Med. Pet. Vol. 29 No. 3: 121-192 Desember 2006
Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005
M E D I A P E T E R NA K A N
JURNAL ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
ARTIKEL : Penggunaan Kromium Organik dari Beberapa Jenis Fungi terhadap Aktivitas Fermentasi Rumen Secara in Vitro. W. D. Astuti, T. Sutardi, D. Evvyernie & T. Toharmat. Pemberian Antanan (Centella asiatica) dan Vitamin C Sebagai Upaya Mengatasi Efek Cekaman Panas pada Broiler. E. Kusnadi, R. Widjajakusuma, T. Sutardi, P.S. Hardjosworo &A. Habibie. Induksi Superovulasi dengan Kombinasi CIDR, Hormon FSH dan hCG pada Induk Sapi Potong. E.M. Kaiin & B.Tappa. Sifat Fisik Pakan Kaya Serat dan Pengaruhnya terhadap Konsumsi dan Kecernaan Nutrien Ransum pada Kambing. T. Toharmat, E. Nursasih, R. Nazilah, N. Hotimah, T.Q. Noerzihad, N.A. Sigit & Y. Retnani. Kajian Penambahan Ragi Tape pada Pakan terhadap Konsumsi, Pertambahan Bobot Badan, Rasio Konversi Pakan, dan Mortalitas Tikus (Rattus norvegicus). E.M.Sianturi,A.M.Fuah & K.G. Wiryawan. Pengaruh Konformasi Butt Shape terhadap Karakteristik Karkas Sapi Brahman Cross pada Beberapa Klasifikasi Jenis Kelamin. Harapin Hafid H. & R. Priyanto. Respons Ayam Kampung terhadap Penambahan Kalsium Asal Siput (Lymnae Sp) dan Kerang (Corbiculla molktiana) pada Kondisi Ransum Miskin Fosfor. Khalil. Faktor Karakteristik Peternak yang Mempengaruhi Sikap terhadap Program Kredit Sapi Potong di Kelompok Peternak Andiniharjo Kabupaten Sleman Yogyakarta. S.A. Wibowo & F.T. Haryadi. Daya Pintal dan Kekuatan Benang Bulu Domba Priangan dan Peranakan Merino. M. Duldjaman, T.R. Wiradarya & M.I.H. Muttaqin. ISSN 0126-0472
MEDIA PETERNAKAN JURNAL ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
MEDIA PETERNAKAN Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Peternakan Vol. 29 No. 3, Desember 2006 Dewan Penyunting
Penyunting Pelaksana
Administrasi dan Kesekretariatan
Alamat Redaksi
: Rachmat Herman (Ketua) Kooswardhono Mudikdjo Toto Toharmat Komang G. Wiryawan Cece Sumantri Hadiyanto : Erlin Trisyulianti (Ketua) Anggraini Sukmawati Tuti Suryati : Irma Nuranthy P.
: Fakultas Peternakan IPB Jl. Agatis, Kampus Darmaga, Bogor 16680 Telp.: (0251) 421692, 628394, 622841, Fax. 622842, e-mail :
[email protected]
Media Peternakan, Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Peternakan diterbitkan sejak September 1967 oleh Fakultas Peternakan IPB
Terbit 3 (tiga) kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember
MEDIA PETERNAKAN Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Peternakan
Desember 2006
Vol. 29 No. 3: 121-192 DAFTAR ISI
Penggunaan Kromium Organik dari Beberapa Jenis Fungi terhadap Aktivitas Fermentasi Rumen Secara in Vitro. W. D. Astuti, T. Sutardi, D. Evvyernie & T. Toharmat..................................................................................................................
121
Pemberian Antanan (Centella asiatica) dan Vitamin C Sebagai Upaya Mengatasi Efek Cekaman Panas pada Broiler. E. Kusnadi, R. Widjajakusuma, T. Sutardi, P.S. Hardjosworo & A. Habibie.............................................................
133
Induksi Superovulasi dengan Kombinasi CIDR, Hormon FSH dan hCG pada Induk Sapi Potong. E.M. Kaiin & B.Tappa...........................................................
141
Sifat Fisik Pakan Kaya Serat dan Pengaruhnya terhadap Konsumsi dan Kecernaan Nutrien Ransum pada Kambing. T. Toharmat, E. Nursasih, R. Nazilah, N. Hotimah, T.Q. Noerzihad, N.A. Sigit & Y. Retnani..............................
146
Kajian Penambahan Ragi Tape pada Pakan terhadap Konsumsi, Pertambahan Bobot Badan, Rasio Konversi Pakan, dan Mortalitas Tikus (Rattus norvegicus). E.M.Sianturi, A.M.Fuah & K.G. Wiryawan..........................
155
Pengaruh Konformasi Butt Shape terhadap Karakteristik Karkas Sapi Brahman Cross pada Beberapa Klasifikasi Jenis Kelamin. Harapin Hafid H. & R. Priyanto.............................................................................................................
162
Respons Ayam Kampung terhadap Penambahan Kalsium Asal Siput (Lymnae Sp) dan Kerang (Corbiculla molktiana) pada Kondisi Ransum Miskin Fosfor. Khalil........................................................................................................................
169
Faktor Karakteristik Peternak yang Mempengaruhi Sikap terhadap Program Kredit Sapi Potong di Kelompok Peternak Andiniharjo Kabupaten Sleman Yogyakarta. S.A. Wibowo & F.T. Haryadi.............................................................
176
Daya Pintal dan Kekuatan Benang Bulu Domba Priangan dan Peranakan Merino. M. Duldjaman, T.R. Wiradarya & M.I.H. Muttaqin..................................
187
Pengantar Redaksi
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. atas terbitnya Media Peternakan Vol. 29 No. 3 Tahun 2006 yang diterbitkan oleh Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Media Peternakan merupakan jurnal ilmu pengetahuan dan teknologi peternakan, terbit 3 (tiga) kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember. Media Peternakan melakukan beberapa perubahan dalam penulisan naskah mulai edisi ini dan seterusnya. Perubahan-perubahan tersebut, antara lain : Indeks Penulis dan Indeks Subyek akan dicantumkan pada setiap penerbitan (nomor), Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris baik untuk naskah berbahasa Indonesia maupun naskah berbahasa Inggris, serta judul gambar diletakkan di tengah (center). Pada edisi kali ini menampilkan hasil penelitian tentang penggunaan kromium organik dari beberapa jenis fungi terhadap aktivitas fermentasi rumen secara in vitro; pemberian antanan (Centella asiatica) dan vitamin C sebagai upaya mengatasi efek cekaman panas pada broiler; induksi superovulasi dengan kombinasi CIDR, hormon FSH dan HCG pada induk sapi potong; sifat fisik pakan kaya serat dan pengaruhnya terhadap konsumsi dan kecernaan nutrien ransum pada kambing; kajian penambahan ragi tape pada pakan terhadap konsumsi, pertambahan bobot badan, rasio konversi pakan, dan mortalitas tikus (Rattus norvegicus); pengaruh konformasi butt shape terhadap karakteristik karkas sapi Brahman Cross pada beberapa klasifikasi jenis kelamin; respons ayam kampung terhadap penambahan kalsium asal siput (Lymnae sp) dan kerang (Corbiculla molktiana) pada kondisi ransum miskin fosfor; faktor karakteristik peternak yang mempengaruhi sikap terhadap program kredit sapi potong di kelompok peternak Andiniharjo kabupaten Sleman Yogyakarta; daya pintal dan kekuatan benang bulu domba Priangan dan peranakan Merino. Kami mengucapkan terima kasih kepada penulis dan semua pihak yang telah membantu penerbitan jurnal ini. Semoga dengan terbitnya jurnal ini dapat mengaktifkan dan menghimpun hasil-hasil penelitian para dosen dan peneliti serta sebagai sarana informasi bagi masyarakat ilmiah, khususnya masyarakat peternakan, dan umumnya bagi masyarakat luas.
Redaksi
Media Peternakan, Desember 2006, hlm. 121-132 ISSN 0126-0472 Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005
Vol. 29 No. 3
Penggunaan Kromium Organik dari Beberapa Jenis Fungi terhadap Aktivitas Fermentasi Rumen Secara in Vitro W.D. Astutia, T. Sutardib, D. Evvyernieb & T. Toharmatb a
Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Jalan Raya Bogor Km 46, Cibinong 16911 Telp: 021-8754587, E-mail:
[email protected] b Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB Jl Agatis Kampus IPB, Darmaga, Bogor 16680 (Diterima 20-12-2005; disetujui 05-10-2006)
ABSTRACT Chromium appears to be an essential trace element since 1959, but its effect on ruminal microbes is not clear yet. This experiment was conducted to study the effects of organic chromium supplementation on rumen fermentation activity. An in vitro technique was held using randomized block design with 13 treatments and 3 replications. There were four kinds of organic Cr used, produced with four different species of fungi as carriers. Fungi used as carriers were Saccharomyces cerevisiae, Aspergillus oryzae, Rhizophus oryzae and “ragi tape”. The result indicated that the optimum organic Cr supplementation was 1 mg organic Cr/kg dry matter. Supplementation of 1 mg organic Cr/kg dry matter increased dry matter and organic matter digestibilities. It also tended to increase NH3 and total VFA production. Propionate production increased, which decreased methane production and increased hexose conversion efficiency in several treatments. Each fungus used as carrier of organic Cr resulted in different effects on rumen fermentation activity, but the effects was within a normal range. It was concluded that either Saccharomyces cerevisiae, Aspergillus oryzae, Rhizophus oryzae or “ragi tape” could be used as carrier in organic Cr production. Key words : organic Cr, ruminal microbes, Saccharomyces cerevisiae, Aspergillus oryzae, Rhizophus oryzae, “ragi tape”
PENDAHULUAN Kromium dianggap sebagai mineral yang esensial sejak tahun 1959 (Mertz, 1998). Peran utama Cr secara fisiologis adalah meningkatkan potensi aktivitas insulin. Kromium merupakan komponen aktif dari GTF (Glucose Tolerance
Factor), yaitu kompleks yang tersusun atas Cr3+ dengan 2 molekul asam nikotinat dan 3 asam amino yang terkandung dalam glutation seperti glutamat, glisin dan sistein (Burton, 1995). Ketiadaan unsur Cr di dalam GTF akan mengakibatkan GTF tidak dapat bekerja mempengaruhi insulin. Kromium dalam bentuk
Edisi Desember 2006
121
ASTUTI ET AL.
GTF telah diketahui dapat meningkatkan potensi aktivitas hormon insulin yang memegang peranan penting dalam transpor glukosa dan asam amino (Lyons, 1995). Di samping esensial dalam metabolisme karbohidrat, Cr juga dibutuhkan dalam metabolisme lemak dan protein. Defisiensi Cr dapat menyebabkan rendahnya inkorporasi asam amino pada protein hati. Asam amino yang dipengaruhi oleh Cr dalam sintesis protein adalah metionin, glisin dan serin (Anderson, 1987). Sampai saat ini belum banyak informasi mengenai peranan Cr bagi mikroba rumen. Muktiani (2002) menyebutkan bahwa pemberian Cr organik dapat meningkatkan fermentabilitas ransum secara in vitro. Adanya peningkatan aktivitas mikroba rumen tersebut memberikan indikasi bahwa Cr kemungkinan esensial bagi mikroba rumen. Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh suplementasi Cr organik yang menggunakan berbagai spesies fungi yang berbeda sebagai carrier mempengaruhi aktivitas fermentasi rumen secara in vitro. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan secara in vitro menggunakan rancangan acak kelompok dengan 3 ulangan sebagai kelompok. Empat spesies fungi digunakan sebagai carrier untuk memproduksi empat macam Cr organik yang dicobakan. Fungi tersebut adalah Saccharomyces cerevisiae (SC), Aspergillus oryzae (AO), Rhizopus oryzae (RO) dan ragi tape. Produksi Cr organik dilakukan dengan cara menginkorporasikan Cr ke dalam fungi melalui proses fermentasi. Substrat dasar yang digunakan adalah singkong. Singkong diiris tipis, kemudian dicampur dengan larutan Cr anorganik, triptofan, medium selektif dan air sehingga campuran substrat tersebut mempunyai
122
Edisi Desember 2006
Media Peternakan
konsentrasi Cr sesuai dengan perlakuan. Triptofan yang digunakan sebanyak 600 mg/kg substrat. Campuran substrat kemudian disterilkan menggunakan pressure cooker selama 20 menit pada suhu 110oC, 15 psi. Setelah dingin, substrat diratakan pada nampan plastik dan ditambahkan starter/inokulan untuk masing-masing perlakuan fungi yang digunakan. Bagian atas nampan plastik dibungkus dengan kertas, dan disusun dalam rak yang tertutup plastik, dalam ruangan tertutup. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari terjadinya kontaminasi tetapi masih ada udara yang masuk. Inkubasi dilakukan selama 5 hari pada suhu ruang, kemudian produk dikeringkan dengan menggunakan oven. Setelah kering, produk dihaluskan sehingga berbentuk butiran halus dan siap digunakan. Perlakuan yang diuji berupa 13 jenis ransum yaitu: 1. Kontrol = ransum kontrol 2. SC 1 = kontrol + Cr-org SC sebanyak 1 mg/kg ransum 3. SC 2 = kontrol + Cr-org SC sebanyak 2 mg/kg ransum 4. SC 3 = kontrol + Cr-org SC sebanyak 3 mg/kg ransum 5. AO 1 = kontrol + Cr-org AO sebanyak 1 mg/kg ransum 6. AO 2 = kontrol + Cr-org AO sebanyak 2 mg/kg ransum 7. AO 3 = kontrol + Cr-org AO sebanyak 3 mg/kg ransum 8. RO 1 = kontrol + Cr-org RO sebanyak 1 mg/kg ransum 9. RO 2 = kontrol + Cr-org RO sebanyak 2 mg/kg ransum 10. RO 3 = kontrol + Cr-org RO sebanyak 3 mg/kg ransum 11. Ragi tape 1 = kontrol + Cr-org ragi tape sebanyak 1 mg/kg ransum 12. Ragi tape 2 = kontrol + Cr-org ragi tape sebanyak 2 mg/kg ransum
Vol. 29 No. 3
PENGGUNAAN KROMIUM ORGANIK
13. Ragi tape 3 = kontrol + Cr-org ragi tape sebanyak 3 mg/kg ransum Bahan dasar ransum kontrol yang digunakan adalah rumput gajah dan konsentrat dengan perbandingan 50:50. Komposisi nutrien ransum kontrol dapat dilihat pada Tabel 1. Parameter yang diukur adalah kecernaan bahan kering dan bahan organik, VFA total, VFA individual, dan NH 3. Sebanyak satu gram sampel ransum dimasukkan ke dalam tabung fermentor, kemudian ditambahkan larutan McDougall sebanyak 12 ml dan cairan rumen sapi 8 ml. Tabung ditambahkan gas CO2 selama 30 detik untuk menciptakan kondisi anaerob dan disumbat dengan tutup karet. Selanjutnya tabung dimasukkan ke dalam shaker bath dan difermentasi selama 6 jam. Sumbat karet dibuka dan ditambahkan 0,2 ml HgCl2 jenuh untuk membunuh mikroba sehingga fermentasi terhenti. Kemudian tabung disentrifugasi pada kecepatan 10000 rpm selama 10 menit, dan supernatan diambil untuk analisis VFA total, VFA individual, dan NH3. VFA total diukur dengan metode destilasi uap, NH 3 diukur dengan metode mikrodifusi Conway (Sutardi, 1994), serta VFA individual dilakukan dengan teknik kromatografi gas (Adnan, 1997).
Uji kecernaan dilakukan dengan metode Tilley & Terry (1963). Tahapan analisis sama seperti yang dilakukan pada fermentasi in vitro, tetapi waktu inkubasi dilanjutkan sampai 24 jam. Setelah pencernaan fermentatif (anaerob) selama 24 jam, tutup tabung dibuka dan ditambahkan 0,2 ml HgCl 2 . Campuran disentrifugasi pada kecepatan 10000 rpm selama 10 menit dan supernatan dibuang, kemudian ke dalam tabung ditambahkan 20 ml larutan pepsin 0,2%. Inkubasi dilanjutkan selama 24 jam secara aerob. Sisa pencernaan disaring dengan kertas saring Whatman nomor 41 dengan bantuan pompa vakum. Hasil saringan dimasukkan ke dalam cawan porselin dan dikeringkan dengan oven 105oC untuk mengetahui residu bahan kering dan diabukan dalam tanur 600oC untuk menghitung residu bahan organiknya. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan sidik ragam (analysis of variance) dan apabila ada perbedaan di antara perlakuan dilanjutkan dengan uji orthogonal kontras (Steel & Torrie, 1981).
Tabel 1. Komposisi bahan pakan dan nutrien ransum penelitian
Bahan pakan Rumput gajah Jagung Bungkil kedelai Bungkil kelapa Onggok Tepung ikan Bungkil kelapa sawit Minyak kelapa Molases Urea
Jumlah (% BK) 50 2,4 7,1 18 15,2 0,5 4,8 0,5 1 0,5
Nutrien
Jumlah
Bahan kering (%) Abu (% BK) Protein kasar (% BK) Serat kasar (% BK) Lemak kasar (% BK) BETN (% BK) TDN (% BK) Ca (% BK) P (% BK)
87,82 7,92 14,93 33,98 2,07 29,20 49,10 0,064 0,050
Edisi Desember 2006
123
ASTUTI ET AL.
Media Peternakan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Suplementasi Cr organik yang menggunakan carrier Aspergillus oryzae sebanyak 2 dan 3 mg/kg ransum tidak memberikan nilai kecernaan bahan kering yang berbeda nyata dengan kontrol. Cr organik dengan carrier Rhizophus oryzae memberikan nilai kecernaan bahan kering yang lebih rendah dari kontrol (P<0,05) pada taraf 2 mg/kg ransum, dan nilai kecernaan bahan kering ransum kembali meningkat pada level 3 mg/kg ransum. Pemakaian Cr organik yang menggunakan ragi tape sebagai carrier memberikan nilai kecernaan bahan kering ransum yang berbeda nyata (P<0,05) pada semua taraf Cr yang digunakan, yang nilainya lebih tinggi daripada nilai kecernaan bahan kering ransum kontrol (P<0,05). Nilai kecernaan bahan organik ransum pelakuan juga dipengaruhi oleh suplementasi Cr organik, yang polanya tidak berbeda jauh
Kecernaan Kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum penelitian disajikan pada Tabel 2. Suplementasi Cr organik sebesar 1 mg/kg ransum telah dapat meningkatkan kecernaan bahan kering ransum secara nyata (P<0,05) dibandingkan dengan kontrol pada semua fungi yang digunakan. Suplementasi Cr organik yang menggunakan carrier Saccharomyces cerevisiae memberikan nilai kecernaan bahan kering ransum yang menurun dengan meningkatnya level Cr organik yang digunakan, meskipun antara 1 mg/kg ransum dan 2 mg/kg ransum tidak memberikan nilai kecernaan bahan kering ransum yang berbeda nyata. Suplementasi Cr organik 3 mg/ kg ransum memberikan nilai kecernaan yang lebih rendah dari ransum kontrol. Tabel 2. Nilai kecernaan ransum penelitian (%)
Perlakuan Kontrol SC 1 SC 2 SC 3 Saccharomyces cerevisiae AO 1 AO 2 AO 3 Aspergillus oryzae RO 1 RO 2 RO 3 Rhizopus oryzae Ragi tape 1 Ragi tape 2 Ragi tape 3 Ragi tape
KCBK1)
KCBO2)
43,7±0,8ab 46,0±1,4b 44,6±0,5b 42,7±1,7a 44,4±1,8a 45,2±0,7b 44,1±0,6ab 44,1±2,1ab 44,4±1,3a 45,2±2,0b 41,5±1,9a 45,6±0,2b 44,1±2,4a 45,2±3,6b 44,6±0,8b 45,7±0,3b 45,1±1,9a
43,1±0,8A 45,4±1,1B 44,0±0,2B 42,6±1,4A 43,9±1,5A 44,8±0,4B 43,6±0,6A 43,4±1,4A 43,9±1,0A 44,0±1,9B 42,0±1,6A 45,4±0,1B 43,8±1,9A 44,6±3,0B 44,3±1,3B 44,6±0,3B 44,5±1,7A
Keterangan : 1)Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05); 2) Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).
124
Edisi Desember 2006
Vol. 29 No. 3
PENGGUNAAN KROMIUM ORGANIK
dengan nilai kecernaan bahan kering. Suplementasi Cr organik dengan carrier S. cerevisiae sebesar 1 dan 2 mg/kg ransum sudah dapat meningkatkan nilai kecernaan bahan organik ransum secara nyata (P<0,01) dibandingkan dengan ransum kontrol. Peningkatan Cr organik menjadi 3 mg/kg ransum menghasilkan nilai kecernaan bahan organik yang menurun pada taraf yang sama dengan kontrol. Demikian pula dengan suplementasi Cr organik yang menggunakan carrier A. oryzae. Suplementasi sebanyak 1 mg/ kg ransum mampu meningkatkan kecernaan bahan organik ransum secara nyata (P<0,01), tetapi kembali menurun sesuai dengan peningkatan taraf Cr organik yang digunakan. Suplementasi Cr organik yang menggunakan carrier R. oryzae memberikan hasil yang sedikit berbeda. Suplementasi sebesar 1 mg/kg ransum memberikan nilai kecernaan bahan organik yang lebih tinggi dari kontrol (P<0,01), dan menurun pada suplementasi sebesar 2 mg/kg ransum. Penurunan tersebut diduga disebabkan
konsentrasi Cr yang terlalu tinggi. Suplementasi Cr sebesar 3 mg/kg ransum nilai kecernaan bahan organik yang dihasilkan kembali meningkat secara signifikan (P<0,01). Hal tersebut menunjukkan adanya upaya adaptasi dari mikroba rumen terhadap aditif yang diberikan. Suplementasi Cr organik yang menggunakan ragi tape sebagai carrier memberikan nilai kecernaan bahan organik yang lebih tinggi dari ransum kontrol (P<0,01) pada semua taraf yang digunakan (1, 2 dan 3 mg/kg ransum). Berdasarkan level Cr organik yang digunakan, nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik memberikan respon yang serupa. Pemakaian 1 mg Cr organik /kg ransum sudah dapat meningkatkan nilai kecernaan ransum. Nilai kecernaan ransum justru menurun pada suplementasi Cr organik sebesar 2 mg/kg ransum dan kembali naik pada pemakaian 3 mg/ kg ransum (Gambar 1). Penggunaan Cr organik yang terbaik dalam penelitian ini adalah 1 mg/kg ransum. Peningkatan nilai kecernaan tersebut
46.0
Koefisien cerna (%)
45.5 45.0 44.5 44.0 43.5 43.0 42.5 42.0 0
1
2
3
Level Cr organik (mg/kg)
KCBK
KCBO
Gambar 1. Koefisien cerna bahan kering dan bahan organik Edisi Desember 2006
125
ASTUTI ET AL.
Media Peternakan
disebabkan kinerja mikroba rumen yang semakin aktif karena suplai energi yang cukup sebagai pengaruh suplementasi Cr organik. Hal itu menunjukkan Cr merupakan mineral yang penting bagi mikroba rumen. Suplementasi Cr organik akan meningkatkan efisiensi pengambilan energi oleh mikroba rumen sehingga dapat mencerna ransum dengan lebih baik (Kegley & Spears, 1995; Kegley et al., 2000). Kecernaan yang meningkat akan meningkatkan ketersediaan nutrien yang dibutuhkan oleh mikroba tersebut. Selain itu, peningkatan nilai kecernaan dipengaruhi oleh adanya fungi yang berperan sebagai carrier Cr organik. Keberadaan fungi dapat membantu dalam pencernaan pencernaan dengan enzimenzim yang dihasilkan seperti amilase, protease dan lipase sehingga mikroba rumen lebih mudah dalam mencerna pakan (Martin & Nisbet, 1992; Beauchemin et al., 2003). Amonia Amonia adalah sumber nitrogen yang utama dan sangat penting untuk sintesis protein mikroba rumen. Konsentrasi amonia di dalam rumen merupakan suatu besaran yang sangat penting untuk dikendalikan, karena sangat menentukan optimasi pertumbuhan biomassa mikroba rumen. Sekitar 80% mikroba rumen dapat menggunakan amonia sebagai sumber nitrogen untuk petumbuhannya (Arora, 1995). Kisaran konsentrasi optimal amonia di cairan rumen sangat bervariasi. Hoover & Miller (1992) menyatakan bahwa konsentrasi amonia yang kurang dari 3,57 mM dapat menghambat pertumbuhan mikroba rumen, sedangkan menurut McDonald et al. (1995) kisaran konsentrasi amonia yang baik adalah 6–12 mM. Sementara Preston & Leng (1987) menyatakan bahwa kisaran normal konsentrasi amonia adalah 2,9–14,7 mM. Mengacu pada batasan tersebut, rataan konsentrasi amonia yang dihasilkan dari 126
Edisi Desember 2006
penelitian ini cukup tinggi namun masih dalam kisaran yang mendukung pertumbuhan mikroba rumen (Tabel 3). Suplementasi Cr organik sebesar 1 mg/kg ransum belum menunjukkan konsentrasi amonia yang berbeda dengan kontrol, kecuali pada Cr organik dengan carrier A. oryzae. Suplementasi Cr organik sebesar 2 mg/kg ransum dapat meningkatkan konsentrasi amonia lebih tinggi dari ransum kontrol secara nyata (P<0,01), pada semua jenis fungi yang digunakan. Tingginya konsentrasi amonia menunjukkan tingginya nilai protein yang mudah didegradasi dalam ransum tersebut. Cr organik yang diberikan dalam penelitian ini merupakan mikroorganisme yang tinggi kandungan proteinnya. Hal tersebut diduga ikut menyebabkan tingginya nilai amonia yang dihasilkan. Konsentrasi amonia dapat dipengaruhi oleh aktivitas proteolitik dari kedua fungi (R. oryzae dan A. oryzae) yang digunakan sebagai carrier pada suplementasi Cr organik. Enzim protease yang dihasilkan oleh kedua fungi tersebut meningkatkan proses pencernaan protein dengan memecah substrat protein menjadi bentuk yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dicerna dan amonia yang dihasilkan meningkat (Ghorbani et al., 2002). Komposisi VFA Individual Perbedaan konsentrasi VFA dapat terjadi karena model fermentasi di dalam rumen ditentukan oleh komposisi populasi mikroba, yang sangat dipengaruhi oleh ransum. Empat spesies fungi yang digunakan dalam pembuatan Cr organik memberikan respon yang berbeda terhadap produksi VFA total. Menurut Forbes & France (1993) konsentrasi VFA total dalam cairan rumen umumnya berkisar antara 70–130 mM, sementara menurut Bergman (1983) berkisar antara 79–150 mM.
Vol. 29 No. 3
PENGGUNAAN KROMIUM ORGANIK
Tabel 3. Konsentrasi NH3 dan VFA total pada pemberian ransum penelitian yang berbeda (mM)
Perlakuan Kontrol SC 1 SC 2 SC 3 Saccharomyces cerevisiae AO 1 AO 2 AO 3 Aspergillus oryzae RO 1 RO 2 RO 3 Rhizopus oryzae Ragi tape 1 Ragi tape 2 Ragi tape 3 Ragi tape
NH3
VFA
12,9±3,0A 13,1±2,4A 13,9±2,5B 14,0±1,2B 13,6±1,9A 14,4±1,4B 14,5±3,3B 12,8±1,5A 13,9±2,1A 13,2±2,3A 14,3±1,1B 13,9±2,2B 13,8±1,8A 12,6±2,1A 14,6±3,1B 13,7±2,0B 13,6±2,3A
136,8±7,4A 144,3±19,9B 144,3±5,8B 139,2±6,3B 142,6±11,1A 134,4±4,5A 146,5±2,9B 130,8±10,3A 137,2±9,2A 127,0±20,1A 134,9±3,5A 134,5±8,6A 132,1±11,7A 129,6±13,9A 137,7±12,1B 145,8±20,6B 137,7±15,5A
Keterangan : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).
Produksi VFA paling rendah dari penelitian ini dihasilkan oleh ransum dengan Cr organik dengan carrier R. oryzae (Tabel 3). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya zat antagonis bagi pertumbuhan mikroba rumen. Jayanegara (2003) menyimpulkan bahwa kapang Rhizopus sp. mempunyai zat antagonis yang mengakibatkan terhambatnya penyerapan monosakarida oleh mikroba rumen. Suplementasi Cr dalam penelitian ini dapat membuat sistem fermentasi rumen mengarah ke sintesis propionat (Tabel 4). Peningkatan produksi propionat ini lebih menguntungkan untuk pertumbuhan atau penggemukan ternak. Propionat merupakan VFA yang bersifat glukogenik, artinya dapat menjadi prekursor dalam sintesis glukosa melalui proses glukoneogenesis (McDonald et al., 1995). Berarti suplementasi Cr yang diberikan dapat berpengaruh terhadap kinerja mikroba rumen sehingga metabolisme
mengarah ke peningkatan pasokan energi untuk produksi. Pengaruh suplementasi Cr organik terhadap proporsi molar asam butirat sangat bervariasi. Suplementasi 1 mg/kg ransum Cr organik dengan carrier S. cerevisiae dan A. oryzae tidak mengubah proporsi molar butirat. Semakin tinggi taraf Cr organik yang diberikan akan menurunkan proporsi molar butirat (P<0,01). Sementara itu proporsi molar butirat tidak dipengaruhi oleh suplementasi Cr organik dengan carrier R. oryzae pada seluruh level baik 1, 2, maupun 3 mg/kg ransum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan proporsi molar butirat dari ransum yang disuplementasi Cr organik yang menggunakan ragi tape sebagai carrier paling tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan ketiga fungi lainnya. Hal tersebut dapat terjadi karena di dalam ragi tape terdapat berbagai jenis fungi yang saling berinteraksi, sehingga kombinasi berbagai fungi Edisi Desember 2006
127
ASTUTI ET AL.
