MATERI KULIAH II
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN HUKUM KONSUMEN/HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN I. PENGERTIAN HUKUM KONSUMEN DAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
Hukum Konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-
kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak pihak yang yang satu satu sama sama lain lain berka berkait itan an dengan dengan baran barang g dan atau atau jasa jasa konsumen di dalam pergaulan hidup.
Hukum Perlindungan Konsumen adalah merupakan merupakan bagian
dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandungi sifat melindungi kepentingan konsumen.
UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen., tidak memuat
defe defeni nisi si meng mengena enaii Huku Hukum m Perli Perlindu ndung ngan an Konsu Konsume men n teta tetapi pi memu memuat at perumusan mengenai Perlindungan Konsumen sebagai “ segala upay upaya a yang yang menj menjam amin in adany adanya a kepas kepasti tian an huku hukum m untu untuk k memb member erik ikan an perlindungan kepada konsumen”
Dari Dari bebe bebera rapa pa peng penger erti tian an ters terseb ebut ut dapa dapatt disi disimp mpul ulka kan n beberapa pokok pemikiran :
Subyek Subyek yang yang terlib terlibat at dalam dalam perlind perlindunga ungan n konsume konsumen n adalah adalah
masyarakat sebagai konsumen, dan disisi lain pelaku usaha, atau pihakpihak lain yang terkait, misalnya misalnya distributor, distributor, media cetak mpupuntelevisi, mpupuntelevisi, agen, biro periklanan, YLKI, BPOM, dan sebagainya.
Obyek byek yang yang diat diatur ur adal adalah ah bara barang ng,, dan atau atau jasa jasa yang yang
ditawarkan oleh pelaku usaha kepada konsumen.
1
Ketidakseta Ketidaksetaraan raan kedudukan kedudukan konsumen konsumen dengan pelaku usaha
mengak mengakiba ibatka tkan n pemeri pemerinta ntah h mengel mengeluark uarkan an asas-as asas-asas as maupun maupun kaidahkaidahkaidah hukum yang dapat menjamin dan melindungi konsumen. Hukum
Konsum sumen
memi emiliki
caku akupan pan
yang ang
lebih
luas
dibandingkan dengan Hukum Perlindungan Konsumen.
Hukum Hukum Perlindu Perlindungan ngan Konsume Konsumen n membuka membuka kemungki kemungkinan nan pembe emberl rla akua kuan
Hukum
Kons Konsum ume en
berd berda asark sarka an
Pasal asal
64
Ketentuan Peralihan UU No. 8 tahun 1999 : “Sega “Segala la ketent ketentua uan n perat peratur uran an perun perunda dangng-un undan dangan gan yang yang bert bertuju ujuan an meli melind ndun ungi gi kons konsum umen en yang yang tela telah h ada pada pada saat saat undan undang-u g-und ndan ang g ini ini diundan diundangkan gkan,, dinyat dinyatakan akan tetap tetap berlak berlaku u sepanja sepanjang ng tidak tidak diaur diaur secara secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undangundangaN ini.”
II. SUMBER-SUMBER HUKUM KONSUMEN
A.
UNDANG-UNDANG DASAR 1945 DAN TAP MPR o
Undang-u Undang-unda ndang ng dasar dasar 1945, 1945, Pembuka Pembukaan, an, Alinea Alinea ke
4: “..... “.....kem kemudia udian n daripa daripada da itu untuk untuk membent membentuk uk seuatu seuatu Pemeri Pemerinta ntah h Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia ...” o
Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 :
“Tiap “Tiap warg wargane anegar gara a berh berhak ak atas atas peng penghid hidup upan an yang yang layak layak bagi bagi kemanusiaan” o
Ketetapan Majelis Permusyawatan Rakyat 1993 :
“.....meni “.....meningkatkan ngkatkan pendapatan pendapatan produsen produsen dan melindungi melindungi kepentingan kepentingan konsumen.”
2
B.
