peran dengan harapan yang berbeda saling berinterkasi. 3. Konflik interrole (interrole conflict), konflik ini dihasilkan dari persyaratan yang berbeda dari dua atau lebih peran yang harus dijalankan pada saat bersamaan. 4. Konflik overrole (overrole conflict) merupakan tipe konflik peran yang lebih kompleks. Konflik ini terjadi ketika harapan yang dikirimkan pada pemegang peran dapat digabungkan, akan tetapi kinerja mereka melampaui jumlah waktu yang tersedia bagi orang yang melaksanakan aktivitas yang diharapkan. Sebagai solusi atas permasalahan pasangan yang cenderung pesimis (tidak percaya akan peran masing-masing pasangan), terdapat teknik-teknik yang dapat berguna untuk melakukan percakapan sehari-hari. Salah satunya adalah teknik yang disebut ”ritual pembicarapendengar”. Dalam menjaga hubungan agar tetap selalu baik, teknik ini penting untuk digunakan. Karena bagi pasangan yang sedang bermasalah, hampir setiap diskusi adalah sensitif dan gampang memuncak hingga menyebabkan pertengkaran. Ketika suami atau istri merasa bahwa perbincangan tentang uang, seks, mertua merupakan hal yang sensitif, maka, teknik ritual di atas penting untuk dilakukan. Saat ritual ini dijalankan, sekiranya butuh selembar tikar atau tempat nyaman yang hanya bisa diduduki oleh pihak pembicara. Artinya, pada tahap ini yang berhak berbicara hanyalah pihak yang memegang tikar. Sementara yang tidak memiliki tikar saat itu hanyalah sebagai pendengar. Pada saat tertentu, si pembicara akan menyerahkan tikarnya kepada pihak pendengar. Artinya saat itu si pendengar telah menjadi pembicara, begitu juga sebaliknya. Ritual ini berisi tentang menyimak dan menanggapi, tetapi tidak menafsirkan, serta upaya dalam menemukan solusi bagi permasalahan yang sensitif.15 Oleh karena itu, ketahanan sebuah keluarga haruslah dimulai dari metode pembagian peran yang baik dan benar. Pembagian tersebut harus terlepas dari bayang-bayang pesimis, ketidakpercayaan, menguasai dan kekerasan. Dengan adanya perhatian dan perasaan bahwa pasangannya tidak akan tergantikan, seyogyanya keharmonisan dalam keluarga akan tetap terjaga. Kemampuan menyimak dan berbicara sebagaimana ritual di atas adalah jalan keluar terbaik saat menghadapi masalah. Membangun Keluarga Dengan Semangat Al Qur’an Pada kajian sosiologi, dinamika yang terungkap dalam institusi keluarga dipotret melalui jalinan interaksi dan relasi sosial yang berkembang. Ikatan yang membentuk keluarga dapat dikatakan sebagai perjanjian yang kokoh (a stable covenant), kasih sayang yang tulus (founded on sincere affection), kerjasama yang kompak (genuine co-operation), perawatan yang komperhensif (comprehensive care), dan saling menghormati (mutual respect).16 Hal tersebut tidak lain supaya keluarga bisa bermartabat dan berkepribadian yang penuh tanpa ada
15 Ibid., 264. 16 Meskipun Anderson berangkat sebagai peneliti yang diklaim sebagai outsider, namun hasil temuannya memiliki sudut pandang tersendiri dan relevan dengan studi keluarga dalam Islam. Lihat, J. N. D. Anderson. Source, “Reforms in Family Law in Morocco”, Journal of African Law: Cambridge University Press on Behalf of the School of Oriental and African Studies, Vol. 2, No. 3, 1958, 148. Volume 02 No. 02 November 2012
71 M O M E N T U M
Membangun Ketahanan Keluarga
penghalang dan ketimpangan peran dan hak antara suami, istri dan anak. Berbeda dengan ketentuan yang bersumber dari Al Qur’an, gejala dan interaksi sosial yang ditunjukkan oleh manusia terikat oleh aturan Tuhan yang disebut Taqdir (Q.S Al Furqan: 2; Yasin: 38). Gejala kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, yang memiliki karakteristik individual dankolektif, terikat oleh hukum Allah yang disebut Sunnatullah (Q.S Al-Ahzab: 38, 62: Fathir: 43; Al-Mu’min: 85; Al-Fath: 23), yang secara empiris dikenal sebagai gejala perilaku manusia (human behaviour). Sementara itu, gejala kehidupan manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan berperadaban, yang memiliki keyakinan dan norma-norma kehidupan, terikat oleh hukum Allah yang disebut Syari’ah (Q.S Al-Syura: 13, Al-Jatsiyah: 18). Suatu “jalan kehidupan menuju mata air kebahagiaan”, sebagaimana tertuang dalam berbagai perintah (al-awamir) dan larangan (al-nawahi) Allah, yang secara empiris dikenal sebagai gejala budaya. Kandungan Q.S Al-Hujurat: 13, misalnya, menunjukkan bahwa manusia yang diciptakan Allah dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan dapat dipandang sebagai makhluk biologis. Ketika manusia dijadikan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, dapat dipandang sebagai makhluk sosial. Sedangkan ketika menusia diperintahkan untuk saling mengenal dan penilaian terhadap derajat mereka dengan menggunakan tolak ukur ketakwaan, dapat dipandang sebagai makhluk budaya, yang memiliki keyakinan dan terikat oleh normanorma kehidupan.17 Uraian di atas semakin menegaskan bahwa kehidupan manusia dalam berperilaku (taklif) terikat oleh hukum Tuhan. Ketentuan hal ini tidak terlepas dari norma atau kaidah yang ditetapkan. Namun, kebutuhan sosial masyarakat tidak selamanya termaktub di dalam titah Tuhan ataupun rasul-Nya secara eksplisit.18 Oleh karena itu, diperlukan suatu usaha untuk memahami Al Qur’an dan Sunnah yang kemudian disebut ijtihad; dan produk ijtihadnya disebut fikih.19 Fikih keluarga secara etimologi disebut juga dengan Al Ahwal Asy Syakshiyyah. Fikih ini merupakan grand design dari konsep keluarga ideal untuk mewujudkan ketahanan keluarga menurut pandangan Islam. Al Qur’an telah menegaskan bahwa, pembentukan jalinan keluarga dimaksudkan sebagai upaya (1) memelihara kehormatan diri (hifzh al-nafs) agar mereka tidak terjerumus ke dalam perbuatan terlarang, (2) memelihara kelangsungan kehidupan manusia/keturunan (hifz al-nasl) yang sehat, (3) mendirikan kehidupan rumah tangga yang dipenuhi kasih sayang antara suami dan istri dan saling membantu antara keduanya untuk kemaslahatan bersama.20 Secara istilah/terminologi fikih keluarga Islam adalah fikih yang mengatur kehidupan keluarga yang dimulai dari awal pembentukan keluarga (peminangan), sampai dengan berakhirnya keluarga (wafat atau perceraian) yang berisi pembahasan seputar munakahat (perkawinan), mawaris (pewarisan) dan juga wakaf.21 17 Cik Hasan Bisri, Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), 8. 18 Dalam hal ini para ulama’ merumuskan suatu kaidah, sebagaimana yang dikutip oleh T.M Hasbie AshShiddieqy, “ ًْ” انٕقائع تُاًْ ٔعدو انُصٕص تُا. T.M Hasbie Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 45. 19 Jaih Mubarok, Ijtihad Kemanusiaan, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), 9. 20 QS. Al-Rum (33): 21. 21 Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, (Yogyakarta: Volume 02 No. 02 November 2012
72 M O M E N T U M
Membangun Ketahanan Keluarga
Namun secara umum pengertian keluarga dapat dilihat dari dua sisi, pengertian sempit dan pengertian luas. Keluarga dalam pengertian sempit adalah kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami, isteri, dan anak yang berdiam dalam satu tempat tinggal. 22 Tujuannya adalah untuk mengatur hubungan antara suami, istri, dan anak dalam keluarga.23 Mengingat sangat pentingnya peran keluarga dalam kehidupan ini, maka Islam juga telah menawarkan konsep tentang keluarga, yang disebut oleh Al-Qur’an dengan istilah keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah.24 Hubungan suami istri dalam keluarga diibaratkan seperti pakaian/libas. Suami adalah pelindung bagi istri, dan istri adalah pelindung bagi suami. Sebagaimana dinyatakan dalam surat QS. Al-Baqarah (2): 187 ٍْ نبا ش نكى ٔاَتى نبا ش نٍٓ عهى هللا اَكى كُتى تختإٌَ اَفسكى فتا ب عهٍكى ٔعفا عُكى Menurut Said Agil, kata sakinah diambil dari akar kata yang terdiri atas huruf sin, kaf, dan nun yang mengandung makna ketenangan, diam atau tidak bergerak, Antonim dari guncang dan gerak. Berbagai bentuk kata yang terdiri atas ketiga huruf tersebut semuanya bermuara pada makna di atas. Rumah dinamai maskan karena ia merupakan tempat untuk meraih ketenangan setelah sebelumnya sang penghuni bergerak (beraktivitas di luar rumah). Mawaddah adalah jenis yang lebih melihat kualitas pribadi pasangan, dan rahmah adalah jenis cinta kasih yang lembut, siap berkorban dan siap memberi perlindungan kepada yang dicintai.25 Disebutkan bahwa sakana juka mempunyai derivasi sukkan, yang berarti penduduk, artinya keluarga adalah persekutuan atau perkumpulan hidup yang dimulai dengan pernikahan. Sehingga mengandung makna, keluarga sakinah adalah hidup berekelompok atara dua insan yang berbeda jenis kelamin untuk membentuk intraksi antara pasangan dan anggota keluarga yang didahului dengan upacan akad nikah. Atas dasar itu, terpenuhinya konsep sakinah, mawaddah dan rahmah dalam keluarga berarti telah mencerminkan ajaran Al Qur’an yang disebut mu’asyarah bi al-ma’ruf (pergaulan suami istri yang baik),26 serta keseimbangan antara hak dan kewajiban. Ayat-ayat ini memberikan pengertian bahwa Tuhan menghendaki perkawinan dan relasi suami istri berjalan dalam pola interaksi yang harmonis, suasana hati yang damai serta keseimbangan hak dan kewajiban. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa mu’asyarah bi al-ma’ruf merupakan landasan moral yang harus dijadikan acuan dalam semua hal yang menyangkut hubungan suami-istri.27 Prinsip keseimbangan dalam keluarga, mengandung pengertian bahwa baik suami maupun istri memilki kewajiban yang sama, yakni melaksanakan perintah-perintah agama. ACAdeMIA+TAZAFFA,2007), 5-6. 22 Dalam hal ini disebut juga dengan nuclear family atau keluarga inti (al usrah). Selain itu juga dikenal Al ‘Ailah,yang merupakan pengertian luas atau bisaa dikenal dengan extended family. Lebih lanjut lihat, Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), 63. 23 Abd al-Wahhab Khallaf, “Ilmu Ushul al-Fiqh, cet ke-8, (ttp: Maktabah al-Da’wah, 1989), 32. 24 QS: Ar-Rum (30): 21 25 Said Agil Husin al-Munawwar, Agenda Generasi Intelektual: Ikhtiar Membangun Masyarakat Madani (Jakarta: Pena Madani, 2003), 62-63. 26 QS. An-Nisa’ (4):19 dan QS. Al-Baqarah (2):228 27 Badriyah Fayumi, Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda (Yogyakarta : LKiS, 2002), 106-107. Volume 02 No. 02 November 2012
73 M O M E N T U M
Membangun Ketahanan Keluarga
Dalam tatanan relasi antar manusia, setiap laki-laki maupun perempuan memiliki peluang yang sama untuk memperoleh pahala bila mampu menjalankan perintah agama. Dan memiliki peluang yang sama untuk di azab bila masing-masing dari keduanya melanggar perintahperintah tersebut. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Surat An-Nahl (16):97 yang berbunyi:
ٌٕيٍ عًم صهذا يٍ ذكر أ اَثى ْٕٔ يؤيٍ فهُذٍٍُّ دٍٕة طٍبت ٔنُجسٌُٓى اجر ْى با دسٍ يا كا َٕا ٌعًه Diriwayatkan dari Hamid Ibn Nafi’ dari Ummu Kulsum binti Abu Bakar Shiddiq, bahwa Nabi pada suatu ketika di malam hari, didatangi oleh tujuh puluh perempuan yang kesemuanya mengadukan perihal pemukulan yang dilakukan suami mereka.28 Atas kejadian itu, Nabi menjadikan salah satu misi dakwah terpentingnya yakni membenahi tatanan kehidupan rumah tangga menuju keluarga sakinah, jauh dari perilaku kasar, penghinaan dan pemukulan. Dalam salah satu khutbahnya, dengan nada yang sedikit keras, Nabi menyeru para suami untuk meninggalkan perilaku-perilaku kasar dan melarang memukul istri-istri mereka. Sebagaimana sabda beliau, “Janganlah kamu memukul istrimu seperti kamu memukul budakmu, yang kemudian di malam harinya kamu gauli, tidakkah kamu malu.”