Media Peternakan
Tabel 4. Proporsi molar asetat, propionat, butirat dan valerat (% mM)
Perlakuan Kontrol SC 1 SC 2 SC 3 Saccharomyces cerevisiae AO 1 AO 2 AO 3 Aspergillus oryzae RO 1 RO 2 RO 3 Rhizopus oryzae Ragi tape 1 Ragi tape 2 Ragi tape 3 Ragi tape
Asetat
Propionat
Butirat
Valerat
50,52±19,94 43,46±7,47 46,43±14,81 48,82±21,20 46,24±13,66
29,81±13,10 33,42±5,74 35,29±5,59 31,58±14,65 33,43±8,50
12,95±8,17B 12,10±6,02 11,99±7,24A 11,79±7,20A 11,96±5,93A
0,73±1,26A 2,05±2,54AB 0,57±0,98A 0,00±0,00A 0,87±1,64A
45,07±6,60 46,14±10,14 49,89±16,14 47,03±10,32 51,22±6,74 46,59±11,11 47,02±9,84 48,28±8,44 49,74±4,80 41,33±6,89 41,17±12,10 44,08±8,50
33,01±1,73 34,91±7,71 33,38±9,64 33,77±6,29 33,95±3,08 28,72±6,03 35,20±6,39 32,62±5,53 33,02±2,95 37,34±2,78 33,17±8,50 34,51±5,17
14,33±3,91B 10,94±5,65A 9,77±5,01A 11,68±4,72A 8,90±6,55A 11,06±2,97A 10,43±7,88A 10,13±5,42A 10,10±5,69A 15,03±5,26B 17,53±3,68B 14,22±5,39AB
1,24±1,09AB 0,43±0,74A 0,96±0,86AB 0,87±0,86A 0,52±0,89A 2,95±4,13AB 1,21±1,11AB 1,56±2,44A 0,46±0,79A 0,47±0,81A 0,51±0,88A 0,48±0,72A
Keterangan : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).
inilah yang diduga dapat meningkatkan butirat yang dihasilkan oleh suplementasi Cr organik yang menggunakan ragi tape. Keberadaan mikroba rumen selain berperan dalam proses pencernaan pakan secara fermentatif juga berperan sebagai pemasok sumber protein bagi ternak. Mikroorganisme rumen membutuhkan pasokan nutrien yang cukup untuk dapat berkembang dan melakukan pencernaan fermentatif dengan baik. Sintesis protein mikroba rumen membutuhkan asam lemak rantai cabang sebagai prekursor. Asam lemak rantai cabang tersebut meliputi asam isobutirat (i-C4), asam isovalerat (i-C5), dan asam 2-metilbutirat (2Me-C 4) (Russel & Sniffen, 1984). Jenis fungi yang digunakan sebagai carrier pada penelitian ini, dalam pembuatan Cr organik tidak berpengaruh terhadap proporsi molar isobutirat, isovalerat maupun isoacids 128
Edisi Desember 2006
secara keseluruhan (Tabel 5), tetapi suplementasi Cr memberikan pola produksi isoacids yang berbeda pada setiap fungi yang digunakan. Ransum kontrol menghasilkan isobutirat sebesar 2,91% mM. Suplementasi 1 mg Cr organik/kg ransum dengan carrier S. cerevisiae dan ragi tape menghasilkan proporsi molar isobutirat yang meningkat (P<0,05). Suplementasi Cr organik 2 mg/kg ransum justru menurunkan proporsi molar isobutirat dan kembali meningkat pada suplementasi Cr organik sebesar 3 mg/kg (P<0,05). Sementara suplementasi Cr organik dengan A. oryzae dan R. oryzae sebagai carrier meningkatkan (P<0,05) proporsi molar isobutirat pada level 2 mg/kg ransum. Peningkatan Cr organik menjadi 3 mg/kg ransum justru menurunkan isobutirat (P<0,05) yang dihasilkan. Suplementasi Cr organik yang diberikan juga tidak berpengaruh nyata terhadap proporsi
Vol. 29 No. 3
PENGGUNAAN KROMIUM ORGANIK
Tabel 5. Konsentrasi isobutirat, isovalerat dan isoacids (% mM)
Perlakuan
Isobutirat
Isovalerat
Isoacids
Kontrol SC 1 mg/kg SC 2 mg/kg SC 3 mg/kg Saccharomyces cerevisiae AO 1 AO 2 AO 3 Aspergillus oryzae RO 1 RO 2 RO 3 Rhizopus oryzae Ragi tape 1 Ragi tape 2 Ragi tape 3 Ragi tape
2,91±0,35A 4,72±3,45AB 2,44±1,26A 3,84±1,45AB 3,66±2,21A 3,23±0,45A 3,86±1,82AB 3,22±2,80A 3,44±1,72A 2,88±1,35A 5,37±4,72AB 3,14±1,39A 3,80±2,81A 3,72±2,86AB 2,70±2,53A 4,21±2,40AB 3,54±2,35A
3,09±0,31 4,25±2,88 3,28±1,55 3,98±1,53 3,84±1,86 3,12±0,77 3,72±1,62 2,78±2,34 3,21±1,53 2,54±0,54 5,31±5,34 3,00±1,44 3,62±3,06 2,97±1,63 3,12±0,58 3,43±1,23 3,17±1,08
5,99±0,55 8,96±6,33 5,72±2,80 7,82±2,96 7,50±4,03 6,35±1,17 7,58±3,44 6,00±5,14 6,64±3,23 5,42±1,89 10,68±1,05 6,15±2,83 7,41±5,85 6,68±4,49 5,83±2,97 7,63±3,61 6,71±3,34
Keterangan : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).
molar isovalerat dan isoacids. Proporsi molar isovalerat mempunyai pola yang hampir sama dengan isobutirat. Namun demikian, secara umum suplementasi Cr dapat meningkatkan proporsi molar isoacids (Gambar 2). Suplementasi Cr organik 2 mg/kg ransum merupakan taraf terbaik dimana dapat menghasilkan proporsi isoacids tertinggi. Isoacids yang proporsi molarnya meningkat dalam penelitian ini adalah isobutirat, yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan proporsi molar isoacids secara keseluruhan. Meskipun mekanismenya belum dapat diketahui pasti, Besong et al. (2001) menyatakan bahwa suplementasi Cr organik pada dosis yang tepat akan mempengaruhi produksi propionat, butirat, dan isobutirat dalam cairan rumen, dimana pemakaian 1,6 mg Cr/kg ransum dapat meningkatkan proporsi molar isobutirat.
Peningkatan isoacids tersebut diharapkan dapat meningkatkan sintesis protein mikroba karena isoacids merupakan sumber kerangka karbon bagi bakteri untuk biosintesis asamasam amino rantai cabang, berturut-turut valin, leusin, dan isoleusin. Isoacids tersebut disintesis dari protein dan sumber karbon lain selama proses fermentasi di dalam rumen (Czerkawski, 1986). Nisbah A/P, NGR, Produksi Metan dan Efisiensi Konversi Heksosa Data VFA individual dalam cairan rumen dapat digunakan untuk mengetahui nilai nisbah A/P, NGR, produksi metan dan efisiensi konversi heksosa (Orskov & Ryle, 1990), yang dapat dilihat pada Tabel 6. Pemberian Cr organik tidak berpengaruh secara nyata terhadap nisbah A/P, tetapi terlihat kecenderungan nisbah A/P yang lebih rendah dari kontrol. Hal ini
Edisi Desember 2006
129
ASTUTI ET AL.
Media Peternakan
Isoacids (%mM)
8 6 4 2 0 0
1
2
3
Level Cr organik (mg/kg ransum) Gambar 2. Konsentrasi isoacids berdasarkan Cr organik yang digunakan
menunjukkan bahwa proporsi propionat yang meningkat di dalam rumen, dibandingkan dengan asetat. Suplementasi Cr yang berperan dalam metabolisme glukosa mempengaruhi produksi propionat yang bersifat glukogenik. Sistem fermentasi rumen yang mengarah ke propionat juga mengakibatkan nilai non glucogenic ratio (NGR) cenderung menurun. NGR adalah perbandingan antara asam lemak terbang yang bersifat non-glukogenik dan glukogenik. Peningkatan propionat yang bersifat glukogenik akan menurunkan nilai NGR. Nilai NGR pada ransum kontrol adalah 2,49 sedangkan suplementasi Cr organik 1, 2, dan 3 mg/kg ransum menyebabkan turunnya nilai NGR menjadi 1,72; 1,66 dan 1,89. Nilai NGR berhubungan erat dengan produksi gas metan. NGR dan metan mempunyai korelasi positif, yang berarti semakin rendah nilai NGR semakin rendah pula produksi metan. Adanya indikasi penurunan produksi gas metan juga didukung oleh hasil estimasi produksi metan yang dihitung berdasarkan stoikiometri sintesis asetat, propionat dan butirat. Suplementasi Cr organik tidak menghasilkan perubahan yang signifikan 130
Edisi Desember 2006
terhadap produksi metan, tetapi terlihat bahwa produksi metan ransum perlakuan lebih rendah dari kontrol. Rendahnya produksi metan berarti akan meningkatkan nilai efisiensi konversi heksosa, karena semakin sedikit energi yang terbuang dalam bentuk metan. Berdasarkan efisiensi penggunaan energi ransum, sistem fermentasi rumen yang mengarah ke sintesis asam propionat akan lebih menguntungkan (Orskov & Ryle, 1990), karena energi yang terbuang sebagai gas metan akan berkurang. Nilai efisiensi konversi heksosa menjadi VFA tersebut dapat diduga dari data VFA individual. Peningkatan efisiensi konversi heksosa dengan suplementasi Cr organik terjadi pada level 2 mg/kg ransum untuk Cr organik dengan carrier S. cerevisiae dan A. oryzae. Efisiensi konversi heksosa yang diperoleh pada ransum perlakuan tersebut nyata lebih tinggi (P<0,01) dibanding ransum kontrol. Suplementasi Cr organik dengan carrier R. oryzae dan ragi tape dapat meningkatkan efisiensi konversi heksosa secara signifikan (P<0,01) pada taraf 1 mg/kg ransum. Suplementasi Cr organik menunjukkan kecenderungan peningkatan efisiensi konversi heksosa.
Vol. 29 No. 3
PENGGUNAAN KROMIUM ORGANIK
Tabel 6. Nisbah A/P, NGR, produksi metan, dan efisiensi konversi heksosa
Perlakuan
Nisbah A/P
NGR
Kontrol SC 1 SC 2 SC 3 Saccharomyces cerevisiae AO 1 AO 2 AO 3 Aspergillus oryzae RO 1 RO 2 RO 3 Rhizopus oryzae Ragi tape 1 Ragi tape 2 Ragi tape 3 Ragi tape
2,30±2,08 1,36±0,49 1,39±0,69 2,06±1,68 1,60±1,04 1,73±0,25 1,41±0,63 1,71±1,14 1,49±0,68 1,52±0,30 1,68±0,61 1,40±0,57 1,54±0,46 1,52±0,28 1,12±0,27 1,38±0,82 1,34±0,49
2,49±1,80 1,66±0,62 1,65±0,50 2,13±1,23 1,81±0,77 1,71±0,16 1,62±0,45 1,95±1,10 1,76±0,62 1,73±0,29 1,89±0,69 1,65±0,60 1,76±0,48 1,76±0,37 1,47±0,15 1,81±0,75 1,68±0,45
Efisiensi konversi heksosa (%)
Metan (mM) 21,05±11,57 16,40±6,25 17,39±6,96 19,46±12,42 17,75±7,89 17,87±2,69 17,08±5,91 19,04±10,04 17,99±6,04 19,35±3,03 18,88±6,33 17,32±6,10 18,52±4,74 19,14±3,37 15,09±2,90 16,67±7,17 16,97±4,57
64,19±6,20A 63,74±2,35A 67,62±3,44B 65,04±3,85A 65,47±3,31A 64,32±3,11A 67,03±2,49B 67,65±0,93B 66,32±2,55A 69,07±3,98B 60,54±8,44A 67,85±4,09B 65,82±6,48A 67,17±2,02B 66,74±1,72B 62,13±3,73A 65,34±3,33A
Keterangan : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).
Penggunaan fungi yang berbeda sebagai carrier ternyata menimbulkan respon yang berbeda pula. Hal tersebut disebabkan sifat dari fungi itu sendiri dan interaksinya terhadap mikroba rumen dan daya cerna terhadap ransum dalam rumen. Dua kapang yang digunakan bersifat proteolitik sedangkan khamir yang bersifat amilolitik lebih berperan dalam metabolisme glukosa, sedangkan ragi tape merupakan campuran antara kapang, khamir dan terkadang terdapat bakteri (Saono, 1984). Perbedaan tersebut memberikan respon yang berbeda terhadap mikroba rumen dan proses fermentasi rumen (Martin & Nisbet, 1992; Yoon & Stern, 1996). KESIMPULAN Percobaan in vitro menunjukkan bahwa suplementasi Cr organik sebanyak 1 mg/kg ransum dapat meningkatkan kecernaan bahan
kering dan bahan organik dibandingkan dengan kontrol pada semua fungi yang digunakan. Suplementasi Cr organik dapat meningkatkan produksi NH3 dan VFA total. Hasil analisis VFA individual terlihat bahwa suplementasi Cr organik pada taraf pemakaian yang tepat dapat meningkatkan proporsi molar valerat dan isobutirat. Empat spesies fungi yang digunakan dapat dipakai sebagai carrier dalam pembuatan Cr organik karena tidak mengakibatkan efek negatif bagi aktivitas fermentasi rumen. DAFTAR PUSTAKA Adnan, M. 1997. Teknik Kromatografi untuk Analisis Bahan Makanan. Penerbit Andi, Yogyakarta. Anderson, R.A. 1987. Chromium. In: W. Mertz (Ed.). Trace Elements in Human and Animal Nutrition. Ed ke-5. Academic Press, Inc., San Diego, California.
Edisi Desember 2006
131
ASTUTI ET AL.
Arora, S.P. 1995. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Murwani R, penerjemah; Srigandono B, editor. Ed ke-2. Terjemahan dari: Microbial Digestion in Ruminants.Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Beauchemin, K.A., W.Z.Yang, D.P. Morgavi, G.R. Ghorbani, W. Kautz, & J.A.Z. Leedle. 2003. Effects of bacterial direct-fed microbial and yeast on site and extent of digestion, blood chemistry, and subclinical ruminal acidosis in feedlot cattle. J. Anim. Sci. 81:1628-1640. Bergman, E.N. 1983. Dynamic Biochemistry of Animal Production. Elsevier, New York. Besong, S., J.A. Jackson, D.S. Trammell, & V. Akay. 2001. Influence of supplemental chromium on concentrations of liver triglyceride, blood metabolites and rumen VFA profile in steers fed a moderately high fat diet. J. Dairy Sci. 84:1679-1685. Burton, J.L. 1995. Supplemental chromium: its benefits to the bovine immune system. Anim. Feed Sci. Technology 53: 117-125. Czerkawski, J.W. 1986. An Introduction to Rumen Studies. Pergamon Press, New York. Forbes, J.M. & J. France. 1993. Quantitative Aspects of Ruminant Digestion and Metabolism. CAB International, London. Ghorbani, G.R., D.P. Morgavi, K.A. Beauchemin, & J.A.Z. Leedle. 2002. Effects of bacterial direct-fed microbials on ruminal fermentation, blood variables, and the microbial population of feedlot cattle. J.Anim. Sci. 80:1977-1986. Hoover, W.H. & T.K. Miller. 1992. Rumen Digestive Physiology and Microbial Ecology. Agric. Forestry Exp. Station, West Virginia University, Morgantown, West Virginia. Jayanegara, A. 2003. Uji in vitro ransum yang disuplementasi kromium anorganik dan organic. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kegley, E.B. & J.W. Spears. 1995. Immune response, glucose metabolism, and performance of stressed feeder calves fed inorganic or organic chromium. J. Anim. Sci. 73:2721-2726. Kegley, E.B., D.L. Galloway, & T.M. Fakler. 2000. Effect of dietary chromium-L-methionine on glucose metabolism of beef steers. J. Anim. Sci. 78:3177-3183. Lyons, T.P. 1995. Biotechnology in The Feed Industry: A look Forward and Backward. In:
132
Edisi Desember 2006
Media Peternakan
T.P. Lyons & K.A. Jacques (Eds.). Biotechnology in The Feed Industry. Proc. of Alltech’s 11 th Annual Symposium. Nottingham University Press:1-29. Martin, S.A. & D.J. Nisbet. 1992. Effect of directfed microbials on rumen microbial fermentation. J. Dairy Sci. 75:1736-1744. McDonald, P., R. Edwards, J.F.D. Greenhalgh, & C.A. Morgan. 1995. Animal Nutrition. 5th Ed. Longman Scientific and Technical, New York. Mertz, W. 1998. Chromium research from a distance: from 1959 to 1980. J. Am. College of Nutrition 17:544-547. Muktiani, A. 2002. Penggunaan hidrolisat bulu ayam dan sorghum serta suplemen kromium organik untuk meningkatkan produksi susu pada sapi perah. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Orskov, E.R. & M. Ryle. 1990. Energy Nutrition in Ruminant. Elsevier Applied Science, London. Preston, T.R. & R.A. Leng. 1987. Matching Ruminant Production System with Available Resources in Tropic. Penambul Book, Armidale. Russel, J.B. & C.J. Sniffen. 1984. Effect of carbon4 and carbon-5 volatile fatty acids on growth of mixed rumen bacteria. J. Dairy Sci. 67:987994. Saono, J.K.D. 1984. Pengawetan berbagai Khamir dan Kapang Industri di dalam Ragi Kultur Tunggal. PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. Sutardi, T. 1994. Peningkatan Produksi Ternak Ruminansia Melalui Amoniasi Pakan Serat Bermutu Rendah, Defaunasi dan Suplementasi Sumber Protein Tahan Degradasi dalam Rumen. Laporan Penelitian Hibah Bersaing 1993/1994. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Steel, R.G.D. & J.H. Torrie. 1981. Principles and Procedures of Statistics. A Biometrical Approach. 2nd Ed. McGraw Hill Kogashusha, Ltd., Tokyo. Tilley, J.M.A. & R.A. Terry. 1963. Two-stage technique for the in vitro digestion of forage crops. J. British Grassland Soc. 18: 104-110. Yoon, I.K. & M.D. Stern. 1996. Effects of Saccharomyces cerevisiae and Aspergillus oryzae cultures on ruminal fermentation in dairy cows. J. Dairy Sci. 79:411-417.
Media Peternakan, Desember 2006, hlm. 133-140 ISSN 0126-0472 Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005
Vol. 29 No. 3
Pemberian Antanan (Centella asiatica) dan Vitamin C Sebagai Upaya Mengatasi Efek Cekaman Panas pada Broiler E. Kusnadia, R. Widjajakusumab, T. Sutardic, P.S. Hardjosworoc & A. Habibied a
Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang Jurusan Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan Insititut Pertanian Bogor c Fakultas Peternakan Insititut Pertanian Bogor d Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Gedung Departemen Keuangan Jakarta (Diterima 17-01-2006; disetujui 05-10-2006)
b
ABSTRACT High environmental temperatures may cause heat stress in poultry. This may increase water consumption, decrease feed consumption and in turn, decrease production level. In addition, high temperature contributes to oxidative stress, a condition where oxidant activity (free radicals) exceeds antioxidant activity. In this research, antanan (Centella asiatica) and vitamin C were utilized as anti heat-stress agents for heat stressed broilers. The research used 120 male broilers of 2 – 6 weeks of age, kept at 31.98 ± 1.94oC poultry house temperatures during the day and 27.36 ± 1.31oC at night. The data colected were analyzed with a factorial in completely randomized design of 2 x 3 (2 levels of vitamin C, 3 levels of antanan and 4 replications) and continued with contrast-orthogonal test when necessary. The result indicated that the treatments of 5% antanan (A5), 10% antanan (A10), combination of A5C, and A10C significantly (P<0.05) increased the plasma triiodothyronine hormone from 101 ng/dL to 113, 110, 121, 119 and 126 ng/dL respectively; carcass protein from 16.5% to 17.8%, 19.1%, 19.2%, 17.3% and 18.1%; feed consumption from 2711 g to 3026, 3071, 2883, 3156 and 2935 g and body weight gain from 1181 g to 1297, 1347, 1254, 1376 and 1330 g. It could be concluded that the combination of addition 5% antanan and vitamin C 600 ppm is the most effective as anti heat-stress agent in broilers. Key words : Centella asiatica, vitamin C, heat stress, broiler
PENDAHULUAN Suhu keliling yang tinggi dapat mengakibatkan terjadinya penimbunan panas dalam tubuh, sehingga tubuh akan mengalami cekaman panas. Ayam yang termasuk hewan homeothermis akan berusaha mempertahankan suhu tubuhnya dalam keadaan relatif konstan antara lain melalui peningkatan pernafasan dan
konsumsi air minum serta penurunan konsumsi ransum. Akibatnya, akan terjadi penurunan dalam pertumbuhan dan produksi/produktivitas. Kondisi tersebut nampaknya akan terjadi pada pemeliharaan ayam broiler di daerah panas yang suhu lingkungannya dapat mencapai 34oC pada siang hari, sementara suhu keliling yang nyaman bagi ayam broiler sekitar 21 – 24oC (Charles, 1981). Edisi Desember 2006
133
KUSNADI ET AL.
Penelitian Bonnet et al. (1997) menunjukkan bahwa konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan ayam broiler umur 4 s/d 6 minggu yang dipelihara pada suhu lingkungan 32oC masing-masing 1470 g dan 515 g. Sementara pada suhu 22oC konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan (PBB) tersebut masing-masing 2226 g dan 1084 g. Tingginya suhu lingkungan tersebut, selain menurunkan asupan nitrogen dan mineral, ternyata juga menurunkan retensi keduanya. Hal serupa dibuktikan pula oleh May & Lott (2001) di mana pertambahan bobot badan ayam broiler jantan umur 3 s/d 7 minggu pada suhu 30oC adalah 1869 g, nyata lebih rendah dibandingkan pemeliharaan pada suhu 22 o C yang pertambahan berat badannya mencapai 2422 g, sedangkan konversi ransum (konsumsi ransum/ PBB) menurun dari 3,28 menjadi 2,54. Artinya terjadi penurunan efisiensi penggunaan ransum jika suhu keliling lebih tinggi. Penurunan performa ayam pada suhu keliling tinggi, secara fisiologis dapat dijelaskan antara lain karena rendahnya sekresi hormon tiroid (Geraert et al., 1996), menurunnya kandungan hemoglobin dan hematokrit darah (Yahav et al., 1997) serta meningkatnya pengeluaran beberapa mineral (Belay et al.,1992) dan beberapa asam amino (Tabiri et al., 2000) dari dalam tubuh. Hormon tiroid (triiodotironin) berperan dalam meningkatkan konsumsi oksigen, sehingga metabolisme secara keseluruhan menjadi naik. Akibatnya pertumbuhan yang dimulai dari sintesis protein menjadi meningkat (Geraert et al., 1996). Selain itu, cekaman panas dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif dalam tubuh, sehingga menimbulkan munculnya radikal bebas yang berlebihan. Radikal bebas dapat menimbulkan peroksidasi lemak membran, sehingga radikal bebas tersebut dapat menyerang DNA dan protein (Rahman, 2003). Penelitian Takahashi & Akiba (1999)
134
Edisi Desember 2006
Media Peternakan
membuktikan bahwa pemberian lemak teroksidasi pada ayam broiler, nyata menurunkan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, kadar vitamin C dan á-tokoferol plasma. Hal serupa terbukti pula dari stres oksidatif karena pemberian hormon kortikosteron (Taniguchi et al., 1999). Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengatasi cekaman panas di atas, antara lain dengan penambahan vitamin C, E, A dan pengaturan suhu lingkungan dengan memperoleh hasil yang beragam. Pemberian beberapa tanaman obat yang mudah diperoleh, dapat merupakan alternatif untuk digunakan. Antanan/pegagan (Centella asiatica (L.) Urban), merupakan salah satu tanaman obat yang memiliki zat aktif asam asiatik, asiatikosida dan asam madekasik yang selain mudah diperoleh, juga sudah terbukti dapat mengatasi stres pada tikus (Kumar & Gupta, 2003). Penelitian Shukla et al. (1999) membuktikan bahwa pemberian asiatikosida pada tikus yang luka, selain mempercepat penyembuhan luka juga terjadi peningkatan beberapa antioksidan enzimatik dan non enzimatik pada jaringan yang baru terbentuk. Selain itu, vitamin C yang telah terbukti dapat digunakan baik untuk mengatasi cekaman dingin (Sahin & Sahin, 2002) maupun cekaman panas pada ayam (Puthpongsiriporn et al., 2001) ternyata terbukti pula bersifat sinergik dengan zat aktif antanan (Bonte et al., 1994). Ayam mampu mensintesis vitamin C, namun dalam kondisi cekaman, selain kebutuhannya meningkat, kemampuan mensintesis juga menurun (Kutlu & Forbes, 1993). Berdasarkan pemikiran di atas, maka diadakan penelitian tentang “Pemberian Antanan (Centella asiatica) dan Vitamin C sebagai Upaya Mengatasi Efek Cekaman Panas pada Broiler”. Pemberian vitamin C dimaksudkan sebagai pembanding dari perlakuan antanan yang belum diujikan pada ayam.
Vol. 29 No. 3
PEMBERIAN ANTANAN
hari, suhu dan kelembaban tersebut masingmasing 27,36 ± 0,88oC dan 86,23 ± 3,93%, merupakan rerata dari pengukuran pada malam (jam 21.00 s/d 22.00) dan pagi hari (jam 05.00 s/d 06.00). Sebanyak 120 ekor ayam broiler jantan umur 2 minggu dibagi secara acak dan ditempatkan pada 24 kandang perlakuan (6 perlakuan dan 4 ulangan), sehingga tiap unit ulangan ditempati 5 ekor. Perlakuan dalam penelitian ini meliputi dua 2 faktor; faktor pertama pemberian vitamin C yakni 0 dan 500 ppm dan faktor kedua pemberian antanan yakni 0%, 5% dan 10%. Pemberian vitamin C sebanyak 500 ppm dan antanan sebesar 5% dan
MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan pada ayam broiler jantan umur 2 s/d 6 minggu yang dilaksanakan pada kandang terbuka yang berlokasi di daerah Bubulak – Bogor. Pada masing-masing sangkar percobaan diberi lampu pemanas sebesar 40 Watt, yang di atasnya dipasang reflektor yang terbuat dari seng untuk memantulkan panas. Hasil pengukuran selama penelitian menunjukkan bahwa rataan suhu dan kelembaban pada siang hari 31,98 ± 1,28oC dan 78,82 ± 5,43%, merupakan rerata dari pengukuran siang (jam 13.00 s/d 14.00) dan sore hari (jam 17.00 s/d 18.00). Pada malam
Tabel 1. Susunan dan kandungan nutrien ransum
Jenis Bahan pakan (%) Jagung Bungkil kedelai Tepung ikan Tepung bulu ayam Antanan Minyak kelapa Dikalsium fosfat CaCO3 Premix Total Nutrien Energi metabolis (kkal/kg) Protein (%) Lemak (%) P (%) Ca (%) Serat kasar (%) Lisina (%) Metionina (%) Vitamin C (mg/100 g)2)
R1
R2
R3
63,00 17,00 11,20 4,80 0,00 2,25 0,10 0,90 0,50 100,00
57,60 17,00 11,20 4,80 5,00 3,05 0,10 0,75 0,50 100,00
52,35 17,00 11,20 4,80 10,00 3,50 0,00 0,65 0,50 100,00
3245,02 20,84 6,16 0,65 1,03 2,46 1,39 0,51 20,21
3222,94 20,91 6,15 0,65 1,28 3,28 1,38 0,49 22,92
3202,87 20,99 6,96 0,63 1,02 4,09 1,36 0,48 25,88
Keterangan : 1) hasil perhitungan berdasarkan kandungan nutrien dari NRC (1994) dan hasil analisis di Balitnak Ciawi Bogor; 2) hasil analisis di Balitbio Bogor. Edisi Desember 2006
135
KUSNADI ET AL.
Media Peternakan
10%; keduanya didasarkan atas hasil penelitian pendahuluan sebelumnya. Vitamin C dilarutkan dalam air minum dan diberikan pada pagi hari. Agar vitamin C yang diberikan cepat terminum, maka sekitar 2 jam sebelumnya, ayam tersebut tidak diberi minum. Antanan sebanyak 5% dan 10% diberikan dalam ransum yang dicampur bersama bahan lainnya dan diberikan ad libitum. Oleh karena itu dalam penelitian ini disusun 3 jenis ransum (iso kalori dan iso protein) dengan 3 kandungan antanan yang berbeda yakni 0%, 5% dan 10%. Susunan dan kandungan nutrien ransum dapat dilihat pada Tabel 1. Peubah yang Diukur 1. Hormon triodotironin (T3) plasma diukur pada umur 4 dan 6 minggu dengan menggunakan metode radioimmunoasay (RIA). 2. Protein karkas diukur pada umur 6 minggu. Karkas yang merupakan gabungan tulang dan daging diblender hingga hancur dan homogen. Diambil sampel dan dianalisi kadar proteinnya dengan metode makro Kjeldhal. 3. Konsumsi ransum diukur setiap minggu, yakni dengan mengurangkan jumlah ransum yang diberikan dengan ransum sisa. 4. Pertambahan bobot badan diukur setiap minggu, dengan mengurangkan bobot badan akhir dengan bobot badan awal. 5. Konversi ransum diamati pada umur 6 minggu dengan membagi konsumsi ransum dengan pertambahan bobot badan. Analisis Statistik Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan pola faktorial 2x3. Data dianalisa dengan ANOVA, sedangkan uji lanjut menggunakan uji ortogonal kontras menurut Steel & Torrie (1980).
136
Edisi Desember 2006
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh pemberian antanan dan vitamin C terhadap kandungan hormon triiodotironin (T3) plasma umur 4 minggu dan 6 minggu masing-masing dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2, sementara terhadap protein karkas, konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan konversi ransum dapat dilihat pada Tabel 2. Gambar 1 dan 2 menunjukkan bahwa kadar T3 plasma umur 4 minggu yang berkisar dari 115 sampai 157, lebih tinggi dibandingkan pada umur 6 minggu yang berkisar dari 101 sampai 126 ng/dL. Hormon T3 dalam tubuh berfungsi antara lain untuk pertumbuhan termasuk sintesis protein melalui peningkatan konsumsi oksigen yang diperlukan untuk metabolisme. Tingginya T3 umur 4 minggu menunjukkan bahwa pertumbuhan pada umur 4 minggu lebih cepat dibandingkan pada umur 6 minggu. Peningkatan kandungan T3 plasma, ternyata sejalan dengan meningkatnya protein karkas (Tabel 2). Selanjutnya dari analisis keragaman yang rerata hasil ortogonal kontrasnya ditampilkan pada Gambar 1 dan 2, dihasilkan bahwa semua perlakuan dari A5 s/d A10C, nyata meningkatkan kadar hormon triiodotironin plasma. Namun antara perlakuan A5, A10, C, kombinasi A5C dan A10C serta interaksi antara antanan dan vitamin C tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar hormon triiodotironin tersebut. Ditinjau dari keefektifan, maka pemberian antanan sebanyak 5% yang paling efektif dibandingkan perlakuan lainnya. Kemampuan antanan dalam meningkatkan sintesis hormon T3 dan protein karkas antara lain karena antanan mengandung antioksidan seperti senyawa fenol dan vitamin C yang mampu mengurangi terjadinya peroksidasi lemak, terutama asam lemak tidak jenuh pada membran sel. Baik zat aktif antanan
Vol. 29 No. 3
PEMBERIAN ANTANAN
T3 plasma (ng/dL)
160
145 b
136 b
139 b
A5
A10
C
157
b
126 b
115a 120 80 40 0 K
b 113 a A5C A10C 101
Perlakuan
Gambar 1. Hormon T3 plasma ayam broiler jantan umur 4 minggu yang diberi antanan 0% (K), 5% (A5),10% (A10) dan vitamin C500 ppm (C) serta kombinasi A5C dan A10C
(asiatikosida, madekasid dan asam asiatik) yang tergolong fenol maupun vitamin C, keduanya memiliki gugus hidroksil yang mudah teroksidasi, sehingga keduanya dengan mudah mampu mendonorkan elektron dan hidrogen terhadap radikal bebas (Sediaoetama, 1987; Bonte et al., 1994; Pietta, 2000). Akibatnya radikal bebas yang semula memilki elektron tidak berpasangan menjadi stabil, namun di sisi lain baik senyawa aktif antanan maupun vitamin
C mengandung radikal bebas. Proses peredaman radikal bebas yang terbentuk dapat terjadi melalui kerja antioksidan lainnya sehingga DNA dan protein relatif kurang terganggu dari serangan radikal bebas. Peroksidasi lipida, selain dapat menurunkan antioksidan dalam sel, juga dapat meningkatkan jumlah radikal bebas endogenous serta eksogenous yang dapat terserangnya DNA dan protein. Akibatnya dapat terbentuk antara lain 8-hidroksi guanin, protein
T3 plasma (ng/dL)
160 120
101 a
113b
110
A5
A10
b
121b
119 b
C
A5C
126 b
80 40 0 K
A10C
Perlakuan
Gambar 2. Hormon T3 plasma ayam broiler jantan umur 6 minggu yang diberi antanan 0% (K), 5% (A5),10% (A10) dan vitamin C500 ppm (C) serta kombinasi A5C dan A10C Edisi Desember 2006
137
KUSNADI ET AL.
