K Ko o m m p p p p i i l l a a s s i i R Ri i s s a a l l a a h h U Us s h h u u l l F Fi i q q h h
Di susun oleh:
a aa l l i i f f ff i i k k r r i i al l i i f f f fi i k k r r i i
2
Judul
Kompilasi : Kompilasi Risalah Ushul Fiqh
Penyusun
: alif fikri
Penyusunan
: 17 Maret 2010
Perhatian: EE -book penyebaran --book ini ini bertujuan untuk kepentingan kepentingan penyebaran ilmu dan da’wah semata, bukan diperjualbelikan bukan untuk diperjualbelikan atau tujuan komersial lainnya. Beberapa artikel tanpa keterangan penulis bukanlah karya penyusun. Penyusun hanya menyaring artikel tsb karena pertimbangan keilmuan.
هـ1431 ا ا ر ر1
3
Daftar Isi 1.
Kegunaan Mempelajari Ilmu Ushul Fiqh… …….. …..………………………………………… …………………………………………………………… Fiqh …….. ……………………………………………………………. ………………….……………..4 .……………..4
2. AlHakim……………………………………………………………………………………………………………………………………………….6 ……………………………………………………………………………………………………………………………………………….6 Al -Hakim --Hakim 3. As As -Sunnah Sunnah……………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………………………………. .…8 --Sunnah ……………………………………………………………………………………………………………………………………….…8 4.
Ijma’…………………………………………………………………………………………………………………………………………………….18 Ijma’ …………………………………………………………………………………………………………………………………………………….18
5.
Istihsan………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………….2 …………………………………………….28 Istihsan ………………………………………………………………………………………………… …………………………………………….2 8
6.
Istishhab……………………………………………………………………………………………………………………………………………. …………………………………………………………………………………………………………………………………………….34 Istishhab ……………………………………………………………………………………………………………………………………………. 34
7.
Shahabat………………………… ………………………….. …………………………………………………………………………………………..39 Madzhab Shahabat …………………………....………………………………………………………………………………………….. …………………………………………………………………………………………..39
8.
Mahkum Bihi……………………………………………………………………………………………………………………………………. Bihi…………………………………………………………………………………………………………………………………….41 …………………………………………………………………………………………………………………………………….41
9.
Fihi…………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………. Mahkum Fihi …………………………………………………………………………………………………………………………………….53 ……………………………………………………………….53
10. Qiyas Qiyas………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………………….……………………………… .………………………………….. …………………………………..………………….. …..…………………..58 …………………..58 11. Pengantar Ushul Fiqh Fiqh…………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………94 ……………………………………………………………………………………………………………………94 Ahmad Sahal Hasan, Lc
12. Sejarah Singkat Ilmu Ushul Fiqh……………………………………………………………………………………………… Fiqh ………………………………………………………………………………………………104 ………………………………………………………………………………………………104 Ahmad A Ahmad Sahal Hasan, Lc
13. Metode Penulisan Ushul Fiqh…………………………………………………………………………………………………..10 Fiqh …………………………………………………………………………………………………..109 …………………………………………………………………………………………………..109 Ahmad Sahal Hasan, Lc
4
KEGUNAAN MEMPELAJARI ILMU USHUL FIQH
Dimaksudkan dengan adanya kaidah-kaidah dalam Ilmu Ushul Fiqh, yaitu untuk diterapkan pada dalil-dalil syara' yang terperinci dan sebagai rujukan bagi hukum-hukum furu' hasil ijtihad para ulama.
Dengan menerapkan kaidah-kaidah pada dalil-dalil syara' yang terperinci, maka dapat dipahami kandungan nash-nash syara' dan diketahui hukumhukum yang ditunjukinya, sehingga dengan demikian dapat diperoleh hukum perbuatan atau perbuatan-perbuatan dari nash te rsebut. Dengan menerapkan kaidah-kaidah itu dapat juga ditentukan jalan keluar (sikap) yang diambil di kala menghadapi nash-nash yang saling bertentangan, sehingga dapat ditentukan pula hukum perbuatan dari nash atau nash-nash sesuai dengan jalan keluar yang diambil. Demikian pula dengar menerapkan kaidah-kaidah pada dalil-dalil seperti: qiyas, istihsan, istishlah, istishab, dan lain sebagainya, dapat diperoleh hukum perbuatan-perbuatan yang tidak didapat dalam alQuran dan as-Sunnah.
Dari sisi ini jelaslah bahwa kegunaan Ilmu Ushul Fiqh ialah untuk memperoleh hukum-hukum syara' tentang perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci, sebagaimana yang tertuang dalan pengertian Ilmu Ushul Fiqh yang telah dipaparkan di depan. Kegunaan ilmu Ushul Fiqh yang demikian itu, masih sangat diperlukan bahkan dapat dikatakan inilah kegunaan yang pokok, karena meskipun para ulama terdahulu telah berusaha untuk mengeluarkan hukum dalam berbagai persoalan, namun dengan perubahan dan perkembangan zaman yang terus berjalan, demikian pula dengan
5
bervariasinya lingkungan alam dan kondisi sosial pada berbagai daerah, adalah faktor-faktor yang sangat memungkinkan sebagai penyebab tim bulnya persoalan-persoalan hukum yang baru; yang tidak di dapati ketetapan hukumnya dalam al-Quran dan as-Sunnah dan belum pernah terpikirkan oleh para ulama terdahulu. Untuk dapat mengeluarkan ketetapan hukum persoalan-persoalan tersebut, seseorang harus mengetahui kaidah-kaidah dan mampu menerapkannya pada dalil-dalilnya.
Sedangkan dengan menjadikan kaidah-kaidah sebagai rujukan bagi hukumhukum furu' hasil ijtihad para ulama, maka dari sini dapat diketahui dalil-dalil yang digunakan dan cara-cara yang ditempuh dalam memperoleh atau mengeluarkan hukum-hukum furu' tersebut, karena tidak jarang dij umpai dalam sebagian kitab-kitab fiqh yang menyebutkan hukum-hukum furu' hasil ijtihad seorang ulama atau sekelompok ulama, tanpa disebutkan dalil-dalil dan cara-cara pengambilan hukum itu. Begitu juga dapat diketahui sebabsebab terjadinya perbedaan pendapat di antara para ulama, sebab terjadinya perbedaan pendapat para ulama tersebut pada hakikatnya berpangkal dari perbedaan dalil atau dari perbedaan cara yang ditempuh untuk sampai kepada hukum furu' yang diambilnya. Bahkan dapat pula untuk menyeleksi pendapat-pendapat yang berbeda dari seorang ulama, dengan memilih pendapat yang sejalan dengan kaidah-kaidah yang digunakan oleh ulama tersebut dalam menetapkan hukum.
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa dari sisi ini, Ilmu Ushul Fiqh dapat digunakan untuk mengetahui alasan-alasan pendapat para ulama. Kegunaan ini juga mempunyai arti yang penting, karena jika mungkin seseorang akan dapat memilih pendapat yang dipandang lebih kuat atau setidak-tidaknya seseorang dalam mengikuti pendapat ulama harus mengetahui alasanalasannya.
6
AL-HAKIM
Menurut para ahli ushul, bahwa yang menetapkan hukum (al-Hakim) itu adalah Allah SWT, sedangkan yang memberitahukan hukum-hukum AlIah ialah para rasul-Nya. Beliau-beliau inilah yang menyampaikan hukumhukum Tuhan kepada umat manusia. Tidak ada perselisihan pendapat ulama syara' itulah yang menjadi hakim sesudah rasul dibangkit dan sesudah sampai seruannya kepada yang dituju.
Yang diperselisihkan ialah tentang siapakah yang menjadi hakim terhadap perbuatan mukallaf sebelum rasul dibangkit. Golongan Mu'tazilah berpendapat, bahwa sebelum rasul dibangkit, akal manusia itulah yang menjadi hakim, karena akal manusia dapat mengetahui baik atau buruknya sesuatu perbuatan karena hakikatnya atau karena sifatnya.
Oleh karena itu mukallaf wajib mengerjakan apa yang dipandang baik oleh akal dan meninggalkan apa yang dipandang buruk oleh akal. Allah aka n memberikan pahala kepada para mukallaf yang berbuat baik berdasarkan kepada pendapatnya, sebagaimana Allah memberi pahala berdasarkan apa yang diketahui mukallaf dengan perantaraan syara'.
Golongan Asy'ariyah berpendapat, bahwa sebelum datang syara' tidak diberi sesuatu hukum kepada perbuatan-perbuatan mukallaf. Golongan Mu'tazilah dan Asy'ariyah sependapat bahwa akal dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, yakni yang bersesuaian tabi'at: dipandang baik oleh akal dan yang tidak bersesuaian dengan tabi'at dipandang buruk oleh akal.
Titik perselisihan antara golongan Mu'tazilah dengan golongan Asy'ariyah ialah tentang apakah perbuatan itu menjadi tempat a danya pahala atau siksa, tergantung pada perbuatan, walaupun syara' belum menerangkannya, sedangkan golongan jumhur berpendapat, bahwa tidak di siksa dan tidak
7
diberi pahala manusia sebelum datang syara' kendati akal bisa mengetahui baik buruknya sesuatu perbuatan.
Seluruh kaum muslimin bersepakat, bahwa tidak ada hakim selain Allah, sesuai dengan firman Tuhan:
“Tidak ada hukum melainkan bagi Allah. ” (al-An'âm: 57)
Di antara dalil yang menguatkan pendapat jumhur ialah firman Allah:
“Dan tidaklah Kami menyiksa sesuatu ses uatu umat sehingga Kami bangkitkan seorang rasul.” (al-Isrâ': 15)
Di antara dalil yang dipergunakan oleh golongan Mu'tazilah ialah f irman Allah:
“Katakanlah olehmu, tidak bersamaan dengan yang buruk dengan yang baik.” (al-Mâidah: 100)
Sebagaimana terdapat ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah menyiksa manusia lantaran menyalahi rasul sebelum sampai kepada mereka seruan rasul-rasul itu dengan cara yang semestinya, demikian pula ada ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa hisab dan pembalasan umum secara adil diberikan juga berdasarkan bekasan-bekasan amal pada jiwa menurut petunjuk akal.
Mengenai soal apakah hukum-hukum Allah itu disyari'atkan harus sesuai dengan kemaslahatan hamba atau tidak, seluruh ulama sepakat bahwa hukum-hukum Allah itu bersesuaian dengan kemaslahatan hamba.
8
AS-SUNNAH
Jika sekiranya, as-Sunnah itu bukan merupakan hujjah dan tidak pula merupakan penjelasan atas al-Quran, sudah tentu kita tidak akan dapat melaksanakan, bagaimana cara kita beribadah dan melaksanakan ajaranajaran yang terdapat di dalam al-Quran. a l-Quran. As-Sunnah, menurut bahasa artinya cara/ sistem, baik cara itu Nabi Muhammad SAW, atau juga lawan dari bid'ah.
Ada dasarnya, sebagaimana dinyatakan secara mutlak oleh Rasulullah:
"Hendaklah engkau berpegangan dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku -menurut riwayat yang lain- yaitu Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk sesudahku, pegangilah itu dengan taring gigimu teguh-teguh."
Adapun menurut istilah ulama Ushul as-Sunnah itu ialah:
"Apa yang dibekaskan oleh Nabi Muhammad SAW, baik berupa ucapan, perbuatan maupun pengakuan."
Demikian menurut Dr. Muh. Adib Shaleh, ata u menurut Syaikh Muhammad al-Khudlari:
9
"Apa yang datang dinukil dari Rasulullah SAW, baik berupa ucapan, perbuatan atau pengakuan."
Kehujjahan as-Sunnah
Berulang-ulang Allah memerintahkan kita di daIam al-Qur'an agar kita taat kepada Allah dan juga kepada Rasul-Nya. Misalnya saja firman Allah yang berbunyi:
"Katakanlah, taatlah engkau sekalian kepada Allah dan Rasul-Nya." (Ali
Imran: 32)
"Siapa yang taat kepada rasul berarti taat kepada Allah." (an-Nisâ': 80)
"Wahai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu, apabia engkau sekalian berselisih, kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya." (an-Nisâ': 59)
10
"Dan tidaklah pantas bagi seorang lelaki mukmin m ukmin dan juga tidak pantas bagi perempuan mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya memutus sesuatu untuk melakukan suatu pilihan." (al-Ahzab: 36)
Demikian pula di dalam surat yang lain la in Allah berfirman:
"Demi Tuhanmu, tidaklah mereka beriman sampai s ampai mereka menjadikanmu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam diri mereka sesuatu keberatan terhadap keputusan yang kami berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (an-Nisâ': 65)
Juga Allah berfirman:
"Dan apa yang diberikan rasul kepadamu, terimalah ia, dan apa yang dilarang olehnya atasmu, tinggalkanlah." (al-Hasyr: 7)
Ayat-ayat itu jelas mewajibkan kita taat kepada Allah dan juga kepada RasulNya. Ijma' para sahabat juga menentukan demikian. Mereka, sesudah Rasulullah wafat, melakukan ketentuan-ketentuan al-Quran dan j uga ketentuan as-Sunnah. Dan ini nampak jelas dalam tindakan para Khulafaur Rasyidin.
11
Abu Bakar apabila tidak hafal dan mengetahui dalam sunnah, beliau keluar mencari sahabat-sahabat yang lain menanyakan, apakah mereka mengetahui sunnah Nabi atas masalah yang sedang dihadapi itu? Bila ada, sunnah itulah yang digunakan untuk memutuskan. Demikian pula ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali dan sahabat-sahabat yang lain dan para tabi'in serta t abi'it tabi'in selanjutnya.
Di samping itu di dalam al-Quran sendiri kita dapati perintah-perintah, akan tetapi tidak disertakan bagaimana pelaksanaannya, seperti misalnya perintah shalat, puasa dan sebagainya. Dalam hal yang demikian ini tidak lain kita harus melihat kepada as-Sunnah. Bukankah Allah telah berfirman di dalam al-Qur'an:
"Dan Kami menurunkan kepada kamu adz-dzikr, agar engkau menjelaskan kepada manusia tentang apa yang telah diturunkan kepada mereka." (an-
Nahl: 44)
Jika sekiranya, as-Sunnah itu bukan merupakan hujjah dan tidak pula merupakan penjelasan atas al-Quran, sudah tentu kita tidak akan dapat melaksanakan, bagaimana cara kita beribadah dan melaksanakan ajaranajaran yang terdapat di dalam al-Quran. a l-Quran. Karena itu, as-Sunnah, baik ia menjelaskan al-Quran atau berupa pe netapan sesuatu hukum, umat Islam wajib mentaatinya.
Apabila kita teliti, as-Sunnah terhadap al-Quran, dapat berupa menetapkan dan mengokohkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam al-Quran, atau berupa penjelasan terhadap al-Quran, menafsiri serta memperincinya, atau juga menetapkan sesuatu hukum yang tidak terdapat di dalam al-Quran.
Pembagian Sunnah Menurut Sanad
12
Sunnah dilihat dari sudut sanad dibagi dua, yaitu mutawatir dan ahad .
Golongan Hanafi menambahkan satu lagi, yaitu masyhur atau juga dinamakan mustafidl.
Sunnah yang mutawatir ialah sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW oleh sekelompok perawi yang menurut kebiasaannya perawi ini tidak mungkin bersepakat untuk berbuat bohong atau dusta. Hal ini disebabkan jumlah mereka yang banyak, jujur serta berbeda-bedanya keadaan serta lingkungan mereka. Dari kelompok ini, kemudian sampai juga kepada kelompok yang lain, yang sepadan dan setingkat keadaannya dengan kel ompok yang terdahulu, dan kemudian sampailah kepada kita. Mereka, kelompok perawi ini diketahui menurut kebiasaannya, tidak mungkin bersepakat untuk melakukan kedustaan, mereka jujur dan terpercaya.
Sunnah ahad ialah sunnah yang diriwayatkan oleh satu orang atau dua orang atau kelompok yang keadaannya tidak sampai pada tingkatan tawatir. Dari seorang perawi ini diriwayatkan oleh seorang perawi yang seperti dia dan sampai kepada kita de ngan sanad tingkatan-tingkatannya ahad, bukan merupakan kelompok yang merupakan tingkatannya itu m utawatir. Haditshadits yang demikian biasanya disebut juga dengan khabarul wahid .
Sunnah yang masyhur ialah sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh seorang atau dua orang atau sekelompok sahabat Rasulullah yang tidak sampai pada kelompok tawatir (perawi hadits mutawatir), kemudian kelompok dari kelompok-kelompok tawatir itu meriwayatkan hadits atau sunnah tersebut dari satu orang perawi ini atau beberapa orang perawi. Dan dari kelompok ini diriwayatkan oleh kelompok lain yang sepadan dengannya, sehingga sampai kepada kita dengan sanad yang kelompok pertamanya
13
mendengar dari Rasulullah, atau menyaksikan perbuatannya oleh seorang atau dua orang, akan tetapi mereka ini tidak sampai kepada tingkatan tawatir, dan semua tingkatannya itu adalah a dalah kelompok-kelompok tawatir. Termasuk di dalam tingkatan ini ialah sebagian hadits yang diriwayatkan Umar bi n Khattab atau Abdullah bin Mas'ud atau Abu A bu Bakar. Kemudian salah seorang dari mereka diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bermufakat untuk melakukan kedustaan. Contohnya:
"Amalan itu lantaran niat atau karena niat." , atau
" Islam ditegakkan di atas lima sendi."
Perbedaan antara sunnah yang mutawatirah dan sunnah yang masyhurah ialah yang mutawatir setiap lingkungan mata rantai sanadnya terdiri dari kelompok tawatir, sejak awal menerima dari Rasulullah hingga sampai kepada kita, sedang yang masyhur lingkungan mata rantai sanadnya yang pertama bukanlah sekelompok di antara kelompok-kelompok tawatir, bahkan diterimanya oleh seorang atau dua orang atau sekelompok yang tidak sampai kepada tingkatan tawatir. Hanya saja keseluruhan lingkungan itu merupakan kelompok tawatir.
Tentang Qath'i dan Zhanni
Dari datangnya sunnah mutawatirah, itu pasti qath'i datang dari Rasulullah SAW, karena tawatir (bertubi-tubi)nya pemindahan itu menimbulkan ketetapan dan kepastian tentang sahnya berita tersebut. Sedang sunnah yang masyhurah, pasti datangnya dari sahabat yang telah menerimanya dari
14
Rasulullah karena tawatir (bertubi-tubi)nya pemindahan dan pe nukilan dari para sahabat mereka, akan tetapi hal itu i tu tidak pasti datangnya dari Rasulullah karena yang pertama kali menerimanya bukanlah kelompok tawatir. Karena itu kelompok Hanafiyah menganggap sunnah masyhur ini sebagai sunnah yang mutawatirah. Mereka berpendapat bahwa tingkatan sunnah masyhurah ini antara sunnah yang mutawatirah dan sunnah ahad.
Sunnah ahad adalah zhanni, sebab sanadnya tidak mendatangkan kepastian. Dapat diterima sebagai pasti apabila ada syarat-syaratnya memenuhi. (Misalnya perawinya dewasa, Islam, adil dan teliti).
Dari segi pengertian (dalalah) ketiga macam sunnah itu kadang-kadang pasti dalalahnya, apabila nashnya tidak ada kemungkinan untuk dita'wil, kadangkadang zhanni dalalahnya apabila nashnya mungkin untuk dita'wilkan. Semua ini merupakan hujjah yang harus diamalkan.
Sunnah Rasulullah, ditinjau dari perbuatan beliau dibagi atas sunnah qauliyyah, fi'liyyah dan taqririyyah.