ددثُا دمحم بٍ ٌٕسف ددثُا سفٍاٌ عٍ ْشاو عٍ أبٍّ عٍ عبد هللا بٍ زيعت عٍ انُبً صهى هللا عهٍّ ٔ سهى قال ال 29 ٌجهد أددكى ايرأتّ جهد انعبد ثى ٌجايعٓا فً آخر انٍٕو Dalam hadis yang diriwayatkan Sunan Ibn Majah di atas, merupakan peringatan bagi para suami akan hak dan kewajibannya terhadap istrinya. Perintah berbuat baik dan larangan bertindak kekerasan, pada dasarnya sejalan dengan prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh Al Qur’an. Sehubungan dengan itu, dapat diambil benang merah bahwa hubungan suami dan istri yang ideal sebagaimana yang telah dituntun oleh Rasulullah adalah sebagai berikut: Suami ideal adalah: 1. Suami yang dapat berperan sebagai qawwam, bertanggung jawab, serta dapat melindungi dan mengayomi istri. 2. Suami yang mampu memberikan nafaqah secara hasanah. 3. Menjadi mitra istri dalam mengokohkan budi pekerti dan akhlak mulia 4. Mendukung, mengembangkan potensi dan aktualisasi diri istri sebagai khalifatullah 5. Memberi perhatian dan selalu menjaga nama baik istri dan keluarganya. 6. Menciptakan hubungan yang demokratis dan seimbang dalam pengambilan keputusan dalam keluarga. 7. Mendialogkan dengan cara ma’ruf setiap masalah yang dapat menimbulkan konflik. 8. Menghindari berbagai bentuk kekerasan, baik melalui ucapan, tindakan yang dapat menyebabkan penderitaan fisik maupun psikis. Istri ideal adalah: 1. Qanitah, yaitu taat pada norma-norma agama, moral dan hukum. 2. Hafizhah yaitu menjaga kehormatan diri dan amanah
28 Khalil Abdul Karim, al-Sahabah wa al-sahabah (Kairo: Sina Li Nasyr, 1997), 410-411. 29 CD Room Mausu’ah al-Hadis asy-Syarif al-Kutubu at-Tis’ah, 4908 باب و ٌكرِ يٍ ضرب انُساء, كتاب انُكاح, صذٍخ انبخاري Volume 02 No. 02 November 2012
74 M O M E N T U M
Membangun Ketahanan Keluarga
3. Menjadi mitra suami dalam mewujudkan kesakinahan keluarga. 4. Mengembangkan potensi dan aktualisasi diri sebagai khalifatullah. 5. Bermusyawarah dengan suami dalam mengambil keputusan untuk kepentingan pengembangan diri, keluarga dan masyarakat.30 Kesimpulan Terwujudnya ketahanan keluarga seyogyanya tidak lepas dari beberapa faktor yang mempengaruhinya. Diantara faktor-faktor tersebut adalah upaya membentuk kepribadian anggota keluarga yang syarat dengan nilai atau norma. Hal itu penting disegerakan mengingat nilai atau norma adalah stimulan dalam pembentukan konsep diri. Dengan demikian, upaya tersebut harus berangkat melalui proses pembudayaan serta pemberdayaan mulai dari tingkat keluarga hingga masyarakat. Faktor lain yang mempengaruhi ketahanan keluarga adalah keluwesan dalam berbagi peran. Ibarat pementasan teater, alur cerita tidak akan berjalan lancar ketika setiap aktor tidak menjalani perannya dengan baik dan benar. Semuanya tentu harus dilakukan secara berimbang. Pemenuhan hak dan kewajiban ditopang atas dasar amanah dan tanggung jawab. Ketika tawaran di atas dapat diterapkan secara optimal, pewacanaan kehidupan konsep keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah tentu akan mudah terealisasikan. Serupa dengan apa yang pernah diajarkan Rasulullah dalam sunahnya, bahwa Rasulullah meletakkan standard indikasi kesuksesan dunia dan akhirat dengan raihan trust, competence dan responsibility. Daftar Pustaka Agil, Husin al-Munawwar, Said, Agenda Generasi Intelektual: Ikhtiar Membangun Masyarakat Madani. Jakarta: Pena Madani, 2003. Ash-Shiddieqy, Hasbie, Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Bath, ”The Three Pillars of Trauma Informed-Care”, Journal Reclaiming Childreen and Youth, Vol.17, No.3, 2008. CD Room Mausu’ah al-Hadis asy-Syarif al-Kutubu at-Tis’ah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1997). Djihantini, Noordjannah, ed., Memecah Kebisuan, Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan, Respon Muhammadiyah. Jakarta: KOMNAS Perempuan, 2009. E.P Seligman, Martin, Authentic Happiness. Terj. Jalaluddin Rakhmat. Bandung: Mizan, 2005. Fayumi, Badriyah, Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda. Yogyakarta : LKiS, 2002. Hawari, Dadang, Al-Qur’an, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta: PT. Dhana Bhakti Prima Yasa, 1995. Herimanto dan winarmo, Ilmu sosial & budaya dasar. Jakarta: Bumi Aksara, 2010. 30 Noordjannah Djihantini (ed.), Memecah Kebisuan, Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan, Respon Muhammadiyah (Jakarta: KOMNAS Perempuan, 2009), 147-149. Volume 02 No. 02 November 2012
75 M O M E N T U M
Membangun Ketahanan Keluarga
I. Watson, Robert dan Henry Cly Lindgren, Psychology of the Child. New York: Jon Wiley and Sons, 1974. J. N. D. Anderson. Source, “Reforms in Family Law in Morocco”, Journal of African Law: Cambridge University Press on Behalf of the School of Oriental and African Studies, Vol. 2, No. 3, 1958 Kadir Muhammad, Abdul, Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993. Kant, Fundamental Principles of the Metaphysics of Morals, Translated by Thomas K. Abbott. New York: The Bobbs-Merill Company, Inc., 1949. Khallaf, Abd al Wahhab Ilmu Ushul al-Fiqh, cet ke-8, ttp. Maktabah al-Da’wah, 1989. Mubarok, Jaih, Ijtihad Kemanusiaan. Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005. Nasution, Khoiruddin, Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia. Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZAFFA, 2007. Nye, F. Ivan, “Role Constrcts: Measurement,” dalam F. Ivan Nye, Role Structure and Analysis of The Familiy. Beverly Hills - London: Sage Publications, 1976. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera. S. Willis, Sofyan, Konseling Keluarga. Bandung: ALFABETA, 2011.
76 M O M E N T U M
Volume 02 No. 02 November 2012
Ber-Multikultural Dalam Feminisme
BER-MULTIKULTURAL DALAM FEMINISME Oleh
Fina ‘Ulya⃰
[email protected] Abstrak Segala yang ada di dunia tidak ada yang tunggal, semuanya beragam dan memiliki keunikan masing-masing. Dalam dunia feminisme yang merupakan salah satu warna dalam ragam prespektif manusia dalam melihat relasi laki-laki dan perempuan juga memiliki keragaman dalam dirinya. Keragaman tersebut niscaya melahirkan konflik walau dengan tingkatan yang beragam, ada yang kecil bahkan juga ada yang besar. Keragaman dalam tubuh feminisme bukan lahir dari dunia yang hampa, semua berkait kelindan dengan problem, kultur, budaya dimana feminisme itu lahir. Satu model feminisme tidak serta merta dapat diaplikasikan dalam lingkungan lain yang berbeda dari konteks dan budaya dimana feminisme tersebut lahir. Sehingga setiap negara ataupun suku bangsa memiliki model-model feminisme sendiri yang pastinya sesuai dengan masalah yang dihadapi, kultur, tradisi dari suku bangsa tersebut. Dan bagaimana keragaman dalam tubuh feminisme tersebut bukan menjadi bom yang setiap saat bisa meledak tetapi merupakan wajah-wajah yang saling menguatkan satu sama lain sehingga cita-cita awal untuk mengeluarkan perempuan dari ketertindasan dan kekerasan bisa tercapai, dan pastinya menciptakan dunia yang aman, damai dan sejahtera. Kata kunci: feminisme, keragaman, konflik, kesetaraan, kedamaian.
Pendahuluan Pergerakan sosial dan juga politik yang lama bertahan adalah pergerakan feminis. Hal itu tidak lepas dari kekerasan dan diskriminasi yang menimpa perempuan selama berabad-abad, sehingga anggapan negatif terhadap perempuan sudah sangat melekat dalam pikiran manusia. Beberapa anggapan negatif dilekatkan kepada perempuan, di antaranya Aristoteles mengatakan A woman is the last link between animal and human beings, sedang Socrates mengatakan bahwa perempuan adalah sumber terbesar dari kekacauan dan perpecahan di dunia.1 Selain pendapat para filosof di atas, tradisi suatu bangsa dan agama juga memberikan nilai rendah terhadap perempuan. Perjalanan feminisme yang sudah sangat panjang, telah mengalami perubahan dalam berbagai hal, mulai dari isu-isu yang diangkat, metode dan juga media yang digunakan untuk menyuarakan kepentingan perempuan dengan tetap mengangkat perempuan dalam tema sentralnya. Berbagai hambatan dan rintangan telah banyak dihadapi kaum feminis untuk memperjuangkan hidup damai nir-kekerasan terhadap perempuan, terutama dari budaya patriarkhi yang sudah tertanam berpuluh-puluh abad dalam diri manusia, sehingga secara tidak sadar telah menjadi bagian dari diri mereka dan terejawantahkan dengan nyata dalam perlakuan mereka terhadap perempuan dalam kehidupan sehari-hari. ⃰ Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 1 Witri Asriningsih, “Pengantar” dalam Yusuf Qordhowi, Panduan Fiqih Perempuan. Diterjemahkan oleh Ghazali Mukri (Yogyakarta: Salam Pustaka, 2004), vii. Volume 02 No. 02 November 2012
77 M O M E N T U M
Ber-Multikultural Dalam Feminisme
Perjuangan perempuan lambat laun membuahkan hasil, walaupun demikian hal itu belum dapat menggeser budaya patriarkhi yang sudah mengakar kuat dalam diri manusia. Pada tahun 1960-an, pergerakan perempuan dengan cepat menjadi kekuatan politik yang menyebar di Eropa dan Amerika. Landasan teoritis yang dipakai dalam gelombang ini adalah feminisme liberal, feminisme radikal, dan feminisme Marxis/Sosialis. Semakin berkembangnya teori-teori dan aliran-aliran dalam tubuh feminisme semakin menambah kekayaan keragaman dalam tubuh feminisme. Akan tetapi, hal itu tidak berarti sepi dari konflik antar aliran. Setiap aliran memiliki sudut pandang, metode dan isu yang berbeda, sekalipun isu sentralnya tetap perempuan. Hal ini terkadang melahirkan konflik yang sebenarnya semakin mendewasakan feminisme akan tetapi juga dapat membuat tujuan utama untuk membebaskan perempuan dari berbagai praktik kekerasan menjadi terbengkalai. Oleh karena itu tulisan ini melihat adanya keragaman dalam tubuh feminisme dan bagaimana membuat keragaman bukan sepi dari konflik tetapi menggeser dan bahkan mengubah perbedaan dan konflik menjadi sesuatu yang harmoni dan mewujudkan cita-cita utamanya untuk membebaskan perempuan dari berbagai model kekerasan. Warna-Warni Multikultural Dalam Hidup Di dunia terdapat berbagai identitas, yang satu sama lain memiliki kesamaan dan juga perbedaan. Identitas-identitas tersebut memiliki wajah yang beragam yang memiliki pandangan hidup yang berbeda, dan terkadang berbeda dengan kebudayaan dominan masyarakat luas. Kelahiran identitas-identitas tersebut semakin marak pada empat dekade terakhir abad ke-19, seperti masyarakat pribumi, minoritas kebangsaan, bangsa-bangsa etnik-budaya, imigran baru dan lama, feminis, kaum gay dan lesbian, tidak ketinggalan juga kaum hijau. Semuanya menuntut pengakuan, penerimaan, penghormatan dan bahkan penegasan politik atas perbedaan identitas mereka oleh masyarakat luas.2 Kelompok-kelompok di atas tidak akan dapat mengungkapkan identitas dirinya di depan masyarakat jika tidak ada “kebebasan”. Keragamaan identitas dan juga perbedaan yang ada di dunia ini seringkali dikaitkan dengan istilah multikulturalisme. Bikhu Parekh menjelaskan apa yang disebut dengan multikulturalisme: “…multikulturalisme tidak melulu mengenai perbedaan dan identitas itu sendiri; yakni suatu kumpulan tentang keyakinan dan praktek-praktek yang dijalankan oleh satu kelompok masyarakat untuk memahami diri sendiri dan dunianya, serta mengorganisasikan kehidupan individual dan kolektif mereka. Tidak seperti perbedaan yang muncul dari pilihan individu, perbedaan yang diperoleh secara kultural membawa satu tolok ukur autoritas dan diberi bentuk serta distrukturkan karena dilekatkan dalam satu sistem arti dan makna yang diwariskan dan dimiliki bersama secara historitas”.3 Keragaman, perbedaan atau heterogenitas adalah sebuah keniscayaan, bahkan sangat sulit untuk menemukan sebuah tatanan sosial yang seragam, homogen, dan setara dalam tiap sisi kehidupan. Heterogenitas tersebut memasuki ruang-ruang kehidupan manusia dengan berbagai 2 Bikhu Parekh, “Pengantar” dalam Rethinking Multiculturalism: Keberagamaan Budaya dan teori Politik (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 13-14. 3 Ibid., 15. Volume 02 No. 02 November 2012
78 M O M E N T U M
Ber-Multikultural Dalam Feminisme