HUKUM KONSUMEN DALAM HUKUM PERDATA Yang Yang dima dimaks ksud ud adala adalah h Huku Hukum m Perd Perdat ata a dala dalam m arti arti kata kata luas luas ,
term termas asuk uk
huku hukum m
Perd Perdat ata, a,
Huku Hukum m
Daga Dagang ng,,
sert serta a
kaid kaidah ah-k -kai aida dah h
keperdataan yang termuat dalam peraturan perundang-undangan lainnya, baik itu hukum perdata tertulis maupun hukum perdata yang tidak tertulis, misalnya : o
Kita Kitab b
Undangang-Un Unda dang ng
Hukum kum
Perd Perda ata, ta,
terutama dalam buku kedua, ketiga, dan keempat . Pasal 1457 KUH Perdata :
“jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan mengikatkan dirinya untuk menyerahkan menyerahkan suatu kebendaan, kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.” Pasal 1548 KUH Perdata : “sewa menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang
satu satu meng mengik ikat atkan kan diri diriny nya a untuk untuk memb memberi erika kan n kepad kepada a pihak pihak yang yang lainnya kenikmatan atas suatu barang selama suatu waktu tertentu dan denga dengan n pemb pembay ayar aran an suatu suatu harga harga yang yang oleh oleh piha pihak k ters terseb ebut ut belakangan ini disanggupi pembayarannya.” o
Kitab Undang-undang Hukum Dagang, buku
kesatu dan buku kedua . Pasal 510 KUH Dagang :
“Setiap “Setiap pemegan pemegang g konosem konosemen en berhak berhak untuk untuk menunt menuntut ut penyerah penyerahan an barang yang tersebut di dalamnya di mana kapal tersebut berada.” o
Hukum adat
Dalam hukum adat terdapat beberapa prinsip dasar yang dapat memberikan perlindungan kepada konsumen :
Prinsip Kekerabatan yang kuat dalam masyarakat adat
3
Prinsip yang berkembang dan diwarisi secara turun temurun ini meng mengak akib ibat atka kan n
kete ketent ntua uann-ke kettent entuan uan
huku hukum m
adat adat
tidak idak
berorientasi kepada konflik, sehingga setiap warga masyarakat adat
harus harus saling saling hormat-m hormat-mengh enghorma ormati ti sesamany sesamanya. a. Dengan Dengan
demiki demikian an tertut tertutup up kemungk kemungkina inan n bagi bagi para pelaku pelaku usaha usaha yang yang nakal untuk memperdaya konsumen.
Prinsip keseimbangan magis/keseimbangan alam .
Prin Prinsi sip p
“ter “teran ang” g”
pada pada
pemb pembua uata tan n
tran transa saks ksi, i,
teru teruta tama ma
transaksi yang penting seperti transaksi tanah .
Prinsip Prinsip terang terang ini mengha mengharusk ruskan an hadirny hadirnya a kepala kepala perseku persekutu tuan an huku hukum m adat adat//kepa kepalla desa desa dala dalam m trans ransak aksi si tana tanah. h. Hal Hal ini dimaksudkan untuk melindungi debitur dan masyarakat. Fungsi kepala kepala adat ini yang yang kemudi kemudian an berali beralih h kepada kepada negara negara dalam dalam memberikan perlindungan kepada konsumen.
Prinsip fungsi sosial dari suatu hak.
Berdasarkan prinsip ini diadakanlah pembatasan terhadap hak yang dimiliki seorang individu, individu, sehingga ia harus memperhatika memperhatikan n kepentingan masyarakat luas dalam mempergunakan hak yang dimilikinya. Hal ini dapat dianalogikan kepada pembatasan hak pelaku usaha dalam menjalankan usahanya dengan tetap harus memperhatikan kepentingan masyarakat selaku konsumen.
Prinsip hak ulayat.
Prinsip ini merupakan prinsip kebersamaan dalam penguasaan sesuatu benda dan harus pula terdapat unsur adil dalam hal penguasaan penguasaan tanah, sehingga tidak ada satu pihakpun yang akan merasa dirugikan. Ini juga dapat menopang untuk diterimanya suatu cabang hukum baru, yaitu hukum konsumen di Indonesia. o
Berbagai Berbagai peratura peraturan n perundan perundang-ud g-udanga angan n lain
yang memuat memuat kaidah-ka kaidah-kaidah idah hukum hukum bersifat bersifat keperdat keperdataan aan
4
tent tentan ang g suby subyek ek-s -sub ubye yek k huku hukum, m, hubu hubung ngan an huku hukum m dan dan masalah antara penyedia barang atau penyelenggara jasa tertentu dan konsumen, Misalnya : tentang Lingkungan Lingkungan Hidup, UU No. 21 tahun UU No. 4 tahun 1982 tentang 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, UU No. 5 tahun 1984
tentang Perindustrian, UU No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun, tentang Lalu lintas lintas dan Angkutan Jalan Raya, UU No. 14 tahun 1992 tentang dan sebagainya.