Yang dimaksud dengan sunnah qauliyyah ialah ucapan Nabi tentang sesuatu, sunnah fi'liyyah ialah perbuatan dan tindakan Nabi, dan sunnah taqririyyah itu ialah pengakuan, persetujuan atau sikap diamnya Nabi atas sesuatu perbuatan orang lain, sedangkan beliau mengetahuinya.
Ada pula yang menyebutkan sunnah hamiyah, yaitu sesuatu yang ingin dilakukan oleh Nabi, tetapi belum sampai beliau lakukan.
Sunnah kadang-kadang disebut juga dengan hadits atau khabar. Karena itu sudah umum juga disebut hadits mutawatir atau khabar mutawatir, hadits atau khabar ahad dan selanjutnya.
Sunnah-sunnah Rasulullah itu wajib kita laksanakan, menjadi hujjah bagi umat Islam, apabila ia keluar dan datang dari Rasulullah dalam kualitas
15
beliau sebagai rasul, sebagai utusan Allah yang membawa syari'at, dan yang dengannya bertujuan membentuk hukum atau syari'at Islam Karena Nabi Muhammad SAW itu juga adalah manusia, sehingga bagaimana beliau duduk, bagaimana beliau tidur dan seumpamannya, tidaklah menjadi hujjah bagi kita. Di samping itu ada pula sunnah atau perbuatan yang khusus bagi Nabi, dan untuk itu kita tidak melakukannya, seperti istrinya lebih dari empat. Umat Islam tidak boleh melakukan perkawinan lebih dari e mpat orang istri.
Hadits atau khabar ahad tersebut, menurut jumlah orang perawinya, dibagi pada sunnah yang masyhurah, atau hadits mutawatir , aziz dan gharib.
Dikatakan masyhur atau musta'fidl, apabila diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih tetapi tingkatannya tidak mutawatir. Hadits yang masyhur ini ada yag shahih, dan ada pula yang tidak shahih.
Hadits aziz ialah yang diriwayatkan oleh dua, sekalipun dalam satu tingkatan, meskipun sesudah itu diriwayatkan oleh orang banyak.
Hadits gharib ialah hadits yang diriwayatkan oleh perseorangan. Di samping pembagian tersebut, ditinjau dari segi kualitasnya, hadits ahad dibagi kepada hadits shahih, hasan dan dha'if.
Hadits shahih ialah hadits yang bersambung-sambung sanadnya dari permulaan sampai akhir diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan teliti (dhabith) dari sesamanya pula dan di dalamnya tidak terdapat keganjilan (syadz) dan juga tidak terdapat 'illat di dalamnya.
Adapun hadits hasan, ialah hadits yang sanadnya bersambung-sambung dan diriwayatkan oleh orang yang adil, sekalipun ketelitiannya kurang, dan tidak mengandung keganjilan, serta tidak mengandung 'illat. Hadits ini dijadikan hujjah.
16
Hadits dla'if ialah hadits yang tingkatannya kurang dari tingkatan hadits hasan. Hadits ini bermacam-macam tingkatan kelemahannya. Hadits dla'if tidak dapat menjadi hujjah di dalam menetapkan hukum.
Imam Nawawi berkata, para ulama berpendapat hadits dla'if itu bisa digunakan untuk beramal apabila ia berisi keutamaan-keutamaan amalan. Asal untuk amalan tersebut sudah ada hadits yang lain yang shahih atau hasan yang menerangkan boleh beramal dengan amalan tersebut. Jadi dengan demikian, hadits yang dla'if ini hanya mengikuti saja kepada hadits yang shahih yang telah ada.
Termasuk di dalam pengertian hadits dla'if ialah hadits mursal, munqathi', mu'dhal, mu'allaq dan ma'lul.
Hadits mursal ialah hadits yang disandarkan kepada Nabi oleh seorang tabi'. Jadi akhir sanad, yaitu sahabat tidak disebutkan.
Imam asy-Syafi'i dan Ahmad berpendapat hadits ini tidak bisa menjadi hujjah, karena kemungkinan seorang tabi' itu meriwayatkannya dari semua tabi'.Tetapi Abu Hanifah berpendapat dapat menjadi hujjah, karena tabi' i tu termasuk di dalam angkatan yang dipuji oleh Rasulullah.
Di samping itu asySyafi'i memberikan syarat dalam menerima hadits mursal, yaitu apabila yang meriwayatkan seorang tabi'in besar, orang kepercayaan yang lain juga meriwayatkannya, ada hadits mursal yang lain yang sama, ada perkataan sahabat yang sesuai dengannya, dan hadits
17
mursal itu sesuai pula dengan fatwa sebagian besar para ahli ilmu, apabila disebutlah nama perawi yang ditinggalkan, tidak akan disebut majhul dan juga perawi tidak akan dibenci. Akan tetapi, bagaimanapun hadits mursal tidaklah mempunyai kekuatan yang sama dengan hadits musnad.
Hadits munqathi' ialah hadits yang seorang perawinya yang bukan sahabat tidak disebut. Hadits ini tidak menjadi hujjah.
Hadits mu'dlal ialah hadits yang dua perawinya yang bukan sahabat tidak disebut. Hadits ini tidak dapat menjadi hujjah.
Hadits mu'allaq ialah hadits yang tidak disebutkan atau dibuang permulaan sanadnya, bukan permulaan atau akhirnya. Hadits ini dla'if, kecuali apabila diriwayatkan dengan cara yang pasti dan mantap. Apabila ia diriwayatkan dengan pasti dan mantap, menjadilah ia sama dengan hadits yang shahih.
Hadits ma'lul adalah hadits yang mempunyai cacat yang dapat diketahui dari berbagai pemeriksaan dari berbagai jalan atau memang ada qarinah-qarinah yang menunjukkan demikian.
Mengetahui cacat dan cela hadits ('illat) amatlah penting. Hal ini untuk mengetahui kedudukan hadits. Karena itu 'ulumul hadits adalah penting untuk dipelajari untuk menghindarkan diri dari penggunaan hadits yang tidak dapat diterima.
18
IJMA’
Obyek ijma' ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalam al-Quran dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadah ghairu mahdhah, bidang mu'amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Quran dan al-Hadits.
Pengertian Ijma'
Ijma' menurut bahasa Arab berarti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal, seperti perkataan seseorang (
) yang berati
"kaum itu telah sepakat (sependapat) tentang yang demikian itu."
Menurut istilah ijma' ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang hukum syara' dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Sebagai contoh ialah setelah Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan bersama pula diangkatlah Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar RA itu, namun kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya. Kesepakatan yang seperti ini dapat dikatakan ijma'.
Dasar Hukum Ijma'
Dasar hukum ijma' berupa al-Qur'an, al-Hadits dan akal pikiran.
1. Al-Quran
19
Allah SWT berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri di antara kamu." (an-Nisâ': 59)
Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti be rarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil
amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala ne gara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid.
Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
Firman AIlah SWT:
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai." (Ali Imran: 103)
Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai. Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah berijma' (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi ketentuanketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid.
Firman Allah SWT:
20
"Dan barangsiapa yang menantang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (an-Nisâ': 115)
Pada ayat di atas terdapat perkataan sabîlil mu'minîna yang berarti jalan orang-orang yang beriman . Jalan yang disepakati orang-orang beriman dapat
diartikan dengan ijma', sehingga maksud ayat ialah: barangsiapa yang tidak mengikuti ijma' para mujtahidin, mereka akan sesat dan dimasukkan ke dalam neraka.
2. Al-Hadits
Bila para mujtahid telah melakukan ijma' t entang hukum syara' dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma' itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
"umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud
dan Tirmidzi)
3. Akal pikiran
Setiap ijma' yang dilakukan atas hukum syara', hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah
21
ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan ja uh menyimpang atau menyalahi al-Quran dan al-Hadits, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.
Rukun-rukun Ijma'
Dari definisi dan dasar hukum ijma' di atas, maka ulama ushul fiqh menetapkan rukun-rukun ijma' sebagai berikut: 1. Harus ada beberapa orang mujtahid di kala terjadinya peristiwa dan para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan (menetapkan hukum peristiwa itu). Seandainya tidak ada beberapa orang mujtahid di waktu terjadinya suatu peristiwa tentulah tidak akan terjadi ijma', karena ijma' itu harus dilakukan oleh beberapa orang. 2. Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia Islam. Jika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh
22
para mujtahid yang ada pada suatu negara saja, maka kesepakatan yang demikian belum dapat dikatakan suatu ijma'. 3. Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syara') dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu. Jangan sekali-kali tersirat dalam kesepakatan itu unsur-unsur paksaan, atau para mujtahid yang diharapkan kepada suatu keadaan, sehingga ia harus menerima suatu keputusan. Kesepakatan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan pernyataan lisan, dengan perbuatan atau dengan suatu sikap yang menyatakan bahwa ia setuju atas suatu keputusan hukum yang telah disetujui oleh para mujtahid yang lain. Tentu saja keputusan yang terbaik ialah keputusan sebagai hasil suatu musyawarah yang dilakukan para mujtahid. 4. Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebahagian besar mujtahid yang ada, maka keputusan yang demikian belum pasti ke taraf ijma'. Ijma' yang demikian belum dapat dijadikan sebagai hujjah syari'ah.
Kemungkinan Terjadinya Ijma'
Jika diperhatikan sejarah kaum muslimin sejak zaman Rasulullah SAW sampai sekarang, dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya ijma', maka ijma' dapat dibagi atas tiga periode, yaitu: 1. Periode Rasulullah SAW; 2. Periode Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq dan Khalifah ‘Umar bin Khattab; dan 3. Periode sesudahnya.
Pada masa Rasulullah SAW, beliau merupakan sumber hukum. Setiap ada peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al-Quran yang telah diturunkan dan hadits yang telah disabdakan oleh Rasulullah
23
SAW. Jika mereka tidak menemukannya dalam kedua sumber itu, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah. Rasululah adakalanya langsung menjawabnya, adakalanya menunggu ayat al-Quran diturunkan Allah SWT. Karena itu kaum muslimin masih satu, belum nampak perbedaan pendapat yang menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian yang mereka alami.
Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum muslimin kehilangan tempat bertanya, namun mereka telah mempunyai pegangan yang lengkap, yaitu al-Quran dan al-Hadits. Jika ada kejadian atau peristiwa yang memerlukan penetapan hukum, mereka berijtihad, tetapi belum ada bukti yang nyata bahwa mereka telah berijma'. Seandainya ada ijma' itu kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu Bakar, Khalifah ‘Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun pertama Khalifah ‘Utsman. Hal ini adalah karena pada masa itu kaum muslimin masih satu, belum ada perbedaan pendapat yang tajam di antara kaum muslimin, di samping daerah Islam belum begitu luas, masih mungkin mengumpulkan para sahabat atau orang yang dipandang sebagai mujtahid.
Setelah enam tahun bahagian kedua kekhalifahan Utsman, mulailah nampak gejala-gejala perpecahan di kalangan kaum muslimin. Hal ini dimulai dengan tindakan ‘Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagai pejabat jabatan jabatan penting dalam pemerintahan (nepotisme). Setelah Khalifah ‘Utsman terbunuh, perpecahan di kalangan kaum muslimin semakin terjadi, seperti peperangan antara ‘Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah bin Abu Sufyan, peperangan antara ‘Ali bin Abi Thalib dengan ‘Aisyah yang terkenal dengan Perang Jamal, timbul golongan Khawarij, golongan Syi'ah golongan Mu'awiyah dan sebagainya. Demikianlah perselisihan dan perpecahan itu terjadi pula semasa dinasti Umayyah, semasa dinasti Abbasiyah, semasa dinasti Fathimiyah dan sebagainya, sehingga dana dan tenaga umat Islam terkuras dan habis karenanya.
Di samping itu daerah Islam semakin luas, sejak dari Asia Tengah (Rusia Selatan sekarang) sampai ke bagian tengah benua Afrika, sejak ujung Afrika
24
Barat sampai Indonesia, Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan Asia Kecil. Karena itu amat sukar melakukan ijma' dalam keadaan dan luas daerah yang demikian.
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Ijma' tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad SAW; 2. Ijma' mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah ‘Umar bin Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah ‘Utsman; dan 3. Setelah masa enam tahun kedua pemerintahan Khalifah ‘Utsman sampai saat ini tidak mungkin terjadi ijma' sesuai dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya daerah yang berpenduduk Islam.
Pada masa sekarang telah banyak berdiri negara-negara Islam yang berdaulat atau suatu negara yang bukan negara Islam tetapi penduduknya mayoritas beragama Islam atau minoritas penduduknya beragama Islam. Pada negaranegara tersebut sekalipun penduduknya minoritas beragama Islam, tetapi ada peraturan atau undang-undang yang khusus bagi umat Islam. Misalnya India, mayoritas penduduknya beragama Hindu, hanya sebagian kecil yang beragama Islam. Tetapi diberlakukan undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam. Undang-undang itu ditetapkan oleh pemerintah dan parlemen India setelah musyawarah dengan para mujtahid kaum muslimin yang ada di India. Jika persepakatan para mujtahid India itu dapat dikatakan sebagai ijma', maka ada kemungkinan terjadinya ijma' pada masa setelah Khalifah ‘Utsman sampai sekarang sekalipun ijma' itu hanya dapat dikatakan sebagai ijma' lokal.
Jika demikian dapat ditetapkan definisi ijma', yaitu keputusan hukum yang diambil oleh wakil-wakil umat Islam atau para mujtahid yang mewakili segala lapisan masyarakat umat Islam. Karena dapat dikatakan sebagai ulil amri sebagaimana yang tersebut pada ayat 59 surat an-Nisâ' atau sebagai ahlul halli wal 'aqdi . Mereka diberi hak oleh agama Islam untuk membuat
25
undang-undang atau peraturan-peraturan yang mengatur kepentingankepentingan rakyat mereka.
Hal yang demikian dibolehkan dalam agam Islam. Jika agama Islam membolehkan seorang yang memenuhi syarat-syarat mujtahid untuk berijtihad, tentu saja beberapa beberapa orang mujtahid dalam suatu suatu negara boleh pula bersama-sama memecahkan permasalahan kaum muslimin kemudian menetapkan suatu hukum atau peraturan. Pendapat sebagai hasil usaha yang dilakukan orang banyak tentu lebih tinggi nilainya dari pendapat yang dilakukan oleh orang seorang.
Macam-macam Ijma'
Sekalipun sukar membuktikan apakah ijma' benar-benar terjadi, namun dalam kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh diterangkan macam-macam ijma'. Diterangkan bahwa ijma' itu dapat ditinjau diti njau dari beberapa segi dan tiap-tiap segi terdiri atas beberapa macam.
Di tinjau dari segi ca ra terjadinya, maka ijma' terdiri atas: 1. ljma' bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan. Ijma' bayani disebut juga ijma' shahih, ijma' qauli atau ijma' haqiqi; 2. Ijma' sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma' seperti ini disebut juga ij ma' 'itibari.
26
Di tinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma', dapat dibagi kepada: 1. ljma' qath'i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu adalah qath'i diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain; 2. ljma' zhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu zhanni, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain.
Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa macam ijma' yang dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya. Ijma'-ijma' itu ialah: 1. Ijma' sahabat , yaitu ijma' yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW; 2. Ijma' khulafaur rasyidin , yaitu ijma' yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa keempat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia ijma' tersebut tidak dapat dilakukan lagi; 3. Ijma' syaikhan, yaitu ijma' yang dila kukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab; 4. Ijma' ahli Madinah , yaitu ijma' yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma' ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki, tetapi Madzhab Syafi'i ti dak mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam; 5. Ijma' ulama Kufah , yaitu ijma' yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma' ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam.
27
Obyek Ijma'
Obyek ijma' ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalam al-Quran dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah, bidang mu'amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Quran dan al-Hadits.
28
ISTIHSAN
Orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara' dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara' yang umum.
Pengertian
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara', menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil da lil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran istihsan.
Qiyas berbeda dengan istihsan. Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa atau kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain yang te lah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan 'illat dengan peristiwa pertama. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama sama dengan hukum peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa at au kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.
Dengan perkataan lain bahwa pada qiyas yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan 'illat dari dua peristiwa atau kejadian, sedang pada istihsan yang
29
dicari ialah dalil mana yang paling tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa.
Dasar Hukum Istihsan
Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, menurut mereka istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan istihsan karena kedua hal itu pada hakikatnya adalah sama, hanya namanya saja yang berlainan. Di samping Madzhab Hanafi, golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hanbali.
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Madzhab Syafi'i. Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara' berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi'i berkata, "Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah t elah menetapkan sendiri hukum syara' berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara' hanyalah Allah SWT." Dalam buku Risalah Ushuliyah
karangan beliau, dinyatakan, "Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu ar ah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka'bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara' untuk menentukan arah Ka'bah itu."
30
Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi'i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi'i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asySyathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan: "Orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara' dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara' yang umum".
Macam-macam Istihsan
Di tinjau dari segi pengertian istihsan i stihsan menurut ulama ushul fiqh di atas, maka istihsan itu terbagi atas dua macam, yaitu: 1. Pindah dari qiyas jali kepada qiyas khafi, karena ada dalil yang mengharuskan pemindahan itu. 2. Pindah dari hukum kulli kepada hukum juz’i, karena ada dalil yang mengharuskannya. mengharuskannya. Istihsan macam ini oleh Madzhab Hanafi disebut istihsan darurat, karena penyimpangan itu dilakukan karena suatu kepentingan atau karena darurat.
31
Contoh istihsan macam pertama: 1. Menurut Madzhab Hanafi: Bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar istihsan. Menurut qiyas jali hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah ia lah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu. Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari ashalnya a shalnya yang lain, yaitu sewamenyewa. Kedua peristiwa ini ada persamaan 'illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan. 2. Menurut Madzhab Hanafi: Sisa minuman burung buas, seperti sisa burung elang burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan. Menurut qiyas jali sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya. Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang huas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung
32
buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat t anduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab di antara oleh paruhnya, demikian pula air liurnya. Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang a da pada burung buas yang membedakannya dengan binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
Contoh istihsan macam kedua 1. Syara' melarang seseorang memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan perjanjian yang disebut hukum kulli. Tetapi syara' memberikan rukhshah (keringanan) kepada pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan dikirim kemudian, sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian secara pesanan (salam). Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhshah kepada salam itu merupakan pengecualian (istitana) dari hukum kulli dengan menggunakan hukum juz’i, karena keadaan memerlukan dan telah merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat. 2. Menurut hukum kulli, seorang pemboros yang memiliki harta berada di bawah perwalian seseorang, karena itu ia t idak dapat melakukan transaksi hartanya tanpa izin walinya. Dalam hal ini dikecualian transaksi yang berupa waqaf. Orang pemboros itu dapat melakukan atas namanya sendiri, karena dengan waqaf itu hartanya terpelihara dari kehancuran dan sesuai dengan tujuan diadakannya perwalian, yaitu untuk memelihara hartanya (hukum juz’i). j uz’i).
Dari contoh di atas nampak bahwa karena adanya suatu kepentingan atau keadaan maka dilaksanakanlah hukum juz’i dan meninggalkan hukum kulli. Ditinjau dari segi sandarannya, maka istihsan terbagi kepada:
33
1. Istihsan dengan sandaran qiyas khafi; 2. Istihsan dengan sandaran nash; 3. Istihsan dengan sandaran 'urf; dan 4. Istihsan dengan sandaran keadaan darurat.
34
ISTISHHAB
Para Ulama memahami Istishhab dengan berbagai versi, di antaranya, Istishhab diartikan segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.