Media Peternakan
Tabel 2. Protein karkas, konsumsi ransum, PBB dan konversi ransum ayam broiler jantan umur 2 - 6 minggu yang diberi antanan 0% (K), 5% (A5), 10% (A10) dan vitamin C500 ppm (C) serta kombinasi A5C dan A10C
Perlakuan Peubah Protein karkas (%) Konsumsi ransum (g/ekor) PBB (g) Konversi ransum
K
A5
A10
C
A5C
A10C
16,5±1,0a
17,8±0,4b
19,1±1,2b
19,2±1,2b
17,3±0,8b
18,1±1,0b
2711±196a
3026±22b
3071±148b
2883±362b
3156±247b
2935±198b
1181±66a 2,30±0,16
1297±113b 2,35±0,31
1347±112b 2,42±0,30
1254±35b 2,30±0,23
1376±135b 2,31±0,32
1330±100b 2,22±0,29
Keterangan : superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05); pengukuran protein karkas dilakukan pada akhir penelitian (umur 6 minggu).
karbonil serta hidroksileusin, yang tentunya akan mengganggu pertumbuhan (Yoshikawa & Naito, 2002). Selain itu, dilaporkan bahwa antanan terbukti mampu menurunkan katabolisme protein, terlihat dari menurunnya kandungan senyawa epineprin, norepineprin, dopamin dan serotonin pada otak tikus yang diberi ektrak antanan (Nalini et al., 1992). Oleh karena itu dapat dipahami kalau dalam penelitian ini terjadi peningkatan dalam kandungan protein karkas, yang menunjukkan adanya peningkatan pula dalam sintesis protein. Tabel 2 menunjukkan bahwa konsumsi ransum ayam selama 4 minggu (umur 2 s/d 6 minggu) pada kontrol adalah 2711 g, nyata (P<0,05) lebih rendah dibandingkan dengan A5, A10, C, A5C dan A10C masing-masing adalah 3026, 3071, 2883, 3156 dan 2935 g; sementara antara A5 s/d A10C500 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal serupa terjadi pula pada pertambahan bobot badannya. Namun tidak terjadi pada konversi ransum di mana kontrol adalah 2,30; tidak berbeda nyata dibandingkan A5 (2,35), A10 (2,42), C (2,30), A5C (2,31) dan A10C (2,22). Begitu pula
138
Edisi Desember 2006
dengan interaksi antara antanan dan vitamin C, tidak memberikan pengaruh yang nyata baik terhadap konsumsi ransum, PBB dan konversi ransum. Hal ini berarti sejalan dengan kadar hormon triiodotironin bahwa pemberian antanan 5% lebih efektif dalam mempengaruhi konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan. Bila diperhatikan lebih lanjut, ternyata kombinasi antanan 5% dengan vitamin C 500 ppm cenderung meningkatkan PBB, walaupun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan perlakuan lainnya. Hasil di atas membuktikan bahwa antanan dan vitamin C telah berperan dengan baik sebagai antioksidan, sehingga mampu mengatasi turunnya konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan pada kondisi cekaman. Hasil ini sejalan dengan penelitian Anim et al. (2000) pada ayam dan Sharma & Sharma (2002) pada tikus yang mengalami cekaman. Antanan mengandung antioksidan antara lain senyawa fenol, yang mampu menghentikan/mengurangi proses stres oksidatif (Blokhina, 2000). Selain itu, pemberian antanan dan vitamin C terbukti mampu meningkatkan sintesis protein, serta
Vol. 29 No. 3
PEMBERIAN ANTANAN
mengurangi katabolisme protein yang banyak menghasilkan panas. Akibatnya individu akan merasa lebih nyaman (tidak dalam kondisi tercekam). Kenyamanan akan merangsang pusat lapar yang berada di hipotalamus sementara pusat haus dihambat, selain itu juga merangsang TSH (thyroid stimulating hormone) di hipotalamus, sehingga kelenjar tiroid akan meningkatkan sekresi hormon tiroid baik tiroksin (T4) maupun triiodotironin (T3). Hal ini akan meningkatkan konsumsi ransum, metabolisme secara umum melalui peningkatan konsumsi oksigen serta pertambahan bobot badan (Cooper & Washburn, 1998). KESIMPULAN Pemberian antanan dan vitamin C dari umur 2 s/d 6 minggu dapat meningkatkan kadar hormon triiodotironin plasma, kadar protein karkas, konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan pada ayam broiler yang mengalami cekaman panas, tetapi tidak memperbaiki efisiensi penggunaan ransum. Kombinasi pemberian antanan sebanyak 5% dalam ransum dan vitamin C cenderung paling efektif digunakan dalam mengatasi cekaman panas pada ayam broiler. DAFTAR PUSTAKA Anim, A.J., P.Y. Lin, D. Hester, B.A. Thiagarajan, Watkins & C.C. Wu. 2000. Ascorbic acid supplementation improved antibody response to infectious bursal disease vaccination in chickens. Poultry Sci. 79: 680-688. Belay, T., C.J.Wiernusz & R.G. Teeter. 1992. Mineral balance and urinary and fecal mineral excretion profile of broilers housed in thermoneutral and heat-distressed environments. Poultry Sci. 71: 1043 – 1047. Blokhina, O. 2000. Anoxia and oxidative stress: Lipid peroxidation, mitochondrial functions in plants antioxidant status and mitochondrial functions in plants. http://thesis,helsinki.fi/ julkaisut/mat/bioti/vk/blokhina/ anoxiaan.html. [20 Desember 2003].
Bonnet, S., P.A. Geraert, M. Lessire, M.B. Cerre & S. Guillaumin. 1997. Effect of high ambient temperature on feed digestibility in broilers. Poultry Sci. 76:857-863 Bonte, F., M.Dumas, C.Chaudagne & A. Meybeck. 1994. Influence of asiatic acid, madecassic acid, and asiaticoside on human collagen I synthesis. Planta Med. 60: 133 – 135. Charles, D.R. 1981. Practical ventilation and temperature control for poultry. In: J.A.Clark (Ed.). Environmental Aspects of Housing for Animal Production. University of Nottingham, Butterworths, London. Cooper, M.A. & K.W. Washburn. 1998. The relationship of body temperature to weight gain, feed consumption, and feed utilization in broilers under heat stress. Poultry Sci. 77:237-242. Geraert, P.A., J.C.F. Padilha & S.Guillaumin. 1996. Metabolic and endocrine changes by chronic heat exposure in broiler chickens: biological and endocrinological variables. Br. J. Nutr.75:205-216. Kumar, V.M.H. & Y.K. Gupta. 2003. Effect of Centella asiatica on cognition and oxidative stress in an intracerebroventricular streptozotocin model of Alzheimers disease in rat. Clin Exp Pharmacol Physiol 30: 336-342. Kutlu, H.R. & J.M. Forbes. 1993. Changes in growth and blood parameters in heat-stressed broiler chicks in response to dietary ascorbic acid. Livestock Prod Sci 36: 335 – 350. May, J.D. & B.D. Lott . 2001. Relating weight gain and feed:gain of male and female broilers to rearing temperature. Poultry Sci 80: 58158444. Nalini, K., A.R. Aroor, K.S. Karanth & A.Rao. 1992. Effect of Centella asiatica fresh leaf aqueous extract on learning and memory and biogenic amine turover in albino rats. Fitoterapia 63: 232 – 237. NRC (Nutritional Research Council). 1994. Nutrient Requirement of Poultry. 9th Rev. Ed. National Academy Press, Washington DC. Pietta, P.G. 2000. Flavonoids as antioxidants. Reviews. J Nat Prod 63: 1035-1042. Puthpongsiriporn, U., S.E. Scheideler, J.L.Sell & M.M. Beck. 2001. Effects of vitamin E and C supplementation on performance, in vitro lymphocyte proliferation, and antioxidant Edisi Desember 2006
139
KUSNADI ET AL.
status of laying hens during heat stress. Poultry Sci 80: 1190-1200. Rahman, I. 2003. Oxidative stress, chromatin remodelling and gene transciption in inflammation and chronic lung desease. J.Biochem. Mol. Biol. 36: 95-109. Sahin, K. & N.Sahin. 2002. Efect of chromium picolinate and ascorbic acid dietary supplementation on nitrogen and mineral excretion of laying hens reared in low ambient temperature (7oC). Acta Vet Brno 71 : 183189. Sediaoetama, A.D. 1987. Vitaminologi. Balai Pustaka, Jakarta. Sharma, J. & R. Sharma. 2002. Radioprotection of Swiss albino mouse by Centella asiatica extract. Phytother Res 16: 785 – 786. Shukla, A., A.M. Rasik & B.N. Dhawan. 1999. Asiaticoside-induced elevation of antioxidant levels in healing wounds. PhytotherapyResearch 13: 50-54.
140
Edisi Desember 2006
Media Peternakan
Steel, R.G.D. & J.H. Torrie. 1980. Principles and Procedures of Statistic. 2nd Ed.. Graw-Hall, Book Comp, New York. Tabiri, H.Y., K. Sato, K. Takahashi, M.Toyomizu & Y. Akiba. 2000. Effects of acute heat stress on plasma amino acids concentration of broiler chickens. Japan Poult Sci 37: 86-94. Takahashi, K. & Y. Akiba. 1999. Effect of oxidized fat on performance and some physiological responses in broiler chickens. J Poult Sci 36: 304-310. Taniguchi, N., A. Ohtsuka & K. Hayashi. 1999. Effect of dietary corticosteron and vitamin E on growth and oxidative stress in broiler chickens. Anim.Sci.J 70:195-200. Yahav, S., A.Straschnow, I. Plavnik & S. Hurwitz. 1997. Blood system response of chickens to changes in environmental temperature. Poultry Sci 76: 627 – 633. Yoshikawa, T. & Y. Naito. 2002. What is oxidative stress ? JMAJ, 45: 271-276.
Media Peternakan, Desember 2006, hlm. 141-146 ISSN 0126-0472 Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005
Vol. 29 No. 3
Induksi Superovulasi dengan Kombinasi CIDR, Hormon FSH dan hCG pada Induk Sapi Potong E.M. Kaiin & B.Tappa Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Jl. Raya Bogor km.46 Cibinong 16911 Telp. 021-8754587,
[email protected] (Diterima 22-02-2006; disetujui 05-10-2006)
ABSTRACT The aim of this study was to evaluate the effect of superovulation treatment using combination of CIDR, FSH and hCG in beef cattle as donor embryos using MOET programme. All animals had been palpated to evaluated the ovary status and normal cows were used as donor and synchronized with CIDR (Eazy BreedTM ). At day 10 of oestrus cycle, cows were divided into two groups, first group: cows were injected intramuscularly with FSH (Antrin) 40 IU per cow with decreasing doses (for 4 days) and second group cows were treated the same way but at day 5 after FSH injection, they were injected intramuscularly with 1,500 IU hCG (Chorulon). Embryo collection was done at day 7 after Artificial Insemination (AI). Average number of corpora lutea (CL) in animals that superovulated with CIDR, FSH and hCG was significantly higher (P<0.05) compared to animals treated with CIDR and FSH only (5.52). Average number of embryo collection and number of transferable embryos were also higher in group treated with hCG (6.00 vs 5.44) compared with those treated without hCG (4.33 vs 3.17). The conclusion is hCG superovulation injection with CIDR and FSH can increase the respon of superovulation. Key words : superovulation, CIDR, FSH, hCG, beef cattle
PENDAHULUAN Salah satu masalah utama dalam program transfer embrio adalah tingginya variabilitas respon terhadap superovulasi pada induk donor. Padahal kuantitas dan kualitas embrio donor sangat berpengaruh terhadap keberhasilan transfer embrio. Superovulasi merupakan kunci keberhasilan transfer embrio dan tidak hanya ditentukan oleh tingginya laju ovulasi dan jumlah embrio yang diperoleh, tetapi superovulasi dipengaruhi juga oleh berbagai
faktor seperti faktor-faktor yang mempengaruhi respon superovulasi pada induk donor, faktor yang mempengaruhi fertilisasi dan viabilitas embrio serta faktor yang berhubungan dengan manajemen induk donor. Hormon yang umum digunakan untuk menginduksi superovulasi pada sapi adalah Follicle Stimulating Hormone (FSH) yang berasal dari hipofisa. FSH merupakan hormon glikoprotein yang mempunyai waktu paruh yang pendek, sehingga memerlukan pemberian secara berulang untuk merangsang aktivitas Edisi Desember 2006
141
KAIIN & TAPPA
Media Peternakan
folikel secara lebih efisien. Berbagai penelitian pengaruh pemberian hormon terhadap respon superovulasi pada induk donor telah dilakukan yaitu dengan menggunakan PMSG, FSH Ovagen, FSH-PTM (FSH from pituitary) baik pada sapi potong maupun sapi perah (Tappa et al., 1994a; 1997). Pemakaian CIDR yang mengandung hormon progesteron efektif dilakukan untuk proses sinkronisasi siklus estrus pada sapi perah. Selain itu, kombinasi penggunaan CIDR dengan penyuntikan hormon prostaglandin ( PGF2α) secara nyata dapat meningkatkan jumlah sapi yang standing pada saat estrus (Vargas et al.,1994). Pemberian hCG pada proses superovulasi dengan FSH dilaporkan dapat menghasilkan lebih banyak embrio layak transfer walaupun tidak berbeda secara nyata dari kontrol (Armstrong, 1993). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui respon superovulasi dari kombinasi perlakuan superovulasi dengan menggunakan CIDR-FSH dan kombinasi perlakuan CIDR-FSH-hCG pada induk sapi potong yang digunakan sebagai induk donor embrio. MATERI DAN METODE Persiapan Ternak Sapi potong betina Brangus dengan umur yang bervariasi (4-5 tahun) digunakan sebagai induk donor dalam program transfer embrio. Sebelum digunakan, semua induk diperiksa keadaan ovarinya dengan cara palpasi rektal. Induk sapi dengan keadaan ovari dan alat reproduksi normal digunakan dalam penelitian ini. Body Condition Score induk-induk sapi yang digunakan dalam penelitian sebesar 2,5 sampai 3,5. Induk sapi dikelompokkan secara acak menjadi dua kelompok perlakuan yaitu : pertama, kombinasi perlakuan CIDR-FSH dan kedua, kombinasi perlakuan CIDR-FSH dan hCG. 142
Edisi Desember 2006
Superovulasi Induk sapi pada kelompok pertama (n= 25) disinkronisasi berahinya dengan menggunakan CIDR (Eazi BreedTM). Pada hari ke-10 setelah pemasangan CIDR, induk disuntik dengan FSH (Antrin) dosis total 40 IU/20 ml pelarut per ekor secara intramuskular dengan dosis menurun sebanyak delapan kali (selama 4 hari berturut-turut). Pemberian FSH dilakukan sebanyak dua kali sehari (pada pagi dan sore hari). Pada hari pertama diberikan masingmasing 4 ml, hari kedua sebanyak 3,5 ml dan 2,5 ml, hari ketiga sebanyak 2 ml dan 1,5 ml, sedangkan pada hari keempat diberikan sebanyak 1,5 ml dan 1 ml, sehingga total volume mencapai 20 ml (Tappa et al., 1994b). Penyuntikan 15 mg per ekor (Prosolvin, Intervet) dilakukan pada hari ke-3 penyuntikan FSH, sedangkan pencabutan CIDR dilakukan pada hari ke-4 penyuntikan FSH dan inseminasi buatan (IB) sebanyak 2 kali dilakukan pada hari ke-5 setelah penyuntikan FSH yang pertama. Koleksi embrio dengan cara tanpa operasi dilakukan pada hari ke-7 setelah IB. Koleksi embrio dilakukan dengan menggunakan media Ringer Laktat + 1% Calf Serum (CS). Pada kelompok kedua (n=12), pemasangan CIDR dan penyuntikan FSH dilakukan dengan program yang sama dengan kelompok pertama. Penyuntikan hCG (Chorulon, Intervet) dengan dosis 1500 IU/ekor secara intra muskular dilakukan pada hari yang sama dengan IB. Inseminasi dilakukan dengan menggunakan straw semen beku sapi Brangus. Analisis Statistik Pengamatan dilakukan terhadap jumlah korpus luteum (CL), jumlah embrio hasil koleksi dan jumlah embrio yang layak transfer. Data pengamatan dianalisa secara statistik dengan menggunakan uji X2 (Steel & Torie, 1993).
Vol. 29 No. 3
INDUKSI SUPEROVULASI
HASIL DAN PEMBAHASAN Respon induk sapi donor terhadap perlakuan superovulasi dengan kombinasi CIDR-FSH dan CIDR-FSH-hCG dapat dilihat pada Tabel 1. Hanya 17 ekor induk sapi saja (68%) yang memberikan respon terhadap perlakuan superovulasi dari 25 ekor yang diperlakukan dengan CIDR-FSH, sedangkan pada perlakuan CIDR-FSH-hCG dari 12 induk yang disuperovulasi terdapat 11 ekor (91,7%) yang respon terhadap superovulasi. Rata-rata jumlah korpus luteum (CL) per induk pada sapi yang disuperovulasi dengan kombinasi CIDRFSH-hCG adalah sebesar 7,33 dan hasil tersebut lebih tinggi secara nyata (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan CIDR-FSH yaitu sebesar 5,52 CL per induk. Jumlah embrio hasil koleksi dan jumlah embrio yang layak transfer dirangkum pada Tabel 2. Embrio hasil koleksi pada perlakuan CIDR-FSH lebih banyak dikoleksi embrio pada tahap perkembangan morula (45,12%) dibandingkan dengan embrio tahap perkembangan blastosis (20,73%). Hal yang serupa juga terjadi pada perlakuan CIDR-FSHhCG yaitu menghasilkan morula sebanyak 30 embrio (45,45%) dan blastosis sebanyak 16 embrio (24,24%). Kedua perlakuan menunjukkan bahwa embrio yang tidak layak transfer yaitu embrio yang mengalami degenerasi atau embrio yang tidak mencapai
tahap morula atau blatosis masing-masing 34,15% untuk perlakuan CIDR-FSH dan 30,30% untuk perlakuan CIDR-FSH-hCG. Walaupun tidak ada perbedaan yang nyata, perlakuan CIDR-FSH-hCG menghasilkan ratarata embrio hasil koleksi lebih banyak (6,00 embrio per induk) dibandingkan dengan perlakuan FSH-CIDR saja (4,33 embrio per induk). Rata-rata jumlah embrio yang layak transfer per induk pada perlakuan CIDR-FSHhCG lebih tinggi (5,44 embrio per induk) dibandingkan dengan perlakuan CIDR-FSH saja (3,17 embrio per induk). Kisaran embrio layak transfer pada perlakuan CIDR-FSH adalah 0 sampai 16 embrio per induk, sedangkan pada perlakuan CIDR-FSH-hCG berkisar antara 0 sampai 13 embrio layak transfer per induk. Penggunaan CIDR untuk sinkronisasi estrus sapi Holstein telah dilakukan di Jepang oleh Vargas et al. (1994) dan menghasilkan sebanyak 90,7% induk estrus dan 63,3% induk bunting sebagai respon terhadap penggunaan CIDR. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa penyuntikan PGF2α pada saat pencabutan CIDR tidak berpengaruh terhadap persentase kebuntingan, tetapi berpengaruh secara nyata terhadap peningkatan kejadian standing estrus dan jumlah CL yang dihasilkan yaitu rata-rata per induk sebesar 3,1. FSH berfungsi merangsang pertumbuhan folikel yang muda menjadi matang, sehingga dapat diovulasikan dan siap difertilisasi setelah
Tabel 1. Pengaruh kombinasi perlakuan superovulasi terhadap jumlah sapi respon dan korpus luteum
Perlakuan
Jumlah sapi (n)
Jumlah sapi respon n (%)
Jumlah korpus luteum (rata-rata per induk)
CIDR-FSH
25
CIDR-FSH-hCG
12
17 (68)a 11 (91,7)b
138 (5,52 ± 3,41)a 88 (7,33 ± 2,32)b
Keterangan : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).
Edisi Desember 2006
143
KAIIN & TAPPA
Media Peternakan
Tabel 2. Pengaruh kombinasi perlakuan superovulasi terhadap kualitas dan kuantitas embrio hasil koleksi
Status embrio hasil koleksi
Perlakuan (n induk)
CIDR-FSH (17) CIDR-FSH-hCG (11)
Morula n (%)
Blastosis n (%)
Degenerasi n (%)
Total n (rata-rata per induk)
37 (45,12) 30 (45,45)
17 (20,73) 16 (24,24)
28 (34,15) 20 (30,30)
82 (4,33±4,58) 66 (6,00±6,60)
inseminasi. Penyuntikan pFSH (pituitary FSH) dengan dosis menurun dan pada 48 jam sesudahnya diberi PGF2α pada sapi Holstein juga menghasilkan jumlah embrio hasil koleksi dan jumlah embrio layak transfer yang lebih tinggi dibandingkan dengan penyuntikan tunggal (Takedomi et al., 1993). Dhanani et al. (1991) melakukan penyuntikan FSH terhadap sapi Brahman menghasilkan jumlah CL rata-rata sebesar 10,6 per induk, jumlah embrio koleksi sebanyak 7,2 dan jumlah embrio layak transfer sebanyak 5,5 embrio per induk. Hasil ini lebih tinggi dari hasil yang diperoleh pada penelitian ini yang juga menggunakan sapi potong Brangus, tetapi superovulasi dengan FSH pada sapi Bali menghasilkan rata-rata CL 5,3 per ekor dan embrio terkoleksi sebanyak 12 embrio (Triyono et al., 1995). Deyo et al. (2001) menggunakan CIDR-BTM pada sapi Holstein dan disuperovulasi dengan FSH (Folltropin) menghasilkan rata-rata jumlah embrio sebesar 2,9 dan embrio layak transfer sebesar 1,8 per induk. Penyuntikan FSH Antrin dosis 7,5 mg/ ekor pada sapi Holstein menghasilkan CL ratarata sebesar 3,1 per ekor (Kojima et al., 1995). CL yang diperoleh pada penelitian ini lebih banyak yaitu 5,5 sampai 7,3 per ekor pada sapi Brangus. Penggunaan FSH untuk superovulasi pada sapi perah Hongarian dosis 36 mg dengan dosis pemberian menurun selama 4 hari 144
Edisi Desember 2006
Jumlah embrio layak transfer (rata-rata per induk) 54 (3,17±4,02) 46 (5,44±4,49)
menghasilkan rata-rata jumlah CL 6,0 dan jumlah embrio terkoleksi sebanyak 5,6 dan jumlah embrio layak transfer sebanyak 5,2 embrio pada program pertama superovulasi, tetapi jumlah tersebut menurun setelah disuperovulasi untuk yang keempat kalinya (Tappa et al., 1994a). Profil hormon progesteron pada waktu superovulasi dengan hormon FSH tidak berpengaruh terhadap jumlah embrio, tetapi berpengaruh sangat positif dengan kondisi estrus (Tappa et al., 1993). Pengukuran profil hormon estrogen dan progesteron pada penelitian ini tidak dilakukan. Hormon hCG merupakan glikoprotein yang berfungsi mencegah involusi normal selsel korpus luteum sehingga sel-sel korpus luteum mensekresikan lebih banyak hormon progesteron dan estrogen serta menyebabkan endometrium terus tumbuh dan menyimpan nutrisi. Hormon hCG juga mempunyai aktivitas biologi serupa dengan “luteinizing hormone, LH”. Pemberian hCG menyebabkan sekresi progesteron dan induksi perkembangan korpus luteum, serta memperpanjang waktu CL (Nishigai et al., 2001). Perlakuan CIDR dan FSH menghasilkan kadar hormon LH yang secara alami terdapat pada tubuh induk sapi donor kurang mencukupi untuk mengovulasikan lebih banyak sel telur, sehingga jumlah CL dan jumlah embrio yang diperoleh lebih sedikit. Sebaliknya dengan
Vol. 29 No. 3
INDUKSI SUPEROVULASI
adanya penyuntikan hCG yang mempunyai aktivitas biologi serupa LH terhadap induk sapi donor, menyebabkan lebih banyak sel telur yang dapat diovulasikan pada perlakuan superovulasi. Hal tersebut diduga merupakan penyebab perlakuan superovulasi kombinasi CIDR, FSH dan hCG menghasilkan rata-rata jumlah CL dan jumlah embrio layak transfer lebih baik dari perlakuan CIDR dan FSH saja. KESIMPULAN Penyuntikan hCG pada proses superovulasi dengan menggunakan kombinasi CIDR dan FSH menyebabkan peningkatan respon superovulasi dan jumlah CL yang terbentuk pada induk sapi donor Brangus secara nyata. Selain itu juga meningkatkan jumlah CL yang terbentuk, jumlah embrio terkoleksi dan jumlah embrio yang layak transfer. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Unit Peternakan Tri ‘S’ Tapos yang telah mengijinkan kami untuk menggunakan fasilitas dan menyediakan sapi donor. Juga kepada H. Yanwar, Hendri dan H. Parjan yang telah membantu pelaksanaan penelitian. DAFTAR PUSTAKA Armstrong, D.T. 1993. Recent advances in superovulation of cattle. Theriogenology 397-24. Deyo, C.D., M.G. Colazo, M.F. Martinez & R.J. Mapletoft. 2001. The use of GnRH or LH to synchronize follicular wave emergence for superovulation in cattle. Theriogenology 55 (1) : 513. (Abstract). Dhanani, J.D. Jillella & P.J. Chenoweth. 1991. Prediction of response to superovulation treatment in Bos indicus cattle by plasma progesterone estimation. Theriogenology 35 (1) : 165. (Abstract).
Kojima, T., M. Shimizu & T. Tomizuka. 1995. Effect of administration with low-dose FSH to recipient cows on embryonic survival after bilateral nonsurgical embryo transfer. J.of Reprod.and Develop. 41 (4) : 277 – 286. Nishigai, M., A. Takamura, H. Kamomae, T. Tanaka & Y. Kaneda. 2001. The effect of human chorionic gonadotrophin on the development and function of bovine corpus luteum. J.of Reprod.and Develop. 47 (5) : 283- 294. Steel, R.G.D & J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT. Gramedia, Jakarta. Takedomi, T., Y. Aoyagi, M. Konishi, H. Kishi, K. Taya, G. Watanabe & S. Sasamoto. 1993. Superovulation in Holstein heifers by a single injection of porcine FSH dissolved in polyvinylpyrrolidone. Theriogenology 39:327. (Abstract). Tappa, B., E.M. Kaiin & S. Said. 1993. Hubungan profil hormon progesteron dengan jumlah ovulasi dan kualitas embrio pada sapi perah yang disuperovulasi. Prosiding Pertemuan Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi dalam Bidang Industri, Pertanian dan Lingkungan, Jakarta. Hal. 357-362. Tappa, B., E.T. Margawati & E.M. Kaiin. 1994a. Kelahiran anak sapi perah dari sapi pedaging hasil transfer embrio. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan, Bogor. Hal. 177-182. Tappa, B., E.M. Kaiin, S. Said & M. Suwecha. 1994b. Response of dairy cows treated with repeated superovulation and embryo recovery. Proceeding of 7th AAAP Animal Science Congress. Bali. P. 19-20. Tappa, B., M. Soewecha, S. Said, E.M. Kaiin, & F. Afiati. 1997. Over 5 years study in superovulation of dairy and beef cows using FSH-Ovagen and FSH-P during embryo transfer. 4th International Meeting on Biotechnology in Animal Reproduction, Bogor. Triyono, B., S. Said, E.M. Kaiin & B. Tappa.1995. Produksi embrio dan anak sapi Bali dari hasil superovulasi dan transfer embrio di Bengkulu. Seminar Hasil Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi II. Cibinong. Vargas, R.B., Y. Fukui, A. Miyamoto & Y. Terawaki. 1994. Estrus synchronization using CIDR in heifers. J.of Reprod.and Develop. 40 (1):59- 64.
Edisi Desember 2006
145
Media Peternakan, Desember 2006, hlm. 146-154 ISSN 0126-0472 Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005
Vol. 29 No. 3
Sifat Fisik Pakan Kaya Serat dan Pengaruhnya terhadap Konsumsi dan Kecernaan Nutrien Ransum pada Kambing T. Toharmat, E. Nursasih, R. Nazilah, N. Hotimah, T. Q. Noerzihad, N.A. Sigit & Y. Retnani Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB Jl. Agatis Kampus IPB Darmaga, Bogor, 16680 (Diterima 06-04-2006; disetujui 05-10-2006)
ABSTRACT Fibrous feeds vary in their physical properties. The experiment aimed to clarify the effect of physical properties of fibrous component in rations on feed intake and nutrient digestibility in goats. Rations were composed of 50% fibrous feed and 50% concentrate. The fibrous feed as treatments were as follows: napier grass (RG), rice straw (JP), cocoa pod (KC), mixed rice straw and coffee husk (JK), mixed napier grass, rice straw, coffee husk, and cocoa pod (CP). Rations were offered to four groups of 20 Etawah-grade goats weighing of 13.50±2.14 kg in a randomized block design. Physical properties of the fibrous components of ration and faeces, nutrients intake and digestibility and daily life weight gain were evaluated. Analysis of variance and correlation were applied to analyze data. Dry matter intake varied from 298-440 g/day. Goats offered KC ration had the highest intake. Low feed intake was associated with the low density of the fibrous component. Dietary fat digestibility decreased when the fibrous feed component had low capacity of oil adsorption. Young goats had life weight gain of 50-136 g/day, TDN requirement for maintenance and 50 g daily gain of 63.4 g and 131 g TDN, respectively. The results indicated that physical properties of fibrous component in the rations influenced dry matter intake and nutrients digestibility in growing goats. Key words : physical properties, intake, nutrient, digestibility, goat
PENDAHULUAN Rumput dan sebagian hasil ikutan industri pertanian merupakan pakan kaya serat. Pakan kaya serat mempunyai sifat fisik yang bervariasi dan dapat berpengaruh terhadap tingkat konsumsi dan kecernaannya. Keambaan bahan pakan dan ketahanan potong merupakan sifat fisik pakan kaya serat yang berkaitan erat
146
Edisi Desember 2006
dengan kadar komponen serat dinding sel dan kecernaan bahan tersebut (Herrero et al., 2001). Ketahanan partikel terhadap proses pencernaan dan ukuran partikel pakan kaya serat yang dikonsumsi dapat mempengaruhi kondisi rumen dan produk fermentasi (Le Liboux & Peyraud, 1999). Diketahui bahwa bahan yang mengandung serat kasar tinggi pada ternak monogastrik
TOHARMAT ET AL.
