Hanafi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1989), 13.
Ibid.,
Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), 12.
Rachmat Syafi'i, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 20-23.
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 100.
Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushul Fiqh, 5.
Rachmat Syafi'i, Ilmu Ushul Fiqh, 24-25.
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Ushul Fiqh,101.
Ibid., 100-101.
Ibid., 103.
Rachmat Syafi'i, Ilmu Ushul Fiqh, 23.
Ibid., 24.
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Ushul Fiqh,134.
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Ushul Fiqh, 13.
Ibid., 14.
Ibid., 16.
Ibid., 18-20.
Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushul Fiqh, 5.
Ibid., 5-6.
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Ushul Fiqh,43.
Arwave, Ruang Lingkup Kajian Ilmu Fiqh, dalam http://www.google.schoolarship-google-cendekia, di akses pada tanggal 8 September 2017 pukul 19.20 WIB.
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Ushul Fiqh, 111.
Ibid., 114
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dari kumpulan hukum-hukum syariat yang berhubungan dengan tindakan manusia yang diambil dari nash-nash yang ada atau pembentukan hukum berdasarkan dalil syariat yang tidak ada nash nya, terbentuklah ilmu fiqh.
Berdasarkan penelitian, para ulama telah menetapkan bahwa dalil secara detail yang dapat diambil sebagai hukum syariat yang sebangsa perbuatan itu ada empat: Al-Qur'an, As Sunnah, Al-Ijma', dan Al-Qiyas. Dan sumber-sumber pokok dalil-dalil tersebut serta pengikat kebebasannya dan serta sebagai penerang serta penyempurna.
Dengan berbagai permasalahan baru yang makin kompleks diharapkan muncul hukum syari'at yang memberikan kebenaran serta keadilan melalui kedua ilmu kajian yang diharapkan nantinya dapat dipahami serta dimengerti oleh mahasiswa.
B. Rumusan Masalah
Apa pengertian Ushul Fiqh ?
Apa saja kegunaan Ushul Fiqh ?
Apa saja ruang lingkup kajian Ushul Fiqh ?
Apa pengertian Fiqh ?
Apa saja kegunaan ilmu Fiqh ?
Apa saja ruang lingkup kajian ilmu Fiqh ?
Bagaimana hubungan Ushul Fiqh dengan ilmu Fiqh ?
C. Tujuan
Setelah mempelajari materi makalah ini diharapkan mahasiswa dapat:
Dapat memahami pengertian Ushul Fiqh.
Dapat memahami kegunaan Ushul Fiqh.
Dapat memahami ruang lingkup kajian Ushul Fiqh.
Dapat memahami pengertian Fiqh.
Dapat memahami kegunaan ilmu Fiqh.
Dapat memahami dan mengetahui ruang lingkup kajian ilmu Fiqh.
Dapat memahami dan mengetahui ruang lingkup kajian ilmu Fiqh.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Ushul Fiqh Dan Ruang Lingkupnya
1. Pengertian Ushul Fiqh
Kata "ushul fiqh" terdiri dari dua kata, yaitu ushul ((اصول, yaitu sumber atau dalil dan fiqh(الفقه) , yaitu mengetahuai hukum-hukum syara' tentang perbuatan praktis mukallaf , seperti hukum wajib, haram, mubah, sah atau tidaknya sesuatu perbuatan dan lain-lain. Orang yang mengetahui hukum-hukum itu disebut faqih, sedangkan orang yang ahli dalam ushul fiqh adalah ushulliyin.