o
HUKUM KONSUMEN DALAM HUKUM PUBLIK Yang Yang dimaksu dimaksudkan dkan dengan dengan Hukum adalah h hukum hukum yang yang Hukum Publik Publik adala mengatur hubungan antara negara dengan perorangan, termasuk dalam lingkup lingkupan an hal ini adalah adalah Hukum Hukum admini administr strasi asi negara, negara, Hukum Hukum Pidana, Pidana, Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana, Hukum Internasional, dan seterusnya. Misalnya : o
UU No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun, Pasal
4 Ayat (1) dan Pasal 20 Ayat (1) : “Pemerintah melakukan pengaturan dan pembinaan rumah susun dan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang.” o
UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 73 :
“Pemerintah “Pemerintah melakukan pembinaan terhadap terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan.”
III. MASALAH YANG DIHADAPI Walaupun Walaupun ketentuan-ket ketentuan-ketentuan entuan hukum perdata perdata maupun maupun hukum publik dapat dipergunakan untuk menyelesaikan hubungan atau masalah konsumen dengan penyedia penyedia barang dan/atau dan/atau penyelenggara penyelenggara jasa, tetapi tetapi mengandung beberapa kelemahan tertentu :
5
KUH KUH Perd Perdat ata a dan dan KUH KUH Dag Dagang ang tida tidak k meng mengen enal al isti istila lah h konsumen.
Semua Semua subyek subyek hukum hukum terse tersebu butt diatas diatas adala adalah h konsu konsumen men,, pengguna barang dan/atau jasa.
Hukum perjanjian (buku ke tiga KUH Perdata) menganut asas huku hukum m kebe kebeba basa san n berk berkon ontr trak ak,, sist sistem emny nya a terb terbuk uka, a, dan dan merupakan hukum pelengkap.
Perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi
Hukum acara yang dipergunakan tidak membantu konsumen di dalam mencari keadilan.
Dasa Dasarr fils filsaf afat at dala dalam m peny penyus usun unan an KUH KUH Perd Perdat ata a dan dan KUH KUH Dagang adalah Laisser Faire, sedangkan falsafah Indonesia adalah Pancasila.
6
MATERI KULIAH III
REGULASI SENDIRI USAHA ATAU PROFESI 1. Pendahuluan Apakah yang dimaksud dengan regulasi sendiri usaha atau profesi ? istilah regulasi sendiri digunakan dalam buku ini sebagai alih bahasa dari istilah self regulation yang banyak digunakan dalam literature hukum, ekonomi atau pengetahuan
social
dinegara-negara
maju.
Regulasi
sendiri
ini
sesungguhnya bermaksud untuk menentukan tolok ukur sesungguhnya atau standar (minimum) perilaku tertentu bagi perusahaan-perusahaan atau pelaku usaha yang terikat atau tunduk padanya. Istilah lain yang juga digunakan adalah “bisnis etik” yang berarti “pelaksanaan prinsip-prinsip moral pada pihak yang menyelenggarakan usaha” sehingga dengan dipatuhinya regulasi sendiri itu terjagalah citra usaha perusahaan dalam masyarakat. Di Amerika Serikat, misalnya, setelah melalui masa “laissez faire” (masa tanpa kontrol umum oleh pemerintah) pada abad ke- 19, dengan lahirnya undang-undang tentang perilakumonopoli (Sherman Anti Trust Act-1890) dan kemudian terutama pengaturan tentang hal-hal berkaitan dengan corporate mergers, phony get-rich-quick schemes, deceptive textile labels, prices wars, predatory price discrimination, industrial espionage and commercial or political bribery, terdapat pengaturan baru tentang perilaku kalangan usahawan dan atau profesi dalam menjalankan usahanya. Dengan pertimbangan yang dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson, untuk mendirikan “suatu badan terdiri para ahli yang melindungi kalangan bisnis dari perilaku curang (unfair acts) para saingannya”, mulailah pengawasan dilakukan oleh pemerintah berdasarkan undang-undang Federal