Media Peternakan
mempunyai kecernaan lemak yang tinggi (Sosulski & Cadden, 1982). Interaksi komponen serat dengan kecernaan komponen lemak pakan pada ternak ruminansia belum banyak diketahui. Sementara lemak atau minyak digunakan sebagai suplemen pada ternak ruminansia. Selain itu, lemak termasuk bentuk sabunnya sangat potensial digunakan sebagai suplemen sumber asam lemak dalam upaya meningkatkan kualitas susu (Adawiah, 2005). Penelitian ini dirancang untuk mengkaji: (1) sifat fisik beberapa pakan kaya serat hasil samping industri pertanian, dan (2) hubungan sifat fisik pakan dengan kecernaan nutrien pada ternak ruminansia dengan ransum berbasis bahan pakan kaya serat hasil samping industri pertanian pada kambing peranakan Etawah. MATERI DAN METODE Kajian Sifat Fisik Kajian kerapatan, berat jenis, daya ikat air dan daya ikat lemak telah dilakukan menggunakan metoda Lopez et al. (1996) yang dimodifikasi. Kajian dilakukan pada bahan pakan kaya serat yaitu rumput gajah, jerami padi, kulit buah kopi dan kulit buah coklat serta pada feses kambing percobaan. Bahan yang digunakan telah dikeringkan dan digiling menggunakan saringan 2 mm. Pengamatan
setiap sifat fisik dilakukan secara triplo. Kandungan bahan kering, serat kasar, ADF dan lemak bahan pakan kaya serat disajikan dalam Tabel 1. Kerapatan bahan ditentukan dengan memasukkan sampel pakan ke dalam gelas ukur 250 ml. Kerapatan jenis langsung (direct density) ditentukan dengan menggoyanggoyangkan gelas ukur secara perlahan sehingga seluruh ruang terisi dengan baik, sedangkan kerapatan jenis curah (bulk density) ditentukan dengan memberikan beban 5 kg pada permukaan bahan dalam gelas ukur selama ± 1 menit hingga tidak terjadi perubahan volume. Volume sampel dalam gelas ukur diamati dan bahan ditimbang. Kerapatan jenis langsung (KJL) atau kerapatan jenis curah (KJC) ditentukan dengan rumus: KJL (g/ml) atau KJC (g/cm3) = berat/volume. Berat jenis ditetapkan dengan memasukan 25 g sampel ke dalam gelas ukur 250 ml, kemudian ditambahkan aquades 200 ml dan didiamkan selama 1 jam. Berat jenis (BJ) dihitung dengan rumus: BJ (g/cm3) = berat bahan/(volume aquades dan bahan – volume aquades). Daya ikat air diukur dengan memasukkan 300 mg bahan dan 10 ml aquades ke dalam tabung reaksi yang telah ditimbang. Campuran didiamkan selama 1 jam, kemudian disentrifuge selama 10 menit pada 3000 rpm. Filtrat dibuang
Tabel 1. Kandungan bahan kering, serat kasar, ADF dan lemak bahan pakan kaya serat penyusun ransum percobaan
Bahan pakan
BK1) (%)
Serat kasar (%BK)
ADF (%BK)
Lemak kasar (%BK)
Rumput gajah Jerami padi Kulit buah coklat Kulit buah kopi
88,51 89,22 85,31 85,77
45,67 35,38 21,36 35,45
49,98 52,59 36,94 53,26
3,25 3,95 4,71 4,12
Keterangan: 1) Bahan kering sampel saat pengujian sifat fisik. Edisi Desember 2006
147
Vol. 29 No. 3
SIFAT FISIK PAKAN
dan tabung dibalikkan selama 15 menit, kemudian ditimbang dan dikeringkan beserta isinya di dalam oven pada suhu 1050C selama 24 jam. Setelah pengeringan tabung beserta isinya ditimbang kembali. Daya ikat lemak ditentukan dengan memasukkan 1 g sampel dan 6 ml minyak jagung atau minyak sawit ke dalam tabung reaksi yang telah ditimbang. Campuran dikocok 5 menit sekali hingga 30 menit, kemudian disentrifuge selama 10 menit pada 3000 rpm. Minyak yang terpisah dibuang, tabung dibalikkan selama 15 menit dan selanjutnya tabung beserta isinya ditimbang kembali. Kajian Konsumsi dan Kecernaan Dua puluh ekor kambing peranakan Etawah lepas sapih dengan bobot hidup awal 13,50±2,14 kg digunakan dalam percobaan.
Kambing dikelompokkan berdasarkan bobot hidup awal dan diberi ransum percobaan berdasarkan rancangan acak kelompok. Kambing dipelihara dalam kandang individu berbentuk panggung berukaran 1 m x 1 m x 0,8 m, dengan tinggi lantai 0,5 m. Kandang ditempatkan di dalam satu bangunan terbuka beratap asbes. Komponen ransum percobaan dan komposisi nutriennya disajikan pada Tabel 2. Ransum percobaan mengandung jenis bahan pakan kaya serat berbeda berupa: rumput gajah (RG), jerami padi (JP), kulit buah coklat (KC), jerami padi + kulit buah kopi (JK), atau rumput gajah + jerami padi + kulit buah coklat + kulit buah kopi (CP). Setiap ransum percobaan diberikan pada empat ekor kambing selama dua minggu periode adaptasi, tiga minggu periode preliminary dan satu minggu periode koleksi total. Ransum diberikan pada pukul 08:00 dan
Tabel 2. Komposisi bahan dan nutrien ransum percobaan yang diberikan pada kambing Peranakan Etawah lepas sapih
Ransum percobaan
Bahan pakan (%BK) Konsentrat Rumput gajah Jerami padi Kulit buah coklat Kulit buah kopi Total Nutrien (%BK)1) Bahan kering (BK) Abu Lemak Protein kasar Serat kasar BETN
RG
JP
KC
JK
CP
49,40 50,60 100
49,51 50,49 100
50,98 49,02 100
49,82 25,09 25,09 100
50,00 12,50 12,50 12,50 12,50 100
90,65 7,96 7,66 14,04 28,60 41,74
90,44 10,48 8,01 12,68 23,46 45,37
87,84 8,90 8,39 16,04 16,45 50,22
89,87 9,51 8,05 16,70 23,48 42,26
89,56 8,97 8,04 15,87 23,00 44,12
Keterangan: 1) kecuali bahan kering (%); ransum dengan bahan kaya serat berupa rumput gajah (RG), jerami padi (JP), kulit buah cokla (KC), jerami padi + kulit buah kopi (JK), rumput gajah + jerami padi + kulit buah coklat + kulit buah kopi (CP).
148
Edisi Desember 2006
TOHARMAT ET AL.
Media Peternakan
16:00 dengan total pemberian BK 3% bobot hidup. Residu pakan dikeluarkan dari tempat pakan satu kali sehari segera sebelum pakan baru diberikan pada pukul 08:00. Air minum diberikan ad libitum. Selama periode koleksi total, feses ditampung menggunakan kain kasa yang dipasang di bawah lantai kandang. Feses dan sisa pakan ditimbang setiap hari. selanjutnya dikeringkan pada terik matahari. Semua feses harian setiap individu kambing dicampurkan pada akhir percobaan, kemudian sampel diambil dan digiling untuk dianalisa sifat fisik dan komponen kimianya. Konsumsi bahan kering dan nutrien ditentukan dengan mengukur bahan kering ransum dan nutrient yang diberikan dikurangi dengan bahan kering dan nutrient residu. Kecernaan bahan kering dan nutrien dihitung dengan mengurangi bahan kering dan nutrien yang dikonsumsi dengan bahan kering dan nutrien yang ada dalam feses. Perubahan bobot badan diukur dengan menimbang kambing satu minggu sekali pada pukul 07:00 sebelum pemberian pakan baru.
Analisis Kimia dan Statistik Analisis bahan kering, abu, serat kasar dan lemak dalam bahan pakan, residu dan feses menggunakan metode proksimat (AOAC, 1984). Kadar ADF bahan pakan dianalisa menggunakan metode Van Soest (1985). Data hasil percobaan dianalisa statistik menggunakan analisis keragaman (SAS, 1995). Rataan variabel selanjutnya dibandingkan dengan uji least significant different. HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik Pakan Nilai kerapatan langsung atau kerapatan curah suatu bahan menunjukkan nilai yang tidak sama namun keduanya sangat berkorelasi erat (Tabel 3). Hijauan secara umum mempunyai nilai kerapatan yang rendah (Khalil, 1999). Namun nilai kerapatan bahan pakan kaya serat sangat bervariasi. Jerami padi dan rumput gajah menunjukkan nilai kerapatan langsung dan curah terendah. Hal ini berarti bahwa jerami
Tabel 3. Kadar serat dan sifat fisik bahan pakan kaya serat komponen ransum yang diberikan kepada kambing Etawah betina muda
Pakan kaya serat Sifat fisik Kerapatan langsung (kg/m3) Kerapatan curah (kg/m3) Berat jenis (kg/dm3) Daya ikat terhadap: Air absolut (kg/kg) Minyak sawit (kg/kg) Minyak jagung (kg/kg) Minyak jagung (kg/kg)*)
RG
JP
KC
JK
CP
191 292 0,854
185 292 0,865
362 596 1,516
317 458 1,038
297 451 1,112
6,259 2,729 3.110 4,098
3,083 3,292 3.288 4,680
4,249 1,344 1.196 1,930
4,489 2,290 2.217 3,199
4,874 2,164 2.186 3,108
Keterangan : *)bahan telah diektraksi ether; nilai sifat fisik bahan campuran dihitung berdasarkan sifat fisik dan proporsi bahan kaya serat dalam ransum; ransum dengan bahan kaya serat berupa rumput gajah (RG), jerami padi (JP), kulit buah cokla (KC), jerami padi + kulit buah kopi (JK), rumput gajah + jerami padi + kulit buah coklat + kulit buah kopi (CP). Edisi Desember 2006
149
Vol. 29 No. 3
padi dan rumput gajah merupakan bahan yang amba (bulky) dibandingkan dengan kulit buah coklat dan kulit buah kopi. Sifat kerapatan bahan banyak terkait dengan kadar serat dalam bahan (Tabel 1 dan 2), semakin tinggi kadar serat maka semakin rendah kerapatannya atau bahan tersebut semakin amba. Pakan dengan tingkat keambaan yang lebih tinggi dapat menimbulkan regangan lebih besar dan memberikan sensasi kenyang lebih cepat pada saat dikonsumsi ternak, sehingga sifat amba tersebut dapat membatasi konsumsi pada ternak. Namun dampak negatif keambaan terhadap konsumsi setiap bahan dapat berbeda tergantung pada tingkat kecernaan komponen seratnya sepertihalnya ditunjukan oleh pakan yang mengandung rumput gajah dan jerami. Nilai kerapatan langsung sekitar 190 dan kerapatan curah sekitar 290 mempunyai pengaruh yang jelas dalam menurunkan konsumsi bahan kering ransum. Berat jenis komponen ransum yang dikonsumsi kambing diperkirakan dapat mempengaruhi konsumsi dan pencernaan fermentatif komponen tersebut di dalam rumen. Ransum KC mempunyai berat jenis 1,516 sehingga diperkirakan sebagian besar komponen ransum tersebut tenggelam, sebaliknya komponen ransum lainnya dengan berat jenis 0,854-1,112 mengapung. Bahan yang mempunyai berat jenis besar diduga akan mudah kontak dengan mikroba rumen dan enzim yang berada dalam cairan rumen sebaliknya bahan yang mempunyai berat jenis lebih kecil memerlukan waktu lebih lama untuk kontak dengan mikroba. Hal ini dapat menyebabkan kecernaan bahan dengan berat jenis tinggi tersebut menjadi besar. Pakan kaya serat yang digunakan dalam percobaan mempunyai daya ikat air yang bervariasi. Rumput gajah menunjukkan nilai daya ikat air tertinggi dibandingkan dengan bahan lain dan campurannya. Tingkat daya ikat air bahan tergantung pada jenis polisakarida 150
Edisi Desember 2006
SIFAT FISIK PAKAN
komponen seratnya. Selulosa mempunyai kapasitas yang terbatas dalam menyerap air, sedangkan arabinoxylan mempunyai kapasitas penyerapan yang sangat besar (Trowell et al., 1985). Penyerapan cairan rumen terjadi lebih cepat pada bahan dengan daya ikat air yang tinggi. Partikel rumput gajah dengan daya serap air yang tinggi (Tabel 3) akan mempunyai kontak dengan mikroba dan enzim dalam cairan rumen lebih cepat dibandingkan pakan kaya serat lainnya. Namun komponen serat rumput gajah dalam ransum tidak mampu meningkatkan kecernaan ransum (Tabel 4). Hal ini berarti bahwa komponen kimia bahan sangat mempengaruhi tingkat kecernaan bahan pakan atau ransum. Nilai daya ikat serat terhadap minyak jagung dan minyak sawit disajikan pada Tabel 3. Daya ikat partikel terhadap minyak sawit dan jagung pada bahan yang sama menunjukkan nilai yang sama. Nilai daya ikat bahan kaya serat terhadap minyak berkorelasi erat dengan kerapatan dan kadar lignin bahan (Lopez et al., 1996). Bahan pakan kaya serat dengan nilai kerapatan curah yang besar menunjukkan daya ikat minyak yang kecil. Peningkatan daya ikat bahan terhadap minyak terjadi jika bahan pakan serat mengalami defatasi terlebih dahulu. Hal ini memberikan peluang bahwa pencampuran suplemen minyak dengan sumber pakan berserat tinggi dapat mempermudah pencampuran dan meningkatkan kecernaan dan manfaat minyak dalam ransum. Konsumsi dan Kecernaan Nutrien Rataan konsumsi dan kecernaan nutrien pada kambing percobaan disajikan pada Tabel 4. Konsumsi bahan kering pada kambing peranakan etawah muda dalam penelitian ini berkisar antara 299-440 g/ekor/hari. Kebutuhan bahan kering kambing yang berbobot 10-20 kg adalah 200-480 g/ekor/hari (NRC, 1981; Devendra & McLerroy, 1982). Kisaran
TOHARMAT ET AL.
Media Peternakan
Tabel 4. Rataan konsumsi harian dan kecernaan nutrien pada kambing peranakan Etawah betina yang diberi pakan dengan sumber serat berbeda
Ransum percobaan
Konsumsi (g/ekor): Bahan kering Bahan organik Lemak Serat kasar TDN Koefisien cerna (%): Bahan kering Bahan organik Lemak Serat kasar
RG
JP
KC
JK
CP
329±131ab 291±122ab 24±14b 100±22a 117±103b
298±58b 256±50b 23±4b 69±16b 116±34b
440±59a 388±54a 37±5a 72±10b 219±40a
313±156b 270±140ab 25±14b 78±34ab 125±117b
405±36ab 360±32ab 33±3ab 91±9ab 181±56a
38±10b 32±10b 78±15a 35±16
36±10b 36±8b 86±8a 24±12
54±5a 48±6a 71±5b 38±9
38±9b 32±11b 81±10a 30±9
46±3ab 40±4ab 71±3b 26±5
Keterangan : superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05); Total Digestible Nutrient (TDN) = bahan organik tercerna + (2,5 x lemak tercerna); ransum dengan bahan kaya serat berupa rumput gajah (RG), jerami padi (JP), kulit buah cokla (KC), jerami padi + kulit buah kopi (JK), rumput gajah + jerami padi + kulit buah coklat + kulit buah kopi (CP).
konsumsi bahan kering pada kambing di Indonesia cukup lebar. Namun konsumsi bahan kering ransum yang mengandung jerami padi, rumput gajah, kulit buah kopi atau kulit buah coklat hingga 50% pada kambing, dapat dinyatakan normal walaupun palatabilitas sumber serat yang digunakan berbeda. Konsumsi bahan kering dan nutrien kecuali serat kasar yang paling tinggi terjadi pada kelompok kambing dengan pakan kaya serat kulit buah coklat (KC). Konsumsi terendah terjadi pada ransum dengan pakan kaya serat jerami padi (JP). Jenis pakan kaya serat dapat mempengaruhi konsumsi bahan kering dan bahan organik yang selanjutnya akan mempengaruhi konsumsi nutrien. Hal ini berarti bahwa konsumsi bahan kering pakan dapat dimanipulasi melalui pemilihan jenis pakan kaya serat yang diberikan. Konsumsi bahan kering dan nutrien yang tinggi pada ransum KC diduga terkait dengan sifat fisik kulit buah coklat khususnya nilai
kerapatan yang tinggi (Tabel 3). Kerapatan pakan yang tinggi memberikan pengaruh kenyang yang lebih lambat dibandingkan dengan kerapatan pakan yang rendah seperti jerami padi. Tingginya konsumsi bahan kering dan nutrien pada kambing dengan ransum KC terkait dengan tingginya kecernaan nutrien komponen bahan tersebut seperti tergambarkan oleh tingginya kecernaan bahan kering, bahan organik, serat kasar dan lemak ransum KC tersebut (Tabel 4). Kecernaan lemak paling rendah pada ransum dengan sumber serat yang mempunyai daya ikat lemak paling rendah. Kajian interaksi antar serat kasar dan lemak ransum (Tabel 5) menunjukkan bahwa koefisen cerna lemak (KCL) berkorelasi negatif (P<0,01) dengan kadar lemak feses (KDLF), kadar lemak feses (KDLF) berkorelasi negatif (P<0,05) dengan daya ikat feses terhadap minyak jagung (DIMJ) dan serat kasar feses (SKF), sedangkan serat kasar feses berkorelasi positif (P<0,01) dengan
Edisi Desember 2006
151
Vol. 29 No. 3
SIFAT FISIK PAKAN
Tabel 5. Korelasi antar kecernaan lemak, sifat fisik dan kimia feses kambing peranakan Etawah betina
KCL KDLF DIMJ
KDLF
DIMJ
SKF
-0,74 (0,00)
0,42 (0,07) -0,76 (0,00)
0,20 (0,41) -0,53 (0,02) 0,69 (0,00)
Keterangan : KCL = koefisien cerna lemak: KDLF = kadar lemak feses; DIMJ = daya ikat feses terhadap minyak jagung; SKF = serat kasar feses; anggka dalam () adalah nilai P.
daya ikat minyak jagung. Data tersebut menunjukkan bahwa komponen lemak pakan lebih banyak dicerna jika komponen lemak lebih terikat pada komponen serat pakan. Pertumbuhan Kambing Pertambahan bobot hidup kambing peranakan Etawah muda yang diberi ransum dengan sumber serat berbeda disajikan dalam Tabel 6. Pertambahan bobot hidup kambing dalam percobaan ini berkisar antara 50-136 g/ ekor/hari, namun tidak dipengaruhi jenis komponen pakan seratnya. Sudrajat (2000) melaporkan pertumbuhan kambing peranakan
Etawah lepas sapih 45,36-48,45 g/ekor/hari. Data tersebut menggambarkan bahwa penggunaan sumber serat yang berbeda pada tingkat 50% dalam ransum dapat menghasilkan pertumbuhan yang baik walaupun pertambahan bobot hidupnya cukup bervariasi. Laju pertumbuhan kambing percobaan tidak sejalan dengan tingkat konsumsi dan kecernaan ransum. Walaupun kelompok kambing yang mendapat ransum KC menunjukkan konsumsi dan kecernaan nutrien tertinggi (Tabel 4), pertumbuhannya tidak berbeda dengan pertumbuhan kambing yang mendapat ransum lainnya (Tabel 6). Effisiensi penggunaan pakan yang tertinggi dicapai oleh
Tabel 6. Rataan bobot hidup dan pertambahan bobot hidup (PBH) kambing peranakan Etawah betina yang diberi ransum dengan sumber serat berbeda
Ransum percobaan
Bobot hidup Awal (kg) Akhir (kg) PBH (g/hari) Efisiensi pakan
RG
JP
KC
JK
CP
13,5±2,5 18,2±3,4 136±104 0,53±0,55a
14±3,2 16,2±2,6 64±66 0,20±0,21ab
13,2±1,7 17,2±2,3 114±53 0,25±0,10ab
13,5±2,4 15,2±5,6 50±134 0,03±0,41ab
13,2±1,7 16,2±2,2 86±48 0,21±0,11ab
Keterangan : superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05); ransum dengan bahan kaya serat berupa rumput gajah (RG), jerami padi (JP), kulit buah cokla (KC), jerami padi + kulit buah kopi (JK), rumput gajah + jerami padi + kulit buah coklat + kulit buah kopi (CP).
152
Edisi Desember 2006
TOHARMAT ET AL.
Media Peternakan
PBH (g/ekor/hari)
300 200 100 0 0
100
200
300
400
-100 -200 Konsumsi TDN (g/ekor/hari) Gambar 1. Hubungan pertambahan bobot hidup dengan konsumsi TDN pada kambing peranakan Etawah betina muda
kelompok kambing yang mendapat ransum dengan sumber serat rumput gajah. Rendahnya utilisasi nutrien pada pakan dengan sumber serat kulit coklat diduga terkait dengan kurang seimbangnya nutrien yang diserap atau karena adanya zat antinutrisi dalam bahan tersebut. Pertumbuhan kambing percobaan sejalan dengan konsumsi TDN (Gambar 1). Hubungan konsumsi TDN dengan pertambahan bobot hidup (PBH) tersebut mengikuti model persamaam PBH = 0,739*(TDN)–46,836; R=0,72 (P<0,01), PBH dan TDN (g/ekor/hari). Persamaan tersebut menunjukkan kebutuhan TDN untuk hidup pokok kambing peranakan Etawah dengan bobot 13,50±2,14 kg dan pertumbuhan harian 50-136g adalah 63,4g TDN, dan kebutuhan untuk pertumbuhan adalah 67,659g TDN per 50g pertambahan bobot hidup. Variasi pertumbuhan kambing dalam percobaan ini disebabkan oleh variasi konsumsi TDN, sehingga semua faktor yang mempengaruhi konsumsi energi dapat mempengaruhi pertumbuhan kambing. Hal ini berarti bahwa komponen pakan kaya serat
sangat berpengaruh terhadap konsumsi TDN dan pertumbuhan kambing muda. KESIMPULAN Keambaan bahan pakan kaya serat dalam ransum membatasi konsumsi bahan kering pakan. Konsumsi bahan kering meningkat dengan meningkatnya kecernaan nutrien ransum. Tingginya konsumsi dan kecernaan bahan kering tidak sejalan dengan pertambahan bobot hidup, tetapi bobot hidup meningkat sejalan dengan meningkatnya konsumsi TDN. Kecernaan lemak ransum meningkat dengan meningkatnya daya ikat lemak komponen pakan kaya serat. Penggunaan kulit coklat dalam ransum tidak dapat dilakukan hingga 50% BK ransum. UCAPAN TERIMA KASIH Publikasi ini merupakan bagian dari hasil penelitian yang dibiayai oleh Program DUELike Batch III Institut Pertanian Bogor tahun anggaran 2004. Ucapan terima kasih Edisi Desember 2006
153
Vol. 29 No. 3
SIFAT FISIK PAKAN
disampaikan kepada A. Rukmana, D. Nurdiani, Maman dan A. Yani atas bantuannya dalam pelaksanaan penelitian. DAFTAR PUSTAKA Adawiah. 2005. Respons produktivitas dan kualitas susu pada suplementasi sabun mineral dan mineral organik serta kacang kedelai sangrai dalam ransum ternak ruminansia. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemist. 4th Ed. Association of Official Analytical Chemist (AOAC), Washington, D.C. Devendra, C. & G.B. McLerroy. 1982. Goat and Sheep Production in the Tropics. Intermediate Tropical Agriculture Series. Longman, London. Herrero M., C B do Valle, N.R.G. Hughes, V. de O Sabatel & N. S. Jessop. 2001. Measurements of physical strength and their relationship to the chemical composition of four species of Brachiaria. Anim. Feed Sci. Technol. 92:149-158. Hintz R.W., R.G. Koegel, T. J. Kraus & D. R. Mertens. 1999. Mechanical maceration of alfalfa. J. Anim. Sci. 77:187-193. Khalil. 1999. Pengaruh kandungan air dan ukuran partikel terhadap sifat fisik pakan lokal: kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan
154
Edisi Desember 2006
tumpukan dan berat jenis. Media Peternakan 22:1-11. Le Liboux S & J. L. Peyraud. 1999. Effect of forage particle size and feeding frequency on fermentation patterns and sites and extent of digestion in dairy cows fed mixed diets. Anim. Feed Sci. Technol. 76:297-319. Lopez G, G. Ros, F. Rincon, M.J. Periago, M.C. Martinez, & J. Ortuno. 1996. Relationship between physical and hydration properties of soluble and insoluble fiber of artichoke. J. Agric. Food Chem. 44:2773-2778. NRC (National Research Council). 1981. Nutrient Requirement of Goats. National Academy Press, Washington, D.C. SAS. 1995. SASR User’s Guide : Statistics. Version. 6.12nd Ed. SAS Inst., Inc., Cary., New York. Sosulski, F.W. & A.M. Cadden. 1982. Composition and physiological properties of several sources of dietary fiber. J. Food Sci. 47:1472-1477. Sudrajat, D. 2000. Pengaruh suplementasi Se organik dalam ransum terhadap kecernaan, aktivitas fermentasi dan pertumbuhan kambing Peranakan Etawah. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Trowell, H., D. Burkitt & K. Heaton. 1985. Dietary Fiber, Fiber Depleted Food and Disease. Academic Press, London. Van Soest, P.J. 1985. Definition of fibre in animal feed.In: Recent Advances in Animal Nutrition. W. Haresign & D.J.A. Cole (Ed.). Pp. 55-70. Butterworths, London.
Media Peternakan, Desember 2006, hlm. 155-161 ISSN 0126-0472 Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005
Vol. 29 No. 3
Kajian Penambahan Ragi Tape pada Pakan terhadap Konsumsi, Pertambahan Bobot Badan, Rasio Konversi Pakan, dan Mortalitas Tikus (Rattus norvegicus) E.M.Sianturia, A.M.Fuaha & K.G. Wiryawanb a
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Jl. Agatis Kampus IPB Darmaga, Fakultas Peternakan, IPB Bogor 16680 (Diterima 17-10-2005; disetujui 05-10-2006)
b
ABSTRACT An experiment was conducted to examine the effect of different levels of tape yeast addition into rations on Rattus norvegicus performance, such as feed consumption, body weight gain, feed conversion ratio and mortality. The experimental design used was a factorial completely randomized design 2 x 4, the first factor was sex (male and female rats), and the second factor was different levels of tape yeast added into rations (0% as R1, 0.5% as R2, 1% as R3 and 1.5% as R4). The results showed that the interaction between sex and yeast addition had significant effect on feed consumption and body weight gain (P<0.05), but the effect was not significant on feed conversion ratio and mortality. Yeast addition in male-rat rations significantly reduced feed consumption, but did not affect body weight gain. In female rats, the addition of yeast in the rations increased body weight gain. Increasing levels of tape yeast in the rations improved the body weight gain and feed conversion ratio, especially for female rats (P<0.05). There was no single rat died during the experimental period. Rats fed ration containing 1.5% yeast showed better feed consumption, weight gain, and feed conversion ratio compared to rats given other rations. Key words : rat, tape yeast, consumption, weight gain, feed conversion ratio, mortality
PENDAHULUAN Probiotik telah lama diketahui dapat meningkatkan produktivitas ternak, yaitu dengan meningkatkan keseimbangan mikroflora usus (Wiryawan, 1995; Muktiani, 2002; CFNP Tap Review, 2002). Penyerapan zat-zat makanan akan meningkat jika keseimbangan mikroflora usus telah dicapai. Banyak jenis mikroba yang dapat dikategorikan sebagai
probiotik karena pengaruhnya yang menguntungkan bagi inangnya, dijual dalam bentuk kultur murni mikroba atau komponen dari mikroba tertentu, dan dijual secara komersial. Probiotik telah banyak dijual secara komersial terutama di negara-negara maju seiring dengan dilarangnya penggunaan antibiotik termasuk di Indonesia, namun wilayah pendistribusiannya masih terbatas di Edisi Desember 2006
155
SIANTURI ET AL.
kota-kota besar, sementara mayoritas peternakan di Indonesia adalah peternakan rakyat yang secara geografis sulit untuk diakses. Adanya kesulitan untuk mendapatkan probiotik komersial, terutama oleh masyarakat tani, maka dibutuhkan suatu sumber probiotik indigenous alternatif yang banyak tersebar di Indonesia. Pemilihan ragi tape dilakukan dengan pertimbangan: (1) di dalam ragi tape terdapat mikroba-mikroba baik kapang, khamir maupun bakteri yang mampu menghidrolisis pati, menciptakan keseimbangan mikroflora usus, meningkatkan kesehatan serta membantu penyerapan zat-zat makanan, dalam hal ini peran Saccharomyces cerevisiae sangat penting (Fardiaz, 1992; Dawson, 1993; Newman, 2001, CFNP Tap Review, 2002); (2) ragi tape tersebar luas di pasar-pasar tradisional di berbagai daerah di Indonesia, sehingga tidak sulit untuk mendapatkannya; (3) ragi tape sudah biasa dikonsumsi oleh manusia sehingga aman bagi ternak. Sebelum ragi tape sebagai probiotik dicobakan pada ternak, pada umumnya dicobakan terlebih dahulu pada hewan percobaan sehingga hasilnya dapat menjadi acuan penggunaannya. Hewan percobaan yang digunakan pada penelitian ini ialah tikus laboratorium (Rattus norvegicus) yang biasa digunakan karena karakteristik biologisnya mirip dengan ternak monogastrik dan juga
Media Peternakan
murah, mudah didapat dan siklus reproduksi yang singkat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan pengkajian terhadap penggunaan ragi tape sebagai probiotik dalam ransum tikus terhadap konsumsi, pertambahan bobot badan, konversi pakan, dan mortalitas tikus putih (Rattus norvegicus). MATERI DAN METODE Tikus yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley berjumlah 32 ekor yang terdiri atas 16 ekor jantan dan 16 ekor betina, berasal dari Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan, Fakultas Peternakan IPB. Tikus dipelihara dari umur 21 hari (lepas masa sapih) hingga umur 60 hari. Berat awal tikus jantan dan betina berkisar antara 29,45 g hingga 33,62 g. Kandang yang digunakan sejumlah 32 buah, berupa bak plastik dengan ukuran 36 x 28 x 12 cm3, dilengkapi dengan kawat penutup pada bagian atasnya. Kandang plastik diletakkan secara acak pada rak kayu yang mempunyai empat tingkatan. Alas kandang menggunakan sekam padi yang diganti setiap lima hari untuk menjaga kebersihan lingkungan tikus. Pakan yang digunakan mengandung protein 18% yang ditambahkan dengan empat level kandungan ragi tape. Kandungan ragi tape
Tabel 1. Komposisi pakan tikus
Komposisi
Protein (%) Lemak (%) Serat kasar (%) Abu (%) Metabolisme energi (kkal/kg) Sumber: PT. Indofeed (2005).