bentuk variasi, pola, dan karakternya masing-masing, sehingga mampu menampilkan berbagai wujud berbeda sesuai dengan konteks situasi perbedaan tersebut. Kebudayaan yang dihasilkan manusia adalah salah satu tema perbedaan yang dapat dilihat dan dicermati variasi bentuknya. Keyakinan atau pemahaman bahwa dalam setiap kehidupan masyarakat memiliki berbagai macam kebudayaan disebut dengan multikulturalisme.4 Lebih lanjut Nur Syam menjelaskan penerimaan homogenisasi kultural menghasilkan bentuk adaptasi terhadap nilai budaya yang lebih determinan. Penolakan menghasilkan bentuk defensif dan resistensi terhadap determinasi tersebut. Sedangkan distorsi menghasilkan ambiguitas, asimilasi, dan dissimilasi budaya. 5 Bikhu Parekh menjelaskan ragam keanekaragama dalam masyarakat multikultural, yaitu keanekaragaman subkultural, keanekaragaman prespektif, keanekaragaman komunal. 6 1) Keanekaragaman Subkultural Orang-orang yang ada dalam kelompok ini memiliki sistem arti dan nilai yang juga dimiliki masyarakat dominan, beberapa di antara mereka menjalankan keyakinan dan praktek yang berbeda berkenaan dengan wilayah kehidupan tertentu untuk atau menempuh cara hidup yang relatif sangat berbeda. 2) Keanekaragaman Prepektif Beberapa anggota masyarakat yang masuk dalam kategori ini sangat kritis terhadap beberapa prinsip atau nilai-nilai sentral kebudayaan yang berlaku dan berusaha untuk menyatakannya kembali di sepanjang garis kelompok yang sesuai. 3) Keanekaragaman Komunal Sebagian masyarakat modern juga mencakup beberapa komunitas yang sadar diri dan lebih terorganisir dalam menjalankan dan hidup di dalam sistem keyakinan dan praktek mereka yang berlainan. Berbicara tentang multikultural (keragamaan) tidak bisa serta merta menafikan pembahasan tentang siapa manusia. Manusia adalah makhluk kodrati dan sekaligus kultural, semua mempunyai identitas kemanusiaan umum tetapi berada dalam tingkah polah yang dimediasikan secara kultural. Setiap manusia memiliki keunikan dan perbedaan antara satu dengan yang lain, sehingga melahirkan beragam budaya yang terkadang satu dengan yang lain melahirkan konflik. Hidup di tengah-tengah masyarakat multikultultual perlu adanya kesadaran dan penghargaan terhadap liyan yang akhirnya melahirkan apa yang disebut dengan kesetaraan. Bikhu Parekh menjelaskan tingkatan-tingkatan dalam kesetaraan. Menurutnya, pada level yang paling dasar, kesetaraan melibatkan penghargaan dan hak, pada level sedikit lebih tinggi melibatkan kesempatan, kepercayaan diri, harga diri, dan lainnya, dan pada level yang lebih tinggi lagi, kesetaraan melibatkan kekuasaan, kesejahteraan dan kemampuan dasar yang diperlukan untuk pengembangan manusia.7 Dalam bukunya, Bikhu Parekh menjelaskan multikulturalisme sebagai sebuah prespektif tentang kehidupan manusia. Prespektif multikultural terdiri dari satu keadaan saling 4 Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia: dari Radikalisme menuju Kebangsaan (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 68. 5 Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia, 71. 6 Bikhu Parekh, “Pengantar”, 16. 7 Bikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism, 319. Volume 02 No. 02 November 2012
79 M O M E N T U M
Ber-Multikultural Dalam Feminisme
mempengaruhi yang kreatif dari ketiga wawasan yang bersifat komplemeter, yaitu keterlekatan kultural manusia, keharusan dan keinginan akan keanekaragaman budaya dan dialog antar kebudayaan, dan kemajemukan internal masing-masing kebudayaan.8 Feminisme: Dalam Catatan Sejarah Feminisme berasal dari bahasa Latin, femina atau perempuan. Istilah ini mulai digunakan pada tahun 1890-an, mengacu pada teori kesetaraan laki-laki dan perempuan serta pergerakan untuk memperoleh hak-hak perempuan. Lebih jelasnya, feminisme adalah ideologi pembebasan perempuan karena yang melekat dalam semua pendekatannya adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya. Di bawah payung lebar berbagai feminisme menawarkan berbagai analisis mengenai penyebab, pelaku, dari penindasan perempuan.9 Tidak ada definisi tunggal dalam menafsirkan apa itu feminisme, karena ada beragam pendekatan yang digunakan dalam memformulasi sebuah teori, akan tetapi semua teori dalam feminisme memiliki komitmen terhadap perempuan dan problematika yang dihadapinya. Begitu pula yang terjadi ketika akan mendefinisikan dengan jelas siapa itu feminis. Maggie Humm menjelaskan yang disebut dengan feminis adalah seorang perempuan yang mengenali dirinya sediri, dan dikenali oleh orang lain, sebagai seorang feminis. Bahwa kesadaran tergantung pada seorang perempuan yang telah mengalami penyadaran; pengetahuan mengenai penindasan perempuan, dan pengakuan mengenai perbedaan komunalitas perempuan.10 Pandangan Maggie Humm memunculkan pertanyaan, apakah yang dimaksud feminis hanyalah perempuan? bagaimana dengan laki-laki yang juga concern dalam memperjuangkan perempuan, adakah sebutan lain untuk mereka? Pandangan Maggie Humm berbeda dengan Gadis Arivia, dalam tulisannya tentang Parmoedya Ananta Toer, dia menjelaskan bahwa laki-laki bisa juga menjadi seorang feminis. Gadis Arivia membedakan antara feminis dengan female, menurutnya feminis menduduki posisi politis, komit pada perubahan sosial, sedang female menunjukkan pada jenis kelamin seseorang yang belum tentu memiliki prespektif feminis. Dia menegaskan, feminisme merupakan wacana politis yang mempunyai praktik politis maupun teori yang komit terhadap perjuangan yang menentang patriarkhi dan seksisme.11 Menurut penulis, seorang feminis tidaklah terpaku ada jenis kelamin tertentu, yang terpenting memiliki kesadaran feminis, atau lebih tepatnya kesadaran anti kekerasan terhadap perempuan dan berusaha untuk memperjuangkan hak-hak, kebebasan dan keadilan bagi perempuan dengan menggunakan media yang beragam. Penerimaan laki-laki dalam perjuangan feminisme bukan hal yang mudah. Banyak feminis yang curiga atas keterlibatan laki-laki dalam perjuangan perempuan. Gadis Arivia menggambarkan kegundahan para feminis sebagai berikut:12
8 Ibid., 443. 9 Maggie Humm, Ensiklopedi Feminisme. Diterterjemahkan oleh Mundi Rahayu (Yogyakarta: Pustaka Baru, 2002), 158. 10 Ibid., 160-161. 11 Gadis Arivia, Feminisme: Sebuah Kata Hati (Jakarta: Kompas, 2006), 149-150. 12 Ibid., 149. Volume 02 No. 02 November 2012
80 M O M E N T U M
Ber-Multikultural Dalam Feminisme
“…menerima laki-laki sebagai bagian dari perjuangan layaknya bagai sleeping with enemy, bisakah lai-laki menjadi mitra perempuan dan mau tulus menjadi mitra seperjuangan? Sebagian menyatakan bahwa laki-laki telah begitu mendominasi dan ikut campur tangan dalam segala bidang kehidupan termasuk kehidupan perempuan. Tidak ada satu kebijakan yang tidak dicampuri oleh “tangan” lakilaki…” . Perjuangan untuk menyuarakan dan membela perempuan dari berbagai bentuk kekerasan tidak bisa hanya dilakukan oleh perempuan saja tanpa menyertakan laki-laki. Laki-laki harusnya juga memiliki kesadaran feminis dan juga berjuang untuk meminimalisir dan bahkan menghilangkan kekerasan terhadap perempuaan. Jika tidak maka perjuangan yang diharapkan dan dicita-citakan para feminis hanya khayalan belaka. Mengapa begitu? Para feminis berjuang dengan sungguh-sungguh dalam membela perempuan, tetapi laki-laki ditempatkan sebagai musuh yang harus diberantas maka sulit sekali tercipta dunia tanpa kekerasan, yang pada akhirnya kekerasan lain yang akan muncul, perempuan menindas laki-laki. Dalam dunia feminis terdapat beberapa corak yang beragam, Rosemarie Putnam Tong seperti yang dikutip oleh Gadis Arivia menyatakan bahwa ada tiga gelombang feminis antara satu dengan yang lain memiliki keunikan masing-masing, hal ini juga tidak lepas dari konteks sosial masa itu.13 1) Feminis awal dimulai sejak 1800-an dan merupakan representasi dari feminisme gelombang pertama. Ini merupakan landasan awal dari pergerakan-pergerakan perempuan yang kelihatannya mereka lebih menyibukkan diri sebagai aktivis pergerakan. 2) Gelombang kedua muncul sekitar awal tahun 1960-an, ada kegairahan dari mereka untuk mempertanyakan representasi gambaran perempuan dan segala sesuatu yang feminin. Pada gelombang ini muncul refleksi tentang persoalan-persoalan perempuan, dan sebagai turunannya lahir teori-teori yang menyusun kesetaraan perempuan. 3) Gelombang yang ketiga, teori-teori yang muncul ini mengikuti atau bersinggungan dengan pemikiran-pemikiran kontemporer, dan dari situlah muncul teori-teori feminis yang lebih plural, seperti feminisme postmodernisme, multikultural dan global. Perkembangan feminis dengan dibuat dalam model gelombang feminis mendapat kritik dari Alka Kuria. Menurutnya, pembentukan periodesasi sejarah feminisme ke dalam gelombang-gelombang dibentuk secara konvensional seputar kejadian-kejadian dan tokohtokoh Amerika dan Eropa. Hal itu walaupun tidak sengaja menunjukkan “narasi hebat” kekuatan dan perjuangan Barat dan mendegradasikan pengalaman perempuan non-Barat ke pinggir wacana dalam feminis.14 Jika ditilik dalam sejarah, kemunculan feminisme memang dari Barat, akan tetapi nilai-nilai yang didengungkan oleh feminisme misal, kesetaraan dan keadilan sudah ada dalam setiap suku bangsa yang ada di dunia. Sehingga tidak bisa dipungkiri 13 Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis (Jakarta: Jurnal Perempuan, 2003), 84. 14 Alka Kuria, “Feminisme dan Negara-negara Berkembang” dalam Sarah Gamble (ed.) Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme. Diterjemahkan oleh Siti Jamilah dan Umi Nurun Ni’mah (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), 83. Volume 02 No. 02 November 2012
81 M O M E N T U M
Ber-Multikultural Dalam Feminisme
bahwa bangunan feminisme yang kokoh merupakan kontribusi besar dari Barat, yang kemudian ide-ide tersebut dibawa ke negara-negara di luar Barat. Walaupun seringkali makna kesetaraan dan keadilan setiap orang, kelompok atau pun suku bangsa berbeda dan pada akhirnya menimbulkan perdebatan yang sangat panjang. Apa yang diungkapan oleh Alka Kuria merupakan perbincangan dalam feminisme global, dimana aliran ini menekankan penindasan dalam konteks feminisme di dunia pertama dan feminisme di dunia ketiga, yaitu antara dunia (yang dikatakan) maju dengan dunia yang pernah mengalami penjajahan. Beberapa aliran besar yang ada di tubuh feminisme ide-idenya telah menyebar ke seluruh dunia dan melahirkan bentuk-bentuk feminisme baru sesuai dengan kultur yang ada di wilayah tersebut. Sebagai contoh, ketika ide-ide feminisme bertemu dengan aktivis muslimah, muncul model feminisme baru yang jauh berbeda dengan feminisme yang ada di Barat, begitu pula ketika feminisme bertemu dengan aktivis wanita dengan setting budaya dan tradisi Indonesia. Gadis Arifia dalam bukunya Filsafat Berprespektif Feminis menjelaskan aliran-aliran yang ada dalam dunia feminis, sebagai berikut:15 Dasar Pemikiran Feminisme Liberal
Feminisme Radikal
Manusia adalah otonom dan dipimpin oleh akal (reason). Dengan akal manusia mampu memahami prinsip-prinsip moralitas, kebebasan individu. Prinsipprinsip ini juga menjamin hak-hak individu
Isu-isu Feminis Akses pendidikan. Kebijakan negara yang bias gender, hak-hak sipil, politik.
Sistem Adanya seks/gender seksisme, merupakan dasar masyarakat penindasan patriarki. Hakterhadap hak reproduksi.
15 Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, 152-154. Volume 02 No. 02 November 2012
Tokoh Feminis & Karya Mary Wollstonecraft: A vindiction Rights of the Woman (1979). Jhon Stuart Mill & Harriet Taylor: Early Essays on Marriage and Divorce (1832). Enfracisement of Women (1851). Betty Friedan, The Second Stage (1981)
Kate Millet: Sexual Politics (1970) Shulamith FireStone: The
Kritik Memberikan prioritas pada hak politik dan bukan hak ekonomi. Menekankan persamamaan perempuan dan laki-laki (sameness). Perempuan tidak dapat hanya didefinisikan sebagai manusia yang berakal (reason) atau otonom. Feminisme liberal eksklusif perempuan kulit putih, kelas menengah, heteroseksual. Masuk pada jebakan esensialisme bahwa sifat dasar perempuan lebih
82 M O M E N T U M
Ber-Multikultural Dalam Feminisme
Feminisme Marxis/ Sosialis
Feminisme Psikoanalisis
perempuan
Hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki (power relationship). Dikotomi private/public. lesbianisme
Dialectic of Sex (1970). Marlyn French: Beyond Power (1985). Mary daly: Beyond God the Father Toward a Philosophy of Women’s Liberation (1973). Ann Koedt: The Myth of The Viginal Orgasm (1970).
baik dari pada laki-laki. Membuat dikotomi antara laki-laki dan perempuan.
