BAB I
Dasar-Dasar Manajemen Perpajakan
1. Pendahuluan Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses pembaharuan yang kontinyu dan berkes berkesina inambu mbunga ngan n untuk untuk menca mencapai pai suat suatu u keadaa keadaan n yang dian diangg ggap ap leb lebih ih baik baik.. Bagi Bagi negara negara Indone Indonesia sia,, tujuan yang lebih besar yang diinginkan dari hasil pembangunan tersebut adalah untuk mewujudkan tujuan nasional seperti tercantum pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, menyebabkan hingga kini bangsa Indonesia giat melaksanakan pembangunan di segala bidang. Pembangunan itu sendiri diartikan sebagai upaya untuk meningkatkan, mengembangkan dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia, baik berupa sumber daya alam maupun sumber daya manusia, yang hasilnya ditujukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya. Pembangunan dilaksanakan melalui rangkaian investasi yang hanya dapat dilakukan dengan dukungan dana yang besar. Dana pembangunan dapat diperoleh dari berbagai sumber, baik dari sektor pemerintah maupun dari swasta, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Salah satu sumber dana tersebut berasal dari pajak Dalam melaksanakan kegiatan pembangunan negara tersebut, pemerintah membutuhkan dana yang besar. Dana ini dapat diperoleh dari berbagai sumber, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, baik dari sektor pemerintahan maupun dari sektor swasta. Bonanza minyak dan gas (Migas) yang memberikan kontribusi yang signifikan bagi penerimaan negara di masa lalu tinggal menjadi suatu catatan historis, perkembangan perekonomian Indonesia sejak terjadinya krisis moneter (krismon) tahun 1997 sampai saat ini masih belum mantap. Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan penerimaan negara, dengan menggenjot penerimaan dalam negeri khususnya yang bersumber dari penerimaan pajak yang kini menjadi primadona penerimaan negara, dan oleh sebab itu, untuk mengantisipasi keadaan tersebut di masa yang akan datang, Oleh karena itu, alternatif lain untuk meningkatkan sumber penerimaan yang dapat diandalkan adalah penerimaan dari sektor non migas, yaitu penerimaan-penerimaan pajak. Hal tersebut seperti tercantum dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Segala “Segala pajak dan pungutan lainnya yang bersifat memaksa digunakan untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang ”. Pajak harus lebih diberdayakan seiring dengan meningkatnya kegiatan sektor ril ditengahtengah masyarakat. Peranan pajak semakin besar dan semakin signifikan dalam menyumbang penerimaan negara, hal ini dapat dilihat dari terus meningkatnya peranan pendapatan pemerintah dari pajak dalam APBN, yang selanjutnya digunakan untuk membiayai penyelenggaran pembangunan mau pun biaya rutin negara. Untuk itu perlu adanya 1
peningkatan kesadaran, dan kepedulian masyarakat untuk membayar pajak. Segala upaya dan sasaran ditetapkan oleh pemerintah dalam upaya peningkatan pendapatan negara dari pajak guna mencapai sasaran pembangunan ekonomi yang disusun dengan semangat kebersamaan dan optimis, namun tetap dengan pertimbangan kondisi rill yang telah sedang akan dihadapi. Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang sangat penting bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu masyarakat diharapkan dapat ikut berperan aktif memberikan kontribusi bagi peningkatan pendapatan Negara sesuai dengan kemampuannya. Semenjak reformasi perpajakan di negara kita dijalankan dengan dikeluarkannya undangundang perpajakan yang baru pada tahun 1983, sistem perpajakan yang dianut telah dirobah dari sistem office assessment menjadi sistem self assessment (misalnya untuk Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai). Dengan sistem ini wajib pajak memiliki hak dan kewajiban baik dalam menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah kewajiban perpajakannya. Hal ini akan terlaksana dengan baik apabila wajib pajak memenuhi peraturan perpajakan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Dilihat dari kacamata pemerintah jika pajak yang di bayar oleh wajib pajak lebih kecil dari yang seharusnya dibayar, maka konsekuensinya pendapatan negara dari sektor pajak akan berkurang. Sebaliknya dari sisi pengusaha atau wajib pajak, jika pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah yang semestinya dibayar, maka konsekuensinya akan mengakibatkan kerugian bagi perusahaan atau wajib pajak. Setiap pengusaha salah satu tujuannya pasti untuk memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham atau investor dengan cara memaksimalkan nilai perusahaan dengan memperoleh laba yang maksimum. Suatu perusahaan dapat mengungguli kinerja performance) perusahaan ( performance) perusahaan lain dengan implementasi strategi yang berbeda, yakni perusahaan itu dapat membuat produk serupa dengan harga yang lebih rendah, atau membuat produk berbeda yang konsumen bersedia membayar harga premi yang melampaui biaya untuk meng-create meng-create differensiasi terhadap produk tersebut. Dua sumber keunggulan bersaing itu menentukan pendekatan dikotomi terhadap strategi bisnis. Sasaran keunggulan biaya adalah menjadi pemimpin biaya dalam industri. Bila perusahaan sudah bisa membangun posisi kepemimpinan biaya, maka perusahaan dapat menggunakan keunggulan biayanya untuk mengalahkan kompetitornya melalui persaingan harga. Di era globalisasi ekonomi yang sedang berlangsung sekarang ini dan tantangan di masa yang akan datang, dimana kompetitor bermunculan dari berbagai manca negara yang menyajikan ragam produk subsitusi yang sangat menarik dan kompetitif, maka untuk bisa survive bisa survive di ajang kompetisi yang semakin tajam tersebut, tidak bisa dielakkan lagi dimana perusahaan dituntut untuk menyesuaikan produksinya dengan membangun posisi kepemimpinan biaya sebagai basis strategi bisnisnya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pengusaha yaitu dengan meminimumkan beban pajak dalam batas yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, karena beban pajak merupakan salah satu faktor pengurang laba. Besarnya pajak seperti kita ketahui tergantung pada besarnya penghasilan. Semakin besar penghasilan maka semakin besar pula pajak yang terutang. Oleh karena itu perusahaan membutuhkan suatu perencanaan pajak atau yang disebut dengan tax planning yang tepat agar perusahaan 2
membayar pajak dapat seefisien mungkin sepanjang hal tersebut masih sesuai dengan aturan perpajakan. Sebagai suatu beban, eksistensi pajak menimbulkan pro dan kontra. Kita bisa melihat bagaimana pertentangan persepsi tentang pembebanan pajak dari para petinggi di Amerika Serikat seperti tercermin pada dua pendapat berikut ini. Seorang hakim agung Amerika yang bernama Oliver Wendell Holmes, Jr (1841-1935) mengatakan bahwa taxes are the price we pay for civilization, sebaliknya hakim agung Amerika lain yang terkenal bernama John Marshal (1755-1835) mengatakan: The power to tax is the power to destroy. Lain lagi Filosop dan negarawan Benyamin Franklin berujar, bahwa didalam masyarakat manusia yang pasti adalah kematian dan pajak (nothing (nothing is certain but tax and dead ). ). Namun naluri alamiah seorang manusia dari semenjak dulu hingga kapanpun juga akan senantiasanya berusaha menghindarkan dari beban pajak itu dalam berbagai bentuk dan manifestasinya, karena pajak itu adalah pungutan yang didasarkan pada pelaksanaan perundang-undangan perpajakan secara benar dan bukan kontribusi yang sifatnya sekarela (taxes are enforced extractions, not voluntary contributions) dan tanpa ada imbalan balas jasa langsung dari pemerintah. Fenomena yang kita jumpai dalam masyarakat dimanapun ia berada, kalau bisa tidak membayar pajak sama sekali, akan tetapi tidak melanggar Undang-Undang, atau kalau tidak bisa tidak membayar pajak sama sekali, apakah bisa dikurangi atau tidak, dengan tidak melanggar Undang-Undang. Ini suatu hal yang sangat basic dari sifat dasar manusia, siapun dia adanya dan apapun pangkat atau jabatannya yang selalu berusaha bertindak efisien dalam seluruh kehidupan perseorangan maupun dalam siklus kehidupan bisnisnya sepanjang usia perusahaan mulai dari sejak perusahaannya berdiri aktivitas manajemen sudah mulai, terus dalam kegiatan operasional sehari-hari, dan dalam melakukan ekspansi atau reorganisasi/ penciutan usaha maupun pada saat perusahaann ya dilikwidir. Bahkan hingga h ingga seseorang seseoran g wajib pajak yang sudah meninggal sekalipun, meskipun kewajiban pajak orang pribadinya sudah berakhir, namun harta peninggalan/warisannya masih merupakan subjek pajak yang dikenakan pajak. Warisan yang belum b elum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri dianggap sebagai Subjek Pajak dalam negeri mengikuti status pewaris. Dalam pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut te rsebut menggantikan men ggantikan kewajiban ahli waris yang berhak, tetapi bila warisan tersebut telah dibagi, maka kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris. Tidak seorangpun senang membayar pajak. Asumsi Leon Yudkin (Harnanto, 1994) mempertegas hal tersebut : 1. Wajib pajak selalu berusaha untuk membayar pajak yang terhutang sekecil mungkin, sepanjang hal itu dimungkinkan olah undang-undang. 2. Wajib pajak cenderung untuk menyelundupkan pajak (tax (tax evasion) evasion) yakni usaha penghindaran pajak yang terutang secara illegal, sepanjang wajib pajak tersebut mempunyai alasan yang meyakinkan bahwa kemungkinan besar mereka tidak akan ditangkap dan yakin bahwa orang lainpun berbuat hal yang sama. Asumsi ini dalam praktiknya bisa kita jumpai dan merupakan suatu kecenderungan yang sulit diberantas karena sudah menyangkut aspek filosofis dan budaya individu atau wajib pajak. 3
Tax Planning adalah suatu peralatan dan sebagai suatu tahap awal dari manajemen perpajakan (tax management ) untuk menampung aspirasi yang berkembang dari sifat dasar manusia tadi. Secara definitif tax management memiliki ruang lingkup yang lebih luas dari sekedar tax planning . Sebagai tax management pastilah tidak terlepas dari konsep management secara umum yang merupakan upaya-upaya sistematis yang meliputi perencanaan planning (planning ), ), pengorganisasian (organizing ), ), pelaksanaan (actuating (actuating ) dan pengendalian (controlling (controlling ). ). Semua fungsi-fungsi management tersebut diatas tercakup dalam tax management . Dengan kata lain, manajemen perpajakan (tax management ) merupakan segenap upaya untuk mengimplementasikan fungsi-fungsi manajemen tersebut diatas agar dapat tercapai suatu efisiensi dan efektifitas dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakannya. Dalam melaksanakan fungsi tax management tersebut, tersebut, tax planning merupakan merupakan tahap pertama dalam urutan hierarkisnya, namun dalam praktek bisnis, istilah tax planning lebih poluler daripada tax management itu itu sendiri. Dalam praktek, pendekatan yang dilakukan dalam implementasi tax planning ini bersifat multidisipliner, sehingga wajarlah bila untuk menjadi seorang perencana pajak yang baik (tax planner), planner), harus memiliki wawasan & pengetahuan yang luas dan selalu meng-update dirinya dengan ketentuan perpajakan yang berlaku termasuk setiap perubahan-perubahannya dari waktu ke waktu. Tidak ada yang salah dengan perencanaan pajak (tax (tax planning ) untuk menghindari pajak asalkan menggunakan metode yang legal. Hakim Learned Hands di Amerika Serikat menyatakan doktrin perencanaan pajak tahun 1947 ketika dia menulis: “Over and over again, courts have said there is nothing sinister in so arranging one’s affairs as to keep taxes as low as possible. Everybody does so, rich or poor, and all do right, for nobody ower any public duty to pay more than the law demands:taxes are enforced extractions, not voluntary contributions.” Commissioner.v.Newman, Commissioner.v.Newman, 159 F.2d 848 (CA-2-1947). (CA-2-1947). (Gerald E.Whittenburg & Marthe Altus-Buller : 1996). Berulang-ulang kali, pengadilan telah mengatakan, bahwa tidak ada suatu ancaman hukuman apapun yang dapat diberlakukan terhadap barang siapa yang melakukan usaha untuk mengatur pengenaan pajaknya seminimal mungkin. Semua orang akan berbuat hal yang sama, baik yang kaya maupun mau pun yang miskin, dan d an hal ini sesungguhnya merupakan haknya untuk berbuat demikian karena tidak seorangpun berkewajiban memenuhi kewajiban perpajakannya melebihi dari jumlah yang seharusnya seharusnya menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan .................. Ketika metode illegal digunakan untuk mengurangi kewajiban pajak, proses tersebut tidak lagi dianggap sebagai tax planning , tetapi merupakan tax evasion. evasion. Tax planning adalah suatu proses mengorganisasi usaha wajib pajak sedemikian rupa agar hutang pajaknya baik pajak penghasilan maupun pajak lainnya berada dalam jumlah minimal, selama hal tersebut tidak melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Yang harus dilakukan adalah menyiapkan semua data-data yang diperlukan dan format penyajian data, memperhatian setiap pembayaran dan pelaporan pajak setiap masa pajak dan setiap akhir tahun pajak, mengawasi rekonsiliasi laporan keuangan komersial dan fiscal. Setelah semua hal ini dilakukan dengan baik berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku dan mengetahui pemahaman yang baik tentang keadaan perusahaan maka dari hal dapat diterapkan suatu strategi manajemen perpajakan untuk perusahaan dalam memenuhi kewajiban pajaknya seefisien mungkin dengan tetap mematuhi aturan-aturan pajak yang 4
berlaku. Hal lain yang perlu dilakukan untuk melaksanakan tax planning ini adalah mengatur cash flow perusahaan sedemikian rupa atau seefektif mungkin dengan senantiasa memperhatikan ketentuan perpajakan yang berlaku. Perlu adanya penghematan dalam penggunaan dana seefisien mungkin dalam setiap kegiatan perusahaan yang berlangsung Dalam buku ini penulis memasukkan beberapa artikel dari penulis sendiri yang sudah pernah diterbitkan di majalah “Indonesian Tax Review”, dan majalah Bijak yang berkaitan dengan terapan tax planning seperti Aspek Perpajakan Joint Operation/Konsorsium dan Kepastian Hukumnya, Kajian Perpajakan Dalam Penyerahan Barang Di Luar Daerah Pabean, Implikasi Perpajakan Pada Yayasan Pendidikan Dan Tax Planningnya Yang Masih Berlaku. Untuk Tax Planning PPh Badan, beberapa strategi yang dapat diapplikasikan dalam melakukan tax planning telah dikupas sebelumnya dalam artikel ini, dan untuk mengayakan pemikiran pemikiran yang berkembang dalam praktek dunia perpajakan yang nyata (in the real world of taxation) yang dihadapkan pada para eksekutif di level middle management hingga top management , penulis menambahkan beberapa terapan advis tax planning lainnya seperti digambarkan di beberapa bab berikut ini. Upaya untuk melaksanakan kewajiban perpajakan harus dibarengi dengan langkah-langkah manajemen perpajakan secara baik. Manajemen perpajakan merupakan upaya-upaya sistematis yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian di bidang perpajakan untuk mencapai pemenuhan kewajiban perpajakan yang minimum. Jadi manajemen perpajakan merupakan upaya-upaya untuk mengimplementasikan fungsi-fungsi manajemen di atas agar dapat dicapai efektivitas dan efisiensi pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan. Sedangkan perencanaan perpajakan atau Tax Planning merupakan tahap awal untuk melakukan analisis secara sistematis berbagai alternatif perlakuan perpajakan dengan tujuan untuk mencapai pemenuhan kewajiban perpajakan yang minimum. Tax Planning merupakan bagian dari manajemen perpajakan secara luas. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa istilahTax Planning lebih populer dibanding dengan istilah Tax Manajemen. Perlunya manajemen perpajakan sebenarnya berangkat dari hal yang sangat mendasar dari sifat manusia (manusiawi). “ Kalau bisa tidak membayar, mengapa harus membayar. Kalau bisa membayar lebih kecil, mengapa harus membayar lebih besar. “ Namun semuanya harus dilakukan dengan itikad baik dan dengan cara-cara yang tidak melanggar aturan perpajakan. Tujuan utama dari manajemen perpajakan adalah untuk melaksanakan kewajiban perpajakan dengan benar dan meminimalisasi beban pembayaran pajak untuk memaksimalkan keuntungan. Perencanaan perpajakan tidak dimaksudkan untuk mengelak dari kewajiban perpajakan (Tax Evasion) melalui cara-cara yang melanggar aturan perpajakan (break the law). Namun demikian, dalam praktek sulit dibedakan antara cara-cara yang tidak melanggar dan yang melanggar aturan perpajakan karena banyaknya peraturan perpajakan yang bisa ditafsirkan berbeda. Dalam melaksanakan kewajiban pajak sehari-hari secara optimal, terdapat beberapa unsur penting yang perlu diketahui oleh setiap Wajib Pajak. Atau dengan kata lain pekerjaan perpajakan yang harus dijalankan Wajib Pajak dapat dikelompokkan menjadi : 5
1. Tax Compli ance
Berhubungan dengan kegiatan-kegiatan untuk mematuhi aturan perpajakan, meliputi : administrasi yang harus dilakukan, pembukuan, pemotongan/pemungutan pajak, penyetoran, pelaporan, memberikan data untuk keperluan pemeriksaan pajak dan sebagainya. Secara umum peraturan pajak akan dipatuhi oleh Wajib Pajak bila biaya untuk mematuhinya (compliance cost) relatif murah. 2. Tax Planning
Merupakan rangkaian strategi untuk mengatur akuntansi dan keuangan perusahaan untuk meminimalkan kewajiban perpajakan dengan cara-cara yang tidak melanggar peraturan perpajakan (in legal way). Dalam arti yang lebih luas meliputi keseluruhan fungsi manajemen perpajakan. 3. Tax Li tigation
Merupakan usaha-usaha untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa pajak dengan pihak lain, terutama kantor pajak. Sengketa pajak terjadi karena adanya perbedaan penafsiran atas suatu ketentuan perpajakan atau atas masalah-masalah yang tidak ada aturannya secara jelas antara Wajib Pajak dengan fiskus dalam pemeriksaan atau penelitian pajak. Di Indonesia, tax litigation berhubungan dengan permohonan peninjauan kembali untuk pembetulan/pembatalan surat ketetapan pajak, permohonan pengurangan sanksi perpajakan, pengajuan keberatan, banding, gugatan dan cara-cara lain sesuai dengan undang-undang. 4. Tax Research
Merupakan proses untuk mencari jawaban, solusi atau rekomendasi atas suatu permasalahan perpajakan. Kegiatan yang dilakukan biasanya meliputi :
Menentukan fakta-fakta yang akan dianalisis, Mengidentifikasi isu-isu pajak yang berkaitan dengan fakta-fakta tersebut, Menentukan pihak-pihak yang dapat menjadi sumber data dan informasi, Mengevaluasi data dan informasi yang diperoleh, Mengembangkan dan merumuskan konklusi dan rekomendasi, Mengkomunikasikan rekomendasi yang dibuat.
Jadi manajemen perpajakan merupakan bagian integral dari perencanaan strategis perusahaan yang seharusnya sudah dimulai sebelum suatu usaha dimulai. Pelaksanaan manajemen perpajakan harus ekonomis, efisien dan efektif. Perencanaan perpajakan (tax planning) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari manajemen perpajakan. Tax planning dapat diterapkan ketika Wajib Pajak akan memulai kegiatan usahanya sampai dengan penutupan usaha (likuidasi), jika ada. Perencanaan peroajakan dimulai pada saat akan mendirikan perusahaan (pemilihan bentuk usaha, pemilihan metode pembukuan, pemilihan lokasi usaha); saat menjalankan usaha (pemilihan transaksi-transaksi yang akan dilakukan dalam kegiatan operasionalnya, pemilihan metode
6
akuntansi dan perpajakan, tanggung jawab terhadap stakeholders); saat akan menutup usaha (restrukturisasi usaha/perusahaan, likuidasi, merger, pemekaran dan sebagainya). Suatu perencanaan akan memiliki manfaat yang besar bila dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Oleh karena itu, perencanaan perpajakan dalam pelaksanaannya membutuhkan personil yang berkualitas, perangkat kerja yang memadai dan prosedur kerja yang tepat waktu, tepat jumlah dan tepat informasi. Akuntansi Pajak merupakan salah satu dimensi akuntansi yang menyediakan informasi sehubungan dengan aspek perpajakan tentang bisnis dan transaksi keuangan kepada mereka yang ingin mengelola bisnis atau memperoleh informasi transaksi keuangan dan aspek perpajakan dari suatu entitas akuntansi. Dari data akuntansi, para pengelola bisnis mendapat bahan mengambil keputusan tentang perpajakan te rmasuk perencanaan pajak. Dalam Malaysia Tax Work Book (1995), Farid Ahmad menyebutkan bahwa perencanaan pajak merupakan serangkaian proses atau tindakan yang dilakukan oleh wajib pajak untuk merekayasa (reengineering ) sumber-sumber penghasilan dan beban maupun transaksi lainnya dengan tujuan meminimalisasi, menangguhkan, atau eliminasi beban pajak yang masih berada dalam kerangka peraturan perundang-undangan. Untuk mencapai tujuan tersebut, pengusaha harus memanfaatkan semua pengurang, pengecualian, pembebasan, kemudahan, dan kredit serta fasilitas pajak yang disediakan oleh peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan (jurisprudensi), dan administrasi pajak. (Gunadi, 2009 : 279)
Strategi Pajak Strategi yang dapat ditempuh untuk mengefisiensikan beban pajak secara legal yaitu : 1. Tax Saving Tax saving adalah upaya untuk mengefisiensikan beban pajak melalui pemilihan alternatif pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah. Contoh : pemberian natura kepada karyawan pada umumnya tidak diperkenankan untuk dibebankan sebagai biaya dalam menghitung PPh badan. Pemberian natura tersebut dapat diubah kebijakannya menjadi pemberian yang tidak dalam bentuk natura sehingga dapat dikurangkan sebagai biaya, tetapi harus dimasukkan sebagai penghasilan karyawan. Pengaruh dari perlakuan ini akan mengakibatkan PPh badan menjadi turun, tetapi PPh Pasal 21 akan naik. Penurunan PPh badan akan lebih besar daripada kenaikan PPh Pasal 21 (dengan asumsi perusahaan memperoleh laba kena pajak di atas Rp 100 juta dan PPh badan tidak bersifat final). 2. Tax Avoidance Tax avoidance adalah upaya mengefisiensikan beban pajak dengan cara menghindari dari pengenaan pajak dengan mengarahkan pada transaksi yang bukan obyek pajak. Contoh : pada jenis perusahaan yang PPh badannya tidak dikenakan secara final, untuk mengefisiensikan PPh Pasal 21 karyawan dapat dilakukan dengan cara memberikan semaksimal mungkin kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura, mengingat pemberian natura pada perusahaan yang tidak terkena PPh final bukan merupakan obyek PPh Pasal
7
21. Misal pada saat perusahaan dalam kondisi rugi secara fiskal atau memiliki kompensasi kerugian fiskal dalam jumlah yang relatif besar di tahu n-tahun sebelumnya. 3. Penundaan pembayaran pajak Penundaan pembayaran kewajiban pajak dapat dilakukan tanpa melanggar peraturan yang berlaku. Contoh: untuk menunda pembayaran PPN dapat dilakukan dengan menunda penerbitan Faktur Fajak sampai batas waktu yang diperkenankan khususnya atas penjualan kredit, penjual dapat menerbitkan Faktur Pajak pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan pajak. 4. Mengoptimalkan kredit pajak yang diperkenankan Wajib Pajak seringkali kurang mendapat informasi mengenai pembayaran yang dapat dikreditkan. Sebagai contoh : PPh Pasal 22 atas pembelian solar dari Pertamina bersifat final jika pembelinya perusahaan yang bergerak di bidang penyaluran migas Tetapi jika pembelinya bergerak di bidang pabrikan, maka PPh Pasal 22 tersebut dapat dikreditkan dengan PPh badan. Pengkreditan ini lebih menguntungkan ketimbang dibebankan sebagai biaya. Bila dibandingkan, maka keuntungan yang diperoleh adalah sebesar 75% dari nilai pajak yang dikreditkan (asumsi laba kena pajak di atas Rp 100 juta). Bila dikreditkan, maka seluruh jumlah pajak (100%) diklaim oleh Wajib Pajak. Akan tetapi bila dibebankan sebagai biaya, maka dampak pengurangan pajaknya adalah hanya sebesar 25%-nya dan itu pun diasumsikan dahwa biayanya merupakan deductible expenses. 5. Menghindari pemeriksaan pajak dengan cara menghindari lebih bayar a. Mengajukan pengurangan pembayaran angsuran PPh Pasal 25 ke KPP yang bersangkutan, apabila berdasarkan estimasi diperkirakan dalam tahun pajak yang bersangkutan akan terjadi kelebihan pembayaran pajak. Pengajuan tersebut dapat dilakukan paling cepat 3 (tiga) bulan setelah berjalannya tahun pajak dan Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut kurang dari 75% (tujuh puluh lima persen) dari PPh terutang yang menjadi dasar penghitungan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 (KEP-537/PJ./2000).
Pengajuan pengurangan pembayaran angsuran ini harus melampirkan : Proyeksi perhitungan laba rugi tahun berialan, Proyeksi neraca pada akhir tahun yang bersangkutan, Proyeksi besarnya PPh badan yang terutang, yang ternyata akan terjadi kelebihan pembayaran pajak, apabila besarnya angsuran tidak dikurangi. Bukti-bukti pembayaran pajak yang sudah dilakukan. b. Mengajukan permohonan pembebasan PPh Pasal 22 impor apabila perusahaan melakukan impor Pengajuan permohonan pembebasan PPh Pasal 22 harus melampirkan : Proyeksi impor setiap bulan dalam tahun yang bersangkutan, Proyeksi perhitungan laba rugi tahun berjalan,
8
Proyeksi perhitungan PPh badan yang terutang dan angsuran PPh Pasal 25, serta PPh Pasal 22 yang menunjukkan lebih bayar apabila dilakukan pembayaran PPh Pasal 22, Proyeksi neraca pada akhir tahun yang bersangkutan.
6. Menghindari pelanggaran terhadap peraturan perpajakan yang berlaku
Menghindari pelanggaran terhadap peraturan perpajakan dapat dilakukan dengan cara menguasai peraturan perpajakan yang berlaku. Dalam buku ini akan dibahas pula peraturan pokok perpajakan khususnya yang berbeda dengan kelaziman di bidang akuntansi komersial.
2. Pengertian Manajemen Perpajakan (Tax Management) Manajemen Perpajakan adalah usaha yang menyeluruh yang dilakukan oleh Tax Manager dalam suatu perusahaan atau organisasi agar hal-hal yang berhubungan dengan perpajakan dari perusahaan atau organisasi tersebut dapat dikelola dengan baik, efisien dan ekonomis, sehingga dapat memberikan kontribusi yang maksimum bagi perusahaan.
3. Fungsi-Fungsi Manajemen Perpajakan 1. Tax Planning Tax Planning adalah usaha-usaha yang mencakup perencanaan perpajakan agar pajak pajak yang dibayar oleh perusahaan paling efisien. Tujuan Tax Planning yang paling utama adalah mencari berbagai celah kemungkinan yang dapat ditempuh oleh perusahaan dalam koridor ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku(loopholes), agar perusahaan dapat membayar pajak dalam jumlah minimal.