156
Edisi Desember 2006
Kandungan nutrisi (dari bahan kering) 18 4 4–6 4–7 2850
Vol. 29 No. 3
dalam pakan disimbolkan dengan R1, R2, R3, dan R4 dengan R1 sebagai kontrol, dengan kandungan ragi tape sebesar 0%. Pakan R2, R3, R4 mengandung ragi tape dengan level berturut-turut 0,5%; 1,0%; 1,5% dari bahan kering pakan. Pakan yang digunakan diproduksi oleh PT. Indofeed dengan komposisi zat makanan seperti pada Tabel 1. Air minum diberikan ad libitum, menggunakan air tanah yang diendapkan terlebih dahulu selama 1 malam, agar kotoran yang terkandung di dalam air mengendap ke dasar bak penampungan. Air minum diberikan menggunakan dua jenis botol dengan kapasitas 255 ml dan 265 ml yang diletakkan di atas kandang dengan posisi terbalik sehingga tikus dapat minum tetapi airnya tidak tumpah. Ragi tape yang digunakan adalah ragi tape yang dijual di Pasar Bogor dengan kode S, dengan harga sekitar Rp 150–200/keping. Pengujian populasi mikroba ragi tape dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, IPB dengan hasil populasi 1 x 10 6 CFU/g. Sebelum dicampurkan ke dalam pakan, ragi tape dihaluskan terlebih dahulu kemudian dicampurkan dengan pakan tikus dan dibuat menjadi pelet di PT. Indofeed. Tikus jantan dan betina masing-masing dibagi menjadi empat kelompok perlakuan pakan, yaitu kelompok R1, R2, R3 dan R4. Sebelum pengambilan data, tikus-tikus terlebih dahulu diadaptasikan selama 9 hari dalam kandang disertai dengan pemberian pakan perlakuan dengan tujuan menghilangkan bias penelitian akibat efek stress. Setiap tikus diberi identitas nomor pada telinganya dan dikandangkan secara individu. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola faktorial 2 x 4 dengan empat ulangan. Faktor pertama adalah jenis kelamin yang terdiri atas jantan dan betina. Faktor kedua adalah kandungan ragi
KAJIAN PENAMBAHAN RAGI
tape dalam pakan yang terdiri atas empat level yaitu 0%; 0,5%; 1,0% dan 1,5% dari bahan kering pakan. Data hasil penelitian dianalisa dengan sidik ragam. Uji lanjut untuk konsumsi pakan menggunakan ortogonal polinomial, sedangkan uji lanjut untuk pertambahan bobot badan dan rasio konversi pakan menggunakan Duncan (Steel & Torrie, 1995). Peubah yang diamati adalah konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, konversi pakan, dan mortalitas tikus selama penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara jenis kelamin dengan level ragi tape dalam pakan mempengaruhi konsumsi pakan (P<0,05). Uji lanjut ortogonal polinomial menunjukkan bahwa pemberian ragi tape dalam pakan tikus jantan sangat nyata (P<0,01) menurunkan konsumsi, namun tidak berpengaruh terhadap tikus betina. Pengaruh perlakuan terhadap konsumsi pakan tikus jantan mengalami penurunan secara linier seperti disajikan dalam Gambar 1. Berdasarkan grafik pada Gambar 1 diperoleh persamaan regresi polinomial peubah konsumsi tikus jantan Y= –0,7378X + 13,017, dengan Y adalah respon konsumsi pakan dan X adalah level ragi tape yang diberikan. Berdasarkan persamaan tersebut, dapat dihitung bahwa setiap penambahan 0,5% ragi tape dalam pakan akan menurunkan konsumsi tikus jantan selama masa pertumbuhan sebesar 0,3689 g/ ekor/hari. Penurunan konsumsi pada tikus jantan kemungkinan disebabkan adanya enzim yang dihasilkan oleh mikroba ragi tape (Mucor sp., Rhizopus oryzae, Saccharomyces cerevisiae) seperti amilase, protease, dan lipase yang dapat meningkatkan kecernaan dan penyerapan zat-
Edisi Desember 2006
157
SIANTURI ET AL.
Media Peternakan
Tabel 2. Rataan konsumsi pakan tikus selama penelitian (g/ekor/hari)
Jenis kelamin
R1
R2
13,14a 12,22ab
Jantan Betina
R3
12,41ab 12,54ab
R4
12,40ab 12,44ab
11,91b 12,28ab
Keterangan : superskrip berbeda pada baris/kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05); R1 = Pakan kontrol; R2 = Pakan dengan kandungan ragi tape sebesar 0,5 %; R3 = Pakan dengan kandungan ragi tape sebesar 1,0 %; R4 = Pakan dengan kandungan ragi tape sebesar 1,5 %.
zat makanan yang ada pada ransum sehingga dengan konsumsi yang lebih rendah kebutuhan zat-zat makanan sudah terpenuhi (Aunstrup, 1979; Saono & Jeanny, 1982; Fardiaz, 1992). Enzim-enzim tersebut ada yang terbawa di dalam ragi tape, tetapi ada juga yang dihasilkan di dalam saluran pencernaan karena khamir dan kapang yang digunakan sebagai suplemen pakan (probiotik) dapat hidup dan mempertahankan aktivitas metabolismenya di dalam saluran pencernaan paling tidak selama
enam jam setelah dikonsumsi (Newbold et al., 1990; Dawson, 1993). Pertambahan Bobot Badan Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara jenis kelamin dengan pakan perlakuan mempengaruhi pertambahan bobot badan tikus (P<0,05). Penambahan ragi tape dalam ransum tikus betina nyata (P<0,05) meningkatkan pertambahan bobot badan, tetapi
13,2 Konsumsi (g/ekor/hari)
13,0 12,8
jantan
Y = -0,7378x + 13,017 R2 = 0,8843
12,6 12,4 betina 12,2 12,0 11,8 0
0,5
1
1,5
Kandungan ragi tape dalam ransum (%)
Gambar 1. Kurva pengaruh perlakuan terhadap konsumsi pakan harian tikus jantan dan betina selama penelitian
158
Edisi Desember 2006
Vol. 29 No. 3
KAJIAN PENAMBAHAN RAGI
Tabel 3. Rataan pertambahan bobot badan tikus (g/ekor/hari)
Jenis kelamin Jantan Betina
R1
R2
R3
R4
Rataan
4,71a 3,07d
4,84a 3,62c
4,88a 3,74bc
4,89a 4,12b
4,83a 3,64b
Keterangan : superskrip yang berbeda dalam baris/kolom yang sama artinya berbeda nyata (P<0,05); R1 = Pakan kontrol; R2 = Pakan dengan kandungan ragi tape sebesar 0,5 %; R3 = Pakan dengan kandungan ragi tape sebesar 1,0 %; R4 = Pakan dengan kandungan ragi tape sebesar 1,5 %.
tidak berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan tikus jantan. Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan tikus jantan sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dibandingkan dengan tikus betina. Hal ini sesuai dengan pendapat Smith & Mangkoewidjojo (1988) bahwa tikus jantan lebih cepat perkembangan nya dan mencapai berat sekitar 200-250 g pada usia dewasa kelamin atau bahkan lebih tergantung dari umur dan galurnya. Pertambahan bobot badan pada jantan lebih tinggi daripada betina walaupun dengan jumlah konsumsi pakan yang relatif sama (Tabel 2). Rataan pertambahan bobot badan tikus betina dengan pakan yang mengandung ragi tape (0,5%; 1,0%; 1,5%) nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan tikus betina yang mendapat pakan kontrol. Pertambahan bobot badan cenderung meningkat seiring dengan semakin tingginya kandungan ragi tape dalam pakan. Hal ini seperti disebutkan diatas kemungkinan disebabkan oleh peningkatan efisiensi penggunaan zat-zat makanan dalam ransum karena adanya aktivitas mikroba ragi tape. Aktivitas mikroba ragi tape terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu (1) produksi enzim hidrolitik seperti amilase, proteinase, pektinase dan lipase (Fardiaz, 1992; Aunstrup, 1979) yang menyederhanakan polimer menjadi monomer yang lebih mudah diserap di dalam saluran
pencernaan, (2) sebagai sumber nutrien seperti vitamin, protein, karbohidrat dan kofaktor penting lainnya (Dawson, 1993; Stone, 1998), (3) sebagai prebiotik karena dinding sel khamir (Saccharomyces cerevisiae) mengandung manan-oligosakarida yang berfungsi sebagai sumber makanan bagi bakteri alami (indigenous) yang bersifat menguntungkan bagi inangnya menyebabkan bakteri indigenous dapat berkembang lebih pesat dan lebih dominan sehingga dapat mengurangi bakteri patogen dalam saluran pencernaan (Turner et al., 2000; CFNP TAP Review, 2002), (4) MOS juga berperan mengikat patogen (seperti: Salmonella sp dan Escherichia coli) sehingga patogen tidak dapat berkembang biak dalam saluran pencernaan (Newman, 2001) sehingga keseimbangan mikroba saluran pencernaan tetap terjaga. Rasio Konversi Pakan Efisiensi pakan memegang peranan penting dalam suatu usaha peternakan, karena biaya pakan merupakan 60-70% dari biaya produksi. Semakin efisien penggunaan pakan maka biaya produksi akan semakin berkurang. Efisiensi penggunaan pakan dapat dilihat dari rasio konversi pakan yaitu jumlah pakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu kilogram pertambahan bobot badan. Secara umum, semakin rendah rasio konversi pakan berarti Edisi Desember 2006
159
SIANTURI ET AL.
Media Peternakan
Tabel 4. Rataan rasio konversi pakan tikus selama penelitian
Jenis kelamin Jantan Betina Rataan
R1
R2
R3
R4
Rataan
2,81 3,99 3,40a
2,59 3,52 3,06b
2,56 3,33 2,95bc
2,43 2,98 2,71c
2,60b 3,46a
Keterangan : superskrip yang berbeda dalam baris/kolom yang sama artinya berbeda nyata (P<0,05); R1 = Pakan kontrol; R2 = Pakan dengan kandungan ragi tape sebesar 0,5%; R3 = Pakan dengan kandungan ragi tape sebesar 1,0%; R4 = Pakan dengan kandungan ragi tape sebesar 1,5%.
efisiensi penggunaan pakan semakin baik karena jumlah pakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu kilogram pertambahan bobot badan semakin sedikit. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara jenis kelamin dengan pakan perlakuan tidak mempengaruhi rasio konversi pakan, tetapi rasio konversi pakan tikus jantan nyata (P<0,05) lebih rendah dibandingkan dengan tikus betina. Sementara itu, pakan perlakuan dengan kandungan ragi tape menghasilkan rasio konversi pakan yang lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan pakan kontrol. Rataan rasio konversi pakan berdasarkan jenis kelamin dan pakan perlakuan disajikan dalam Tabel 4. Tikus jantan mengkonversi pakan menjadi bobot badan lebih baik daripada tikus betina. Hal ini disebabkan oleh pertambahan bobot badan tikus jantan lebih tinggi daripada tikus betina, dengan jumlah konsumsi yang relatif sama. Rasio konversi pakan cenderung menurun seiring dengan semakin meningkatnya kandungan ragi tape pada pakan. Hal ini menunjukkan bahwa efisiensi penggunaan pakan pada tikus yang diberi ransum yang mengandung ragi tape lebih baik dibandingkan yang diberi ransum kontrol karena adanya aktivitas mikroba ragi tape seperti diuraikan di atas.
160
Edisi Desember 2006
Mortalitas Selama penelitian tidak ditemukan adanya tikus yang mati baik jantan maupun betina, kemungkinan disebabkan kualitas nutrisi ransum yang digunakan cukup baik. Disamping itu, manajemen yang cukup memadai selama pemeliharaan ikut berkontribusi terhadap daya hidup tikus. Tikus jantan dan betina yang mendapat pakan yang mengandung ragi tape menunjukkan performa yang lebih sehat dibandingkan tikus pada perlakuan kontrol. Hal ini disebabkan ragi tape dalam pakan dapat menciptakan keseimbangan mikroflora usus, karena mengandung mikroba yang dapat mengurangi bakteri patogen dalam usus melalui mekanisme kerja manan-oligosakarida (CFNP TAP Review, 2002; Newman, 2001). . KESIMPULAN Interaksi antara jenis kelamin tikus dengan level ragi tape pada pakan nyata mempengaruhi konsumsi dan pertambahan bobot badan, tetapi tidak berpengaruh terhadap rasio konversi pakan dan mortalitas tikus. Pada tikus jantan, penambahan ragi tape menurunkan konsumsi dan rasio konversi pakan, tetapi tidak berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan. Pada tikus betina, penambahan ragi tape menghasilkan pertambahan bobot badan dan
Vol. 29 No. 3
KAJIAN PENAMBAHAN RAGI
rasio konversi pakan yang lebih baik dibandingkan pakan kontrol. Tikus yang diberi pakan dengan kandungan ragi tape sebesar 1,5% menghasilkan konsumsi pakan, pertambahan bobot badan dan rasio konversi pakan yang paling baik dibandingkan dengan tikus yang mendapat perlakuan pakan yang mengandung ragi tape 0%, 0,5%, dan 1,0%. DAFTAR PUSTAKA Aunstrup, K. 1979. Production, isolation, and economic of extracelluler enzymes. In: Wingard, L.E., E.K. Katsir, & Golstein (Eds.). Applied Biochemistry Bioengineering Enzymes Technology. Academic Press, New York Center for Food and Nutrition Policy (CFNP) Technical Advisory Panel (TAP) Review. 2002. Cell Wall Carbohydrates: Livestock. CFNP, Virginia. Dawson, K.A. 1993. Current and future role of yeast culture in animal production: A review of search over the last seven years. p: 269-291. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Muktiani, A. 2002. Penggunaan hidrolisat bulu ayam dan sorgum serta suplemen kromium organik untuk meningkatkan produksi susu pada sapi perah. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Newbold, C.J., P.E.V. Williams & N. McKain. 1990. The effect of yeast culture on yeast numbers and fermentation in the rumen of sheep. Proc. Nutr. Soc.,49, 47A. Newman, K. 2001. The MOS factor from yeast culture- A true growth promoter for pigs and chicks and now pets. Feeding Times 6:1819. Saono & K.D. Jeanny. 1982. Microflora or ragi: Its composition and as a source of industrial yeast. In: Proceedings of ASCA Technical Seminar. The Indonesian Institute of Science, Jakarta, Indonesia. Smith, J.B. & S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di daerah Tropis. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Steel, R.G.D.& J.H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Edisi kedua. Gramedia, Jakarta. Stone, C. W. 1998. Yeast Products in the Feed Industry: A Practical Guide for Feed Professionals. http://www.diamondy.com/ articles/booklet/booklet.html (27 Pebruari 2004) Turner, J.L., P.A.S. Dritz & J.E. Minton. 2000. Alternatives to conventional microbials in swine diets. J. Anim. Sci. 17:217-226. Wiryawan, K.G. & J.D. Brooker. 1995. Probiotic control of lactate accumulation in acutely grain-fed sheep. Aust. J. Agric. Res., 46: 15551568.
Edisi Desember 2006
161
Media Peternakan, Desember 2006, hlm. 162-168 ISSN 0126-0472 Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005
Vol. 29 No. 3
Pengaruh Konformasi Butt Shape terhadap Karakteristik Karkas Sapi Brahman Cross pada Beberapa Klasifikasi Jenis Kelamin Harapin Hafid H.a & R. Priyantob a
Jurusan Produksi Ternak Faperta Universitas Haluoleo Jl. Malaka Kampus Bumi Tridarma Anduonohu, Faperta, Unhalu Kendari, 93232 e-mail:
[email protected] b Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor Jl. Agatis Kampus IPB Darmaga, Fakultas Peternakan, IPB Bogor 16680 (Diterima 24-01-2006; disetujui 05-10-2006)
ABSTRACT Domestic demand on beef is increasing today. However the beef supply can not fulfil the demand so that importation of beef and feeder cattle is still required. Beef cattle feedloting is now growing in Indonesia. This research was done to study the growth and development of carcass components of beef carcas from Brahman Cross cattle. The number of animals used was 165 heads with the body weight range 350 – 400 kg taken from feedlot fattening. The experiment was set in completely randomized factorial design withh two factors, namely butt shape conformation (butt shape score D, C, B) and sex class (heifer, steer, cow). Parameter of carcass characteristic, i.e. carcass weight, carcass percentage, loin eye area, fat thickness of ribs 12th, fat percentage of kidney, pelvic and hearth, and fat thickness of rump P8.The result of this study showed that the increase of butt shape conformation score significantly increased loin eye area, especially in heifer and cow sex class. Key words: butt shape conformation, carcass characteristic, Brahman cross cattle, sex class
PENDAHULUAN Klasifikasi maupun grading pada ternak sapi, khususnya terhadap karkas yang dihasilkan, di Indonesia belum dikenal . Hal ini disebabkan sebagian besar konsumen daging belum mempertimbangkan kualitas daging. Konsumen biasanya memanfaatkan hampir semua komponen tubuh ternak untuk dikonsumsi dengan cara pengolahan dan pemasakan yang bersifat tradisional. Komponen tubuh tersebut dapat berupa karkas maupun 162
Edisi Desember 2006
komponen bukan karkas (offal). Hal ini menyebabkan industri daging di Indonesia lambat berkembang dan hanya mampu membentuk dua segmen pasar yaitu pasar lokal tradisional yang melayani masyarakat kelas menengah ke bawah dan pasar khusus yang melayani masyarakat kelas atas, restoran, hotel berbintang dan waralaba. Hal ini menuntut perlunya dikembangkan sistem klasifikasi sapi potong, sehingga diperoleh suatu deskripsi dalam semua komponen industri daging yang berdampak
HAFID & PRIYANTO
pada peningkatkan kualitas, efisiensi produksi dan pemasaran. Klasifikasi atau grading sapi potong terutama menyangkut sifat-sifat atau karakteristik karkas. Klasifikasi adalah pengembangan metode untuk mendeskripsikan produk karkas dalam industri daging, sehingga bisa didapatkan komunikasi yang selaras antara pelaku industri daging, seperti: konsumen, pengecer (retailer), jagal (packer/butcher), industri penggemukan (fattener) dan peternak (produsen). Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dihindari konflik kepentingan di antara pelaku industri daging. Karkas di Eropa diklasifikasikan berdasarkan konformasi dan tingkat perlemakan. Klasifikasi ini diberlakukan pada semua sistem produksi daging, mulai dari anak sapi, sapi jantan muda, sapi kastrasi, sapi dara dan sapi betina induk afkir. Klasifikasi berdasarkan konformasi terdiri atas lima huruf E U R O P, dimana E merupakan karkas dengan konformasi sangat baik dan P merupakan konformasi yang paling rendah. Tingkat perlemakan dinilai berdasarkan angka 1 sampai dengan 5. Angka 5 merupakan karkas dengan tingkat perlemakan yang sangat banyak, sedang angka 1 merupakan karkas dengan tingkat perlemakan yang sedikit (Abustam, 2000). Konformasi merupakan keseimbangan dari perkembangan bagian-bagian karkas, atau perbandingan antara daging dengan tulang. Jadi konformasi adalah suatu ukuran untuk menilai kualitas daging secara langsung dengan membandingkan antara bagian-bagian karkas yang bernilai tinggi dengan yang bernilai rendah, serta perbandingan antara bagianbagian yang dapat dimakan dengan yang tidak dapat dimakan (Wello, 2000). Konformasi butt shape adalah keselarasan bentuk paha dengan konformasi karkas secara keseluruhan, yang menyangkut kerangka, perototan dan perlemakan. Skor shape digunakan pada banyak sistem deskripsi karkas sapi potong di seluruh
Media Peternakan
dunia (Jones et al., 1978; Bass et al., 1982; Kempster et al., 1982; Sorenson, 1988). Asosiasi industri daging Australia telah merekomendasikan penggunaan skor konformasi butt shape dalam tataniaga daging di Australia (Aus-Meat, 1987). Hal ini disebabkan adanya anggapan hubungan antara konformasi butt shape dengan hasil daging. Sebagai akibatnya skor konformasi butt shape digunakan secara luas dalam pemasaran karkas karena berpengaruh secara ekonomis dimana skor shape A, B dan C mempunyai harga daging yang lebih mahal daripada skor D dan E, dan perbedaan harga pada bobot karkas yang sama sekitar $40 (Aus-meat,1995). Meskipun demikian hasil Thornton (1991) melaporkan rendahnya korelasi antara skor butt shape terhadap estimasi hasil daging. Pada studi pertumbuhan karkas, Taylor et al. (1996) menemukan bahwa skor konformasi butt shape lebih erat hubungannya dengan lemak dibandingkan terhadap otot (daging). Studi tersebut menggunakan karkas yang berat (heavyweight) dan lemak penutup karkas dalam kisaran yang luas. Jika bentuk karkas (shape) disamakan dengan perlemakan (fatness) seperti dinyatakan oleh Taylor et al. (1996) yang mempelajari karkas yang ringan (lightweight), kurangnya lemak karkas pada pasar domestik Australia menunjukkan perbedaan tingkat hubungan antara skor shape dan komponen karkas. Hasil penelitian Priyanto (1993) menunjukkan bahwa lemak subkutan memainkan peranan penting dalam penentuan butt shape. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh konformasi butt shape dan klasifikasi jenis kelamin serta interaksinya terhadap karakteristik karkas sapi Brahman cross hasil penggemukan. Penelitian ini diharapkan menjadi dasar dalam pengembangan klasifikasi karkas sapi di Indonesia.
Edisi Desember 2006
163
Vol. 29 No. 3
PENGARUH KONFORMASI
MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan di perusahaan pemotongan sapi PT. Celmor Perdana Indonesia kampus IPB Darmaga Bogor. Penelitian dilakukan selama 12 bulan sejak awal Maret 2003 sampai akhir Maret 2004. Penelitian ini menggunakan bangsa sapi Brahman Cross (BX) berasal dari penggemukan secara feedlot. Jumlah sapi yang digunakan sebanyak 100 ekor. Sapi terdiri atas tiga klasifikasi jenis kelamin (sex-class): cow, heifer dan steer. Seluruh fasilitas peralatan rumah potong hewan (RPH) digunakan selama penelitian. Pada tahap awal penelitian dilakukan pencatatan ear tag, bangsa sapi, jenis kelamin dan penimbangan bobot bobot potong. Sapi-sapi dipotong pada kisaran bobot potong 350 - 400 kg. Sapi dipuasakan dari makanan sekitar 24 jam sebelum pemotongan untuk menghindari variasi karena isi saluran pencernaan. Sapi diantri menuju knocking box selanjutnya dipingsankan dengan cash knocker. Penyembelihan dilakukan secara halal dengan memotong vena jugularis, oesophagus dan trachea. Sticking dilakukan agar darah keluar sempurna. Sapi digantung pada tendo achilles dengan bantuan katrol listrik. Kepala dilepaskan pada sendi occipito-atlantis pada saat ini umur ditentukan dengan melihat pergantian gigi seri. Kaki depan dan belakang dilepaskan pada sendi carpo-metacarpal dan sendi tarso-metatarsal dengan gunting listrik butch mug cutter. Pengulitan dilakukan dengan membuat irisan dari arah ventral di bagian perut dan dada ke arah dorsal dibagian kaki dan punggung. Pengulitan menggunakan mesin hide puller. Eviserasi diawali dengan menyayat dinding abdomen sampai dada. Karkas dibelah simetris dengan menggunakan gergaji listrik Kent Master sepanjang tulang belakang. Belahan karkas kiri dan kanan kemudian dibersihkan dengan 164
Edisi Desember 2006
menyemprotkan air, selanjutnya diberi label dan ditimbang sebagai bobot panas kanan (A) dan kiri (B). Karkas disimpan dalam chilling room selama 24 jam pada suhu 2-5 o C dengan kelembaban 85-95% serta kecepatan pergerakan angin sekitar 0,2 m/detik. Sebelum dilakukan deboning masing-masing separuh karkas ditimbang sebagai bobot karkas dingin kiri dan kanan. Deboning dilakukan untuk membentuk potongan komersial karkas. Potongan wholesale cuts mengacu pada Australian Meat and Livestock Corporation (1998). Batas forequarter dan hindquarter adalah antara ruas tulang rusuk 12 dan 13. Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah: bobot karkas, persentase karkas, luas urat daging mata rusuk, tebal lemak punggung pada rusuk ke-12, persentase lemak ginjal, pelvis dan jantung, tebal lemak pangkal ekor dan tebal lemak rump p8. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola faktorial 3 x 3 (Steel & Torrie, 1995). Faktor pertama adalah konformasi butt shape terdiri atas tiga taraf yaitu skor konformasi butt shape B, C dan D. Faktor kedua adalah klasifikasi jenis kelamin (sex-class) terdiri atas tiga taraf yaitu cow, heifer dan steer. Analisis data menggunakan prosedur GLM. LS - mean digunakan untuk menguji perbedaan diantara perlakuan (SAS, l996). HASIL DAN PEMBAHASAN Rataan karakteristik karkas berdasarkan kategori jenis kelamin dan konformasi butt shape dapat dilihat pada Tabel 1. Interaksi jenis kelamin dan konformasi butt shape berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap luas urat daging mata rusuk, sedangkan karakteristik karkas lainnya tidak nyata. Faktor butt shape secara mandiri berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap karakteristik karkas utamanya pada parameter bobot karkas, luas urat daging mata rusuk, tebal lemak punggung rusuk ke-12,
HAFID & PRIYANTO
Media Peternakan
Tabel 1. Rataan karakteristik karkas berdasarkan jenis kelamin dan konformasi butt shape yang berbeda
Karakteristik karkas Bobot karkas (kg)
Persentase karkas (%)
Urat daging mata rusuk (cm2)
Tebal lemak punggung rusuk ke-12 (cm) Persentase lemak ginjal, pelvik dan jantung (%) Tebal lemak rump P8 (cm)
Klasifikasi jenis jelamin Cow Heifer Steer Rataan Cow Heifer Steer Rataan Cow Heifer Steer Rataan Cow Heifer Steer Rataan Cow Heifer Steer Rataan Cow Heifer Steer Rataan
Konformasi butt shape D
C
116,00 118,45 111,47 115,31C 57,68 55,55 57,33 56,85 102,63AD 96,09D 97,13D 98,62B 1,55 1,75 1,55 1,61C 1,88 1,59 1,43 1,64C 3,15 3,13 3,13 3,14C
128,95 129,50 118,59 125,68B 57,85 57,61 57,87 57,78 105,30AB 105,50A 101,89ABD 104,23A 2,15 2,11 1,70 1,99B 1,99 1,78 1,48 1,75B 3,65 3,50 3,39 3,51B
B 141,50 140,60 129,00 137,03A 58,38 57,78 56,20 57,46 109,29AC 115,80C 99,50ABD 108,20A 2,64 2,67 2,14 2,48A 2,22 2,06 1,85 2,04A 4,11 4,09 4,17 4,12A
Rataan 128,82A 129,52A 119,68B 57,97 56,98 57,13 105,74A 105,80A 99,51B 2,11A 2,18A 1,80B 2,03A 1,81B 1,59C 3,64 3,57 3,57
Keterangan: Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).
persentase lemak ginjal, pelvis dan jantung, serta tebal lemak rump P8. Faktor klasifikasi jenis kelamin secara mandiri berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap karakteristik karkas utamanya pada parameter bobot karkas, luas urat daging mata rusuk, tebal lemak punggung rusuk ke-12 dan persentase lemak ginjal, pelvis dan jantung. Berdasarkan Tabel 1, kombinasi heifer dengan konformasi butt shape “B” menunjukkan area urat daging mata rusuk yang terluas (115,80 cm2) dibandingkan kombinasi lainnya.
Luas urat daging mata rusuk terendah pada kombinasi heifer dengan butt shape “D” (96,09 cm2) dan kombinasi dengan steer (97,13 cm2). Perbedaan ini menunjukkan bahwa pada kombinasi sapi betina (cow dan heifer) dengan butt shape “B” mempunyai pertumbuhan urat daging mata rusuk yang lebih baik dibandingkan steer, yang ditunjukkan dengan lebih luasnya urat daging mata rusuk. Menurut Crouse et al. (1985) dan Aberle et al. (2001), luas urat daging mata rusuk dipengaruhi oleh jenis kelamin dan bangsa sapi. Urat daging mata rusuk yang lebih
Edisi Desember 2006
165
Vol. 29 No. 3
PENGARUH KONFORMASI
luas menunjukkan perdagingan yang lebih besar. Efek kastrasi mengurangi kecepatan pertumbuhan pada steer. Luasan urat daging mata rusuk (loin eye area) berimplikasi pada proporsi urat daging karkas, semakin luas urat daging mata rusuk makin besar pula proporsi urat daging/perototan pada karkas. Hasil penelitian Field & Schoonover (1967) maupun Ngadiyono (1995) menunjukkan korelasi yang positif antara luasan urat daging mata rusuk dengan bobot hidup atau bobot potong. Sementara itu bobot potong dapat mencerminkan persentase karkas seekor ternak (Hafid, 1998). Fenomena tersebut sejalan dengan hasil penelitian ini, yaitu bahwa kombinasi luas urat daging terluas (Heifer dan Cow pada butt shape B) berasal dari bobot karkas yang lebih berat dibanding kombinasi lainnya. Tabel 1 menunjukkan adanya perbedaan konformasi butt shape terhadap bobot karkas. Bobot karkas pada butt shape “B” (137,03 kg)
berbeda sangat nyata dibandingkan butt shape “C” (125,68 kg) dan “D” (115,31 kg). Konformasi butt shape “C” berbeda sangat nyata dibanding butt shape “D”. Berdasarkan klasifikasi jenis kelamin, diperoleh bobot karkas heifer dan cow nyata lebih berat dibandingkan steer (129,52 kg dan 128,82 kg VS 119,68 kg). Perbedaan ini disebabkan oleh adanya perbedaan bobot potong dan adanya hubungan erat antara skor butt shape dengan bobot karkas. Data penelitian menunjukkan urutan berat karkas terberat adalah cow, heifer dan steer. Hal ini sesuai Preston & Willis (1982) yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi bobot dan persentase karkas adalah pakan, umur, bobot hidup atau bobot potong, jenis kelamin, hormon, bangsa sapi dan konformasi. Persentase karkas akan meningkat dengan meningkatnya bobot potong Aberle et al. (2001). Hasil penelitian Hafid et al. (2001) dan Hafid (2002) menunjukkan perbedaan bobot dan persentase karkas sapi Australian
120
Luas UDMR (cm2)
115 110 105 100 95 90 D
C
B
Kategori butt shape Cow
Heifer
Steer
Gambar 1. Grafik interaksi konformasi butt shape dengan jenis kelamin berdasarkan luas urat daging mata rusuk
166
Edisi Desember 2006
HAFID & PRIYANTO
Commercial Cross pada bobot potong dan lama penggemukan yang berbeda. Bobot potong dan lama waktu penggemukan berbanding lurus dengan persentase karkas. Perbedaan interaksi antara jenis kelamin dengan konformasi butt shape dapat dilihat pada Gambar 1. Pada tebal lemak punggung rusuk ke-12, konformasi butt shape “B” berbeda nyata dengan butt shape “C” dan “D” (2,48 mm vs 1,99 mm vs 1,61 mm). Konformasi butt shape “C” berbeda nyata dengan “D”. Berdasarkan jenis kelamin, heifer dan cow mempunyai lemak punggung rusuk ke-12 yang nyata lebih tebal dibandingkan steer (2,18 mm dan 2,11 mm vs 1,80 mm). Persentase lemak ginjal, pelvis dan jantung pada konformasi butt shape “B” nyata lebih tinggi dibandingkan butt shape “C” dan “D”, masing-masing 2,04% vs 1,75% vs 1,64%. Konformasi butt shape “C” berbeda nyata dengan “D”. Berdasarkan jenis kelamin, cow mempunyai persentase lemak ginjal, pelvis dan jantung lebih tinggi dibandingkan heifer dan steer (2,03% vs 1,81% vs 1,59%). Heifer berbeda nyata dengan steer. Lemak rump P8 nyata lebih tebal pada butt shape “B” dibandingkan butt shape “C” dan “D” (4,12 mm vs 3,51 mm vs 3,14 mm). Konformasi butt shape “C” berbeda nyata dengan “D”. Adanya perbedaan pada tebal lemak punggung, persentase lemak ginjal, pelvis dan jantung dan tebal lemak rump P8, tampaknya berkaitan erat dengan bobot potong, jenis kelamin dan bobot karkas seperti dikemukakan Preston & Willis (1982) dan Aberle et al. (2001) di atas. Hanson et al. (1999) yang meneliti perbedaan sex-class (steer vs heifer) mendapatkan lemak punggung yang lebih tebal pada heifer dibandingkan steer. KESIMPULAN Klasifikasi jenis kelamin (sex-class) berpengaruh nyata terhadap terhadap bobot
Media Peternakan
karkas, luas urat daging mata rusuk, tebal lemak punggung rusuk ke-12 dan persentase lemak ginjal, pelvis dan jantung. Peningkatan skor konformasi butt shape dari D ke B menyebabkan peningkatan bobot karkas dan semua karakteristik karkas, namun tidak berkaitan dengan persentase karkas. Interaksi kedua faktor menunjukkan bahwa luas urat daging mata rusuk meningkat dengan bergesernya skor butt shape pada klasifikasi heifer dan cow, namun pada steer hanya meningkat sampai skor butt shape C. Klasifikasi jenis kelamin dan konformasi butt shape perlu dipertimbangkan dalam mengidentifikasi produktivitas karkas. DAFTAR PUSTAKA Aberle, D.E., J.C. Forrest, D.E. Gerrard & E.W. Mills. 2001. Principles of Meat Science. Fourth Edition. W.H. Freeman and Company, San Francisco. Abustam, E. 2000. Teknik pemotongan, pengkarkasan dan maturasi daging (aging). Prosiding Kursus Singkat Teknik Peningkatan dan Penilaian Karkas dan Daging pada Ternak Sapi dengan Menggunakan Novel Teknologi. 31 Juli – 14 Agustus 2000. Makassar. Kerjasama Fapet UNHAS Makassar dengan Proyek Peningkatan Kualitas SDM Dirjen Dikti Depdiknas Jakarta. Hlm. 1 – 17. Aus-meat. 1987. Language. 2nd Edition. Aus-Met, Hyde Park Square, Sydney NSW 2000. Aus-meat. 1995. Aus-Meat for Indonesia Workshop. Work Book No.1. Australian Meat and Livestock Corporation, Perth, Western Australia. Australian Meat and Livestock Corporation. 1998. A Workshop for Tropical Feedlot Managers : An Introductory Workshop for Feedlot Managers in The Philippines, Perth Western Australia. Bass, J.J., D.L. Johnson, & E.G. Woods. 1982. Relationship of carcass conformation of cattle and sheep with carcass composition. Proc. Anim. Prod. 42:125-126. Crouse, J.D., D.L. Ferrel, & L.V. Cundiff. 1985. Effect of sex condition, genotype and diet on bovine growth and carcass characteristics. J. Anim. Sci. 60(5):1219-1227. Edisi Desember 2006
167
Vol. 29 No. 3
Field, R.A. & C.O. Schoonover. 1967. Equation for comparing longissimus dorsi areas in bulls of different weights. J. Anim. Sci. 26:709-712. Hafid, H.H. 1998. Kinerja produksi sapi Australian Commercial Cross yang dipelihara secara feedlot dengan kondisi bakalan dan lama penggemukan berbeda. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hafid, H.H., R.E. Gurnadi, R. Priyanto & A. Saefuddin. 2001. Komposisi potongan komersial karkas sapi Australian Commercial Cross kebiri yang digemukkan secara feedlot pada lama penggemukan yang berbeda. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Agroland, Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu. Vol. 8 (1) : 90 - 96. Hafid, H.H. 2002. Pengaruh pertumbuhan kompensasi terhadap efisiensi pertumbuhan sapi Brahman Cross kebiri pada penggemukan feedlot. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Agroland, Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu. Vol. 9(2): 179 185. Hanson, D., C. Calkins, B. Gwartney, J. Forrest & R. Lemenager. 1999. The relationship of beef primal cut composition to overall carcass composition. http.//ianrpubs.unl.edu/beef/ report/mp71-30.htm.[January 1999]. Jones, S.D.M, M.A, Price & R.T Berg. 1978. Effect of breed and sex on the relative growth and distribution of bone in cattle. Can. J. Anim. Sci. 58: 157-165. Kempster, T, A. Cuthbertson & G. Harrington. 1982. Carcass Evaluation in Livestock Breeding, Production and Marketing. First Publ. Granada Publishing Ltd., London. Ngadiyono, N. 1995. Pertumbuhan serta sifat-sifat karkas dan daging sapi Sumba, Ongole, Brahman Cross dan Australian Commercial Cross yang dipelihara secara intensif pada
168
Edisi Desember 2006
PENGARUH KONFORMASI
berbagai bobot potong. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Preston, T.R. & M.B. Willis. 1982. Intensif Beef Production. The Second Ed. Pergamon Press, Oxford-New York-Toronto-Sydney-ParisFrankfurt. Priyanto, R., ER, Johnson & D.G. Taylor. 1993. Prediction of carcass composition in heavyweight grass-fed and grain-fed beef cattle. Anim. Prod. 57:65-72. SAS. 1996. The Statistical Analysis System For Windows Release V6.12. Louisiana State University. SAS Institute, Inc., Cary, NC, USA. Steel, R.G.D. & J.H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sorenson, S.E. 1988. The Automated Measurement of Beef. In: Australian Meat and Livestock Corporation. L.E. Brownlie, W.J.A. Hall & S.U. Fabiansson (Eds.). Sydney. Pp.75-80. Taylor, D.G., E.R. Johnson & R. Priyanto. 1996. The accuracy of rump P8 fat thickness and twelth rib fat thickness in predicting beef carcass fat content in three breed types. In: Proceedings of the Australian Society of Animal Production. The University of Quensland, Brisbane. Pp 193-195. Thornton, R.F. 1991. Report on Muscle Socers Trials. Australian Meat and Livestock Corporation, Sydney. Wello, B. 2000. Apresiasi dan Standardisasi Karkas. Prosiding Kursus Singkat Teknik Peningkatan dan Penilaian Karkas dan Daging pada Ternak Sapi dengan Menggunakan Novel Teknologi. 31 Juli – 14 Agustus 2000. Makassar. Kerjasama Fapet UNHAS Makassar dengan Proyek Peningkatan Kualitas SDM Dirjen Dikti Depdiknas Jakarta. Hlm. 50 - 65.
