Mbaru Niang dari segi sosial masyarakat Beberapa nilai sosial masyarakat yang dapat dilihat dari Mbaru Niang dan masyarakat yang tinggal di Wae Rebo yaitu: 1. Sebelum berangkat atau pulang dari ladang, warga biasanya bercengkrama di atas batu compang pada bundaran tanah yang ditinggikan di tengah
halamannya, warga saling
berinteraksi dan menjalin keakraban antara sesamanya. 2. Mbaru Niang dibuat dalam pola melingkar dengan pintu setiap mbaru niang dibangun menghadap ke compang (batu pada bundaran tanah yang ditinggikan pada bagian tengah halaman), hal ini menunjukkan kokohnya nilai persatuan. 3. Tak adanya pagar yang membatasi masing-masing Mbaru Niang, menunjukkan kuatnya semangat kebersamaan, kekeluargaan dan kegotongroyongan. 4. Setiap orang luar yang datang ke daerah Wae Rebo selalu dianggap anak, dianggap saudara, dianggap keluarga. 5. Laintai dasar yang disebut tenda pada Mbaru Niang menjadi tempat berlangsungnya kegiatan para penghuni Mbaru Niang yang dibagi dua yakni nolang dan lutur. Nolang merupakan zona privat tempat aktivitas keluarga, terdiri kamar tidur dan tungku. Lutur adalah zona publik tempat tamu beraktivitas. Pemisahan ini menunjukan adanya nilai saling menghormati antara tamu dan keluarga yang tinggal di Mbaru Niang. Meskipun ada pemisahan, para tamu dan keluarga yang tinggal masih pada tingkat/ lantai yang sama, hal ini menunjukkan persamaan derajat antara tamu dan keluarga di Mbaru Niang. 6. Titik pusat rumah berada di tiang bongkok atau tiang utama. Dalam keseharian, masingmasing keluarga di rumah adat menempati ruang berukuran sekitar 4 x 3 meter di bagian rumah. Pintu-pintu kamar menghadap ke tiang bongkok yang melambangkan hak setiap penghuni rumah yang sama rata. 7. Proses memasak dilakukan di hapo (dapur), masing-masing keluarga mempunyai (likang) tersendiri namun letaknya masih satu tempat dengan keluarga lainnya. Jika ada rezeki berlebih, tak jarang penghuni Mbaru Niang berbagi makanan dengan penghuni lainnya. Pola hidup yang sangat jarang kita temui di kota-kota besar. 8. Hak untuk menghuni rumah adat diperoleh melalui penunjukan oleh tetua masing-masing pewaris keturunan. Biasanya hak diberikan kepada anak laki-laki tertua dalam keluarga. Namun, posisi itu dapat digantikan oleh anak lain melalui musyawarah adat.
9. Sikap hidup masyarakat Wae Rebo yang rendah hati tecermin dalam penggunaan ikat kepala yang disebut sappu. Ikatan yang rata, tanpa lengkungan ke atas, menunjukkan sikap rendah hati. Sikap ini diejawantahkan dalam keramahan menyambut orang yang datang berkunjung. 10. Di Wae Rebo, masyarakat mandi menggunakan air pancuran yang jaraknya lebih kurang 200 meter dari kampung. Pemandian antara laki-laki dan perempuan dipisahkan. Tempat mandi selain digunakan untuk kegiatan mandi dan mencuci, juga sebagai sarana berinteraksi bagi masyarakat. Proses komunikasi antar satu anggota masyarakat dengan anggota lainnya dijaga meskipun hingga ke pemandian. Kondisi inilah yang menjadikan masyarakat Waerebo tak terusik pengaruh paham individual, ada proses komunikasi dan kebersamaan yang tetap dijaga hingga sekarang.