7
Trade Commission Act-1914 (FTC Act) terhadap perilaku-perilaku dikalangan dunia bisnis dan profesi pada umumnya. Bersamaan dengan FTC Act tersebut disahkan pula Clayton Act (1914) yang terutama bertugas untuk mencegah terjadinya merger yang bertentangan dengan persaingan (competition) dan to discriminate in price between different purchases of commodities. Apalagi setelah diterbitkan Wheel-er Lea Act (1938) yang mengamendir pasal 5 FTC Act dengan menambahkan pada pasal tersebut anak kalimat yang melarang unfair or deceptive acts or practise.akibatnya adalah pasal tersebut memuat dua larangan, yaitu pertama, larangan terhadap unfair methods of competition dan kedua, larangan atas “false advertising and other deceptive commercial practices” yang merupakan pula perlindungan pada konsumen. Jadi apabila regulasi sendiri atau bisnis etik kalangan usahawan atau profesi tumbuh dan berkembang secara positif, dipadu dengan bekerjanya peraturan perundangan-undangan tertentu berkaitan dengan kepentingan-kepentingan konsumen maka para usahawan tersebut merupakan pula hal yang membantu perlindungan konsumen juga bukan? tidakkah suatu kondisi yang sangat menguntungkan bagi konsumen apabila semua pihak, khususnya pelaku usaha, menjalankan dan mentaati hukum yang berlaku serta disamping itu, mempunyai moral yang tinggi dalam mengejar tujuan usaha yang telah dijalankannya ?. Khusus berkaitan dengan salah satu praktek bisnis seperti periklanan, dengan lahirnya peraturan perundang-undangan tersebut diatas, setidaktidaknya terdapat dua jenis pengawasan atasnya, yaitu : 1. Pengawasan oleh pemerintah dengan menggunakan peraturan perundang-undangan, baik yang langsung maupun tidak langsung tentang periklanan, dan
8
2. Pengawasan dilakukan oleh pelaku usaha periklanan sendiri, biasanya oleh asosiasi usaha bisnis periklanan yang menyusun dan memberlakukan regulasi sendiri tersebut, dengan menggunakan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam regulasi sendiri itu. Ketentuan-ketentuan regulasi sendiri itu umumnya terlihat dalam beberapa bentuk kode etik atau kode praktek periklanan atau profesi tertentu. Antara lain yang kita ketahui adalah kode etik periklanan, kode etik advokat, kode etik pers dan jurnalistik, kode etik kedokteran, kode etik pemasaran air susu ibu, kode etik usaha kefarmasian, dan sebagainya. Bagi organisasi usaha atau profesi, dengan penerbitan regulasi sendiri itu sasaran yang ingin dicapai adalah untuk menjaga citra usaha atau profesi dari mereka yang terlibat dalam usaha atau profesi tersebut. Kalangan profesi kedokteran Indonesia menyusun kode etik mereka dengan pertimbangan-pertimbangan antara lain sebagai berikut; “Sejak perwujudan dan sejarah kedokteran, seluruh umat manusia mengakui adanya beberapa sifat mendasar (fundamental) yang melekat secara mutlak pada diri seorang dokter yang baik dan bijaksana yaitu kemurnian niat, kesungguhan kerja, kerendahan hati serta integritas ilmiah dan social yang tidak diragukan.” Selanjutnya, kelurahan dan kemuliaan setiap dokter sebagai profesi, ditegaskan lagi dalam Mukaddimah Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Keluhuran dan kemuliaan ini ditunjukkan oleh 4 sifat dasar yang harus ditunjukkan oleh setiap dokter, yaitu; 1.
Kemurnian niat.
9
2.
Kesungguhan Kerja
3.
Kerendahan hati, serta
4.