Hukum-hukum tersebut ialah bersumber pada Al-Qur'an, Hadist, Ijma', Qiyas. Dengan demikian yang dimaksud dengan ushul fiqh ialah dasar pemahaman metodologis terhadap sumber-sumber ajaran atau dalil-dalil, yang disebut sebagai metode istinbath hukum. Istinbath sendiri artinya ialah menggali atau mengeluarkan (istikhraj), al-ahkam artinya hukum-hukum yang terkandung dalam sumber hukum, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Ilmu ushul fiqh menyelidiki keadaan dalil-dalil syara' dan menyelidiki bagaimana cara dalil-dalil tersebut menunjukan hukum-hukum yang berhubungan dengan perbuatan orang dewasa atau mukallaf. Oleh karena itu, yang dibicarakan ushul fiqh ialah dalil-dalil syara' dari segi penunjuknya kepadsa hukum atas perbuatan orang mukallaf.
Ushul fiqh didefinisikan oleh ahli ushul dengan beragam. Ada yang menekankan pada ada fungsi ushul fiqh itu sendiri, dan ada pula yang menekankan pada hakikatnya. Namun, prinsipnya sama, yaitu ilmu pengetahuan yang objeknya dalil hukum syara' secsra global dengan semua seluk-beluknya.
Menurut Al-Baidhawi dari kalangan ulama syafi'iyah, ushul fiqh adalah ilmu pengetahuan tentang dalil fiqh secara global, metode penggunaan dalil tersebut, dan keadaan (persyaratan) orang yang menggunakanya. Ibnu Al-Subki mendenifisikan ushul fiqh sebagai himpunan dalil fiqh secara global.
Pendapat ini dikemukakan oleh Syeh Muhammad Al-Khudhury Beik, seorang guru besar Universitas Al-Azhar Kairo. Adapun Kamalludin Ibnu Humam dari kalngan ulama hanfiyah mendefinisikan ushul fiqh sebagai pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang dapat mencapai kemampuan dalam penggalian fiqh.
Sementara itu, Abdul Wahab Khalaf, Guru besar hukum di Universitas Kairo Mesir menyatakan "Ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan metode penggalian hukum-hukum syara' mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci atau kumpulan kaidah dan metode penelitian hukum syara' mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci.
Dengan demikian, ushuk fiqh adalah ilmu pengetahuan yang objeknya adalah dalil-dalil hukum atau sumber hukum dengan seluk-beluknya dan metode penggaliannya. Metode tersebut harus ditempuh oleh ahli hukum islam dalam mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya. Seluk-beluk tersebut antara lain menertibkan dalil-dalil dan menilai kekuatan dalil-dalil tersebut.
Sekarang ini, Istinbath hukum yang lebih relevan adalah istinbath dengan maksud syariat (roh Hukum), bahkan cenderung menggunakan kaidah fiqhiyah, seperti yang dilakukan o;eh para perumus Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Dalam merumuskannya, mereka mengacu pada kaidah-kaidah fiqhiyah sebagai suatu kerangka teori.
2. Kegunaan ushul fiqh
Kegunaan mempelajari ushul fiqh ialah mengetahui hukum-hukum syariat islam dengan jalan yakin (pasti) atau dengan jalan zhan (dugaan, perkiraan) untuk menghindari taklid (mengikuti orang lain tanpa mengetahui alasan-alasanya). Hal ini berlaku kalau memang ushul fiqh ini benar-benar digyunakan menurut semestinya, yaitu mengambil hukum soal-soal cabang dari soal-soal yang pokok atau dengan mengmbalikan soal-soal cabang pada soal-soal pokok. Yang pertama adalah pekerjaan ahli ijtihad (mujjahid) dan yang kedua adalah pekerjaan muttabi.
Tujuan ilmu Ushul Fiqh menurut Abdul Wahab Kholaf adalah menerapkan kaidah dan pembahasannya pada dalil-dalil yang detail untuk diambil hukum syara'nya. Sehingga dengan kaidah dan pembahasannya dapat dipahami nash-nash syara' dan dengan hukum-hukum yang dikandungnya, dapat diketahui sesuatu yang memperjelas kesamaran nash-nash tersebut dan dan nash mana yang dimenangkan ketika terjadi pertentngan antara sebagian nash dengan yang lain.