Media Peternakan, Desember 2006, hlm. 169-175 ISSN 0126-0472 Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005
Vol. 29 No. 3
Respons Ayam Kampung terhadap Penambahan Kalsium Asal Siput (Lymnae Sp) dan Kerang (Corbiculla molktiana) pada Kondisi Ransum Miskin Fosfor Khalil Fakultas Peternakan Universitas Andalas Kampus Limau Manis PO. Box 79, Padang 25163 Sumatera Barat (Diterima 31-08-2005; disetujui 05-10-2006)
ABSTRACT The objectives of this present investigation were to evaluate effects of using shell of freshwater snail as major source of calcium in the diets on performance and bone mineralization of growing native chicks (1-12 weeks of age). There were four dietary treatments. The first was a basal diet (negative control) containing 0.5 % bone meal, but deficient in phosphor. Three other diets which were relatively the same in composition as that of basal diet, but one supplemented with 2.5 % oyster shell (positive control) and two with 2.5% shell of freshwater snail obtained from two different water bodies: lake and rice field, respectively. One hundred birds of native chicken were divided into four groups of treatments with five replicates with 5 birds each and offered experimental diets for 12 weeks. Parameters measured included: body weight gain, feed intake, feed conversion ratio (FCR), weight of tibia bone and their ash and mineral (Ca and P) composition and retention. The chicks fed on diets containing shell of freshwater snails showed no significantly difference in body weight gain, feed intake and FCR with those fed on diet containing oyster shell, but significantly lower body weight gain than those fed on basal diet containing only bone meal. Feeding of diets supplemented with shell of snails and oyster decreased significantly the body weight gain. However, no significantly difference was observed in the weight and content of ash, Ca and P of tibia bone. Key words : freshwater snail, native chicken, mineral nutrition, bone mineralization
PENDAHULUAN Siput (Lymnae sp) merupakan hewan moluska yang banyak ditemui dan biasa hidup dan berkembangbiak di air tawar seperti danau, situ, sawah dan sungai di daerah Sumatera Barat. Tubuh siput yang lunak dilindungi oleh cangkang keras yang berbentuk spiral. Siput biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat hanya
bagian isinya sebagai bahan pangan yang bernilai gizi tinggi. Bagian cangkang yang mencakup sekitar 83-85 % dari bobot utuh siput (Khalil, 2003) umumnya dibuang tanpa dimanfaatkan. Cangkang siput tersusun atas kalsium karbonat (Dharma, 1988), sehingga berpotensi untuk digunakan sebagai sumber mineral kalsium (Ca). Kandungan Ca cangkang siput Edisi Desember 2006
169
KHALIL
Media Peternakan
sekitar 34-35% dalam bahan kering (Khalil, 2003). Bahan pakan sumber mineral Ca yang umum digunakan dalam ransum ayam adalah batu kapur, kulit kerang dan tepung tulang. Disamping sebagai sumber Ca, tepung tulang juga berfungsi sebagai sumber fosfor (P). Menurut (Shafey, 1993) ketersediaan atau “bioavailabilty” mineral dari bahan yang berbeda akan berbeda pula. Menurut Iskandar (1991) ayam kampung umur 0-12 minggu membutuhkan Ca 1–2,5% dan P 0,9-1,5% dalam ransum. Ca dan P dalam ransum harus terkandung dalam perbandingan yang optimal, karena nilai guna kedua mineral dalam proses metabolisme tubuh saling terkait satu sama lain. Imbangan Ca dan P yang optimal dalam ransum ayam yang sedang bertumbuh berkisar antara 1,4:1 sampai 4:1 (Shafey, 1993). Disamping itu, dalam penetapan kandungan Ca dalam ransum perlu dipertimbangkan efisiensi penggunaannya yang tergantung antara lain oleh umur ternak. Menurut Scholtyssek (1987) ayam umur 1-6 minggu hanya dapat menggunakan Ca dalam ransum maksimal 60%, umur 7-12 minggu 55% dan di atas 13 minggu menurun menjadi 50%. Oleh karena itu, kandungan Ca dalam ransum sebaiknya dilebihkan dari standar kebutuhan untuk mencegah terjadinya defisiensi. Penelitian pakan mineral menggunakan ayam ras sudah banyak dilakukan (Shafey, 1993; Farrell, 1994; Dilworth & Day, 1965). Data hasil penelitian menggunakan ayam kampung masih sangat terbatas, termasuk penggunaaan bahan lokal seperti cangkang siput. Jika dibandingkan dengan ayam ras, laju pembentukan kerangka tubuh (tulang) pada ayam kampung lebih cepat, yang dapat dilihat antara dari tingkat kekerasan tulang dan kemampuan mobilitas yang lebih tinggi pada umur muda, meskipun laju pertumbuhan lebih lambat daripada ayam ras dengan umur yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa 170
Edisi Desember 2006
tumbuh ayam kampung lebih efisien dalam memanfaatkan mineral dalam ransum daripada ayam ras. Ketersediaaan mineral suatu bahan dapat dievaluasi melalui performa ternak dengan cara mengukur laju pertumbuhan, kandungan abu atau komposisi mineral dari abu tulang paha “tibia” (Shafey, 1993; Farrell, 1994; Dilworth & Day, 1965). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi nilai nutrisi ransum yang mengandung tepung cangkang siput yang berasal dari danau dan sawah sebagai sumber utama kalsium pada ayam kampung umur 1-12 minggu. Sebagai pembanding (kontrol) digunakan ransum yang mengandung tepung tulang dan tepung kulit kerang. Kandungan P ransum dalam penelitan ini sengaja ditetapkan di bawah standar kebutuhuan (0,4%) untuk mendapatkan pengaruh sumber Ca yang lebih baik. MATERI DAN METODE Pengelompokkan dan Penempatan Ternak Penelitian menggunakan ayam kampung sebanyak 100 ekor yang berumur + 1 minggu dengan rataan bobot 33,9 ± 3,2 g. Ayam dibagi ke dalam 4 kelompok perlakuan dan setiap perlakuan terdiri atas 5 ulangan, masing-masing 5 ekor ayam. Ayam ditempatkan secara acak ke dalam 20 unit kandang “battery” (1 unit untuk 1 ulangan) dengan ukuran panjang, lebar dan tinggi adalah 60 x 50 x 70 cm. Setiap kandang dilengkapi dengan tempat ransum, tempat minum dan lampu pemanas. Penyusunan dan Pemberian Ransum Perlakuan Sebagai perlakuan disusun 4 jenis ransum perlakuan yang berbeda bahan sumber mineralnya. Ransum pertama dan kedua adalah
Vol. 29 No. 3
RESPONS AYAM KAMPUNG
ransum yang masing-masing mengandung tepung cangkang siput yang berasal dari dua habitat berbeda, yaitu danau dan sawah. Siput danau diambil dari danau Maninjau, Kabupaten Agam, sedangkan siput sawah berasal dari persawahan Lubuk Buaya, Kotamadya Padang. Proses penyiapan tepung cangkang dilakukan menurut prosedur penelitian sebelumnya (Khalil, 2003). Ransum ketiga mengandung tepung kulit kerang dan ransum keempat hanya mengandung tepung tulang. Level penggunaan tepung cangkang siput dan kulit kerang masing-masing 2,5%. Tepung tulang sebanyak 0,5% ditambahkan pada semua ransum untuk meningkatkan kandungan P. Kandungan nutrisi dan energi ransum disusun berdasarkan standar kebutuhan ayam kampung umur 1-12 minggu menurut rekomendasi Iskandar et al. (1991).
Tabel 1 disajikan komposisi bahan penyusun dan kandungan nutrisi dan energi ransum penelitian. Ransum perlakuan diberikan ad libitum dengan frekuensi dua kali sehari selama 12 minggu pemeliharaan. Parameter yang Diamati dan Diukur Parameter yang diamati dan diukur mencakup performa, bobot tulang paha, kandungan dan retensi abu, Ca dan P pada tulang paha ayam. Data performa yang diukur dan diamati antara lain : pertambahan bobot badan, konsumsi dan konversi ransum, mortalitas dan morbiditas. Pada hari terakhir penelitian (akhir minggu ke-12) dilakukan pemotongan sebanyak 3 ekor ayam pada setiap perlakuan yang dipilih secara acak pada 3 unit penelitian (ulangan)
Tabel 1. Komposisi ransum penelitian dan kandungan nutrisi
Perlakuan Jenis
Bahan pakan (%) Jangung Dedak padi Bungkil kelapa Bungkil kedelai Tepung ikan Minyak kelapa Tepung tulang Tepung kulit kerang Tepung cangkang siput sawah Tepung cangkang siput danau Nutrien Protein kasar (%) Serat kasar (%) Kalsium (%) Fosfor (%) Rasio Ca:P (%) Energi (MJME/kg)
Cangkang siput danau
Cangkang siput sawah
Kulit kerang
Tepung tulang
38,0 45,0 5,0 4,0 4,0 1,0 0,5 2,5
38,0 45,0 5,0 4,0 4,0 1,0 0,5 2,5 -
38,0 45,0 5,0 4,0 4,0 1,0 0,5 2,5 -
37,5 48,0 5,0 4,0 4,0 1,0 0,5 -
15,1 7,4 1,6 0,4 4,0:1,0 10,0
15,1 7,4 1,6 0,4 4,0:1,0 10,0
15,1 7,4 1,7 0,4 4,3:1,0 10,0
15,4 7,1 0,9 0,5 1,8:1,0 10,1
Edisi Desember 2006
171
KHALIL
Media Peternakan
untuk diambil tulang paha atau “tibia”. Setelah ditimbang, tulang paha segar dikeringkan, kemudian digiling dan dianalisa kandungan abu, Ca dan P. Retensi abu, Ca dan P pada tulang paha masing-masing dihitung dengan cara membagi jumlah abu, Ca dan P yang terkandung pada tulang paha dengan jumlah abu, Ca dan P yang dikonsumsi dan dikalikan dengan 100 %. Analisis Statistik Data hasil penelitian dianalisa secara statistik melalui analisis keragaman (variance analysis) dengan menggunakan rancangan acak lengkap. Peubah bobot badan, konsumsi dan konversi ransum terdiri atas 4 perlakuan (ransum) dan 5 ulangan, sedangkan bobot tulang paha serta kandungan dan retensi abu, Ca dan P pada tulang paha terdiri atas 4 perlakuan dan 3 ulangan. Tingkat perbedaan nilai rataan antar perlakuan diuji dengan uji jarak Duncan (DMRT) (Steel & Torrie, 1981) HASIL DAN PEMBAHASAN Data performa ayam disajikan pada Tabel 2. Bobot badan akhir dan laju pertambahan bobot badan ayam yang mendapat ransum
dengan sumber mineral tepung cangkang siput yang berasal dari habitat yang berbeda (danau dan sawah) terlihat tidak berbeda nyata dengan ayam yang mendapat ransum dengan sumber mineral tepung kulit kerang, tetapi nyata lebih rendah (P<0,05) daripada ayam yang mendapat ransum dengan sumber mineral tepung tulang. Rataan bobot badan ayam setelah dipelihara selama 12 minggu mencapai 385-475 g/ekor, dengan rataan pertambahan bobot badan harian 4,2-5,2 g/ekor. Seperti terlihat pada Gambar 1, ayam yang mendapat ransum dengan sumber mineral cangkang siput dan tepung kerang menunjukkan bobot badan yang tidak jauh berbeda sampai minggu ke-12, sedangkan bobot badan ayam yang mendapat ransum dengan sumber mineral hanya tepung tulang nyata terlihat lebih tinggi dari tiga perlakuan lainnya mulai minggu ke-3 pemeliharaan. Konsumsi ransum selama penelitian berkisar antara 1,823-2,035 kg/ekor, konsumsi harian dalam BK 19,4-24,2 g/ekor dan konversi ransum 4,9-5,3. Konsumsi dan konversi ransum untuk semua perlakuan terlihat tidak berbeda nyata secara statistik, meskipun secara absolut ayam yang mendapat ransum dengan sumber mineral hanya tepung tulang menunjukkan nilai rataan konsumsi sedikit lebih tinggi, baik
Tabel 2. Rataan pertambahan bobot badan, konsumsi dan konversi ransum ayam buras yang diberi ransum dengan sumber mineral berbeda (g/ekor)
Perlakuan Parameter
Bobot badan awal Bobot badan akhir Pertambahan bobot badan harian Konsumsi ransum total Konsumsi ransum harian Konversi ransum
Cangkang siput danau
Cangkang siput sawah
Kulit kerang
Tepung tulang
32,8 401,7b 4,3b 1823,1 19,4 4,9
34,9 399,8b 4,3b 1912,3 19,9 5,2
32,2 385,2b 4,2b 1860,6 19,5 5,3
35,7 475,0a 5,2a 2035,5 24,2 5,2
Keterangan : superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).
172
Edisi Desember 2006
Vol. 29 No. 3
RESPONS AYAM KAMPUNG
500
Bobot badan (g/ekor)
450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Lama pemeliharaan (minggu)
Cangkang siput danau Kulit kerang
Cangkang siput sawah Tepung tulang
Gambar 1. Perkembangan bobot badan ayam selama penelitian
konsumsi total selama pemeliharaan maupun konsumsi harian dalam BK. Data ini menunjukkan bahwa nilai nutrisi cangkang siput sebagai sumber mineral dalam ransum ayam kampung yang sedang tumbuh setara dengan kulit kerang. Karakteristik cangkang siput dengan kulit kerang baik secara fisik maupun kimia relatif sama, karena berasal dari phylum yang sama, yaitu Mollusca (Jassin, 1991) dan cangkang ini tersusun atas senyawa yang sama berupa kalsium karbonat yang mencapai 89-99% (Dharma, 1988). Apabila dibandingkan dengan performa ayam yang mendapat ransum yang hanya mengandung tepung tulang kuat dugaan bahwa terjadi kelebihan Ca dan kekurangan P dalam ransum akibat penambahan tepung cangkang siput dan kulit kerang. Meskipun kandungan Ca dan P telah disusun dengan kisaran imbangan yang masih dapat ditolerir oleh ayam yang sedang bertumbuh (sampai 4:1) (Shafey, 1993),
ayam menunjukkan tanda-tanda kelainan metabolisme mineral, seperti terjadi penurunan laju pertumbuhan (Tabel 2 dan Gambar 1) serta terjadinya gangguan pembentukan tulang kaki. Terdapat 2 ekor ayam dalam penelitian yang menunjukkan kelainan kaki atau “ricket” pada perlakuan ransum mengandung cangkang siput. Hal ini sesuai dengan laporan Shafey (1993) yang menyatakan bahwa kelebihan konsumsi Ca tanpa diimbangi peningkatan peningkatan kandungan P dalam ransum dapat menyebabkan penurunan laju pertumbuhan dan efisiensi penggunaan ransum serta terjadinya gangguan pembentukan tulang kaki atau “bone malformation”. Rendahnya ketersediaan P diduga karena sebagian besar P yang terkadung dalam ransum terikat dengan asam fitat. Menurut Scholtyssek (1987) sekitar 70% P yang terkandung dalam pakan nabati terikat dalam bentuk fitat-P. Selanjutnya pada dedak padi yang merupakan Edisi Desember 2006
173
KHALIL
Media Peternakan
Tabel 3. Rataan bobot tulang paha serta kandungan dan retensi abu, Ca dan P tulang paha ayam yang diberi ransum dengan sumber mineral berbeda
Perlakuan Parameter Cangkang siput sawah Bobot tulang paha segar (BS) (g/ekor) Kandungan bahan kering (BK) (% BS) Kandungan abu dan mineral (% BK) - Abu - Ca -P
Cangkang siput danau
Kulit kerang
Tepung tulang
15,8
17,4
13,6
17,7
37,5a
36,6a
31,6b
38,9a
37,3 16,9 0,9
33,4 9,5 1,4
43,6 13,7 1,3
38,9 11,4 1,5
Keterangan : superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).
komponen utama ransum perlakuan (45-48%) (Tabel 1) P yang terikat dengan fitat mencapai rata-rata 80% (Ravindran, 1997). Meskipun demikian, rendahnya performa dan terjadinya kelainan ini tidak ditunjang oleh data bobot dan komposisi mineral tulang paha. Seperti terlihat pada Tabel 3, bobot tulang dan kandungan abu serta Ca dan P tulang paha ayam yang mendapat ransum dengan sumber mineral cangkang siput dan kerang tidak berbeda nyata dengan ayam yang mendapat ransum yang hanya mengandung tepung tulang. Selanjutnya, komposisi abu dan mineral tulang paha tidak menunjukkan perbedaan yang nyata secara statistik diantara ke-4 perlakukan. Menurut Shafey (1993) jika imbangan Ca dan P dalam ransum ayam terlalu luas atau kelebihan konsumsi Ca dan defiesiensi P, maka akan mengakibatkan penurunan kandungan abu pada tulang paha. KESIMPULAN Cangkang siput yang berasal dari habitat yang berbeda sebagai sumber utama mineral
174
Edisi Desember 2006
kalsium dalam ransum tidak berpengaruh terhadap performa ayam kampung umur 1-12 minggu. Nilai nutrisi cangkang siput sawah, siput danau dan kulit kerang setara satu sama lain. DAFTAR PUSTAKA Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia. PT. Sarana Graha, Jakarta. Dilworth, B.C. & Day, E.J. 1965. Effect of varying dietary calcium:phosphorus ratios on tibia and femur composition of the chicks. Poult. Sci, 44:1474-1479. Farrel, D.J. 1994. Utilization of rice bran in diets for domestic fowl and ducklings. World’s Poult. Sci., 50:115-131. Iskandar, S., E. Juarini, D. Zainuddin, Resnawati, H. Wibowo & Sumanto. 1991. Teknologi Tepat Guna Ayam Buras. BPT Ciawi, Bogor. Khalil. 2003. Analisa rendemen dan kandungan mineral cangkang pensi dan siput dari berbagai habitat air tawar di Sumatera Barat. J. Peternakan dan Lingkungan, Vol. 9, no. 3:35-41. Jassin, M. 1991. Zoologi Invertebrata. Sinarwijaya, Surabaya.
Vol. 29 No. 3
Ravindran, V. 1997. Phytase: Value in inproving phosphorus availability in broiler diets. BASF, Jerman. Scholtyssek,S. 1987.Gefluegel.EugenUlmer Verlag. Steel, R.G. D. & J.H. Torrie. 1981. Principles and Procedures of Statistics. McGraw-
RESPONS AYAM KAMPUNG
Hill International Book Company, Auckland. Shafey, T.M. 1993. Calcium tolerance of growing chickens: effect of ratio of dietary calcium to available phosphorus. World’s Poult. Sci. J, 49:5-18.