Integritas ilmiah dan sosial Dalam bidang profesi lainnya, bidang periklanan, penyusunan kode etik periklanan disebut dengan nama tata Krama dan tata Cara Periklanan Indonesia, terlihat pendirian para pemrakarsanya seperti tercermin dalam bab Pendahuluan kode etik tersebut; Demi melindungi nilai-nilai budaya bangsa yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 serta tanggung jawab social, perlu ditetapkan etika periklanan yang mengatur Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Nasional. Di luar negeri, juga terdapat pemikiran bersamaan. Antara lain terlihat dalam “Creative code” yang disusun oleh American Assosiation of Advertising Agencies (AAAA) sebagai berikut : The members of the American Assosiation af Advertising Agencies recognize: 1. That advertising bears a dual responsibility in the American economic sistem and way of life. 2. To the public it is a primary way of knowing about the goods and services wich are the product of American free enterprise, goods and service wich can be freely chosen to suit the desiree and needs of the individual. The public is entitled to expect that advertising will be reliable in content and honest in presentation. Begitu pula terdapat hal menarik lainnya dalam “Model Statute” yang diusulkan oleh majalah organisasi industri periklanan Printers’ink dan
10
kemudian naskah tersebut disahkan oleh organisasi Affiliated advertising club dalam salah satu konvensinya di Boston tahun 1911, yang berbunyi : “ Any person, firm, corporation or agent or employee thereof who, with intent to sell, purchase or to any wise dispose of, or to contract with reference to merchandize, real estate, service employment of anything offered by such person, firm, corporation or association, or agent or employee thereof, directly or indirectly, to the public for sale, purchase, distribution or the hire of personal services, or with intent to increase the consumption of or to contract with reference to any merchandize, real estate, securities, service or employment or induce the public in any manner to enter in to any obligation… which… advertisement…contains any assertion, representation or statement of fact which is untrue, deceptive, or misleading,… shall be guilty of a misdemeanor…” Saran ini kemudian disepakati dan selanjutnya dimuat dalam peraturan perundang-undangan dari seluruh negara bagian AS kecuali di 3 (tiga) negara bagian. Istilah regulasi sendiri atau self regulation ini digunakan baik di Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara bekas jajahannya, serta secara umum telah dikenal dan digunakan juga dibagian-bagian lain dunia. Di Amerika Serikat, regulasi sendiri ini ditegakkan oleh badan yang bernama “Better Business Bureaus” (BBB). Di Indonesia keadaan seperti terurai diatas terlihat pula pada pengesahan Tata Krama dan Tata cara Periklanan Indonesia pada tahun 1981 dan penyempurnaanna pada tahun 1996. Tata Krama tersebut disahkan oleh organisasi peserta konvensi periklanan Indonesia. Konvensi ini terdiri dari. 1. Asosiasi Pemrakarsa dan penyantun Iklan Indonesia (ASPINDO) 2. Asosiasi Perusahaan Media Luar Ruang Indonesia (AMLI)
11
3. Persatuan perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) 4. Gabungan Perusahaan Bioskop Indonesia (GPBI) 5. Persatuan radio Siaran swasta Indonesia (PRSSNI) 6. Serikat Penerbit Surat Kabar (SPSK) 7. Yayasan televisi republik Indonesia (Yayasan TVRI) Dalam ikrar mereka tanggal 19 agustus 1996 dinyatakan bahwa : “(Dengan penuh kesungguhan). Untuk mematuhi segala ketentuan dalam Tata krama dan tata Cara Periklanan Indonesia yang disempurnakan yang terdiri dari penambahan 24 Klausul baru dalam 3 Bab lama dan 58 klausul baru dalam 3 (tiga) bab baru” 2. Pengertian Regulasi Sendiri Dari uraian diatas beberapa ahli menarik kesimpulan bahwa pengertian regulasi sendiri dapat diartikan antara lain : a. Etika adalah sistem dari prinsip-prinsip moral dan pelaksanaannya (Ethics is a sistem of moral principle and practices) b. Etika adalah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kewajiban manusia. Etika adalah cabang dari filsafat yang berhubungan dengan moral, bersamaan dengan estetika berhubungan dengan keindahan, dan
epistemology
yang
berhubungan
dengan
kemungkinan
pengetahuan manusia. Karena itu, ia peduli pada penunjuk arah, sifat atau sasaran dari prinsip-prinsipmoral dan alasan kehadirannya. Etika meneliti tentang alasan atau bentuk dari perilaku manusia, apa yang baik dan apa yang buruk dari perilaku manusia itu dan mengapa jenis tertentu perilaku itu baik atau buruk adalah masalah utama dari ilmu pengetahuan itu.