Pengertian
Istishhab menurut bahasa berarti "mencari sesuatu yang ada hubungannya."
Menurut istilah ulama ushul fiqh, ialah tetap berpegang kepada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau a tau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan perkataan lain, ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa yang lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan hukum itu.
Menurut Ibnu Qayyim, istishhab ialah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya. Sedang menurut asy-Syathibi, istishhab ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa yaang lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.
Dari pengertian istishhab yang dikemukakan para ulama di atas, dipahami bahwa istishhab itu, ialah: 1. Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya. 2. Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa yang lalu.
Contoh istishhab:
35
1. Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dengan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang dengan hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishhab.
2. Menurut firman Allah SWT:
"Dia (Allah)lah yang menjadikan semua yang ada di bumi untukmu (manusia)." (al-Baqarah: 29)
Dihalalkan bagi manusia memakan apa saja yang ada di muka bumi untuk kemanfaatan dirinya, kecuali kalau ada yang mengubah atau mengecualikan hukum itu. Karena itu ditetapkanlah kehalalan memakan sayur-sayuran dan binatang-binatang selama tidak ada yang mengubah atau mengecualikannya.
Dasar Hukum Istishhab
Dari keterangan dan contoh-contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishhab itu bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan
tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya. Pernyataan ini sangat diperlukan, untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh-contoh di
36
atas. Seandainya si B boleh kawin dengan si C, tentulah akan terjadi perselisihan antara A dan C atau akan terjadi suatu keadaan pengaburan batas antara yang sah dengan yang tidak sah (batal) dan antara yang halal dengan yang haram.
Karena itulah ulama Hanafiyah menyatakan bahwa sebenarnya istishhab itu tidak lain hanyalah untuk mempertahankan hukum yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum yang baru. Istishhab bukanlah merupakan dasar atau dalil untuk menetapkan hukum yang belum tetap, tetapi ia hanyalah menyatakan bahwa telah pernah ditetapkan suatu hukum dan belum ada yang mengubahnya. Jika demikian halnya istishhab dapat dijadikan dasar hujjah.
Sebagian besar pengikut Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi'i, Madzhab Hanbali dan Madzhab Zhahiri berhujjah dengan istishhab, hanya terdapat perbedaan pendapat dalam pelaksanaannya, seperti pernyataan Abu Zaid, salah seorang ulama Madzhab Hanafi istishhab itu hanya dapat dijadikan dasar hujjah untuk menolak ketetapan yang mengubah ketetapan yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum baru.
Jika diperhatikan proses terjadi atau perubahan undang-undang dalam suatu negara atau keputusan pemerintah, maka istishhab ini adalah kaidah yang selalu diperhatikan oleh setiap pembuat undang-undang atau peraturan.
Macam-macam Istishhab
Dari istishhab itu dibuat kaidah-kaidah fiqhiyah yang dapat dijadikan dasar untuk mengisthimbathkan hukum. Di tinjau dari segi timbulnya kaidah-kaidah itu istishhab dapat dibagi kepada:
37
1. Istishhab berdasar penetapan akal
Berdasarkan ayat 29 surat al-Baqarah di atas, maka dapat ditetapkan suatu ketentuan umum bahwa semua yang diciptakan Allah SWT di bumi ini adalah untuk keperluan dan kepentingan manusia yang dapat digunakan sebagai sarana dalam melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi. Jika demikian halnya maka segala sesuatu itu pada azasnya mubah (boleh) digunakan, dimanfaatkan atau dikerjakan oleh manusia. Hal ini berarti bahwa hukum mubah itu tetap berlaku sampai a da dalil syara' yang mengubah atau mengecualikannya. Seperti sebelum turunnya ayat 90 surat al-Mâidah, kaum muslimin dibolehkan meminum khamar setelah turun ayat tersebut diharamkan meminum khamar. Dengan demikian ayat tersebut mengecualikan khamar dari benda-benda lain yang dibolehkan meminumnya.
Dari istishhab macam ini diciptakan kaidah-kaidah berikut:
"(Menurut hukum) asal(nya) segala sesuatu itu mubah (boleh dikerjakan)."
"(Menurut hukum) asal(nya) manusia itu bebas dari tanggungan."
"(Menurut hukum) asal(nya) tidak ada tanggungan."
2. Istishhab berdasarkan hukum syara'
Sesuai dengan ketetapan syara' bahwa apabila telah terjadi akad nikah yang dilakukan oleh seorang laki-Iaki dengan seorang perempuan dan akad itu
38
lengkap rukun-rukun dan syarat-syaratnya, maka kedua suami istri itu halal atau boleh (mubah) hukumnya melakukan hubungan sebagai suami istri. Ketetapan mubah ini telah berlaku selama mereka tidak pernah bercerai walaupun mereka telah lama berpisah dan selama itu pula si istri dilarang kawin dengan laki-laki lain. Menyatakan bahwa hukum syara' itu tetap berlaku bagi kedua suami-istri itu, pada hakikatnya mengokohkan hukum syara' yang pernah ditetapkan.
Dari istishhab macam ini diciptakan kaidah-kaidah:
"(Hukum yang ditetapkan dengan) yakin itu tidak akan hilang (hapus) oleh (hukum yang ditetapkan dengan) ragu-ragu."
"(Menurut hukum) asal(nya) ketetapan hukum yang telah ada, berlaku, menurut keadaan adanya, hingga ada ketetapan ke tetapan yang mengubahnya."
"(Menuru hukum) asal(nya) ketetapan hukum yang telah ada berlaku menurut keadaan adanya, hingga ada dalil yang mengubahnya."
39
MADZHAB SHAHABAT
Pendapat sahabat dapat dijadikan hujjah, bila pendapat sahabat tersebut diduga keras sebenarnya berasal dari Rasulullah SAW.
Pengertian
Semasa Rasulullah SAW masih hidup, semua masalah yang muncul atau timbul dalam masyarakat langsung ditanyakan para sahabat kepada Rasulullah SAW, dan Rasulullah SAW memberikan jawaban dan penyelesaiannya. Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, maka kelompok sahabat yang tergolong ahli dalam mengistinbathkan hukum, telah berusaha sungguh-sungguh sungguh-sungguh memecahkan persoalan pe rsoalan tersebut, sehingga kaum muslimin dapat beramal sesuai dengan fatwa-fatwa sahabat itu. Kemudian fatwa-fatwa sahabat ini diiwayatkan oleh tabi'in, tabi'it ta bi'in dan orang-orang yang sesudahnya, seperti meriwayatkan hadits. Karena itu timbul persoalan, apakah pendapat sahabat itu dapat dijadikan hujjah atau tidak?
Pendapat-pendapat ‘Ulama
Sebagian ‘ulama menyatakan bahwa ada dua macam pendapat sahabat yang dapat dijadikan hujjah, yaitu:
1. Pendapat para sahabat yang diduga keras bahwa pendapat tersebut sebenarnya berasal dari Rasulullah SAW, karena pikiran tidak atau belum dapat menjangkaunya, seperti ucapan Aisyah RA:
40
"Kandungan itu tidak akan lebih dari dua tahun dalam perut ibunya, (yaitu tidak akan) lebih dari sepanjang bayang-bayang benda yang ditancapkannya." (HR.
Daraquthni)
2. Pendapat sahabat yang tidak ada sahabat lai n yang menyalahkannya, seperti pendapat tentang bahwa nenek mendapat seperenam (1/6) bagian waris, yang dikemukakan oleh Abu Bakar, dan tidak ada sahabat yang tidak sependapat dengannya.
Sedang pendapat sahabat yang tidak disetujui oleh sahabat yang lain ti dak dapat dijadikan hujjah. Pendapat ini dianut oleh golongan Hanafiyah, Malikiyah dan Ahmad bin Hanbal dan sebagian Syafi'iyah, dan didahulukan dari qiyas. Bahkan Ahmad bin Hanbal mendahulukannya dari hadits mursal dan hadits dha'if.
As-Syaukani menganggap pendapat sahabat itu seperti pendapat para mujtahid yang lain, tidak harus kita mengikutinya.
41
MAHKUM BIHI
Mahkum bihi merupakan perbuatam mukallaf yang menyangkut dengan masalah-masalah ijab, tahrim, makruh, dan mubah.
Telah kita maklumi bahwa bekasan ijab disebut wajib, bekasan nadb dinamai mandub atau sunnat, bekasan tahrim dinamai haram atau mahdhur, bekasan karahah dinamai makruh, dan bekasan ibadah dinamai mubah atau ja'iz.
Dengan demikian nyatalah bagi kita, bahwa apabila perbuatan mukallaf yang menyangkut dengan masalah-masalah: ijab dinamai wajib, tahrim dinamai haram atau mahdhur, karahah dinamai makruh dan ibadah dinamai mubah. Hukum-hukum tersebut dalam uruf ahli ushul disebut mahkum bihi, sedangkan tempat-tempat bergantung hukum disebut taklify.
Berikut ini dijelaskan ta'rif dari macam-macam taklify, ta khyiry dan hukum wadl'iy.
Wajib dan Bahagian-bahagiannya.
Wajib ialah sesuatu pekerjaan yang akan mendapat siksa kalau tidak dikerjakan. Akan mendapat siksa itu maknanya diketahui akan mendapat siksa berdasarkan petunjuk yang tidak te rang, atau dengan perantaraan suatu qarinah, paham atau isyarat, bahwa orang yang tidak mengerjakannya akan mendapat siksa di negeri akhirat.
Wajib dibagi kepada beberapa bahagian, sebagai berikut:
Wajib muthlaq, yaitu suatu pekerjaan yang wajib kita kerjakan tetapi tidak ditentukan waktunya, seperti membayar kaffarah. Bila seorang bersumpah
42
kemudian ia membatalkan sumpahnya, wajiblah ia membayar kaffarah, tetapi ia dibolehkan membayar kaffarah itu disembarang waktu yang dia kehendaki.
Wajib muwaqqat, yaitu suatu pekerjaan yang diwajibkan serta ditentukan waktunya seperti shalat wajib dan puasa Ramadlan, awal dan akhir waktunya dengan terang telah dijelaskan, karena itu kita tidak dapat mengerjakannya melainkan di dalam waktu yang telah ditentukan itu.
Wajib muwaqqat ada dua macam, yaitu waj ib muwassa' dan wajib mudhayyaq.
Wajib muwassa' ialah pekerjaan wajib yang diluaskan waktunya yakni waktunya lebih luas daripada waktu mengerjakannya, misalnya waktu shalat fardlu, waktu yang disediakan luas dan leluasa melebihi waktu mengerjakannya.
Wajib mudhayyaq ialah pekerjaan yang disempitkan waktunya tidak melebihi kadar pekerjaan, misalnya puasa Ramadlan, waktu dengan puasa sama lamanya yaitu mulai dari terbit fajar shadiq sehingga terbenam matahari, maka puasa pun juga dimulai terbit fajar shadiq sampai terbenam matahari.
Selain wajib mudhayyaq dan wajib muwassa' ada la gi yang disebut wajib dzusyabahain, yaitu pekerjaan yang menyerupai wajib muwassa' dan menyerupai wajib mudhayyaq, misalnya haji. Wajib haji menyerupai wajib muwassa' dari segi waktu yang disediakan lebih luas dari kadar waktu mengerjakannya, juga menyerupai wajib mudhayyaq dari segi tidak boleh dikerjakan dua haji dalam satu tahun.
Wajib ainiy, yaitu segala rupa pekerjaan yang dituntut kepada masing-masing orang untuk mengerjakannya. Tidak terlepas seseorang dari tuntutan jika ia sendiri tidak menunaikan kewajibannya itu, tidak dapat dikerjakan oleh orang lain, seperti shalat, puasa Ramadlan, zakat, haji, dan sebagainya.
43
Wajib kifâ'iy, yaitu segala rupa pekerjaan yang dimaksud oleh agama a kan adanya, dengan tidak dipentingkan orang yang mengerjakannya. Apabila dikerjakan kewajiban oleh sebagian mukallaf, maka semua orang terlepas dari tuntutan wajib. Dalam wajib kifâ'iy yang penting terwujudnya pekerjaan itu bukan orangnya, seperti menshalatkan orang mati, mendirikan sekolah, rumah sakit dan sebagainya.
Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang ditentukan syara' kadar ukurannya, seperti zakat, kaffarah dan sebagainya.
Wajib ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan syara' kadar dan ukurannya seperti kewajiban membelanjakan harta di jalan Allah, memberikan makan kepada orang miskin da n sebagainya.
Wajib mu'ayyan, yaitu suatu kewajiban yang dituntut adanya oleh syara' dengan secara khusus, seperti membaca al-Fatihah dalam shalat.
Wajib mukhayyar, yaitu suatu kewajiban yang disuruh pilih oleh syara' dari beberapa pekerjaan tertentu seperti dalam urusan kaffarah sumpah.
Firman Allah:
“Maka kaffarahnya ialah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang sederhana, atau memberi pakaian sepuluh orang miskin atau memedekakan seorang budak.” (al-Mâidah: 89)
Kewajiban memilih salah satu di antara tiga hal tersebut disebut wajib mukhayyar.
Wajib mu'adda, yaitu segala kewajiban yang dikerjakan dalam waktunya yang telah ditentukan. Menunaikan kewajiban di dalam waktunya dinamai adâ', pekerjaannya disebut mu'addâ.
44
Wajib maqdliy, yaitu kewajiban yang dilaksanakan sesudah lewat waktu yang telah ditentukan. Membayar atau mengganti sesuatu di luar waktunya disebut qadlâ'an, pekerjaannya disebut maqdliy.
Wajib mu'âdah, mengerjakan suatu kewajiban yang dikerjakan sekali lagi dalam waktunya karena yang pertama dikerjakan tidak begitu sempurna, dinamai mengulangi (i'âdah), pekerjaannya disebut wajib mu'âdah.
Mandub, Sunnah dan Derajat-derajatnya. D erajat-derajatnya.
Mandub atau sunnah ialah pekerjaan yang dituntut syara' agar kita mengerjakannya, tetapi dengan tuntutan yang tidak menunjuk kepada musti, artinya pekerjaan itu disuruh kita melaksanakannya dan diberi pahala, hanya tidak dihukum berdosa yang meninggalkanny me ninggalkannya. a. Perbuatan mandub ialah iala h sesuatu yang lebih baik untuk dikerjakan.
Kata asy-Syaukani: "Mandub ialah suatu perintah yang dipuji bagi orang yang mengerjakannya dan tidak dicela bagi orang yang meninggalkannya."
Pekerjaan yang mandub itu dinamai marghub fihi artinya pekerjaan yang
digemari kita melaksanakannya. Pekerjaan yang disukai bila ki ta mengerjakannya dinamai mustahab. Pekerjaan yang dilakukan bukan karena kewajiban, atau dikerjakan dengan kesukaan sendiri dinamai tathawwu' .
Ahli ushul Hanafiyah tidak menyamakan antara sunnat dengan mandub (nafl). Menurut mereka, bahwa yang disuruh oleh syara' itu terbagi empat, yaitu (1) Fardlu; (2) Wajib; (3) Sunnah; dan (4) Nafl (Mandub).
45
Mereka membagi sunnat kepada dua macam:
Sunnat hadyin, yaitu segala rupa pekerjaan yang dilaksanakan untuk menyempurnakan kewajiban-kewajiban agama, seperti adzan dan jama'ah.
Sunnat zaidah, yaitu segala pekerjaan yang bukan merupakan bagian untuk menyempurnakan perintah agama, hanya termasuk terpuji bagi yang melakukannya, seperti pekerjaan yang dilakukan Rasulullah ketika makan, minum dan tidurnya yang menjadi kebiasaannya.
Ulama-ulama Syafi'iyah membagi amalan-amalan sunnat kepada dua bagian:
Sunat muakkadah, yaitu suatu pekerjaan yang tetap dikerjakan Rasulullah atau lebih banyak dikerjakan daripada tidak dikerjakan sambil memberi pengertian bahwa ia bukan fardlu, seperti shalat rawatib dan sunnat fajar.
Sunat ghairu muakkadah, yaitu sesuatu yang tidak tetap Rasulullah mengerjakannya, seperti shalat sunnat 4 (empat) rakaat sebelum dzuhur.
Haram dan Pengertiannya
Pengertian haram menurut bahasa berarti yang dilarang. Menurut istilah ahli syara' haram ialah: Pekerjaan yang pasti mendapat siksaan karena mengerjakannya.
Ulama Hanafiyah membagi haram ini kepada dua bagian, yaitu:
Sesuatu yang ditetapkan haramnya dengan nash yang qath'iy, yakni Kitabullah dan Sunnah Mutawatirah. Pekerjaan-pekerjaan yang dilarang berdasarkan dua hal tersebut dinamai haram atau mahdzur.
46
Sesuatu yang keharamannya tidak dengan nash yang qath'iy, yakni dengan nash yang zhanniy, disebut karahah tahrim.
Makruh dan Definisinya.
Makruh menurut bahasa berarti yang tidak disukai. Menurut istilah syara', makruh berarti: Pekerjaan yang dituntut untuk ditinggalkan dengan tidak akan disiksa apabila mengerjakannya. me ngerjakannya.
Definisi lain dari makruh ialah: Sesuatu yang tinggalkan, tidak dicela bagi orang yang mengerjakannya.
Menurut ulama Hanafiyah ada tujuh macam pembagian hukum taklif, yaitu: (1) Fardlu; (2) Wajib; (3) Haram; (4) Makruh tahrim; (5) Makruh tanzih; (6) Sunnat hadyin; dan (7) Mandub atau Nafl.
Mubah dan Penjelasannya
Mubah menurut bahasa yaitu sesuatu yang mengambilnya atau tidak mengambilnya.
Menurut syara' mubah ialah sesuatu yang tidak dipuji mengerjakannya dan tidak dipuji pula meninggalkannya. Dengan kata lain: Mubah ialah pekerjaan-pekerjaan yang tidak dituntut kita mengerjakannya, dan tidak pula dituntut kita meninggalkannya.
Jalan untuk mengetahui mubah yaitu sebagai berikut:
Berdasarkan penerangan syara:
47
Syara' mengatakan, jika kamu suka perbuatlah pekerjaan ini, dan jika kamu tidak suka tinggalkanlah dia itu.
Syara' mengatakan, tidak ada keberatan apabila kamu mengerjakan pekerjaan ini.
Tidak adanya penerangan syara: yakni syara' tidak mencegahnya dan tidak pula menyuruhnya. Sesuatu pekerjaan yang tidak disuruh dan tidak dilarang oleh syara', hukumnya mubah, hukum asalnya mubah.
Sebab dan Pengertiannya
Sebab menurut bahasa berarti tali, dan menurut istilah berarti sesuatu keadaan yang dijadikan oleh syara' sebagai tanda bagi dihadapkannya sesuatu titah kepada mukallaf.
Asy-Syathibi mengatakan: "Sebab ialah sesuatu hal yang diletakkan syara' untuk sesuatu hukum karena adanya suatu hikmah, yang ditimbulkan oleh hukum itu." Adapun 'illat ialah: "Kemaslahatan atau kemanfaatan yang diperhatikan syara' di dalam menyuruh sesuatu pekerjaan atau mencegahnya."
Contoh sebab: Tergelincirnya matahari menjadi sebab kewajiban shalat Zhuhur atas mukallaf, terbenam matahari menjadi sebab wajibnya shalat Maghrib. Terjadinya jual beli menjadi salah satu sebab adanya milik, juga menjadi sebab hilangnya milik. Pembunuhan menjadi sebab adanya hukum qishash.