Ushul fiqh berguna untuk mengeluarkan ketentuan atau ketetapan hukum dari sumber hukum islam, yakni Al-Qur'an, melalui penerapan kaidah-kaidah ushul yang berlaku. Dengan memahami ushul fiqh dan menerapkanya, orang islam akan terhindar dari sikap taklid. Ushul fiqh adalah metode istinbath hukum yang berguna untuk mengeluarkan dalil-dalil bagi perbuatan mukallaf, dan menetapkan hukum dan melaksanakan suatu perintah yang bersangkutan.
Selain kegunaan diatas, ushul fiqh berguna juga untuk hal-hal dibawah ini:
Memberikan pengertian dasar tentang kaidah-kaidah dan metodologi para ulama mujtahid dalam menggali hukum.
Menggambarkan persyaratan yang harus dimiliki seorang mujtahid, agar mampu menggali hukum syara' secara tepat, sedangkan bagi orang awam supaya lebih mantab dalam mengikuti pendapat yang dikemukakan oleh para mujtahid setelah mengetahui cara yang mereka gunakan untuk berijtihad.
Memberi bekal untuk menentukan hukum melalui metode yang dikembangkan oleh para mujtahid, sehingga dapat memecahkan berbagai persoalan baru.
Memelihara agama dai penyimpangan dan penyalahgunaan dalil. Dengan berpedoman pada ushul fiqh, hukum yang dilakukan melalui ijtihad tetap diakui syara'.
Menyusun kaidah-kaidah umum (asas hukum) yang dapat dipakai untuk menetapkan berbagai persoalan dan fenomena sosial yang terus berkembang dimasyarakat.
Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid, sejalan dengan dalil yang mereka gunakan. Dengan demikian, para peminat hukum islam (yang belum mampu berijtihad) dapat memilih pendapat mereka yang terkuat disertai alasan-alasan yang tepat.
Gambaran keunggulan ushul fiqh akan lebih jelas manakala menerapkan kaidah ushuliyah lughawiyah, misalnya di dalam Al-Quran terdapat ayat Aqim ash-shalat. Kata aqim adalah kata perintah atau fi'lu al-amr, lalu digunakan kaidah: al-ashl fi al-amr lilwujub. Asal dari perintah itu wajib. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa melaksanakan shalat itu hukumnya wajib. Lalu, ditanyakan apa saja shalat yang wajib itu? Jawabanya dapat dicari dalilnya dari Al-Quran dan Hadist. Misalnya dalam hadist, Rasullullah SAW. Pernah ditanya oleh sahabat:
ما فر ض ا لله علي من ا لصّلا ة ؟ قا ل: ا لصّلوا ة ا خمسة'
Artinya:"Shalat apa yang diwajibkan oleh Allah kepadaku? Rasulullah SAW, menjawab, " Shalat lima waktu".
Dengan hadist tersebut, asal dari perintah wajib itu adalah perintah tentang shalat lima waktu, kecuali ada dalil yang menyimpangkanya. Sebagaimana terdapat dalil-dalil tentang shalat-shalat sunnah meskipun dalam konteks kalimatnya digunkan pula dengan kata kerja perintah.
Apabila dalil tentang wajibnya shalat ditetapkan oleh Al-Quran, tentu harus ditemukan ayat yang berhubungan secara langsung dengan perintah mendirikan shalat, misalnya firman Allah SWT. Dalam surat Al-Isra' ayat 78 yang artinya: " Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah shalat pula) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)." (Q.S.Al-Isra':78)
Kata aqim merupakan fi'lu al-amr maka kaidah ushul fiqhnya pun sama, al-ashl fi al-amr lilwujub. Ayat tersebut menetapkan kewajiban shalat ketika matahari tergelincir, yakni dhuhur dan ashar, dan shalat ketika matahari terbenam menuju gelap malam, yakni magrib dan isya', serta shalat fajar, yakni shalat subuh.