12
c. tata krama dan tata cara periklanan timbul dari kesadaran dan prakarsa masyarakat periklanan sendiri yang menginginkan sarana untuk mengatur diri sendiri (self regulation) Dari berbagai batasan yang telah disusun seperti tersebut di atas, kiranya dapat ditarik kesimpulan
bahwa regulasi sendiri usaha atau profesi itu
adalah; “Suatu perangkat prinsip-prinsip tentang tingkah laku atau perilaku bisnis atau profesi yang ditetapkan sendiri oleh kalangan bisnis atau profesi itu, dan berlaku bagi kalangannya sendiri dan dalam hubungan-hubungan dengan pihak-pihak lain”. Keadaan penerapan sendiri regulasi sendiri ini jelas berbeda dengan penerapan hukum yang kita kenal. Kita ketahui penerapan peraturan perundang-undangan diselenggarakan oleh alat-alat perlengkapan negara yang antara lain adalah pengadilan. Pengadilan ini berdasarkan kewenangan yang diperolehnya berdasarkan undang-undang yang berlaku, menerapkan terhadap setiap pelanggar hukum yang dibawa ke hadapannya sanksi-sanksi tertentu sebagaimana termuat dalam undang-undang tersebut. 3. Beberapa Bentuk Regulasi Sendiri Di Indonesia terdapat cukup banyak regulasi sendiri usaha atau profesi. Pada kalangan profesi pengacara/advokat terdapat kode etik Persatuan Advokat Indonesia. Di kalangan profesi kedokteran ada kode etik kedokteran Indonesia, sedang dikalangan usaha atau ahli farmasi terdapat kode etik usaha kefarmasian. Selanjutnya, dalam kalangan perusahaan pers terdapat kode etik perusahaan pers. Untuk kalangan periklanan terdapat tata krama dan tata cara periklanan Indonesia.
13
Dengan adanya berbagai kode etik atau tata krama atau tata cara itu diharapkan para pelaku usaha dan profesi yang tergabung dalamnya dapat lebih mendarma baktikan kegiatan usaha atau profesinya bagi kepentingan rakyat banyak pada umumnya, para konsumen Indonesia pada khususnya, dan tidak hanya bagi memenuhi kepentingan usaha atau profesinya sendiri. Pertanggungjawaban mereka tidak hanya terhadap para pemegang saham usaha atau profesi itu, tetapi lebih-lebih lagi terhadap negara dan bangsa pada umumnya. Untuk menegakkan prinsip-prinsip seperti termuat dalam kode etik tersebut, telah dibentuk berbagai badan pelaksana kode etik atau tata krama dan tata cara. Diantaranya yang memasyarakat antara lain adalah dewan Kehormatan PWI bagi penerapan kode etik perusahaan pers, Majelis Pembinaan Etik Usaha kefarmasian bagi kode etik usaha kefarmasian Indonesia, Komisi Periklanan bagi penerapan tata krama dan tata cara periklanan Indonesia, dan majelis Kehormatan etik Kedokteran bagi penerapan kode etik kedokteran Indonesia. Masing-masing lembaga tersebut menerapkan kode etik masing-masing dengan ukuran yang berbeda-beda, yang satu lebih lengkap dari yang lain. Tetapi kesemuanya berpendirian sama yaitu untuk menjaga citra usaha dan profesi masing-masing. Tentu saja dalam proses penerapan itu, sekalipun niatnya adalah bersamaan, tetapi praktek yang dilihat kadang-kadang menyakitkan hati. Kadang-kadang kita kehilangan kepercayaan apakah dibuatnya tolok ukur usaha dan profesi itu sunguh-sungguh untuk dilaksanakan sesuai bunyinya atau sekadar “mengikuti pola atau mode yang hidup dalam masyarakat”. 4. Tinjauan pada beberapa Regulasi Sendiri
14
Di atas telah diterangkan betapa banyak kode etik-kode etik Indonesia. Karena itu, agaknya beberapa diantaranya perlu mendapatkan perhatian. Gambaran tentang kode etik tertentu dan proses penerapannya dapat dilihat dengan cara menyajikan tinjauan atas beberapa kode etik tertentu. Dibawah dicoba menyajikan tinjauan itu atas beberapa kode etik atau tata krama dan tata cara tersebut. Kode etik yang termasuk kajian ini antara lain : a. Kode etik kedokteran Indonesia. b. Kode etik usaha kefarmasian Indonesia. c. Tata krama dan tata cara periklanan Indonesia. Ketiga kode etik ini dikaji karena disamping popularitasnya juga masalah yang berkaitan dengan perlindungan konsumen sangat banyak terdapat dalam kode etik ini. Pelayanan dokter pada pasien yang kurang memadai, atau obat-obat yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan atau bahkan palsu, sudah merupakan pengalaman konsumen Indonesia masa kini dan masa-masa lalu. Periklanan yang menyesatkan atau menipu, bersifat menjurus kearah yang tidak baik juga demikian halnya.