Syarat dan Hakikat
48
Syarat menurut bahasa berarti melazimkan sesuatu. Menurut 'urf syara', syarat berarti: Sesuatu keadaan atau pekerjaan yang karena ketiadaannya, menjadi tidak ada hukum masyrutnya.
Misalnya syarat sah menjual sesuatu ialah sanggup menyerahkan barang yang dijual kepada si pembeli. Apabila tidak sanggup menyerahkannya, seperti menjual burung terbang di udara, maka tidaklah sah penjualan dimaksud. Misalnya lagi suci menjadi syarat sah shalat, apabila tidak suci maka tidaklah sah shalatnya.
Ada dua macam syarat, yaitu syarat hakiki dan syarat ja'li.
Syarat hakiki, ialah sesuatu pekerjaan yang disuruh mengerjakannya sebelum mengerjakan suruhan yang lain dan pekerjaan yang lain itu tidak diterima kalau tidak ada yang pertama itu. Agama menetapkan bahwa shalat itu tidak diterima jika tidak ada wudlu, sebagaimana juga agama menetapkan, bahwa nikah itu tidak sah kalau tidak tida k ada saksi.
Syarat ja'li, yaitu segala yang dijadikan syarat ol eh pembuatnya dengan perkataan jika, kalau, sekiranya dan sebagainya. Umpamanya: Saya suka menjual sepeda ini kepadamu, jika kamu memperbolehkan memakainya hari ini untuk pergi ke kantor.
Syara' telah menjadikan beberapa syarat ja'li untuk sahnya sesuatu pekerjaan. Sesuatu syarat yang kalau tidak ada, maka tidak ada pula masyrutnya disebut syarat sah. Adapun syaratsyarat yang kalau dia tidak ada menjadikan kurang atau tidak sempurnanya masyrut dinamai syarat kamal, atau syarat kesempurnaan.
49
Mani' dan Penjelasannya.
Kerapkali syara' menetapkan suatu keadaan atau suatu pekerjaan menjadi mani' (penghalang) atas sesuatu hukum atau atas sebab sesuatu hukum.
Mani' (penghalang hukum) ialah: Suatu keadaan yang menghalangi terlaksananya suatu perintah atau tidak dilaksanakannya suatu hukum yang sudah ditetapkan. Seperti sifat kebapakan dalam hal qishash. Ayah itu menjadi sebab adanya anaknya, maka tidak patut si anak dijadikan sebab bagi binasanya ayah. Yakni bila ayah membunuh anaknya, tidak boleh kita menuntut qishash bagi ayah yang membunuh anaknya itu, karena ayah itu menjadi sebab adanya anak, maka tidak boleh kematian anak itu menjadi sebab dibunuhnya ayah.
Adapun contoh mani' yang menghalangi sebab hukum, ialah tentang hutang. Apabila seseorang mempunyai harta dan mempunyai hutang sebanyak hartanya, maka tidaklah wajib dia membayar zakat harta tersebut. Dalam hal ini hutang menjadi mani' bagi sebab wajib zakat.
Para ulama ushul Hanafiyah membagi mani' ini menjadi lima macam, yaitu:
Mani' yang menghalangi sahnya sebab, umpamanya (yang klasik) menjual orang merdeka. Tidak sah menjual orang merdeka, karena orang merdeka itu bukan harta, bukan sesuatu (barang) yang boleh diperjualbelikan. Menjual itu menjadi sebab berpindah milik, dan membeli itu menjadi sebab boleh menguasai dan mengambil manfaatnya.
Mani' yang menghalangi sempurnanya sebab terhadap orang yang tidak melakukan akad dan menghalangi sebab bagi yang melakukan akad. Umpamanya si A menjual barang si B tanpa setahu si B. Maka penjualan itu tidak sah jika tidak dibenarkan oleh si B karena ada mani', yaitu menjual bukan haknya.
50
Mani' yang menghalangi berlakunya hukum, umpamanya khiyar syarat oleh si penjual. Khiyar itu menghalangi si pembeli melakukan kekuasaannya atas barang pembelian dimaksud, si A menjual barangnya kepada si B (pembeli): "Barang ini saya jual kepadamu tetapi dengan syarat saya dibolehkan berpikir selama tiga hari, jika dalam tiga hari ini saya berubah pendirian maka jual beli ini tidak jadi". ja di". Syarat yang dibuat oleh si penjual ini disebut khiyar syarat, selama belum lewat tiga hari, syarat itu menghalangi si pembeli melakukan kehendaknya terhadap barang yang dibelinya.
Mani' yang menghalangi sempurnanya hukum, umpamanya dalam khiyar ru'yah. Khiyar ini tidak menghalangi memiliki barang, hanya saja milik itu belum sempurna sebelum melihat barang itu oleh si pembeli walaupun sudah diterima. Apabila seseorang menjual barang ba rang kepada seseorang, sedang barang tidak tersedia di tempat jual beli, maka penjualan itu dibolehkan dengan mengadakan khiyar ru'yah. Dalam hal ini setelah pembeli melihat barang yang dibelinya boleh merusakkan pembelian dengan mengurungkannya, mengurungkannya, tanpa meminta persetujuan penjual.
Mani' yang menghalangi kelaziman (kepastian) hukum, seperti khiyar aib. Si pembeli boleh melakukan kekuasaannya terhadap barang yang dibelinya, sebelum dia periksa barang itu baik atau a da cacatnya. Jika ia mendapatkan cacat pada barang yang dibelinya itu ia berhak membatalkan pembelian, ia kembalikan barang itu kepada penjual melalui perantaraan hakim atau at as kerelaan penjual. Tempo masa khiyar aib ialah tiga hari lamanya.
Azimah dan Rukhshah.
Hukum syar'iy itu bila ditinjau dari segi berat dan ringannya dibagi menjadi dua bagian, yaitu pertama azimah dan kedua rukhshah.
51
Hukum azimah ialah hukum yang dituntut syara' dan bersifat umum, tidak ditentukan berlakunya atas suatu golongan dan atau keadaan tertentu. Misalnya kewajiban menjalankan shalat lima waktu.
Hukum rukhshah ialah suatu hukum yang diatur oleh syara' karena adanya udzur (halangan) yang menyukarkan. Hukum rukhshah dikecualikan dari hukum azimah, yang umumnya berlaku selama ada udzur yang berat dan seperlunya saja, dan hukum rukhshah ini datangnya terkemudian sesudah azimah.
Misalnya hukum makan bangkai di kala tidak ada makanan sama sekali. Juga seperti dibolehkan mengqashar shalat wajib dari empat raka'at menjadi dua raka'at.
Sah dan Batal
Lafazh sah mempunyai dua arti:
Melepaskan tanggung jawab dan menggugurkan kewajiban (qadla) di dunia. Bila dikatakan shalat si A sudah sah (shahih), artinya telah dipandang memenuhi persyaratan sebagaimana diperintahkan. Begitu pula dikatakan penjualan itu sah, artinya penjualan itu telah me mindahkan milik si penjual kepada si pembeli, penjualan itu menghalalkan untuk menguasai dan mengurusnya.
Memperoleh pahala atau ganjaran. Bila dikatakan: Amal ini sah, artinya amal ini dapat diharapkan pahalanya di negeri akhirat, baik amal itu bersifat keduniaan ataupun keakhiratan.
Tidak mendapat pahala sesuatu pekerjaan melainkan dengan ikhlas dan tulus hatinya karena Allah semata-mata. Makna kedua ini tidak dibicarakan oleh ulama fiqh, akan tetapi menjadi pembicaraan ulama akhlak.
52
Dengan demikian jelaslah bahwa suatu amal dipandang sah menurut pendapat ulama fiqh, telah mencukupi rukun dan syaratnya yang tertentu.
Kata batal mempunyai dua pengertian, yaitu:
Tidak mencukupi, tidak melepaskan tanggungan atau kewajiban yang dituntut mengerjakannya. Batalnya sesuatu pekerjaan itu karena tidak cukup rukun dan syaratnya, karena itu dituntut mengerjakannya lagi.
Tidak mendapat pembalasan di hari akhirat nanti.
53
MAHKUM FIHI
Yang disebut mahkum fihi ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya. Pekerjaan yang ditaklifkan kepada mukallaf, dalam melaksanakannya diperlukan beberapa syarat:
Perbuatan atau pekerjaan itu mungkin terjadinya. Karena mustahil suatu perintah disangkutkan dengan yang mustahil, seperti mengumpulkan antara dua hal yang berlawanan. Tegasnya tidak diperintahkan sesuatu melainkan sesuatu itu belum ada dan mungkin akan terwujud.
Dapat diusahakan oleh hamba, dan pekerjaan itu menurut ukuran biasa sanggup dilakukan oleh orang yang menerima khithab itu.
Diketahui bahwa perbuatan itu dapat dibedakan oleh orang yang diberi tugas, baik secara pribadi maupun bersama orang lain dengan jelas.
Mungkin dapat diketahui oleh orang yang diberi tugas bahwa pekerjaan itu perintah Allah, sehingga ia mengerjakannya mengikuti sebagaimana diperintahkan. Yang dimaksud dengan yang diketahui di sini ialah ada kemungkinan untuk dapat diketahui dengan jala n memperhatikan dalil-dalil dan menggunakan nadzar.
Dapat dikerjakan dengan ketaatan, yakni bahwa pekerjaan itu dilakukan untuk menunjukkan sikap taat. Kebanyakan ibadat masuk golongan ini, kecuali dua perkara, yaitu:
Nadzar yang menyampaikan kita kepada suatu kewajiban yang tidak mungkin dikerjakan dengan qasad taat, karena tidak diketahui wajibnya sebelum dikerjakan.
54
Pokok bagi iradat taat dan ikhlas. Bagi yang taat dan ikhlas terhadap iradat mendapat pahala, karena kalau memang dikehendaki niscaya terlaksana juga iradat itu.
Di samping syarat-syarat yang penting sebagaimana tersebut di atas, bercabanglah beberapa masalah yang lain, sebagai berikut:
Sanggup mengerjakan. Tidak boleh diberatkan sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan oleh mukallaf atau mustahil dilakukan olehnya. Yang tak sanggup atau mustahil dilaksanakan itu adakalanya suatu yang memang tak dapat dilakukan, seperti mengumpulkan antara dua hal yang berlawanan, yakni yang dzatnya daripada pekerjaan itu tidak ada, dan mustahil menurut adat, yaitu perbuatan-perbuatan itu sendiri mungkin terwujud tetapi mukallaf tak sanggup melaksanakannya.
Pekerjaan (sesuatu) yang tidak akan terjadi karena telah dijelaskan oleh Allah, bahwa pekerjaan itu tidak akan aka n terjadi. Sebagian ulama berpendapat, bahwa boleh ditaklifkan kepada hamba sesuatu yang diketahui Allah tidak akan terjadi, seperti jauhnya Abu Lahab terhadap rasa iman. Hal ini dapat dijadikan hujjah untuk membolehkan taklif terhadap sesuatu yang mustahil.
Pekerjaan yang sukar sekali dilaksanakan. Di antara pekerjaan itu ada yang masuk di bawah kesanggupan mukallaf, akan tetapi sukar sekali dilaksanakan. Pekerjaan yang sukar itu ada dua macam:
Yang kesukarannya itu luar biasa dalam arti sangat memberatkan bila perbuatan itu dilaksanakan.
Yang tingkatannya tidak sampai pada tingkat yang sangat memberatkan, hanya terasa lebih berat daripada yang biasa. Secara a kal, tidak diragukan lagi tentang kebolehan taklif dengan bahagian pertama, karena mungkin terjadi sebagaimana tidak dapat dibantah lagi bahwa bukanlah syara' bermaksud memberatkan mukallaf itu dengan beban yang sangat
55
menyukarkan. Dalam kenyataan tidak terjadi taklif yang demikian itu. Membebankan para mukallaf dengan beban bagian yang kedua, itulah yang terjadi.
Pekerjaan-pekerjaan yang diizinkan karena menjadi sebab timbulnya kesukaran yang luar biasa. Pekerjaan-pekerjaan yang demikian ada kalanya hasil dari sebab dan ikhtiar mukallaf sendiri, padahal perbuatan itu sendiri menghendaki dan adakalanya juga bukan karena kehendak mukallaf dan ikhtiarnya.
Macam-macam perbuatan yang digantungkan hukum kepadanya ada beberapa macam, yaitu:
Pekerjaan-pekerjaan yang dipandang hak Allah semata-mata. Yaitu segala sesuatu yang mendatangkan manfaat umum, oleh karenanya tidak hanya kepada seseorang tertentu saja. Dikatakan pekerjaan-pekerjaan itu hak Allah karena mengingat kepentingannya yang besar dan kepada kelengkapan manfaat daripada pekerjaan-pekarjaan itu.
Hal itu terbagi kepada beberapa bagian:
Pekerjaan-pekerjaan yang dipandang ibadat semata-mata, seperti iman, shalat, shaum, haji, umrah dan jihad.
Pekerjaan ibadat yang di dalamnya terasa adanya beban yakni diwajibkannya lantaran orang lain, seperti nafkah.
Pekerjaan-pekerjaan yang dikerjakan lantaran orang lain tetapi mengandung pengertian ibadat, seperti membayar 1/10 (sepersepuluh) dari hasil tanah 'usyur.
56
Pekerjaan-pekerjaan yang diberatkan karena orang lain dan mengandung paksaan, seperti membayar upeti tanah. Lantaran membayar upeti terpaksalah kita mengerjakan tanah itu.
Pekerjaan-pekerjaan yang tidak tersangkut dengan tanggungan seseorang, seperti 1/5 (seperlima) dari harta rampasan barang logam dan barang-barang galian yang didapati dari simpanan orang dahulu. Seperlima itu diambil dari harta yang didapati dan diberikan kepada mereka yang telah ditetapkan Allah, sebagai penyampaian hak Allah, bukan sebagai ibadat kita.
Pekerjaan-pekerjaan yang semata-mata paksaan, seperti hukuman siksa, zina, mencuri, meminum minuman yang memabukkan.
Pekerjaan-pekerjaan yang dipandang setengah paksaan, seperti mengharamkan pembunuh menerima pusaka dari orang yang dibunuh.
Pekerjaan-pekerjaan yang mengandung ibadah dan paksaan, seperti kaffarah, dikatakan ibadah, karena yang dijadikan kaffarah itu ibadah, umpamanya puasa, memerdekakan budak dan disyaratkan niat. Dipandang paksaan adalah karena kaffarah itu lantaran berbuat kesalahan.
Pekerjaan yang dihukum hak hamba ha mba semata-mata. Pekerjaan-pekerjaan yang dihukum hak hamba semata-mata seperti membayar harga barang yang kita rusakkan, meMiliki barang yang kita beli dan sebagainya.
Pekerjaan-pekerjaan yang terkumpul padanya hak Allah dan hak hamba, akan tetapi hak Allah lebih kuat. Bagian ini diumpamakan hukum menukas zina. Apabila ditinjau bahwa hukum tukas itu mendatangkan kebaikan kepada masyarakat, nyatalah bahwa ia adalah hak Allah dan apabila ditinjau bahwa
57
hukum tukas itu dilakukan untuk menolak keaiban dari orang yang ditukas nyatalah bahwa ia itu hak hamba. Lantaran hak Allah di sini lebih keras, tidak boleh yang ditukas itu menggugurkan hukum itu dari orang yang menukas, dan tidak boleh hukum itu dilaksanakan oleh yang ditukas.
Pekerjaan-pekerjaan yang terkumpul padanya hak Allah dan hak hamba, akan tetapi hak hamba lebih kuat. Bagian ini ditampilkan dengan hukum qishash. Oleh karena dalam hal ini hak hamba lebih kuat, maka hamba yang bersangkutan boleh mengambil diYat saja atau memaafkan saja.
58
QIYAS
Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau da sar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam
Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur , seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu
mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain de ngan mencari persamaan-persamaannya.
Menurut para ulama ushul fiqh, ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak a da dasar nashnya dengan cara membandingkannya membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang te lah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan 'illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.
Telah terjadi suatu kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkannya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh dengan cara qiyas, yaitu dengan mencari peristiwa yang lain yang telah di tetapkan hukumnya berdasar nash, nash, serta antara kedua kejadian atau peristiwa itu ada persamaan 'illat. Jadi suatu qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian. Karena itu tugas pertama yang harus dilakukan oleh seorang yang akan melakukan qiyas, ialah mencari: apakah ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian.
59
Jika telah diyakini benar tidak ada nash yang dimaksud barulah dilakukan qiyas. Agar lebih mudah memahaminya dikemukakan contoh-contoh berikut:
1. Menggunakan narkotika adalah suatu perbuatan yang perlu diterapkan hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar firman Allah SWT:
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan." (al-Mâidah: 90)
Antara minum narkotik dan minum khamr ada persamaan, illatnya, yaitu sama-sama berakibat memabukkan para peminumnya, sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum meminum narkotik itu yaitu haram, sebagaimana haramnya meminum khamr.
2. Si A telah menerima wasiat dari B bahwa ia akan a kan menerima sebidang tanah yang telah ditentukan, jika B meninggal dunia. A ingin segera memperoleh tanah yang diwasiatkan, karena i tu dibunuhnyalah B. Timbul persoalan: Apakah A tetap memperoleh tanah yang diwasiatkan itu? Untuk menetapkan hukumnya dicarilah kejadian yang lain yang ditetapkan hukumnya berdasar nash dan ada pula persamaan 'illatnya. Perbuatan itu ialah pembunuhan yang dilakukan
60
oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya, karena ingin segera memperoleh harta warisan.
Sehubungan dengan itu Rasulullah SAW bersabda:
"Orang yang membunuh (orang yang akan diwarisinya) tidak berhak mewarisi." (HR. Tirmidzi)
Antara kedua peristiwa itu ada persamaan 'illatnya, yaitu i ngin segera memperoleh sesuatu sebelum sampai waktu yang ditentukan. Berdasarkan persamaan 'illat itu dapat ditetapkan hukum bahwa si A haram memperoleh tanah yang diwariskan B untuknya, karena ia telah membunuh orang yang telah berwasiat untuknya, sebagaimana orang yang membunuh orang yang akan diwarisinya, diharamkan memperolah harta warisan dari orang yang telah dibunuhnya.
3. Terus melakukan sesuatu pekerjaan, seperti mencangkul di sawah, bekerja di kantor, dan sebagainya setelah mendengar adzan untuk melakukan shalat Jum'at belum ditetapkan hukumnya. Lalu dicari perbuatan lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash dan ada pula persamaan 'illatnya, yaitu terus menerus melakukan jual beli setelah mendengar adzan Jum'at, yang hukumnya makruh. Berdasar firman AIIah SWT:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila diserukan (adzan) untuk sembahyang hari Jum'at, maka hendaklah segera mengingat Allah
61
(shalat Jum'at) dan meninggalkan jual-beli. Yang demikian itu lebih baik untukmu jika kamu mengetahui." (al-Jumu'ah: 9)
Antara kedua pekerjaan itu ada persamaan 'illatnya, karena itu dapat pula ditetapkan hukum mengerjakan suatu pekerjaan setelah mendengar adzan Jum'at, yaitu makruh seperti hukum melakukan jual-beli setelah mendengar adzan Ju'mat.
Dari contoh-contoh di atas dapat dilihat bahwa dalam melakukan qiyas ada satu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya sedang tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar hukumnya untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian itu, dicarilah peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kedua peristiwa atau kejadian itu mempunyai 'illat yang sama pula. Kemudian ditetapkanlah hukum peristiwa atau kejadian yang pertama sama dengan hukum peristiwa atau kejadian yang kedua.