Dalam Tax Planning dikenal ada 3 macam cara/sistem yang dapat dilakukan oleh wajib pajak untuk menekan jumlah beban pajak, yakni : a. Tax Avoidance (Penghindaran Pajak) b. Tax Evasion (Penyelundupan Pajak) c. Tax Saving (Penghematan Pajak) Kalau Tax Avoidance, strategi dan teknik penghindaran pajak dilakukan secara legal dan aman bagi wajib pajak tanpa bertentangan dengan ketentuan perpajakan yang berlaku dimana metode dan teknik yang digunakan cenderung memanfaatkan kelemahankelemahan ( grey area) yang terdapat dalam Undang-Undang & Peraturan Perpajakan itu sendiri. Sedangkan Tax Evasion adalah kebalikan dari Tax Avoidance, strategi dan teknik penghindaran pajak dilakukan secara ilegal namun tidak aman bagi wajib pajak, dan cara penyelundupan pajak ini bertentangan dengan ketentuan perpajakan yang berlaku dimana 9
metode dan teknik yang digunakan sebenarnya tidak dalam koridor Undang-Undang & Peraturan Perpajakan itu sendiri. Cara yang ditempuh beresiko tinggi dan berpotensi dikenakan sanksi pelanggaran hukum/tindak pidana fiskal atau kriminil. Oleh sebab itu, sebagai seorang tax planner yang baik, cara tax evasion ini tidak direkomendir untuk diapplikasikan. Lain halnya dengan Tax Saving yang tidak lain merupakan suatu tindakan penghematan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak pajak dilakukan secara legal dan aman bagi wajib pajak tanpa bertentangan dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Sebagai contoh, bila kita belanja teh botol di warung, tentu tidak akan ada pengenaan Pajak Pembangunan (PPb) atas konsumsi teh botol tersebut, namun bila kita memesan teh botol di Hotel/Restoran besar tentu akan dikenakan PPb-nya, yang jelas konsumen pasti akan terbebani dengan beban pajak PPb (yang sebenarnya bisa dihindari) sebagai implikasi perpajakannya. 2. Tax Administration/Tax Compliance Tax Administration/tax compliance mencakup usaha-usaha untuk memenuhi kewajiban administrasi perpajakan dengan cara mengitung pajak secara benar sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku, kepatuhan dalam membayar pajak dan melaporkan secara pajak secara tepat waktu sesuai dengan deadline pembayaran dan pelaporan pajak yang telah ditetapkan. 3. Tax Audit Tax Audit mencakup strategi dalam menangani pemeriksaan pajak, menanggapi hasil pemeriksaan pajak maupun strategi dalam mengajukan surat keberatan atau surat banding. 4. Other Tax Matters Masalah perpajakan lainnya mencakup fungsi-fungsi lain yang berkaitan dengan perpajakan, seperti mengkomunikasikan ketentuan-ketentuan sistem dan prosedur perpajakan kepada pihak-pihak atau bagian-bagian lain dalam perusahaan seperti penerbitan faktur penjualan standard yang berhubungan dengan PPN, pemotongan withholding tax (PPh Ps. 23/26) yang berkaitan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi dan jasa profesi serta objek withholding tax lainnya, juga termasuk pelatihan bagi staf yang berkaitan dengan masalah perpajakan dan sebagainya.
Tax planning atau tax management memiliki banyak pengertian karena pakar perpajakan, praktisi perpajakan dan pengajar perpajakan mendefinisikannya menurut persepsi dan pemahaman mereka masing-masing. Namun sebenarnya kita bisa menarik benang merahnya untuk mengetahui apa sebenarnya tax planning atau tax management itu dan sejauh mana ruang lingkupnya serta apa saja yang menjadi tujuannya, berikut ini kita dapat mengikuti beberapa definisi dari tax planning atau tax management yang dikemukakan oleh beberapa pakar perpajakan : 1. Menurut Dictionary of Tax Terms yang disusun oleh D. Larry CPA, Ph.D., Jack P.Friedman,CPA, Ph.D. dan Susan B.Anders,CPA,M.S. (Barron’s : 1994) : 10
Tax Planning is the systematic analysis of differing tax options aimed at the minimization of tax liability in current and future tax periods. Tax Planning adalah analisis yang dilakukan secara sistematis dari pembedaan berbagai pilihan/opsi pajak yang ditujukan pada pengenaan kewajiban pajak yang minimal pada masa pajak kini dan masa pajak yang akan datang. 2. Spitz & Barry dalam bukunya yang berjudul International Tax Planning , mengutarakan bahwa : Tax planning is arrangement of business and personal affairs in such a way as to attract the lowest possible incidence of tax and pre arrangement of facts in the most favored way. 3.
Lyons Susan M dalam bukunya International Tax Glossary, mengutarakan bahwa : Tax planning is arrangement of a person’s business and/or private affairs in order to minimize tax liability. Perencanaan pajak adalah pengaturan yang dilakukan oleh barang siapa yang melakukan usaha perorangan atau bisnis, yang tujuannya untuk meminimalisir kewajiban pajaknya.
3. DR. Mohammad Zain dalam bukunya yang berjudul Manajemen Perpajakan mendefinisikan, bahwa : Secara garis besar perencanaan pajak (tax planning ) adalah proses mengorganisasi usaha wajib pajak atau kelompok wajib pajak sedemikian rupa sehingga utang pajaknya, baik pajak penghasilan maupun pajak-pajak lainnya, berada dalam posisi yang paling minimal, sepanjang hal itu dimungkinkan baik oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan maupun secara komersial. Lebih lanjut ia juga menyebutkan, bahwa suatu perencanaan pajak yang tepat akan menghasilkan beban pajak yang minimal yang merupakan hasil dari perbuatan penghematan pajak dan/atau penghindaran pajak yang dapat diterima oleh fiskus dan sama sekali bukan karena penyelundupan pajak yang tidak dapat diterima oleh fiskus dan tidak akan ditolerir. 4. Menurut Ladiman Djaiz (1971) yang dikutip oleh Agustinus (2003), mengartikan manajemen pajak sebagai berikut : Tax management berarti melakukan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian dan pengawasan mengenai perpajakan yang tujuannya adalah untuk meningkatkan efisiensi dalam artian peningkatan laba atau penghasilan. (John Hutagaol: 2007) 5. Sophar Lumbantoruan, dalam bukunya yang berjudul Akuntansi Pajak, edisi revisi (1999) juga mengemukakan secara umum, bahwa : Manajemen Pajak adalah strategi untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan. 11
Lebih lanjut diungkapkan, bahwa manajemen pajak tersebut bertujuan bukan untuk mengelak membayar pajak, tetapi mengatur sehingga pajak yang dibayar tidak lebih dari jumlah yang seharusnya. 6. Achmad Tjahyono dan Muhammad F Husein dalam bukunya berjudul Perpajakan, edisi pertama (1997), mengemukakan bahwa : Perencanaan pajak adalah proses mengorganisasi usaha wajib pajak atau kelompok wajib pajak sedemikian rupa sehingga hutang pajaknya baik pajak penghasilan maupun pajak-pajak lainnya, berada dalam posisi yang minimal, sepanjang hal ini dimungkinkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 7. John Hutagaol, dalam bukunya yang berjudul Perpajakan-Isu Isu Kontemporer (2007) mengartikan : Manajemen Perpajakan adalah proses perencanaan, implementasi serta pengendalian kewajiban dan hak di bidang perpajakan sehingga pemenuhannya dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas, penulis dapat mengambil suatu kesimpulan, bahwa: Manajemen Perpajakan adalah upaya menyeluruh yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi maupun badan usaha melalui proses perencanaan, pelaksanaan (implementasi) dan pengendalian kewajiban dan hak perpajakannya agar hal-hal yang berhubungan dengan perpajakan dari orang pribadi, perusahaan atau organisasi tersebut dapat dikelola dengan baik, efisien dan efektif, sehingga dapat memberikan kontribusi yang maksimum bagi perusahaan dalam artian peningkatan laba atau penghasilan. Sedangkan Tax planning adalah proses mengorganisasi usaha wajib pajak orang pribadi maupun badan usaha sedemikian rupa dengan memanfaatkan berbagai celah kemungkinan yang dapat ditempuh oleh perusahaan dalam koridor ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku (loopholes), agar perusahaan dapat membayar pajak dalam jumlah minimum.
4. Motivasi Tax Planning Beberapa hal yang mempengaruhi perilaku wajib pajak untuk meminimumkan kewajiban pembayaran pajaknya baik secara legal maupun ilegal, yang kita sebut dengan propensity of dishonesty (diolah dari T.N.Srinivasan. Tax Evasion : A Model , dalam Journal of Public Economics, 1973 :339-346) adalah sebagai berikut : 1. Tingkat kerumitan suatu peraturan ( Complexity of r ul e ) Makin rumit peraturan perpajakan yang ada, maka terdapat kecendrungan wajib pajak untuk menghindarinya karena biaya untuk mematuhinya (compliance cost ) menjadi tinggi. 2. Besarnya pajak yang dibayar ( Tax r equi r ed to pay )*
12
Makin besar jumlah pajak yang harus dibayar, maka akan semakin besar kecendrungan wajib pajak untuk melakukan kecurangan dengan cara memperkecil jumlah pembayaran pajaknya. 3. Biaya untuk negosiasi ( Cost of br ibe ) Disengaja atau tidak disengaja, kadang-kadang wajib pajak melakukan negosiasi-negosiasi dan memberikan uang sogokan kepada fiskus dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakannya. Makin tinggi uang sogokan yang mesti dibayar oleh wajib pajak, maka akan semakin kecil kecendrungan wajib pajak untuk melakukan pelanggaran. 4. Resiko deteksi ( Probabil it y of detection ) Resiko deteksi ini berhubungan dengan tingkat probabilitas apakah pelanggaran ketentuan perpajakan ini akan terdeteksi atau tidak. Makin rendah resiko deteksi, wajib pajak memiliki kecendrungan untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran ketentuan perpajakan. Sebaliknya, bila suatu pelanggaran ketentuan perpajakan mudah diketahui, maka wajib pajak akan memilih posisi konservatif dengan tidak melanggar aturan. 5. Besarnya denda ( Size of penal ty ) Makin berat sanksi perpajakan yang bisa dikenakan, maka Wajib Pajak akan cenderung mengambil posisi konservatif dengan tidak melanggar ketentuan perpajakan yang berlaku. Sebaliknya makin ringan sanksi atau bahkan ketiadaan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan Wajib Pajak, maka kecenderungan melanggar akan lebih besar. 6. Moral masyarakat Moral masyarakat ini akan memberikan warna tersendiri dalam menentukan kepatuhan dan kesadaran masyarakat dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Secara umum motivasi dilakukannya perencanaan pajak (tax planning ) adalah untuk memaksimalkan laba setelah pajak (after tax return) karena pajak itu mempengaruhi pengambilan keputusan atas suatu tindakan dalam operasi perusahaan untuk melakukan investasi melalui analisis yang cermat dan pemanfaatan peluang atau kesempatan yang ada dalam ketentuan peraturan yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk memberikan perlakuan yang berbeda atas objek yang secara ekonomi hakikatnya sama dengan memanfaatkan : a. Perbedaan tarif pajak (tax rates) b. Perbedaan perlakuan atas objek pajak sebagai dasar pengenaan pajak (tax base) c. Loopholes, shelters, havens. (Erly Suandy, 2006 : 14) Adanya perbedaan tarif pajak karena penerapan schedular taxation tarif yang diterapkan di Indonesia (yang bisa kita temukan dalam UU PPh Tahun 1983/1994/2000) akan memotivasi wajib pajak/perencana pajak mendesain tax planningnya sedemikian rupa pada besaran penghasilan kena pajak dengan lapisan tarif yang paling rendah (low bracket ), sebagaimana ____________________ 1)
diolah dari T.N. Srinivasan, Tax Evasion: A Model , dalam Journal of Public Economics, 1973 : 339 346.
13
diutarakan oleh Barry Bracewell-Milnes dalam bukunya The Economics of International Tax Avoidance (1980), bahwa : The heavier the burden, the stronger the motive and the wider the scope for tax avoidance, since the tax payer may avoid the higher rates of tax while still remaining liable to the lower.
5. Manfaat Perencanaan Pajak Ada beberapa manfaat yang bisa diperoleh dari perencanaan pajak yang dilakukan secara cermat. Beberapa manfaat yang dapat disebutkan adalah : 1. Penghematan kas keluar, karena beban pajak yang merupakan unsur biaya dapat dikurangi. 2. Mengatur aliran kas masuk dan keluar (cash flow), karena dengan perencanaan pajak yang matang dapat diestimasi kebutuhan kas untuk pajak dan menentukan saat pembayaran sehingga perusahaan dapat menyusun anggaran kas secara lebih akurat.
6. Tujuan Perencanaan Pajak Secara umum tujuan pokok yang ingin dicapai dari manajemen pajak/perencanaan pajak yang baik adalah sebagai berikut : 1. Meminimalisir beban pajak yang terutang. Tindakan yang harus diambil dalam rangka perencanaan pajak tersebut berupa usahausaha mengefisiensikan beban pajak yang masih dalam ruang lingkup pemajakan dan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan 2. Memaksimumkan laba setelah pajak. 3. Meminimalkan terjadinya kejutan pajak (tax surprise) jika terjadi pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh fiskus 4. Memenuhi kewajiban perpajakannya secara benar, efisien dan efektif sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku, antara lain meliputi : a. Mematuhi segala ketentuan administratif, sehingga terhindar dari pengenaan sanksisanksi, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana, seperti bunga, kenaikan, denda, dan hukum kurungan atau penjara. b. Melaksanakan secara efektif segala ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang terkait dengan pelaksanaan pemasaran, pembelian, dan fungsi keuangan, seperti pemotongan dan pemungutan pajak (PPh pasal 21, pasal 22, dan pasal 23).
14
7. Persyaratan Tax Planning Yang Baik Tax Management/Tax Planning yang baik mensyaratkan beberapa hal : 1. Tidak melanggar ketentuan perpajakan. Jadi rekayasa perpajakan yang didesain dan diimplementasikan bukan merupakan tax evasion. ). 2. Secara bisnis masuk akal ( reasonable Kewajaran melakukan transaksi bisnis tersebut harus berpegang kepada praktek perdagangan yang sehat dan menggunakan standard arm’s length price, atau harga pasar yang wajar yakni tingkat harga antara pembeli dan penjual independen, bebas melakukan transaksi. 3. Didukung oleh bukti-bukti pendukung yang memadai (misalnya : Kontrak, Invoice, Faktur Pajak, PO, DO, dsb.nya). Kebenaran formal dan materiil dari suatu transaksi keuangan perusahaan dapat dibuktikan dengan adanya kontrak perjanjian dengan pihak ketiga atau Purchase Order (PO) dari pelanggan, bukti penyerahan barang/jasa (Delivery Order ), Invoice, Faktur Pajak sebagai bukti penagihannya serta pembukuannya ( general ledger ).
8. Kapan Dilaksanakan Tax Planning Karena pajak itu melihat kepada subjeknya yang sudah terbebani sebagai wajib pajak (WP) orang pribadi atau badan sejak awal misalnya perusahaan baru berdiri kemudian baru berjalan tidak lama bubar. Jadi walaupun sudah bubar, pajaknya belum selesai. Maka planning -nya dilakukan sepanjang usia perusahaan. Jadi pada saat berdiri, aktivitas manajemen sudah mulai, banyak sekali tax management yang harus dilaksanakan. Pada saat perusahaan bubar atau pada saat WP orang pribadi meninggal masih ada masalah pajaknya. Jadi pajak tidak habis karena meninggal, karena warisan-warisan ini oleh fiskus masih diotak-atik.
9. Resistensi Pajak Perlawanan terhadap pajak yang dilakukan oleh wajib pajak merupakan hambatan-hambatan dalam pemungutan pajak baik yang disebabkan oleh kondisi negara dan rakyatnya maupun disebabkan oleh usaha-usaha wajib pajak yang disadari ataupun tidak yang mempersulit pemasukan pajak sebagai sumber penerimaan Negara. Pada dasarnya ada dua bentuk perlawanan pajak yang dilakukan oleh Warga Negara menurut R. Santoso Brotihardjo (1993:13-14), yakni : 1. Perlawanan Pasif : Perlawanan pasif meliputi hambatan-hambatan yang mempersukar pemungutan pajak yang erat hubungannya dengan struktur ekonomi suatu Negara, perkembangan intelektual dan moral penduduk serta sistem dan cara pemungutan pajak itu sendiri. 2. Perlawanan Aktif : Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiskus dan bertujuan untuk menghindari pajak.
15
Dalam kaitannya dengan perlawanan aktif, ada beberapa modus yang biasanya digunakan wajib pajak untuk menghindari pajak, yakni : Tax avoidan ce (penghindaran pajak) adalah upaya penghindaran pajak dilakukan secara legal dan aman bagi wajib pajak tanpa bertentangan dengan ketentuan perpajakan yang berlaku dimana metode dan teknik yang digunakan cenderung memanfaatkan kelemahankelemahan ( grey area) yang terdapat dalam Undang-Undang & Peraturan Perpajakan itu sendiri untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang.
(Penggelapan/penyelundupan pajak) adalah upaya wajib pajak dengan Tax evasion penghindaran pajak terutang secara illegal dengan cara menyembunyikan keadaan yang sebenarnya, namun tidak aman bagi wajib pajak, dimana metode dan teknik yang digunakan sebenarnya tidak dalam koridor Undang-Undang & Peraturan Perpajakan itu sendiri. Cara yang ditempuh beresiko tinggi dan berpotensi dikenakan sanksi pelanggaran hukum/tindak pidana fiskal atau kriminil. Oleh sebab itu, sebagai seorang tax planner yang baik, cara tax evasion ini tidak direkomendir untuk diapplikasikan. Tax Evasion adalah kebalikan dari Tax Avoidance.
Tax saving (penghematan pajak) adalah upaya wajib pajak mengelakkan utang pajaknya
dengan jalan menahan diri untuk tidak membeli produk-produk yang ada pajak pertambahan nilainya atau dengan sengaja mengurangi jam kerja atau pekerjaan yang dapat dilakukannya sehingga penghasilannya menjadi kecil dan dengan demikian terhindar dari pengenaan pajak penghasilan yang besar. Sebagai contoh, bila kita belanja teh botol di warung, tentu tidak akan ada pengenaan Pajak Pembangunan (PPb) atas konsumsi teh botol tersebut, namun bila kita memesan teh botol di Hotel/Restoran besar tentu akan dikenakan PPb-nya, yang jelas konsumen pasti akan terbebani dengan beban pajak PPb (yang sebenarnya bisa dihindari) sebagai implikasi perpajakannya. Dua cara yang dapat dilakukan oleh perencana pajak (tax planner ) perusahaan adalah tax saving dan tax avoidance karena perbuatan seperti itu tidak melanggar undang-undang. Ada kemiripan antara tax saving dan tax avoidance ini. Namun, secara teoritis pengertiannya berbeda. Tax saving adalah usaha memperkecil jumlah pajak yang tidak termasuk dalam ruang lingkup pemajakan, sedangkan tax avoidance adalah usaha yang sama dengan cara mengeksploitisir celah-celah yang terdapat dalam ketentuan peraturan erundang-undangan perpajakan, dimana aparat perpajakan tidak dapat melakukan tindakan apa-apa. Pada hakekatnya, tax avoidance merupakan perbuatan yang sifatnya mengurangi hutang pajak secara ilegal dan bukan mengurangi kesanggupan/kewajiban wajib pajak melunasi pajak pajaknya namun harus diperhatikan bahwa tindakan tax avoidance diupayakan tidak terperangkap dalam perbuatan yang dianggap sebagai perbuatan tax evasion.
16
9. Cara-Cara Pengelakan Pajak Ada enam cara pengelakan pajak yang biasanya terdapat dalam dunia usaha, yaitu : 1. Penggeseran pajak (tax shifting ), 2. Kapitalisasi (capitalization), 3. Tranformasi (transformation), 4. Penyelundupan pajak (tax evasion), 5. Penghindaran pajak (tax avoidance), dan 6. Pengecualian pajak (tax exemption). (Sophar Lumbantoruan,1999 : 489) Penggeseran pajak (tax shi fti ng ) ialah pemindahan atau mentransfer beban pajak dari subyek pajak kepada pihak lain, dengan demikian orang atau beban yang dikenakan pajak mungkin sekali tidak menanggungnya. Ada dua jenis penggeseran pajak yang sering dilakukan dalam pengelakan pajak : 1. Penggeseran Pajak Ke depan (Forward shifting) Penggeseran ini terjadi apabila pabrikan mentransfer beban pajaknya kepada penyalur utama, pedagang besar dan akhirnya kepada konsumen. Misalnya PPN. Penggeseran ini mengakibatkan kenaikan harga sebesar pajak (PPN) yang dikenakan. 2. Penggeseran Pajak Ke Belakang (Backward shifting) Penggeseran ini terjadi bilamana beban pajak ditransfer dari konsumen atau pembeli melalui faktor distribusi kepada pabrikan. Penggeseran ini mengakibatkan pemotongan harga jual sebesar pajak yang dikenakan kepadanya. Kapitalisasi pajak adalah pengurangan harga objek pajak sama dengan jumlah pajak yang akan dibayarkan kemudian oleh pembeli. Kapitalisasi ini sering terjadi jika pembeli harga tetap seperti tanah atau gedung dibebani pajak balik nama, agar beban pajak tidak menjadi tanggungan pembeli maka beban pajak dialihkan kepada penjual. Dengan demikian, harga beli harta menjadi berkurang. Kapitalisasi pajak ini dapat dikatakan salah satu bentuk penggalihan pajak ke belakang. Transformasi adalah cara pengelakkan pajak dilakukan oleh pabrikan dengan cara menanggung beban pajak yang dikenakan terhadapnya. Cara ini biasanya dilakukan oleh produsen sehingga kenaikan harga jual tidak menurunkan pangsa pasarnya, supaya keuntungan perusahaan tidak berkurang maka beban pajak yang seharusnya dapat ditransfer kepada konsumen dapat dikompensasikan dengan meningkatkan efisiensi perusahaan. Pengelakan pajak terjadi dengan mengubah pajak (transformasi) ke dalam keuntungan yang diperoleh melalui efisiensi produksi.
menunjuk pada rekayasa tax affairs yang masih dalam bingkai ketentuan Tax avoidance perpajakan sedangkan tax evasion berada di luar bingkai peraturan perpajakan, seperti telah diuraikan diatas. Pengecualian Pajak (Tax exemption) adalah pengecualian pengenaan pajak yang diberikan kepada perorangan atau badan berdasarkan Undang-undang pajak.
17
Ada beberapa pengecualian pengenaan pajak yang diberikan oleh Pemerintah sekarang ini, misalnya : PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2009 tentang PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah Atas Penghasilan Pekerja Pada Kategori Usaha Tertentu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.03/2009. Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2001 yang dirubah ketiga kalinya dengan PP No. 7 Tahun 2007 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Pasal 3 Undang-undang PBB No. 12 Tahun 1985 yang dirobah dengan UU PBB No. 12 Tahun 1994 Tentang Obyek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek pajak yang : a. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan, b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu, merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak, c. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik, d. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan Selain karena adanya suatu kesengajaan untuk mengurangi atau tidak memenuhi kewajiban perpajakannya, wajib pajak juga sering bertindak lalai dan baru disadari belakangan setelah ada pemeriksaan fiskus. Kelalaian memenuhi kewajiban pajak yang harus dilakukan oleh wajib pajak tidak saja terbatas pada kecurangan dan penggelapan dalam segala bentuknya, namun menurut OLIVER OLDMAN (Harnanto, 1994) kelalaian wajib pajak juga meliputi dalam hal : 1. Ketidaktahuan (ignorance), yakni wajib pajak tidak sadar atau tidak tahu akan adanya ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersebut. 2. Kesalahan (error), yakni wajib pajak paham dan mengeri mengenai ketentuan peraturan perundang-udangan perpajakan tapi salah dalam menghitung datanya. 3. Kesalahpahaman (misunderstanding), yakni wajib pajak salah menafsirkan ketentuan pertaturan perundang-undangan perpajakan. 4. Kealpaan (negliance), yakni wajib pajak alpa untuk menyimpan buku beserta bukti buktinya secara lengkap. Contoh tindakan yang termasuk kategori di atas adalah salah dalam pengisian SPT, tidak menyampaikan SPT tepat waktu, tidak membayar pajak terutang tepat waktu, membayar dengan cek kosong utang pajaknya.
18
11. Rambu-Rambu Dalam Penyusunan Tax Planning Dalam strategi perpajakan kita sudah mengenal tentang tax avoidance dan tax evasion. Dalam praktek di lapangan, kedua metode penghindaran pajak tersebut agak tipis perbedaannya, sehingga pada awalnya didesain untuk melakukan tax avoidance namun kenyataannya bisa terjebak melakukan tax evasion. Untuk menentukan legalitas tax management/tax planning yang didesain, apakah legal (tax avoidance) atau illegal (tax evasion), maka rambu-rambu yang dapat dipakai adalah ketentuan pidana Pasal 38, 39, 41, 41A, 41B dan 43 Undangundang KUP No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU KUP No. 7 Tahun 2007.
12. Tahapan Pokok Tax Planning Agar tax plan dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan, Barry Spitz (1983 : 86) mengemukakan urutan tahap-tahapan yang harus ditempuh dalam melakukan perencanaan pajak, yakni : 1. Analysis of the existing data base (Analisis data base informasi yang ada) 2. Design of one or more possible tax plans (Membuat satu model atau lebih rencana besarnya pajak) 3. Evaluating a tax plan (Evaluasi atas perencanaan pajak) 4. Debugging the tax plan (Mencari kelemahan dan memperbaiki kembali rencana pajak) 5. Updating the tax plan (Memutakhirkan rencana pajak) Tahapan pertama - merupakan tahap penganalisaan terhadap komponen-komponen yang berbeda pengakuannya antara komersil dan fiskal dan menghitung seakurat mungkin beban pajak yang harus ditanggung perusahaan. Analisa ini dilakukan dengan mempertimbangkan masing-masing elemen pajak, baik secara sendiri-sendiri maupun secara total pajak yang nantinya akan dirumuskan sebagai perencanaan pajak yang paling efisien. Data base yang harus dianalisa antara lain meliputi : Dianalisa apakah terdapat kejanggalan atau komponen-komponen yang berbeda : a. dalam Pembayaran dan Pelaporan Pajak bulanan PPh Psl. 21, PPh Badan, dan PPN. b. dalam Pemotongan dan Pelaporan Pajak bulanan (PPh Psl. 23/26), PPh Psl. 4(2), c. dalam SPT Tahunan PPh Psl. 21 dan PPh Badan, dengan senantiasa mengkaitkannya atau merekonsiliasikannya dengan pembukuan perusahaan. Analisis implikasi fiskal atas suatu proyek yang sedang ditangani atau yang akan datang. Tahapan kedua - Setelah melakukan tahapan awal di atas, maka harus dibuat beberapa model perencanaan pajak yang akan dilakukan. Pembuatan model-model perencanaan pajak tersebut dimaksudkan sebagai alternatif untuk menentukan tax plan mana yang applicable dan paling efisien dan efektif untuk diimplementasikan. Contohnya berikut ini : Pemilihan bentuk usaha-pada saat seorang investor baru memulai suatu usaha, maka dia akan memilih bentuk usaha apa saja yang bisa memberikan hasil akhir (net profit
19
after tax) yang lebih besar buat dia, apakah dalam bentuk Perseroan terbatas (PT), Usaha Perorangan atau Firma/CV. Bagi badan usaha yang telah go international atau perusahaan multinasional, treaty shopping dapat dilakukan oleh para pengusaha dengan memanfaatkan mana tarif pajak dan fasilitas perpajakan yang terdapat dalam berbagai tax treaty yang telah disetujui oleh masing-masing Kepala Negara, yang lebih menguntungkan bagi para pengusaha tersebut.