Itulah gambara kegunaan ushul fiqh dalam kaitannya dengan penerapan kaidah bahasa dan kaidah hukum, sedangkan dalam konteks yang lebih luas, ushul fiqh membahas tentang makna leksikal suatu dalil yang terdapat dalam Al-Qur'an maupun Al-Hadits, seperti pembahasan tentang manthuq dan mahkum.
3. Ruang lingkup kajian ushul fiqh
Dari definisi ushul fiqh diatas, terlihat jelas bahwa objek kajian ushul fiqh secara garis besarnya ada tiga, yaitu:
Sumber hukum dengan semua seluk-beluknya.
Metode pendayagunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari sumbernya.
Persyaratan orang yang berwenang melakukan istinbath dengan semua permasalahanya.
Muhammad Al-Juhaili memerinci objek kajian ushul fiqh sebagai berikut:
Sumber-sumber hukum syara' baik yang disepakati seperti Al-Quran dan As-Sunnah, maupun yang dipersilisihkan, seperti ihtisan dan mashlahah mursalah.
Pembahasan tentang ijtihad, yakni syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang melakukan ijtihad.
Mencarikan jalan keluar dari dua dalil yang bertentangan secara zahir, antara ayat dan ayat atau sunnah dan sunnah, baik dengan jalan pengompromian (Al-jam'u wa At-taufiq), penguatan salah satu (tarjih), pengguguran salah satu atau kedua dalil yang bertentangan (nasakh/tatsaqut Ad-dalilain).
Pembahasan hukum syara' yang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya, baik bersifat tuntutan, larangan, pilihan atau keringanan (rukhsah). Juga dibahas tentang hukum, hakim, mahkum alaih (orang yang dibebani), dan lain-lain.
Pembahasan kaidah-kaidah yang digunakan dalam meng-istinbath hukum dan cara menggunakanya.
Ushul fiqh merupakan timbangan atau ketentuan untuk istinbath hukum dan objeknya selalu dalil hukum, sementara objek fiqihnya selalu perbuatan mekallaf yang diberi status hukumnya. Walaupun ada titik kesamaan, yaitu keduanya merujuk pada dalil, namun konsentrasinya berbeda, yaitu ushul fiqh memandang dalil dari sisi cara penunjukan atas suatu ketentuan hukum, sedangkan fiqh memandang dalil hanya sebagai rujukanya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalil sebagai pohon yang dapat melahirkan buah, sedangkan fiqh sebagai buah yang lahir dari pohon tersebut. Demikian menurut Rahmat Syafi'i. Ushul fiqh merupakan metode yang sangat logis dalam menyusun terminologi dan kesimpulan. Penalaran logisnya terlihat dalam kaidah-kaidah yang dipergunakan untuk mengeluarkan kandungan hukum yang terdapat dalam sumber ajaran islam.
Para ulama menyepakati bahwa ushul fiqh merupakan salah satu sarana untuk mendapatkan hukum-hukum Allah sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT. Dan Rasulnya, baik yang berkaitan dengan masalah akidah, ibadah, muamalat, uqubah, bahkan maupun akhlak.
B. Konsep Fiqh dan Ruang Lingkupnya
1. Pengertian Fiqh
Menurut bahasa, "fiqh" berasal dari "faqiha yafqahu-fiqhan" yang berarti mengerti atau paham. Paham yang dimaksudkan adalah upaya aqliah dalam memahami ajaran-ajaran islam yang bersumber adri Al-Quran dan As-Sunnah. Al-Fiqh menurut bahasa adalah mengetahui sesuatu dengan mengerti (al-'ilmbisyai 'i ma'al-fahm). Ibnu Al-Qayyim mengatakan bahwa fiqh lebih khusus daripada paham, yakni pemahaman mendalam terhadap berbagai isyarat Al-Quran, secara tekstual maupun kontekstual.