Dasar Hukum Qiyas
Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau da sar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Hanya mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas yang boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum, ada yang membatasinya dan ada pula yang tidak membatasinya, namun semua mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.
Hanya sebagian kecil para ulama yang tidak
62
membolehkan pemakaian qiyas sebagai dasar hujjah, di antaranya ialah salah satu cabang Madzhab Zhahiri dan Madzhab Syi'ah.
Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah al-Qur'an dan al-Hadits dan perbuatan sahabat yaitu:
1. Al-Quran
"Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu be riman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (an-Nisâ': 59)
Dari ayat di atas dapat diambil pengertian bahwa Allah SWT memerintahkan kaum muslimin agar menetapkan segala sesuatu berdasarkan al-Quran dan alHadits. Jika tidak ada dalam al-Quran dan al-Hadits hendaklah mengikuti pendapat ulil amri. Jika tidak ada pendapat ulil amri boleh menetapkan hukum dengan mengembalikannya kepada al-Quran dan al-Hadits, yaitu dengan menghubungkan atau memperbandingkannya dengan yang terdapat dalam al-Quran dan al-Hadits. Dalam hal i ni banyak cara yang dapat dilakukan di antaranya dengan melakukan qiyas.
63
"Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir ahli kitab dari k ampung halaman mereka pada pengusiran pertama kali. Kamu tidak mengira bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin bahwa benteng-benteng mereka akan dapat menghindarkan mereka dari (siksaan) Allah, akan tetapi Allah mendatangkan kepada mereka (siksaan) dari arah yang tidak mereka sangka. Dan Allah menanamkan ketakutan ke dalam hati mereka, dan mereka membinasakan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan-tangan orang yang beriman. Maka ambillah tamsil dan ibarat (dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai pandangan yang tajam." (al-
Hasyr: 2)
Pada ayat di atas terdapat perkataan fa'tabirû yâ ulil abshâr . Maksudnya ialah Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar membandingkan kejadian yang terjadi pada diri sendiri kepada kejadian yang terjadi pada orang-orang kafir itu. Jika orang-orang beriman melakukan perbuatan seperti perbuatan orang-orang kafir itu, niscaya mereka akan memperoleh azab yang serupa. Dari penjelmaan ayat di atas dapat dipahamkan bahwa orang boleh menetapkan suatu hukum syara' dengan cara melakukan perbandingan, persamaan atau qiyas.
2. Al-Hadits
Setelah Rasulullah SAW melantik Mu'adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau bertanya kepadanya:
64
"Bagaimana (cara) kamul menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu'adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar alQuran. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Quran? Mu'adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu'adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu'adz (Mu'adz berkata): be rkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya. " (HR. Ahmad Abu Daud
dan at-Tirmidzi)
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Quran dan al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu di antaranya ialah dengan menggunakan qiyas.
Rasulullah SAW pernah menggunakan qiyas wa ktu menjawab pertanyaan yang dikemukakan sahabat kepadanya, seperti:
65
"Sesungguhnya seorang wanita dari qabilah Juhainah pernah menghadap Rasullah SAW ia berkata: Sesungguhnya ibuku telah bernadzar melaksanakan ibadah haji, tetapi ia tidak sempat melaksanakannya sampai ia meninggal dunia, apakah aku berkewajiban melaksanakan hajinya? Rasullah SAW menjawab: Benar, laksanakanlah lak sanakanlah haji untuknya, tahukah kamu, seandainya ibumu mempunnyai hutang, tentu kamu yang akan melunasinya. Bayarlah hutang kepada Allah, karena hutang kepada Allah lebih utama untuk dibayar." (HR. Bukhari dan an-Nasâi)
Pada hadits di atas Rasulullah mengqiyaskan hutang kepada Allah dengan hutang kepada manusia. Seorang anak perempuan menyatakan bahwa ibunya telah meninggal dunia dalam keadaan berhutang kepada Allah, yaitu belum sempat menunaikan nadzarnya untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian Rasulullah SAW menjawab dengan mengqiyaskannya mengqiyaskannya kepada hutang. Jika seorang ibu meninggal dunia dalam keadaan berhutang, maka anaknya wajib melunasinya. Beliau menyatakan hutang kepada Allah lebih utama dibanding dengan hutang kepada manusia. Jika hutang kepada manusia wajib dibayar tentulah hutang kepada Allah lebih utama harus dibayar. Dengan cara demikian seakan-akan Rasulullah
66
SAW menggunakan qiyas aulawi.
3. Perbuatan sahabat
Para sahabat Nabi SAW banyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya. Seperti alasan pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Menurut para sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah dibanding sahabat-sahabat yang lain, karena dialah yang disuruh Nabi SAW mewakili beliau sebagai imam shalat di waktu beliau sedang sakit. Jika Rasulullah SAW ridha Abu Bakar mengganti beliau sebagai imam shalat, tentu beliau lebih ridha ji ka Abu Bakar menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan.
Khalifah ‘Umar bin Khattab pernah menuliskan surat kepada Abu Musa alAsy'ari yang memberikan petunjuk bagaimana seharusnya sikap dan cara seorang hakim mengambil keputusan. Di antara isi surat beliau itu ia lah:
"Kemudian pahamilah benar-benar persoalan yang dikemukakan kepadamu tentang perkara yang tidak terdapat dalam al-Quran dan Sunnah. Kemudian lakukanlah qiyas dalam keadaan demikian terhadap perkara-perkara itu dan carilah contoh-contohnya, kemudian berpeganglah kepada pendapat engkau yang paling baik di sisi Allah dan yang paling sesuai dengan kebenaran..."
4. Akal
Tujuan Allah SWT menetapakan syara' bagi kemaslahatan manusia. Dalam pada itu setiap peristiwa ada yang diterangkan dasarnya dalam nash dan ada
67
pula yang tidak diterangkan. Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash atau tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya ada yang 'illatnya sesuai benar dengan 'illat hukum dari peristiwa yang ada nash sebagai dasarnya. Menetapkan hukum dari peristiwa yang tidak ada nash sebagai dasarnya ini sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan berdasar nash karena ada persamaan 'illatnya diduga keras akan memberikan kemaslahatan kepada hamba. Sebab itu tepatlah kiranya hukum dari peristiwa itu ditetapkan dengan cara qiyas.
Bila diperhatikan akan tampak bahwa nash-nash al-Quran dan al-Hadits ada yang bersifat umum penjelasannya dan ada yang bersifat khusus, ada yang mujmal dan ada yang mubayyan. Biasanya yang bersifat umum dan mujmal, merupakan dasar-dasar umum dari syari'at Islam. Dalam pada itu peristiwa atau kejadian setiap saat bertambah. Banyak peristiwa atau kejadian yang terjadi sekarang tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah, dan peristiwa itu perlu ditetapkan hukumnya, sedang tidak ada nash secara khusus tentang masalah itu yang dapat dijadikan sebagai dasarnya, tetapi prinsip-prinsip umum dari peristiwa itu terpaham pada prinsip-prinsip umum ajaran Islam yang ditemukan harus dapat ditemukan di dalam al-Quran dan Ha dits. Dengan melakukan qiyas maka hukum dari setiap peristiwa yang terjadi dapat ditetapkan.
Alasan Golongan yang Tidak Menerima Qiyas
Telah diterangkan bahwa ada golongan yang tidak menerima qiyas sebagai dasar hujjah. Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
1. Menurut mereka qiyas dilakukan atas dasar zhan (dugaan keras), dan 'illat-nyapun ditetapkan berdasarkan dugaan keras pula, sedang Allah SWT melarang kaum muslimin mengikuti sesuatu yang zhan, berdasar firman Allah SWT:
68
"Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang itu..." (al-Isrâ': 36)
2. Sebahagian sahabat mencela sekali orang yang menetapkan pendapat semata-mata berdasarkan akal pikiran, seperti pernyataan ‘Umar bin Khattab:
"Jauhilah oleh kamu golongan rasionalisme, karena mereka adalah musuh ahli sunnah. Karena mereka tidak sanggup menghafal hadits-hadits, lalu mereka menyatakan pendapat akal mereka (saja), sehingga mereka s esat dan menyesatkan orang."
Jika diperhatikan alasan-alasan golongan yang tidak menggunakan qiyas sebagai dasar hujjah akan terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan. Ayat 36 surat al-Isrâ', tidak berhubungan berhubungan dengan qiyas, tetapi berhubungan dengan hawa nafsu seseorang yang ingin memperoleh keuntungan walaupun dengan menipu, karena pada ayat-ayat sebelumnya diterangkan hal-hal yang berhubungan dengan perintah menyempurnakan timbangan dan sukatan, perintah Allah memberikan harta anak yatim dan sebagainya dan dilarang oleh Allah melakukan tipuan dalam hal ini untuk mengambil harta orang lain. Sedang penegasan ‘Umar bin Khattab berawanan dengan isi suratnya kepada Mu'adz bin Jabal, karena itu harus dicari penyelesaiannya. Pernyataan ‘Umar di atas memperingatkan orang-orang yang terlal u berani menetapkan hukum, lebih mengutamakan pikirannya dari nash-nash yang ada dan tidak
69
menjadikan al-Quran dan Hadits sebagai pedoman rasionya di dalam proses mencari dan menetapkan hukum atas masalah-masalah hukum yang baru.
Golongan ra'yu yang dimaksudkan ‘Umar bin Khattab tersebut adalah mereka yang menomorsatukan rasio, terlepas dari dari al-Quran dan alHadits, sehingga kedudukan al-Quran bagi mereka adalah nomor dua setelah rasio atau sudah dikesampingkannya sama sekali. Dalam hal ini jelas bahwa cara berfikir golongan ra'yu (rasional) yang dikecam ‘Umar bin Khattab tersebut tidak berpikir secara Islami. Apalagi kaum rasionalis tersebut tidak dapat melepaskan diri dari subyektivitas kepentingan individu dan golongannya, sedang surat ‘Umar kepada Mu'adz membolehkan untuk melakukan giyas, jika tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa.
Rukun Qiyas
Ada empat rukun giyas, yaitu: 1. Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis 'alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul 'alaih (tempat membandingkan);
2. Fara' yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara' disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan); 3. Hukum ashal, yaitu hukum dari ashal yang telah tela h ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara' seandainya ada persamaan 'illatnya; dan 4. 'IIIat , yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara'. Seandainya sifat ada pula pada fara', maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara' sama dengan hukum ashal.
70
Sebagai contoh adalah menjual harta anak yatim adalah suatu peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini disebut fara'. Untuk menetapkan hukumnya dicari suatu peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yang illatnya sama dengan peristiwa pertama. Peristiwa kedua ini memakan harta anak yatim yang disebut ashal. Peristiwa ke dua ini telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yaitu haram (hukum ashal) berdasarkan firman Allah SWT:
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh se penuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang y ang menyala-nyala (neraka)." (an-Nisâ': 10)
Persamaan 'illat antara kedua peristiwa ini, ia lah sama-sama berakibat berkurang atau habisnya harta anak yatim. Karena itu ditetapkanlah hukum menjual harta anak yatim sama dengan memakan harta a nak yatim yaitu sama-sama haram.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: •
Ashal, ialah memakan harta anak yatim.
•
Fara', ialah menjual harta anak yatim.
•
Hukum ashal, ialah haram.
•
'Illat, ialah mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim.
71
Syarat-syarat Qiyas
Telah diterangkan rukun-rukun qiyas. Tiap-tiap rukun itu mempunyai syaratsyarat sebagai berikut:
1. Ashal dan fara'
Telah diterangkan bahwa ashal dan fara' berupa kejadian atau peristiwa. Yang pertama mempunyai dasar nash, karena itu telah ditetapkan hukumnya, sedang yang kedua tidak mempunyai me mpunyai dasar nash, sehingga belum ditetapkan hukumnya. Oleh sebab itu ashal disyaratkan berupa peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, sedang fara' berupa peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Hal ini berarti bahwa seandainya terjadi qiyas, kemudian dikemukakan nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya, maka qiyas itu batal dan hukum fara' itu ditetapkan berdasar nash yang baru ditemukan itu.
2. Hukum ashal
Ada beberapa syarat yang diperlukan bagi hukum ashal, yaitu:
Hukum ashal itu hendaklah hukum syara' yang amali yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Hal ini diperlukan karena yang akan ditetapkan itu adalah hukum syara', sedang sandaran hukum syara' itu adalah nash. Atas dasar yang demikian, maka jumhur ulama tidak berpendapat bahwa ijma' tidak boleh menjadi sandaran qiyas. Mereka menyatakan bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma' adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan, tidak mempunyai sandaran, selain dari kesepakatan dari mujtahid. Karena hukum yang ditetapkan secara ijma' tidak dapat diketahui dengan pasti, sehingga tidak mungkin mengqiyaskan hukum
72
syara' yang amali kepada hukum yang mujma' 'alaih. Asy-Syaukani membolehkan ijma' sebagai sandaran qiyas.
'Illat hukum ashal itu adalah 'illat yang dapat dicapai oleh akal. Jika 'illat hukum ashal itu tidak dapat dicapai oleh akal, tidaklah mungkin hukum ashal itu digunakan untuk menetapkan hukum pada peristiwa atau kejadian yang lain (fara') secara qiyas. Sebagaimana diketahui bahwa syari'at itu ditetapkan untuk kemaslahatan manusia, serta berdasarkan 'illat-'illat yang ada padanya. Tidak ada hukum yang ditetapkan tanpa 'illat. Hanya saja ada 'illat yang sukar diketahui bahkan ada yang sampai tidak diketahui oleh manusia, seperti apa illat shalat Zhuhur ditetapkan empat raka'at, apa pula 'illat shalat Maghrib ditetapkan tiga raka'at dan sebagainya tidak ada yang mengetahui 'illatnya dengan pasti. Di samping itu ada pula ada pula hukum yang 'illatnya dapat diketahui dengan mudah, seperti kenapa diharamkan meminum khamar, haram mengambil harta orang lain dan sebagainya. Hukum ashal kedua inilah yang dapat dijadikan sandaran qiyas.
Hukum ashal itu tidak merupakan hukum pengecualian atau hukum yang berlaku khusus untuk satu peristiwa atau kejadian tertentu. Hukum ashal macam ini ada dua macam, yaitu: o
'Illat hukum itu hanya ada pada hukum ashal saja, tidak mungkin pada yang lain. Seperti dibolehkannya mengqashar shalat bagi orang musafir. 'IlIat yang masuk akal dalam ha l ini ialah untuk menghilangkan kesukaran atau kesulitan (musyaqqat). Tetapi al-Quran dan al-Hadits menerangkan
bahwa 'illat itu bukan karena adanya safar (perjalanan). o
Dalil (al-Quran dan al-Hadits) menunjukkan bahwa hukum ashal itu berlaku khusus tidak berlaku pada kejadian atau peristiwa yang lain. Seperti beristri lebih dari empat hanya dibolehkan bagi Nabi Muhammad SAW saja dan istri beliau itu tidak boleh kawin dengan laki-laki la in walaupun beliau telah meninggal dunia, dan sebagainya.
73
3. 'Illat
'Illat ialah suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi dasar untuk
menetapkan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum pada fara' yang belum ditetapkan hukumnya, seperti menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat yang terdapat pada perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi dasar untuk menetapkan haramnya hukum menjual harta anak yatim.
Para ulama sepakat bahwa Allah SWT membentuk hukum dengan tujuan untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Kemaslahatan itu adakalanya dalam bentuk mengambil manfaat (jalbul manâfi') dan adakalanya dalam bentuk menolak kerusakan dan bahaya (darul mafâsid). Kedua macam bentuk hukum itu merupakan tujuan terakhir te rakhir dari pembentukan hukum yang disebut hikmah hukum.
Hikmah hukum berbeda dengan 'illat hukum. Hikmah hukum merupakan pendorong pembentukan hukum dan sebagai tujuannya yang terakhir ialah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat dengan memperoleh manfaat dan keuntungan serta terhindar dari segala macam kerusakan. 'Illat hukum suatu sifat yang nyata dan pasti ada pada suatu peristiwa yang dijadikan dasar hukum.
'IlIat merupakan sifat dan keadaan yang melekat pada dan mendahului peristiwa/ perbuatan hukum yang terjadi dan menjadi sebab hukum, sedangkan hikmah adalah sebab positif dan hasil yang dirasakan kemudian setelah adanya peristiwa hukum. Sebagai contoh ialah seorang musafir boleh mengqashar shalatnya, seperti mengerjakan shalat Zhuhur yang empat rakaat menjadi dua rakaat dan sebagainya. Hikmahnya ialah untuk menghilangkan kemusyaqqatan atau kemudharatan. Hikmah ini hanya merupakan dugaan saja dan tidak dapat dijadikan dasar ada at au tidaknya hukum, sedang 'illat adalah suatu yang nyata dan pasti, seperti safar (dalam perjalanan) menyebabkan seseorang boleh mengqashar shalat.
74
Mengenai 'illat hukum dan sebab hukum, ada yang tidak membedakannya, mereka menyamakan arti kedua istilah tersebut. Sebagian ulama lagi membedakannya, sekalipun perbedaan itu sangat sedikit. Menurut mereka 'illat hukum dapat dicapai oleh akal, sedang sebab hukum ada yang dapat dicapai akal dan ada yang sukar dicapai oleh akal. Sebenarnya untuk membedakan pengertian kedua istilah itu sukar dilakukan, karena ada suatu peristiwa yang dalam peristiwa itu 'illat dan sebabnya sama. Seperti tergelincir matahari pada siang hari merupakan sebab seorang muslim wajib mengerjakan shalat Zhuhur, demikian pula terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Sya'ban merupakan sebab kaum muslimin besoknya mengerjakan puasa bulan Ramadlan. Tetapi terbenam dan tergelincirnya matahari itu bukanlah 'illat hukum karena kedua sebab itu tidak terjangkau oleh akal. Lain halnya dengan safar (dalam perjalanan) di samping ia merupakan 'illat hukum, juga merupakan sebab hukum yang membolehkannya untuk mengqashar shalat.
Dengan demikian dapat ditetapkan bahwa sebab itu lebih umum dari 'illat, dengan perkataan lain bahwa semua 'illat dapat dikatakan sebab, tetapi belum tentu semua sebab dapat dikatakan 'illat.
Ada empat macam syarat-syarat illat yang disepakati ulama, yaitu:
-
Sifat 'illat itu hendaknya nyata, masih terjangkau oleh akal dan pancaindera. Hal ini diperlukan karena 'illat itulah yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada fara'. Seperti sifat menghabiskan harta anak yatim, terjangkau oleh pancaindera dan akal, bahwa 'illat it u ada pada memakan harta anak yatim (ashal) dan terjangkau pula oleh pancaindera dan akal bahwa 'illat itu ada pada menjual harta anak yatim (fara'). Jika sifat 'illat itu i tu samar-samar, kurang jelas dan masih
75
ragu-ragu, tentulah tidak dapat digunakan untuk menetapkan ada dan tidaknya hukum pada ashal.
-
Sifat 'illat itu hendaklah pasti, tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan bahwa 'illat itu ada pada fara', karena asas qiyas itu adalah adanya persamaan illat antara ashal dan fara'. Seperti pembunuhan sengaja dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya hakikatnya adalah pasti, karena itu dapat dijadikan dasar qiyas atas peristiwa pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja oleh penerima wasiat terhadap orang yang telah memberi wasiat kepadanya.