Tahapan ketiga - tahap evaluasi perencanaan pajak Dalam tahapan ini evaluasi dilakukan sekaligus untuk melakukan pengendalian pajak merupakan langkah akhir dalam manajemen pajak. Pengendalian pajak bertujuan untuk memastikan bahwa kewajiban pajak telah dilaksanakan sesuai dengan yang telah direncanakan dan telah memenuhi persyaratan formal maupun material. Pengendalian pajak dapat dilakukan melalui penelaahan pajak (tax review).
Dengan memperhatikan contoh di atas, pengendalian pajak dapat dilakukan sebagai berikut: a. Melakukan review atas pengkreditan Pajak Masukan apakah Faktur Pajak yang diterima memenuhi syarat sebagai Faktur Pajak Standar. b. Melakukan review apakah Faktur Pajak telah dibuat dan dilaporkan tepat waktu. c. Melakukan review apakah retur yang telah dicatat dan dilaporkan telah benar, baik secara formal maupun materi. Dalam tahap evaluasi perencanaan pajak kita misalnya dapat mengimplementasikan program Tax Diagnostic Review (TDR), semacam program untuk menangani kepatuhan wajib pajak yang dapat disusun sendiri oleh Tax Manager atau Tax Consultant dari masing-masing perusahaan. Setelah menetapkan alternatif mana yang akan digunakan, maka perlu dilakukan evaluasi untuk melihat sejauh mana hasil pelaksanaan yang akan diperoleh dari suatu perencanaan pajak. Tujuan dilakukannya TDR adalah : 1) untuk mengetahui sejauh mana unit bisnis melakukan pemenuhan kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku 2) meminimalisasikan terjadinya transaksi yang dapat menimbulkan resiko permasalahan perpajakan. Satu hal yang harus diperhatikan adalah adanya kemungkinan fiskus tidak setuju dengan biaya-biaya yang dapat dikurangkan (deductible items) sehingga nantinya akan merugikan perusahaan. 3) meminimalisasikan sanksi perpajakan yang diakibatkan kesalahan pencatatan yang dilakukan oleh unit bisnis dan kemudian memperbaikinya 4) agar unit bisnis tidak melakukan kesalahan yang sama pada waktu yang akan datang 5) mempersiapkan unit bisnis dalam menghadapi pemeriksaan yang dilakukan oleh fiskus. Tahapan keempat - Dalam konsep manajemen, pengawasan/pengendalian (controlling ) itu dapat dilakukan dengan dua cara, yakni pengawasan preventif dan pengawasan refresif. Mencari kelemahan dan memperbaiki kembali rencana pajak (tax plan) adalah merupakan bentuk pengawasan refresif. Perencanaan pajak yang telah diimplementasikan harus dimonitor dan di-review terus dan dicari kelemahan dan kekurangannya. Terkadang ada
20
suatu hal yang menyebabkan suatu rencana pajak memiliki kekurangan, baik itu disebabkan karena adanya perubahan peraturan perpajakan atau faktor lainnya sehingga rencana pajak tersebut harus dikaji ulang kembali dan bila ditemukan kelemahan harus segera dimodifikasi untuk keberhasilan tax plan tersebut agar rencana dan tindakan dapat dilakukan tepat waktu. Penambahan biaya yang akan terjadi akibat adanya perubahan rencana pajak tersebut harus dilihat dari perspektif ekonomisnya yakni bahwa benefit yang diperoleh harus lebih besar dari cost yang dikeluarkan, atau kita bersikap konservatif selama masih diperoleh penghematan pajak yang lebih besar dengan mengantisipasi kerugian yang akan timbul pada tingkat kerugian yang minimum. Tahapan kelima - Seiring dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan, sehingga dalam melaksanakan perencanaan pajak perlu memproyeksikan perubahan yang sedang terjadi saat ini dan saat yang akan datang dalam tax plan yang sudah dibuat. Tax plan tersebut harus di-update terus dan dimutakhirkan sesuai dengan ketentuan terkini sehingga sedini mungkin dapat diantisipasi akibat yang merugikan dari adanya perubahan dan perkembangan yang terjadi. Dengan memutakhirkan perencanaan pajak maka diharapkan perencanaan pajak yang sedang berjalan tidak akan mengalami hambatan yang berarti. Sebagai bahagian dari pemutakhiran tax plan tersebut, pengembangan rencana atau perangkat tindakan dapat dilakukan misalnya mengadakan/mengintegrasikan sistem informasi (information system) yang memadai dalam kaitannya dengan penyampaiannya tax plan kepada para petugas yang memonitor implementasi tax plan tersebut dan juga keefektifan pengendalian pajak penghasilan dan pajak-pajak lainnya yang terkait dengan masalah-masalah perpajakan yang dicantumkan dalam setiap kontrak bisnis, sehingga tidak terjadi pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
13. Langkah-Langkah Praktis Yang Dapat Dilakukan Dalam Perencanaan Pajak Agar tax plan dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan, Langkah-langkah praktis yang dapat dilakukan dalam melakukan perencanaan pajak, adalah sebagai berikut : 1. Mengusahakan agar terdapat penghasilan yang stabil untuk menghindarkan pengenaan pajak dari kelas penghasilan yang tarifnya tinggi (top rate brackets) 2. Mempercepat atau menunda beberapa penghasilan dan biaya-biaya untuk memperoleh keuntungan dari kemungkinan perubahan tarif pajak yang tinggi atau rendah, seperti penangguhan pengenaan PPN, PPN yang ditanggung pemerintah dan seterusnya. 3. Menyebarkan penghasilan menjadi penghasilan dari beberapa wajib pajak, seperti pembentukan group-group perusahaan. 4. Menyebarkan penghasilan menjadi penghasilan beberapa tahun untuk mencegah penghasilan tersebut termasuk dalam kelas penghasilan yang tarifnya tinggi dan tunda pembayaran pajaknya, seperti penjualan cicilan, kredit dan seterusnya. 5. Transformasikan penghasilan biasa menjadi capital gain jangka panjang 6. Mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari ketentuan-ketentuan mengenai pengecualian dari potongan-potongan
21
7. Mempergunakan uang dari hasil pembebasan pengenaan pajak untuk keperluan perluasan perusahaan yang mendapatkan kemudahan-kemudahan. 8. Memilih bentuk usaha yang terbaik untuk operasional usaha 9. Mendirikan perusahaan dalam satu jalur usaha sedemikian rupa sehingga dapat diatur secara keseluruhan penggunaan tarif pajak, potensi menghasilkan, kerugian-kerugian dan aset yang dapat dihapus. (Harnanto, 1994)
14. Perangkat Tax Planning Pajak itu dianggap suatu beban dan orang menerima secara umum menjadi suatu kebenaran. Dalam pengorganisasian dibuat perangkat-perangkat sedemikian rupa sehingga perencanaan pajak dapat diadakan dengan baik. Perangkat-perangkatn ya adalah : 1. Pemahaman Ketentuan Perpajakan
Agar planning bisa berhasil dengan baik, tax planning ini harus dikaitkan dengan kondisi tax administration setempat. Bukan hanya Undang-undang saja tetapi juga di Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri Keuangan, Keputusan Pengadilan Pajak, Keputusan Dirjen, Surat Edaran dan kadang-kadang ada private ruling /surat-surat kepada individu. Semakin banyak yang dikuasai seorang tax planner , akan lebih efektif. Juga untuk planning yang sifatnya pajak daerah/lokal tentu juga harus paham tentang berbagai ketentuan pajak daerah. Suatu hal yang agak menantang yaitu bahwa persyaratan pemahaman harus up to date, semacam continuing profesional education. Para tax planner harus secara kontinyu mengikuti profesional education, suatu updating pengetahuan baik dilakukan secara internal maupun eksternal. Mengetahui Tentang Tax Treaty Kalau nasional sifatnya maka kita juga harus paham tax treaty. Dari berbagai treaty kalau diperbandingkan, kalau orang berkata bahwa perbedaan pendapat itu merupakan rahmat, tapi ini debatnya betul. Kalau untuk planning internasional, justru yang dicari adalah perbedaan aturan, bukan kesamaannya. Jadi, yang perbedaan ini betul-betul rahmat untuk para tax planner . Maka tiap treaty dicari perbedaan antara suatu treaty dengan treaty lainnya. Jadi dicari perbedaannya, yang dieksploitir untuk keuntungan, untuk meminimialisir beban pajak secara regional/global. Perbedaan-perbedaan yang ada pada treaty sebetulnya sifatnya semacam national distortion. Jadi Bagi tax planner ini menjadi suatu rahmat. Dia mengambil manfaat/keuntungan dari national distortion tadi, dari berbagai treaty, tekhniknya namanya adalah treaty shopping . Contoh treaty shopping , kalau bank-bank Singapura, dia menerima bunga di Indonesia tidak dikenakan withholding tax. Maka orang Indonesia barangkali dia berduyun-duyun memanfaatkan treaty shopping ke Singapura. Dia punya teman, titip obligasinya misalnya pada teman yang di Bank, jadi seolah-olah membayar bunganya ke bank sana padahal tidak, tapi hanya meminimialisir pajaknya saja.
22
2. Pengadministrasian/Dokumentasi Yang Baik
Dengan persyaratan pembukuan, penyelenggaraan pembukuan yang baik dan lengkap juga merupakan suatu persyaratan untuk pengorganisasian suatu tax management yang baik. Tapi dalam pembukuan itu sendiri juga bisa direkayasa/di-planningkan untuk meminimalisir beban pajak. Karena dalam pembukuan ini ada berbagai macam opsi dalam pajak. Opsi dalam pajak ini merupakan suatu masukkan untuk planning . Kalau tidak ada opsi tidak ada planning , banyak opsi banyak planning . Sama juga dengan tidak ada treaty kurang bagus, tapi kalau banyak treaty semakin banyak peluang karena banyak pilihan. Dan kecenderungan negara itu secara politis dia akan memperbanyak treaty walaupun mungkin efektifnya tidak ada. Apalagi yang negara besar, semakin banyak treaty-nya semakin bagus dari segi politis/politik perpajakan, berarti bukan negara sembarangan, terkenal karena banyak treaty-nya, dan semakin banyak juga investor yang akan datang dari segi pajak.
3. Menjaga Hubungan dan Komunikasi Yang Baik
Menjaga hubungan baik dengan fiskus perlu terutama di negara berkembang. Kalau di negara maju, hubungan yang proporsional saja. Kalau di negara berkembang bahwa personal approach konon kabarnya sangat menentukan. Biasanya di negara berkembang information itu sangat mahal karena banyak sekali informasi yang masih tertutup. Law enforcement kadang-kadang masih merupakan barang yang sangat mahal. Selain itu penting menjalin komunikasi dalam manajemen internal : a. Komunikasi Dengan Kepala Divisi/Bagian Sebagai bahagian dari tax plan, seorang tax manager harus mengkomunikasikan ketentuan/prosedur perpajakan yang terkini kepada bagian-bagian lain dalam perusahaan, seperti Bagian Penjualan, Pembelian, Akuntansi, Kepegawaian, dan sebagainya. Masing-masing bagian diberikan suatu perangkat manual tax plan yang hanya berkenaan dengan fungsi/aktivitas mereka masing-masing, agar supaya tidak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya. b. Komunikasi Dengan Top Management dan Asosiasi Dalam melaksanakan tax plan tersebut, sangat dibutuhkan dukungan yang kuat dari top management bukan sekedar lip service, kebijakan perpajakan yang diambil adalah juga merupakan bahagian dari corporate policy perusahaan tersebut yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh segenap jajaran manajemen mulai dari top management hingga ke lower management karena ini berdampak pada pencapaian the bottom line dari kinerja perusahaan yakni net profit after tax. Oleh sebab itu top management harus banyak dilibatkan dengan keputusan pemilihan strategi perpajakan yang diambil agar senantiasa sinkron dengan Master Plan perusahaan. Sering terjadi dalam praktek, bahwa permasalahan pajak yang dihadapi oleh perusahaan tersebut tidak bisa diselesaikan secara internal. Sebagai contoh, pada saat keluarnya Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-178/PJ./2006 tentang tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto dimana diantaranya atas Jasa Freight Forwarding dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 pada tarif 20%, maka para pengusaha perusahaan 23
kargo ( Int’l Freight Forwarder) secara kolektif mengajukan keberatan mereka atas peraturan tentang pemotongan tersebut melalui Asosiasi mereka yakni Gefeksi untuk memberikan pressure kepada Ditjen Pajak untuk merubah ruling mengenai masalah yang bersangkutan, dan akhirnya usaha mereka berhasil dengan keluarnya Peraturan Dirjen Pajak No. PER- 70/PJ/2007 merevisi PER-178/PJ./2006 yang menghilangkan Jasa Freight Forwarding dari Objek pajak yang dipotong PPh Pasal 23. c. Komunikasi Dengan Konsultan Pajak Fungsi Konsultan Pajak adalah sebagai penyuluh dan sebagai jembatan antara Wajib Pajak dengan fiskus, serta sebagai kuasa wajib pajak di Pengadilan Pajak, dll. Keberadaan mereka harus dimanfaatkan seoptimal mungkin agar tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan bisa berhasil dengan baik. Sebelum kita memilih konsultan pajak, seyogiayanya kita sudah mengetahui kualifikasi mereka dan pengalaman kesuksesan dalam menangani kasus-kasus yang serupa, agar pelaksanaannya bisa berjalan mulus. Jangan sampai terjadi penunjukan konsultan pajak tersebut malah memperburuk keadaan perusahaan dan malah menimbulkan beban pajak yang lebih besar akibat kekurangpiawaian dari konsultan pajak tersebut. Hal ini banyak terjadi dalam praktek, sewaktu perusahaan diperiksa oleh fiskus. 4.
Implementasi Perencanaan Pajak
Pelaksanaan/implementasi perencanaan pajak termasuk staffing, maksudnya menentukan orang-orangnya, tax planner atau konsultan pelaksana yang ditugasi pada saat closing conference-nya menjelang tahap akhir dari proses pemeriksaan pajak diadakan. Pelaksanaan ini tentu melihat pada optimalisasi perencanaan pajak sehingga apa yang sudah digariskan dalam perencanaan tadi jangan sampai implementasinya tidak proporsional sehingga hasilnya tidak bagus. Suatu transaksi yang sudah direkayasa sedemikian rupa, harus betul-betul dilaksanakan seoptimal mungkin sesuai dengan rencana sebagai bentuk responsibility tax accounting. Misalnya, kalau kewajiban menyampaikan SPT Masa PPN pada tanggal 20, maka bila disampaikan lewat dari tanggal 20 akan terkena denda sebesar Rp. 500.000,-. Kalau satu tahun terlambat terus, dendanya menjadi Rp. 6 juta. Untuk bisa implementasi sesuai dengan yang direncanakan, membutuhkan suatu kontrol. Penulis disini memperkenalkan konsep diff erent tax plannin g for dif ferent pur pose dalam arti bahwa dalam penyusunan tax planning tersebut tidak bisa di generalisir karena kebutuhan untuk manajemen pajak dari berbagai perusahaan itu berbeda-beda, dan dengan transaksinya juga bisa berbeda-beda. Misalnya, tax planning bisa dibuat untuk keperluan penyusunan SPT Tahunan perusahaan, bisa juga dibuat untuk keperluan pada saat perusahaan melakukan merger, joint operation dan sebagainya. Jadi dalam tax management tidak bisa di generalisir bagaimana formulasinya tergantung kepada event yang dihadapi untuk mem-planningkan perpajakannya, kadang-kadang tergantung juga pada tempatnya dan behavior daripada tax administration. Bila KPP dimana pejabat pajaknya mungkin cukup akomodatif tentu planningnya berbeda dengan kalau dilingkungan yang para pejabat pajaknya agak agresif, yang terakhir ini mungkin dihadapi dalam masalah penagihan pajak. 24
Dalam melakukan perencanaan pajak itu tidak ada suatu tax plan yang berlaku secara permanen. Keahlian seorang tax planner hanya akan didapat bila secara kontinyu mempelajari dan mendalami masalah-masalahnya serta melakukan penelitian, karena perencanaan pajak itu sendiri pada hakikatnya merupakan hasil penelitian yang didesain untuk suatu kejadian atau transaksi-transaksi yang akan terjadi. Dalam mendalami masalah tersebut, seorang tax planner harus membuat pemetaan masalah (mapping ) dengan mengusahakan agar diperoleh data sebanyak mungkin yang relevan dengan permasalahan tersebut untuk selanjutnya diteliti fakta yang relevan, kemudian disusun tax planning -nya.
15. Strategi Tax Planning 1. Jurus Tax Planner Pada umumnya seperti banyak kasus-kasus perpajakan yang terjadi belakangan ini, ada empat cara/modus yang digunakan oleh wajib pajak dalam men-desain perencanaan pembayaran pajaknya, cuma sayangnya sebahagian dilakukan dengan cara yang ilegal (tax evasion), yakni : a. Kalau bisa mereka tidak membayar pajak sama sekali, walaupun cara ini tidak melanggar Undang-Undang Perpajakan. Cara ini tidak direkomendasikan karena sebagai warga negara yang baik kita harus memahami bahwa negara kita saat ini sedang membutuhkan dana dari setoran pajak untuk membiayai kelangsungan pembangunan negeri ini. b. Kalau tidak bisa tidak membayar pajak sama sekali, mereka akan mengurangi membayar pajaknya dengan tidak melanggar UU Perpajakan. Umumnya mereka memanfaatkan grea area dalam ketentuan perpajakan yang berlaku. c. Kalau bisa digeser waktunya, yaitu daripada ia bayar sekarang, lebih baik membayar tahun depan ( forward shifting ), jadi bunga (interest )nya mereka nikmati. d. Kalau ketiga-tiganya tidak ketemu, maka baru mereka akan membayar pajaknya.
2. Secara Umum Konsepsi Tentang Tax Plannin g Diberikan Paling Kurang Pada Tujuh Situasi : a. Pada saat mempertimbangkan struktur bentuk usaha sebelum usaha dimulai Contoh kongkritnya adalah sekarang tahun 2009, aturannya berbeda, tarifnya berbeda. Sebelum mulai usaha, orang tentu akan mulai berpikir, apakah bentuk usahanya perseorangan atau badan. Kalau usaha perseorangan dia kena tarif progresif, bila estimasi penghasilannya Rp. 50 juta, maka dia kena tarif 5%, tapi bagi perorangan berlaku ketentuan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebesar Rp. 15.840.000,untuk WP sendiri dan Rp. 1.320.000,- untuk isterinya dan masing-masing anaknya (max. 3 orang tanggungan). Kalau badan dia kena tarif tunggal 25% (tahun 2010) dan tidak ada PTKP. Kemudian kalau sudah badan, dia akan berpikir lagi, apakah Firma atau PT. Sebagai badan, penerapan tarif PPh nya sama untuk PT, Firma dan CV. Firma pajaknya sama dengan CV tapi mungkin konsekuensi hukumnya berbeda.
25
Beda Firma dengan PT : 1. Pemiliknya kalau PT, laba setelah pajak kalau dibagi kepada para pemegang saham WPOP harus membayar pajak dividen. Beda dengan Firma tidak perlu membayar pajak dividen. Pada Pasal 4 ayat 3 huruf i dan penjelasannya menyebutkan bahwa bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer (yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham), persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi,badan-badan sebagaimana disebut dalam ketentuan ini yang merupakan himpunan para anggotanya dikenakan pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh karena itu, bagian laba yang diterima oleh para anggota badan tersebut bukan lagi merupakan Objek Pajak. 2. Ini hubungannya Non Taxable Income atas bagian laba yang diterima oleh para anggota badan tersebut (persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi), dengan demikian sesuai dengan prinsip taxability- deductibility maka gaji yang dibayarkan kepada anggota firma/CV yang modalnya tidak terbagi atas saham, tidak dapat dibiayakan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 9 ayat 1 huruf j. Kalau di PT. gaji yang dibayarkan kepada pengurus yang juga merangkap sebagai pemegang saham dapat dibiayakan selama penghasilannya di laporkan dalam SPT PPh Pasal 21. Beda Orang Pribadi dengan Firma : 1. Orang pribadi tarif PPh-nya murah yakni 5 % hingga pendapatan Rp. 50 juta. 2. Mendapatkan PTKP. 3. Dua orang pribadi kalau terpisah, beban pajaknya akan kecil karena ada PTKP, tarif pajak orang pribadinya yang lebih rendah dibandingkan kalau dia bergabung dengan firma maka kemungkinan tarifnya lebih besar, dan beban pajaknya lebih besar. Pada negara yang mengenakan tarif progresif, suatu perusahaan besar walaupun labanya banyak, dibandingkan dengan 10 perusahaan kecil, maka beban pajaknya akan lebih besar perusahaan yang besar, karena kena tarif progresif. Berbeda dengan suatu negara yang mengenakan tarif flat. Apakah sedikit tapi besar atau banyak tapi kecilkecil, tidak ada masalah. Karena income-nya di bracket seperti yang dikenakan pada PPh Badan UU PPh Tahun 2000, maka dia akan menghindar dari progresif tax tarif di lapisan tarif (bracket ) yang tertinggi, hingga total tax burden akan lebih murah. Hal ini bisa dirancang dengan melakukan penyebaran income pada beberapa perusahaan yang lebih kecil dibandingkan dengan satu perusahaan yang besar yang kena dampak dari progresifitas.
b. Pertimbangan Kembali Struktur Usaha
Perusahaan sudah jalan, tapi ada kemungkinan untuk dipertimbangkan kembali. Misalnya perubahan Undang-Undang Pajak menyebabkan berkurangnya optimalisasi struktur yang ada sekarang. Kalau perubahannya menjadi tambah longgar itu tidak ada masalah, tetapi kalau kelonggarannya menciut umumnya orang meributkan. Contoh : Dalam UU PPh No. 17 Tahun 2000, kepemilikan saham di perusahaan anak ( subsidiary company) sekarang, untuk dapat bebas pajak dividen harus 26
kepemilikan sahamnya sekurang-kurangnya 25 % dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut. Jadi kalau semua yang punya saham 10 % yang satu lagi 15 %, supaya mereka bebas maka harus merger atau harus rela sahamnya dititipkan. Kalau yang sekarang UU PPh No. 36 Tahun 2008 yang berlakunya mulai tahun 2009, syarat harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut dihilangkan. Ada salah satu anti avoidance yang biasanya dicantumkan di treaty, biasanya ini idenya beneficial owner /pemilik manfaat. Jadi, mereka bisa saja menitipkan sahamnya seolah-olah yang menerima itu satu perusahaan tapi nanti akan dilihat secara transparan, siapa pemilik manfaat itu, apakah betul-betul mereka atau milik orang lain. Tentang time dimention juga dapat diperoleh sebagai suatu planning. Secara umum penghematan pajak menganut prinsip the least and the latest , yaitu membayar dalam jumlah seminimal mungkin dan pada waktu terakhir yang masih diizinkan oleh ketentuan perpajakan yang berlaku. Ada perubahan peraturan-peraturan harus dimanfaatkan secepatnya. Pada detik-detik terakhir tax planning itu sebelum tanggal 31 Desember, maka pergunakan the last minutes tax planning.
c. Apabila Terjadi Perubahan Kepemilikan Perusahaan(Merger/Akuisisi) Kalau terjadi perubahan kepemilikan perusahaan maka umumnya tax planner ini akan mencoba untuk mencari mode transaksi yang tidak dikenakan pajak. Kalau terjadi merger , tax planner akan mensyaratkan menggunakan nilai buku, karena penggunaan nilai buku ini tidak menimbulkan capital gain yang merupakan objek pajak penghasilan. Wajib Pajak yang melakukan merger dapat menggunakan nilai buku sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008 tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha. Permohonan izin Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam rangka Merger atau Pemekaran Usaha diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang membawahi Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak pemohon terdaftar, paling lama 6 (enam) bulan setelah tanggal efektif merger dilakukan. Untuk memenuhi ketentuan formalnya, permohonan merger tersebut diajukan oleh Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta. Kalau dengan penjualan saham mereka lewat BEJ dipungut pajak 0,1 %, maka dia akan mencoba untuk tidak lewat BEJ.
d. Apabila perusahaan mempertimbangkan suatu transaksi/proyek/perolehan assets dalam rangka meminimalkan beban pajak
Bisa transaksi import dan jual beli : Kalau import dia akan berusaha agar barang-barangnya itu bebas bea masuk, bebas PPh pasal 22, bebas PPN, dsb.
27
Transaksi penjualan tanah/bangunan, dia akan mencoba untuk memaksimalkan penggunaan NJOPTKP agar BPHTB nya tidak kena, misalnya transaksi penjualan tanah/bangunan dipecah-pecah. Dalam perolehan aktiva kalau ini menyangkut fixed assets yang jumlahnya besar dia akan mencoba memilih berbagai kemungkinan, apakah mungkin dia akan membangun sendiri, meminjam, membeli, atau leasing (dengan hak opsi). Pengenaan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri yang Dilakukan Tidak Dalam Kegiatan Usaha atau Pekerjaan oleh Orang Pribadi atau Badan yang Hasilnya Digunakan Sendiri atau Digunakan Pihak Lain sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 320/KMK.03/2002, yang bangunannya diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat usaha dengan luas bangunan 200 m2 atau lebih dan bersifat permanen, maka PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri, jumlahnya ditetapkan sebesar 4% (yakni 10% x 40%) x jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau yang dibayarkan pada setiap bulannya. Jadi wajib pajak dapat menghemat pajak sebesar 6%. Leasing (dengan hak opsi) ini kadang-kadang lebih untung daripada membeli secara tunai dari sudut perpajakan. Kalau untuk capital leasing masa leasing minimal 7 tahun untuk golongan bangunan. Yang 7 tahun sudah merupakan capital leasing. Tapi kalau dia beli sendiri, disamping dia harus menyediakan semua financingnya, maka dari segi depresiasi dia akan lebih lama dari pada capital leasing. Jadi dalam 7 tahun, secara fiskal pembayaran leasing(dengan hak opsi) yang dilakukan/terutang merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Dengan demikian maka selama 7 tahun itu secara fiskal perusahaan akan kelihatan kurang baik, sehingga beban PPh-nya juga tidak banyak. Jadi ternyata bahwa leasing(dengan hak opsi) itu lebih menguntungkan dari pada membeli aktiva tetap secara tunai.
e. Apabila suatu perusahaan akan memperoleh penghasilan kena pajak (PKP) yang cukup besar dalam satu tahun, maka dia cari jalan untuk mengurangi beban pajak
Income atau obyek yang taxable, obyeknya apa saja dalam 1 tahun dia akan kurangi. Artinya, dalam hal tarifnya adalah tarif progresif, kalau ada penghasilan pengakuannya akan ditunda (deferred ), atau akan mempercepat untuk pengakuan biaya. Tapi kalau tarifnya flat, otomatis urgency-nya agak kurang untuk menunda atau mempercepat. Kalau tarifnya flat, karena beban pajaknya sama, urgency mempercepat atau menunda itu kadang-kadang melihat cash flow-nya. Kalau cash flow-nya tidak terganggu tidak ada masalah, tapi kalau cash flow-nya terganggu, mungkin dia sedang mengalokasikan sumber daya untuk keperluan yang lain maka dia akan tunda pengakuannya. Sebagai contoh lain, dengan Undang-Undang PPh No. 36 Tahun 2008, ditetapkan tarif PPh Badan sebesar 25% berlaku mulai Tahun 2010 sedangkan untuk Tahun 2009 tarif PPh Badan adalah sebesar 28%. Biasanya Tax Planner akan melihat transaksi-transaksi penghasilan apa saja di penghujung Tahun 2009 yang dapat digeser pengakuannya ke tahun 2010 untuk bisa menghemat selisih tarif PPh sebesar 3% yang berarti akan mengurangi tax burden bagi perusahaan. 28
Profit itu tidak identik dengan cash available. Profit itu angka, tapi uang tidak identik dengan profit. Jadi kalau profitnya besar belum tentu uangnya banyak. Sebaliknya, kalau bisa meskipun profitnya kecil tetapi uangnya banyak artinya cash flow-nya lancar. Biaya akan diakui didalam Laporan Rugi/Laba apabila liability-nya sudah ada walaupun belum dibayar. Maka untuk penghasilan, tax planner akan mencoba untuk menggeser sedapat mungkin pengakuan pendapatannya. Sekaligus dia berusaha akan averaging /meratakan penghasilan. Kalau ada expense akan dia akrual, walaupun belum dibayarkan tapi seolah-olah bahwa billing -nya terjadi sekarang.
f. Apabila terjadi perubahan keadaan individu WP (pensiun, perkawinan, pisah)
Kalau pesangon dibayarkan sekaligus akan dikenakan PPh 10 % final. Tapi kalau pensiun bulanan maka akan kecil-kecil jumlah pajaknya. Kalau di a dibayar bulanan (lumpsum) akan kena pajak normal dan ada PTKP. Secara total apakah lebih untung kalau dibayar lumpsum payment sekaligus, atau average setiap bulan?. Namun aturan pensiunnya bagaimana, apakah boleh dibayar secara bulanan? Ini harus dianalisis untuk melihat apakah perusahaan bisa menghemat pajak dari penerapan salah satu alternatif cara pembayaran tersebut tanpa mengenyampingkan aturan yang ada. Kondisi married/tambah keluarga umumnya PTKP hanya diberikan/diberdayakan critical time-nya pada awal tahun. Jadi kalau kawinnya dipertengahan tahun maka sampai dengan akhir tahun dianggap sendiri. Kalau calon suami istri kedua-duanya bekerja, pajaknya bagaimana. Kalau sama-sama kerja, suami istri mendapat PTKP Rp. 15.840.000,- masing-masing, ditambah dengan Rp. 1.320.000,00 untuk isterinya dan masing-masing anaknya (max. 3 orang tanggungan). Jadi pajak ini pro dengan perkawinan. Kalau digabung ada progresifitas tarif. Jadi kalau penghasilan suami isteri berdua digabung dan lebih dari Rp. 50 juta, maka akan kena bracket yang besar. Jadi fenomenanya disini adanya tambahan Rp. 1.320.000,00 untuk PTKP isteri dan kemungkinan terkena taxable bracket yang lapisan tinggi karena penghasilan yang digabung tersebut.
g. Apabila perusahaan/orang pribadi akan menjual aktiva atau perusahaan akan bubar/orang pribadi almarhum Kalau sampai meninggal belum dibagi maka tidak ada PTKP dan dikenakan tarif progresif. Jadi sebelum almarhum lebih baik dibagi dulu karena akan mendapatkan PTKP untuk masing-masing bagian dan tarifnya lebih murah.