Tentu saja, secara logika, pemahaman akan diperoleh apabila sumber ajaran yang dimaksudkan bersifat tekstual, sedangkan pemahaman dapat dilakukan secara tekstual maupun kontekstual. Hal dari pemahaman terhadap teks-teks islam disusun secara sistematis agar mudah diamalkan.
Oleh karena itu, ilmu fiqh merupakan ilmu yang mempelajari ajaran islam yang disebut dengan syariat yang bersifat amaliah (praktis) yang diperoleh dari dalil-dalil yang sistematis.
Rasyid Ridha mengatakan pula bahwa dalam al-Qur'an banyak ditemukan kata-kata fiqh yang artinya adalah paham yang mendalam dan amat luas terhadap segala hakikat, yang dengan fiqh itu, seorang alim menjadi ahli hikmah (filosof), pengamal yang memiliki sikap yang teguh.
Studi fiqh merupakan studi yang paling luas dalam islam. Sejarahnya lebih tua daripada studi islam lainnya. Ia telah dipelajari pada skala yang sangat luas sepanjang masa itu. Banyak fuqaha yang telah tampil dalam islam dan jumlah mereka tidak dapat dihitung.
Kata fiqh dan tafaquh berarti pemahaman yang dalam. Keduanya sering digunakan dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits. Sebagaimana disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 122 yang artinya "Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya supaya mereka itu dapat menjaga dirinya".(Q.S.At-Taubah:122).
Rasulullah SAW. Telah memerintahkan beberapa diantara para sahabat untuk memahami secara mendalam (taffaquh) atau telah memilih mereka sebagai ahli fiqh atau fuqaha (bentuk jamak dari faqh).
Dalam terminoligi Al-Quran dan Sunnah, faqh adalah pengetahuan yang luas dan mendalam mengenai perintah-perintah dari realitas islam dan tidak memiliki relevansi khusus dengan bagian ilmu tertentu. Akan tetapi, dalam terminologi ulama, istilah fiqh secara khusus diterapkan pada pemahaman yang mendalam atas hukum-hukum islam.
Adapun menurut pengertian fuqaha (ahli hukum islam), fiqh merupakan pengertian zhanni (sangkaan; dugaan) tentang hukum syariat yang berhubungan dengan tingkah laku manusia. Ahli fiqh disebut faqih/jamaknya fuqaha, sebagaimana orang-orang yang banyak ilmunya disebut ulama, yang jika seorang diri disebut alim.
Pemahaman ulama terhadap syariat amaliyah atau hukum-hukum islam yang praktis didasarkan pada proses pemikiran yang mendalam, sehinggga fiqh merupakan bagian dari ijtihad dan sudah tentu hasil pemikiran para fuqaha sama dengan hasil pemikiran para mujtahid. Apabila terdapat pemahaman tentang zhanni-Nya produk fuqaha, hal tersebut disebabkan dari pandangan awal bahwa hukum islam yang digali oleh para fuqaha tidak terlepas dari berbagai perbedaan pemahaman fiqhiyah. Oleh sebab itu, yang zhanni bukan hanya fiqh sebagai ilmu, tetapi produknya pun bersifat zhanni, sehingga dalam tata cara pelaksanaan hukum islam, dari hal-hal yang menjadi bagaian dari furu'iyah selalu terdapat perbedaan.
Sebagai contoh, ketika para ulama menafsirkan salah satu lafazd yang terdapat dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 6. Dimana para ulama berbeda pendapat dalam memahami kata
ا ب ر ء و سكم و ا مسحو (dan sepuluh kepalamu), ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan birusikum adalah sebagian rambut dikepala. Dengan demikian, huruf "ba" yang terdapat pada kata itu berarti sebagaian, sedangkan ulama lainya berpendapat bahawa yang dimaksud dengan birusikum adalah membasuh seluruh rambut di kepala. Oleh karena itu huruf "ba" pada kata tersebut berarti keseluruhan.