Edisi Desember 2006
175
Media Peternakan, Desember 2006, hlm. 176-186 ISSN 0126-0472 Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005
Vol. 29 No. 3
Faktor Karakteristik Peternak yang Mempengaruhi Sikap terhadap Program Kredit Sapi Potong di Kelompok Peternak Andiniharjo Kabupaten Sleman Yogyakarta S.A. Wibowo & F.T. Haryadi Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (Diterima 10-05-2006; disetujui 05-10-2006)
ABSTRACT This research was conducted to know the farmer’s attitude toward cattle credit assistance and farmer’s characteristic factors that influence the probability of the farmer’s attitude toward cattle credit assistance. The respondents in this research were all of the members of Andiniharjo cattle farmer’s group of 40 farmers as respondents which located in Pojokan sub village, Caturharjo, Sleman regency. The farmer’s characteristics factor which influence the probability of the farmer’s attitude toward cattle credit assistance was analized using binomial logistic regressions test. The model of binomial logistic regressions test had 92,5% of correct prediction. The characteristic factors which infuence the probability of the farmer‘s attitude were the age of farmers (P<0.05), the farming motivation (P<0.05) and the income from farming (P<0.05). The conclusion of this research was that most farmer’s attitude of Andiniharjo cattle farmer’s group which located in Pojokan sub village toward cattle credit assistance from PT Telkom was negative. The age of farmers, the farming motivation and the income of farming influenced the probability of the farmer’s attitude to have positive attitude toward cattle credit assistance from PT Telkom. Keywords : attitude, credit assistance, cattle
PENDAHULUAN Kebijaksanaan pemerintah dalam subsektor peternakan mengenai peternakan sapi potong sebagai salah satu usaha yang perlu dikembangkan adalah usaha peternakan rakyat. Peternakan sapi potong merupakan salah satu bagian penting dalam perekonomian masyarakat desa di Indonesia dan sebagian merupakan usaha ternak rakyat dengan skala usaha satu sampai empat ekor per rumah tangga 176
Edisi Desember 2006
peternak. Pemeliharaan ternak oleh petani ternak di pedesaan masih merupakan usaha pelengkap bagi kegiatan usahataninya. Hal ini disebabkan karena pemeliharaannya yang masih bersifat tradisional (Buletin PPSKI, 1992). Keterbatasan modal pada peternakan rakyat juga merupakan suatu kendala dalam usaha pengembangan sapi potong, sehingga sangat diperlukan adanya program modal dalam usaha pengembangannya dan dibutuhkan keberanian sikap para peternak untuk
WIBOWO & HARYADI
mengambil keputusan dalam menerima atau menolak program kredit sapi potong yang diberikan oleh pihak pemerintah ataupun swasta (Azis, 1993). Sebagian petani peternak, tidak bisa mengandalkan modal pribadi untuk memenuhi kebutuhan usahataninya. Oleh karena itu mereka berusaha memperoleh dana dari berbagai sumber, baik secara informal yang hanya melibatkan pihak petani dengan pemberi pinjaman, maupun secara formal yang pelaksanaannya melibatkan instansi pertanian di tingkat kabupaten atau PPL. Umumnya, kredit formal merupakan pilihan pertama, tetapi karena terbatas, petani yang tidak memperoleh kredit formal terpaksa meminjam dari sumber informal (Tim Peneliti SMERU, 2002). Petani masih tetap membutuhkan kredit usahatani. Kredit yang disediakan harus mudah diakses oleh petani. Skim kredit yang ditawarkan, baik penyaluran maupun pengembaliannya, perlu memperhatikan kebutuhan petani dan pola usahataninya (Tim Peneliti SMERU, 2001). Kebijakan adanya paket-paket kredit usaha tani atau crash program yang lain, terkadang dalam pelaksanaannya seperti dipaksakan ke petani, sehingga petani yang sebenarnya tidak memerlukannya, terpaksa mengambil juga karena tidak mau repot di kemudian hari. Hal ini akan menyebabkan tidak efisiennya penggunaan kredit usaha tani yang berakibat pada kredit macet (Arfian & Wijonarko, 2000). Karakter kepribadian individu mempengaruhi peternak dalam mengambil suatu risiko (Shrapnel & Davie, 2001). Peternak harus berani mengambil risiko atas segala persyaratan yang diberikan oleh pemberi kredit yaitu berupa angsuran beserta bunga yang telah ditetapkan. Peternak yang melanggar peraturan kredit akan mendapatkan konsekuensi sesuai dengan kesepakatan. Mardikanto (1993) menyatakan bahwa individu yang memiliki keberanian dalam menghadapi risiko biasanya individu tersebut lebih inovatif. Kredit pertanian memiliki peranan yang sangat
Media Peternakan
signifikan dalam sejarah pelaksanaan program pembangunan pertanian di Indonesia. Selain sebagai faktor pelancar, kredit juga berfungsi sebagai simpul kritis pembangunan yang efektif, sehingga kredit pertanian tetap harus tersedia (Supadi & Sumedi, 2004). Persepsi dari petani merupakan halangan serius dalam mengaplikasikan suatu metode atau inovasi baru. Inovasi baru tidak akan dicoba oleh petani, bila mereka belum yakin benar akan efektivitasnya, dan keuntungan ekonomisnya. Petani akan mengikuti apabila sudah melihat hasil nyata (Arfian & Wijonarko, 2000). Misalnya dengan memperkecil risiko program kredit akan menjadi faktor penting dalam adopsi teknologi (Drost et al., 1996). Apabila para peternak bersikap positif terhadap adanya program permodalan berupa kredit sapi potong, maka peternak tersebut akan cenderung menerima program kredit tersebut, sebaliknya apabila peternak bersikap negatif, maka akan cenderung menolak adanya program kredit tersebut. Menurut Walgito (2003) perilaku seseorang akan dilatarbelakangi oleh sikap yang ada pada orang yang bersangkutan. Menurut Mubyarto (1991) kredit adalah suatu transaksi antara dua pihak yaitu pihak I disebut kreditor dan pihak II disebut debitor. Pihak I memberikan pinjaman modal atau menyediakan pinjaman sumber ekonomi berupa barang atau dalam wujud uang, sedangkan pihak II diwajibkan melunasi atau membayar kembali pada waktu yang telah ditentukan dan telah disepakati oleh kedua belah pihak. Menurut Suhardjono (2003) untuk mengetahui seberapa jauh kemungkinan calon debitor memenuhi kewajibannya dan sekaligus mengukur kemampuannya dalam melunasi hutang pokok dan bunga, maka pihak kreditor akan melakukan analisis kredit yang menyangkut berbagai aspek. Pada umumnya untuk menganalisis suatu permohonan kredit, pihak kreditur menggunakan prinsip yang dikenal dengan five C’s of credit yang terdiri dari karakter Edisi Desember 2006
177
Vol. 29 No. 3
(character), kemampuan (capacity), modal (capital), kondisi ekonomi (condition of economy) dan jaminan/agunan (collateral). Sikap adalah kecenderungan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku tertentu seandainya seseorang tersebut menghadapi suatu rangsang tertentu. Misalnya seseorang memiliki sikap positif terhadap sesuatu hal, maka orang tersebut akan cenderung menggunakannya, tetapi jika orang tersebut memiliki sikap negatif terhadap sesuatu itu, maka ia akan cenderung menghindarinya. Adanya kepercayaan terhadap sesuatu hal akan menyebabkan timbulnya sikap tertentu terhadap sesuatu hal tersebut. Semakin besar kepercayaan yang diberikan, akan semakin kuat pengaruhnya untuk mengubah sikap (Sarwono, 2000). Sikap seseorang tidak selamanya tetap. Sikap dapat berkembang apabila mendapat pengaruh, baik dari dalam maupun dari luar, baik bersifat positif ataupun negatif (Ahmadi, 2002). Menurut Krech et al. (1996) struktur sikap mempunyai tiga komponen, yaitu: komponen kognitif, komponen afektif, komponen kecenderungan tindakan. Komponen kognitif disebut juga komponen kepercayaan. Komponen ini berhubungan dengan kesadaran dan pengetahuan terhadap suatu obyek tertentu. Komponen afektif merupakan unsur perasaan atau reaksi emosional seseorang tentang suatu obyek. Obyek yang dirasakan sebagai sesuatu hal yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, disukai atau tidak disukai. Beban emosional inilah yang memberikan watak tertentu terhadap sikap yaitu watak mantap, tergerak, dan bertindak. Komponen kognitif merupakan aspek sikap yang berkenaan dengan penilaian individu terhadap obyek atau subyek. Informasi yang masuk ke dalam otak manusia, melalui proses analisis, sintesis, dan evaluasi akan menghasilkan nilai baru yang akan diakomodasi atau diasimilasikan dengan pengetahuan yang telah ada di dalam otak manusia. Nilai-nilai baru yang diyakini benar, 178
Edisi Desember 2006
FAKTOR KARAKTERISTIK PETERNAK
baik, indah, dan sebagainya, pada akhirnya akan mempengaruhi emosi atau komponen afektif dari sikap individu. Oleh karena itu, komponen afektif dapat dikatakan sebagai perasaan (emosi) individu terhadap obyek atau subyek, yang sejalan dengan hasil penilaiannya, sedangkan komponen kecenderungan bertindak berkenaan dengan keinginan individu untuk melakukan perbuatan sesuai dengan keyakinan dan keinginannya. Sikap seseorang terhadap suatu obyek atau subyek dapat positif atau negatif. Manifestasikan sikap terlihat dari tanggapan seseorang apakah ia menerima atau menolak, setuju atau tidak setuju terhadap obyek atau subyek (Jurnal Terbaru Fakultas Ekonomi Pembangunan, 2005). Rahmat (2000) menyatakan bahwa sikap bukan perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap obyek sikap. Sikap positif atau negatif terhadap program kredit sapi potong merupakan proses perilaku seseorang yang akan dipengaruhi oleh faktorfaktor karakteristik orang tersebut (Soekartawi, 1988). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sikap peternak terhadap program kredit sapi potong dan faktor karakteristik peternak yang mempengaruhi kecenderungan sikap peternak terhadap program kredit sapi potong. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu informasi mengenai gambaran sikap peternak terhadap program kredit sapi potong dan faktor-faktor karakteristik yang mempengaruhinya serta diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan informasi bagi pemerintah dan pihak pemberi kredit. MATERI DAN METODE Penelitian ini merupakan studi kasus tentang program kredit sapi potong di kandang kelompok “Andiniharjo” yang berlokasi di Dusun Pojokan, Caturharjo, Sleman. Kelompok Andiniharjo dipilih untuk penelitian karena
WIBOWO & HARYADI
kelompok petani peternak tersebut sudah terorganisasi dengan baik dan sebagian peternak mendapatkan program kredit sapi potong dari PT Telkom. Materi penelitian ini adalah petani peternak sapi potong di kelompok tani ternak Andiniharjo. Responden yang diambil adalah semua petani peternak anggota kelompok tani ternak Andiniharjo yang berjumlah 40 orang. Penelitian dilakukan dengan metode pengumpulan data menggunakan kuesioner yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya. Data yang diambil meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diambil dengan wawancara langsung dan dengan menggunakan kuesioner kepada para peternak sapi potong. Data primer yang diambil meliputi umur, lama pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, pengalaman beternak, jumlah sapi yang dimiliki, jumlah tenaga kerja, luas kepemilikan lahan, motivasi beternak dan pendapatan usaha ternak sapi potong, sedangkan data sekunder adalah data yang diambil dari Dinas Peternakan, instansi-instansi terkait, dan sumber-sumber lain yang mendukung. Data sekunder berupa jumlah populasi sapi potong di Kecamatan Sleman dan di Kabupaten Sleman. Analisis yang digunakan untuk mengetahui tingkat pendapatan dari usaha ternak sapi potong adalah penghitungan selisih antara pengeluaran dengan penerimaan dari usaha ternak sapi potong (Soekartawi et al., 1984). Digunakan 25 pernyataan untuk mengetahui motivasi beternak dan 15 pernyataan untuk mengetahui sikap peternak terhadap program kredit, kemudian menentukan skor alternatif jawaban pernyataan dengan metode Likert. Sesuai dengan pernyataan Rollins (1993) bahwa Metode Likert menggunakan 5 skor sebagai alternatif jawaban yang masing-masing mempunyai makna Sangat Tidak Setuju (1), Tidak Setuju (2), Ragu-ragu (3), Setuju (4) dan Sangat Setuju (5). Skor jawaban dari setiap pernyataan dijumlahkan,
Media Peternakan
dicari skor maksimum, dan skor minimum, dengan rumus sebagai berikut : Skor Maksimum : skor jawaban tertinggi X jumlah pernyataan Skor Minimum : skor jawaban terendah X jumlah pernyataan Keterangan : Skor jawaban tertinggi : 5 Skor jawaban terendah : 1 (Sakdiah, 2003) Hasil dari perhitungan mencerminkan sikap setiap peternak terhadap bantuan kredit yaitu : Negatif : yang memiliki kisaran nilai 15-44 (skor 0) Positif : yang memiliki kisaran nilai 45-75 (skor 1) Semakin tinggi skor yang diperoleh pada pernyataan sikap peternak, maka akan menunjukkan kecenderungan ke arah sikap yang positif dan makin rendah skor akan menunjukkan kecenderungan ke arah sikap yang negatif. Hasil uji validitas dapat diketahui bahwa pernyataan untuk mengukur motivasi beternak dan sikap peternak semuanya sahih dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,9652 dan 0,9721. Analisis regresi binomial logistik digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sikap. Analisis regresi binomial logistik adalah analisis regresi yang memiliki dua nilai di dalamnya. Alasan digunakannya analisis regresi binomial logistik yaitu: 1) dalam penelitian ini hanya dibedakan dua nilai yaitu sikap positif = 1 dan sikap negatif = 0, 2) variabel terikat (dependent variable) dalam penilaian ini bersifat kualitatif (Santoso, 2001). Digunakan rumus secara umum analisis regresi binomial logistik untuk mengetahui faktor karakteristik peternak yang mempengaruhi kecenderungan sikap peternak terhadap program kredit sapi potong. Rumus secara umum analisis regresi binomial logistik itu adalah sebagai berikut : Edisi Desember 2006
179
Vol. 29 No. 3
FAKTOR KARAKTERISTIK PETERNAK
⎡ Pr ob ( event ) ⎤ Log ⎢⎣ Pr ob ( no event ) ⎥⎦ = β 0 + β 1 X 1 + ... + +β
k Xk
Keterangan : β0 - βk = Koefisien regresi X1 - Xk = Variabel independen
Selanjutnya rumus umum analisis regresi binomial logistik tersebut diterapkan dalam penelitian menjadi :
Log
⎡ Pr ob ( sikap positif ) ⎤ ⎢⎣ Pr ob ( sikap negatif ) ⎥⎦ = β 0 + β1 X1 + β X
2 2
+ β X + β X + ... + β X 3 3 4 4 9 9
Keterangan : β0 - β9 = Koefisien regresi X1 = Umur (Tahun) X2 = Lama pendidikan (Tahun) X3 = Jumlah tanggungan keluarga (Orang) X4 = Pengalaman beternak (Tahun) X5 = Jumlah tenaga kerja (Hari Orang Kerja) X6 = Luas kepemilikan lahan (m2) X7 = Jumlah sapi yang dimiliki (Unit Ternak) X8 = Motivasi beternak (Skor) X9 = Pendapatan usaha ternak (Rp/Th/UT)
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Wilayah Kecamatan Sleman merupakan salah satu wilayah yang potensial dalam pengembangan ternak sapi potong terutama yang dipelihara dalam perkampungan ataupun kandang kelompok. Hal ini didukung oleh keadaan tanah yang subur sehingga dapat ditanami tanaman pertanian dan hijauan pakan ternak yang melimpah sepanjang tahun. Daerah pertanian 180
Edisi Desember 2006
yang subur di wilayah Kecamatan Sleman ini menjadikan hasil produksi pertanian tinggi sehingga limbah pertanian akan mampu untuk mencukupi kebutuhan pakan ternak. Usaha pertanian sangat mendukung usaha peternakan sebagai penyedia pakan hijauan ternak. Program Kredit Sapi Potong Program kredit sapi potong di Kecamatan Sleman merupakan kerjasama PT Telkom, Dinas Peternakan Sleman dan peternak sapi potong di Dusun Pojokan, Caturharjo, Kecamatan Sleman dengan kredit yang dikelola oleh pihak Bank BPD. Adapun kredit yang diterima adalah dalam wujud sejumlah uang sebesar Rp 5.000.000,00. Uang tersebut dibelikan sapi potong betina dalam keadaan bunting minimal tiga bulan yang akan beranak pertama kali dan sudah diperiksa oleh mantri hewan, sehingga sudah ada kepastian bahwa sapi yang diterima oleh peternak tidak mandul. Pengembalian kredit dilakukan dengan membayar angsuran setiap enam bulan sekali beserta bunga sebesar 12% menurun per tahun selama empat tahun. Karakteristik Peternak Responden Tabel 1 berikut ini menunjukkan rata-rata persentase masing-masing karakteristik peternak responden. Hasil penelitian menunjukkan umur peternak rata-rata 44,73 tahun dengan kisaran 25 tahun sampai 65 tahun (Tabel 1). Hal ini berarti seluruh responden termasuk dalam kategori umur produktif. Sesuai dengan BPS Daerah Istimewa Yogyakarta (2002) menyatakan bahwa kategori usia produktif adalah usia antara 15 tahun sampai 65 tahun atau dapat dikategorikan usia kerja yaitu penduduk berusia 15 tahun atau lebih. Banyaknya responden yang tidak sekolah sebanyak satu orang, SD sebanyak delapan orang, SLTP sebanyak 15 orang, SLTA sebanyak
WIBOWO & HARYADI
Media Peternakan
Tabel 1. Karakteristik peternak responden kandang kelompok Andiniharjo
Karakteristik peternak
Nilai
Rata-rata umur (Tahun) Tingkat pendidikan (orang) Tidak Sekolah SD SLTP SLTA Sarjana muda Rata-rata lama pendidikan (Tahun) Rata-rata jumlah tanggungan keluarga (orang) Rata-rata pengalaman beternak (Tahun) Rata-rata jumlah tenaga kerja (HOK) Rata-rata kepemilikan lahan sawah (m2) Rata-rata kepemilikan Ternak (UT) Motivasi beternak (%) Tinggi Sedang Rendah Rata-rata pendapatan usaha ternak sapi potong (Rp/th/UT)
13 orang dan Sarjana Muda sebanyak tiga orang. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lama pendidikan peternak responden rata-rata 9,6 tahun (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa secara rata-rata menurut lama mengenyam pendidikan, sebagian besar peternak berpendidikan setingkat SLTP. Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata peternak mempunyai tanggungan keluarga sebanyak 1,8 orang. Menurut Soekartawi (1988), jumlah tanggungan keluarga dapat dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak suatu teknologi baru. Rata-rata pengalaman peternak dalam beternak sapi potong adalah 16 tahun (Tabel 1). Pengalaman terendah peternak dalam beternak sapi potong adalah enam tahun dan tertinggi adalah 28 tahun. Pengalaman peternak dalam memelihara sapi dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan peternak dalam mengembangkan usahanya. Semakin lama pengalaman beternak
44,73 1,00 8,00 15,00 13,00 3,00 9,60 1,80 16,00 108,20 790,50 1,36 80,00 20,00 0,00 1.600.060,40
sapi potong maka tingkat ketrampilan dan pengetahuan peternak dalam menerapkan teknologi akan semakin mudah dan cepat. Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan peternak, tenaga kerja pada usaha ternak sapi potong dialokasikan untuk mencari rumput sebesar 50,8 HOK, membersihkan kandang sebesar 22,3 HOK, memberi pakan dan minum sebesar 15,3 HOK, memandikan ternak sapi sebesar 19,8 HOK. Diketahui rata-rata jumlah tenaga kerja dalam memelihara ternak sapi potong selama satu tahun rata-rata 108,2 HOK yang dilakukan oleh kepala rumah tangga dan anggota keluarganya (Tabel 1). Kepemilikan lahan sawah rata-rata seluas 790,5 m2 (Tabel 1). Kepemilikan lahan sawah yang relatif luas ini menunjukkan bahwa pertanian di Desa Caturharjo memiliki potensi untuk berkembang dengan baik. Besarnya modal bergerak biasanya digunakan sebagai petunjuk majunya tingkat usahatani (Hernanto, 1989). Rata-rata jumlah Edisi Desember 2006
181
Vol. 29 No. 3
FAKTOR KARAKTERISTIK PETERNAK
kepemilikan ternak sapi potong yang dimiliki oleh peternak adalah 1,36 unit ternak (Tabel 1) dengan kisaran antara 0,8 sampai 3,05 unit ternak. Dilihat dari jumlah kepemilikan ternaknya termasuk rendah. Rendahnya jumlah kepemilikan ternak akan mengakibatkan peternak berusaha meningkatkan produktivitas dari ternak tersebut. Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa 80% peternak memiliki motivasi tinggi, 20% peternak memiliki motivasi sedang dan 0% peternak memiliki motivasi rendah dalam memelihara ternak sapi potong. Hasil dari perhitungan motivasi beternak sapi potong pada Tabel 1 mencerminkan motivasi beternak setiap peternak. Hasil pengukuran motivasi beternak sapi potong yang ada di kandang kelompok ternak sapi potong Andiniharjo tergolong tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa peternak mempunyai keinginan yang besar untuk memelihara ternak sapi potong. Rata-rata penerimaan usaha ternak sapi potong responden adalah Rp 4.634.156,7, sedangkan rata-rata biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh peternak per tahun sebesar Rp 3.034.096,3, sehingga dapat diketahui rata-rata pendapatan usaha ternak sapi potong peternak responden yaitu sebesar Rp 1.600.060,4 (Tabel 1). Sikap Peternak terhadap Bantuan Kredit Sapi Potong Hasil penelitian menunjukkan bahwa ratarata sikap peternak di kelompok ternak
Andiniharjo, Dusun Pojokan terhadap bantuan kredit sapi potong dari PT. Telkom adalah negatif. Hal ini ditunjukkan dengan kategori sikap yang diperoleh dari hasil wawancara dengan peternak. Tabel 2 menunjukkan bahwa persentase sikap peternak terhadap bantuan kredit sapi potong dari PT. Telkom adalah 47,5% peternak bersikap positif dan 52,5% peternak bersikap negatif terhadap seluruh pernyataan sikap. Sebanyak 52,5% peternak bersikap raguragu terhadap pernyataan bahwa jika ada bantuan kredit sapi potong seperti ini, maka kesejahteraan keluarga peternak akan meningkat. Sebanyak 52,5% bersikap ragu-ragu terhadap pernyataan bahwa bantuan kredit sapi potong tersebut dapat meningkatkan pendapatan para peternak. Sebanyak 75% bersikap raguragu terhadap pernyataan bahwa program bantuan kredit sapi potong ini akan membawa keberhasilan dengan cepat. Sebanyak 60% peternak bersikap ragu-ragu terhadap pernyataan bahwa jika program bantuan kredit sapi potong ini diberikan kepada para peternak akan meningkatkan usaha peternakan mereka. Sebanyak 52,5% bersikap ragu-ragu terhadap pernyataan bahwa jika program bantuan kredit sapi potong ini diberikan kepada para peternak akan menguntungkan para peternak. Sebanyak 40% peternak bersikap setuju, sebanyak 40% peternak bersikap ragu-ragu dan sebanyak 20% peternak bersikap tidak setuju terhadap pernyataan bahwa program bantuan kredit sapi potong ini dapat diterima oleh peternak yang miskin. Sebagian besar peternak masih
Tabel 2. Sikap mental peternak terhadap bantuan kredit dari PT. Telkom
Jumlah Sikap mental peternak
Positif Negatif Total
182
Edisi Desember 2006
(orang)
(%)
19 21 40
47,5 52,5 100,0
WIBOWO & HARYADI
meragukan keberhasilan dari program kredit sapi potong tersebut. Hal ini dikarenakan sebagian peternak merasa terbebani dengan persyaratan kredit yang dirasa cukup berat apabila bantuan tersebut diterima oleh peternak. Sebanyak 55% peternak bersikap raguragu terhadap pernyataan bahwa program bantuan kredit sapi potong ini mudah dimengerti dan dilaksanakan. Sebanyak 50% bersikap setuju, sebanyak 50% peternak bersikap raguragu terhadap pernyataan bahwa program bantuan kredit sapi potong ini tidak bertentangan dengan adat dan kepercayaan/ agama. Walaupun program bantuan kredit ini cukup mudah dimengerti dan dilaksanakan dan sebanyak 50% peternak setuju bahwa bantuan kredit dari PT Telkom ini tidak bertentangan dengan adat dan kepercayaan/agama di masyarakat, akan tetapi tetap saja belum sesuai dengan keinginan para peternak. Hal ini dapat ditunjukkan bahwa sebanyak 12,5% peternak bersikap setuju, 42,5% bersikap ragu-ragu, sebanyak 40% peternak bersikap tidak setuju dan sebanyak 5% peternak bersikap sangat tidak setuju terhadap pernyataan tersebut. Sebanyak 77,5% bersikap ragu-ragu terhadap pernyataan bahwa prosedur pemberian kredit sapi potong seperti ini membutuhkan waktu yang lama dan berbelit-belit. Sebagian peternak anggota kelompok ternak Andiniharjo bersikap negatif terhadap bantuan kredit dari PT Telkom karena bantuan kredit yang diberikan ini cukup memberatkan para peternak. Hal ini dapat ditunjukkan bahwa sebanyak 2,5% peternak bersikap sangat setuju dan sebanyak 50% bersikap setuju terhadap pernyataan bahwa pengembalian pinjaman dan bunga kredit ini terlalu besar. Para peternak merasa terbebani dengan pengembalian bunga pinjaman yang dianggap masih relatif besar yaitu sebesar 12% per tahun dengan jangka waktu pengembalian pinjaman empat tahun
Media Peternakan
diangsur tiap enam bulan sekali. Akan tetapi, ada juga sebagian peternak yang merasa tidak terbebani dengan adanya angsuran dan bunga pinjaman yang telah ditetapkan. Sebanyak 52,5% peternak bersikap setuju terhadap pernyataan bahwa program bantuan kredit sapi potong dari PT Telkom ini akan menambah beban biaya usaha peternakan sapi potong para peternak, karena mereka beranggapan bahwa dengan bunga pinjaman masih relatif besar dan jangka waktu pengembalian pinjaman yang lama ini akan sulit untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga mereka. Jangka waktu pengembalian pinjaman yang lama dengan angsuran setiap enam bulan sekali selama empat tahun ini akan menambah beban biaya usaha peternakan sapi potong mereka. Hal ini dapat ditunjukkan dengan sebanyak 37,5% bersikap setuju, sebanyak 15% peternak bersikap ragu-ragu dan sebanyak 47,5% peternak bersikap tidak setuju terhadap pernyataan bahwa program bantuan kredit sapi potong dari PT Telkom ini akan membutuhkan waktu yang relatif lama untuk mengembalikan modal. Sebanyak 52,5% peternak bersikap setuju bahwa persyaratan yang diberikan untuk mendapatkan bantuan kredit sapi potong ini akan dapat memberatkan peternak. Sebanyak 52,5% peternak bersikap setuju terhadap pernyataan bahwa pelaksanaan program bantuan kredit sapi potong dari PT Telkom ini berisiko. Peternak yang merasa dirinya miskin tidak berani mengambil risiko dengan menerima bantuan kredit sapi potong dari PT Telkom, mereka takut seandainya tidak mampu membayar angsuran pinjaman beserta bunga setiap enam bulannya selama empat tahun tepat pada waktunya. Soekartawi (1988) menyatakan bahwa biasanya kebanyakan petani kecil mempunyai sifat menolak risiko. Hal inilah yang menyebabkan sebagian besar peternak kelompok ternak Andiniharjo bersikap negatif.
Edisi Desember 2006
183
Vol. 29 No. 3
FAKTOR KARAKTERISTIK PETERNAK
Faktor-Faktor Karakteristik Peternak yang Mempengaruhi Sikap Peternak Hasil analisis binomial logistik dengan metode forward wald dapat diketahui bahwa kemampuan prediksi model regresi binomial logistik yang digunakan ini layak dipakai, artinya bahwa faktor karakteristik peternak yang meliputi umur, motivasi beternak dan pendapatan usaha ternak terbukti meyakinkan tingkat prediksi kebenaran terhadap kecenderungan bersikap positif atau negatif sebesar 92,5%. Hasil analisis ini dapat dibuat model persamaan regresi binomial logistik adalah seperti berikut:
Log
⎡ Prob (Sikap Positif) ⎤ ⎢⎣ Prob (Sikap Negatif) ⎥⎦ =
− 108,598 + 0,1669212 X1 +
0,8834772 X8 + 0,0000024 X9
Hasil analisis menunjukkan bahwa umur peternak (X1) berpengaruh secara signifikan (P<0,05) terhadap kecenderungan peternak untuk bersikap positif. Semakin bertambah usia seseorang, diharapkan semakin mampu menunjukkan kematangan jiwa dalam arti semakin bijaksana dan mampu berpikir secara rasional serta dapat menilai sesuatu hal dengan lebih baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Matatula (1997) yang mengemukakan bahwa
pada batasan umur yang produktif, seorang petani akan berpikir lebih matang dalam menjalankan usahanya. Hasil analisis menunjukkan bahwa motivasi beternak (X8) berpengaruh secara signifikan (P<0,05) terhadap kecenderungan peternak masuk dalam kategori sikap positif. Motivasi beternak yang tinggi dari peternak akan cenderung menjadi bersikap positif terhadap sesuatu hal yang berhubungan dengan inovasi dibidang peternakan dalam hal ini program kredit sapi potong dari PT Telkom. Menurut Handoko (1997) makin kuat motivasi seseorang makin kuat pula usahanya untuk mencapai tujuan. Hasil analisis menunjukkan bahwa pendapatan peternak dari usaha ternak sapi potong (X9) berpengaruh secara signifikan (P<0,05) terhadap kecenderungan peternak untuk bersikap positif. Semakin bertambahnya pendapatan peternak dalam memelihara ternak sapi potong, maka peternak akan cenderung bersikap positif terhadap program kredit sapi potong dari PT. Telkom. Hal ini disebabkan karena dengan bertambahnya pendapatan dari pemeliharaan ternak sapi potong, peternak akan merasa lebih yakin dalam menentukan sikapnya terhadap program kredit sapi potong dari PT. Telkom untuk menerima atau menolak program tersebut. Sesuai dengan pendapat Kotler (1993) yang menyatakan bahwa semakin tinggi pendapatan seseorang maka kemampuan untuk menentukan pilihan akan lebih besar.
Tabel 3. Faktor-faktor karakteristik yang mempengaruhi sikap mental peternak dengan metode forward wald
Variabel bebas X1 (Umur) X8 (Motivasi beternak) X9 (Pendapatan) Constant Correct prediction (%)
B 0,1669212* 0,8834772* 0,0000024* -108,598
Keterangan : *= signifikan pada tingkat kepercayaan 95%.
184
Edisi Desember 2006
Exp(B)
Sig.
1,182 2,419 1,000 0,000
0,020 0,036 0,045 0,030 92,5
WIBOWO & HARYADI
KESIMPULAN Sebagian besar sikap peternak di kelompok ternak Andiniharjo, Dusun Pojokan terhadap program kredit sapi potong dari PT. Telkom adalah negatif. Kecenderungan peternak untuk bersikap positif atau negatif terhadap kredit sapi potong dipengaruhi oleh umur peternak, motivasi beternak dan pendapatan peternak dari usaha ternak sapi potong. Lama pendidikan, pengalaman beternak, luas kepemilikan lahan, jumlah tenaga kerja, jumlah sapi yang dimiliki oleh peternak dan jumlah tanggungan keluarga tidak mempengaruhi kecenderungan peternak untuk bersikap positif atau negatif terhadap kredit sapi potong. DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, A. 2002. Psikologi Sosial. Edisi Revisi. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. P. 170. Arfian, M. & A. Wijonarko. 2000. Kondisi dan tantangan ke depan sub sektor tanaman pangan di Indonesia. Proceedings of The Fourth Symposium on Agri-Bioche 2000. Hal. 247-251. Azis, M. A. 1993. Agroindustri Sapi Potong. Cetakan V BPFE, Yogyakarta. BPS Daerah Istimewa Yogyakarta. 2002. Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta. Buletin PPSKI. 1992. Strategi pengembangan industri peternakan sapi potong skala kecil dan menengah. Buletin PPSKI Vol.VIII No.39 pp 7-9. Drost, D., G. Long, D. Wilson, B. Miller & W. Campbell. 1996. Barriers to adopting sustainable agricultural practices. J. of Extension. Vol. 34 Number 6. Departments of Plants, Soils and Biometeorology (PS&B) and Agricultural Systems Technology and Education (ASTE), Utah State University Logan, Utah. Handoko, T. 1987. Manajemen Pemasaran: Analisis Perilaku Konsumen. Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Media Peternakan
Hernanto, F. 1989. Ilmu Usahatani. Penerbit Swadaya, Jakarta. Jurnal Terbaru Fakultas Ekonomi Pembangunan. 2005. Pembelajaran yang Menumbuhkan Sikap Wirausahawan. Jurnal Terbaru Fakultas Ekonomi Pembangunan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kotler, P. 1993. Manajemen Pemasaran. Edisi ke7. Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Krech, D., R.S. Crutchfield & E.L. Ballachey. 1996. Sikap Sosial. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta. pp 7-10. Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press, Surakarta. Matatula, M. J. 1997. Evaluasi pengembangan sapi potong gaduhan Yayasan Mitra Mandiri di Daerah Transmigrasi Wayapo Kabupaten Maluku Tengah. Tesis. Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Mubyarto. 1991. Pengantar Ekonomi Pertanian. Penerbit LP3ES, Jakarta. Rahmat, J. 2000. Psikologi Komunikasi. Edisi Revisi. Penerbit PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Rollins, T.J. 1993. Profile of farm technology adopters. J. of Extension 31 (3): 38-39. Department of Agricultural and Extension Education, Penn State University-University Park, Pennsylvania. Sakdiah, A. 2003. Hubungan berbagai motif usaha beternak ayam kampung secara kelompok dengan pendapatan : studi kasus kelompok peternak di Desa Trimurti Kecamatan Srandakan Kabupaten Bantul. Skripsi. Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Santoso, S. 2001. SPSS Statistik Parametrik. PT Elex Media Komputindo, Jakarta. Sarwono. 2000. Teori-teori Psikologi Sosial. Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta. Shrapnel, M. & J. Davie. 2001. The influence of personality in determining farmer responsiveness to risk. The Journal of Agricultural Education and Extension 7 (3):167-178. Soekartawi, A., J. Soehardjo, B. Dillon & Hardaker. 1984. Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Penerbit UI Press, Jakarta.
Edisi Desember 2006
185
Vol. 29 No. 3
Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Suhardjono. 2003. Manajemen Perkreditan Usaha Kecil dan Menengah. Penerbit UPP AMP YKPN, Yogyakarta. Supadi & Sumedi. 2004. Tinjauan umum kebijakan kredit pertanian. Icaserd Working Paper no. 25. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.
186
Edisi Desember 2006
FAKTOR KARAKTERISTIK PETERNAK
Tim Peneliti SMERU. 2001. Bagaimana Sebaiknya Penyediaan Kredit Pertanian? Newsletter Smeru. The Smeru Research Institute, Jakarta. Tim Peneliti SMERU. 2002. Pendanaan Usahatani Padi Pasca KUT, Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta. Walgito, B. 2003. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Edisi Revisi. Penerbit Andi, Yogyakarta.