Materialisme historis Marx yang mengatakan bahwa “modus” produksi material mengkondisikan proses umum kehidupan sosial, politik dan intelektual. Bukan kesadaran yang menentukan eksistensi seseorang tetapi eksistensi sosial mereka yang menentukan kesadaran mereka”.
Ketimpangan ekonomi. Kepemilikan properti. Keluarga dan kehidupan domestik di bawah kapitalisme. Kampanye pengupahan kerja domestik.
Frederick Engels : The Origin of Family, Private Property and the State (1845). Magaret Benston: The Political Economy of Women’s Liberation (1969). Mararosa Dalla Costa & Selma James: The Power of Women and The Subversion of Community (1972)
Hanya melihat relasi keluarga sebagai eksploitasi kapitalisme tempat perempuan menjual tenaga secara gratis. Tidak melihat ada arti lebih dari itu bahwa juga ada peranan cinta kasih, rasa aman dan nyaman. Semua sisi kehidupan diterjemahkan dari segi eksploitasi secara ekonomi/ kapital. Terlalu menekankan analisis kelas dan bukan gender.
Pengalaman mendasar penindasan perempuan terletak pada “psyche” perempuan, cara perempuan berpikir
Drama psikoseksual Oedipus dan kompleksitas kastrasi (Freud). Egosentrisme laki-laki yang menganggap
Karen Horney: The Fight from Womenhood (1973). Clara Thompson: Problems of Womenhood (1964) Dorothy Dinnerstain: The
Apakah operesi terhadap perempuan lebih psikologis atau sosial? Oedipus kompleks tidak dapat dimusnahkan karena bagian
Volume 02 No. 02 November 2012
83 M O M E N T U M
Ber-Multikultural Dalam Feminisme
Feminisme Eksistensialis
Feminisme Postmodern
perempuan menderita “penis envy”. Reinterpretasi Oedipus kompleks. Dua parenting. Feminisme gender-etika perempuan.
Mermaid and the Minatour (1977) Nancy Chodorow: The Reproduction of Mothering (1978) Juliet Mitchell: Psychoanalysis and Feminism (1974). Caroll Giligan: In a Different Voice(1982) Nel Noddings: A Feminine Approach to Ethics and Moral Education (1984).
dari sejarah perkembangan manusia tetapi bisa diubah. Menggeneralisir perbedaan karakteristik moral perempuan dan laki-laki.
Konsep dari Jean Paul Sartre: Etreen-soi, Etre poursoi, Etre Pour lesautres
Analisis ketertindasan perempuan karena dianggap sebgai “other” dalam cara beradanya di Etre Pour lesautres
Simone de Beauviour: The Second Sex (1949).
Pemaghaman teori terlalu filosofis. Konsep transendensi adalah konsep laki-laki. Bermain dengan wacana akademis. Tidak melihat pergerakan dan komitmen politik perempuan sebagai suatu aksi yang penting. Terlalu menekankan perbedaan perempuan dan interpretasi terbuka, bukan solidaritas perempuan.
Seperti filsafat postmodernisme menolak pemikiran “phallogosentris”
“Otherness” dari perempuan yang dilontarkan oleh Simone de
Helene Cixous, “L’ecriture feminine”. Luce Irigaray, “Speculum”-
Teori ini terlalu feminis akademis. Tidak ada aksi politis yang kolaboratif.
Volume 02 No. 02 November 2012
84 M O M E N T U M
Ber-Multikultural Dalam Feminisme
Feminisme Multikultural dan Global
(ide-ide yang dikausai oleh logos absolut yakni laki-laki berferensi pada phallus)
Beauvoir, merupakan sesuatu yang lebih dari kondisi inferioritas dan ketertindasan tetapi juga merupakan cara berada, cara berpikir, cara berbicara, keterbukaan, pluralitas, diversitas dan perbedaan.
refleksi perempuan. Julian Kristeva “tobe able to ‘play’ between semiotics and symbolic realm”. Linda Nicholson, “Feminisme Postmodern”
Sejalan dengan filsafat modern tetapi lebih menekankan kajian kultural
Penindasan terhadap perempuan tidak dapat hanay dijelaskan lewat patriarki tetapi ada keterhubungan masalah dengan ras, etnisitas, dan sebagainya (interlocking system) di dalam teori feminisme global bukan saja ras dan etnisitas tetpi juga hasil kolonialisme dan dikotomi dunia pertama dan dunia ketiga.
Audre Lorde: Age, Race, Class and Sex: Women Redefining Difference (1955). Alice Walker: Coming Apart (1991). Angela Y Davis: Women, Race and Class (1981). Charlotte Bunch: Prospects for Global Feminism (1985). Susan Brownmiller: Against Our Will: Men, Women and Rape (1976). Susan Bordo: Feminism, Postmodernism, and Gender Skepticism (1990). Maria Mies: The Need for a New Vision (1993).
Perjuangan yang dikaitkan pada persoalan politik dan bukan fokus pada isu gender. Women issues or political issues?
Adanya kerangka kerja
Karren J. Warren: The
Sangat rentan untuk masuk
Sejalan dengan Feminisme Ekofeminisme feminisme
Volume 02 No. 02 November 2012
85 M O M E N T U M
Ber-Multikultural Dalam Feminisme
multikultural dan global. Ingin memberi pemahaman adanya keterhubungan antara segala bentuk penindasan manusia dan non manusia (alam). Memperlihatkan keterlibatan perempuan dalam seluruh ekosistem.
dominan maskulin dalam perusakan lingkungan
Power and The Promise of Ecological Feminist Philosophies (1996) Mary Daly: Gyn/ Ecology Mary Mies dan Vandana Shiva
pada jebakan perempuan sama dengan alam yang dapat mendefiniskan perempuan kembali secra kodratiah.
Dari penjelasan terkait dengan aliran-aliran dalam feminisme, terdapat ragam fokus perjuangan para feminis jika ditempatkan dalam posisi setara maka akan tercipta sebuah prespektif yang komprehensif dalam mengatasi beragam persoalan manusia terutama tentang perempuan. Akan tetapi keragaman tersebut bisa menjadi petaka jika dihadap-hadapkan atau dilawankan antara satu dengan yang lain, yang akhirnya bukan terfokus pada perjuangan untuk membela perempuan akan tetapi lebih fokus pada perbedaan-perbedaan tersebut. Keragaman Feminisme: Analisis Terhadap Problem Perempuan Diskusi tentang ide-ide feminisme seringkali terbatas pada hal yang abstrak, sehingga sangat sulit untuk melihat keragamaan yang terjadi dalam tubuh feminisme. Untuk memudahkan melihat perbedaan sudut pandang dan implikasinya dalam pengambilan kebijakan dalam setiap aliran feminisme, dalam bagian ini membahas beberapa kasus terkait dengan problem perempuan (sebenarnya problem yang dialami perempuan merupakan problem semua umat manusia) dan keragaman solusi yang ditawarkan oleh para feminis. Feminisme bukanlah pandangan yang seragam dan bukan tanpa pergulatan. Dalam booklate yang dikeluarkan oleh Rifka Annisa dengan judul “Kalau Feminis Emangnya Kenapa?” dijelaskan tentang keragaman yang ada dalam tubuh feminisme, dan hal itu tidak lepas dari keadaan dan problem yang melatarbelakangi lahirnya aliran-aliran tersebut. Pandangan ini secara tidak langsung menyatakan bahwa ide-ide feminisme sangat kontekstual, dia lahir dari problem yang dihadapi oleh perempuan dan mencari solusi yang untuk mengatasi problem-problem tersebut, dan pastinya sesuai dengan kultur dimana kasus-kasus tersebut terjadi. Sebuah aliran feminisme tidak dapat mengakomodir keadaan dan problem perempuan di seluruh dunia. Feminisme sebagian mencerminkan pengalaman, kebutuhan dan persepsi perempuan yang bervariasi dalam masyarakat dan situasi yang berbeda. Sebagai sebuah gerakan feminisme mencerminkan situasi perempuan di wilayah tertentu dimana situasi perempuan begitu buruk. perbedaan-perbedaan ini melahirkan konsep gerakan yang berbeda-
Volume 02 No. 02 November 2012
86 M O M E N T U M
Ber-Multikultural Dalam Feminisme
beda. Inilah yang menyebabkan lahirnya beragam aliran dalam feminisme.16 Setiap aliran dalam feminisme sepakat menyatakan akar dari kekerasan terhadap perempuan adalah budaya patriarki. Akan tetapi setiap aliran memiliki prespektif yang beragam terkait dengan mengapa budaya tersebut dapat langgeng sampai berabad-abad lamanya. Menurut teori feminis radikal, patriarkhi dijaga melalui agresi maskulin, hubungan heteroseksual, ideologi, dan isntitusionalisasi keluarga. Sedangkan teori feminis marxis/sosial melihat operasi patriakhi tumbuh subur pada kapitalisme modern. Kapitalisme dianggap secara intrinsik patriarki karena penekanan pada pembagian kerja seksual, peran reproduktif perempuan, atau dstribusi ekonomi yang tidak merata.17 Gadis Arivia menjelaskan perbedaan pendapat di antara para feminis. Menurutnya walaupun perjuangan feminis liberal untuk memperjuangkan hak-hak perempuan terutama dalam bidang hukum memperoleh banyak kemajuan, akan tetapi feminis radikal belum puas dengan usaha yang dicapai oleh para feminis. Feminis radikal menganggap bahwa hak seksual terutama hak untuk memilih menjadi heteroseksual, biseksual dan gaya hidup lesbianisme tidak diperjuangkan dalam agenda politik. Pandangan tersebut kemudian dicounter oleh Betty Friedan, tokoh dibalik berdirinya NOW (National Organitation for Women), bahwa isu-isu yang paling dalam dari revolusi perempuan adalah terkait dengan pekerjaan, pendidikan serta institusi-institusi sosial, dan bukan fantasi seksual.18 Kedua aliran feminis tersebut memiliki pandangan yang berbeda karena apa yang menjadi concern mereka terkait dengan kehidupan perempuan dan problematikanya berbeda. Feminis radikal sangat concern terhadap isu-isu kesehatan dan juga seksualitas perempuan. Kathleen Barry menolak pembenaran adanya prostitusi semata-mata karena berkaitan dengan ekonomi. Dia lebih tegas mengatakan perdagangan internasional perempuan yang ada selama ini, dan alasan ekonomi yang ditampilkan sebagai dasarnya adalah upaya untuk menutupi praktek perdagangan perempuan itu sendiri. Tapi yang lebih penting adalah ada basis kekuasaan serta dominasi laki-laki yang terlibat di dalamnya. 19 Manneke Budiman, ketika diwawancarai oleh Jurnal Perempuan, mengatakan bahwa keragaman (multikultural) merupakan sesuatu yang harus disadari oleh para feminis, bahwa tidak semua feminis memiliki prespektif yang sama ketika melihat kekerasan yang dihadapi oleh perempuan bahkan perempuan sendiri memiliki sudut pandang yang beragam terkait dengan persoalan yang dihadapi olehnya yang orang lain menganggapnya sebuah ketertindasan. keragaman kini semakin menjadi isu penting bagi gerakan perempuan, khususnya yang berorientasi pada dunia ketiga. Sebelumnya, ada feminisme liberal, yang dimotori oleh banyak pemikir feminis Barat dari kelas menengah dan berkulit putih. Mereka mengasumsikan bahwa penindasan yang mereka alami pastilah bersifat universal dan sama kondisinya di seluruh dunia. Para pemikir feminis dari kelompok marginal dan dunia ketiga justru kritis menyoroti pemerataan ini. Perempuan dari kelompok marginal, seperti perempuan kulit hitam, atau dari dunia 16 Anis Hamim, ed., Kalau Feminis emangnya kenapa?(Yogyakarta: Rifka Annisa kerjasama dengan The Asia Foundation, tt), 5-6. 17 Gadis Arivia, Feminisme: Sebuah Kata, 288. 18 Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, 96. 19 Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, 104. Volume 02 No. 02 November 2012
87 M O M E N T U M
Ber-Multikultural Dalam Feminisme
ketiga punya persoalan sendiri. Kadang gender bukan soal yang paling urgen buat mereka. Ada soal pendidikan, anak, mencari nafkah, merawat orang tua yang tak kalah pentingnya dibanding dengan keterpinggiran mereka sebagai perempuan. Dan ini jelas berbeda dengan persoalan yang dihadapi oleh orang Barat. 20 Dalam wawancara tersebut Mannake juga menjelaskan problem yang selalu muncul antara feminisme dan multikulturalisme, bahkan keduanya selalu dipertentangkan. Baik multikuturalisme maupun feminisme perlu ditujukan pada penciptaan keadilan bagi semua, dan tampaknya prinsip inilah yang pada mulanya melandasi bangkitnya kedua gerakan ini. Perempuan yang bersedia dipoligami atau menerjunkan dirinya ke api pembakaran jenasah suaminya tak serta merta dianggap bodoh, tertindas dan tak punya kesadaran atau dikategorikan gegabah sebagai perempuan multikultural. Baik multikulturalisme maupun feminisme harus bisa melakukan analisis yang mendalam dan komprehensif tentang setiap fenomena kultural dalam kaitan dengan perempuan. feminisme harus siap menghadapi kenyataan bahwa ada perempuan yang rela dan ikhlas dipoligami. Di lain pihak multikulturalisme juga harus siap menerima fakta-fakta bahwa budaya-budaya minoritas mampu berpikir kritis, yang memungkinkan perempuan maupun kelompok-kelompok minoritas mampu berpikir kritis tentang kondisinya sendiri maupun dunia di sekitar mereka.21 Perbedaan pandangan antara feminis dunia Barat dengan Feminis Timur juga terjadi ketika melihat masalah penyunatan terhadap perempuan. Nawel Saadawi, feminis Mesir, sangat vokal mengkritik feminis dunia pertama yang menurutnya hanya beberapa kali ke negara Sudan tetapi sudah bisa membuat persoalan besar tentang penyunatan perempuan (clitoridectomy). Dia menambahkan feminis dunia pertama seakan acuh terhadap persoalan terkait dengan peranan perusahaan multinasional yang mengeksploitasi buruh perempuan, artinya feminis dunia pertama gagal melihat hubungan ekonomi dan politik sebagai bagian dari penindasan terhadap perempuan di dunia ketiga.22 Dari penjelasan di atas terlihat dengan jelas bahwa tidak ada yang bersifat homogen tetapi semuanya bersifat heterogen, dan semuanya menunjukkan bahwa perbedaan merupakan sebuah keniscayaan. Dari keragaman dan perbedaan tersebut dapat dikelola dengan baik dan akan melahirkan sebuah bangunan feminisme yang semakin kokoh dengan beragam wajah. Keragaman tersebut pastinya memiliki perbedaan, dan bagaimana perbedaan tersebut dikelola dengan baik meskipun ada konflik setidaknya konflik tersebut tidak membuat tujuan awal untuk membebaskan perempuan sedunia tergadaikan karena mementingkan egonya masingmasing.