Karena adanya perbedaan pemahaman huruf "ba" pada kata birusikum, praktik membasuh kepala pada saat berwudhupun berbeda. Mereeka yang bermahzab Syafi'i meyakini bahwa membasuh hanya sebagian, bahkan sehelai rambut dengan air ketika berwudhu itupun sudah sah, tetapi mereka yang bermahzab Maliki akan membasuh kepala secara keseluruhan, mulai rambut depan hingga belakang, dan berpandangan bahwa membasuh kepala secara keseluruhan merupakan cara berwudhu yang paling benar.
Perbedaan pemahaman yang terjadi dikalangan fuqaha merupakan bagian dari kajian ilmu fiqh dan ilmu ushul fiqh, sehungga apabila tejadi perbedaan pandangan sebagaimana kasus membasuh rambut ketika berwudhu, dalam ushul fiqh disebut dengan ta'arudh, yang jika terjadi pertentangan dapat dilakukan solusi tertentu, yaitu sebagai berikut:
Thariqah al-jam'i, yaitu mengompromikan kedua pendapat yang bertentangan sehingga keduanya dapat dilaksanakan, yang dlam bahasa ilmiah disebut dengan sintesis. Dalam perbedaan membasuh rambut jalan yang ditempuh dalam paham ini ialah menerima pendapat yang menyatakan membasuh rambut secara keseluruhan, karena jika membasuh seluruhnya, yang sebagainya telah diamalkan, jalan ini bukan berarti menyalahkan pendapat tentang "membasuh sebagain rambut" melainkan membenarkan pendapat tersebut sehingga keduanya dapat diamalkan.
Nasikh-mansukh, yaitu mencari dalil yang datang terlebih dahulu dan yang kemudian untuk diketahui apabila dalil yang datang kemudian menghapus kandungan dalil yang pertama.
Tarjih, yang menetapkan dalil yang terkuat dari segi riwayat maupun sanandnya, bahkan dari segi matanya, sebab meskipun dari riwayat dan sanadnya sahih tetapi jika matanya bertentangan dengan ayat Al-Quran, tentu harus ditinggalkan, misalnya ada hadist yang diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari tentang "badal haji" yaitu jika orang tua berniat naik haji, tetapi keburu meninggal dunia, maka ahli warisnya harus menghajikanya. Jika teks tersebut dipahami sebagai utang haji kepada Allah dari orang tua yang berniat haji, yang harus dibayar oleh ahli warisnya, seolah-olah perbuatan seseorang dapat dibebankan kepada orang lain. Padahal, Allah menyatakan bahwa setiap orang akan bertanggung jawab atas perbuatanya masing-masing dan pahala seseorang tidak tidak akan berpindah pada orang lain. Dengan demikian, ahli waris yang melaksanakan ibadah haji karena orang tuanya yang berniat haji keburu meninggal dunia dapat dipandang sebagai bagian dari kebaikan anak yang shaleh kepada orang tuanya. Anak yang shaleh harus merasa memiliki utang kepada Allah, jikka niat orang tuanya tidak tercapai, apalagi niatnya sangat mulia. Ketika anaknya melaksanakan badal haji, yang menjadi haji tentu dirinya, bukan orang tuanya.
Tawaquf, yaitu tidak melakukan pemecahan masalah dengan tiga hal di atas, karena tawaquf sebagai alternatif terahir. Permasalahan yang bertentangan dinyatakan sebagai status quo, menunggu ditemukanya keterangan lain atau informasi yang lebih akaurat mengenal masalah yang bersangkutan.
Itulah beberapa metode yang tedapat dalam fiqh manakala ada masalah yang saling bertentangan. Perbedaan yang berkaitan dengan pemahaman ulama atau fuqaha atas ajaran islam tidak akan dapat dihilangkan karena perbedaan merupakan hukum islam. Jika melihat sejarah agama islam yang telah disebarkan sejak masa Nabi Muhammad SAW. Pada zaman zakarang ini yang disebut sebagai abad milenium, tentu akan ada perbeedaan pemahaman historis, terlebih berkaitan dengan ayat-ayat Al-Quran yang ditulis dengan bahasa Arab. Orang islam pun tidak semuanya memahami bahasa Arab, dan bahasa Arabpun mengalami perkembangan karena bagian dari kebudayaan masyarakat yang juga bagian dari alat komunikasi.