I. PENGERTIAN REGULASI SENDIRI (Self Regulation)
Regulasi Sendiri adalah “ suatu perangkat prinsip-prinsip tentang
tingkah laku atau perilaku bisnis atau profesi yang ditetapkan sendiri oleh kalangan bisnis atau profesi itu, dan berlaku bagi kalangan sendiri dan dalam hubungan-hubungan dengan pihak-pihak lain.”
Regulasi sendiri ini dimaksudkan
sesungguhnya
atau
untuk
standar (minimum)
menentukan tolok ukur perilaku
tertentu bagi
perusahaan-perusahaan atau pelaku usaha-pelaku usaha yang terikat
15
atau tunduk kepadanya. Dengan dipatuhinya regulasi sendiri tesebut dapat terjaga citra usaha perusahaan dalam masyarakat.
Dengan adanya regulasi sendiri ini, maka akan terdapat 2 (dua) sistem
pengawasan : o
Pengawasan
peraturan-peraturan
oleh
dengan mempergunakan
pemerintah
perundang-undangan,
baik
yang
langsung
maupun yang tidak langsung; o
Pengawasan yang dilakukan oleh pelaku usaha sendiri ,
biasanya
oleh
asosiasi perusahaan
yang
bersangkutan
yang
menyusun dan memberlakukan regulasi sendiri tersebut, dengan mempergunakan ketentuan-ketentuan yang teradapat dalam regulasi sendiri tersebut. II. BEBERAPA BENTUK REGULASI SENDIRI
Di Indonesia telah terdapat beberapa regulasi sendiri usaha atau
profesi, di antaranya : o
Pada kalangan profesi pengacara atau advokat terdapat Kode
Etik Persatuan Advokat Indonesia; o
Di
kalangan
profesi
kedokteran
terdapat
Kode Etik
Kedokteran Indonesia; o
Di Kalangan usaha kefarmasian teradapat Kode Etik Usaha
Kefarmasian, dan sebagainya.
Di Amerika Serikat juga dikenal regulasi sendiri (self
regulation) sebagaimana terlihat dalam “Creative Code” yang disusun
oleh American Association of Advertising Agencies (AAAA) sebagai berikut : The members of The American Association of Advertising Agencies recoqnize :
16
•
That advertising bears a dual responsibility in the American economic system and way of live
•
To the public it is a primary way of knowing about the goods and services which are the product of American free enterprise, goods and services which can be freely chosen to suit the desiree and needs of the individual. The public is entitled to expect the advertising will be reliable in content and honest in presentation.
Untuk menegakkan prinsip-prinsip seperti yang termuat
dalam kode etik tersebut, telah dibentuk berbagai badan pelaksana kode etik atau tata krama dan tata cara, misalnya : o
Bagi
Kode Etik Jurnalistik diawasi oleh
Dewan Kehormatan PWI ; o
Bagi Kode Etik Perusahaan Pers diawasi oleh
Dewan Kehormatan Pers; o
Bagi Kode Etik Usaha Kefarmasian diawasi
oleh Majelis Pembina Etik Usaha Kefarmasian; o
Bagi Tata Krama dan Tata Cara Periklanan
Indonesia diawasi oleh Komisi Periklanan ; o
Bagi
Kode Etik Kedokteran Indonesia
diawasi oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran.