20 Manneke Budiman, “Gerakan Perempuan perlu mempertahankan keterbukaan pikiran, siap mendengarkan, berdialog, serta bernegosiasi, dalam kolom wawancara, Jurnal Perempuan No. 54, 2007, 107-108. 21 Manneke Budiman, “Gerakan Perempuan” dalam Jurnal Perempuan, 107. 22 Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, 139. Volume 02 No. 02 November 2012
88 M O M E N T U M
Ber-Multikultural Dalam Feminisme
Penutup Di dunia ini tidak ada yang homogen, semuanya berbau heterogen. Dan semua itu adalah sebuah keniscayaan yang tidak mungkin diubah dan dipaksa untuk sama, karena setiap perbedaan memiliki alasan fundamental mengapa berbeda. Bikhu Parekh menjelaskan ragam keanekaragama dalam masyarakat multikultural, yaitu keanekaragaman subkultural, keanekaragaman prespektif, keanekaragaman komunal. Dan feminisme masuk dalam kategori keanekaragaman prespektif. Model keanekaragaman ini mewakili sebuah visi kehidupan yang ditolak seluruhnya oleh kebudayaan dominan dan diterima dalam teori tetapi diabaikan dalam prakteknya. Keaneragaman ini lebih radikal dan komprehensif dibanding dengan keanekaragamn subkultur dan tidak mudah untuk diterima. Setiap budaya atau suku bangsa dapat membentuk feminisme sendiri-sendiri sesuai dengan tradisi dan budaya dalam suku bangsa tersebut. Hal ini dikarenakan jika mengadopsi langsung dari feminisme di luar suku bangsanya maka akan melahirkan jurang yang sangat dalam antara budaya dan tradisi dari suku bangsa tersebut dengan produk (pemikiran feminis) baru yang digunakan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh suku bangsa tersebut. Feminisme dengan ide-idenya untuk mengeluarkan perempuan dari masalah yang dihadapinya tidak akan bisa diterima oleh komunitas atau suku bangsa jika tidak diramu sesuai dengan kondisi suku bangsa tersebut. 89
Daftar Pustaka Arivia, Gadis, Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta: Kompas, 2006. ----------------- Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Jurnal Perempuan, 2003. Gamble, Sarah, ed., Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, terj. Siti Jamilah dan Umi Nurun Ni’mah. Yogyakarta: Jalasutra, 2010. Hamim, Anis, ed., Kalau Feminis emangnya kenapa?. Yogyakarta: Rifka Annisa kerjasama dengan The Asia Foundation, tt. Humm, Maggie, Ensiklopedi Feminisme, terj. Mundi Rahayu. Yogyakarta: Pustaka Baru, 2002. Parekh, Bikhu, Rethinking Multiculturalism: Keberagamaan Budaya dan teori Politik. Yogyakarta: Kanisius, 2008. Qordhowi, Yusuf, Panduan Fiqih Perempuan, terj. Ghazali Mukri. Yogyakarta: Salam Pustaka, 2004. Syam, Nur, Tantangan Multikulturalisme Indonesia: dari Radikalisme menuju Kebangsaan. Yogyakarta: Kanisius, 2009. Jurnal Perempuan No. 54, 2007.
Volume 02 No. 02 November 2012
M O M E N T U M
Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam
PRINSIP-PRINSIP DASAR PENDIDIKAN ISLAM DALAM SURAT LUQMAN Oleh
Aufa Safrijal Putra ⃰
[email protected] Abstrak Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memerdekakan anak-anak didiknya dari berhala-berhala penghambaan material dan gagasan. Pendidikan yang orientasi utamanya mencetak insan beriman. Dan suatu lembaga pendidikan dianggap berhasil jika ia mampu membentuk moral dan karakter anak-anak-didiknya yang shaleh secara ritual, shaleh secara sosial, saleh secara intelektual, dan respek terhadap perubahan dan dinamika kehidupan sosial. Untuk meraih itu semua Islam mengajarkan bahwa model pendidikan yang diaplikasikan untuk mendidik anak harus memuat empat prinsip dasar, yaitu „Aqidah, bakti kepada orang tua berbasis „aqidah, kepekaan sosial, serta pendidikan moral dan karakter. Prinsip dasar pendidikan ini termaktub dalam surat Luqman ayat 13-19. Prinsip dasar yang menjadi kajian utama dalam tulisan ini. Kata kunci: pendidikan, al-qur’an, surat luqman, akhlaq, karakter.
Pendahuluan
90
Dalam al-Quran surat Luqman merupakan surat ke-31, terdiri dari 34 ayat dan termasuk golongan surat Makkiyah. Surat ini diturunkan setelah surat al-Saffat. Surat Luqman adalah surat yang turun sebelum Nabi Muhammad SWT hijrah ke Madinah. Nama Luqman diabadikan sebagai nama salah satu surat dalam Al Quran karena kepribadian luhur Luqman dan kearifannya dalam mendidik anak-anak bisa dijadikan sebagai suri teladan umat dalam menerapkan metode dan model pendidikan. Berkenaan dengan itu secara khusus di ungkapkan dalam ayat 13-19.1 Saat ini ayat ke-13 sampai dengan ayat ke-19 pada surat Luqman menjadi kajian menarik para praktisi pendidikan yang gamang akan kegagalan sistem pendidikan formal di Indonesia dalam mencetak generasi-generasi bangsa yang bermoral dan berkarakter kuat. Kepribadian dan karakter generasi bangsa sudah termanipulasi oleh berbagai ambisi material dan gempuran budaya luar serta sistem pendidikan yang berorientasi pasar (market oriented). Tegasnya, anakanak didik kita sudah terarahkan untuk keluar dari rel tujuan pendidikan, yaitu mencetak insan beriman dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kegagalan pendidikan formal diikuti pula dengan kegagalan pendidikan di dalam keluarga, tepatnya kegagalan orang tua dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Brand Image yang berkembang di lingkungan keluarga saat ini adalah bahwa keberhasilan pendidikan bisa diukur dari sejauh mana pendidikan itu mampu meluluskan anak-anak didiknya secara singkat, dan cepat mendapat pekerjaan dengan raihan financial yang besar, tidak peduli dengan prosesnya seperti apa. Acap kali keluarga tidak peduli dengan dogma-dogma agama yang
M O M E N T U M
⃰ Dosen STAI Teungku Dirundeng Meulaboh. 1 Mohsen Qaraati. Seri Tafsir untuk Anak Muda Surat Luqman (Jakarta : Al Huda 2005), 42. Volume 02 No. 02 November 2012
Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam
seharusnya menjadi bagian dari proses pendidikan. Dan yang lebih parah, orang tua enggan atau tidak mampu menjadi suri teladan yang baik bagi anak-anak anaknya. Padahal pembentukan moral dan karakter anak sejatinya dimulai dari pendidikan keluarga. Anak adalah aset atau investasi masa depan, bukan hanya untuk orang tua tetapi juga bagi bangsa. Nilai investasinya pun dunia dan akhirat. Karena itu anak harus didik dengan baik supaya nilai investasinya berlipat ganda. Dalam konteks pendidikan yang baik doktrin Islam – sebagaimana inti sari ajarannya- mengajarkan bahwa arah pendidikan harus terfokus pada dua hal, ketauhidan (keimanan) dan humanisme (memanusiakan manusia). Dalam surat Luqman ayat 13-19 ketauhidan dan humanisme itu dipetakan ke dalam empat prinsip dasar pendidikan Islam, yaitu „Aqidah, bakti kepada orang tua berbasis „aqidah, kepekaan sosial, serta pendidikan moral dan karakter. Apa dan bagaimana modus operandi keempat prinsip tersebut. Titik poin inilah yang menjadi fokus kajian dalam tulisan singkat ini. Motif Pendidikan dalam Asbab al-Nujul Surat Luqman Pertanyaaan yang barangkali terbersit di benak kita adalah, kenapa dan apa hebatnya sehingga nama Luqman diabadikan dalam al-quran sebagai salah satu prototipe manusia unggul? Setidaknya pertanyaan ini pula yang sebenarnya menghujam masyarakat atau kaum bani Quraish ketika itu. Pasalnya, menurut riwayat bahwa faktor utama turunnya surat Luqman adalah dikarenakan hasrat keingintahuan kaum bani Quraish akan cara berbhakti kepada kedua orang tua serta metode dan model pendidikan orang tua terhadap anak mereka agar menjadi anak-anak shaleh. Dalam konteks ini, mereka terus mendesak Rasulullah SAW untuk memberikan petunjuk bagaimana seharusnya orang tua mendidik anak-anaknya. Jawaban atas permintaan mereka adalah diturunkannya wahyu, yaitu surat Luqman yang mengisahkan keteladanan, model dan metode orang tua (Luqman) dalam mendidik anak-anak mereka. Tentunya rasa penasaran kaum bani Quraish sangat wajar karena mereka sendiri mengidamkan untuk menjadi seperti, atau paling tidak mendekati kepribadian Luqman sang abdi ilahi. Apa yang sebenarnya diajarkan oleh Luqman kepada anaknya sehingga ia diabadikan dalam al-quran sebagai orang tua yang sukses dalam mendidik anak. Inilah poin penting yang akan kita bahas dalam tulisan ini. Sekalipun al-quran tidak menjelaskan kepribadian dan keistimewaan Luqman secara mendetail, dan hanya menerangkannya dalam beberapa ayat yang berbentuk cerita atau kisah, namun, bila kita tinjau lebih jauh dalam surat Luqman ayat 13-19 kita akan menemukan poinpoin dasar yang menjadi petunjuk bagi para pendidik (orang tua atau guru) dalam mendidik anak-anaknya atau peserta didik. Poin-poin dasar itu bisa dipetakan ke dalam tujuh bagian sesuai dengan intisari kandungan ayat, yaitu: a. Pada ayat ke-13 diceritakan bagaimana cara Luqman menanamkan prinsip dasar
pendidikan yang harus ditamankan kepada anak-anak di atas segalanya, yaitu penanaman nilai-nilai ketauhidan dan bahaya syirik. “Hai anakku, Janganlah kamu mempersekutukan Allah SWT, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.
Volume 02 No. 02 November 2012
91 M O M E N T U M
Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam b. Pada ayat ke-14 dikisahkan tentang pentingnya pembelajaran kepada peserta didik
tentang peran dan fungsi orang tua dalam kehidupan anaknya agar mereka secara sadar termotivasi untuk berbhakti kepada orang tua. Dalam konteks ini orang tua harus memberikan pemahaman tentang perjuangan kedua orang tua dalam mengurus anak-anaknya semenjak pranatal (dalam kandungan), masa susuan, puberitas hingga dewasa. “Dan Kami perintahkan kepada manusia kepada dua orang ibu-bapanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”. c. Pada ayat ke-15 dijelaskan bagaimana cara anak berbhakti kepada orang tua dan tapal
batas ketaatan kepada keduanya. Pada titik ini para orang tua diajarkan bahwa tidak selamanya anak harus menurut kepada orang tua, karena kecintakan kepada Allah harus di atas segalanya. Begitu pula dengan anak yang harus tetap memulyakan keduanya sekalipun mereka dalam kesesatan. “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepadaKulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. d. Pada ayat ke-16 diceritakan bahwa setiap pendidik harus menanamkan nilai-nilai
kejujuran, ketakutan, keikhlasan, dan keimanan kepada Allah sebagai modal dasar bagi anak-anak dalam mengarungi bahtera kehidupan. Karena mereka harus menyadari bahwa apapun yang mereka lakukan di dunia akan dimintai pertanggungjawabannya. Semuanya ada dalam genggaman dan pantauan Allah, tidak ada satupun yang mampu menyembunyikan apa yang dimilikinya dari Allah SWT. “Hai anakku, sesungguhnya jika ada seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya. Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui”. e. Pada ayat ke-17 dikisahkan bahwa Luqman mengajarkan anaknya untuk mendirikan
sholat sebagai fondasi keimanan. Shalat yang memiliki nilai pragmatis di dalam realitas kehidupan masyarakat. Nilai pragmatis shalat terletak pada pada kata “salam”, yang berarti bahwa tugas setelah mendirikan shalat adalah memberi keselamatan kepada orang lain dengan cara menegakan amr ma’ruf nahi mungkar. Itulah perintah Allah setelah shalat. Allah juga mewanti-wanti agar proses menegakan amr ma`ruf nahi mungkar dilakukan dengan penuh kesabaran. Karena kunci kesuksesan orang beriman terletak dalam konsistensi dan kesabaran. Hai anakku, dirikanlah shalat, tegakanlah amr ma‟ruf, dan hindari perbuatan mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan.