3. Tax Planning Yang Masih Berlaku Berikut ini ada beberapa trik yang perlu dipertimbangkan dalam membuat tax planning perusahaan :
29
a. Maksimalkan Biaya-Biaya Yang Dapat dikurangkan Seringkali petugas pembukuan menggunakan istilah yang kurang tepat untuk biaya biaya tertentu sehingga pada waktu dilakukan pemeriksaan oleh fiskus biaya-biaya tersebut tidak dapat dikurangkan. Contohnya : biaya promosi, biaya keamanan, biaya pemasaran dibukukan dengan nama sumbangan. Berdasarkan UU PPh pasal 9 (1) g sumbangan tidak diperkenankan dikurangkan sebagai biaya, maka dengan sendirinya akan dikoreksi oleh fiskus. Biaya perjalanan dinas dibukukan sebagai biaya perjalanan direksi yang mengesankan sebagai biaya liburan direksi. Tentunya ini juga akan dikoreksi oleh fiskus. Biaya latihan pegawai dibukukan sebagai biaya rekreasi pegawai. Ini juga akan dikoreksi karena tidak dianggap sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan.
b. Merger Antara Perusahaan Yang Terus Menerus Rugi Dengan Perusahaan Yang Laba Didalam satu kelompok usaha, kadang-kadang terdapat perusahaan yang terus merugi selama beberapa tahun sebelum menghasilkan laba, sedangkan di perusahaan lainnya yang sejenis sudah menghasilkan laba. Dengan demikian secara kelompok, perusahaan membayar PPh atas laba yang lebih besar dari laba sebenarnya. Menurut Pasal 3 Per-Menkeu No. 43/PMK.03/2008, bila kedua perusahaan tersebut digabungkan ( Merger ) dengan menggunakan nilai buku, tidak boleh mengkompensasikan kerugian/sisa kerugian dari Wajib Pajak yang menggabungkan diri/Wajib Pajak yang dilebur. Akumulasi kerugian perusahaan yang merugi tersebut bisa dikompensasikan dengan “selisih lebih atas penilaian kembali aktiva tetap” hasil revaluasi aktiva tetap yang dilakukan berdasarkan nilai pasar yang wajar, dan atas selisih lebih setelah kompensasi kerugian tersebut dikenai PPh Final 10%.
c. Menunda Penghasilan Misalnya buku perusahaan ditutup pada tanggal 31 Desember. Pada bulan Desember tersebut terdapat lonjakan permintaan. Pajak atas laba atas lonjakan permintaan tersebut sudah harus dibayar paling lambat tanggal 25 Maret tahun berikutnya. Disamping itu angsuran PPh 25 tahun berikutnya otomatis akan menjadi lebih besar. Bila memungkinkan pengusaha dapat melakukan pendekatan kepada konsumen agar penyerahan barangnya dilakukan pada awal bulan Januari tahun berikutnya. Dengan demikian pembayaran pajaknya dapat ditunda satu tahun.
d. Percepat Pembebanan Biaya Pada akhir tahun fiscal sebaiknya dilakukan review untuk melihat apakah ada biaya biaya yang dapat segera dibebankan pada tahun ini. Misalnya biaya konsultan hukum, konsultan pajak, auditor, dsb. Dengan demikian seperti halnya dengan penundaan penghasilan akan dapat menunda pembayaran pajak setahun.
30
Contoh Trik Aplikasi
Dalam UU PPh yang baru (Pasal 6 ayat (1) huruf h - UU No. 36 Tahun 2008) Peraturan mengenai piutang tak tertagih sebetulnya tidak ada perubahan yang mendasar. Piutang nyata-nyata tak tertagih itu boleh dibiayakan asal memenuhi beberapa syarat sebagai berikut: 1) Telah dibiayakan dalam laporan laba rugi komersial; 2) WP harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada DJP; 3) Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau ada perjanjian tertulis dengan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau ada pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan; 4) Syarat nomor 3 tidak berlaku bagi piutang debitur kecil yang dihapuskan Sebagai tax planner harus mencari cara yang lebih mudah. Piutang tak tertagih diatur dalam pasal 6 (1) UU PPh dimana disyaratkan kalau piutang tak tertagih jika ingin dihapuskan syaratnya yang ada di pasal 6 (1) h UU PPh. Tapi di pasal 6 (1) d UU PPh mengatakan “Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang menurut tujuan semula tidak dimaksudkan untuk dijual atau dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dar i penghasilan bruto”. Misalnya kita punya Lemari kantor harga belinya Rp. 1 juta, sudah dipakai 1 tahun, sudah di depresiasikan golongan 2 (tarif penyusutan 20% metode garis lurus). Sekarang tinggal nilai bukunya 80 % atau Rp. 800.000, bila kita jual dengan harga Rp. 400.000 sehingga rugi sebesar Rp. 400.000, Sesuai Pasal 6 (1) h UU PPh, kerugian ini boleh dikurangkan sebagai biaya (deductible) dalam SPT Tahunan PPh Badan. Cara ini kita pergunakan untuk piutang tak tertagih, karena piutang itu juga harta/aktiva. Sekarang ada sarana untuk menjual piutang ke perusahaan factoring . Daripada kita susah-susah mengajukan ke pengadilan, bikin perjanjian susah, kita jual saja ke factoring company. Misalnya Piutang kita sebesar 500 juta, kita menganggap bahwa nagihnya paling hanya dapat 100 juta, maka 400 juta akan dihapuskan. Kita jual saja yang 500 ini ke factoring company dengan harga mungkin 150 juta supaya factoring company-nya juga dapat untung. Jadi kita juga bisa membiayakan sebesar 500 juta -150 juta = 350 juta. Ini cara hemat dan cepat.
e. Strategi Efisiensi Untuk Menekan Beban Pajak Perusahaan Strategi perusahaan untuk efisiensi pajak dapat dilakukan dengan cara merekayasa biaya-biaya yang berkaitan dengan pembayaran kepada karyawan, tapi ini tergantung pada kondisi perusahaan sebagai berikut : 1). Pada perusahaan yang memperoleh penghasilan kena pajak dan pengenaan PPh badannya tidak final, diupayakan seminimal mungkin memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan karena pengeluaran ini tidak dapat dibebankan sebagai biaya. Jadi meskipun PPh Pasal 21 akan menjadi besar, tetapi karena bisa dibiayakan sehingga dampaknya terhadap PPh Badan akan menjadi lebih rendah. Sebaliknya kebijakannya akan berbeda dalam hal 31
perusahaan masih merugi, dimana pemberian dalam bentuk natura itu justru harus diupayakan semaksimal mungkin karena bisa memperkecil PPh Pasal 21. 2). Untuk perusahaan yang PPh badannya dikenakan PPh final, sebaiknya memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan, karena pemberian natura dan kenikmatan kepada karyawan tidak termasuk obyek pajak PPh pasal 21, sedangkan pengeluaran untuk pemberian dan kenikmatan tersebut mempengaruhi besarnya PPh badan, karena PPh badan final dihitung dari persentase atas penghasilan bruto sebelum dikurangi dengan biaya-biaya. Bagi perusahaan yang masih rugi, pemberian natura dan kenikmatan akan menurunkan PPh Pasal 21 sementara PPh badan tetap nihil. Lihat dalam tentang bahasan strategi efisiensi ini dapat dilihat dalam bab “Tax Planning PPh badan”.
f. Hindari Beban Orang Lain Untuk Tidak Menjadi Beban Sendiri Banyak kejadian dalam praktek bisnis internasional, perusahaan lokal terpaksa menanggung pajak yang seharusnya menjadi beban perusahaan luar negeri tersebut karena tidak teliti memperhatikan klausul perpajakannya dalam kontrak perjanjian tersebut. Hal ini dapat dihindarkan bila kita bisa memahami aspek perpajakan internasional, seperti tentang Tax Treaty, Bentuk Usaha tetap (BUT), PPh Pasal 26. Tentang PPN juga tidak diatur dalam perpajakan internasional. Misalnya atas pembelian barang/jasa dari luar negeri, tetapi bila penyerahan barang/jasa kena pajaknya dilakukan di dalam negeri (dalam daerah pabean Indonesia), maka atas penyerahan barang/jasa kena pajak tersebut terutang PPN. Lalu siapa yang harus menanggung PPN-nya, penjual atau pembeli, principal atau agen? Ini semuanya harus dituangkan klausul-nya dalam kontrak perjanjian kedua belah pihak. (baca juga tulisan penulis di majalah Indonesian Tax Review Vol II/edisi 19/2009 hal.40-49). Beberapa Perangkat Fasilitas Perpajakan Dalam perundang-undangan perpajakan Indonesia khususnya UU Pajak Penghasilan serta UU PPN & PPn BM, kita menjumpai beberapa perangkat fasilitas perpajakan seperti tertera dibawah ini : WP yang melakukan penanaman modal di bidang usaha tertentu dan atau di daerah tertentu, dapat diberikan fasilitas (PP No. 1 Tahun 2007) : a. Pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Penanaman Modal, dibebankan selama 6 (enam) tahun masing-masing sebesar 5% per tahun; b. Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, sebagai berikut :
32
================================================================ Kelompok Aktiva Tetap Masa Manfaat Tarif Penyusutan Berwujud Met. Garis Met.Saldo Lurus Menurun ================================================================ Bukan Bangunan: I. Kelompok I 2 tahun 50% 100% Kelompok II 4 tahun 25% 50% Kelompok III 8 tahun 12,5% 25% Kelompok IV 10 tahun 10% 20% II. Bangunan: Permanen 10 tahun 10% Tidak Permanen 5 tahun 20% ================================================================ c. Pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada Subjek Pajak Luar Negeri sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih rendah menurut Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku; dan d. Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari10 (sepuluh) tahun dengan ketentuan sebagai berikut: 1) tambahan 1 tahun: apabila penanaman modal baru pada bidang usaha yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a PP No. 1 Tahun 2007 (Lampiran 1) dilakukan di kawasan industri dan kawasan berikat; 2) tambahan 1 tahun: apabila mempekerjakan sekurang-kurangnya 500(lima ratus) orang tenaga kerja Indonesia selama 5 (lima) tahu n berturut-turut; 3) tambahan 1 tahun: apabila penanaman modal baru memerlukan investasi/ pengeluaran untuk infrastruktur ekonomi dan sosial di lokasi usaha paling sedikit sebesar Rp. 10 miliar ; 4) tambahan 1 tahun: apabila mengeluarkan biaya penelitian dan pengembangan di dalam negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi produksi paling sedikit 5% (lima persen) dari investasi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun; dan/atau. 5) tambahan 1 tahun: apabila menggunakan bahan baku dan atau komponen hasil produksi dalam negeri paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) sejak tahun ke 4 (empat). e. Sumbangan yang dapat dibiayakan meliputi sumbangan penanggulangan bencana nasional, sumbangan penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia, biaya pembangunan infrastruktur sosial, sumbangan fasilitas pendidikan dan sumbangan pembinaan olahraga (Pasal 6 ayat (1) huruf I, j, k, l dan m - UU PPh No. 36 Tahun 2008) f. Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis dibebaskan dari pengenaan PPN (PP No. 7 Tahun 2007). g. Barang yang dimasukkan dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Berikat diberikan penangguhan Bea Masuk; dan/atau tidak dipungut Pajak Dalam Rangka Impor (Pasal 14 PP No. 32 Tahun 2009 Jo PP No. 2 Tahun 2009) . h. Atas impor barang untuk keperluan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi yang diimpor oleh Kontraktor Bagi Hasil ( production sharing contract ) Minyak 33
dan Gas Bumi diberikan fasilitas pembebasan Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor yakni PPN, PPn BM, dan PPh Pasal 22 Impor tidak dipungut (Pasal 2 Per Menkeu No. 20/PMK.010/2005) i. PPN tidak dipungut atas penyerahan avtur kepada maskapai penerbangan untuk keperluan penerbangan internasional, sepanjang perjanjian pelayanan transportasi udara mencantumkan asas timbal balik (Pasal 2 PP Nomor 26 Tahun 2005). j. Bebas pajak (PPN, PPn BM, PPh pasal 22) untuk proyek pembangunan Pulau Bintan dan kawasan pendukung sekitarnya (Pasal 1 PP No. 30 Tahun 1995). k. Percepatan restitusi untuk WP patuh. Dari semula 1 tahun menjadi 1 bulan (PER1/PJ./2008). Kesemuanya itu adalah merupakan cost driver (pemacu biaya) yang bisa menjadi penyebab cost daripada produk perusahaan berbeda dengan pesaingnya dalam industri tertentu.
Setelah melalui perdebatan yang ulet, akhirnya Undang-undang PPh No. 36 Tahun 2008 disahkan antara lain dengan penambahan satu pasal yang baru, yakni Pasal 31E UU PPh No. 36 Tahun 2008, yang memfasilitasi wajib pajak badan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dengan peredaran bruto sampai dengan Rp. 50 miliar mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a), yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp. 4,8 miliar. Bagaimana pengusaha UMKM menyikapi ketentuan terkini tersebut dalam melakukan perencanaan pajaknya agar tidak terbebani dengan beban pajak yang besar? Menjembatani UMKM untuk masuk ke dalam sistem perpajakan dan menjadi bankable artinya dapat lebih mudah memperoleh fasilitas kredit dari bank, tentu dengan memperhatikan bahwa Tax policy tidak mencemari banking policy.
34
BAB II Strategi Penghematan Pajak Melalui Pemilihan Bentuk Usaha
1. Pendahuluan Persoalan ini sering dihadapi oleh penanam modal/investor baru yang ingin punya usaha tapi bingung mau ditempatkan dimana dana investasinya itu, dari sekian banyak pilihan bentuk bisnis mana yang harus dipilih sebagai wadah investasinya, belum lagi memikirkan jenis kegiatan usaha atau portfolio investasinya apakah portfolio investasi sekuritas (seperti saham, obligasi, reksadana), kegiatan perdagangan (commerce), kegiatan industry (industry) atau kegiatan Jasa-Jasa (Service) yang tujuan akhirnya adalah mana alternatif investasi yang bisa memberikan kontribusi profit yang paling besar dan tentunya dengan resiko investasi yang paling rendah. Disini kita hanya mendiskusikan masalah pemilihan bentuk usaha terutama dilihat dari aspek perpajakannya, dan bukan membahas tentang jenis usaha/investasi karena yang terakhir ini masuk dalam ranah commercial business strategy. Banyak pilihan bentuk usaha yang dapat dipertimbangkan oleh investor, namun itu semua akan bermuara pada besarnya pajak yang akan dia tanggung kelak. Nah, disinilah persoalannya, tingkat keuntungan bisa sama diantara bentuk usaha tersebut namun besarnya pajak yang ditanggung bisa berbeda, selain pertimbangan aspek pengembangan usaha (business development) dalam jangka panjang. Apalah artinya keuntungan yang diperoleh dalam jangka pendek tetapi dengan jumlah pajak yang bisa diminimalkan tetapi terbentur dengan batasan ruang gerak pengembangan pasar dan perluasan usahanya kedepan dan jaringan bisnis yang sempit, belum lagi bila kita bicara tentang kepercayaan mitra bisnis (bank dan supplier) terhadap badan usaha yang umumnya lebih senang bekerjasama dengan bisnis yang berbadan hukum. Ketika kita bicara mengenai masalah permodalan, pihak Bank lebih cendrung bekerja sama dengan badan usaha PT ketimbang usaha perseorangan, karena misalnya perhitungan resiko manajemennya lebih tinggi pada usaha perseorangan. Banyak alternatif yang akan pergunakan untuk menghindari pungutan pajak. Cara yang paling gampang adalah dengan tidak melaporkan penghasilan yang kita terima, tapi tindakan ini justru akan membuat kita sport jantung merasa dikejar terus oleh fiskus. Cara yang paling elegan untuk menghindari pungutan pajak ini adalah dengan mencari cara meminimalkan pembayaran pajak tanpa menabrak koridor peraturan perpajakan yang berlaku. 35
Dalam peraturan perpajakan, banyak celah hukum yang dapat kita manfaatkan untuk meminimalkan beban pajak tanpa kita harus berhadapan langsung dengan aparat pajak dalam pemeriksaan/penyidikan pajak, yaitu dengan cara merapikan tax management/tax planning perusahaan. Tujuan perencanaan pajak yang baik adalah memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya kepada investor agar return on investment yang diperoleh semakin tinggi. Strategi perencanaan pajak dapat dimulai dari awal berbisnis dengan melakukan setting up bentuk usaha yang akan dipilih investor dalam menjalankan bisnisnya. Diantara beberapa entitas hukum bisnis yang ada di Indonesia dan diakui oleh UU Perpajakan kita adalah: 1. Perseroan Terbatas (PT), Koperasi dan Yayasan 2. Persekutuan (Firma, CV, Kongsi) 3. Perseorangan Dilihat dari aspek legalitasnya, Perseroan Terbatas (PT), Koperasi dan Yayasan adalah entitas yang berbadan hukum (karena ada pengesahan pemerintah yakni Menteri Kehakiman/ Menteri Hukum dan HAM atas akte pendirian dan anggaran dasarnya), sedangkan Persekutuan (Firma, CV, Kongsi) dan Perseorangan tidak berbadan hukum. Diluar itu terdapat banyak entitas bisnis lainnya yang kita kenal dalam lingkup hukum kita seperti Joint Operation (KSO), Waralaba, BUT, namun disini kita akan membatasi pembahasan dalam ketiga bentuk hukum entitas bisnis tersebut karena mengingat kebanyakan pelaku binis Indonesia menggunakan ketiganya dalam menjalankan binsis mereka. Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan bentuk usaha (Mohammad Zain, 2003 : 97), adalah : 1. Bagaimana hubungan antara tarif pajak penghasilan orang pribadi dan tarif pajak penghasilan wajib pajak badan termasuk ketentuan khusus yang mengatur hal itu. 2. Pengenaan pajak penghasilan secara berganda, baik atas laba bruto usaha maupun penghasilan dari pembagian keuntungan (deviden) kepada para pemegang sahamn ya 3. Kesempatan untuk menunda pengenaan pajak pada tarif pajak penghasilan lebih kecil/besar apabila dibandingkan dengan kesempatan yang terdapat pada tarif pajak penghasilan dan akumulasi penghasilan perusahaan. 4. Adanya ketentuan – ketentuan mengenai kerugian hasil usaha neto (kompensasi kerugian) dan kredit investasi yang berlaku bagi bentuk usaha tertentu. 5. Kemungkinan pengajuan perlakuan khusus terhadap pajak atas akumulasi laba, pajak atas penghasilan personal holding company dan seterusnya. 6. Liberalisasi ketentuan-kententuan yang mengatur fringe benefit dan/atau payment in kind.
36
2. Usaha Perseroan Terbatas Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha d engan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Perseroan Terbuka (Tbk) adalah Perseroan Publik atau Perseroan yang melakukan penawaran umum saham, sesuai dengan ketentuan peraturan peundang-undangan di bidang pasar modal Perseroan Terbatas adalah salah satu bentuk badan hukum entitas bisnis yang banyak digunakan di Indonesia yang didirikan dengan payung hukum UU No. 40 tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Untuk pendirian sebuah sebuah perusahaan dengan bentuk PT, berdasarkan akte notaris yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI dan diperlukan adanya pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM. Pada Pasal 97 UU tersebut secara eksplisit membedakan PT dengan badan hukum lainnya, dimana dalam PT tanggung jawab perusahaan dibebankan kepada Direksi bukan kepada pemegang saham. Direksi adalah Organ Perseroan yang benwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan p engurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan. Perseroan. Jadi selama Pemegang Saham tidak merangkap sebagai pengurus perusahaan, maka dia tidak dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap tindakan operasional perusahaan oleh pihak manapun. Tanggung jawab pemegang saham terbatas pada nilai saham yang diambilnya. Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan, dalam hal badan maka Wajib Pajak diwakili oleh pengurus yang bertanggungjawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut. Mengenai tanggung jawab renteng ini dapat dijelaskan lebih lanjut dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No. 02/PJ.74/1990 dengan merujuk kepada ketentuan dalam Pasal 32 ayat 2 UU No. 6 tahun 1983 yang telah dirubah terakhir kalinya dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan. Dalam ketentuan perpajakan sesuai pasal 17 UU Nomor 7 tahun 1983 yang telah diubah terakhir kali dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, pengenaan pajak PT dikenakan pada level net income sebelum pembagian dividen perusahaan kepada pemegang saham. Ilustrasi perhitungan pajak perseroan-PT dapat kita lihat berikut ini:
Income Tahun 2011 COGS Gross Income Operating Expenses Net Income Income before tax Corporate Tax (PPh badan) 25% Net Income Income after tax
Rp 2.000.000.000,2.000.000 .000,Rp 800.000.000,800.000.000 ,Rp 1.200.000.000,1.200.000.000,Rp 500.000.000,500.000.000 ,Rp 700.000.000,Rp 175.000.000,175.000.000 ,Rp. 525.000.000,-
37
Pada saat penghasilan tersebut ditransfer ke pemegang saham sebagai dividen maka atas pembagian tersebut akan dikenakan pajak lagi sebesar 10% 10 % (PPh Final untuk WPOP), sebagai berikut: Net Income Income before tax Corporate Tax (PPh badan) 25% Net Income Income after tax Pajak Atas Dividen 10% (PPh Final) Return yang diterima pemegang saham % Beban Pajak (total tax/net income)
Rp 700.000.000,Rp 175.000.000,175.000.00 0,Rp. 525.000.000,Rp 52.500.000,52.500.000, Rp 472.500.000,472.500.00 0,(Rp175.000.000,-+Rp52. (Rp175.0 00.000,-+Rp52.500.000,-): 500.000,-): Rp.700.000.000 x100%=32.5%
Dengan demikian, secara totalitas investor WPOP akan terbebani dengan pajak keuntungan yang diperoleh dari badan usaha PT tersebut sebesar 32.5%.
3. Usaha Persekutuan (CV, Firma, Firma, Kongsi) Dalam literatur hukum, kita ketahui ada 3(tiga) macam perkumpulan yang bukan badan hukum atau tidak termasuk kategori sebagai badan hukum, yaitu Persekutuan Perdata, Firma dan CV. Untuk pendirian sebuah perusahaan dengan bentuk firma (Fa), walaupun didirikan dengan sebuah akte notaris, didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI, tetapi tidak diperlukan adanya pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM. Demikian pula halnya dengan pendirian sebuah CV, sama halnya dengan pendirian sebuah Firma karena pada dasarnya CV juga merupakan firma dengan bentuk khusus. Oleh karena belum ada undang-undang yang mengatur masalah Firma, CV dan persekutuan Perdata, maka untuk persekutuan tersebut kita kembali kepada Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur masalah-masalah tersebut. Misalnya mengenai pendirian Persekutuan (firma atau CV) diatur dalam pasal 1618 dan 1320 KUHPerdata dan juga terdapat dalam Pasal 22 KUHD. Perbedaan persekutuan dengan PT adalah terletak pada tanggung jawab peseronya (shareholder). Pasal 18 dan 19 buku 1 KUHD mengatur tanggung jawab renteng pemilik/pesero terhadap semua operasional ataupun tuntutan dari pihak lain apabila terjadi suatu perkara. Apabila CV mempunyai banyak utang sehingga jatuh pailit, dan apabila harta benda CV tidak mencukupi untuk pelunasan hutang-hutangnya, maka harta benda pribadi pesero pengurus dapat dipertanggungjawabkan untuk melunasi hutang perusahaan. Sebaliknya harta benda para Persero commanditaris ( sleeping sleeping partner ) tidak dapat diganggu gugat. Pengaturan pajak CV diatur dalam pasal 6 dan Pasal 4 ayat 3 huruf i Undang-undang PPh. Berbeda dengan PT, pengenaan pajak CV hanya dikenakan sekali pada level net income
38
perseroan. Ketika didistribusikan kepada pemegang pem egang saham tidak dikenakan pajak dividen lagi. Kita lihat ilustrasi dibawah ini sesuai dengan data-data keuan gan PT diatas. Pasal 4 ayat 3 huruf i UU No. 7 Tahun 1983 yang telah dirobah terakhir kalinya dengan UU No. 38 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan menegaskan “Yang dikecualikan dari objek pajak ” yakni bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi ko lektif. Untuk kepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana disebut dalam ketentuan tersebut yang merupakan himpunan para anggotanya dikenai pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh karena itu, bagian laba yang diterima oleh para anggota badan tersebut bukan lagi merupakan objek pajak. Dengan asumsi yang sama seperti contoh pada tabel berikut ini, maka Ilustrasi perhitungan pajak Firma/CV dapat kita lihat sebagai berikut : Income Tahun 2011 COGS Gross Income Operating Expenses Net Income before tax Corporate Tax (PPh badan) 25% Net Income after tax
Rp 2.000.000.000,Rp 800.000.000,Rp 1.200.000.000,Rp 500.000.000,Rp 700.000.000,Rp 175.000.000,Rp. 525.000.000,-
Pada saat penghasilan tersebut ditransfer ke pemegang saham sebagai dividen maka atas pembagian tersebut tidak akan dikenakan pajak lagi sebagai berikut : Net Income before tax Corporate Tax (PPh badan) 25% Net Income after tax Pajak Atas Dividen 0% Return yang diterima Shareholder % Beban Pajak (total tax/Net Income)
Rp 700.000.000,Rp 175.000.000,Rp. 525.000.000,Rp 0,Rp 525.000.000,(175 juta:700juta) x100% = 25%
Dengan demikian, secara totalitas investor akan terbebani dengan pajak keuntungan yang diperoleh dari badan usaha Firma/CV tersebut sebesar 25%. Bila dibandingkan dengan badan usaha PT, Persentase beban pajak investor Firma/CV dengan payung hukum UU PPh No. 36 Tahun 2008 ternyata lebih rendah daripada PT., dimana badan usaha PT tersebut sebagaimana diuraikan di halaman sebelumnya sebesar 32.5%, begitu juga secara nominal keuntungan (return) yang diberikan kepada pemegang saham adalah lebih besar diterima oleh pemegang saham Persekutuan (=Rp. 525 juta) dibandingkan dengan pemegang saham PT. (=Rp. 472.5 juta).