2. Kegunaan Ilmu Fiqh
Kegunaan ilmu fiqh adalah menerapkan hukum syara' pada semua perbuatan dan ucapan manusia. Sehingga ilmu fiqh menjadi rujukan bagi seorang hakim dan putusannya, seorang mufti dalam fatwanya dan seorang mukallaf untuk megetahui hukum syara' atas ucapan dan perbuatannya. Ini adalah tujuan dari semua undang-undang yang ada pada umat manusia. Ia tidak memiliki tujuan kecuali menerapkan materi dan hukumnya terhadap ucapan dan perbuatan manusia, juga mengenalkan kepada mukallaf tentang hal-hal yang wajib dan yang haram baginya.
Dengan kaidah dan pembahasannya itu juga dapat dikeluarkan suatu hukum yang tidak memiliki nash dengan cara kias, istihsan, istishab atau yang lain; dapat benar-benar dipahami hukum yang telah dikeluarkan oleh imam-imam mujtahid; dapat dijadikan penimbang (sebab terjadinya) perbedaan madzhab diantara mereka terhadap suatu bentuk kejadian. Karena tidak mungkin memahami hukum dari satu sudut pandang atau membandingkan dua hukum yang berbeda kecuali dengan mengetahui dalil hukum dan cara penjabaran hukum dari dalilnya. Dan ini hanya dapat dilakukan dengan ilmu ushul fiqh yang merupakan dasar ilmu fiqh perbandingan.
3. Ruang Lingkup Kajian Ilmu Fiqh
Fiqh itu bukan syari'at, melainkan bagian kecil dari syariat. Hal ini terlihat dari cara syariat islam dalam penetapan dan pengelompokan hukum, yakni pengelompokan pada dua bagian: ibadah dan muamalah. Pembagian ini sesuai dengan tujuan umum syariat Islam, yakni untuk memenuhi kemashlahatan umat manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut, dua hubungan yang harmonis harus dipenuhi, yaitu hubungan vertikal antara manusia dan penciptanya, yang dituangkan dalam bentuk ibadah, dan hubungan horizontal antara manusia dengan manusia (al-mu'amalat). Bila kedua hubungan ini terpelihara, manusia akan hidup sejahtera.
Pokok bahasan dalam ilmu fiqh ialah perbuatan mukallaf, merupakan apa yang telah ditetapkan syara' tentang ketetapan hukumnya. Karena itu dalam ilmu fiqh yang dibicarakan tentang perbuatan-perbuatan yang menyangkut ghubungannya dengan tuhannya yang dinamakan ibadah dalam berbagai aspeknya, hubungan manusia sesamanya baik dalam hububgan keluarga, hubungan dengan orang lain dalam bidang kebendaan dan sebagainya. Dari hubungan-hubungan tersebut menumbuhkan beberapa pendapat para ulama fiqh. Menurut para Ulama Fiqh pada umumnya, poko pembahasan ilmu fiqh terdiri dari empat pembahasan yang sering disebut dengan Rubu'. Yaitu:
Rubu' Ibadah
Rubu' Muamalah
Rubu' Munakahat
Rubu' Jinayat
Ada lagi yang berpendapat tiga saja, yaitu bab ibadah, bab muamalah, bab uqtubat. Menurut Prof. T.M Hasbi Asy-Shidiq, bila kita perinci lebih lanjut dapat di kembangkan menjadi delapan pokok pembahahasan yaitu: ibadah ahwalul syasiah, muamalah madaniyyah, muamalah maliyah, jinayat, ukhtubah (pelanggaran dan hukuman), murafah atau muhasanah, ahmadustiriyyah, dan ahmadud du'aliyyah.