Volume 02 No. 02 November 2012
92 M O M E N T U M
Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam f. Pada ayat ke-18 dikisahkan bagaimana Luqman mengajarkan anak-anaknya agar
seluruh aktifitas kehidupan duniawi mereka diorientasikan untuk penghambaan total kepada Allah, bukan untuk ajang narsis atau menyombangkan diri. Luqman mengajarkan agar seluruh proses interaksi sosial kita di masyarakat tidak didasarkan oleh kompetisi untuk membesarkan diri, keangkuhan untuk mengukuhkan status sosial, dan merendahkan derajat orang lain. Nilai-nilai kebersamaanlah yang harus didahulukan dalam kaitannya dengan kemaslahatan sosial. “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. g. Pada ayat ke-19 Luqman mengajarkan kepada kita semua untuk hidup sederhana
karena dunia bukan ajang untuk pemenuhan hasrat kemarukan dan hodonistik. Selain itu Luqman memberi wejengan bahwa modal awal dalam proses interaksi sosial adalah bertutur kata santun, berucap kata nyata, dan bertingkah laku benar, bukan seperti pepatah yang akrab di telinga kita “tong kosong nyaring bunyinya”, yang oleh orang arab diidentifikasi dengan suara keledai.2 “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”. 93
Tujuh intisari di atas pada dasarnya adalah makna atau pesan utama yang ingin disampaikan Allah kepada kita sebagai anak dan sekaligus sebagai orang tua (pendidik) atau calon orang tua. Nilai-nilai ketauhidan dan moralitas adalah dua poin penting yang harus ditanamkan pertama kali kepada anak sebagai bekal dalam mengarungi gonjang-ganjing bahtera kehidupan dunia. Poin inilah yang sebenarnya menjadi esensi ke-Islaman, yaitu tauhid dan humanisme (moralitas yang memanusiakan manusia). Prinsip-Prinsip Dasar dalam Pendidikan Islam Menurut Surat Luqman Manusia memiliki sensasi, intuisi dan rasio yang peka akan berbagai fenomena kehidupan. Sensasi, intuisi dan rasio senantiasa menuntut penjelasan ilmiah atas berbagai fenomena. Karena ketiganya pula manusia terdorong untuk melakukan ekplorasi dan transformasi ilmiah. Barangkali inilah salah satu alasan yang melatarbelakangi kenapa wakyu pertama (al-„Alaq) yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW berkenaan dengan ekplorasi dan transformasi ilmiah. Dalam hemat penulis, alasan lain yang lebih fundamental diturunkannya al-„Alaq adalah karena Allah menginginkan totalitas penghambaan kita kepadaNya didasari oleh keimanan yang dikukuhkan oleh pengetahuan. Bahkan di ayat lain Allah berjanji atas diriNya bahwa Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan yang berilmu. Dalam khazanah ilmiah kontemporer, proses ekplorasi dan transformasi ilmiah secara formal dan dalam arti yang luas acap kali diidentifikasi dengan pendidikan. Tidak ada satu orangpun yang menyangkal bahwa pendidikan merupakan salah satu kebutuhan fundamental manusia. Pendidikan menjadi sesuatu yang sangat esensial, karena dengannya –di dalam 2 Bisri Afandi, Pembaharuan dan Pemurnian Islam di Indonesia, (Jakarta : Pustaka Alkautsar, 1999), 2 Volume 02 No. 02 November 2012
M O M E N T U M
Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam
realitas pragmatis- derajat, kewibawaan, harga diri dan bahkan kemapanan ekonomi bisa diraih, tak terkecuali dengan peningkatan kualitas keimanan seseorang. Karena pendidikan menjadi barang yang esensial, maka tidak heran jika dalam kitab suci al-quran banyak ayat-ayat mengulas tentang proses, model dan metode pendidikan, baik yang dinyatakan secara langsung ataupun tidak langsung. Diantara sekian ayat-ayat al-quran yang mengulas tentang pendidikan, diantaranya dinyatakan dalam ayat-ayat yang termaktub dalam surat Luqman, tepatnya ayat ke 13-19. Surat Luqman menjadi kajian menarik para praktisi pendidikan ditengah hiruk-pikuk pendidikan kontemporer yang sudah diorientasikan ke dalam jeruji pasar kapitalis (market oriented) Secara tekstual ayat 13-19 hanya tampak mengisahkan tentang nasihat-nasihat Luqman kepada anaknya, namun bila kita kaji lebih mendalam, pada dasarnya ayat tersebut mengandung pesan teologis dan edukatif yang disampaikan oleh Allah, utamanya berkenaan dengan pola pendidikan orang tua atau guru kepada anak didiknya. Melalui ayat-ayat itu Allah mengisyaratkan bahwa model pendidikan yang harus diaplikasikan dalam pendidikan harus melingkupi empat prinsip dasar, yaitu pemahaman akan „Aqidah, bakti kepada orang tua berbasis „aqidah, kepekaan sosial, pendidikan moral dan karakter. a. Aqidah 94
Dan (Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar (Luqman: 13) Prinsip dasar pendidikan Islam yang pertama adalah penanaman aqidah. Aqidah secara etimologi berarti ketetapan atau keputusan yang diambil tanpa ada keraguan. Adapun dalam konteks agama Islam, aqidah bermakna keyakinan teguh akan adanya eksistensi keesaan Allah SWT. Dalam doktrin Islam Aqidah erat kaitannya dengan fondasi agama, yaitu Rukun Islam dan Rukun Iman, terkhusus dengan syahadah kemanunggalan Allah dan syahadah akan risalah kenabian Muhammad SAW. Saking pentingnya, tidak heran jika aqidah menjadi fondasi utama dalam pendidikan Islam dan merupakan akar ilmu pengetahuan yang harus ditanamkan atau diajarkan pertama kali kepada peserta didik dalam proses pembelajaran. Menurut Syamsul Ma‟arif Aqidah berkaitan pula dengan pencegahan tindakan syirik dan cara bersyukur manusia kepada Allah sebagaimana yang dinyatakan pada ayat di atas.3 Menurut Bisri Afandi,4 sudah menjadi kewajiban para pendidik muslim (orang tua atau guru) untuk meluruskan aqidah para peserta didik, jangan sampai dikotori oleh keyakinan atau pendewaan kepada sesuatu selain Allah SWT, yang dalam bahasa agama disebut dengan “syirik”. Dalam kaitannya dengan pendidikan, aktifitas ilmiah harus ditunjang dengan pemahaman aqidah yang kuat, karena tujuan utama pendidikan dalam
3 Samsul Ma‟arif, Revitalisasi Pendidikan Islam (Yogyakarta: PT Graham Ilmu, 2000), 3. 4 Bisri Afandi, Pembaharuan dan Pemurnian Islam di Indonesia, 16. Volume 02 No. 02 November 2012
M O M E N T U M
Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam
doktrin Islam adalah untuk meningkatkan kualitas keimanan yang garis finishnya untuk mencari keridhoan Allah. Sejatinya aktifitas ilmiah tidak diorientasikan untuk raihan material, apalagi pendewaan pangkat dan jabatan. Bagaimana cara menanamkan pendidikan aqidah kepada anak-anak (peserta didik)?, Berdasarkan ayat al-quran seperti yang dikisahkan dalam pribadi seorang Luqman, “ Jangan engkau menyekutukan Allah”, seyogyanya pendidikan aqidah diawali oleh orang tua di dalam keluarga. Dalam konteks ini, keluargalah yang menjadi ujung tombak pendidikan aqidah si anak. Kendati demikian, bukan berarti lepas dari tanggung jawab lembaga pendidikan formal. Dalam doktrin Islam semua cabang ilmu harus dilandasi aqidah, karena itu lembaga pendidikan formal juga harus mengajarkan aqidah yang benar sebagai fondasi yang menaungi berbagai cabang ilmu. Bila kita cermati lebih jauh, sebenarnya pendidikan aqidah bertujuan untuk membebaskan manusia dari ketergantungan dan penghambaan kepada selain Allah SWT. Sebagai contoh, sebut saja ketergantungan kepada meteri, birahi ataupun ilmu-ilmu perdukunan. Dengan pemahaman aqidah semua manusia diarahkan agar tidak takut dan tunduk kepada siapapun, karena kebesaran, keagungan dan kemulyaan hanya milik Allah. Pun dalam proses pencarian ilmu, bukan untuk meraih populeritas (riya),5 materi ataupun gengsi, tetapi semata-mata untuk meningkatkan kualitas keimanan dan meraih keridhoan Allah. Jika seluruh tujuan aktifitas ilmiah kita tertuju kepada selain Allah, maka kita akan terjebak pada perbuatan “Syirik”. 6 Dan untuk hal ini Allah telah mewanti-wantinya dengan ancaman yang besar, karena syirik tergolong dalam dosa besar.7 Inilah pemahaman yang harus pertama kali ditanamkan kepada anak didik kita. b. Bakti kepada Orang Tua Berbasis Aqidah Dan kami perintahkan manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kedua orang tuamu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk 5 Dalam konteks “Riya”, Ibnu Rajab berkata: “Riya‟ hampir tidak terjadi pada seorang mukmin dalam shalat dan puasa. Akan tetapi riya‟ terkadang terjadi pada shadaqah wajib, haji, dan perbuatan-perbuatan yang tampak. Keikhlasan dalam aneka perbuatan sangat berat. Perbuatan riya‟ akan menghancurkan pahala amal dan pelakunya berhak mendapat murka dan siksa Allah SWT. Samsul Ma‟arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, 49. 6 Abdullah Al Ghamidi, Namanya Luqman Al Hakim (Yogyakarta, Diva Press 2008), 24. 7 Mohsen Qaraati, Seri Tafsir untuk Anak Muda Surat Luqman, 51. Volume 02 No. 02 November 2012
95 M O M E N T U M
Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam
mempersekutukanKu dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. Luqman: 14-16). Prinsip dasar pendidikan Islam yang kedua adalah penanaman bakti kepada kedua orang tua. Ibu dan bapak adalah dua pribadi yang memberi nafas kehidupan kita tanpa pamrih sekalipun letih dan perih mendera disetiap langkah mereka. Tidak ada yang bisa mendeskripsikan sejauhmana atau sebesar apa kecintaan orang tua kepada anak-anaknya. Yang pasti kecintaan orang tua kepada anak seperti matahari yang tak pernah meminta cahayanya untuk kembali. Karena ketulusan cinta mereka inilah kenapa doktrin Islam mengagungkan sosok ibu dan bapak seperti diabadikan dalam hadist nabi “Keridhoan Allah bersama dengan keriduan orang tua“. terlebih dengan peran seorang ibu “Surga berada di telapak kaki (restu) ibu”. Dalam doktrin Islam, seperti yang termaktub pada ayat di atas , berbakti kepada orang tua harus diajarkan kepada anak-anak perserta didik, dan posisinya menempati jajaran kedua setelah „aqidah. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan pendidikan anak adalah, ayat di atas menyiratkan kepada kita bahwa proses pembelajaran anak didik agar mau berbakti kepada orang tua harus dijelaskan secara ilmiah bukan secara apologis. Si anak harus dipahamkan bagaimana penderitaan seorang ibu ketika dia hamil, melahirkan, mengasuh, dan menyapihnya pada usia dua tahun, yang semua itu dilakukannya dengan penuh rasa kasih sayang. Pun dengan penderitaan sang ayah yang harus bersusah payah mencari nafkah. Hal lain yang perlu dipahamkan kepada anak didik adalah bahwa anak bagi orang tua adalah aset atau tabungan untuk masa depan. Harga diri, wibawa dan kehormatan orang tua juga ada dalam genggaman anak-anaknya. Keburukan anak akan menjadi petaka bagi orang tua dan kebaikan anak akan menjadi berkah bagi orang tua. Bahkan dalam suatu hadist diungkapkan bahwa salah satu amal yang tidak akan putus adalah doa anak shaleh untuk orang tuanya. Oleh karena itu penting bagi para pendidik untuk menanamkan jiwa keberbaktian kepada anak-anak didiknya. Karena tidak akan pernah bermanfaat ilmu, gelar dan jabatan seseorang selama ia masih durhaka kepada orang tua. Sejauhmana kita harus berbakti kepada orang tua? Untuk hal ini kita harus kembali kepada prinsip pertama. Bakti kepada orang tua harus diikuti dengan pemahaman akan ketauhidan atau aqidah. Kita wajib melaksanakan perintah kedua orang tua kita selama yang diperintahkan itu sesuai dengan aqidah. Jika diluar jalur „aqidah kita wajib menolaknya. Meskipun demikian penolakan itu harus dibarengi dengan tindakan yang santun dan penuh dengan kecintaan dan ke„arifan. Tidak dibenarkan melukai hati orang tua sekalipun mereka dalam rel yang salah. Segala upaya kita untuk membetulkan keganjilan tindakan orang tua kita harus dibarengi dengan niat yang tulus, tutur kata santun dan tindakan yang halus. Di atas semua itu kita harus mengajarkan anak-anak didik kita untuk berbakti kepada orang tua dengan berpijak pada aqidah Islam.