39
4. Usaha Perseorangan Mayoritas penduduk Indonesia menjalankan usaha bisnisnya secara perseorangan, tidak mau terikat dengan badan usaha yang lebih formal mengingat kesederhanaan pendiriannya tidak perlu akte notaris dan flexibilitas kewajiban yang harus dipenuhi, namun tetap harus memiliki NPWP dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Bentuk badan usaha perseorangan dapat berupa wartel, salon, rumah makan, usaha dagang (UD), waralaba, dan masih banyak lagi. Ada beberapa perbedaan dalam menghitung pajak usaha antara pajak perseorangan dengan pajak perseroan, antara lain :
-
Dalam perhitungan pajak perseorangan, ada beberapa faktor pengurang seperti Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dan biaya jabatan, yang dalam perhitungan pajak perseroan faktor pengurang tersebut tidak ada dalam ketentuannya.
-
Terdapat pembedaan tax rate dan rate dan lapisan penghasilan kena pajak (taxable (taxable income bracket ) antara PPh Perseorangan dengan Pajak Penghasilan Badan, dimana PPh Persorangan menggunakan tarif progressif dari lapisan tarif 5% hingga tarif maksimum 30%, sedangkan Pajak Penghasilan Badan ditetapkan tarif tunggal 25% (tarif 25% berlaku sejak awal tahun 2010, sedangkan tahun 2009 tarifnya 28%). Lapisan Penghasilan PPh Psl 21 Perseorangan (UU PPh No. 36 Tahun 2008)
Tarif Pajak
0 sampai dengan Rp 50.000.000
5%
Di atas Rp 50.000.000 s.d. Rp 250.000.000
15%
Di atas Rp 250.000.000 s.d.Rp 500.000.000
25%
Di atas Rp 500.000.000
30%
Secara sederhana berikut ini kita membuat ilustrasi beban pajak yang harus ditanggung investor WPOP dengan mengenakan pajak p ajak dengan tarif progresif seperti tabel diatas. Income Tahun 2011 COGS Gross Income Operating Expenses Net Income Income before tax tax PTKP (Kawin 3 anak atau K/3) *) Taxable Income Tax : PPh Pasal 21
Rp 2.000.000.000,2.000.000 .000,Rp 800.000.000,800.000.00 0,Rp 1.200.000.000,1.200.000 .000,Rp 500.000.000,500.000.00 0,Rp 700.000.000,Rp 21.120.000,21.120.000, Rp 678.888.000,678.888.00 0,Rp 146.866.400,146.866.40 0,-
*) 15.840.000 + (4*1.320.000) = 21.120.000
40
Pada saat penghasilan tersebut ditransfer ke pemegang saham sebagai dividen maka atas pembagian tersebut tidak akan dikenakan pajak lagi, sebagai berikut: Net Income before tax Tax : PPh Pasal 21 Income After Tax Pajak Atas Dividen 0% Return yang diterima Shareholder % Beban Pajak (total tax/Net Income)
Rp 700.000.000,Rp 146.866.400,Rp 553.133.600,Rp 0,Rp 533.133.600,Rp. 146.866.400 : 700 juta x 100% = 20.98%
Perhitungan PPh Pasal 21 : Penghasilan Kena Pajak Biaya jabatan 5%
678.888.000 6.000.000 672.888.000
PPh Psl. 21 : 5% x 15% x 25% x 30% x
50.000.000 200.000.000 250.000.000 172.888.000
2.500.000 30.000.000 62.500.000 51.866.400
Total PPh Psl 21
146.866.400
Secara komparatif, beban pajak yang harus ditanggung oleh investor dari ketiga entitas binis tersebut terlihat perbandingannya sebagai berikut: PT. Net Income Beban Pajak (Rp) Beban Pajak (%)
Rp 2.000.000.000,Rp 253.750.000,32.5%%
Persekutuan (Fa/CV) Rp 2.000.000.000,Rp 175.000.000,25 %
Perseorangan Rp 2.000.000.000,Rp 146.866.400,20.98%
Dari analisa yang dipaparkan diatas, ada beberapa hal penting yang perlu kita catatkan sebagai berikut : 1. Beban pajak yang ditanggung oleh investor melalui persekutuan ternyata lebih kecil daripada bentuk usaha PT. 2. Tetapi menjalankan bisnis perseorangan tersebut bisa memberikan tingkat penghematan/ efisiensi pajak yang jauh lebih besar ketimbang bentuk badan usaha lainnya. Namun demikian kita tidak boleh tergesa-gesa mengambil keputusan atas pertimbangan ini semata, harus juga memperhatikan pertimbangan lainnya. 3. Pemilihan salah satu entitas bisnis diatas dapat dijadikan referensi dalam pengambilan keputusan oleh para investor untuk meminimalkan beban pajak. Namun demikian faktor pajak bukan hanya satu-satunya pertimbangan dalam pen gambilan keputusan bisnis. Masih banyak lagi variabel lainnya yang harus diperhatikan oleh investor. 4. Malah tidak jarang terjadi dalam prakteknya, investor yang konvensional lebih mengandalkan instuisi (naluri) bisnisnya daripada perhitungan diatas kertas, menghindari 41
kompleksitas dalam pengambilan keputusan bermodalkan jam terbang pengalaman bisnisnya (learning curve yang tinggi) yang sangat berharga sehingga dengan keyakinan penuh ketika usaha itu dijalankan dengan membawa kiat dan alur pola pemikiran mereka yang sederhana tersebut tetapi realistis terbukti bisa sukses hasilnya. Bagaimanapun juga, pengelolaan bisnis secara modern harus dilakukan secara profesional tidak bisa sematamata mengandalkan instuisi bisnis, karena yang terakhir ini hanya dilakukan oleh pelaku bisnis tertentu yang benar-benar sudah kawakan dan teruji dalam kancah bisnisnya selama puluhan tahun. 5. Diantara sederetan pertimbangan lainnya dalam dalam pengambilan keputusan bisnis secara modern, antara lain harus ikut diakomodasi masalah permodalan, advis management risk, lingkungan hidup, tanggung jawab pesero bila terjadi klaim pihak ketiga, business/market development, serta hak-hak dan kewajiban lainnya yang timbul dari pemilihan bentuk usaha tersebut.
5. Usaha Koperasi Koperasi adalah badan usaha yang mengorganisasi pemanfaatan dan pendayagunaan sumber saya ekonomi para anggotanya atas dasar prinsip-prinsip koperasi dan kaidah usaha ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup anggota pada khususnya dan masyarakat daerah kerja pada umumnya, dengan demikian koperasi merupakan gerakan ekonomi rakyat dan sokoguru perekonomian nasional (PSAK No. 27). (IAI, SAK Per 1 Juli 2009) Koperasi adalah salah satu bentuk badan hukum entitas bisnis yang cukup banyak digunakan di Indonesia yang didirikan dengan payung hukum UU No. 25 tahun 1992 Tentang Perkoperasian. Untuk pendirian sebuah perusahaan dengan bentuk Koperasi, berdasarkan akte notaris yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI serta diperlukan adanya pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM. Dalam Koperasi tanggung jawab perusahaan dibebankan kepada Pengurus bukan kepada anggota koperasi. Pengurus Koperasi adalah Organ Koperasi yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Koperasi untuk kepentingan Koperasi. Ada beberapa macam jenis koperasi : 1. Koperasi Konsumen (misalnya koperasi warung serba ada atau supermarket) 2. Koperasi Produsen (misalnya koperasi Jasa Konsultasi) 3. Koperasi Simpan Pinjam 4. Koperasi Pemasaran
Perlakuan Perpajakan Perkoperasian Sebagaimana pada bentuk badan usaha lainnya, pada prinsipnya koperasi dapat melakukan kegiatan usaha di hampir semua bidang usaha, sehingga atas penghasilan koperasi yang disebut Sisa Hasil Usaha (SHU) merupakan objek pajak penghasilan yang dikenakan tarif PPh Badan, dengan tarif tunggal 28% (Th. 2008) dan tarif 25% (Th. 2009 dst.nya).
42
Insentif Pajak Bagi Koperasi Pada dasarnya, apapun insentif pajak yang diberikan kepada badan usaha lainnya (PT, Fa, CV) adalah juga berlaku bagi koperasi. Beberapa Fasilitas Insentif pajak penghasilan dan yang dikecualikan dari pajak dalam UU PPh No. 36 Tahun 2008 yang berlaku bagi Koperasi, antara lain : a. Yang dikecualikan dari objek pajak berupa harta hibahan dan bantuan sumbangan kepada koperasi , sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan (Pasal 4 ayat 3 huruf a UU PPh No. 36 Tahun 2008). b. Sisa Hasil Usaha (SHU) Koperasi yang dibayarkan oleh Koperasi kepada anggotanya, tidak dipotong PPh Pasal 23 (Pasal 23 ayat 4 huruf f UU PPh No. 36 Tahun 2008). c. Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat, deviden berasal dari cadangan laba yang ditahan. Pasal 4 ayat 3 huruf f UU PPh No. 36 Tahun 2008: Yang dikecualikan dari objek pajak adalah: Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi , badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: 1. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan 2. Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor; d. Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 2009 PPh tentang bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi, besarnya Pajak Penghasilan (Final) adalah: 1. 0% (nol persen) untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan Rp.240.000,00 per bulan; atau 2. 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan berupa bunga simpanan lebih dari Rp. 240.000,00 per bulan. e. Tarif baru bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Insentif ini khusus untuk UMKM berbadan hukum yang memiliki omzet dibawah Rp. 4,84 juta per tahun atau Rp. 400 juta per bulan. Diberikan Insentif Pemotongan Tarif PPh sebesar 50% dari Tarif Pajak Normal sebesar 25% oleh pemerintah. f. Peraturan Pemerintah RI Nomor 1 Tahun 2007 dan No. 62 Tahun 2008 Tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha tertentu Dan Atau Di Daerah-Daerah Tertentu.
43
Kegiatan Usaha Koperasi Yang Mendapatkan Perlakuan Khusus Ada beberapa beberapa kegiatan usaha koperasi yang mendapatkan perlakuan khusus : 1. Koperasi yang menanamkam modalnya di bidang-bidang usaha tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu (mendapatkan Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Peraturan Pemerintah RI Nomor 1 Tahun 2007 dan No. 62 Tahun 2008). 2. Pembebasan Bea Masuk dan Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai serta Pajak Penjualan atas Impor Kendaraan Bermotor Jenis Sedan untuk dipergunakan dalam usaha Pertaksian oleh Koperasi Pengemudi Taksi mengatur Bea Masuk yang dibebaskan serta PPN dan PPn BM yang Ditanggung Pemerintah berlaku sepanjang kendaraan bermotor jenis sedan yang bersangkutan digunakan dalam usaha pertaksian sekurang-kurangnya lima tahun sejak tanggal dikeluarkannya STNK (Keputusan Presiden RI Nomor 30 Tahun 1986 dan Nomor 28 Tahun 1987 Jo. Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 1995). 3. Pondok Boro yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah bangunan sederhana, berupa bangunan bertingkat atau tidak bertingkat, yang dibangun dan dibiayai oleh perorangan atau koperasi buruh atau koperasi karyawan yang diperuntukkan bagi para buruh tidak tetap atau para pekerja sektor informal berpenghasilan rendah dengan biaya sewa yang disepakati, yang tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diperoleh (Peraturan Menkeu No. 36/PMK.03/2007).
Dalam ketentuan perpajakan sesuai pasal 17 UU Nomor 7 tahun 1983 yang telah diubah terakhir kali dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, pengenaan pajak koperasi dikenakan pada level net income sebelum pembagian SHU perusahaan kepada anggota koperasi. Ilustrasi perhitungan pajak koperasi dapat kita lihat dalam tabel berikut ini: Income Tahun 2011 COGS Gross Income Operating Expenses Net Income before tax Corporate Tax (PPh badan) 25% Net Income after tax
Rp 2.000.000.000,Rp 800.000.000,Rp 1.200.000.000,Rp 500.000.000,Rp 700.000.000,Rp 175.000.000,Rp. 525.000.000,-
6. Usaha Organisasi Nirlaba (Yayasan) Karakteristik organisasi/lembaga nirlaba berbeda dengan organisasi bisnis. Perbedaan utama yang mendasar terletak pada cara organisasi memperoleh sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan berbagai aktivitas operasinya. Organisasi nirlaba memperoleh sumber daya dari sumbangan para anggota dan para penyumbang lain yang tidak mengharapkan imbalan apapun dari organisasi tersebut. ( IAI, SAK Per 1 Juli 2009) 44
Yayasan adalah salah satu bentuk badan hukum entitas bisnis yang cukup banyak digunakan di Indonesia yang didirikan dengan payung hukum UU No. 16 tahun 2001 Tentang Yayasan. Untuk pendirian sebuah perusahaan dengan bentuk Yayasan, berdasarkan akte notaris yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI serta diperlukan adanya pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM. Pada Dalam Yayasan tanggung jawab perusahaan dibebankan kepada Pengurus. Pengurus Yayasan adalah Organ Yayasan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Yayasan untuk kepentingan dan tujuan Yayasan. Bahkan setiap pengurus bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan ketentuan anggaran dasar yang mengakibatkan kerugian yayasan atau pihak ketiga (pasal 35 ayat 3). Ada beberapa macam jenis Yayasan, diantaranya: 1. Yayasan Pendidikan (dari TK hingga Universitas) 2. Yayasan Keagamaan dan Sosial lainnya (Mis : Yayasan mesjid, Yayasan Panti AsuhanYatim Piatu) 3. Yayasan Kesehatan (Mis : Poliklinik, Rumah sakit) 4. Yayasan bidang penelitian dan pengembangan (Misalnya Yayasan Lembaga Konsumen)
Perlakuan Perpajakan Yayasan Sebagaimana pada bentuk badan usaha lainnya, pada prinsipnya Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha di hampir semua bidang usaha, sehingga atas penghasilan Yayasan yang disebut Sisa Hasil Usaha (SHU) merupakan objek pajak penghasilan yang dikenakan tarif PPh Badan, dengan tarif tunggal 28% (Th. 2008) dan tarif 25% (Th. 2009 dst.nya). Pengakuan penghasilan maupun biaya pada yayasan sama dengan badan usaha lainnya. Namun demikian ada beberapa kegiatan usaha Yayasan yang mendapat perlakuan khusus seperti diuraikan berikut ini.
Kegiatan Usaha Yayasan Yang Mendapatkan Perlakuan Khusus Ada beberapa beberapa kegiatan usaha yayasan yang mendapatkan perlakuan khusus : 1. Yang Mendapatkan Fasilitas Pembebasan Bea Masuk Dan Cukai dengan mengajukan permohonan untuk dapat ditetapkan sebagai badan/lembaga yang mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 144/KMK.05/1997 tentang Pembebasan Bea Masuk Dan Cukai Atas Impor Barang Kiriman Hadiah Untuk Keperluan Ibadah Umum, Amal, Sosial dan Kebudayaan (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.04/2006, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.04/2006). Dalam hal ini Yayasan dapat mengajukan sebagai Badan untuk memperoleh fasilitas tsb. setiap saat dibutuhkan. 45
2. Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yakni orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan , koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan (PER- 30/PJ/2009 dan SE-48/PJ./2009). 3. Yayasan Keagamaan dan Sosial lainnya Sesuai Pasal 2 UU Pajak penghasilan, jenis Yayasan ini tetap digolongkan sebagai subjek pajak penghasilan. Untuk objek pajaknya terbagi dua, sesuai orientasi bidang usaha Yayasan. Bila Yayasannya bermotifkan keuntun gan (misalnya Yayasan Universitas), maka atas penerimaannya merupakan objek pajak penghasilan, namun sebaliknya bila penerimaan Yayasan bukan objek pajak penghasilan (misalnya sumbangan untuk panti asuhan yatim piatu), maka atas penerimaan tersebut tidak terutang PPh. Sebagaimana dengan badan usaha lainnya, Yayasan juga harus melaksanakan kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan dalam hal Yayasan tersebut melakukan transaksi pembayaran berbagai jasa seperti sewa, deviden, royalti, gaji karyawan. 4. Peraturan Dirjen Pajak No. PER 44/PJ./2009 tentang pelaksanaan pengakuan Sisa Lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan yang dikecualikan dari objek pajak penghasilan. Yayasan pendidikan diperkenankan untuk mengakui dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan yang berasal dari Sisa Lebih. Sisa lebih adalah selisih dari seluruh penerimaan yang merupakan objek Pajak Penghasilan selain penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri, dikurangi dengan pengeluaran untuk biaya operasional sehari-hari badan atau lembaga nirlaba. Badan atau lembaga nirlaba wajib menyampaikan pemberitahuan mengenai rencana fisik sederhana dan rencana biaya pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan tindasan kepada instansi yang membidanginya. Pemberitahuan disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak diperolehnya sisa lebih tersebut atau paling lama sebelum pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dimulai, dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut. Apabila setelah lewat jangka waktu 4 (empat) tahun badan atau lembaga nirlaba tidak menggunakan atau terdapat sisa lebih yang tidak digunakan untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dimaksud, maka sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenakan Pajak Penghasilan pada tahun pajak berikutnya.
46
BAB III Tax Planning PPh Pasal 21/26
1. Pendahuluan Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21, adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan. Bila penerima penghasilan tersebut adalah WPOP sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN), maka akan dikenai PPh Pasal 21, sedangkan bila Penerima Penghasilan tersebut adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) selain Bentuk Usaha tetap (BUT) akan dikenai PPh Pasal 26. Dengan berlakunya UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh Tahun 2008) yang mulai berlaku tahun 2009, ketentuan pelaksanaan PPh Pasal 21 kemudian diubah dan disesuaikan dengan Undang-Undang yang baru tersebut. Adapun beberapa dasar hukum pengenaan PPh Pasal 21 yang mulai berlaku tahun 2009 ini adalah : 1. UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP); 2. UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh); 3. PMK Nomor: 250/PMK.03/2008 tentang Besarnya Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiun. 4. PMK Nomor: 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi; 5. PMK Nomor: 254/PMK. 03/2008 tentang Penetapan Bagian penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan Dari Pegawai Marian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan; 6. PER-Dirjen Pajak Nomor: 31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/ Atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi, yang kemudian direvisi dengan PER-Dirjen Pajak Nomor: 57/PJ/2009. 47
2. Pemotong PPh Pasal 21 Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26, meliputi: 1. Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai; 2. Bendahara atau pemegang kas pemerintah termasuk bendahara atau pemegang kas pada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan; 3. Dana pensiun badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua; 4. Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar; a.
honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya; b. honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri; c. honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan magang; 5.
Penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan;
3. Subyek Pemotongan PPh Pasal 21/26 Subjek Pajak yang dipotong PPh Pasal 21 atau Pasal 26 atau disebut Subjek Pemotongan adalah orang pribadi yang menerima/memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jabatan, jasa atau kegiatan, yang meliputi : a) Pegawai; b) Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya; c) Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan, antara lain meliputi:
48
1. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris; 2. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pulukis, dan seniman lainnya; 3. Olahragawan; 4. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator; 5. Pengarang, peneliti, dan penerjemah; 6. Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan; 7. Agen iklan; 8. Pengawas atau pengelola proyek; 9. Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara; 10. Petugas penjaga barang dagangan; 11. Petugas dinas luar asuransi; 12. Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya; d. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain meliputi: 1. Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya; 2. Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja; 3. Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu; 4. Peserta pendidikan, pelatihan, dan magang; 5. Peserta kegiatan lainnya.
4. Obyek PPh Pasal 21 Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, adalah: 1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur; penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya; 2. Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis; 3. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan; 4. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenis dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan; 5. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun. 49
6. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh: a. Bukan Wajib Pajak; b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final (deemed tax); atau c. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit ).
5. Non Obyek PPh Pasal 21 Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah : 1. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna, dan asuransi beasiswa; 2. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan (benefit in kind), kecuali natura dan kenikmatan yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, atau diberikan oleh WP yang dikenakan PPh Final atau dikenakan PPh berdasarkan Norma Penghitungan Khusus (deemed profit). 3. luran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan iuran Jaminan Hari Tua kepada badan penyelenggara jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja; 4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau d isahkan oleh Pemerintah. 5. Beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf I UU PPh 2008. Sesuai dengan PMK No.246/PMK.03/2008, penghasilan berupa beasiswa yang diterima atau diperoleh dari WNI dari WP pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan di dalam negeri pada tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dikecualikan dari objek PPh, sepanjang penerima beasiswa tidak mempunyai hubungan istimewa dengan pemilik, komisaris, direktur, atau pengurus dari Wajib Pajak pemberi beasiswa. 6. Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja; “Pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja” adalah pajak yang terutang atas penghasilan karyawan tetap; menjadi beban/dibayarkan oleh pemberi kerja sehingga termasuk kenikmatan. Pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja berbeda dengan pemberian Tunjangan Pajak.
50
6. Kebijakan/Metode Pemotongan PPh Pasal 21 Dilihat dari siapa yang menanggung beban, maka kebijakan/metode pemotongan PPh Pasal 21 dapat dipilih oleh Wajib Pajak, yaitu : 1. PPh Pasal 21 ditanggung oleh karyawan (potong gaji)
Metode ini lazimnya disebut Metode Gross. Dalam hal ini jumlah PPh Pasal 21 yang terutang akan ditanggung oleh karyawan itu sendiri sehingga benar-benar mengurangi penghasilan. Istilah yang sering digunakan adalah bahwa PPh Pasal 21 dipotong oleh perusahaan. 2. PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan (ditanggung)
Metode ini lazimnya disebut Metode Net. Dalam hal ini, jumlah PPh Pasal 21 yang terutang akan ditanggung oleh perusahaan yang bersangkutan. Dengan demikian, gaji yang diterima oleh karyawan tersebut tidak dikurangi dengan PPh Pasal 21 karena perusahaanlah yang menanggung biaya/beban PPh Pasal 21. Penghitungan PPh Pasal 21 tersebut tidak dilakukan dengan cara gross up. PPh Pasal 21 yang ditanggung perusahaan tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan karena tidak dimasukkan sebagai faktor penambahan pendapatan dalam SPT PPh Pasal 21. 3. PPh Pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan (ditunjang)
Metode ini lazimnya disebut Metode Gross Up. Jika PPh Pasal 21 diberikan dalam bentuk Tunjangan, maka jumlah tunjangan tersebut akan menambah penghasilan karyawan dan kemudian baru dikenakan PPh Pasal 21. Dalam hal ini penghitungan PPh dilakukan dengan cara gross up di mana besarnya tunjangan pajak sama dengan jumlah PPh Pasal 21 terutang untuk masing-masing karyawan. Sepintas lalu kebijakan PPh Pasal 21 jenis ini akan terlihat memberatkan perusahaan karena jumlah penghasilan karyawan akan bertambah besar sebagai akibat dari penambahan tunjangan pajak. Namun demikian beban perusahaan tersebut akan tereliminasi karena PPh Pasal 21-nya dapat dibiayakan. Di samping memberikan tunjangan PPh Pasal 21 yang besarnya sama dengan PPh terutang untuk masing-masing karyawan (metode gross up), perusahaan juga bisa memberikan tunjangan PPh Pasal 21 yang besarnya berbeda dengan PPh terutang. Dalam hal besarnya PPh Pasal 21 yang terutang lebih besar daripada tunjangan PPh Pasal 21, maka kekurangannya bisa ditanggung karyawan (dipotong) dari karyawan atau ditanggung perusahaan. Jika kekurangannya ditanggung oleh perusahaan, maka perlakuan perpajakannya menjadi non deductible expenses.
51
7. Tata Cara Penghitungan PPh Pasal 21 1. Dasar Pengenaan Pajak (DPP) : a. Penghasilan Kena Pajak, beriaku bagi : 1. Pegawai Tetap Pengh. Kena Pajak = Pengh. Bruto - Biaya Jabatan - PTKP
2. Penerima Pensiun Berkala Pengh. Kena Pajak = Pengh. Bruto - Biaya Pensiun - PTKP
3. Pegawai Tidak Tetap Pegawai tidak tetap yang dibayarkan bulanan, atau pegawai tidak tetap lainnya yang jumlah kumulatif penghasilan yang diterima sebulan melebihi PTKP sebulan untuk diri wajib pajak sendiri/TKO (dalam hal ini sesuai UU PPh adalah Rp 1.320.000,-). Pengh. Kena Pajak = Pengh. Bruto - PTKP
4. Bukan Pegawai, meliputi : - Distributor MLM atau direct selling. - Petugas dinas luar asuransi yang tidak berstatus pegawai. - Penjaja barang dagangan yang tidak berstatus pegawai. - Penerirna penghasilan bukan pegawai lainnya yang menerima penghasilan dari Pemotong PPh Pasal 21 secara berkesinambungan dalam 1 (satu) tahun kalender. Pengh. Kena Pajak = Pengh. Bruto - PTKP yang dihitung bulanan
Catatan penerapan : Sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) PMK No. 252/PMK.03/2008, Tarif psl 17 diterapkan atas jumlah kumulatif penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh bukan pegawai, yang dihitung setiap bulan.
b. Jumlah penghasilan yang melebihi bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 sesuai Pasal 21 ayat (4) UU PPh, yang berlaku bagi :
pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, mingguan, upah satuan, atau upah borongan sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam satu bulan belum melebihi PTKP sebulan untuk diri WP sendiri /TKO (dalam hal ini sesuai UU PPh adalah Rp 1.320.000,-). Pengh. Kena Pajak = Pengh. Bruto - Batasan Pasal 21 ayat (4)
52
Catatan : 1. Batasan Penghasilan yang dikecualikan dari pemotongan sesuai Pasal 21 (4) adalah Rp 150.000,-sehari. 2. Jika jumlah kumulatif dalam sebulan sudah melebihi Rp 1.320.000,-, maka pengurangannya adalah PTKP sebenarnya.
c. Jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi penerima penghasilan lainnya.