-
'Illat harus berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan hikmah hukum, dengan arti bahwa keras dugaan bahwa 'illat itu sesuai dengan hikmah hukumnya. Seperti memabukkan adalah hal yang sesuai dengan hukum haram minum khamar, karena dalam hukum itu terkandung suatu hikmah hukum, yaitu memelihara akal dengan menghindarkan diri dari mabuk. Pembunuhan dengan sengaja adalah sesuai dengan keharusan adanya qishash, karena dalam qishash itu terkandung suatu hikmah hukum yaitu untuk memelihara kehidupan manusia.
-
'Illat itu tidak hanya terdapat pada ashal saja, tetapi haruslah berupa sifat yang dapat pula diterapkan pada masalah-masalah lain selain dari ashal itu. Seperti hukum-hukum yang khusus berlaku bagi Nabi Muhammad SAW tidak dijadikan dasar qiyas. Misalnya mengawini wanita lebih dari empat orang, berupa ketentuan khusus berlaku bagi beliau, tidak berlaku bagi orang lain. Larangan istri-istri Rasulullah saw kawin dengan laki-laki lain setelah beliau meninggal dunia, sedang wanita-wanita lain dibolehkan.
Ditinjau dari segi ketentuan pencipta hukum (syari') tentang sifat apakah sesuai atau tidak dengan hukum, maka ulama ushul membaginya kepada empat bagian, yaitu:
Munasib mu'tsir
76
Yaitu persesuaian yang diungkapkan oleh syara' dengan sempurna, atau dengan perkataan lain bahwa pencipta hukum (syari') telah menciptakan hukum sesuai dengan sifat itu, seperti firman Allah SWT:
"Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid." (al-Baqarah: 222)
Pada ayat di atas Allah A llah SWT (sebagai syari') telah menetapkan hukum, yaitu haram mencampuri istri yang sedang haid. Sebagai dasar penetapan hukum itu ialah kotoran, karena kotoran itu dinyatakan dalam firman Allah SWT di atas sebagai 'illatnya. Kotoran sebagai sifat yang menjadi sebab haram mencampuri istri yang sedang haid adalah sifat yang sesuai dan menentukan penetapan hukum.
Munasib mulaim
Yaitu persesuaian yang diungkapkan syara' pada salah satu jalan saja. Maksudnya ialah persesuaian itu tidak diungkapkan syara' sebagai 'illat hukum pada masalah yang sedang dihadapi, tetapi diungkapkan sebagai 'illat hukum dan disebut dalam nash pada masalah yang la in yang sejenis dengan hukum yang sedang dihadapi. Contohnya, ialah kekuasaan wali untuk mengawinkan anak kecil yang di bawah perwaliannya tidak ada nash yang menerangkan 'illatnya. Pada masalah lain yaitu pengurusan harta anak yatim yang masih kecil, syara' mengungkapkan mengungkapkan keadaan kecil sebagai 'illat hukum yang menyebabkan wali berkuasa atas harta anak yatim yang berada di bawah perwaliannya itu. Berdasarkan pengungkapan syara' itu maka keadaan kecil dapat pula dijadikan 'illat untuk menciptakan hukum pada masalah lain, seperti penetapan
77
kekuasaan wali dalam mengawinkan anak yatim yang berada di bawah perwaliannya.
Munasib mursal
Ialah munasib yang tidak dinyatakan dan tidak pula diungkapkan oleh syara'. Munasib mursal berupa sesuatu yang nampak oleh mujtahid bahwa menetapkan hukum atas dasarnya mendatangkan kemaslahatan, tetapi tiada dalil yang menyatakan bahwa syara' membolehkan atau tidak membolehkannya, seperti membukukan al-Quran atau mushhaf, tidak ada dalil yang membolehkan atau melarangnya. Tetapi Khalifah ‘Utsman bin Affan melihat kemaslahatannya bagi seluruh kaum muslimin, yaitu alQuran tidak lagi berserakan karena telah tertulis dalam satu buku serta dapat menghindarkan kaum muslimin dari kemungkinan terjadinya perselisihan tentang dialek al-Quran.
Munasib mulghaa
Yaitu munasib yang tidak diungkapkan oleh syara' sedikitpun, tetapi ada petunjuk yang menyatakan bahwa menetapkan atas dasarnya diduga dapat mewujudkan kemaslahatan. Dalam pada itu syara' tidak menyusun hukum sesuai dengan sifat atau 'illat tersebut, bahkan syara' memberi petunjuk atas pembatalan atas sifat tersebut. Sebagai contohnya, ialah kedudukan laki-Iaki dan perempuan dalam kerabat. Kemudian atas dasar persamaan itu mungkin dapat ditetapkan pula persamaan dalam warisan. Tetapi syara' mengisyaratkan pembatalannya dengan menyatakan bahwa bagian laki-Iaki adalah dua kali bagian perempuan.
Musâlikul 'illat atau cara atau metode yang digunakan untuk mencari sifat atau 'illat dari suatu peristiwa atau kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum, di antaranya yaitu:
Nash yang menunjukkannya
78
Ijma' yang menunjukkannya menunjukkannya
Dengan penelitian. Dengan penelitian ini terbagi kepada: Munasabah, As sabru wa taqsîm, Tanqîhul manath, Tahqîqul manath
Nash yang menunjukkannya
Dalam hal ini nash sendirilah yang menerangkan bahwa suatu sifat merupakan 'illat hukum dari suatu peristiwa atau kejadian. 'Illat yang demikian disebut 'illat manshuh 'alaih. Melakukan qiyas berdasarkan 'illat yang disebutkan oleh nash pada hakikatnya adalah menetapkan hukum suatu dasar nash.
Petunjuk nash tentang sifat suatu kejadian atau peristiwa yang merupakan 'illat itu ada dua macam, yaitu sharahah (jelas) dan ima' atau isyarah (dengan isyarat).
Dalalah sharahah ialah penunjuk lafadh yang terdapat dalam nash
kepada 'illat hukum jelas sekali. Atau dengan perkataan lain bahwa lafadh nash itu sendiri menunjukkan 'illat hukum dengan jelas, seperti ungkapan yang terdapat dalam nash: supaya demikian atau sebab demikian dan sebagainya. Dalalah sharahah ada dua macam, yang pertama dalalah sharahah yang qath'i dan kedua ialah dalalah sharahah yang dhanni .
Daialah sharahah yang qath'i, ialah apabila penunjukan kepada 'illat hukum itu pasti dan yakin, seperti firman AlIah SWT:
"(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu..." (an-Nisâ': 165)
79
Ayat ini menyatakan bahwa 'illat diutus para rasul yang membawa kabar gembira dan memberi peringatan itu ialah agar manusia t idak mencaricari alasan dengan mengatakan bahwa mereka belum pernah mendapat peringatan dari rasul yang diutus kepada mereka. Perkataan “li-allâ yakûna” dan “ba'darrasûl” merupakan 'illat hukum yang pasti, tidak
mungkin dialihkan kepada yang lain.
Dengan sabda Nabi Muhhammad SAW:
"Aku melarang kamu menyimpan daging binatang kurban tidak lain hanyalah karena banyak orang berkumpul (memerlukan). Dan (jika tidak banyak orang memerlukan) makan, simpanlah." (HR. an-Nasâi)
Pada hadits di atas diterangkan 'illat Rasulullah SAW melarang kaum muslimin menyimpan daging kurban, yaitu karena banyak orang yang memerlukannya. 'Illat larangan menyimpan daging kurban itu tidak dapat ditetapkan orang lain, selain dari li ajliddâfah (karena banyak orang memerlukannya).
Dalalah sharahah yang zhanni ialah apabila penunjuk nash kepada 'illat hukum itu adalah berdasar dengan keras (zhanni), karena kemungkinan dapat dibawa kepada 'illat hukum yang lain. Seperti firman Allah SWT:
"Dirikanlah shalat karena matahari tergelincir sampai gelap malam." (al-Isrâ'; 78)
80
Dan firman Allah SWT:
"Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka" (an-Nisâ': 160)
Pada ayat pertama terdapat huruf al-lâm pada perkataan liduluki dan huruf al-bâ' pada perkataan fabizhulmi. Al-lâm berarti karena dan dapat pula berarti sesudah, sedang al-bâ' berarti disebabkan dan dapat pula berarti dengan. Kedua arti tersebut dapat digunakan, akan tetapi menurut dugaan yang keras bahwa jika kedua huruf itu diartikan dengan karena dan disebabkan maka akan memperjelas arti ayat tersebut.
Dalalah ima' (isharah) ialah petunjuk yang dipahami dari sifat yang
menyertainya, atau dengan perkataan lain ialah ada suatu sifat yang menyertai petunjuk itu dan sifat itu merupakan 'illat ditetapkannya suatu hukum Jika penyertaan sifat itu tidak dapat dipahamkan demikian, maka tidak ada gunanya menyertakan sifat itu. Ada beberapa macam dalalah ima', di antaranya ialah:
Mengerjakan suatu pekerjaan karena terjadi suatu peristiwa sebelumnya. Seperti Nabi Muhammad SAW mengerjakan sujud sahwi, karena beliau lupa mengerjakan salah satu dari rukun shalat. Nabi Muhammad SAW memerintahkan seseorang memerdekakan budak, karena ia telah bercampur dengan istrinya pada siang hari bulan Ramadlan. Dari contoh di atas jelas bahwa kare na ada peristiwa lupa menjadi 'illat dilakukan sujud sahwi. Karena bercampur dengan isteri pada siang hari bulan Ramadhan menjadikan 'illat untuk memerdekakan budak.
81
Menyebutkan suatu sifat bersamaan (sebelum atau sesudah) dengan hukum. Seandainya sifat itu dipandang bukan sebagai 'illat tentulah tidak perlu disebutkan. Contohnya, adalah Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Seseorang tidak boleh memberi keputusan antara dua orang (yang berperkara) dalam keadaan ia sedang marah." (HR. Bukhari dan
Muslim)
Dari hadits di atas dipahamkan bahwa sifat marah disebut bersamaan dengan larangan memberi keputusan antara dua orang berperkara yang merupakan 'illat dari larangan mengadili perselisihan itu.
Membedakan dua buah hukum dengan menyebutkan dua sifat yang berbeda pula, seperti sabda Rasulullah SAW:
"Barisan berjalan kaki mendapat satu bagian, sedang barisan berkuda mendapat dua bagian." (HR. Bukhari dan Muslim)
Barisan berjalan kaki dan barisan berkuda menjadi 'illat perbedaan pembagian harta rampasan perang.
Membedakan dua hukum dengan syarat, seperti firman Allah SWT:
82
"...Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil maka berikanlah mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka kepada mereka berikanlah upahnya..." (ath-Thalak: 6)
Pada ayat ini diterangkan bahwa hamil menjadi syarat ('illat) wajibnya pemberian nafkah kepada istri yang ditalak bain dan menyusukan anak menjadi syarat ('illat) pemberian upah menyusukan anak.
Membedakan antara dua hukum dan batasan (ghayah), sebagaimana firman Allah SWT:
"...dan janganlah kamu mendekati mereka sehingga mereka suci." (al-
Baqarah: 222)
Pada ayat ini diterangkan bahwa kesucian mereka batas ('illat) kebolehan suami mencampuri istri.
Membedakan antara dua hukum dengan pengecualian (istimewa), sebagaimana firman Allah SWT:
83
"Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal kamu sudah menentukan maharnya maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah..." (al-Baqarah: 237)
Pada ayat ini diterangkan bahwa memaafkan merupakan pengecualian ('illat) hapusnya kewajiban membayar mas kawin.
Membedakan dua hukum dengan pengecualian (istidrak) sebagaimana firman Allah SWT:
"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja." (al-Mâidah: 89)
Pada ayat ini Allah SWT membedakan hukum dua perbuatan, yaitu perbuatan berupa sumpah yang tidak disengaja dan perbuatan berupa sumpah yang disengaja. Kesengajaan bersumpah dijadikan 'illat untuk penetapan hukum.
Ijma' yang menunjukkannya menunjukkannya
84
Maksudnya, ialah 'illat itu ditetapkan dengan ijma', belum baligh (masih kecil) menjadikan 'illat dikuasai oleh wali harta anak yatim yang belum baligh. Hal itu disepakati oleh para ulama.
Dengan penelitian
Ada bermacam cara penelitian itu dilakukan, yaitu:
Munasabah
Munasabah ialah persesuaian antara sesuatu hal, keadaan atau sifat dengan perintah atau larangan. Persesuaian Pe rsesuaian tersebut ialah persesuaian yang dapat diterima akal, karena persesuaian itu ada hubungannya hubungannya dengan mengambil manfaat dan menolak kerusakan atau kemudharatan bagi manusia. Allah SWT menciptakan syari'at bagi manusia ada maksud dan tujuannya, yaitu mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Agar maksud dan tujuan itu tercapai maka syari'at membagi perbuatan manusia atas tiga tingkatan, yaitu: = Tingkat dharuri (yang harus ada); = Tingkat haji (yang sangat diperlukan); dan = Tingkat tahsini (yang baik sekali dikerjakan).
Tingkat pertama lebih utama dari tingkat kedua, tingkat kedua lebih utama
85
dari tingkat ketiga.
Tingkat dharuri adalah hal-hal yang harus ada, tidak boleh tidak a da dalam usaha menegakkan agama Islam dan kepentingan umum. Apabila hal itu tidak ada tentulah t entulah akan rusak dan binasa dunia ini.
Tingkat dharuri ini mempunyai pula lima tingkat, tingkat pertama lebih utama, kemudian baru tingkat kedua, setelah itu tingkat ketiga, setelah itu keempat dan terakhir tingkat kelima. Bila tingkat pertama berlawanan dengan tingkat kedua maka dimenangkan tingkat pertama, demikianlah seterusnya sampai tingkat kelima.
Kelima tingkat itu, ialah: •
Memelihara agama. Untuk maksud ini maka Allah SWT memerintahkan kaum muslimin agar menegakkan syi'ar-syi'ar Allah, seperti mendirikan shalat yang lima waktu, puasa, zakat, haji, jihad, dan sebagainya;
•
Memelihara jiwa, untuk ini dilarang membunuh jiwa, te rmasuk jiwa sendiri, disyari'atkan hukum qishash qi shash dan sebagainya.
•
Memelihara akal, untuk ini diharamkan minum khamar dan semua perbuatan yang dapat merusak akal;
•
Memelihara keturunan, untuk ini dilarang zina dengan menjatuhkan hukuman berat bagi pelakunya; dan
•
Memelihara harta, untuk ini ditetapkan hukum potong tangan bagi pencuri, hukuman berat bagi perampok dan sebagainya.
Manusia dalam kehidupannya ada yang dalam keadaan lapang dan ada yang dalam keadaan sukar dan sempit, terutama dalam menghadapi kewajiban dan memikul beban yang ditugaskan dan dibebankan Allah SWT kepada mereka. Bagi orang-orang yang dalam keadaan kesempitan dan kesukaran Allah SWT selalu memberikan kelapangan dan kemudahan bagi mereka. Seandainya kemudahan dan
86
keringanan itu tidak diberikan, kehidupan manusia akan terasa sulit dan sengsara. Tingkat haji terdapat pada: •
Ibadat, seperti boleh mengqadha puasa bulan Ramadlan bagi orang yang sakit atau musafir, boleh mengqashar shalat bagi orang yang dalam keadaan takut atau musafir, boleh tayamum bagi orang yang tidak memperoleh air dan sebagainya;
•
Mu'amalat, seperti boleh melakukan salam, ijârah dan sebagainya;
•
Adat, seperti boleh berburu.
Tingkat tahsini adalah segala sesuatu yang baik dikerjakan terutama yang berhubungan dengan akhlak dan susila. Kalau tahsini ada, kehidupan manusia akan tinggi nilainya dan terasa indah, tetapi kalau tahsini tidak ada kehidupan manusia tidak akan rusak. Di antara contoh tahsini ialah: •
Dalam ibadat, seperti berhias dalam mengerjakan shalat, mengerjakan perbuatan yang sunnah dan sebagainya;
•
Adat, seperti sopan santun dalam pergaulan hormat-menghormati dan sebaginya;
•
Mu'amalat, seperti menghindarkan diri dari menjual najis.
Dalam munasabah diperlukan ketajaman untuk meneliti mana yang termasuk tingkat dharuri, mana yang tingkat haji dan mana yang termasuk tingkat tahsini. Dengan mengetahui tingkat perbuatan itu maka hukum yang berhubungan dengan dharuri harus le bih diutamakan menjalankannya jika berlawanan dengan perbuatan haji atau tahsini, seperti membunuh jiwa termasuk menghilangkan jiwa diharamkan oleh Allah. Tetapi membunuh jiwa dalam peperangan dibolehkan untuk menegakkan agama. Meminum khamar diharamkan karena merusak akal, tetapi meminum khamar itu dibolehkan untuk berobat, sehingga jiwa terpelihara.
As sabru wa taqsim
87
kemungkinan-kemungkinan dan taqsim As sabru berarti meneliti kemungkinan-kemungkinan berarti menyeleksi atau memisah-misahkan. As sabru wa taqsim maksudnya ialah meneliti kemungkinan-kemungkinan sifat-sifat pada suatu peristiwa atau kejadian, kemudian memisahkan atau memilih di antara sifat-sifat itu yang paling tepat dijadikan sebagai 'illat hukum. As sabru wa taqsim dilakukan apabila ada nash tentang suatu peristiwa atau kejadian, tetapi tidak ada nash atau ijma' yang menerangkan 'illatnya.
Contoh As sabru wa taqsim adalah sebagai berikut:
Rasulullah SAW mengharamkan riba fadhli, yaitu menukar bendabenda tertentu yang sejenis dengan takaran atau timbangan yang berbeda, berdasarkan sabda beliau:
"Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, padi dengan padi, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaklah sama jenisnya, sama ukurannya lagi kontan. Apabila berbeda jenisnya, maka juallah menurut kehendakmu, bila itu dilakukan dengan kontan." (HR. Muslim)
Dalam menetapkan haramnya riba fadhli sesuai dengan hadits di atas, tidak ada nash yang lain atau ijma' yang menerangkan 'illatnya. Karena itu perlu dicari 'illatnya dengan as sabru wa taqsim.
Ada enam macam yang disebut dalam hadits di atas. Para mujtahid mencari sifat-sifat dari yang enam macam itu, kemudian menetapkan
88
sifat yang sama dan patut dijadikan 'illat. Yang pertama ialah gandum. Sifat-sifat gandum, ialah pertama termasuk jenis yang dapat dipastikan ukurannya, karena ia dapat diukur dengan takaran, kedua ia termasuk jenis makanan, bahkan ia termasuk jenis makanan pokok, dan ketiga ia termasuk jenis tanaman. Kemudian kita terapkan sifatsifat ini pada lima macam yang lain. Pada emas dan perak hanya didapati sifat pertama, pada gandum, padi dan kurma terdapat ketiga macam sifat di atas, sedang pada garam didapati sifat pertama dan kedua. Berdasarkan penetapan itu maka diperoleh satu sifat yang dipunyai oleh keenam macam tersebut pada hadits di atas, yaitu sifat pertama bahwa keenam macam jenis itu termasuk jenis yang dapat dipastikan dengan ukurannya baik dengan timbangan atau dengan takaran. Sifat ini dapat ditetapkan sebagai 'illat untuk menetapkan hukum bahwa haram mempertukarkan barang yang sejenis yang dapat dipastikan ukurannya bila tidak sama timbangan, takaran, mutu dan tidak pula dilakukan dengan kontan.
Contoh lain adalah kesepakatan para ulama bahwa para wali m ujbir boleh menikahkan anak kecil wanita tanpa persetujuan anak itu, tetapi tidak ada nash yang menerangkan 'illatnya. Karena itu para mujtahid meneliti sifat-sifat yang mungkin dijadikan 'illatnya. Di antara sifat yang mungkin dijadikan 'illat, ialah belum baligh, gadis (bikr) dan belum dewasa (rusyd).