Media Peternakan, Desember 2006, hlm. 187-192 ISSN 0126-0472 Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005
Vol. 29 No. 3
Daya Pintal dan Kekuatan Benang Bulu Domba Priangan dan Peranakan Merino M. Duldjamana, T.R. Wiradaryaa & M.I.H. Muttaqinb a
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor Jl. Agatis Kampus IPB Darmaga, Fakultas Peternakan, IPB Bogor 16680 b
Wiraswasta
(Diterima 13-10-2005; disetujui 05-10-2006)
ABSTRACT Priangan sheep is a native sheep of Indonesia and considered as a hair sheep. Its main product is meat. Recently, the Priangan sheep is crossed with a Merino sheep to produce the Priangan–Merino crossbred. Since the Merino sheep is considered as a wool sheep, it is expected that the Priangan–Merino sheep will have a better quality of wool than the Priangan sheep. To measure the wool improvement of the Priangan–Merino crossbred, an experiment was conducted. Fifteen Priangan sheeps and 15 Merino crossbreds were used in this experiment. The spinning count and wool yarn staple length were measured. The experimental statistics and the design of the experiment was completely ramdomized design. The results indicated that staple strength of wool yarn of Priangan was not significantly different with that of Merino cross. Spinning count was significantly different (P<0.01) between breed. Keyword : Yarn, Priangan and Merino cross, staple strenght, spinning count
PENDAHULUAN Domba telah lama diternakkan hampir di seluruh dunia termasuk Asia Tenggara. Perkembangan peternakannya di Indonesia masih sangat lambat karena umumnya dilakukan secara tradisional. Populasinya di Indonesia pada tahun 2003 tercatat sebanyak 8 juta ekor dan 90% tersebar di pulau Jawa (Dirjen Bina Produksi Peternakan, 2003). Domba mempunyai peran cukup penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan dipelihara untuk mencukupi kebutuhan daging. Selama ini peternak menganggap bulu masih sebagai
limbah, seperti feses, sehingga pemanfaatannya masih kurang, padahal pemanfaatan bulu domba menjadi usaha barang yang bernilai ekonomi dapat dilakukan sehingga bisa menambah pendapatan peternak. Bulu domba dapat dipintal menjadi benang dan diproses lebih lanjut sampai menghasilkan produk bernilai ekonomi. Kegiatan pemintalan bulu semakin maju seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Negara-negara yang memiliki bangsa domba tipe wool menghasilkan wool berkualitas sebagai produk utamanya, sehingga wool dapat dipintal secara modern untuk mendapatkan bahan sandang. Kegiatan pemintalan pada Edisi Desember 2006
187
DULDJAMAN ET AL.
umumnya masih dilakukan secara sederhana di Indonesia atau Asia Tenggara. Hal ini disebabkan antara lain produksi bulu domba daerah tropis per ekornya umumnya sedikit dan bulunya tidak halus atau berdiameter besar. Gatenby (1991) mengemukakan bulu domba tropis mempunyai rata-rata diameter antara 2665 mikrometer, sehingga bulu tersebut hanya cocok untuk barang non sandang sepeti hiasan dinding, selimut, tas dan lain-lain. Bangsa domba lokal yang banyak terdapat di Indonesia adalah domba Ekor Gemuk, Ekor Tipis dan domba Priangan. Domba Priangan merupakan hasil persilangan dari tiga bangsa domba, antara lain domba Merino, domba Kaapstad dan domba Lokal (Merkens & Soemirat, 1926). Produksi wool domba persilangan tipe daging dengan tipe wool selalu lebih rendah dari induk murninya dan perbedaannya akan semakin menonjol setelah berumur lebih tiga tahun. Sebaliknya untuk jumlah kelahiran anak, jumlah yang disapih dan bobot sapih akan lebih tinggi (Iman & Slyter, 1996). Domba Priangan memiliki bulu halus atau wool disamping bulu kasar atau rambut, sehingga bulunya mempunyai harapan untuk dimanfaatkan. Bulu kasar seperti pada domba Priangan masih banyak mengandung medulla yang membentuk rongga sepanjang serat bulu. Medulla sangat berguna untuk menentukan tipe wool, tetapi sangat tidak diinginkan dalam mohair atau wool untuk bahan pakaian (Lupton & Pfeiffer, 1998). Menurut Syamyono (2002) rataan diameter bulu domba Priangan untuk bulu halus 30,13±13,11 mikrometer dan bulu kasar 130,44±20,58 mikrometer. Diameter serat bulu ini merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat kehalusannya. Domba Persilangan Merino mempunyai diameter bulu 23,6±4,93 mikrometer dan bulunya lebih seragam (Bustomy, 1996). Yamin & Rahayu (1995) melaporkan produksi bulu
188
Edisi Desember 2006
Media Peternakan
domba Merino lebih tinggi dari pada bulu domba lokal. Angka pintal suatu benang menunjukkan kualitas dari serat bulu. Bulu yang berkualitas baik dapat menghasilkan produk benang yang lebih panjang dalam bobot yang sama. Pada umumnya sifat benang yang sering dievaluasi untuk menentukan kualitasnya adalah pengukuran kehalusan yaitu bobot benang per satuan panjang tertentu, kekuatan benang dan kerataan benang (Moerdoko et al., 1973). Respon perlakuan bahan kimia terhadap jenis serat benang bisa berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari produksi dan kekuatan (derajat putus dan mulur) benang yang telah mengalami proses kimia seperti pengelantangan dan pencelupan dari bulu domba Priangan dibandingkan dengan benang bulu domba Peranakan Merino. MATERI DAN METODE Materi yang digunakan pada penelitian ini adalah benang bulu domba Priangan dari Garut dan domba Peranakan Merino dari PT Kariana Gita Utama. Bulu hasil pencukuran diperoleh dari 15 ekor domba Peranakan Merino dan 15 ekor domba Priangan. Bahan kimia yang dipakai adalah deterjen, disinfektan, H 2O2 sebagai pemutih, zat pewarna dan asam asetat. Peralatan yang digunakan adalah carding, jantra, instron strength tester (alat pengukur derajat putus dan kemuluran) dan peralatan lainnya seperti ember plastik, pengaduk, gunting, penggaris, kompor, panci, dan timbangan listrik. Metode pembuatan benang menurut Yamin & Rahayu (1995) yaitu bulu domba hasil pencukuran dibersihkan dari kotoran berupa feses, tanah dan sisa-sisa pakan. Bulu direndam dalam air bersih selama 12 jam, kemudian dibilas lagi dengan air bersih. Selanjutnya bulu direndam lagi dalam cairan deterjen 100 g/10 liter air selama 15 menit kemudian dibilas dalam
Vol. 29 No. 3
air bersih. Terakhir bulu dicelupkan ke dalam larutan desinfektan Trisol 100 ml/10 liter air. Bulu yang telah didesinfektan diperas lalu dijemur sampai kering. Bulu yang telah kering dibersihkan kembali dari sisa kotoran dan bulu yang menggumpal dicabik-cabik atau digunting. Selanjutnya bulu disisir dengan alat carding sehingga didapatkan dua macam lembaran bulu yaitu lembaran bulu berserat pendek dan panjang. Lembaran bulu tersebut dipintal dengan alat pintal jantra sehingga dihasilkan benang mentah (benang tunggal). Benang mentah dari domba Priangan dan domba Peranakan Merino dipotong–potong sama sepanjang 50 cm, masing-masing sebanyak 30 potong. Setiap potongan benang itu ditimbang untuk mengetahui angka pintalnya. Uji kekuatan benang dilakukan pada benang yang telah digandakan terlebih dahulu. Benang ini kemudian dipotong sepanjang 50 cm sebanyak 30 potong untuk masing-masing bangsa dan dibagi secara acak ke dalam lima kelompok perlakuan. Perlakuan pertama benang mentah tanpa perlakuan kimia sebagai kontrol (B1), perlakuan kedua benang mentah yang dikelantang (B2), perlakuan ketiga benang dikelantang dengan pencelupan selama 15 menit (B3), perlakuan keempat benang dikelantang dengan pencelupan selama 30 menit (B4) dan perlakuan kelima benang dikelantang dengan pencelupan selama 45 menit (B5). Kelima kelompok perlakuan benang dengan ulangan enam kali dari masing-masing bangsa diuji
DAYA PINTAL
kekuatannya (daya putus dan mulur) dengan alat instron strength tester di Balai Besar Tektil Bandung. Pengelantangan dilakukan dengan cara benang mentah direbus dalam larutan H2O2 (20 ml/liter) ditambah deterjen bubuk (4 g /liter) selama 5 menit dalam suhu 40-50oC dengan perbandingan larutan 1 : 30, kemudian benang dibilas. Pewarnaan benang dengan cara mencelupkan benang kedalam air mendidih yang diberi pewarna kain (4% dari berat benang) ditambah asam asetat 4% dibiarkan 45 menit dengan perbandingan larutan 1: 20. Rancangan yang digunakan adalah acak lengkap pola searah dengan masing-masing tiga puluh kali ulangan digunakan untuk penghitungan daya pintal, sedangkan untuk kekuatan dan kemuluran benang digunakan rancangan acak lengkap pola faktorial 2x5 dengan ulangan enam kali. Pengujian selanjutnya dengan beda nyata jujur (Steel & Torrie, 1982). HASIL DAN PEMBAHASAN Angka Pintal Hasil penelitian (Tabel 1) menghasilkan rataan angka pintal dari serat bulu domba Priangan 0,26± 0,03 g per 50 cm dan domba Peranakan Merino 0,22 ± 0,03 g per 50 cm. Perlakuan menunjukkan pengaruh sangat nyata. Hal ini menunjukkan bahwa angka pintal serat bulu domba Peranakan Merino secara statistik sangat nyata lebih baik dari domba Priangan.
Tabel 1. Rataan angka pintalan benang bulu domba Priangan dan Peranakan Merino (g/ 50 cm)
Bangsa domba Priangan Peranakan Merino
Angka pintalan 0,26A ± 0,03 0,22B ± 0,03
Keterangan: superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).
Edisi Desember 2006
189
DULDJAMAN ET AL.
Media Peternakan
Domba Peranakan Merino mempunyai diameter serat bulu lebih rendah dan seragam sehingga serat bulunya lebih halus dibanding domba Priangan. Angka pintal domba Priangan yang diteliti Syamyono (2002) menghasilkan 2,07± 0,11 m/g, dengan hasil penelitian ini menunjukkan adanya kesamaan. Kualitas pemintalan ini menurut Kammlade & Kammlade (1955) dipengaruhi oleh bangsa domba. Menurut Whan (1970) rataan diameter serat bulu dan perbedaan genetik sangat penting dalam pengolahan wool. Diameter serat juga merupakan salah satu faktor terpenting dalam menentukan kualitas dan harga wool. Selain itu, keseragaman diameter serat sangat diinginkan oleh pengolah wool karena kualitas pintalnya akan lebih baik (Rogan, 1989). Bulu dari bangsa domba yang mempunyai serat halus akan lebih mudah dibentuk menjadi benang dibandingkan dengan bulu dari bangsa domba yang berserat bulu kasar. Semakin rendah diameter serat maka bulu akan semakin halus dan angka pintalnya akan semakin baik, sehingga benang yang dihasilkan akan semakin panjang. Kekuatan atau Derajat Putus dan Kemuluran Benang Pengujian kekuatan atau derajat putus dan kemuluran benang dilakukan sekaligus dengan
alat instron strength tester dengan satuannya masing-masing Newton dan mm. Pengujian bahan baku (benang) sangat penting dilakukan karena sangat menentukan kualitas produk yang akan dihasilkan. Kekuatan serat bulu berpengaruh terhadap kekuatan benang yang dipengaruhi antara lain ada tidaknya titik rapuh, bentuk serat yang bersisik, proses pencucian, masa kebuntingan dan laktasi domba. Kondisi serat bulu dari kedua bangsa ini hampir sama yaitu pendek-pendek, warnanya kotor kekuning-kuningan. Titik rapuh atau pengurangan diameter serat bulu dalam benang masih terlihat pada kedua bangsa ini. Angka rataan derajat putus dan kemuluran benang dari domba Priangan dan Peranakan Merino tercantum dalam Tabel 2. Pengujian kekuatan terhadap benang yang telah diberi perlakuan kimiawi berupa pengelantangan (B2) dan pencelupan dengan waktu 15 menit (B3), 30 menit (B4), 45 menit (B5) dan benang mentah sebagai kontrol (B1) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan pengelantangan dan pencelupan selama 15 menit sampai 45 menit tidak berpengaruh nyata terhadap kekuatan benang atau derajat putus dan mulurnya. Begitu juga halnya pengaruh perbedaan bangsa tidak berbeda nyata. Nilai kekuatan atau derajat putus benang mentah untuk domba Priangan sebesar 1,76
Tabel 2. Rataan derajat putus dan kemuluran benang bulu domba Priangan dan Peranakan Merino
Derajat putus (Newton)
Kemuluran (mm)
Perlakuan B1 B2 B3 B4 B5
190
Edisi Desember 2006
Priangan
P. Merino
Priangan
P. Merino
1,76±0,59 1,56±0,23 1,29±0,43 1,53±0,47 1,09±0,44
1,83±0,54 1,29±0,51 1,29±0,82 1,82±0,39 1,63±0,66
88,17±26,82 82,67±20,93 86,67±23,81 78,50±25,36 59,50±24,03
74,50±14,22 75,67±41,22 75,50±37,13 77,83±35,85 60,50±34,90
Vol. 29 No. 3
Newton dan domba Peranakan Merino 1,83 Newton, sedangkan nilai kemulurannya masing–masing 88,17 dan 74,50 mm. Keadaan ini tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara kedua bangsa. Hal ini disebabkan karena benang dari kedua bangsa domba relatif sama kondisinya dalam tektur benang, panjang serat, dan kekuatan pintalannya karena dikerjakan sama secara manual. Semakin panjang benang semakin banyak ketidak rataanya, maka semakin besar peluang benang untuk putus. Pengelantangan bertujuan untuk menghilangkan warna warni bulu yang tidak sempurna seperti kekuning–kuningan gelap atau tidak rata. Warna–warna muncul disebabkan karena adanya pigmen dalam bulu atau pengaruh lingkungan yang tidak bisa hilang waktu pencucian. Benang yang telah dikelantang menjadi lebih putih sehingga pewarnaan menjadi lebih jelas dan merata. Proses pengelantangan tidak merusak serat bulu tetapi hanya melarutkan kotoran yang menempel pada serat bulu dan membuang pigmen-pigmen yang bersenyawa organik dengan mengoksidasi atau mereduksi. Menurut Tomes (1976) dan Soeprijono et al. (1974) rata-rata panjang serat bulu domba Priangan dengan bahan serat yang rata-rata lebih pendek dibandingkan dengan domba Merino akan memperlihatkan kekuatan benang yang lebih kecil. Hasil penelitian ini agak berbeda dibandingkan dengan hasil penelitian di atas. Perbedaan ini disebabkan oleh bulu domba Priangan telah mengalami penyortiran dari bulu kasarnya sehingga tinggal yang halusnya, maka kekuatannya relatif sama. Walaupun diameter bulunya masih relatif berbeda tetapi kekuatannya sama dengan bulu peranakan Merino. Bustomy (1996), mengemukakan diameter bulu domba Priangan sebesar 34,30 mikrometer termasuk ke dalam tipe wool sedang kelas kasar, sedangkan diameter serat bulu domba Peranakan Merino 22,70 mikrometer
DAYA PINTAL
termasuk kedalam tipe wool sedang kelas halus. Selanjutnya dikemukakan bahwa jumlah crimp pada domba Peranakan Merino 3,04/mm sedang pada domba Priangan 1,8/mm. Semakin halus serat dan banyak crimp maka angka derajat putus dan kemuluran benangnya semakin kecil. Selain sifat fisik serat bulu, faktor keturunan juga mempengaruhi kehalusan dan kekuatan serat. Drummond et al. (1982) mengemukakan bahwa domba wool bangsa murni mempunyai kelebihan dari segi kehalusan serat dan kekuatannya bila dibandingkan dengan serat bulu dari domba persilangan Tidak berbedanya derajat putus dan kemuluran benang dari bulu domba Priangan dengan Peranakan Merino pada penelitian ini dapat disebabkan oleh faktor bahan baku, kondisi alat dan manusia. Serat bulu domba Peranakan Merino yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari PT. Kariana Gita Utama, panjangnya tidak seragam dan umumnya pendek-pendek. Keadaan ini disebabkan adanya kesalahan teknis pada waktu pencukuran dan umur bulu yang belum waktunya dipanen (satu tahun) pada saat proses pecukuran. Selain itu, pada domba Priangan dilakukan penyortiran serat saat persiapan peyediaan bahan terutama dari bulu kasarnya, sehingga kondisi bulu relatif seragam. Serat bulu yang pendek-pendek ini menyebabkan banyak benang tidak rata. Maryani (1988) mengemukakan bahwa semakin tinggi ketidakrataan dalam benang maka peluang untuk putus semakin besar. Semakin panjang benang maka makin tinggi ketidak rataannya, akibatnya semakin besar peluang benang untuk putus. KESIMPULAN Angka pintal benang bulu domba Peranakan Merino lebih baik dibandingkan
Edisi Desember 2006
191
DULDJAMAN ET AL.
dengan domba Priangan, ini menunjukkan kualitas serat bulu domba Peranakan Merino lebih halus. Benang bulu domba Priangan kekuatannya relatif sama dengan benang dari bulu Peranakan Merino, baik benang mentahnya maupun yang telah dikelantang dan dicelup warna. Benang bulu yang dicelup selama 45 menit lebih baik karena warnanya lebih pekat atau lebih jelas dari kedua bangsa, sedangkan kekuatannya sama. DAFTAR PUSTAKA Bustomy, B.S. 1996. Kualitas bulu domba betina dan jantan pada domba Priangan dan domba Peranakan Merino. Skripsi. Jurusan Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Dirjen Bina Produksi Peternakan. 2003. Buku Statistik Peternakan. Depertemen Pertanian Republik Indonesia, Jakarta. Drummond, J., R.A. O’Connell & K.L. Colman. 1982. The effect of age and Finnsheep breeding on wool properties and processing characteristics. Journal of Animal Science. 54 : 8-11. Gatenby, R.M. 1991. Sheep. Macmillan Education Ltd., London. Iman, N.Y & A.L. Slyter. 1996. Lifetime lamb and wool production of Targhee or Finn-DorsetTarghee ewes managed as farm or range flock: II Cumulatitive Lamb and Wool Production. J. Anim. Sci. 74:1765-1769. Kammlade, W.G. & W.G. Kammlade, Jr. 1955. Sheep Science. J.B. Lippincot Company, New York. Lupton, C.J. & F.A. Pfeiffer. 1998. Measurement of medullation in wool and mohair using an
192
Edisi Desember 2006
Media Peternakan
optical fibre diameter analyser. J. Anim. Sci. 76:1261-1266. Merkens, J. & R. Soemirat. 1926. Sumbangan Pengetahuan Tentang Peternakan Domba di Indonesia. Terjemahan. Dalam : Domba dan Kambing. 1979. Lembaga Pengetahuan Indonesia, Bogor. Maryani, S. 1988. Usaha pemanfaatan bulu domba dalam negeri melalui pemintalan kapas. Thesis. Institut Teknologi Tekstil, Bandung. Moerdoko, W., Isminingsih, Wagimun & Soeripto. 1973. Evaluasi Tekstil Bagian Fisika. Institut Teknologi Tekstil, Bandung. Rogan, I.M. 1989. Genetic variation and comvariation in wool characteristics related to processing performance and their economic significance. Wool Technol. and Sheep Breed. 36(4):126. Syamyono, 0. 2002. Produksi, kualitas dan hasil pengolahan dari wol domba Priangan dan domba komposit HMG dan MHG. Skripsi. Jurusan Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Steel R.G.D & J.H Torrie. 1982. Principles and Procedures of Statistics.3rd Prin.McGraw-Hill. Kogakusha, Tokyo. Soeprijono, P., Poerwanti, Widayat & Jumaeri. 1974. Serat-serat Tekstil. Cetakan ke II. Institut Teknologi Tekstil, Bandung. Tomes, G.J. 1976. Sheep Breeding. Western Australia Institute of Technology, Perth. Yamin, M. & S. Rahayu. 1995. Pengolahan limbah bulu domba untuk kerajinan hiasan dinding dan keset. Laporan Penelitian. Fakutas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Whan , R.B. 1970. Why class the clip. Wool Technol. and Sheep Breed.17(2):9.
INDEKS PENULIS VOLUME 29 Adawiah, 27 Afiati, A., 16 Arief, I.I., 76 Astawan, M., 1 Astuti, W. D., 83, 121 Duldjaman, M., 187 Evvyernie, D., 83, 121 Fuah, A.M., 155 Gunawan, A., 7 Habibie, A., 133 Hafid, H.H., 63, 162 Hardjosworo, P.S., 133 Haryadi, F.T., 176 Haryanto, B., 20 Hermana, W., 16 Hotimah, N., 146 Jayanegara, A., 54 Kaiin, E.M., 141 Khalil, 70, 169 Khotijah, L., 89 Kusnadi, E., 133 Maheswari, R.R.A., 76 Manalu, W., 27 Muttaqin, M.I.H., 187 Nahrowi, 27 Nazilah, R., 146 Noerzihad, T.Q., 146
Noor, R.R., 7 Novita, C.I., 96 Nursasih, E., 146 Parakkasi, A., 20 Priyanto, R., 63, 162 Purwanto, B.P., 35 Retnani, Y., 146 Saleh, A., 107 Sianturi, E.M., 155 Sigit, N. A., 146 Sudono, A., 96 Sumiati, 16 Suryati, T., 1, 76 Sutama, I.K., 96 Sutardi, T., 27, 54, 83, 121, 133 Suthama, N., 47 Tanuwiria, U.H., 27 Tappa, B., 141 Tjakradidjaja, A.S., 54 Toharmat, T., 27, 83, 96, 121, 146 Uhi, H.T., 20 Wibowo, S.A., 176 Widjajakusuma, R., 133 Wiradarya, T.R., 187 Wiryawan, K.G., 155 Wresdiyati, T., 1 Yani, A., 35
Edisi Desember 2006
193
INDEKS SUBYEK VOLUME 29 antanan, 133 Aspergillus oryzae, 83, 121 ayam broiler, 16, 133 ayam kampung, 169 ayam Kedu, 47 bobot lahir, 7 bobot sapih, 7 bulu domba, 187 CaCl2 (kalsium klorida), 1 cekaman panas, 35, 133 CIDR, 141 daging domba, 1 daging sapi DFD, 76 daya pintal, 187 distribusi, 63 DL-metionina, 89 domba Garut tipe laga, 7 domba peranakan merino, 187 domba priangan, 187 domba, 20, 27 fermentabilitas, 54 fermentasi, 76, 96 fosfor, 169 FSH, 141 HCG, 141 heritabilitas, 7 iklim mikro, 35 jaringan komunikasi, 107 jerami padi, 96 kacang kedelai sangrai, 27 kalsium, 169 kambing PE, 96 kambing, 146 karakteristik karkas, 162 karakteristik organoleptik, 1 karakteristik peternak, 176 kecernaan, 54, 96, 146 kekuatan benang, 187 194
Edisi Desember 2006
kelinci, 89 kelompok peternak, 107, 176 kerang, 169 klasifikasi jenis kelamin, 162 kolin klorida, 16 komposisi mineral, 70 konformasi butt shape, 162 konsumsi, 146, 155 kromium organik, 54, 83, 121 kromium, 54, 83 kulit Pensi, 70 Lactobacillus plantarum, 76 media massa, 107 mikroba rumen, 20, 121 mineral organik, 27 mineral, 20 modifikasi lingkungan, 35 mortalitas, 155 nutrien ransum, 146 pakan kaya serat, 146 pertambahan bobot badan, 155 pertumbuhan, 47, 63 peternak sapi potong, 107, 176 potongan komersial, 63 protein turn over, 47 ragi tape, 83, 121, 155 rasio konversi pakan, 155 respon fisiologis, 35 Rhyzopus oryzae, 83, 121 sabun mineral, 27 Saccharomyces cerevisiae, 83, 121 sapi Australian commercial cross, 63 sapi Brahman cross, 63, 162 sapi peranakan FH, 35 sapi potong, 63, 141, 162 sifat fisik, 70, 76, 146 sikap mental, 176 siput, 169
stimulasi listrik, 1 superovulasi, 133 suplemen katalitik, 20 susu, 96
tikus, 155 ubi jalar, 89 urea, 89 vitamin C, 133
Edisi Desember 2006
195
PANDUAN BAGI PENULIS Ketentuan Umum 1. Naskah yang dikirim belum pernah diterbitkan. 2. Lingkup jurnal ini memuat hal ikhwal yang menyangkut peternakan dalam bentuk hasil penelitian yang berisi analisis kebijakan dan gagasan dengan topik yang aktual. 3. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. 4. Penulis diminta mengirimkan 3 (tiga) eksemplar naskah ke redaksi yang dilengkapi dengan disket berisi naskah yang diketik pada program Microsoft Word. 5. Jadual penerbitan pada bulan April, Agustus, dan Desember. Standar Penulisan 1. Naskah ditulis dengan jarak 2 spasi kecuali Judul, Abstrak, Judul Tabel, Judul Gambar, dan Lampiran yang diketik 1 spasi. Naskah dicetak pada kertas ukuran A4 dengan jumlah 12-20 halaman termasuk tabel dan gambar yang dicetak terpisah dari teks. 2. Huruf standar yang digunakan untuk penulisan adalah Times New Roman font 12. 3. Naskah disusun dengan urutan judul, nama penulis dan nama instansi, abstrak, pendahuluan, metode (sosial ekonomi), materi dan metode (selain sosial ekonomi), hasil dan pembahasan, kesimpulan, ucapan terima kasih (kalau ada), serta daftar pustaka. Tata Cara Penulisan Naskah 1. Judul harus singkat, jelas, spesifik dan informatif yang mencerminkan secara tepat isi naskah. Panjang judul maksimal 14 kata untuk naskah berbahasa Indonesia dan 10 kata untuk naskah berbahasa Inggris. Penulisan judul menggunakan Times New Roman font 14, 1 spasi, bold dan awal kata menggunakan huruf kapital. 2. Nama penulis sesuai dengan pencantuman untuk pustaka. 3. Nama lembaga/institusi disertai dengan alamat lengkap, nomor telepon dan e-mail. 4. Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris baik untuk naskah berbahasa Indonesia maupun naskah berbahasa Inggris, tidak melebihi 200 kata, dalam satu paragraf, serta 1 spasi. 5. Kata kunci (key words) maksimal 5 (lima) kata ditulis 2 spasi setelah abstrak, dan dicetak miring. 6. Pendahuluan ditulis secara efisien dan menggambarkan latar belakang, tujuan, dan pustaka yang mendukung. 7. Materi dan Metode (Hasil penelitian) ditulis secara lengkap, terutama hal-hal yang menyangkut desain penelitian. 8. Hasil dan Pembahasan memuat hasil yang diperoleh serta bahasan ringkas mencakup permasalahan yang dikaji. 9. Kesimpulan ditulis secara ringkas tetapi menggambarkan substansi hasil penelitian yang diperoleh. 10. Ucapan Terima Kasih kalau ada. 11. Tabel : a) Huruf standar yang digunakan untuk penulisan judul dan tubuh Tabel adalah Times New Roman font 11, spasi 1. b) Judul berupa kalimat singkat, jelas, hanya kata pertama yang menggunakan huruf kapital, diletakkan di atas Tabel, dan diberi nomor urut dengan angka arab. c) Garis pemisah dibuat dalam bentuk horisontal (mendatar), tiga garis, untuk memisahkan kepala kolom (perlakuan) dan data; serta garis bantu horisontal lainnya yang dibuat seperlunya. d) Keterangan Tabel ditulis menggunakan font 10, 1 spasi. Penulisan keterangan signifikasi data secara statistik, menggunakan kalimat “superskrip berbeda pada baris/kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata/sangat nyata (P<0,05)/(P<0,01)”.
196
Edisi Desember 2006
12. Gambar dan Grafik a) Judul menggunakan jenis huruf yang seragam dengan naskah, font 11, 1 spasi, diletakkan di bawah Gambar dan Grafik, berupa kalimat singkat, jelas (hanya kata pertama yang menggunakan huruf kapital), serta diberi nomor urut sesuai dengan letaknya. b) Grafik dibuat dalam program Excel. 13. Foto harus mengkilap baik berwarna maupun hitam putih dan mempunyai ketajaman yang baik disertai nomor dan judul berukuran 5 R. 14. Tatanama latin 2 atau 3 kata (dicetak miring) digunakan untuk tanaman, hewan, serangga, mikroorganisme dan penyakit. Nama lengkap kimia digunakan untuk senyawaan pada penyebutan pertama kali. Nama umum atau generik dapat pula digunakan. 15. Satuan pengukuran dipakai Sistem Internasional (SI). 16. Penulisan angka desimal dalam tabel untuk bahasa Indonesia dipisahkan dengan koma ( , ), untuk bahasa Inggris dengan titik ( . ). 17. Daftar Pustaka : a) Menggunakan referensi 10 tahun terakhir dengan proporsi pustaka primer (jurnal) minimal 80%. b) Memuat nama pengarang yang dirujuk dalam naskah, disusun menurut abjad pengarang dan tahun penerbitan. Untuk buku dicantumkan semua nama penulis, tahun, judul buku, penerbit dan tempat. Untuk jurnal dicantumkan nama penulis, tahun, judul tulisan, nama jurnal, volume, nomor publikasi dan halaman. Artikel dalam buku dicantumkan nama penulis, tahun, judul tulisan, editor, judul buku, penerbit dan tempat. Beberapa contoh penulisan sumber acuan adalah sebagai berikut : Buku Sihombing, D. T. H. 1997. Ilmu Ternak Babi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Tizard. 1998. Pengantar Imunologi Veteriner. Edisi ke-2. Terjemahan : Masduki Partodirejo. Airlangga University Press, Surabaya. Jurnal Fontenot, J. P. & K. E. Webb. 1975. Health aspect of recycling animal waste by feeding. J. Anim. Sci. 40:1267-1275. Artikel dalam Buku Davey, C. L. & R. J. Winger. 1988. Muscle to meat (biochemical aspects). In: H. R. Cross & A. J. Overby (Eds.). Meat Science, Milk Science and Technology. Elsevier Science Publisher B. V., Amsterdam. Prosiding Wery, S. & A. W. Gunawar. 1994. Pertumbuhan dan perkembangan Schizophyllum commune in vitro dan in vivo. Di dalam: Peranan Mikrobiologi dalam Industri Pangan. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan. 20 Agustus 1994. Bogor. Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia Cabang Bogor. Hlm. 170-177. Skripsi/Tesis/Disertasi Setyorini, D. 1994. Kajian proses demineralisasi dan deliming dalam ekstraksi gelatin dari kolagen tulang sapi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Internet Steven, P. V. 1992. Gelatin. http://www.gelatin.co.za/gltn.html. [27 Juli 2003]. Steiger, D.M. 1998. Enhancing user understanding in a Decision Support System: A theoritical basis and framework. Journal of Management Information Systems. Vol. 15(2):199-221. http:// gateway.proquest.com/fmt=html. [21 April 2004]. 18. Heading : a) Heading, diketik kapital, bold, diletakkan di tengah; meliputi ABSTRACT, PENDAHULUAN, MATERI DAN METODE, HASIL DAN PEMBAHASAN, KESIMPULAN, UCAPAN TERIMA KASIH, DAFTAR PUSTAKA. Edisi Desember 2006
197
b) Sub-heading, diketik menggunakan huruf kapital pada awal kata, diletakkan di tengah, bold. c) Sub-sub-heading, diketik menggunakan huruf kapital hanya pada awal kalimat, diletakkan di awal paragraf, bold, dan diikuti titik. Teks diketik dua ketuk setelah judul sub-sub-heading. Penerbitan 1. Penentuan layak tidaknya naskah yang akan dipublikasikan, ditentukan oleh penyunting ahli. 2. Penulis berkewajiban memperbaiki naskah sesuai saran dari penelaah. 3. Penulis yang naskahnya dimuat wajib berlangganan Media Peternakan selama satu tahun dan membayar kontribusi sebesar Rp 250.000,00 untuk penulis dalam IPB dan Rp 300.000,00 untuk penulis luar IPB, serta berhak mendapatkan empat buah cetak lepas. 4. Hak cipta naskah yang dimuat ada pada Media Peternakan. Alamat untuk korespondensi Alamat untuk korespondensi dan pengiriman naskah: Redaksi Media Peternakan d/a Fakultas Peternakan IPB, Jl. Agatis, Kampus IPB Darmaga Bogor 16680. Telp. (0251) 421692, 628394, 622841, Fax. (0251) 622842, e-mail:
[email protected]
198
Edisi Desember 2006
TERIMA KASIH Kepada : Aminuddin Parakkasi Andi Djajanegara Anita S. Tjakradidjaja Arief Boediono Budi Haryanto Cece Sumantri Denny Widaya Lukman Eddie Gurnadi Eko Pangestu Hadiyanto Hardi Prasetyo Harimurti Martojo Heri Ahmad Sukria I Ketut Saka I Wayan Rusastra Ibnu Katsir Amrullah Ignatius Kismono Ismeth Inounu Khalil Komang G. Wiryawan M. Winugroho Made Nitis Mirnawati Bachrum S. Moh.Yamin
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Departemen Anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor Balai Penelitian Ternak Ciawi,Bogor Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Departemen Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang Departemen Sosial Ekonomi Industri Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Balai Penelitian Ternak Ciawi,Bogor Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Bali Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor Fakultas Peternakan Universitas Andalas Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor Fakultas Peternakan Universitas Udayana Bali Departemen Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor
Edisi Desember 2006
199
Muladno Nahrowi Nurmala Pandjaitan Nyoman Suthama Pallawarukka Peni S. Hardjosworo Rachjan G. Pratas Rachmat Herman Rarah Ratih A. M. Ronny R. Noor Rudy Priyanto Salundik Siti Wahyuni Sofjan Iskandar Sri Mulatsih Sri Supraptini Mansjoer Suryahadi Tantan R. Wiradarya Toto Toharmat U. Hidayat Tanuwiria Wasmen Manalu Yuli Retnani
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Fakultas Ekologi Manusia Insititut Pertanian Bogor Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor Departemen Sosial Ekonomi Industri Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor
yang telah berpartisipasi sebagai Mitra Bestari Media Peternakan Volume 29 Tahun 2006.
200
Edisi Desember 2006
FORMULIR BERLANGGANAN Dengan ini saya/kami kirimkan permohonan berlangganan MEDIA PETERNAKAN, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, terhitung mulai Volume ……………. Nomor……………. Tahun ………….. Mohon Jurnal tersebut dapat disampaikan kepada : Nama : Alamat : Telp. : Bersama ini dilampirkan copy bukti pembayaran melalui : Bank BNI, No. Rekening 0003630564 atas nama Erlin Trisyulianti, Media Peternakan, Fakultas Peternakan-IPB Pos wesel 3 Edisi/Tahun Rp. 45.000,Ongkos kirim Rp. 10.000,- (per 1 kali pengiriman) ……………….., …………….200… Pelanggan,
(
Pengirim
)
Kepada Redaksi Media Peternakan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor D/a Fakultas Peternakan, Jl. Agatis, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 Telp. (0251) 421692, 628394, 622841
Edisi Desember 2006
201