2. Pengurangan Yang Diperbolehkan a. Biaya Jabatan Pengurangan ini diperbolehkan tanpa memandang apakah yang bersangkutan memiliki jabatan atau tidak. Hanya boleh dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap karena dianggap sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dari pekerjaan/jabatannya. Berdasarkan Per-Menkeu No. 252/PMK/2009, besarnya biaya jabatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan bagi pegawai tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) UU PPh Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah) setahun atau Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan. Penerapan biaya jabatan maksimal dalam penghitunyan PPh Pasal 21 berdasarkan atas Jumlah bulan kerja/perolehan yang sebenarnya dari pegawai yang bersangkutan. b. Biaya Pensiun Hanya boleh dikurangkan dan Penghasilan Bruto seorang Pensiunan berupa uang pensiun yang dibayarkan secara berkala (bulanan) karena dianggap sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara uang pensiun. Berdasarkan Per-Menkeu No. 252/PMK/2009, besarnya biaya pensiun yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan bagi pensiunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) UU PPh Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp. 2.400.000,00 (dua juta empat ratus ribu rupiah) setahun atau Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) sebulan .
Biaya pensiun yang boleh diperhitungkan dalam perhitungan PPh Pasal 21 pensiunan adalah berdasarkan bulan perolehan yang sebenarnya. Artinya, batas maksimal biaya pensiun dihitung berdasarkan bulan perolehan pensiun pada tahun pajak yang bersangkutan. c. luran yang terkait dengan gaji Yaitu yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangun hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. 53
Catatan :
Pengurangan penghasilan bruto berupa iuran pensiun dan iuran JHT yang ditanggung atau dibayar sendiri oleh karyawan biasanya hanya diperuntukkan bagi Pegawai Tetap, dengan ketentuan : 1. Iuran pensiun yang terikat gaji dan dibayarkan kepada dana psnsiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, 2. Iuran THT kepada badan penyelenggara Taspen dan Jamsostek. luran pensiun atau THT/JHT, sebagian ditanggung oleh Pemberi Kerja, dan sebagian lagi dibayar sendiri oleh karyawan. Yang diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto karyawan dalam perhitungan PPh Pasal 21 hanya bagian yang dibayar sendiri oleh karyawan. d. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dalam penghitungan PPh Pasal 21 merupakan batasan penghasilan yang tidak dikenakan pajak bagi orang pribadi yang berstatus sebagai pegawai, baik pegawai tetap, termasuk pensiunan; pegawai tidak tetap, pemagang, dan calon pegawai; termasuk juga pegawai harian lepas dan distributor multilevel marketing/direct selling maupun kegiatan yang sejenisnya, dengan ketentuan yang berbeda-beda. Besaran PTK P Untu k Tahu n Pajak 2009
Penerima PTKP Setahun Sebulan Rp 15.840.000,- Rp 1.320.000,untuk pegawai yang bersangkutan Rp 1.320.000,- Rp 110.000,tambahan untuk pegawai yang kawin 110.000,tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah Rp 1.320.000,- Rp dan semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang
Tarif Pajak Tarif Pasal 17 UU No. 36 Tahun 2008 yang berlaku mulai 1 Januari 2009 : Lapisan Penghasilan Kena Pajak sampai denyan Rp 50.000.000, di atas Rp 50.000.000,- s/d Rp 250. 000.000, di atas Rp 250.000.000,- s/d Rp 500.000.000, di atas Rp 500.000.000,-
Tarif Pajak Tarif Non NPWP 5% 120% x 5% = 6% 15% 120% x 15% = 18% 25% 120% x 25% = 30% 30% 120% x 30% = 36%
Catatan : Mulai 1 Januari 2009, sesuai dengan Pasal 21 ayat (5a) UU PPh 2008, Wajib Pajak orang pribadi yang tidak mempunyai NPWP akan dikenakan tarif pajak lebih tinggi sebesar 20% dari tarif normal yang berlaku.
54
Penghitungan PPh Pasal 21 bersifat final Penghitungan PPh Pasal 21 bersifat final dikenakan kepada : a. Penerima uang pesangon, uang tebusan pensiun, THT, atau JHT yang dibayar sekaligus (PP No.149 Tahun 2000) Pesangon/tebusan pensiun, THT sampai Rp 25 juta tidak dikenakan PPh Pasal 21. Pesangon/tebusan pensiun, THT di atas Rp 25 juta s.d. Rp 50 juta dikenakan tarif 5%. Pesangon/tebusan pensiun, THT di atas Rp 50 juta s.d. Rp 100 juta dikenakan tarif 10%. Pesangon/tebusan pensiun, THT di atas Rp 100 juta s.d. Rp 200 juta dikenakan tarif 15%. Pesangon/tebusan pensiun, THT di atas Rp 200 juta dikenakan tarif 25%.
b. Honorarium dan imbalan lain dengan nama apapun yang diterima oleh Pejabat Negara, PNS, anggota TNI/POLRI yang sumber dananya berasal dari Keuangan Negara atau Keuangan Daerah, kecuali yang dibayarkan kepada PNS golongan II d ke bawah dan anggota TNI/POLRI berpangkat Pembantu Letnan Satu ke bawah atau Ajun Inspektur Tingkat Satu ke bawah. Penghitungannya dilakukan dengan menerapkan tarif 15% x penghasilan bruto. Catatan :
Ketentuan lebih lanjut yang mengatur mengenai pengenaan PPh Pasal 21 Final atas uang pesangon dan honorarium untuk PNS masih menunggu PP dan PMK-nya. Penghasilan yang diterima oleh orang pribadi WP Luar Negeri Dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif 20 % x Penghasilan bruto, kecuali bila ada tax treaty dengan negara yang bersangkutan maka tarif berdasarkan tax treaty itulah yang dipedomani.
8. Rekonsiliasi Obyek PPh Pasal 21 Untuk meyakinkan bahwa atas seluruh obyek PPh Pasal 21 telah dipotong pajaknya, maka perlu dilakukan rekonsiliasi antara data laporan keuangan baik yang berasal dari akun neraca maupun akun biaya. Jika penghitungan PPh Pasal 21 dilakukan oleh bagian SDM, maka rekonsiliasi juga harus dilakukan untuk data SDM dengan data SDM (seperti data payroll) dengan data yang ada di bagian akuntansi/keuangan (seperti data ledger/buku besar). Rekonsiliasi ini sangat berguna dalam rangka pelaksanaan pengendalian dan pembuktian bahwa seluruh obyek PPh Pasal 21 telah dipotong PPh-nya. Hal semacam ini akan memudahkan Wajib Pajak ketika diperiksa oleh Petugas Pajak di kemudian hari. Dalam hubungan kerja antara karyawan dengan perusahaan berlaku prinsip umum, yaitu Taxability-Deductibility. Jika bagi karyawan merupakan taxable income (penghasilan yang Objek PPh), maka di perusahaan menjadi deductible expense (biaya) atau sebaliknya jika di karyawan merupakan non taxable income (bukan penghasilan yang bukan Objek PPh), maka 55
di perusahaan menjadi non deductible expense (bukan biaya). Perlakuan ini bergantung pada kebijakan yang ditempuh oleh perusahaan. Dengan prinsip tersebut akan senantiasa terdapat pihak yang dikenakan pajak, apakah di karyawan dalam bentuk PPh Pasal 21 atau di perusahaan dalam bentuk PPh badan. Namun demikian, terdapat beberapa penyimpangan dari prinsip umum tersebut bila diatur secara khusus oleh ketentuan perpajakan. Misalnya terdapat pembayaran kepada karyawan yang bersifat non taxable, tetapi bagi perusahaan tetap merupakan deductible expense atau terdapat pembayaran kepada karyawan yang bersifat taxable, tetapi di perusahaan bersifat non deductible expense.
9. Taxability dan Deductibility Objek PPh Pasal 21 Strategi Memaksimalkan Pengurangan (Maximizing Deductions) Prinsip Taxabili ty Deductibili ty adalah prinsip yang menjelaskan tentang pos apa-apa saja yang dapat/tidak dapat dikenai pajak penghasilan (objek pajak dan bukan objek pajak penghasilan) dan pos apa-apa saja yang dapat/tidak dapat dibiayakan (pengurang penghasilan bruto), yang mekanismenya jika pada pihak pemberi kerja pemberian imbalan/penghasilan dapat dibiayakan (pengurang penghasilan bruto), maka pada pihak karyawan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak. Sebaliknya bila pada pihak karyawan pemberian imbalan/penghasilan tersebut bukan merupakan penghasilan, maka pada pihak pemberi kerja tidak dapat dibiayakan (bukan pengurang penghasilan bruto). Prinsip Taxability Deductibility merupakan prinsip dasar yang lazim dipakai dalam perencanaan pajak, yang pada umumnya mengubah/menkonversikan penghasilan yang merupakan objek pajak menjadi penghasilan yang tidak objek pajak atau sebaliknya mengubah biaya yang tidak boleh dikurangkan menjadi biaya yang boleh dikurangkan, dengan konsekuensi terjadinya perubahan pajak terutang akibat pengubahan/konversi tersebut. Apakah perubahan jumlah pajak terutang akan menjadi lebih besar atau lebih kecil atau sama dengan jumlah pajak terutang akibat koreksi fiskal, apabila dilakukan pengubahan tersebut, tentunya harus dipertimbangkan mana alternatif yang lebih menguntungkan perusahaan,.
Jika kondisi keuangan perusahaan dalam keadaan baik dan kinerja perusahaan menghasilkan laba besar, maka salah satu alternatif yang direkomendasikan adalah dengan mengkaji mana yang lebih menguntungkan antara memberikan kesejahteraan kepada karyawan dalam bentuk tunjangan (uang) atau dalam natura (benefit in kind ). Prinsip Taxability-Deductibility Mengenai Imbalan (Natura/Uang) Jenis Imbalan Perlakuan Biaya Bagi Perlakuan PPh Ps. 21 Perusahaan/Pemberi Kerja Bagi Penerima Imbalan dalam bentuk uang Imbalan dalam bentuk natura
Deductible
Taxable
Non Deductible
Non Taxable
56
Sebagai penjabaran pemberian dalam bentuk natura dan kenikmatan (benefit in kind ) kepada para pegawai diberikan contoh sebagai berikut : Dalam tahun 2010, PT. ABx menyediakan dokter dan pemberian obat-obatan dengan cumacuma untuk pemeliharaan kesehatan para pegawainya sebanyak 1.000 orang, termasuk ongkos melahirkan berjumlah Rp 360 juta setahun atau rata-rata biaya untuk pemeliharaan kesehatan setiap pegawai setiap bulannya berjumlah (1/12 x 360 juta) : 1000 = Rp 30.000 atau sama dengan Rp 1.000 per orang per hari. Upah rata-rata pegawainya diasumsikan masih sebatas UMR.
-
Sebelum tax planning : Berdasarkan pasal 4 ayat 3 huruf d UU Pajak Penghasilan, benefit in kind (seperti biaya berobat ke dokter dan obat) sebesar Rp. 360 juta bukan merupakan objek pajak penghasilan (non taxable), sehingga tidak bisa dipajaki atas penghasilan tersebut. Sebaliknya, dari sudut pandangan perusahaan yang mengeluarkan biaya tersebut, secara komersial merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan perusahaan, tetapi secara fiskal (pasal 9 ayat 1 huruf e. UU PPh) merupakan biaya yang tidak boleh dikurangkan (non deductible), sehingga harus dilakukan koreksi fiskal.
Konsekuensinya : Oleh karena biaya tersebut merupakan biaya fiskal yang tidak boleh dikurangkan, maka akibat koreksi fiskal yang dilakukan oleh Dirjen Pajak, menimbulkan tambahan pajak (PPh Badan) tahun 2010 sebesar : 25% % x Rp 360 juta = Rp 90 juta.
-
Sesudah tax planning : Dengan mengubah pemberian dalam bentuk natura dan kenikmatan (seperti dokter dan obat) menjadi tunjangan kesehatan (uang), maka secara fiskal (pasal 4 ayat 1 huruf a UU PPh) tunjangan kesehatan yang diberikan dalam bentuk uang tersebut merupakan penghasilan yang dipajaki (taxable) dan dilain pihak berdasarkan pasal 6 ayat 1 huruf a biaya tunjangan kesehatan tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan (deductible).
Solusi yang dianjurkan : untuk menghindarkan koreksi fiskal tersebut, PT. ABx memberikan tunjangan kesehatan (tunai) sebagai pengganti daripada penyediaan dokter dan pemberian obat dengan cuma-cuma tersebut, yang akan menambah penghasilan pegawai yang bersangkutan yang akan dipajaki (taxable) sebesar Rp 360 juta sedangkan dilain pihak bagi jumlah tersebut merupakan biaya yang boleh dikurangkan (deductible). Pajak penghasilan yang dapat dihemat akibat dilakukan perubahan tersebut adalah sebesar 25 % x Rp 360 juta = Rp. 90 juta. Sedangkan dampak pajak (PPh Pasal 21) bagi pegawai yang bersangkutan, akibat penyediaan dokter dan pemberian obat-obatan diganti dengan tunjangan kesehatan yang merupakan penghasilan pegawai yang bersangkutan, praktis tidak ada beban tambahan pajak, karena penghasilannya (asumsi masih sebatas UMR) masih dibawah Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Di satu sisi, ditinjau dari segi komersial, biaya fiskal yang besar tersebut tampaknya seperti suatu pemborosan/inefisiensi karena adanya kebijakan pemberian tunjangan kesehatan (tunai), 57
namun harus pula diperhatikan bahwa kebijakan tersebut akan berdampak pada laba sebelum pajaknya akan menjadi lebih kecil dan selanjutnya beban PPh Badan yang terutang pun akan menjadi lebih kecil. Namun yang lebih penting harus diperhatikan bahwa strategi perpajakan bukanlah satu-satunya alat untuk pengambilan keputusan, jangan sampai strategi perpajakan ini menghambat strategi komersial lainnya tetapi harus saling sinergis satu sama lainnya untuk mencapai tujuan perusahaan. Untuk menyakinkan bahwa objek pajak penghasilan pasal 21 telah dipotong pajaknya, berikut daftar transaksi yang berhubungan dengan prinsip Taxability-Deductibility, yakni mana yang menjadi objek pajak maupun bukan objek pajak baik bagi karyawan maupun perusahaan. Tabel III-1 DAFTAR OBYEK DAN TARIF PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 NO.
OBYEK PAJAK
I. 1.
PPh Pasal 21 Penghasilan yang Diterima oleh Pegawai Tetap
2.
Uang Pensiun Bulanan yang Diterima Pensiunan
3.
Pegawai Tidak Tetap yg Penghasilannya Dibayar
TARIF
Pasal 17 UU PPh Pasal 17 UU PPh Pasal 17 UU PPh
SIFAT
PKP = PB – (BJ + IP) – PTKP PKP = (PB – BP) – PTKP PKP = (PB Disetahunkan – PTKP Setahun)
secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yg diterima dlm satu bln kalender telah melebihi Rp.1.320.000. 4.
Upah yang Diterima oleh tenaga kerja lepas berupa Upah h arian/mingguan/satuan/borongan dan uang saku harian : a. Upah/Uang Saku Harian atau Rata2 Upah/Uang Saku Tidak > Rp150.000 dan jumlah kumulatif dlm satu bulan kalender tidak > Rp. 1.320.000 b. Upah/Uang Saku Harian atau Rata2 Upah/Uang Saku tidak > Rp150.000, dan jumlah kumulatif dlm satu bulan kalender tidak > Rp. 1.320.000 c. Upah Kumulatif dlm Bulan Kalender > Rp1.320.000 dan < Rp 6 juta
0%
Tidak Terutang PPh Pasal 21
5%
d. Penghasilan Kumulatif dlm Satu Bulan Kalender > Rp 6 juta
Pasal 17 UU PPh
(Upah/Uang Saku Harian atau Rata2 Upah/ Uang saku harian - Rp. 150.000) (Upah/Uang Saku Harian atau Rata2 Upah/ Uang saku harian - PTKP sebenarnya/360) PKP Disetahunkan = (PB Disetahunkan – PTKP Setahun)
5.
Honorarium yang Diterima Dewan Komisaris/ Pengawas yg tidak merangkap sebagai pegawai tetap
Pasal 17 UU PPh
Penghasilan Bruto Kumulatif Satu Tahun Kalender
6.
Jasa Produksi, Tantiem, Gratifikasi, Bonus yang Diterima mantan pegawai
Pasal 17 UU PPh
Penghasilan Bruto Kumulatif Satu Tahun Kalender
7.
Penarikan Dana pada Dana Pensiun oleh Pensiunan
8.
Honorarium dan Pembayaran Lain yg Diterima oleh Tenaga Ahli (Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan, Notaris Penilai dan Aktuaris) sebagai imbalan sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa dan kegiatan
Pasal 17 UU PPh Pasal 17 UU PPh
Penghasilan Bruto Kumulatif Satu Tahun Kalender Penghasilan Bruto Kumulatif Satu Tahun Kalender
5%
58
9.
Imbalan yg Bersifat Berkesinambungan yg Diterima oleh Orang Pribadi Dalam negeri Bukan Pegawai Selain tenaga Ahli : a. Bagi yg Telah Memiliki NPWP dan Hanya Menerima Penghasilan dari Pemotong Pajak ybs.
Pasal 17 UU PPh
PKP = PB – PTKP Per Bulan
b. Bagi yg Tidak Memiliki NPWP atau Menerima Penghasilan dari selain Pemotong pajak ybs.
Pasal 17 UU PPh
Penghasilan Bruto Kumulatif Satu Tahun Kalender
10.
Imbalan yg Tidak Bersifat Berkesinambungan yg Diterima oleh Orang Pribadi Dalam Negeri Bukan Pegawai Selain tenaga Ahli
Pasal 17 UU PPh
Penghasilan Bruto
11.
Penghasilan yang Diterima Peserta Kegiatan :
Pasal 17 UU PPh
Penghasilan Bruto untuk Setiap Pembayaran Utuh
12.
Uang Tebusan Pensiun, uang THT/JHT, Pesangon, Uang THT/JHT, Pesangon yg diterima pegawai/ mantan : a. b. c. d.
Rp. 0 juta s.d Rp. 50 juta > Rp. 50 juta s.d Rp. 100 juta > Rp. 100 juta s.d Rp. 500 juta > Rp. 500 juta
0% 5% 15% 25%
Penghasilan Bruto Penghasilan Bruto Penghasilan Bruto Penghasilan Bruto
Final Final Final Final
Penghasilan Bruto
Final
13.
Honorarium yang Dananya dari Keuangan Negara/Daerah yang diterima oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI/Polri, kecuali PNS Gol II/d ke bawah atau anggota Polri dengan pangkat Pembantu Letnan Satu atau Ajun Inspektur Tingkat Satu ke bawah
15%
14.
Penghasilan dari Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan yang Diterima oleh Tenaga Asing (expatriate) yanga telah berstatus sebagai WPDN
Pasal 17 UU PPh
PKP = (PB – (BJ + IP) – PTKP
Sumber : Softindo Exact Library Enterprise April 2012
Tabel III-2 DAFTAR BIAYA FISKAL DEDUCTIBLE EXPENSE
NO
1.
NON DEDUCTIBLE
KETERANGAN (Objek Pemotongan Pajak Penghasilan)
DASAR HUKUM
Biaya yang Dikeluarkan untuk Mendapatkan, Menagih dan Memelihara Penghasilan - Prinsip Realisasi
Pasal 28 UU KUP
D
- Konservatis/Penyisihan
ND
2.
Biaya yang Dikeluarkan untuk Mendapatkan, Menagih dan Memelihara Penghasilan yang Bukan Obyek Pajak atau Pengenaan PPh-nya Final
ND
3.
Gaji/Upah
D
Objek PPh Ps 21
Pasal 6 Huruf a UU PPh
4.
Tunjangan PPh Pasal 21
D
Objek PPh Ps 21
5.
PPh Dibayar Perusahaan
Per-31/PJ./2009 Jo. Per 57/PJ./2009 Pasal 9 Huruf h UU PPh Per-31/PJ./2009 Jo. Per 57/PJ./2009
ND
Pasal 28 UU KUP
59
6.
Premi Asuransi Jiwa Pegawai Dibayar Perusahaan Sepanjang Menambah Penghasilan Pegawai
7.
Premi Asuransi Jiwa Pemilik/Pemegang Saham dan Keluarganya
8.
Iuran Jamsostek
ND
Pasal 9 Huruf d UU PPh
Pasal 9 Huruf j UU PPh PP No.14 tahun 1993
a. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)
D
Objek PPh Ps 21
Pasal 9 Huruf d UU PPh
b. Jaminan Kematian (JKM)
D
Objek PPh Ps 21
PP No.14 tahun 1993
c. Jaminan Pelayanan Kesehatan
D
Objek PPh Ps 21
PP No.14 tahun 1993
d. Iuran Jaminan Hari Tua (JHT) (Jamsostek) : - Dibayar Perusahaan
9.
Objek PPh Ps 21
D
PP No.14 tahun 1993
D
Pasal 6 Huruf a UU PPh
- Dibayar Pegawai (Bagi Pegawai untuk Menghitung PPh Pasal 21
D
Per-31/PJ./2009 Jo. Per 57/PJ./2009
Iuran Pensiun ke Dana Pensiun yang Disahkan Menteri Keuangan
D
Per-31/PJ./2009 Jo. Per 57/PJ./2009
- Dibayar Perusahaan
D
- Dibayar Pegawai (Bagi Pegawai untuk menghitung PPh Pasal 21
D
Per-31/PJ./2009 Jo. Per 57/PJ./2009 Per-31/PJ./2009 Jo. Per 57/PJ./2009
10.
Iuran Pensiun ke Dana Pensiun yang Belum Disahkan Menteri Keuangan
ND
Pasal 6 Huruf c UU PPh
11.
Tunjangan Hari Raya
D
Objek PPh Ps 21
Pasal 6 Huruf a UU PPh
12.
Uang Lembur
D
Objek PPh Ps 21
Pasal 6 Huruf a UU PPh
13.
Pengobatan
Pasal 6 Huruf a UU PPh
a. Cuma-Cuma (Langsung ke Rumah Sakit) b. Penggantian Pengobatan
D
Objek PPh Ps 21
c. Tunjangan Pengobatan
D
Objek PPh Ps 21
14.
Pemberian Imbalan dalam Bentuk Natura dan Kenikmatan (Misal Makan/Minum, Beras dsb)
15.
Pemberian Makan kepada Crew Kapal dan Pesawat dalam Perjalanan
16.
Pemberian dalam Bentuk Natura dan Kenikmatan
ND
ND
D
a. Pengeluaran untuk Penyediaan Makanan/Minuman bagi Seluruh Pegawai, termasuk Dewan Direksi dan Dewan Komisaris di Tempat Kerja b. Penggantian dalam Bentuk Natura dan Kenikmatan di Daerah Tertentu
D
- Tempat Tinggal/Perumahan Pegawai Sepanjang Fasilitas Tersebut Tidak Tersedia
D
- Pelayanan Kesehatan Sepanjang Fasilitas Tersebut Tidak Tersedia
D
- Pendidikan Pegawai dan Keluarganya Sepanjang Fasilitas Tersebut Tidak Tersedia
D
Pasal 6 Huruf e UU PPh Per-31/PJ./2009 Jo. Per 57/PJ./2009 Per-31/PJ./2009 Jo. Per 57/PJ./2009 Pasal 9 Huruf e UU PPh
PMK No. 83/PMK.03/2009 PER 51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1 huruf e UU No. 36 tahun 2008 PMK No. 83/PMK.03/2009 PER 51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1 huruf e UU No. 36 tahun 2008 PMK No. 83/PMK.03/2009 PER 51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1 huruf e UU No. 36 tahun 2008 PMK No. 83/PMK.03/2009 PER 51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1 huruf e UU No. 36 tahun 2008 PMK No. 83/PMK.03/2009 PER 51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1 huruf e UU No. 36 tahun 2008 PMK No. 83/PMK.03/2009 PER 51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1 huruf e UU No. 36 tahun 2008 PMK No. 83/PMK.03/2009 PER 51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1 huruf e UU No. 36 tahun 2008
60
- Pengangkutan bagi Pegawai dan Keluarganya Sepanjang Fasilitas Tersebut Tidak Tersedia
D
PMK No. 83/PMK.03/2009 PER 51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1 huruf e UU No. 36 tahun 2008
- Olahraga bagi Pegawai dan Keluarganya Sepanjang Fasilitas Tersebut Tidak Tersedia. Sarana Olahraga Tidak Termasuk Golf, Boating, Pacuan Kuda
D
PMK No. 83/PMK.03/2009 PER 51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1 huruf e UU No. 36 tahun 2008
c. Dalam Rangka dan Berkaitan dengan Pelaksanaan Kerja - Beban Antar Jemput Karyawan
D
- Penyediaan Makan/Minum untuk Awak Kapal dan Pesawat
D
d. Untuk Keamanan/Keselamatan Kerja yang Diwajibkan, Misalnya Pakaian dan Peralatan bagi Pegawai Pemadam Kebakaran, Proyek, Pakaian Seragam Pabrik, Hansip/Satpam
D
PMK No. 83/PMK.03/2009 PER 51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1 huruf e UU No. 36 tahun 2008 PMK No. 83/PMK.03/2009 PER 51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1 huruf e UU No. 36 tahun 2008 PMK No. 83/PMK.03/2009 PER 51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1 huruf e UU No. 36 tahun 2008 PMK No. 83/PMK.03/2009 PER 51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1 huruf e UU No. 36 tahun 2008
e. Berkenaan dengan Situasi Lingkungan, Misal :
17.
18.
- Pakaian Seragam Pegawai Hotel/Penyiar TV
D
- Makan Tambahan bagi Operator Komputer/Pengetik
D
- Makan/Minum Cuma-Cuma bagi Pegawai Restoran
D
Pembebanan yang Masa Manfaatnya Lebih dari Satu Tahun, dengan Cara Penyusutan Sesuai Pasal 11 UU No.17 Tahun 2000 Cuti Pegawai
D
a. Diberikan Uang Cuti
D
Objek PPh Ps 21
b. Tunjangan Cuti
D
Objek PPh Ps 21
c. Dibayar Perusahaan 19.
21.
ND
Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) Huruf a UU PPh Per-31/PJ./2009 Jo. Per 57/PJ./2009 Pasal 9 Huruf e UU PPh
Perjalanan Dinas Pegawai a. Didukung Bukti-Bukti yang Sah/Dipertanggung jawabkan
20.
PMK No. 83/PMK.03/2009 PER 51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1 huruf e UU No. 36 tahun 2008 PMK No. 83/PMK.03/2009 PER 51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1 huruf e UU No. 36 tahun 2008 PMK No. 83/PMK.03/2009 PER 51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1 huruf e UU No. 36 tahun 2008 PMK No. 83/PMK.03/2009 PER 51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1 huruf e UU No. 36 tahun 2008 Pasal 6 Ayat (1) UU PPh
Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) Huruf a UU PPh
D
b. Lumpsum (Tidak Didukung BuktiBukti) c. Lumpsum Dianggap Honor Pegawai
ND
Pasal 9 Huruf e UU PPh
D
Objek PPh Ps 21
Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) Huruf a UU PPh
d. Honor/Uang Saku
D
Objek PPh Ps 21
Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) Huruf a UU PPh
e. Fiskal Luar Negeri Di bayar Perusahaan, Merupakan PPh Pasal 25 Dibayar dengan SSP, Ditulis Nama Pegawai q.q. Nama Perusahaan dengan NPWP Perusahaan atau dengan Tanda Bukti FLN
ND
PP No.2 tahun 2000
f. Biaya Piknik/Rekreasi
ND
Pasal 9 Huruf e UU PPh
Bonus atas Prestasi Kerja yang Dibebankan pada Tahun Berjalan Biaya Seminar, Penataran, Kursus (Pendidikan) di Dalam Negeri.
D D
Objek PPh Ps 21
Per-31/PJ./2009 Jo. Per 57/PJ./2009 Pasal 6 Ayat (1) UU PPh
61
22.
Honor/Uang Saku Pegawai yang Mengikuti Seminar dsb
23.