Pada ayat 6 surat an-Nisâ' tidak dewasa dapat dijadikan 'illat
89
seorang wali menguasai harta seorang yatim yang belum dewasa. Karena itu ditetapkanlah belum dewasa itu sebagai 'illat kebolehan wali mujbir menikahkan anak perempuan yang berada di bawah perwaliannya.
Tanqîhul manath
Tanqîhul manath, ialah mengumpulkan sifat-sifat yang ada pada fara' dan sifat-sifat yang ada pada ashal, kemudian dicari yang sama sifatnya. Sifat-sifat yang sama dijadikan sebagai 'illat, sedang sifat yang tidak sama ditinggalkan. Sebagai contoh ialah, pada ayat 25 surat an-Nisâ' diterangkan bahwa hukuman yang di berikan kepada budak perempuan adalah separuh dari hukuman kepada orang merdeka sedang tidak ada nash yang menerangkan hukuman bagi budak laki-Iaki. Setelah dikumpulkan sifat-sifat yang ada pada keduanya maka yang sama ialah sifat kebudakan. Karena itu ditetapkanlah bahwa sifat kebudakan itu sebagai 'illat untuk menetapkan hukum bahwa hukuman bagi budak la ki-Iaki sama dengan yang diberikan kepada budak perempuan, yaitu separuh dari hukuman yang diberikan kepada orang yang merdeka.
Tahqiqul manath
Tahqiqul manath, ialah menetapkan 'illat. Maksudnya ialah sepakat menetapkan 'illat pada ashal, baik berdasarkan nash atau tidak. Kemudian 'illat itu disesuaikan dengan 'illat pada fara'. Dalam hal ini mungkin ada yang berpendapat bahwa 'illat itu dapat ditetapkan pada fara' dan mungkin pula ada yang tidak berpendapat demikian. Contohnya ialah 'illat potong tangan bagi pencuri, yaitu karena ia mengambil harta secara sembunyi pada tempat penyimpanannya, hal ini disepakati para ulama. Berbeda pendapat para ulama jika 'i llat itu diterapkan pada hukuman bagi pencuri kain kafan dari kubur. Menurut Syafi'iyyah dan Malikiyah pencuri itu dihukum potong
90
tangan, karena mengambil harta di tempat penyimpanannya, yaitu dalam kubur sedang Hanafiyah tidak menjadikan sebagai 'illat, karena itu pencuri kafan tidak dipotong tangannya.
Pembagian Qiyas
Qiyas dapat dibagi kepada tiga macam, yaitu: qiyas 'illat, qiyas dalalah, qiyas syibih.
1. Qiyas 'illat
Qiyas 'illat, ialah qiyas yang mempersamakan ashal dengan fara' karena keduanya mempunyai persamaan 'illat. Qiyas 'illat terbagi:
Qiyas jali ialah qiyas yang 'illatnya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada kemungkinan lain selain dari 'illat yang ditunjukkan oleh dalil itu. Qiyas jali terbagi kepada:
Qiyas yang 'illatnya ditunjuk dengan kata-kata, seperti memabukkan adalah 'illat larangan minum khamr,yang disebut dengan jelas dalam nash.
Qiyas mulawi ialah qiyas yang hukum pada fara' sebenarnya lebih utama ditetapkan dibanding dengan hukum pada ashal. Seperti haramnya hukum mengucapkan kata-kata "ah" kepada kedua orangtua berdasarkan firman Allah SWT:
"Maka janganlah ucapkan kata-kata "ah" kepada kedua orangtua(mu)." (al-Isrâ': 23)
91
'Illatnya ialah menyakiti hati kedua orangtua. Bagaimana hukum memukul orang tua? Dari kedua peristiwa nyatalah bahwa hati orang tua lebih sakit bila dipukul anaknya dibanding dengan ucapan "ah" yang diucapkan anaknya kepadanya. Karena itu sebenarnya hukum yang ditetapkan bagi fara' lebih utama dibanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashal.
Qiyas musawi ialah qiyas hukum yang ditetapkan pada fara' sebanding dengan hukum yang ditetapkan pada a shal, seperti menjual harta anak yatim diqiyaskan kepada memakan harta anak yatim. 'Illatnya ialah sama-sama menghabiskan harta anak yatim. Memakan harta anak yatim haram hukumnya berdasarkan firman Allah SWT:
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya, ia tidak lain hanyalah menelan api neraka ke dalam perutnya." (an-Nisâ': 10)
Karena itu ditetapkan pulalah haram hukumnya menjual harta anak yatim. Dari kedua peristiwa ini nampak bahwa hukum yang ditetapkan pada ashal sama pantasnya dengan hukum yang ditetapkan pada fara'.
Qiyas khafi ialah qiyas yang 'illatnya mungkin dijadikan 'illat dan mungkin pula tidak dijadikan 'illat, seperti mengqiyaskan sisa minuman burung kepada sisa minuman binatang buas. ‘Illatnya ialah kedua binatang itu sama-sama minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya bercampur dengan sisa minumannya itu. 'Illat ini mungkin dapat digunakan untuk sisa burung buas dan mungkin pula tidak, karena mulut burung buas berbeda dengan mulut binatang buas. Mulut burung buas terdiri dari tulang atau zat tanduk. Tulang atau zat tanduk adalah suci,
92
sedang mulut binatang buas adalah daging, daging binatang buas adalah haram, namun kedua-duanya adalah mulut, dan sisa minuman. Yang tersembunyi di sini ialah keadaan mulut burung buas yang berupa tulang atau zat tanduk.
2. Qiyas dalalah
Qiyas dalalah ialah qiyas yang 'illatnya tidak disebut, tetapi merupakan petunjuk yang menunjukkan adanya 'illat untuk menetapkan sesuatu hukum dari suatu peristiwa. Seperti harta kanak-kanak yang belum baligh, apakah wajib ditunaikan zakatnya atau tidak. Para ulama yang me netapkannya wajib mengqiyaskannya mengqiyaskannya kepada harta orang yang telah tela h baligh, karena ada petunjuk yang menyatakan 'illatnya, yaitu kedua harta itu sama-sama dapat bertambah atau berkembang. Tetapi Madzhab Hanafi, tidak mengqiyaskannya mengqiyaskannya kepada orang yang telah baligh, tetapi kepada ibadah, seperti shalat, puasa dan sebagainya. Ibadah hanya diwajibkan kepada orang yang mukallaf, termasuk di dalamnya orang yang telah baligh, tetapi tidak diwajibkan kepada anak kecil (orang yang belum baligh). Karena itu anak kecil tidak wajib menunaikan zakat hartanya yang telah memenuhi syarat-syarat zakat.
3. Qiyas syibih
Qiyas syibih ialah qiyas yang fara' dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, tetapi diambil ashal yang lebi h banyak persamaannya dengan fara'. Seperti hukum merusak budak dapat diqiyaskan kepada hukum merusak orang merdeka, karena kedua-duanya adalah manusia. Tetapi dapat pula diqiyaskan kepada harta benda, karena sama-sama merupakan hak milik. Dalam hal ini budak diqiyaskan kepada harta benda karena
93
lebih banyak persamaannya dibanding dengan diqiyaskan kepada orang merdeka. Sebagaimana harta budak dapat diperjualbelikan, diberikan kepada orang lain, diwariskan, diwakafkan dan sebagainya.
94
PENGANTAR USHUL FIQH
Oleh: Ahmad Sahal Hasan, Lc
“Tidak ada cara untuk mengetahui hukum Allah kecuali dengan ilmu ushul fiqh.” (Al-Amidi)
Definisi Ushul Fiqh
Para ulama ushul menjelaskan pengertian ushul fiqh dari dua sudut pandang. Pertama dari pengertian kata ushul dan fiqh secara terpisah, kedua dari sudut pandang ushul fiqh sebagai disiplin ilmu tersendiri.
Ushul Fiqh ditinjau dari 2 kata yang membentuknya:
Al-ushuul adalah bentuk jamak dari al-ashl yang secara etimologis berarti ma yubna ‘alaihi ghairuhu (dasar segala sesuatu, pondasi, asas, atau akar).
Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, ashluha (akarnya) teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. (Ibrahim: 24)
Sedangkan menurut istilah, kata al-ashl berarti dalil, misalnya: para ulama mengatakan:
اآ با ا ا ا اه أ أ (Dalil tentang hukum masalah ini ialah i alah ayat sekian dalam al-Quran).
95
Jadi Ushul Fiqh adalah dalil-dalil fiqh. Dalil-dalil yang dimaksud adalah dalil-dalil yang bersifat global atau kaidah umum, sedangkan dalil-dalil rinci dibahas dalam ilmu fiqh.
ا ء وا ا ا: اا ا ا Al-fiqh menurut bahasa berarti pengetahuan dan pemahaman terhadap sesuatu.
Menurut istilah para ulama:
اا د أد ا ا ا ا ا م ا ا ا: اا (Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang di peroleh dari dalil-dalilnya yang terinci).
Penjelasan Definisi
أو إ إ إ إ أ د أإ إ: اا Hukum adalah penisbatan sesuatu kepada yang lain atau penafian ses uatu dari yang lain. Misalnya: kita telah menghukumi dunia bila kita mengatakan
dunia ini fana, atau dunia ini i ni tidak kekal, karena kita menisbatkan sifat fana kepada dunia atau menafikan sifat kekal darinya.
Tetapi yang dimaksud dengan hukum dalam definisi fiqh adalah status perbuatan mukallaf (orang yang telah baligh dan berakal sehat), apakah perbuatannya wajib, mandub (sunnah), haram, makruh, atau mubah. Atau apakah perbuatannya itu sah, atau batal.
96
Ungkapan hukum-hukum syar’i menunjukkan bahwa hukum tersebut dinisbatkan kepada syara’ atau diambil darinya sehingga hukum akal (logika), seperti: satu adalah separuh dari dua, atau semua l ebih besar dari sebagian, tidak termasuk dalam definisi, karena ia bukan hukum yang bersumber dari syariat. Begitu pula dengan hukum-hukum indrawi, seperti api itu panas membakar, dan hukum-hukum lain yang tidak berdasarkan syara’.
Ilmu fiqh tidak mensyaratkan pengetahuan tentang seluruh hukum-hukum syar’i, begitu juga untuk menjadi faqih (ahli fiqh), cukup baginya mengetahui sebagiannya saja asal ia memiliki kemampuan istinbath, yaitu kemampuan mengeluarkan kesimpulan hukum dari teks-teks dalil melalui penelitian dan metode tertentu yang dibenarkan syari’at.
Hukum-hukum syar’i dalam fiqh juga harus bersifat amaliyyah (praktis) atau terkait langsung dengan perbuatan mukallaf, seperti ibadahnya, atau muamalahnya. Jadi menurut definisi ini hukum-hukum syar’i yang bersifat i’tiqadiyyah (keyakinan) atau ilmu tentang yang ghaib seperti dzat Alla h,
sifat-sifat-Nya, dan hari akhir, bukan termasuk ilmu fiqh, karena ia tidak berkaitan dengan tata cara beramal, dan dibahas dalam il mu tauhid (aqidah).
Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah ini juga harus diperoleh dari dalil-dalil rinci melalui proses penelitian mendalam terhadap dalil-dalil tersebut. Berarti ilmu Allah atau il mu Rasul-Nya tentang hukumhukum ini tidak termasuk dalam definisi, karena ilmu Allah berdiri sendiri tanpa penelitian, bahkan Dialah Diala h Pembuat hukum-hukum tersebut, sedangkan ilmu Rasulullah saw diperoleh dari wahyu, bukan dari kajian dalil. Demikian pula pengetahuan seseorang tentang hukum syar’i dengan mengikuti pendapat ulama, tidak termasuk ke dalam definisi ini, karena pengetahuannya pengetahuannya tidak didapat dari kajian dan penelitian yang ia lakukan terhadap dalil-dalil.
Sedangkan contoh dalil yang terinci adalah:
97
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (Al-Baqarah: 278).
Ayat ini adalah dalil rinci tentang haramnya riba berapa pun besarnya. Dinamakan rinci karena ia langsung berbicara pada pokok masalah yang bersifat praktis.
Ushul Fiqh Sebagai Disiplin Ilmu
Ushul Fiqh sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri didefinisikan oleh AlBaidhawi, salah seorang ulama mazhab Syafi’i dengan:
ل ااو و دةا ا آ وآ إ إ ا ا د د (Memahami dalil-dalil fiqh secara global, bagaimana menggunakannya dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh (bagaimana berijtihad), serta apa syarat-syarat seorang mujtahid).
Penjelasan Definisi
Contoh dalil yang bersifat global: dalil tentang sunnah sebagai hujjah (sumber hukum), dalil bahwa setiap perintah pada dasarnya menunjukkan sebuah kewajiban, setiap larangan berarti haram, bahwa sebuah ayat dengan lafazh umum berlaku untuk semua meskipun turunnya berkaitan dengan seseorang atau kasus tertentu, dan lain-lain.
Yang dimaksud dengan menggunakan dalil dengan be nar misalnya: mengetahui mana hadits yang shahih mana yang tidak, mana dalil yang
98
berbicara secara umum tentang suatu masalah dan mana yang menjelaskan maksudnya lebih rinci, mana ayat/ hadits yang mengandung makna hakiki dan mana yang bermakna kiasan, bagaimana cara menganalogikan (mengkiaskan) suatu masalah yang belum diketahui hukumnya dengan masalah lain yang sudah ada dalil dan hukumnya, dan seterusnya.
Kemudian dibahas pula dalam ilmu ushul apa syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid untuk dapat mengambil kesimpulan sebuah hukum dengan benar dari dalil-dalil Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah saw.
Sedangkan ulama mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali mendefinisikan ushul fiqh dengan:
أدد ا م اا ط اا ا إ إ ا ا ا ا ا ا ا ا اا (Ilmu tentang kaidah-kaidah umum yang dapat digunakan untuk melakukan istinbath hukum-hukum syar’i dari dalil-dalilnya yang terinci).
Penjelasan Definisi
Kaidah adalah patokan umum yang diberlakukan atas setiap bagian yang ada di bawahnya.
Contoh kaidah umum:
ب ا ا ا ا (Pada dasarnya setiap kalimat yang berbentuk perintah mengandung konsekuensi kewajiban) kecuali jika ada dalil lain yang menjelaskan maksud
99
lain dari kalimat perintah tersebut. Misalnya perintah Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat 43:
((ةآاا او ))و (tunaikanlah zakat) menunjukkan kewajiban zakat karena setiap perintah
pada dasarnya menunjukkan kewajiban dan tidak ada ayat lain ataupun hadits yang menyatakan hukum lain tentang zakat harta. Dalam contoh ini ayat tersebut adalah dalil rinci, sedangkan kaidah ushul di atas adalah dalil yang bersifat global yang dapat diberlakukan atas dalil-dalil rinci lain yang sejenis.
Dapat disimpulkan bahwa ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang mempelajari sumber-sumber hukum Islam, dalil-dalil yang shahih yang menunjukkan kepada kita hukum Allah swt, apa syarat-syarat ijtihad, dan bagaimana metode berijtihad yang benar sesuai batasan-batasan syariat.
Cakupan Ushul Fiqh
Setiap disiplin ilmu pasti memiliki bahasan ba hasan tertentu yang membedakannya dengan disiplin ilmu lain, demikian pula ushul fiqh, ia memiliki bahasan tertentu yang dapat kita ringkas menjadi 5 (lima) bagian utama: 1. Kajian tentang adillah syar’iyyah (sumber-sumber hukum Islam) yang asasi (al-Quran dan Sunnah) maupun turunan (Ijma’, Qiyas, Maslahat Mursalah, dan lain-lain). 2. Hukum-hukum syar’i dan jenis-jenisnya, siapa saja yang mendapat beban kewajiban beribadah kepada Allah dan apa syarat-syaratnya, apa karakter beban tersebut sehingga ia layak menjadi beban yang membuktikan keadilan dan rahmat Allah. 3. Kajian bahasa Arab yang membahas bagaimana seorang mujtahid memahami lafaz kata, teks, makna tersurat, atau makna tersirat dari ayat al-Quran atau Hadits Rasulullah saw, bahwa sebuah ayat atau hadits dapat
100
kita pahami maksudnya dengan benar jika kita memahami hubungannya dengan ayat atau hadits lain. 4. Metode yang benar dalam menyikapi dalil-dalil yang tampak seolah-olah saling bertentangan, dan bagaimana solusinya. 5. Ijtihad, syarat-syarat dan sifat-sifat mujtahid.
Tujuan Ushul Fiqh
ط ا م اا ا إ ل إا ا:لا ا ة أو Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ghayah (tujuan) dan tsamarah (buah) ilmu ushul adalah agar dapat melakukan istinbath hukumhukum syar’i dari dalil-dalil syar’i secara langsung.
Di samping itu ada manfaat lain la in dari ilmu ushul, di antaranya: 1. Mengetahui apa dan bagaimana manhaj (metode) yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam beristinbath. 2. Mengetahui sebab-sebab ikhtilaf di antara para ulama. 3. Menumbuhkan rasa hormat dan adab terhadap para ulama. 4. Membentuk dan mengembangkan kemampuan berpikir logis dan kemampuan di bidang fiqh secara benar.
Sandaran Ushul Fiqh
1. Aqidah/ tauhid, karena keyakinan terhadap kebenaran al-Quran dan Sunnah serta kedudukannya sebagai sumber hukum/ dalil syar’i bersumber dari pengenalan dan keyakinan terhadap Allah, sifat-sifat dan perbuatan-Nya yang suci, juga bersumber dari pengetahuan dan keyakinan terhadap kebenaran Muhammad Rasulullah saw, dan semua itu dibahas dalam ilmu tauhid.
101
2. Bahasa Arab, karena al-Quran dan Sunnah berbahasa Arab, maka untuk memahami maksud setiap kata atau kalimat di dalam al-Quran dan Sunnah mutlak diperlukan pemahaman Bahasa Arab. Misalnya sebagian ulama mengatakan bahwa:
را ا ا ا (Setiap perintah mengharuskan pelaksanaan secara langsung tanpa ditunda). Dalil kaidah ini adalah bahasa, karena para ahli bahasa
mengatakan: jika seorang majikan berkata kepada pelayannya: “Ambilkan saya air minum!” lalu pelayan itu menunda mengambilnya, maka ia pantas dicela.
3. Al-Quran dan Sunnah, misalnya kaidah ushul:
ب ا ا ا ا (setiap perintah pada dasarnya berarti kewajiban) dalilnya adalah: “maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul itu merasa takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An-
Nur: 63)
4. Akal, misalnya kaidah ushul:
ان ا إذا ا ه ه (Jika dua orang mujtahid berseberangan dalam menghukumi suatu masalah, maka salah satunya pasti salah)
102
dalilnya adalah logika, karena akal menyatakan bahwa kebenaran dua hal yang bertentangan adalah sebuah kemustahilan.
Hukum Mempelajari Ushul Fiqh
Al-Amidi dalam bukunya al-Ihkam mengatakan: “Tidak ada cara untuk mengetahui hukum Allah swt kecuali dengan ilmu ushul ini. Karena seorang mukallaf adalah awam atau bukan awam (’alim). Jika ia awam maka wajib baginya untuk bertanya: “Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui.” (Al-Anbiya: 7) Dan pertanyaan itu pasti bermuara kepada ulama, karena tidak boleh terjadi siklus. Jika mukallaf seorang ‘alim, maka ia tidak ti dak bisa mengetahui hukum Allah kecuali dengan jalan tertentu yang dibenarkan, sebab tidak boleh memutuskan hukum dengan hawa nafsu, dan jalan itu adalah ushul fiqh. Tet api mengetahui dalil setiap hukum tidak diwajibkan atas semua orang, karena telah dibuka pintu untuk meminta fatwa. Hal ini menunjukkan bahwa menguasai ilmu ushul bukanlah fardhu ‘ain, tetapi fardhu f ardhu kifayah, wallahu a’lam.”