C. Hubungan antara Ushul Fiqh Dan Fiqh
Ilmu ushul fiqh memainkan peran logika dalam hubungannya dengan ilmu fiqh. Hubungan antar keduanya adalah hubungan antara teori dan aplikasinya, sebab ilmu ushul merumuskan teori-teori umum dengan menetapkan unsur-unsur umum dalam proses deduksi, sementara ilmu fiqh mengaplikasikan teori dan unsur umum itu pada unsur khusus yang berbeda dari suatu masalah ke masalah lain.
Saling berhubungan yang kuat antara ilmu ushul dan ilmu fiqh menjelaskan interaksi timbal balik antara pandangan ilmu ushul (yakni standar riset intelektual pada tatanan teori) dengan pandangsn ilmu fiqh (yakni standar riset intelektual pada tatanan aplikasi). Hal ini disebabkan pengembangan riset aplikasi akan memajukan riset teori berkat kenyataan bahwa pengembangan semisal ini akan mengungkapkan kesulitan baru yang sebelumnya tidak ada dan akan memaksa ilmu ushul untuk merumuskan teori-teori umum guna menyelesaikan kesulitan-kesulitan itu. Begitu pula akurasi dan ketelitian yang diperlukan dalam riset teori dalam tatanan aplikasi.
Hubungan antara fiqh dan ilmu ushul merupakan satu contoh relasi yang panjang dalam berbagai bidang, antara studi tentang teori dan aplikasinya.
Ilmu ushul fiqh itu kakak beradik dengan ilmu fiqh, sebab keduanya bagaikan tahkrij al-ahkam dengan takbid al-ahkam. Sebagaimana pengertian ushul fiqh yang terdiri dari dua kata, yaitu kata ushul untuk jamak dari ashl dan kata fiqh.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata "ushul fiqh" terdiri dari dua kata, yaitu ushul ((اصول, yaitu sumber atau dalil dan fiqh(الفقه) , yaitu mengetahuai hukum-hukum syara' tentang perbuatan praktis mukallaf , seperti hukum wajib, haram, mubah, sah atau tidaknya sesuatu perbuatan dan lain-lain.
Kegunaan mempelajari ushul fiqh ialah mengetahui hukum-hukum syariat islam dengan jalan yakin (pasti) atau dengan jalan zhan (dugaan, perkiraan) untuk menghindari taklid (mengikuti orang lain tanpa mengetahui alasan-alasanya).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalil sebagai pohon yang dapat melahirkan buah, sedangkan fiqh sebagai buah yang lahir dari pohon tersebut. Demikian menurut Rahmat Syafi'i. Ushul fiqh merupakan metode yang sangat logis dalam menyusun terminologi dan kesimpulan.
Fiqh itu bukan syari'at, melainkan bagian kecil dari syariat. Hal ini terlihat dari cara syariat islam dalam penetapan dan pengelompokan hukum, yakni pengelompokan pada dua bagian: ibadah dan muamalah. Pembagian ini sesuai dengan tujuan umum syariat Islam, yakni untuk memenuhi kemashlahatan umat manusia.
Saling berhubungan yang kuat antara ilmu ushul dan ilmu fiqh menjelaskan interaksi timbal balik antara pandangan ilmu ushul (yakni standar riset intelektual pada tatanan teori) dengan pandangsn ilmu fiqh (yakni standar riset intelektual pada tatanan aplikasi).
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, 1989. Ushul Fiqh, Widjaya, Jakarta.
Kholaf, Abdul Wahab, 2003. Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Amani, Jakarta.
Saebani, Beni Ahmad, 2009. Fiqh Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung.
Syafi'i, Rachmat, 1999. Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung.
Arwave, Ruang Lingkup Kajian Ilmu Fiqh, dalam http://www.google.schoolarship-google-cendekia
18