Volume 02 No. 02 November 2012
96 M O M E N T U M
Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam
c. Pendidikan Kemasyarakatan (Sosial) Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar (Luqman: 17). Prinsip dasar pendidikan Islam yang ketiga adalah pendidikan kemasyarakatan yang dibentengi dengan shalat. Jika kita melihat kepada ayat di atas, mungkin kita bertanya kenapa shalat mendahului amr ma’ruf nahi mungkar?, Kenapa doktrin Islam mengajarkan bahwa shalat adalah tiang agama, bahkan amal perbuatan manusia yang akan diperhitungkan pertama kali di akhirat adalah shalat. Lantas apa kaitannya dengan amr ma’ruf nahi mungkar yang jelas-jelas berkaitan erat dengan interaksi dan dimensi sosial?. Seperti diungkapkan di atas shalat sejatinya memiliki nilai pragmatis untuk perubahan kondisi sosial yang lebih baik. Sebelum kita melangkah lebih jauh jauh mari kita pahami terlebih dahulu makna shalat. Ulama fiqh dulu mendefinisikan shalat dengan bahasa doktrinal yang simpel, yaitu aktivitas penghambaaan yang diawali dengan Takbiratul Ihram dan diakhiri dengan “Salam”. Definisi ini seakan-akan memaknai shalat sebagai proses penghambaan yang dilakukan oleh hamba untuk tuhannya, hubungannya hanya semata-mata antara hamba dan Allah. Sebenarnya, dari definisi ini ada makna yang jauh lebih besar dan memiliki implikasi sosial. Makna itu terkandung dalam “Takbiratul Ihram” (dimensi ketauhidan) dan “Salam” (dimensi sosial atau humanisme). Secara keseluruhan bacaan-bacaan sholat yang diajarkan nabi Muhammad SAW, pada dasarnya memiliki nilai filosofis tinggi. Nilai tersebut bisa dipetakan menjadi empat bagian, yaitu: 1. Pengagungan dan Penyucian Allah SWT. Ketika kita sholat dan mengawalinya dengan takbir (Allahu Akbar), artinya kita mengawali proses penghambaan kepada Allah dengan kesadaran dan keikhlasan bahwa hanya Allah-lah Tuhan yang maha besar, tempat bernaung dan meminta segalanya, tidak ada tuhan-tuhan lain selain Dia, dan kita terhindar dari pemberhalaan kepada apapun (syirik). Selain itu, keagungan dan kebesaran Allah pun disucikan sebagaimana tertera pada bacaan ketika i‟tidal dan sujud. 2. Pemulyaan Nabi Muhammad SAW. “Allahumma shalli ‘ala Muhammad ….” Penggalan kalimat yang dibaca pada saat Tahiyat itu mengisyaratkan bahwa shalat juga merupakan bagian dari pemulyaan Nabi Muhammad SAW sebagai suri teladan yang telah menyampaikan risalah profetisnya kepada umat, dan untuk kemaslahatan umat manusia. 3. Permohonan atau curhatan kita kepada Allah
Volume 02 No. 02 November 2012
97 M O M E N T U M
Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam
“Rabbigfirli warhamni …..” bacaan ketika duduk di antara dua sujud tersebut tiada lain merupakan curhatan atas segala kegundahan kita dalam mengarungi bahtera kehidupan dunia. Kita melaporkan semua kegelisahan kita, harapan, dan semua yang kita butuhkan dalam menjalani kehidupan. Karena itu sholat juga sering dikatakan doa. Harapan yang kita gantungkan kepada Sang Empu Kekuasaan. 4. Restu dan perintah Tuhan untuk keselamatan umat manusia. Setelah kita melakukan pengagungan dan penyucian Allah, pemulyaan nabi Muhammad, memohon atau curhatan kepada Allah. Kemudian kita mengakhiri shalat dengan “Assalamu ‘alaiku warahmatulllahi wa barokatuh”. Secara tidak langsung kalimat tersebut mengisyaratkan bahwa Allah telah menerima semua proses shalat yang telah dilakukan hambanya, kendati demikian penerimaan itu ditambah dengan catatan baru bahwa si hamba harus melaksanakan tugas lain setelah shalat, yaitu memberi keselamatan kepada sesamanya, karena “Assalamu ‘alaiku warahmatulllahi wa barokatuh” mengandung makna “Beri keselamatan sesama kalian, keselamatan yang dirahmati Allah dan mengandung barokah”. Dari penjelasan empat hal di atas, kita bisa memahami bahwa shalat memiliki dua nilai, ketauhidan dan humanisme. Ketahuidan berarti syahadah kemanunggalan Allah dan syahadah kenabian Muhammad SAW, seperti yang telah di jelaskan pada poin 1 dan 2. Humanisme berarti memanusiakan manusia yang diejawantahkan dengan peran aktif untuk saling menyelamatkan antar sesama. Peran aktif yang dibentengi dengan doa seperti yang telah dijelaskan pada poin 3 dan 4. Karena alasan inilah tidah aneh jika kata shalat dalam ayat di atas diikuti dengan kata amr ma’ruf nahi mungkar. Dalam konteks ini, shalat menjadi fondasi kita dalam menegakan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Karena itu tidak tepat jika kita megatakan shalat hanya sebatas hubungan vertikal (penghambaan) antara Allah dan individu manusia semata. Lantas bagaimana dengan amr ma’ruf nahi mungkar itu sendiri? Dari sudut terminologi, Al-Magharibi menjelaskan bahwa Amar ma’ruf terkait dengan perintah Allah untuk melakukan kebaikan dan kemaslahatan bagi umat manusia. Sedangkan nahi munkar terkait dengan larangan Allah untuk berbuat kemungkaran yang berimplikasi kepada instabilitas sosial dan kerusakan lingkunganya. 8 Karena itu, Amr ma’ruf nahi mungkar bisa dikatakan sebagai bentuk kepekaan dan tanggung jawab kita terhadap kondisi lingkungan dan sistem sosial. Kepekaan dan tanggung jawab kita untuk menciptakan kondisi lingkungan di sekitar kita kondusif untuk melaksanakan ibadah kepada Allah secara kolektif. Dengan kepekaan ini setiap orang terdorong untuk menjaga kehamonisan, keadilan, kebersamaan, toleransi, solidaritas, dan mencegah segala tindak pidana yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat. Seperti diungkapkan Al Ghazali, ‘amar ma`ruf nahi mungkar merupakan elemen penting dalam doktrin Islam, karena Allah SWT mengutus para nabi untuk menegakan amar ma`ruf nahi mungkar, yang tujuannya agar umat manusia tidak melakukan kemaksiatan atau kemungkaran.
8 Abdullah Nashih Ulwan, terj., Pendidikan Anak dalam Islam (Jakarta: Pustaka Amani, 2002). Volume 02 No. 02 November 2012
98 M O M E N T U M
Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam
Karena benturan di dalam realitas pragmatis masyarakat sangat kompleks, mungkin akan terbersit di benak kita, sejauh mana tanggung jawab kita dalam melakukan amr ma’ruf nahi mungkar. Untuk hal ini Muslim meriwayatkan satu hadist rasullullah yang diterima dari Abu Sa`id al Khudry: “Barangsiapa diantaramu melihat kemungkaran hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, jika ia tidak sanggup, maka dengan lidahnya, jika tidak sanggup juga, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman “ (Diriwayatkan oleh Imam Muslim). Hadits di atas menjelaskan bahwa ada tiga cara untuk mencegah kemungkaran, yaitu: (a) Dengan tangan (otoritas kepemimpinan, sistem sosial, atau hukum). Hadist ini menjelaskan kepada kita bahwa segala bentuk kemungkaran bisa terjadi karena lemah atau bobroknya otoritas kepemimpinan, sistem sosial, atau hukum yang ada, dan untuk mencegahnya harus dengan perbaikan ketiga hal tersebut (b) Dengan lisan (peringatan, nasihat atau wejengan). Setiap orang yang melakukan tindak kemungkaran atau kejahatan pasti punya alasan dan motif sendiri. Motif-motif inilah yang seharusnya kita pahami, karena dengan pemahaman akan motif ini kita bisa memahami bagaimana kita harus merubah motif sipelaku. Mengubah motif itu bisa dilakukan dengan memberi peringatan secara lisan, nasihat ataupun wejengan (c) Dengan hati (mendoakan). Tidak sedikit dari kemungkaran dilakukan secara berjamaah atau gotong royong. Banyak dari kita yang tidak sanggup mengubah hal ini karena kemungkaran sudah menggurita. Pada posisi inilah kita mengubah kondisi ini dengan hati, alias mendoakan agar kemungkaran itu segera berakhir. Dari penjelasan di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa shalat bukan hanya sebatas gerak ritual penghambaan yang bersifat vertikal (antara Allah dan hamba), tetapi juga memiliki dimensi horisontal (antar sesama hamba) atau nilai pragmatis untuk perbaikan kehidupan sosial. Singkatnya shalat menjadi fondasi amr ma’ruf nahi mungkar. Inilah esensi dari surat Luqman ayat 17 di atas. Esensi yang harus diajarkan kepada anak-anak didik kita dalam proses transformasi ilmiah. Karena semua kajian ilmiah mutlak dan harus diarahkan untuk perbaikan kualitas hidup manusia baik secara individual ataupun sosial. d. Pendidikan Moral (Akhlaq) dan Karakter Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (Luqman 18-19)
Volume 02 No. 02 November 2012
99 M O M E N T U M
Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam
Prinsip dasar pendidikan Islam yang keempat adalah pendidikan moral (akhlaq) dan karakter. Dalam pidato–pidato formal, menteri pendidikan Indonesia saat ini, Muhammad Nuh, sering mengulas dan menekankan akan pentingnya pendidikan moral dan karakter bagi anak-anak didik yang akan menjadi generasi penerus bangsa Indonesia. Ia khawatir dengan degradasi moral anak bangsa saat ini. Maraknya tawuran antar pelajar, mahasiswa dan desa, free sex, nge-drug, melambungnya tingkat kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur, dan korupsi adalah sekian indikator yang bisa digunakan untuk mengukur tingkat degradasi moral anak bangsa. Moral secara etimologi berasal dari bahasa yunani, dari kata “Mos” (jamak: Mores), yang berarti adat istiadat atau kebiasaan. Kata moral memiliki arti yang sama dengan kata “etika“ (Ethos, jamak: ta etha).9 Dalam bahasa arab kedua kata tersebut sepadan dengan kata “akhlak” (jamak: Khuluq) yang berarti seperangkat nilai, tata cara, budi pekerti, aturan hidup atau kebiasaan baik yang berlaku di suatu masyarakat. Dalam kaitannya dengan pendidikan, moral atau akhlaq juga bisa dimaknai sebagai refleksi kritis atas nilai dan norma moral yang dikaitkan dengan berbagai aspek permasalahan hidup manusia. Pendidikan moral menjadi salah satu basis pendidikan Islam karena ia terkait erat dengan norma-norma sosial dan aturan hidup yang mesti ditaati seseorang ketika melakukan interaksi sosial. Nabi Muhammad sendiri diutus ketengah kaumnya demi menyempurnakan akhlaq, sebagaimana yang ditegaskan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad Bin Hambal إنما بعثت ألتمم مكارم األخالق Aku hanya diutus menyempurnakan akhlak (HR. Imam Ahmad Bin Hambal) Salah satu alasan kenapa moral menjadi fokus utama nabi Muhammad SAW adalah karena nilai-nilai moral bersifat universal, berlaku untuk siapapun tanpa memandang suku, bangsa, ras ataupun negara. Sebut saja seperti membunuh, mencuri, sombang, iri, atau dengki, pasti semua orang akan mengatakannya sebagai perbuatan yang hina dan dilarang. Ada yang menarik dari model pendidikan moral Islam yang diajarkan dalam surat Luqman ayat 18-19, yaitu pendidikan moral yang diawali dari suatu perkara yang sangat sepele, tegasnya larangan untuk sombong dan angkuh serta perintah untuk hidup sederhana. Sepele memang, tapi efeknya sangat dahsyat. Pastinya kita tahu bagaimana kisah kesombongan dan keangkuhan setan yang menjadikannya terusir dari surga. Begitu pula dengan jejak kesederhanaan Nabi Muhammad yang menjadikannya seorang yang paling istimewa. Islam mengajarkan agar pendidikan moral yang diberikan kepada anak didik dimulai dari perkara yang sangat kecil, karena pendidikan moral terpaut erat dengan proses pembentukan karakter peserta didik. Kesombongan dan keangkuhan yang tertanam dalam pribadi seseorang akan membentuk karakter yang narsis, individualis, apatis dan sifat-sifat lain yang memiliki pengaruh negatif. Sebaliknya, kerendahan hati 9 Dogobert D. Runes, ed., Dictionary of Philosophy (New Jersey: Littlefield, Adams & CO, 1976), 98-100, dan A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya (Yogyakarta: Kanisius, 2010), 14-15. Volume 02 No. 02 November 2012
100 M O M E N T U M
Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam
yang tertanam pada diri seseorang akan membentuk karakter yang sopan, legowo, toleransi, dan sifat-sifat lain yang memberi efek positif bagi orang-orang disekitarnya. Begitu pula dengan kesederhanaan yang tertanam pada diri seseorang, ia akan membentuk karakter yang jujur, tidak tamak, dan punya jiwa sosial yang tinggi. Satu karakter yang paling diagungkan dalam kaitannya dengan pendidikan anak adalah sabar. Kesabaran bisa dikatakan sebagai puncak kepribadian seorang hamba yang beriman. Allah sendiri mematri kata sabar dalam surat Luqman ayat 17 sebagai karakter unggul yang harus dimiliki dan diajarkan kepada seluruh peserta didik. Karena dengan kesabaranlah kualitas keimanan kita akan meningkat dan teruji. .... Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan. (Luqman: 17) Sabar sendiri secara etimologi berarti al-habsu (mencegah, menghalangi, memenjarakan). Sabar juga bisa bermakna al jara’ah (keberanian). Sebagian besar ulama mengdefinisikan sabar sebagai proses menahan diri dari segala sesuatu yang tidak berkenan di hati. Karena definisi ini, sabar sering diartikan juga sebagai ketabahan. Imam Ghazali mendefinisikan sabar sebagai ketetapan hati untuk melaksanakan tuntunan agama dan menghindari rayuan nafsu.10 Mohsen Qaraati menjelaskan lebih jauh tentang sabar. Menurutnya, dalam doktrin Islam ada lima bentuk sabar, yaitu: 1. Sabar dalam beribadah (al-Shobru fi al-‘ibadah). Sabar dalam konteks ini adalah ketekunan dalam melaksanakan semua syaratsyarat dan tata tertib ibadah, serta menghindari kemaksiatan. 2. Sabar menerima musibah (al-Shobru ‘inda al-mushibah). Sabar pada titik ini adalah kerelaan dan ketulusan untuk menerima segala macam bentuk cobaan dan musibah, karena ia merupakan bagian dari ujian Allah untuk memperoleh keridhoanNya 3. Sabar menghadapi bahtera kehidupan dunia (al-Shobru ‘an al-Dunya) Sabar dalam hal ini adalah keberanian untuk menghadapi semua gonjangganjing kehidupan dunia dengan didasari keimanan kepada Allah. 4. Sabar terhadap ma‟siat (al-Shobru ‘an al-Ma’shiah) Sabar di sini berarti konsisten untuk tidak keluar dari jalur kebenaran dan berani menolak kemaksiatan. 5. Sabar dalam perjuangan (al-Shobru fi al-Jihad) Sabar pada tarap ini adalah keteguhan hati untuk senantiasa berjalan dan berjuang di jalan Allah dan rasulnya. Sabar dalam konteks ini didasari oleh keyakinan bahwa hanya Allah-lah yang bener-benar Benar.