Perbedaan Ushul Fiqh dengan Fiqh
Pembahasan ilmu fiqh berkisar tentang hukum-hukum syar’i yang langsung berkaitan dengan amaliyah seorang hamba seperti ibadahnya, muamalahnya,…, apakah hukumnya wajib, sunnah, makruh, haram, ataukah mubah berdasarkan dalil-dalil yang rinci.
Sedangkan ushul fiqh berkisar tentang penjelasan metode seorang mujtahid dalam menyimpulkan hukum-hukum syar’i dari dalil-dalil yang bersifat global, apa karakteristik dan konsekuensi dari setiap dalil, mana dalil yang benar dan kuat dan mana dalil yang lemah, siapa orang yang mampu berijtihad, dan apa syarat-syaratny syarat-syaratnya. a.
103
Perumpamaan ushul fiqh dibandingkan dengan fiqh seperti posisi ilmu nahwu terhadap kemampuan bicara dan menulis dalam bahasa Arab, ilmu nahwu adalah kaidah yang menjaga lisan dan tulisan seseorang dari kesalahan berbahasa, sebagaimana ilmu ushul fiqh menjaga seorang ulama/ mujtahid dari kesalahan dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh.
104
SEJARAH SINGKAT ILMU USHUL FIQH
Oleh: Ahmad Sahal Hasan, Lc
Di masa Rasulullah saw, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat penjelasan beliau mengenai al-Quran, atau melalui sunnah beliau saw.
Para sahabat ra menyaksikan dan berinteraksi langsung dengan turunnya alQuran dan mengetahui dengan baik sunnah Rasulullah saw, di samping itu mereka adalah para ahli bahasa dan pemilik kecerdasan berpikir serta kebersihan fitrah yang luar biasa, sehingga sepeninggal Rasulullah saw mereka pun tidak memerlukan perangkat teori (kaidah) untuk dapat berijtihad, meskipun kaidah-kaidah secara tidak tertulis telah ada dalam dadadada mereka yang dapat mereka gunakan di saat memerlukannya.
Setelah meluasnya futuhat Islamiyah, umat Islam Arab banyak berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain yang berbeda bahasa dan latar belakang peradabannya, hal ini menyebabkan melemahnya kemampuan berbahasa Arab di kalangan sebagian umat, terutama di Irak . Di sisi lain kebutuhan akan ijtihad begitu mendesak, karena banyaknya masalah-masalah baru yang belum pernah terjadi dan memerlukan kejelasan hukum fiqhnya.
Dalam situasi ini, muncullah dua madrasah besar yang mencerminkan metode mereka dalam berijtihad: Madrasah ahlir-ra’yi di Irak dengan de ngan pusatnya di Bashrah dan Kufah. Madarasah ahlil-hadits di Hijaz dan berpusat di Mekkah dan Madinah.
105
Perbedaan dua madrasah ini terletak pada banyaknya penggunaan hadits atau qiyas dalam berijtihad. Madrasah ahlir-ra’yi lebih banyak menggunakan qiyas (analogi) dalam berijtihad, hal ini disebabkan oleh: Sedikitnya jumlah hadits yang sampai ke ulama Irak dan ketatnya seleksi hadits yang mereka lakukan, hal ini karena banyaknya haditshadits palsu yang beredar di kalangan mereka sehingga mereka tidak mudah menerima riwayat seseorang kecuali melalui proses seleksi yang ketat. Di sisi lain masalah baru yang mereka hadapi dan memerlukan ijtihad begitu banyak, maka mau tidak mau mereka mengandalkan qiyas (analogi) dalam menetapkan hukum. Masalahmasalah baru ini muncul akibat peradaban dan kehidupan masyarakat Irak yang sangat kompleks. Mereka mencontoh guru mereka Abdullah bin Mas’ud ra yang banyak menggunakan qiyas dalam berijtihad menghadapi berbagai masalah.
Sedangkan madrasah ahli hadits lebih berhati-hati dalam berfatwa dengan qiyas, karena situasi yang mereka hadapi berbeda, situasi itu adalah: Banyaknya hadits yang berada di tangan mereka dan sedikitnya kasus-kasus baru yang memerlukan ijtihad. Contoh yang mereka dapati dari guru mereka, seperti Abdullah bin ‘Umar ra, dan Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, yang sangat berhati-hati menggunakan logika dalam berfatwa.
Perbedaan kedua madrasah ini melahirkan perdebatan sengit, sehingga membuat para ulama merasa perlu untuk membuat kaidah-kaidah tertulis yang dibukukan sebagai undang-undang bersama dalam menyatukan dua madrasah ini. Di antara ulama yang me mpunyai perhatian terhadap hal ini adalah Al-Imam Abdur Rahman bin Mahdi rahimahullah (135-198 H). Beliau meminta kepada Al Imam Asy-Syafi’i rahimahullah (150-204 H) untuk menulis sebuah buku tentang prinsip-prinsip ijtihad yang dapat digunakan sebagai pedoman. Maka lahirlah kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi’i sebagai kitab pertama dalam ushul fiqh.
106
Hal ini tidak berarti bahwa sebelum lahirnya kitab Ar-Risalah prinsip prinsip ushul fiqh tidak ada sama sekali, tetapi ia sudah ada sejak masa sahabat dan ulama-ulama sebelum Syafi’i, akan tetapi kaidah-kaidah itu belum disusun dalam sebuah buku atau disiplin ilmu tersendiri dan masih berserakan pada kitab-kitab fiqh para ‘ulama. Imam Syafi’i lah orang pertama yang menulis buku ushul fiqh, sehingga Ar Risalah menjadi rujukan bagi para ulama sesudahnya untuk mengembangkan dan menyempurnakan ilmu ini.
Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ra memang pantas untuk memperoleh kemuliaan ini, karena beliau memiliki pengetahuan tentang madrasah ahlil-hadits dan madrasah ahlir-ra’yi. Beliau lahir di Ghaza, pada usia 2 tahun bersama ibunya pergi ke Mekkah untuk belajar dan menghafal Al-Qur’an serta ilmu fiqh dari ulama Mekkah. Sejak kecil beliau sudah mendapat pendidikan bahasa dari perkampungan Huzail, salah satu kabilah yang terkenal dengan kefasihan berbahasa. Pada usia 15 tahun beliau sudah diizinkan oleh Muslim bin Khalid Az-Zanjiy – salah seorang ulama Mekkah – untuk memberi fatwa.
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru kepada Imam penduduk Madinah, Imam Malik bin Anas ra (95-179 H) dalam selang waktu 9 tahun – meskipun tidak berturut-turut – beserta ulama-ulama lainnya, sehingga beliau memiliki pengetahuan yang cukup dalam ilmu hadits dan fiqh Madinah. Lalu beliau pergi ke Irak dan belajar metode fiqh Irak kepada Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani ra (wafat th 187 H), murid Imam Abu Hanifah AnNu’man bin Tsabit ra (80-150 H).
Dari latar belakangnya, kita melihat bahwa Imam Syafi’i memiliki pengetahuan tentang kedua madrasah yang berbeda pendapat, maka beliau memang orang yang tepat
107
untuk menjadi orang pertama yang menulis buku dalam ilmu ushul. Selain Ar-Risalah, Imam Syafi’i juga memiliki karya lain dalam ilmu ushul, seperti: kitab Jima’ul-ilmi, Ibthalul-istihsan, dan Ikhtilaful-hadits.
Dapat kita simpulkan bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan munculnya penulisan ilmu ushul fiqh: Adanya perdebatan sengit antara madrasah Irak dan madrasah Hijaz. Mulai melemahnya kemampuan bahasa Arab di sebagian umat Islam akibat interaksi dengan bangsa lain terutama Persia. Munculnya banyak persoalan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan memerlukan kejelasan hukum, sehingga kebutuhan akan ij tihad kian mendesak.
Setelah Ar-Risalah, muncullah berbagai karya para ulama dalam ilmu ushul fiqh, di antaranya: 1. Khabar Al-Wahid, Itsbat Al-Qiyas, dan Ijtihad Ar-Ra’y, ketiganya karya Isa bin Aban bin Shadaqah Al-Hanafi (wafat th 221 H). 2. An-Nasikh Wal-Mansukh karya Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H). 3. Al-Ijma’, Ibthal At-Taqlid, Ibthal Al-Qiyas, dan buku lain karya Dawud bin Ali Az-Zhahiri (200-270 H). 4. Al-Mu’tamad karya Abul-Husain Muhammad bin Ali Al-Bashri Almu’taziliy Asy-Syafi’i (wafat th 436H). 5. Al-Burhan karya Abul Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah AlJuwaini/Imamul-haramain (410-478 H). 6. Al-Mustashfa karya Imam Al-Ghazali Muhammad bin Muhammad (wafat 505 H). 7. Al-Mahshul karya Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar-Razy (wafat 606 H). 8. Al-Ihkam fi Ushulil-Ahkam karya Saifuddin Ali bin Abi Ali Al-Amidi (wafat 631 H). 9. Ushul Al-Karkhi karya Ubaidullah bin Al-Husain Al-Karkhi (wafat 340 H). 10. Ushul Al-jashash karya Abu Bakar Al-Jashash (wafat 370 H).
108
11. Ushul as-Sarakhsi karya Muhammad bin Ahmad As-Sarakhsi (wafat 490 H). 12. Kanz Al-Wushul Ila ma’rifat Al-Ushul karya Ali bin Muhammad AlBazdawi (wafat 482 H). 13. Badi’un-Nizham karya Muzhaffaruddin Ahmad bin Ali As-Sa’ati Alhanafi (wafat 694 H). 14. At-Tahrir karya Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid yang dikenal dengan Ibnul Hammam (wafat 861 H). 15. Jam’ul-jawami’ karya Abdul Wahab bin Ali As Subki (wafat 771 H). 16. Al-Muwafaqat karya Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Al-gharnathi yang dikenal dengan nama Asy-Syathibi (wafat 790 H). 17. Irsyadul-fuhul Ila Tahqiq ‘Ilm Al-Ushul karya Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani (wafat 1255 H).
109
METODE PENULISAN USHUL FIQH
Oleh: Ahmad Sahal Hasan, Lc
Dalam sejarah penulisan buku-buku ushul dikenal ada tiga buah metode dan gaya penulisan para ulama, yaitu: Metode ahli ilmu kalam (Syafi’iyyah) Metode ahli fiqh (Hanafiyyah) Metode gabungan.
Metode Syafi’iyyah
Kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi’i adalah kitab pertama yang menggunakan metode ini dalam penulisannya. Di antara ciri-ciri metode ini adalah:
Pertama: Metode ini memusatkan diri pada kajian teoritis murni untuk menghasilkan kaidah-kaidah ushul yang kuat, walaupun kaidah itu mungkin tidak mendukung mazhab fiqh penulisnya.
Kedua: Dalam mengkaji dan menelurkan kaidah ushul, metode ini sangat mengandalkan kajian bahasa Arab yang mendalam, menggunakan dalalah (indikator) yang ditunjukkan oleh lafazh kata atau kalimat, logika akal, dan pembuktian dalil-dalilnya.
Ketiga: Metode ini benar-benar terlepas dari pembahasan cabang-cabang fiqh dan fanatisme mazhab, jika masalah fiqh disebutkan ia hanya sebagai c ontoh penerapan saja. Metode ini juga menggunakan gaya perdebatan ilmiah dengan ungkapan:
110
… ن “Jika Anda mengatakan…, maka jawaban kami adalah…”
Oleh karena itu para penulis Ushul Fiqh yang menggunakan metode ini adalah mereka yang berasal dari mazhab yang berbeda: Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanabilah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah, dan lain-lain.
Kitab-kitab yang menggunakan Metode Syafi’iyyah: 1. Ar-Risalah karya Imam Syafi’i (150-204 H). 2. At-Taqrib karya Al-Qadhi Abu Bakr Al-Baqillani Al-Maliki (wafat th 403 H). 3. Al-Mu’tamad karya Abul-Husain Muhammad bin Ali Al-Bashri Almu’taziliy Asy-syafi’i (wafat th 436 H). 4. Al-Burhan karya Abul-Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini AsySyafi’i/ Imamul-haramain (410-478 H). 5. Al-Mustashfa karya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Asy-Syafi’i (wafat 505 H). 6. Al-‘Uddah Fi Ushul Al-Fiqh karya Al-Qadhi Abu Ya’la Muhammad bin Al-Husain bin Muhammad Al-Hambali (380-458 H). 7. At-Tamhid Fi Ushul Al-Fiqh karya Mahfuzh bin Ahmad bin Husain Abul Khattab Al-Kalwadzani Al-Hambali – murid Abu Y a’la (432-510 H). 8. Raudhatun-Nazhir Wa Junnatul-Munazhir karya Muwaffaquddin Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdisi AlHambali (541-620 H). 9. Al-Mahshul karya Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar-Razy Asy-Syafi’i (wafat 606 H). 10.
Al-Ihkam fi Ushulil-Ahkam karya Saifuddin Ali bin Abi Ali Al-
Amidi Asy-Syafi’i (wafat 631 H).
111
Metode Hanafiyah
Metode ini memiliki karakter sebagai berikut:
Pertama: Keterkaitan erat antara Ushul Fiqh dengan masalah cabang-cabang Fiqh di mana ia dijadikan dalil dan sumber utama kaidah-kaidah ushul yang mereka buat. Apabila ada kaidah ushul yang bertentangan dengan ijtihad fiqh para imam dan ulama mazhab Hanafi, mereka menggantinya dengan kaidah yang sesuai.
Kedua: Tujuan utama dari metode ini adalah a dalah mengumpulkan hukum-hukum Fiqh hasil ijtihad para ulama mazhab Hanafi dalam kaidah-kaidah ushul.
Ketiga: Metode ini terlepas dari kajian teoritis dan lebih bersifat praktis.
Metode ini muncul karena para imam mazhab Hanafi tidak meninggalkan kaidah ushul yang terkumpul dan tertulis bagi murid-murid mereka seperti yang ditinggalkan Imam Syafi’i untuk murid-muridnya. Dalam buku para imam mazhab Hanafi, mereka hanya menemukan masalah-masalah Fiqh dan beberapa kaidah yang tersebar di sela-sela pembahasan Fiqh tersebut. Akhirnya mereka mengumpulkan masalah-masalah Fiqh yang sejenis dan mengkajinya untuk ditelurkan darinya kaidah-kaidah ushul.
Kitab yang ditulis dengan metode Hanafiyah: 1. Al-Ushul karya Ubaidullah bin Al-Husain bin Dallal Al-Karkhi Al-Hanafi (260-340 H). 2. Al-Ushul karya Ahmad bin Ali Al-Jash-shash Al-Hanafi (wafat th 370 H). 3. Al-Ushul karya Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl Abu Bakr AsSarakhsi Al-Hanafi (wafat th 490 H). 4. Kanz Al-Wushul Ila ma’rifat Al-Ushul karya Ali bin Muhammad bin AlHusain Al-Bazdawi Al-Hanafi (wafat th. 482 H).
112
5. Ta’sis An-Nazhar karya Ubaidullah bin Umar bin Isa Abu Zaid AdDabbusi Al-Hanafi (wafat th 430 H). 6. Al-Manar karya Hafizhuddin Abdullah bin Ahmad An-Nasafi Al-Hanafi (wafat th 701 H). 7. At-Tamhid Fi Takhrij Al-Furu’ ‘alal-Ushul karya Jamaluddin Abdur Rahim bin Al-Hasan bin ‘Ali Al-Isnawi Asy-Syafi’i (704-772 H).
Metode Gabungan
Metode ini muncul pertama kali pada pa da permulaan abad ke-7 Hijriyah melalui seorang alim Irak bernama Ahmad bin Ali bin Taghlib yang dikenal dengan Muzhaffaruddin Ibnus Sa’ati (wafat th 694 H) dengan bukunya Badi’unNizham Al-Jami’ baina Ushul Al-Bazdawi Wal-Ihkam.
Di antara keistimewaan terpenting dari metode ini adalah penggabungan antara kekuatan teori dan praktek yaitu dengan mengokohkan kaidah-kaidah ushul dengan argumentasi ilmiah disertai aplikasi kaidah ushul tersebut dalam kasus-kasus fiqh.
Buku-buku penting yang ditulis dengan metode gabungan: 1. Badi’un-Nizham Al-Jami’ baina Ushul Al-Bazdawi Wal-Ihkam karya Ibnus-Sa’ati. 2. Tanqih Al-Ushul karya Taj Asy-Syari’ah Ubaidullah bin Mas’ud AlBukhari (wafat th 747 H), buku ini adalah ringkasan dari Ushul Bazdawi, Al-Mahshul karya Ar-Razi, dan Mukhtashar Ibnul-Hajib. At-Tahrir Fi Ushul Al-Fiqh karya Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid yang dikenal dengan nama Ibnul-Hammam Al-Hanafi (790-861 H). Buku ini lebih dekat ke metode Syafi’iyyah, meskipun penulisnya menyebutkan dalam muqaddimah bahwa ia menulisnya dengan metode gabungan. 3. Jam’ul-Jawami’ karya Tajuddin Abdul Wahab bin Ali As-Subki AsySyafi’i (wafat th 771 H).
113
4. Al-Qawa’id wal-Fawaid Al-Ushuliyyah karya Ali bin M uhammad bin Abbas al-Hambali yang terkenal dengan sebutan Ibnul-Lahham (752-803 H). 5. Musallam Ats-Tsubut karya Muhibbuddin bin Abdus-Syakur Al-Hanafi (wafat th 1119 H). 6. Irsyad Al-Fuhul Ila Tahqiq ‘Ilm Al-Ushul karya Muhammad bin Ali bin Abdullah Asy-Syaukani Asy-Syafi’i (wafat th 1250 H).
Ada sebuah buku ushul yang patut dicermati karena memiliki gaya tersendiri dalam penulisannya, yaitu kitab Al-Muwafaqat Fi Ushul Al-Ahkam karya Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Asy-Syathibi Al-Maliki (wafat 790 H). Buku ini istimewa karena penulisnya menggabungkan antara kaidah-kaidah ushul dengan maqashid (tujuan), asrar (rahasia), serta hikmah syariat dengan bahasa yang mudah dan penjelasan yang gamblang.
Beberapa Buku Ushul Fiqh Kontemporer: 1. Tas-hil Al-Wushul Ila Ilmil-Ushul karya Muhammad Abdur Rahman AlMahlawi Al-Hanafi (wafat 1920 M). 2. Ushul Al-Fiqh karya Muhammad Al-Khudhari (wafat 1927 M). 3. Ushul Al-Fiqh karya Abdul Wahab Khalaf (wafat 1955 M ). 4. Ushul Al-Fiqh karya Muhammad Abu Zahrah (wafat 1974 M). 5. Ushul Al-Fiqh karya Muhammad Zuhair Abun-Nur. 6. Ushul Al-Fiqh Al-Islami karya Syaikh Syakir Al Hambali. 7. Ushul Al-Fiqh Al-Islami karya Wahbah Zuhaili. 8. Ushul Al-Fiqh Al-Islami karya Zakiuddin Sya’ban. 9. Ushul At-Tasyri’ Al-Islami karya Ali Hasbullah dan lain-lain.