Mbaru Niang dari segi lingkungan alam 1. Wae Rebo diperkirakan telah ada sejak 1000 tahun lalu. Sejak leluhur Wae Rebo, Empo Maro, memutuskan menetap di Wae Rebo yang artinya mata air. Hingga sekarang, sudah 19 generasi yang menempati Wae Rebo tanpa terputus, menjaga tradisi Empo Maro. Alam bagi masyarakat Wae Rebo sudah menjadi sahabat, guru dan warisan leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan. Dari alam semua kehidupan masyarakat Wae Rebo berasal. Proses menjaga dan melestarikan alam telah mengantarkan masyarakat disini menjadi masyarakat yang tidak lupa akan kodratnya sebagai manusia. 2. Penghormatan kepada leluhur, keterikatan dengan tanah air, dan pelestarian tradisi turun temurun menjadikan masyarakat Wae Rebo bertahan hidup di lingkungannya yang jauh dari keramaian. Masyarakat Wae Rebo tidak anti modernisasi tetapi mereka senantiasa menjaga tradisi dengan menyaring modernisasi. 3. Semua bahan untuk membangun Mbaru Niang berasal dari alam. Dinding Mbaru Niang dibuat dari kayu yang diambil dari hutan. Proses penebangan kayu tidak bisa dilakukan sembarangan. Ada prosesi adat yang harus dilewati sebelum dilakukan penebangan. Atapnya dibuat dari ijuk yang ditempatkan diatas bambu utuh. Lantainya pun dibuat dari kayu. 4. Bangunan Mbaru Niang menggunakan teknologi ikat (tidak menggunakan paku) pada sambungan struktur bangunan. Rotan menjadi pengikat bambu dan kayu. Hasilnya menciptakan bangunan yang kokoh tapi fleksibel. Bangunan Mbaru Niang diteliti oleh peneliti ITB bisa tahan gempa. Sejak ratusan tahun lalu, leluhur sudah bisa hidup harmonis
dan tahu kondisi alam Manggarai yang rawan gempa, sehingga diciptakanlah Mbaru Niang yang bisa tahan gempa. Wae Rebo bisa menjadi contoh komunitas yang terbukti bisa bertahan seribu tahun dalam lingkungan rawan bencana gempa. 5. Masyarakat Wae Rebo hidup dengan bergantung pada alam. Saat ini ada 44 keluarga yang tinggal di Wae Rebo dengan mata pencaharian utamanya berkebun. Mereka menanam kopi, cengkeh, dan umbi-umbian. Perempuan Wae Rebo, selain memasak, mengasuh anak, dan menenun, juga membantu kaum lelaki di kebun. Laki-laki Wae Rebo biasanya turun ke Pasar Kombo di Denge di hari Minggu, membawa kopi hasil kebun. Hasil penjualan kopi digunakan untuk membeli bahan kebutuhan pokok, seperti beras dan lauk pauk. 6. Masyarakat yang tinggal di mbaru Niang terbiasa mengatur pembagian hasil panen mereka dari alam, pembagian diatur untuk bahan makanan sehari-hari, untuk benih yang akan ditanam kembali dan juga untuk cadangan makanan pada musim paceklik. Mereka bisa menyiapkan diri untuk keadaan yang tidak diharapkan seperti kemungkinan gagal panen dan musim kemarau. 7. Prof. Gunawan Tjahjono, Guru Besar Arsitektur UI menyatakan dalam buku Pesan dari Wae Rebo bahwa “Pemahaman akan kebutuhan bersahabat dengan alam itu bagi masyarakat perlu diturunkan kepada generasi berikutnya sejauh pengalaman cara berhubungannya pernah membuahkan hasil gemilang yang membahagiakan semua anggota.”
DAFTAR PUSTAKA Irawan, Yoni. 2013. Mbaru Niang, Mutiara di Timur Indonesia, http://www.kompasmuda.com/ diakses: 22-10-2013; 12:50 Joepoet, Junaidi. 2013. Desa Wae Rebo, Menjaga Mbaru Niang, http://www.ranselkosong.com/ diakses: 22-10-2013; 13:02 Nyoman, Leonardus dan Martinus Anggo. 2010. A Journey to Wae Rebo Traditional Village. http://baltyra.com/ diakses: 22-10-2013; 16:02