10 Mohsen Qaraati, Seri Tafsir untuk Anak Muda Surat Luqman, 41. Volume 02 No. 02 November 2012
101 M O M E N T U M
Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam
Pendidikan moral dan karakter adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Keduanya harus ditanamkan kepada anak-anak didik kita sedini mungkin. Moral berkaitan dengan tingkah laku, dan tingkah laku seseorang akan baik jika karakternya sudah terbentuk dengan baik. Begitu juga sebaliknya, perilaku seseorang akan buruk jika karakternya lepas dari dimensi pendidikan moral. Bagaimanapun juga kerendahan hati, kejujuran, kesederhanaan dan kesabaran anak-anak didik adalah hasil dari proses pendidikan moral dan karakter. Di Indonesia, pendidikan moral dan karakter secara formal sudah masuk dalam kurikulum pendidikan, namun minim aplikatif dan hasilnya nihil. Masalah utamanya terletak pada dua hal, yaitu (a) pendidikan moral yang diajarkan di sekolah-sekolah formal tidak memiliki pijakan teologis, yaitu tidak dilandasi oleh nilai-nilai ketauhidan dan penguatan karakter. Moralitas yang diajarkan umumnya berbasis etika bisnis, yang dasarnya untung rugi. Hal ini terjadi karena dunia pendidikan di Indonesia sudah berubah fungsi menjadi ladang bisnis, dan kurikulumnya sudah diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan pangsa pasar tenaga kerja. Inilah permasalahan utama dan menjadi poin penting yang harus kita waspadai dalam mendidik anak didik kita. Wal hasil, keempat prinsip dasar pendidikan Islam yang termaktub dalam surat Luqman ayat 13-19 di atas pada dasarnya adalah model pendidikan Islam yang tujuannya membentuk anak-anak didik kita supaya memiliki empat hal, yaitu, kesalehan ritual, kesalehan sosial, kesalehan intelektual, dan tanggap terhadap permasalahan umat. Penutup Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memerdekakan anak-anak didiknya dari berhala-berhala penghambaan material. Pendidikan yang orientasi utamanya mencetak insan beriman. Dan suatu lembaga pendidikan dianggap berhasil jika ia mampu membentuk moral dan karakter anak-anak-didiknya yang shaleh secara ritual, shaleh secara sosial, saleh secara intelektual, dan respek terhadap perubahan dan dinamika kehidupan sosial. Untuk mencapai itu semuanya tentunya selain membutuhkan waktu dan proses yang panjang, juga perlu model pendidikan yang paripurna. Dalam kaitannya dengan model pendidikan, Islam mengajarkan kita bahwa model pendidkan yang harus diaplikasikan dalam proses pembelajaran anak-anak didik kita adalah model pendidikan yang memuat empat prinsip dasar, yaitu: tauhid („aqidah), bakti kepada orang tua berbasis „aqidah, kepekaan sosial, pendidikan moral dan karakter. Daftar Pustaka Abdullah, Nashih, Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam. Jakarta : Pustaka Amani, 2002. Afandi, Bisri, Pembaharuan dan Pemurnian Islam di Indonesia. Jakarta : Pustaka Alkautsar, 1999. Al Ghamidi, Abdullah, Namanya Luqman Al Haki. Yogyakarta: Diva Press, 2008. Al Jazairi, Jabir, AB., Ensiklopedi Muslim Minhajul Muslim. Jakarta : Darul Falah, 2000. Iskandar, Psikologi Pendidikan. Jakarta: Gaung Persada Press, 2005. Ma‟arif, Samsul, Revitalisasi Pendidikan Islam. Yogyakarta : PT Graham Ilmu, 2000.
Volume 02 No. 02 November 2012
102 M O M E N T U M
Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam
Qaraati, Mohsen, Seri Tafsir untuk Anak Muda Surat Luqman. Jakarta: Al Huda, 2005. Ulwan, Nashih, Abdullah, Pendidikan Anak dalam Islam. Jakarta : Pustaka Amani, 2002. Zuhairini, Metodik Khusus Penidikan Agama. Malang: IAIN Sunan Ampel, 1983.
103 M O M E N T U M
Volume 02 No. 02 November 2012
Pedoman Penulisan
MOMENTUM Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial dan Keagamaan Volume 02 No. 02, November 2012
ISSN: 2089-3019
PEDOMAN PENULISAN JURNAL MOMENTUM Redaksi MOMENTUM menerima tulisan dari berbagai kalangan (mahasiswa, akademisi, cendikia, peneliti, pemikir, dan masyarakat umum) untuk dimuat dalam jurnal ini dengan ketentuan sebagai berikut: Tulisan membahas problematika sosial dan isu-isu keagamaan yang berkembang di tengah realitas pragmatis masyarakat. Naskah artikel jurnal bisa ditulis dengan bahasa Indonesia atau Inggris dengan tetap memperhatikan standar minimial yang telah ditentukan oleh redaksi MOMENTUM. Naskah artikel jurnal berjumlah antara 15-25 halaman, dengan ukuran kertas A4, margin atas/bawah/kiri/kanan berurutan 4/3/4/3 cm, diketik mengunakan format font Times New Roman ukuran 12 point, paragrap 1.5 spasi, dan paragraf diberi first line 1 cm. Untuk teknik pengutipan yang digunakan dalam jurnal MOMENTUM adalah pengutipan dalam bentuk footnote (catatan kaki). Rujukan yang digunakan dalam penulisan footnote adalah aturan-aturan yang dimuat dalam karya L. Turabian, A Manual Writers of Term Papers, Theses, and Dissertation (diterbitkan oleh The Chicago University Press). Secara garis besar aturan-aturan tersebut bisa dilihat pada contoh di bawah ini: a. Buku 1 Henry Seidel Canby, Walt Whitman an American (Boston: Houghton Nifflin, 1943), 110. b. Buku Terjemahan 2 David Chaney, Lifestyles: Sebuah Pengantar Komprehensif, terj. Nuraeni (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), 26. c. Artikel dalam Sebuah Buku atau Ensiklopedia 3 Wadi Z. Haddad, “A Tenth-Century Speculative Teologist’s Refutation of The Basic Doctrines of Christianity: al-Baqillani (d. A.D. 1013), dalam Yvonne Yazbeck Haddad dan Wadi Haddad (eds.), Christian-Muslim Encounters (Gainesville: University Press of Florida, 1995), 80. d. Makalah 4 Robin Knight, “Poland’s Feud in the Family.”, U.S News and World Report, 10 September 1990, 55-57. e. Artikel dalam Sebuah Jurnal 5 Carl F. Strauch, “The Structures of Walt Whitman’s Song of Myself,” English Journal 27 (September 1938, College Edition), 597-607.
Volume 02 No. 02 November 2012
104 M O M E N T U M
Pedoman Penulisan
f. Artikel dalam surat kabar 6 Simatupang Harahap, “Demokrasi Tipu-Tipu,” Kompas, 5 Februari 1999, 5. g. Karangan Esai dalam Buku Kumpulan Karangan 7 Paul Tillich, ”Being and Love.“ in Moral Principles of Action, ed. Ruth N. Anshen, (New York: Harper & Bros., 1952), 677. h. E-book dan Website 8 Trochim. The research methods knowledge base. 2nd edn, (14 November 2001): 34-54. http://socialresearchmethods.net/htm. 9 Garcia, P. “Pragmatic comprehension of high and low level language learners.” TESL-EJ, vol 8, no. 2, (02 Desember 2005). http://berkeley.edu/TESLEJ/ej30/a!.html. Jika dalam tulisan memuat tabel atau gambar maka harus diberi nomor, judul, dan keterangan yang jelas, dan posisi gambar atau tabel diletakan di tengah (center). Penggunaan istilah atau kata dalam bahasa asing harus dicetak miring. Bentuk artikel yang diterbitkan dalam jurnal MOMENTUM adalah artikel hasil penelitian dan artikel konseptual. 1. Artikel Hasil Penelitian Secara teknis sistematika penulisan artikel ini terdiri sepuluh bagian, yaitu: a. Judul b. Identitas Penulis c. Abstrak d. Kata Kunci (Keyword) e. Pendahuluan f. Metode g. Hasil Penelitian dan Pembahasan h. Kesimpulan i. Daftar Pustaka Penulisan daftar pustaka ditulis secara alfabetis mengikuti Turabian Style. Berikut adalah contoh penulisan daftar pustaka: 1. Buku Weiss, Daniel A. Oedipus in Nottingham: D.H. Lawrence. Seatle: University of Washington Press, 1962. 2. Makalah Knight, Robin. “Poland’s Feud in the Family.”, New York, 10 September 1990, 55-57. 3. Jurnal Hall, M. “Breaking the silence.” Contemporary Nurse, vol. 8, no. 1 (Desember 1999): 232-237. 4. Surat Kabar Surya, “Positivisme Konflik.” Republika (03 Maret 2012): 13. 5. Skripsi, Tesis atau Disertasi. Permana, Aji, Dadang. Konsep Manusia Menurut Maurice Bucaille. Skripsi, UIN Sunan Gunung Djati, 2004.
Volume 02 No. 02 November 2012
105 M O M E N T U M
Pedoman Penulisan 6. Karangan Esai dalam Buku Kumpulan Karangan Tillich, Paul. ”Being and Love.“ in Moral Principles of Action, ed. Ruth N. Anshen, 661-72. New York: Harper & Bros., 1952 7. E-book dan Website Trochim. The research methods knowledge base. 2nd edn, (14 November 2001): 34-54. http://socialresearchmethods.net/htm. Accesed Oktober 15, 2011. Garcia, P. “Pragmatic comprehension of high and low level language learners.” TESL-EJ, vol 8, no. 2, (02 Desember 2005). http://berkeley.edu/TESL-EJ/ej30/a!.html. Accesed Januari 15, 2006. j. Ucapan Terima Kasih (bila ada) 2. Artikel Konseptual Artikel konseptual adalah artikel yang didalamnya berupa analisis putusan, kajian teori, dan atau pengembangan wacana kontemporer lainnya. Secara teknis, penulisan artikel konseptual pada dasarnya sama dengan artikel hasil penelitian empirik, perbedaannya hanya dalam sistematika penyajian. Penyajian artikel konseptual harus mencakup: Judul, Nama dan Afiliasi Penulis, Abstrak, Kata kunci, Pendahuluan, Pembahasan (dibuat per sub judul sesuai dengan bahasan) Kesimpulan (Penutup), dan Daftar Pustaka. 106
Artikel bisa dikirim ke alamat redaksi sebagaimana tertera di bawah, dan dengan disertai biodata penulis.
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT SEKOLAH TINGGI ISLAM BLAMBANGAN Jl. Bumi Cempokosari No. 40 Cluring Banyuwangi Jawa Timur Telp./Fax. (0333) 392720, 392216 E-Mail:
[email protected] [email protected] Personal contact: Dadang Aji Permana 085258808686
Volume 02 No. 02 November 2012
M O M E N T U M