Bea Siswa a. Ada Ikatan Kerja dengan Perusahaan
D
Objek PPh Ps 21
Pasal 6 Ayat (1) UU PPh
D
Objek PPh Ps 21
Per-31/PJ./2009 Jo. Per 57/PJ./2009 Per-31/PJ./2009 Jo. Per 57/PJ./2009
Objek PPh Ps 21
Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) Huruf a UU PPh
b. Tidak Ada Ikatan Kerja dengan Perusahaan (Sumbangan) 24.
Sumbangan ke Karyawan dalam Bentuk Uang
25.
Kendaraan Perusahaan yang Dibawa Pulang dan Dikuasai Pegawai :
26.
ND
D
Pasal 6 Ayat (1) Huruf b UU PPh
a. Penyusutan
ND
b. Biaya Reparasi/Pemeliharaan
ND
c. Bahan Bakar/Oli dsb
ND
Perumahan Perusahaan dan Asrama
Penjelasan Pasal 9 Ayat (1) Huruf b UU PPh jo Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) Huruf a UU PPh
a. Pegawai yang Menempati Tidak Diberi Tunjangan Perumahan - Penyusutan Rumah
ND
- Biaya Eksploitasi Rumah
ND
Pegawai yang Menempati Diberi Tunjangan Perumahan Minimal Sebesar Biaya Penyusutan dan Biaya Eksploitasi
27.
28.
- Tunjangan Perumahan
D
Objek PPh Ps 21
- Biaya Penyusutan Rumah
D
Objek PPh Ps 21
- Biaya Eksploitasi Rumah
D
Objek PPh Ps 21
Mess untuk Transit, Pendidikan (Sementara) a. Biaya Penyusutan
83/PMK.03/2009
D
b. Biaya Eksploitasi
D
29.
Sewa Rumah Pegawai yang Tidak Diberi Tunjangan Sewa Minimal Sebesar Sewa Rumah Tersebut PPh Sewa Rumah Dibayar Perusahaan
30.
Diberikan Uang Sewa Rumah
D
PPh Pasal 21
31.
Uang Pesangon
D
PPh Pasal 21
32.
Upah Borongan Pekerjaan ke Orang Pribadi
D
PPh Pasal 21
Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) Huruf a UU PPh
33.
Imbalan ke Pegawai yang Merupakan Pemegang Saham (25% Ke Atas)
D
a. Gaji yang wajar
D
PPh Pasal 21
Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) Huruf a UU PPh
Beban Litbang yang Dilakukan di Indonesia dalam Jumlah yang Wajar untuk Menemukan Teknologi/Sistem Baru bagi Pengembangan Perusahaan : a. Gaji/Honor Pegawai
D
PPh Pasal 21
43.
ND
PPh Pasal 4 (2)
ND
Pasal 9 Huruf e UU PPh
Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) Huruf a UU PPh Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) Huruf a UU PPh PER-31/PJ./2009
Sumber : Softindo Exact Library Enterprise April 2012
D = Deductible
ND = Non Deductible 62
Berasarkan Tabel diatas, maka Prinsip Taxability-Deductibility tersebut dapat dituangkan dalam daftar untuk beberapa transaksi yang menjadi Objek PPh Pasal 21 dan perlakuan pajaknya seperti terlihat dalam Tabel berikut ini :
Tabel III-3 Prinsip Taxability-Deductibility No
Objek PPh Pasal 21
1
Gaji, Lembur, Bonus, Intensif
2
Honorarium,Upah,Uang saku dan sejenisnya Tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang
Deductible
Taxable
Deductible
Taxable
Honorarium yang Diterima Dewan Komisaris/ Pengawas yg tidak merangkap sebagai pegawai tetap Pesangon
Deductible
Taxable
Deductible
Taxable
Dipotong PPh Final
Premi Jamsostek JKK/JKM, Asuransi Kesehatan, kecelakaan, kematian, beasiswa dan asuransi dwiguna yang ditanggung pemberi kerja Pemberian Natura/Kenikmatan
Deductible
Taxable
Bila tdk dimasukan sbg penghasilan karyawan maka merupakan ND
Non Deductible
Non Taxable
Kecuali yang diatur khusus, mis : kenikmatan didaerah terpencil adalah BD
Non Deductible
Non Taxable
Deductible
Taxable
Deductible
Non Taxable
Deductible
Non Taxable
Non Deductible
Non Taxable
Deductible
Taxable
3 4 5 6
7
8 9 10
11
PPh Pasal 21 ditanggung Perusahaan PPh Pasal 21 di Gross-Up oleh Perusahaan Iuran dana pensiun yang di tanggung Perusahaan
Pemberi Kerja (PPh Badan) Deductible
Pegawai (Taxable/ Non Taxable) *) Taxable
13
JHT yang ditanggung perusahaan (3,7%) Pengobatan Cuma-Cuma (Langsung ke Rumah sakit) Penggantian Pengobatan
14
Tunjangan Pengobatan
Deductible
Taxable
15
Pemberian Natura/ kenikmatan didaerah terpencil Pemberian Makanan dan Minuman kepada seluruh karyawan ditempat kerja. Biaya Antar jemput karyawan
Deductible
Non Taxable
Deductible
Non Taxable
Deductible
Non Taxable
12
16
17
Keterangan
Dana Pensiun telah disahkan oleh Menteri Keuangan Taxable pada saat JHT diterima pegawai ybs.
Bila dimasukan sebagai penghasilan karyawan Bila dimasukan sebagai penghasilan karyawan KEP.51/PJ/2009, Fasilitas Pajak KEP.51/PJ/2009, Fasilitas Pajak KEP.51/PJ/2009, Fasilitas Pajak
63
18
Biaya Perjalanan dinas
Deductible
Taxable
19
Imbalan jasa profesional dan jasa lainnya
Deductible
Taxable
20
Tantiem
Non Deductible
Taxable
Hanya atas uang saku, bila diberikan dalam lump sum, maka seluruhnya menjadi objek PPh Pasal 21 Jika pemberi jasa adalah WP badan maka objek PPh psl 23 SE-06/PJ.44/1999
Taxable
SE-06/PJ.44/1999
Non Deductible Bonus, Gratifikasi, Jasa Produksi yang dibebankan ke laba ditahan Non Deductible 22 Pemberian natura dan kenikmatan yang diberikan oleh WP yang dikenai PPh Final atau WP yang menghitung pajaknya berdasarkan Norma Penghitungan khusus (Deemed profit dan/atau deemed tax) 23 Kendaraan dinas yang Deductible digunakan untuk pegawai (50%) tertentu karena pekerjan atau jabatannya 24 Akun piutang atau biaya yang Deductible dibayar dimuka yang berkaitan (bertahap) dengan Objek PPh Pasal 21 Sumber : Softindo Exact Library Enterprise, April 2012
21
Taxable
Non Taxable
KEP-220/PJ/2002
Taxable
*) Taxable = Objek Pemotongan PPh Ps.21; Non Taxable = Bukan Objek Pemotongan PPh Ps.21
10. Terapan Tax Planning Terkait Dengan PPh Pasal 21 1. Klausul Pajak di Dalam Perjanjian/Kontrak Kerja
Dalam beberapa kasus praktis tidak jarang terjadi timbul konflik dalam bisnis, dimana kewajiban pemotongan PPh Pasal 21/Pasal 26 yang mestinya dipotong dari penghasilan orang pribadi penerima penghasilan, sewaktu dilaksanakan pemotongannya pihak yang dipotong pajak tidak bisa menerimanya sehingga berujung pada terjadinya dispute. Secara normatif Undang-Undang perpajakan telah mewajibkan perusahaan pemilik proyek/ pemberi kerja melaksanakan pemungutan/pemotongan PPh Pasal 21 dari pihak ketiga, sedangkan pihak pemberi jasa (kontraktor) tidak bersedia dipotong pajaknya dengan alasan pada saat Perjanjian/Kontrak Kerja disepakati , masalah pajak tidak dibahas sehingga mereka bersikukuh bahwa harga kontrak yang disepakati sudah tidak dipotong pajak lagi (Net)! Secara hukum, alasan pihak kontraktor tersebut diatas memiliki justifikasi hukum yang kuat, sehingga bila pada akhirnya pemilik proyek/pemberi kerja terpaksa mengalah dan harus menanggung pajaknya, tentu merupakan tambahan beban yang seharusnya tidak perlu terjadi. Tambahan
64
beban bagi pemilik proyek/pemberi kerja tesebut adalah merupakan suatu jumlah yang signifikan yang nantinya akan mengerus profit perusahaan. Terkait dengan masalah perpajakan tersebut sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi: Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris, yang dikenakan tarif 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, sehingga PPh Pasal 21 yang dipotong sebesar 50% x Nilai Proyek x Tarif PPh Ps. 17 ayat 1 huruf a. Sehubungan dengan pemberian jasa selain pegawai, selain tenaga ahli, yang dalam pemberian jasanya mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya dan/atau melakukan penyerahan material/bahan, dengan pengenaan tarif sebesar Tarif PPh Ps. 17 ayat 1 huruf a dari Nilai Proyek.
Fenomena tersebut sering terjadi dalam pembuatan Perjanjian/Kontrak Kerja yang tidak mengindahkan aspek perpajakannya. Oleh sebab itu, sebelum Perjanjian/Kontrak Kerja ditandatangani harus dipastikan : Pemuatan klausul pajak dalam Perjanjian/Kontrak Kerja, yang mensyaratkan pajak terutang harus dihitung berdasarkan nilai kontrak (diluar harga pokok barang), yakni dikenakan dari nilai bruto kontrak, dan untuk PPh Pasal 21/Pasal 26, Pemberi Kerja wajib memotong dari pembayarannya. Klausul pajak secara eksplisit menyatakan siapa yang harus menanggung PPh Pasal 21/Pasal 26, sehingga pajak yang terutang dan pemotongannya didasarkan pada klausul tersebut.
Apabila perusahaan pemilik proyek tidak memotong PPh Pasal 21, dan transaksi ini ditemukan oleh fiskus pada saat dilakukan pemeriksaan pajak, maka perusahaan pemilik proyek akan dikenakan kewajiban untuk membayar PPh Pasal 21 yang terutang ditambah denda keterlambatan penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak. Dari kasus ini jelas bahwa Tax Planning memerlukan dukungan dari beberapa divisi dalam perusahaan pemilik proyek/pemberi kerja, antara lain divisi pengadaan/ logistik, divisi SDM, dan divisi hukum. Untuk menghindari timbulnya kerugian di kemudian hari di luar anggaran yang direncanakan, maka semua divisi yang terkait sudah harus mempertimbangkan aspek perpajakan atas klausul Perjanjian/Kontrak Kerja yang hendak dibuat seperti beban pajak yang terutang dan siapa yang akan menanggung pajaknya. 2. Pajak Ditanggung Pemberi Kerja atau Tunjangan Pajak Secara Gross-up?
Seringkali di dalam kontrak kerja ditemukan klausul yang menyatakan, bahwa nilai kontrak sudah “net” , tidak termasuk pajak, atau “ pajak ditan ggung perusahaan/pemberi kerja.” Istilah tersebut sebaiknya digunakan secara hati-hati, karena akan berdampak pada pemotongan pajak dan pembebanan biaya di PPh Badan.
65
Tidak termasuk pajak, artinya pajak akan menjadi beban pemberi kerja, atau ditanggung oleh perusahaan/pemberi kerja. Hal ini akan mengakibatkan PPh yang ditanggung oleh perusahaan/pemberi kerja tidak dapat dibiayakan di SPT PPh Badan (nondeductible expenses).
Apabila ingin agar PPh yang ditanggung oleh pemberi kerja dapat dibiayakan, maka penghitungan PPh harus menggunakan metode gross-up dari PPh hasil penghitungan gross-up tersebut dimasukkan ke dalam nilai kontrak (termasuk invoice dan Faktur Pajak) atau menambah penghasilan dari pihak yang memperoleh penghasilan. Dengan kata lain diberikan “tunjangan pajak sebesar PPh yang terutang.” Kita lihat ilustrasi honorarium pemberian jasa oleh orang pribadi berikut ini : Net (Tidak Gross-up) Gross-up Nilai Pekerjaan 10.000.000,- Nilai Pekerjaan 10.000.000,PPh 5% 500.000,- PPh 5% 526.316, Nilai Kontrak (net) 10.000.000,- Nilai Kontrak 10.526.316,-
Catatan : 1) Tarif honorarium untuk pemberian jasa oleh orang pribadi adalah Tarif Pasal 17 dari nilai bruto dan PPh yang ditanggung pemberi kerja sebesar Rp 500.000,- tanpa gross-up dan tidak mengubah nilai kontrak, maka sejumlah PPh tersebut tidak dapat dibiayakan. 2) PPh dihitung dengan metode gross-up dan menambah nilai kontrak. 5% x Rp 10.000.000,x 100/(100 - 5) = Rp 526.316,PPh sejumlah tersebut menjadi unsur biaya yang bersifat deductible expenses, karena bagi si penerima menjadi unsur penghasilan. Mana yang lebih menguntungkan bagi perusahaan? Harus dipertimbangkan lebih jauh lagi. Secara sederhana dapat diilustrasikan :
Jika secara fiskal perusahaan masih merugi, gross-up justru akan menambah beban PPh Pasal 21 tanpa mempengaruhi PPh Badan terutang, pengaruhnya pada kompensasi kerugian. Dari cash-flow timbul pengeluaran yang justru lebih besar, dan jika mempertimbangkan time value of money mungkin saja manajemen memilih tidak perlu melakukan gross-up. Sebaliknya jika perusahaan mendapat laba fiskal dan sudah dikenai PPh tarif tertinggi, metode gross-up dapat menghasilkan penghematan dari selisih tarif antara PPh Badan dengan tarif PPh Pasal 21 yang dikenakan. Kasus ini juga dapat digunakan untuk mempertimbangkan, apakah perusahaan akan menanggung PPh atas penghasilan karyawan atau akan diberikan tunjangan PPh dengan metode gross-up. 66
3. Pemberian Uang Saku Secara Lump-Sum Atau Reimbursement
Masalah prosedur pembayaran uang saku dalam perjalanan dinas, pendidikan, ataupun jenis pengeluaran perusahaan lainnya juga seringkali menimbulkan aspek pajak berbeda.
Pembayaran secara lump-sum akan mengakibatkan PPh Pasal 21 dihitung dari seluruh nilai yang dibayarkan, meskipun di dalamnya mungkin terdapat biaya lainnya, misal: transportasi, akomodasi dan sebagainya. Pengertian lump-sum di sini, perusahaan memberikan sekaligus dalam jumlah tertentu, yang meliputi uang saku, transport, akomodasi, atau unsur biaya lainnya, tanpa disertai dengan pertanggungjawahan dan bukti atas penggunaannya.
Sedangkan dalam prosedur reimbursement, pembayaran disertai dengan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan penggunaan dana dengan meminta bukti pengeluaran. Apabila terjadi kelebihan, harus dikembalikan ke perusahaan, apabila terjadi kekurangan dapat dimintakan kembali (reimbursement). PPh Pasal 21 hanya akan dihitung dari uang saku atau tunjangan berupa uang lainnya yang benar-benar diterima/diperoleh karyawan.
4. Pemberian Tunjangan Makan atau Disiapkan Makan Bersama?
Sejak berlakunya UU PPh Tahun 2000, makanan dan minuman bagi karyawan sudah boleh dibiayakan di PPh Badan (deductible expenses). Mungkin perlu dikaji, apakah perusahaan masih hendak memberikan tunjangan makan atau hendak disiapkan makan bersama sebagai pengganti tunjangan makan? Dari sisi PPh Badan, dengan asumsi jumlah beban yang sama, keduanya tidak menimbulkan pengaruh apapun karena sama-sama bisa dibiayakan (lihat Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh 2008), tetapi pemberian tunjangan makan akan mengakibatkan bertambahnya PPh Pasal 21. Apabila hanya dipandang dari sisi fiskal, tentu lebih menguntungkan jika disiapkan makan bersama untuk seluruh karyawan. Tetapi apabila dalam praktiknya menggunakan jasa catering, harus diingat timbulnya kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 dengan tarif 2% dari penghasilan bruto! Tentunya harus dikaji keseluruhan aspek terhadap perusahaan. Misalnya dari sudut psikologi karyawan, apakah menimbulkan gejolak atau tidak? Menguntungkan atau merugikan, tentu harus dilihat dari keseimbangan keseluruhan sistem yang ada. 5. Pemberian Tunjangan Kesehatan atau Diberikan Fasilitas Pengobatan?
Untuk biaya kesehatan perusahaan memiliki pilihan dengan memberikan tunjangan kesehatan/mediral atau menyediakan fasilitas pengobatan bagi karyawan atau menggunakan metode reimbursement biaya pengobatan.
67
Bila perusahaan memilih memberikan tunjangan kesehatan, maka perlakuan pajaknya bersifat taxable-deductible. Artinya, tunjangan kesehatan merupakan obyek PPh Pasal 21 bagi karyawan (penghasilan) dan merupakan biaya bagi perusahaan. Bila perusahaan menyediakan fasilitas pengobatan bagi karyawan, maka perlakuan pajaknya bersifat non t axable – n on deductible. Artinya hal itu bukan penghasilan bagi karyawan dan bukan biaya bagi perusahaan. Bila perusahaan menggunakan metode reimbursement dalam memberikan biaya pengobatan maka perlakuan pajaknya;
bersifat non taxabl e – n on deducti ble, bila persyaratan reimbursement dapat dipenuhi yaitu tidak boleh ada mark up, bukti asli diserahkan ke perusahaan, bukti dibuat atas nama perusahaan atau atas nama karyawan qq perusahaan, dan diatur dalam kontrak kerja antara perusahaan dengan karyawan.
bersifat taxable – deductible, bila persyaratan reimbursement di atas tidak dapat dipenuhi. Dalam hal ini esensinya adalah bahwa karyawan menerima uang dari perusahaan yang kemudian digunakan untuk membayar biaya pengobatan oleh karyawan.
Beberapa transaksi lainnya dalam hubungannya dengan kompensasi bagi karyawan akan dibahas juga di dalam perencanaan pajak yang berkaitan dengan PPh Badan. 6. Meminimalkan Tarif Pajak (PPh Pasal 21) Penerapan Tax Planning Dalam PPh Pasal 21, antara lain :
1. Pada perusahaan yang PPh badannya tidak dikenakan pajak bersifat final , diupayakan seminimal mungkin memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan (benefit in kinds) karena pengeluaran benefit in kind tersebut untuk tujuan fiskal tidak dapat dibebankan sebagai biaya bagi perusahaan. Sebagai gantinya untuk kesejahteraan pegawai diberikan dalam bentuk tunjangan, sehingga bisa dibiayakan (mengurangi profit). 2. Untuk perusahaan yang PPh badannya dikenakan pajak bersifat final , memberikan tunjangan kepada karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan merupakan salah satu pilihan untuk menghindari lapisan tarif maksimum PPh Ps. 21. Pilihan pemberian dalam bentuk kenikmatan/natura atau dalam bentuk tunjangan tidak mempengaruhi PPh Badan karena pendapatan perusahaan sudah dikenakan PPh Final. Tetapi untuk tujuan komersial, baik pemberian dalam natura/kenikmatan atau dalam bentu tunjangan tetap bisa menjadi pengurang penghasilan bruto untuk menghitung penghasilan netto. 3. Untuk perusahaan yang PPh badannya dikenakan pajak bersifat final, contohnya perusahaan jasa konstruksi, maka efisiensi PPh Pasal 21 karyawan dapat dilakukan dengan cara memberikan semaksimal mungkin tunjangan karyawan dalam bentuk natura/kenikmatan yang bukan merupakan objek pajak PPh pasal 21, sebagai salah satu 68
pilihan untuk menghindari lapisan tarif maksimum PPh Pasal 21, sedangkan pengeluaran untuk pemberian natura dan kenikmatan tersebut tidak mempengaruhi besarnya PPh badan. Contohnya pemberian penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai (Pasal 9 ayat 1e UU PPh) dan penyediaan bus antar jemput pegawai (Per-51/PJ/2009), kedua macam biaya tersebut dapat dibiayakan tetapi tidak tidak menambah beban PPh Pasal 21 karena tidak diperlakukan menambah pendapatan dalam perhitungan PPh Pasal 21 karyawan.
11. Alur Perencanaan Pajak -PPh Pasal 21 Setiap pengusaha berusaha memaksimalkan kesejahteraan pemilik perusahaan dengan memaksimalkan nilai perusahaan yaitu dengan cara memperoleh laba yang maksimal sesuai dengan yang diinginkan. Untuk mengejar laba yang maksimal tersebut perusahaan harus melakukan berbagai upaya, dimana salah satu upaya tersebut dilakukan melalui perencanaan pajak supaya bisa menghemat beban pajak. Upaya penghematan beban pajak memalui peraturan perpajakan yang dilakukan perusahaan tetap memperhatikan peraturan-peraturan yang berlaku (asas legalitas). Perencanaan pajak dimulai dengan menganalisa dan menyakinkan metode-metode perhitungan pajak penghasilan pasal 21 yang lebih efisin serta memperhatikan makanisme taxability - deductibility. Perlu diperjelas bahwa manajemen dan perencanaan pajak bukan bertujuan untuk mengurangi kewajiban pajak yang sebenarnya terutang tetapi hanya mengatur pajak yang dibayar tidak melebihi dari jumlah pajak yang seharusnya dibayar dan mencapai efisiensi bagi wajib pajak tanpa melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku. Dengan adanya managemen dan perencanaan pajak dalam perusahaan tidak menutup kemungkinan membantu wajib pajak dalam mengelola kewajibannya sehingga terhindar dari sanksi-sanksi yang timbul akibat adanya pelanggaran, serta merupakan salah satu alternatif bagi perusahaan untuk mencapai efisiensi pembebanan perusahaan.
69
Perencanaan PPh Pasal 21 Berdasarkan UU PPh
Mekanisme Taxability dan Deductibility
Metode Pemotongan PPh Pasal 21
Metode Net Metode Gross Up
Metode Gross Metode Gross Up
Upaya penghematan Pajak Dalam Mengefisiensikan Beban Pajak Terutang
Penghasilan Kena Pajak Yang Lebih Rendah
PPh Badan Yang Lebih Efisien
SPT PPh Badan
70
Gambar-1 Alur Perencanaan PPh Pasal 21
12. Strategi Perencanaan Pajak Untuk Mengefisienkan Beban Pajak Dalam menyusun perencanaan pajak yang sesuai dengan kondisi perusahaan dimulai dengan strategi mengefisensikan beban pajak (penghematan pajak) yang dilakukan oleh perusahaan haruslah bersifat legal (tax avoidance) supaya dapat terhindar dari sanksi-sanksi pajak dikemudian hari. Agar perencanaan pajak dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan maka perlu dilakukan analisis terhadap metode-metode dan kebijakan-kebijakan yang cocok serta strategi yang perlu dilakukan sehingga efisiensi beban pajak dapat tercapai. Misalnya : Memberikan tunjangan dalam bentuk uang atau natura dan kenikmatan, karena pada dasarnya pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan dapat dikurangkan sebagai biaya oleh pemberi kerja sepanjang pemberian tersebut diperhitungan sebagai penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan pasal 21 bagi pegawai yang menerimanya. Pemberian tunjangan semacam ini selain akan memberikan kepuasan dan meningkatkan motivasi bekerja pegawai juga akan meningkatkan produktivitas mereka. - Perusahaan memberikan tunjangan kesejahteraan kepada pegawai dalam bentuk fasilitas pengobatan kesehatan pegawai. Apabila pemberian tunjangan kesehatan kepada pegawai diberikan dalam bentuk uang, maka dari pihak perusahaan dapat diakui sebagai biaya dan sebagai penghasilan bagi pegawai sehingga dikenakan PPh Pasal 21. - Menghindari pelanggaran terhadap peraturan perpajakan dapat dilakukan dengan cara menguasai seluruh peraturan yang berlaku, yakni dengan menghitung pajak dengan tepat dan benar, membayar pajak serta melaporkan SPT masa dan tahunan tepat waktu.
-
Dari kebijakan perencanaan pajak perusahaan yang diterapkan, penulis akan menganalisis data yang diperoleh dari perusahaan dengan menerapkan teori-teori yang ada yang tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Dalam perhitungan PPh Pasal 21 terdapat tiga metode yang bisa aplikasikan, yakni metode Net, metode Gross, dan metode Gr oss up . 1. Net Method Merupakan metode pemotongan pajak dimana perusahaan menanggung PPh Pasal 21 karyawan. 2. Gross Method Merupakan metode pemotongan pajak dimana karyawan menanggung sendiri jumlah pajak penghasilannya.
71
3. Gross-Up Method Merupakan metode pemotongan pajak dimana perusahaan memberikan tunjangan pajakPPh Pasal 21 yang di formulasikan jumlahnya sama besar dengan jumlah pajak-PPh Pasal 21 yang akan dipotong dari karyawan.
Penggunaan Metode Gross Up atas Pajak Penghasilan PPh Pasal 21 Yang Ditanggung Oleh Pemberi Penghasilan/Pemberi Kerja didasarkan atas Pasal 4 huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000. Selanjutnya dapat diikuti pembahasan yang lebih terperinci Pada pembahasan Pasal 26 dan Pasal 23 di Bab IV. Keuntungan penggunaan metode gross up ini adalah untuk memuaskan dan meningkatkan memotivasi karyawan. Dengan menggunakan metode ini karyawan akan merasa puas karena PPh Pasal 21 ditanggung seluruhnya oleh perusahaan. Dengan demikian karyawan merasa lebih diperhatikan sehingga dengan meningkatnya motivasi dan kepuasan karyawan tersebut akan meningkatkan pula produktivitas karyawan. Semua metode tersebut diatas diperbolehkan menurut undang-undang dan peraturan perpajakan. Jadi tinggal pilih mau menggunakan metoda yang mana yang paling efisien bagi perusahaan tetapi juga menguntungkan bagi karyawan.
Rumus Tunjangan Pajak dengan Metode Gross up yang sesuai dengan UU PPh No. 17 Tahun 2000 Lapisan 1s/d 5 dibawah ini disesuaikan dengan lapisan PKP (Penghasilan kena pajak) (Penghasilan kena Pajak) yang sesuai dengan Pasal 17 UU No. 17 tahun 2000. Atas dasar PKP tersebut, harus memilih di lapisan mana PKP di posisikan : LAPISAN 1=
PKP X 5% 0,95
LAPISAN 2 =
(PKP X 10%) - 1.250.000 0,9
LAPISAN 3 =
(PKP X 15%) - 3.750.000 0,85
LAPISAN 4 =
(PKP X 25%) - 13.750.000 0,75
LAPISAN 5 =
(PKP X 35%) - 33.750.000 0,65
Semenjak diberlakukannya UU PPh No. 36 Tahun 2008, maka rumus gross up ini juga mengalami penyesuaian karena tarif pajak dan PTKP nya juga berubah, seperti terihat berikut ini :
72
Rumus Tunjangan Pajak dengan Metode Gross up yang sesuai dengan UU PPh No. 36 Tahun 2008
PKP Rp. 0 s/d Rp. 50.000.000,Pajak = 1/0,95 {PKP X 5%} PKP diatas Rp. 50.000.000 s/d 250.000.000,Pajak = 1/0,85 {(PKP X 15%) - 5 juta} PKP diatas Rp. 250.000.000 s/d Rp. 500.000.000,Pajak = 1/0,75 {(PKP X 25%)- 30 juta} PKP diatas Rp. Rp. 500.000.000 Pajak = 1/0,70 {(PKP X 35%)- 55 juta}
Perhitungan PPh Pasal 21 dengan Metode Gross Up Tahun 2008 harus dilakukan dengan 2(dua) tahap seperti dibawah ini : Tahap - 1 Hitung dulu berapa PKP tanpa tunjangan pajak. Setelah itu baru dihitung berapa tunjangan pajak dengan menggunakan rumus GROSS UP diatas.
CONTOH : Tn. Amir, pegawai tetap PT. DEx sejak th. 2005, Status K/1, tahun 2008 menerima Penghitungan pajak-PPh Pasal 21 sebagai berikut : Gaji/tahun Tunjangan makan siang JKK = 1.27% x 120 jt JKM = 0.30 % x 120 jt
120.000.000 3.600.000 1.542.000 3.600.000 128.742.000 5.000.000 133.742.000
Bonus Pengurangan : Biaya Jabatan Iuran Pensiun (dibayar sendiri) JHT = 2% x 120 jt
1.296.000 2.400.000 2.400.000 (6.096.000) 73
PTKP PKP
127.646.000 ( 15.600.000) 112.046.000
K/1
Karena PKP ada dilapisan tarif yang ke 4, maka rumus Gross up yang dipakai adalah Lapisan ke LAPISAN KE-4
=
TUNJANGAN PAJAK TUNJANGAN PAJAK
(PKP X 25%) - 13.750.000) 0,75 (112.046.000 X 25%) - 13.750.000 0,75 19.015.333
= =
(JKK=Jaminan Kecelakaan Kerja-Jamsostek; JKM = Jaminan Kematian-Jamsostek) Tahap - 2 Setelah diperoleh berapa tunjangan pajak dengan rumus Gross up, baru kemudian dimasukkan unsur tunjangan pajak sebagai unsur penghasilan wajib pajak. Perhitungan ini memperlihatkan bahwa jumlah PPh harus sama dengan tunjangan pajak. Bila sama, maka PPh tsb. dapat dibiayakan (deductible).
Gaji/tahun Tunjangan makan siang Tunjangan Pajak (Gross up) JKK = 1.27% x 120 jt JKM = 0.30 % x 120 jt
120.000.000 3.600.000 19.015.333 1.542.000 3.600.000 147.757.333 5.000.000 152.757.333
Bonus Pengurangan : Biaya Jabatan Iuran Pensiun JHT = 2% x 120 jt
1.296.000 2.400.000 2.400.000 (6.096.000) 146.661.333 ( 15.600.000) 131.061.333
PTKP PKP PPh Terutang : PPh 21
Total PPh 21
5% 10% 15% 25%
X 25.000.000 X 25.000.000 X 50.000.000 X 31.061.333
1.250.000 2.500.000 7.500.000 7.765.333 19.015.333
74
Perhitungan PPh Pasal 21 dengan Metode Gross Up yang sesuai UU PPh No. 36 Thn 2008, harus dilakukan dengan dua tahap seperti dibawah ini : Tahap - 1
Hitung dulu berapa PKP tanpa tunjangan pajak. Setelah itu baru dihitung berapa tunjangan pajak dengan menggunakan rumus GROSS UP diatas. Contoh : Tn. Amir, pegawai tetap PT. DEx sejak th. 2005, Status K/1, tahun 2010 menerima Penghitungan pajak-PPh Pasal 21 sebagai berikut : Gaji/tahun Tunjangan makan siang JKK = 1.27% x 120 jt JKM = 0.30 % x 120 jt
120.000.000 3.600.000 1.542.000 3.600.000 128.742.000 5.000.000 133.742.000
Bonus Pengurangan : Biaya Jabatan 5% max. Iuran Pensiun (dibayar sendiri) JHT = 2% x 120 jt
PTKP PKP
6.000.000 2.400.000 2.400.000
K/1
(10.800.000) 122.942.000 (18.480.000) 104.462.000
Karena PKP ada dilapisan tarif yang ke 2, maka rumus Gross up yang dipakai adalah Lapisan ke-2 LAPISAN KE- 2
=
TUNJANGAN PAJAK = TUNJANGAN PAJAK =
(PKP X 15%) - 5.000.000 0,85 (104.462.000 X 15%) - 5.000.000 0,85 12.552.118
75
Tahap - 2 Setelah diperoleh berapa tunjangan pajak dengan rumus Gross up, baru kemudian dimasukkan unsur tunjangan pajak sebagai unsur penghasilan wajib pajak. Perhitungan ini memperlihatkan bahwa jumlah PPh harus sama dengan tunjangan pajak. Bila sama, maka PPh tsb. dapat dibiayakan (deductible).
Gaji/tahun Tunjangan makan siang Tunjangan Pajak (Gross up) JKK = 1.27% x 120 jt JKM = 0.30 % x 120 jt
120.000.000 3.600.000 12.552.118 1.542.000 3.600.000 141.294.118 5.000.000 146.294.118
Bonus Dikurangi : Biaya Jabatan Iuran Pensiun JHT = 2% x 120 jt
6.000.000 2.400.000 2.400.000 (10.800.000) 135.494.118 (18.480.000) 117.014.118
PTKP PKP PPh Terutang : PPh 21
5% 15%
X 50.000.000 X 67.014.118
Total PPh 21
2.500.000 10.052.118 12.552.118
Untuk memberikan gambaran yang lengkap mengenai proses perencanaan pajak untuk PPh Pasal 21 ini, berikut ini adalah tabel-tabel perhitungan yang dibuat untuk menganalisis penghitungan PPh Pasal 21 dengan menggunakan tiga metode perhitungan yang dijelaskan diatas. Sumber data yang diambil untuk analisis ini adalah data dari Lampiran I-A SPT Tahunan PPh Pasal 21 PT. ABx untuk Tahun 2008, dengan data karyawan tahun 2008, berikut ini :
Kredit pajak tahun 2008 Jenis Pajak PPh 25 Dibayar dimuka PPh 23 dibayar dimuka
Jumlah Rp. 3.968.500 24.964.135
76
Tabel III-4 Daftar Gaji Karyawan PT. ABx Tahun 2008
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Nama pegawai
Gaji/Upah Rp
A B C D E F G H I J K L M N O
84.000.000 21.600.000 36.000.000 20.400.000 18.000.000 15.600.000 16.800.000 13.200.000 16.800.000 16.800.000 26.400.000 15.600.000 13.200.000 10.800.000 16.000.000
TOTAL
341.200.000
Uang Lembur 0 2.830.000 2.810.000 2.790.000 2.850.000 2.840.000 2.800.000 2.850.000 2.850.000 2.850.000 2.820.000 2.850.000 2.850.000 2.810.000 1.860.000 38.660.000
Bonus/THR 7.000.000 1.800.000 3.000.000 1.700.000 1.500.000 1.300.000 1.400.000 1.100.000 1.400.000 1.400.000 2.200.000 1.300.000 1.100.000 900.000 2.000.000 29.100.000
Mulai Status bekerja Tahun K/1 2000 BK 2000 K/2 2000 K/1 2000 K/2 2000 BK 2000 BK 2000 K/1 2000 K/2 2000 K/2 2000 BK 2000 BK 2000 BK 2000 BK 2000 K/2 2000
77
Tabel III-5 Perhitungan PPh Pasal 21 Tahun 2008 METODE GROSS
Nama No. pegawai 1 2
Gaji/Upah 3
Uang Lembur 4
Bonus/THR 5
Penghasilan Bruto 6
Biaya Jabatan 7
Penghasilan Netto 8
1
A
84.000.000
0
7.000.000
91.000.000
1.296.000
89.704.000
2
B
21.600.000
2.830.000
1.800.000
26.230.000
1.296.000
24.934.000
3
C
36.000.000
2.810.000
3.000.000
41.810.000
1.296.000
40.514.000
4
D
20.400.000
2.790.000
1.700.000
24.890.000
1.244.500
23.645.500
5
E
18.000.000
2.850.000
1.500.000
22.350.000
1.117.500
21.232.500
6
F
15.600.000
2.840.000
1.300.000
19.740.000
987.000
18.753.000
7
G
16.800.000
2.800.000
1.400.000
21.000.000
1.050.000
19.950.000
8
H
13.200.000
2.850.000
1.100.000
17.150.000
857.500
16.292.500
9
I
16.800.000
2.850.000
1.400.000
21.050.000
1.052.500
19.997.500
10
J
16.800.000
2.850.000
1.400.000
21.050.000
1.052.500
19.997.500
11
K
26.400.000
2.820.000
2.200.000
31.420.000
1.296.000
30.124.000
12
L
15.600.000
2.850.000
1.300.000
19.750.000
987.500
18.762.500
13
M
13.200.000
2.850.000
1.100.000
17.150.000
857.500
16.292.500
14
N
10.800.000
2.810.000
900.000
14.510.000
725.500
13.784.500
15
O
16.000.000
1.860.000
2.000.000
19.860.000
993.000
18.867.000
TOTAL
341.200.000
38.660.000
29.100.000
408.960.000
16.109.000
392.851.000
78
Lanjutan Tabel III-5 (Metode Gross) Nama No. pegawai 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
A B C D E F G H I J K L M N O TOTAL
Penghasilan disetahunkan (dibulatkan)
PTKP
9 89.704.000 24.934.000 40.514.000 23.645.000 21.232.000 18.753.000 19.950.000 16.292.000 19.997.000 19.997.000 30.124.000 18.762.000 16.292.000 13.784.000 18.867.000 392.847.000
10 15.600.000 13.200.000 16.800.000 15.600.000 16.800.000 13.200.000 13.200.000 15.600.000 16.800.000 16.800.000 13.200.000 13.200.000 13.200.000 13.200.000 16.800.000 223.200.000
PKP
PPh Pasal 21(Seblm Gross up)
PPh Pasal 21 ( sesudah Gross up)
11 74.104.000 11.734.000 23.714.000 8.045.000 4.432.000 5.553.000 6.750.000 692.000 3.197.000 3.197.000 16.924.000 5.562.000 3.092.000 584.000 2.067.000 169.647.000
12 7.365.600 586.700 1.185.700 402.250 221.600 277.650 337.500 34.600 159.850 159.850 846.200 278.100 154.600 29.200 103.350 12.142.750
13 8.665.412 617.579 1.248.105 422.388 232.705 291.533 354.375 36.355 167.868 167.868 890.737 292.030 162.355 30.685 108.518 13.688.510
Tabel III-6 Perhitungan PPh Pasal 21 Tahun 2008 (Perusahaan Menanggung PPh Pasal 21 Sebahagian) No.
Uang Lembur
Bonus/THR
Tunjangan Pajak
Penghasilan Bruto
Biaya Jabatan
Penghasilan Netto
7.000.000
7.365.600
98.365.600
1.296.000
97.069.600
Nama pegawai
Gaji/Upah
1
A
84.000.000
2
B
21.600.000
2.830.000
1.800.000
586.700
26.816.700
1.296.000
25.520.700
3
C
36.000.000
2.810.000
3.000.000
1.185.700
42.995.700
1.296.000
41.699.700
4
D
20.400.000
2.790.000
1.700.000
402.250
25.292.250
1.264.613
24.027.638
5
E
18.000.000
2.850.000
1.500.000
221.600
22.571.600
1.128.580
21.443.020
6
F
15.600.000
2.840.000
1.300.000
277.650
20.017.650
1.000.883
19.016.768
7
G
16.800.000
2.800.000
1.400.000
337.500
21.337.500
1.066.875
20.270.625
8
H
13.200.000
2.850.000
1.100.000
34.600
17.184.600
859.230
16.325.370
9
I
16.800.000
2.850.000
1.400.000
159.850
21.209.850
1.060.493
20.149.358
10
J
16.800.000
2.850.000
1.400.000
159.850
21.209.850
1.060.493
20.149.358
11
K
26.400.000
2.820.000
2.200.000
846.200
32.266.200
1.296.000
30.970.200
12
L
15.600.000
2.850.000
1.300.000
278.100
20.028.100
1.001.405
19.026.695
13
M
13.200.000
2.850.000
1.100.000
154.600
17.304.600
865.230
16.439.370
14
N
10.800.000
2.810.000
900.000
29.200
14.539.200
726.960
13.812.240
15
O
16.000.000
1.860.000
2.000.000
103.350
19.963.350
998.168
18.965.183
341.200.000
38.660.000
29.100.000
12.142.750
421.102.750
16.216.928
404.885.823
TOTAL
79
Lanjutan Tabel III-6 No.
Nama pegawai
1
A
Penghasilan disetahunkan (dibulatkan) 97.069.000
2
B
3
PTKP
PKP
PPh Pasal 21
15.600.000
81.469.000
8.470.350
25.520.000
13.200.000
12.320.000
616.000
C
41.699.000
16.800.000
24.899.000
1.244.950
4
D
24.027.000
15.600.000
8.427.000
421.350
5
E
21.443.000
16.800.000
4.643.000
232.150
6
F
19.016.000
13.200.000
5.816.000
290.800
7
G
20.270.000
13.200.000
7.070.000
353.500
8
H
16.325.000
15.600.000
725.000
36.250
9
I
20.149.000
16.800.000
3.349.000
167.450
10
J
20.149.000
16.800.000
3.349.000
167.450
11
K
30.970.000
13.200.000
17.770.000
888.500
12
L
19.026.000
13.200.000
5.826.000
291.300
13
M
16.439.000
13.200.000
3.239.000
161.950
14
N
13.812.000
13.200.000
612.000
30.600
15
O
18.965.000
16.800.000
2.165.000
108.250
404.879.000
223.200.000
181.679.000 .
13.480.850
TOTAL
Tabel III-7 Perhitungan PPh Pasal 21 Tahun 2008 METODE GROSS UP No. 1
Nama pegawai A
Gaji/Upah 84.000.000
2
B
21.600.000
3
C
4
Uang Lembur
Bonus/THR 7.000.000
Tunjangan Pajak 8.665.412
Penghasilan Bruto 99.665.412
Biaya Jabatan 1.296.000
Penghasilan Netto 98.369.412
2.830.000
1.800.000
617.579
26.847.579
1.296.000
25.551.579
36.000.000
2.810.000
3.000.000
1.248.105
43.058.105
1.296.000
41.762.105
D
20.400.000
2.790.000
1.700.000
422.388
25.312.388
1.265.619
24.046.768
5
E
18.000.000
2.850.000
1.500.000
232.705
22.582.705
1.129.135
21.453.570
6
F
15.600.000
2.840.000
1.300.000
291.533
20.031.533
1.001.577
19.029.956
7
G
16.800.000
2.800.000
1.400.000
354.375
21.354.375
1.067.719
20.286.656
8
H
13.200.000
2.850.000
1.100.000
36.355
17.186.355
859.318
16.327.037
9
I
16.800.000
2.850.000
1.400.000
167.868
21.217.868
1.060.893
20.156.974
10
J
16.800.000
2.850.000
1.400.000
167.868
21.217.868
1.060.893
20.156.974
11
K
26.400.000
2.820.000
2.200.000
890.737
32.310.737
1.296.000
31.014.737
12
L
15.600.000
2.850.000
1.300.000
292.030
20.042.030
1.002.102
19.039.929
13
M
13.200.000
2.850.000
1.100.000
162.355
17.312.355
865.618
16.446.737
14
N
10.800.000
2.810.000
900.000
30.685
14.540.685
727.034
13.813.651
15
O
16.000.000
1.860.000
2.000.000
108.518
19.968.518
998.426
18.970.092
TOTAL
341.200.000
38.660.000
29.100.000
13.688.510
422.648.510
16.222.334
406.426.176
80
Lanjutan Tabel III-7 Penghasilan disetahunkan (dibulatkan) 98.369.000
PTKP 15.600.000
PKP 82.769.412
PPh Pasal 21 (pembulatan) 8.665.412
No. 1
Nama pegawai A
2
B
25.551.000
13.200.000
12.351.579
617.579
3
C
41.762.000
16.800.000
24.962.105
1.248.105
4
D
24.046.000
15.600.000
8.446.768
422.388
5
E
21.453.000
16.800.000
4.653.570
232.705
6
F
19.029.000
13.200.000
5.829.956
291.533
7
G
20.286.000
13.200.000
7.086.656
354.375
8
H
16.327.000
15.600.000
727.037
36.355
9
I
20.156.000
16.800.000
3.356.974
167.868
10
J
20.156.000
16.800.000
3.356.974
167.868
11
K
31.014.000
13.200.000
17.814.737
890.737
12
L
19.039.000
13.200.000
5.839.929
292.030
13
M
16.446.000
13.200.000
3.246.737
162.355
14
N
13.813.000
13.200.000
613.651
30.685
15
O
18.970.000
16.800.000
2.170.092
108.518
TOTAL
406.417.000
223.200.000
183.226.176
13.688.510
Dari ketiga tabel III-1 hingga tabel III-3 tersebut diatas, dapat direkapitulasi hasil perhitungannya sebagai berikut : Tabel III-8 Analisis Penghitungan PPh Pasal 21 Pada PT. ABx Tahun 2008 Keterangan
Alt. I 341.200.000 38.660.000 29.100.000
Ditanggung Perusahaan (tidak dibiayakan) Alt. II 341.200.000 38.660.000 29.100.000
Ditunjang perusahaan sebahagian Alt. III 341.200.000 38.660.000 29.100.000 12.142.750
Alt. IV 341.200.000 38.660.000 29.100.000 13.668.510
Total Penghasilan Bruto
408.960.000
408.960.000
421.102.750
422.648.510
B. Jabatan Total Pengurang Penghasilan netto
15.980.000 15.980.000 392.851.000
15.980.000 15.980.000 392.851.000
16.163.125 16.163.125 392.851.000
16.222.300 16.222.300 406.426.176
Penghasilan netto disetahunkan
92.847.000
392. 847.000
406.417.000
PTKP Penghasilan Kena Pajak setahun PPh 21 setahun Tunjangan pajak PPh 21 yang harus distor /dipotong dr penghas.kary.
223.200.000 169.647.000
223.200.000 169.647.000
223.200.000 169.647.000
223.200.000 183.226.176
12.142.750 12.142.750
12.142.750 12.142.750
13.480.850 12.142.750 1.338.100
13.668.510 13.668.510 -
Gaji Uang Lembur Bonus/THR Tunjangan pajak
Ditanggung karyawan
392.847.000
Metode Gross Up
81
Selanjutnya pada tabel III-9 berikut ini kita akan mendapat gambaran mana alternatif yang paling menguntungkan bagi perusahaan dan bagi pegawai dalam pemilihan dari keempat alternatif kebijakan dibawah ini. Tabel III-9 Take Home Pay (THP) Uraian
Gaji Tambahan presensi & insentif) Bonus+THR Tunjangan Pajak Penghasilan Bruto Pegawai PPh Pasal 21 Total Take Home Pay
Ditanggung karyawan (potong gaji pegawai)
Alt. I 341.200.000 38.660.000
Ditanggung Perusahaan (tidak dimasukkan sebagai unsur pendapatan di SPT PPh 21) Alt. II 341.200.000 38.660.000
29.100.000
29.100.000
408.960.000 12.142.750 396.817.250
408.960.000 408.960.000
Ditunjang perusahaan sebahagian
Metode Gross Up
Alt. III 341.200.000 38.660.000
Alt. IV 341.200.000 38.660.000
29.100.000 12.142.750 421.102.750 13.480.850 407.621.900
29.100.000 13.668.510 422.628.510 13.668.510 408.960.000
Berdasarkan analisa pada Tabel III-4 hingga Tabel III-9 diatas, dapat kita catatkan beberapa poin sebagai berikut : a.
Take Home Pay Secara totalitas, alternatif yang ke-4 yakni metode Gross-up memberikan penerimaan penghasilannya yang lebih besar bagi pegawai, karena take home pay dari penghasilannya adalah yang paling terbesar dibandingkan dengan alternatif lainnya. Meskipun Alternatif II memberikan hasil THP yang sama dengan alternatif IV, namun dari sisi perusahaan pemberi kerja masih harus keluar dana untuk setoran PPh Pasal 21 ke Kas negara yang kini menjadi beban pemberi kerja. Jadi dari sisi pemberi kerja, alternatif IV adalah yang terbaik dari alternatif lainnya untuk kesejahteraan pegawainya.
b.
PPh Pasal 21 ditanggung pegawai yang bersangkutan. - Dengan metode Gross ini, jumlah PPh Pasal 21 yang menjadi tanggungan pegawai/ dipotong dari gaji bulanan sebesar Rp. 12.142.750,-. Bila jumlah PPh Pasal 21 ini kita Gross-up, maka hasilnya adalah sebesar Rp. 13.668.510. - Dalam hal jumlah PPh Pasal 21 yang terutang akan dipotong dari gaji bulannya, dari sisi pegawai, beban PPh Pasal 21 tersebut akan mengurangi penghasilan pegawai yang bersangkutan. Dari sisi perusahaan, tidak ada PPh Pasal 21 pegawai yang terutang, perusahaan hanya memiliki kewajiban untuk menyetor dan melaporkan PPh Pasal 21 atas gaji karyawan yang telah dipotong tersebut.
c. PPh Pasal 21 ditanggung oleh Perusahaan. - Dalam hal ini jumlah PPh Pasal 21 yang terutang akan di tanggung oleh perusahaan/pemberi kerja yang bersangkutan. Dari sisi pegawai, gaji yang diterima
82
pegawai tersebut tidak dikurangi dengan PPh Pasal 21 karena perusahaan yang menanggung beban PPh Pasal 21. Karena jumlah PPh Pasal 21 yang ditanggung perusahaan tersebut tidak di masukkan dalam perhitungan di SPT PPh Pasal 21, sehingga tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan sebagai biaya deductible, dan perusahaan selaku pemotong atau pemungut pajak wajib untuk membayar dan melaporkan ke kantor pajak. d. PPh Pasal 21 ditunjang sebagian oleh pemberi kerja. - Dengan metode Net ini, jumlah PPh Pasal 21 yang menjadi tanggungan perusahaan hanya sebagian yakni sebesar Rp. 12.142.750, sedangkan jumlah PPh Pasal 21 yang harus dibayar ke Kas Negara adalah sebesar Rp. 13.480.850, maka sisanya sebesar Rp. 1.338.100,- harusnya ditanggung oleh pegawai (potong gaji).
-
Perusahaan/pemberi kerja bisa memberikan tunjangan PPh Pasal 21 yang besarnya tidak sama dengan pajak yang terutang. Bagi pegawai, tunjangan tersebut akan menambah penghasilan karyawan yang akan diperhitungkan dalam pemotongan PPh Pasal 21. Dalam hal ini besarnya PPh Pasal 21 yang terutang lebih besar dari tunjangan pajak PPh Pasal 21 dan selisihnya bisa menjadi tanggungan pegawai. Bagi perusahaan, PPh Pasal 21 yang diberikan dalam bentuk tunjangan dapat dibiayakan oleh perusahaan, sedangkan selisihnya bila ditanggung oleh pemberi kerja merupakan pengeluaran biaya yang non deductable.
e. PPh Pasal 21 Ditunjang perusahaan seluruhnya (Gross-up method) . - Dengan menggunakan rumus Gross-up ini, perhitungan PPh Pasal 21 dilakukan secara dua tahap seperti yang telah dijelaskan dimuka. Jumlah PPh Pasal 21 yang ditunjang seluruhnya oleh perusahaan/prmberi kerja adalah sebesar Rp. 13.668.510,dan jumlah ini semuanya bisa dibiayakan (deductible), sedangkan jumlah PPh Pasal 21 yang harus dibayar ke Kas Negara adalah sama besarnya dengan tunjangan pajak tersebut. Jika besarnya PPh pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan, maka dengan metode ini jumlah tunjangan tersebut bagi karyawan sesungguhnya tidak berpengaruh terhadap penghasilan yang diterima oleh karyawan (take home pay), tetapi untuk perhitungan PPh Pasal 21 yang di Gross Up penghasilan karyawan akan lebih besar sebesar PPh Pasal 21 yang ditambahkan. Besarnya tunjangan pajak akan sama dengan besarnya PPh Pasal 21 yang terutang, sehingga tidak berpengaruh pada penghasilan karyawan.
-
Dari segi komersial, kebijakan perusahaan yang menerapkan PPh Pasal 21 secara Gross-up ini akan terlihat memberatkan perusahaan/pemberi kerja karena biaya fiskal yang besar tersebut tampaknya seperti suatu pemborosan, namun harus pula diperhatikan bahwa akibat biaya fiskal yang lebih besar tersebut akan berdampak pada laba sebelum pajaknya akan menjadi lebih kecil dan selanjutnya PPh Badan yang terutang pun akan menjadi lebih kecil. Namun demikian, kenaikan beban perusahaan dari PPh Pasal 21 tersebut akan tereliminasi dengan penurunan PPh Badan karena beban PPh Pasal 21 tersebut dapat dibiayakan, bahkan penurunan PPh Badan tersebut lebih besar dari kenaikan PPh Pasal 21, sehingga tercipta suatu
83
penghematan pajak. Strategi perpajakan ini akan menstimulasi pegawai untuk meningkatkan produktifitasnya karena pendapatan yang diperolehnya lebih besar.
PENGHEMATAN/EFISIENSI PAJAK Implikasi Penerapan Perencanaan PPh Pasal 21 Terhadap Beban Pajak Implikasi dari kebijakan perusahaan atas penerapan dari masing-masing metode penghitungan PPh Pasal 21 (Metode Net, Metode Gross, dan Gross up) terhadap Laporan Laba Rugi dan efisiensi pajak perusahaan secara komparatif dapat digambarkan sebagai berikut : Tabel III-10
Perhitungan Laba Rugi PT. ABx Untuk tahun berakhir 31 Desember 2008 Keterangan
Penjualan Harga Pokok Penjualan Laba Kotor Usaha Biaya Operasional : Biaya Operasional Gaji/THR/bonus Tunjangan PPh Pasal 21 Total Biaya Operasional Laba Operasional Pendapatan/Biaya Diluar Usaha : Pendapatan Diluar Usaha Biaya Diluar Usaha Rugi diluar usaha Laba Bersih Usaha seblm pajak Pajak Penghasilan Badan Laba bersih setelah pajak Kredit pajak : PPh 25 Dibayar dimuka PPh 23 dibayar dimuka Total Kredit Pajak Kurang/(lebih) bayar
Ditanggung karyawan (potong gaji pegawai)
Alt. I 3.431.249.158 2.318.561.624
Ditanggung Perusahaan (tidak dimasukkan sebagai unsur pendapatan di SPT PPh 21) Alt. II 3.431.249.158 2.318.561.624
1.112.687.534
Ditunjang perusahaan sebahagian
Metode Gross Up
Alt. III 3.431.249.158 2.318.561.624
Alt. IV 3.431.249.158 2.318.561.624
1.112.687.534
1.112.687.534
1.112.687.534
444.755.557 408.960.000
444.755.557 408.960.000
853.715.557 258.971.977
853.715.557 258.971.977
444.755.557 408.960.000 12.142.750 865.858.307 246.829.227
444.755.557 408.960.000 13.668.510 867.384.067 245.303.467
164.995.183 165.210.016 (214.833)
164.995.183 165.210.016 (214.833)
164.995.183 165.210.016 (214.833)
164.995.183 165.210.016 (214.833)
258.757.144
258.757.144
246.614.394
245.088.634
60.127.143 198.630.001
60.127.143 198.630.001
56.484.318 190.130.076
56.026.590 189.062.044
3.968.500 24.964.135 28.932.635 169.697.366
3.968.500 24.964.135 28.932.635 169.697.366
3.968.500 24.964.135 28.932.635 161.197.441
3.968.500 24.964.135 28.932.635 160.129.409
Dari Tabel III-10 tersebut selanjutnya kita buat perbandingan antara totalitas beban pajak perusahaan dari PPh Pasal 21 dan PPh Badan setelah Perencanaan pajak PT. ABx untuk menganalisa seberapa besar dampak perencanaan pajak-PPh Pasal 21 tersebut pada pencapaian efisiensi pajak atau keuntungan perusahaan. 84