III. TINJAUAN PADA BEBERAPA REGULASI SENDIRI
A. Kode Etik Kedokteran Indonesia
Disusun
oleh
Musyawarah
Kerja
Nasional
Etik
kedokteran Indonesia ke –2, dan diperbaharui lagi dalam Rapat Kerja Nasional Majelis Kehormatan Etik Kedokteran, Majelis Pembinaan dan
17
Pembelaan Anggota pada tanggal 28 Oktober 1993. pemberlakuannya disahkan oleh dan dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 434/Men.Kes/SK/X/1993, serta dimuat dalam lembaran negara Republik Indonesia. Kode Etik Kedokteran ini berlaku tidak hanya atas dokter
yang menjadi anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI), tetapi juga berlaku bagi dokter yang berkerja secara fungsional dan terikat pada organisasi itu di bidang pelayanan, pendidikan, dan penelitian kesehatan dan kedokteran. Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia termuat
dalam Tata Laksana Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI, Surat Keputusan Pengurus Besar IDI No. 170/PB/A.4/II/1989 dan disahkan oleh Muktamar IDI ke 21 tahun 1991 di Yogyakarta. Tersusun dalam Mukaddimah, dengan sejumlah 20
pasal, dan ketentuan penutup. Antara lain : o
Pasal 1 – 9 mengenai Kewajiban Umum;
o
Pasal 10 – 15 mengenai Kewajiban Dokter Terhadap Penderita;
o
Pasal 16 dan 17 mengenai Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat;
o
Pasal 18 – 20 mengenai Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri.
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran berfungsi untuk
membimbing, mengawasi, dan menilai perilaku dokter dalam menjalankan tugas mereka memelihara kesehatan para konsumen.
Adapun yang menjadi kewenangan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran adalah :
18
Menyampaikan pertimbangan dan usul secara lisan atau
o
tertulis, diminta atau tidak, tentang penerapan etik kedokteran kepada pengurus IDI. Melaksanakan
o
tugas
bimbingan
pelaksanaan
etik
kedokteran kepada seluruh dokter di wilayahnya. Melaksanakan tugas pengawasan penerapan kode etik
o
kedokteran di seluruh wilayahnnya. Melaksanakan tugas penilaian pelaksanaan kode etik
o
kedokteran yang dilakukan oleh seluruh dokter di wilayah kerjanya. Pelaksanaan
o
tugas
bimbingan
dan
pengawasan
pelaksanaan kode etik bersama pengurus IDI dan perangkat jajaran yang sesuai. Pelaksanaan
o
tugas
penilaian
pelaksanaan
etik
kedokteran dilakukan melalui masing-masing Majelis Kehormatan Etik Kedokteran.
B. KODE ETIK USAHA FARMASI Kode Etik Usaha Farmasi ditetapkan dalam
Musyawarah Nasional Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia ke IX tahun 1993. Tujuan kode etik ini adalah untuk membina
usaha farmasi yang sehat dan bertanggung jawab, dilandasi oleh rasa ketulusan dan pengabdian kepada upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat. (Pasal 1 Kode Etik Usaha Farmasi). Ruang lingkup berlakunya kode etik ini
meliputi informasi, detailer, contoh obat, sumbangan dan insentif bagi pelanggan,
pengiklanan
produk
obat
bebas,
pengemasan,
dan
penandaan, bahan-bahan promosi, iklan dalam majalah profesi, riset
19
pemasaran, harga, distribusi dan pelayanan, hubungan masyarakat dan media massa, dan hubungan antara sesama anggota. (Pasal 2). Tugas utama monitoring, pengawasan,
bimbingan dan pembinaan berdasarkan kode etik ini diselenggarakan oleh Majelis Pembina Kode Etik Usaha Farmasi Indonesia.
C. KODE ETIK PERIKLANAN INDONESIA/ TATA KRAMA DAN TATA CARA PERIKLANAN INDONESIA Pertama sekali dibentuk tahun
1981 oleh Konvensi Periklanan,
yang diprakarsai
oleh Asosiasi
Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia (ASPINDO), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), Badan Periklanan Media Pers Nasional-Serikat Penerbit Surat Kabar (BPMN-SPS), Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI), dan Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI). Pada tanggal 19
Agustus
1996, Tata Krama dan Tata Cara Periklanan mengalami penyempurnaan dengan penambahan 24 klausul baru dalam tiga bab lama dan 58 klausul baru dalam tiga bab baru. Tata Krama dan Tata Cara
Periklanan Indonesia terdiri dari 5 (lima) bab pengertian-pengertian pokok dan 2 (dua) lampiran, yaitu : Bab II memuat tentang
o
Tata Krama, terdiri atas asas-asas umum, penerapan umum dan penerapan khusus. Bab
o
III
memuat
tentang Tata cara hubungan antar unsur yang berkepentingan dalam periklanan, terdiri dari perilaku periklanan dan pemerintah, perilaku periklanan dan konsumen,
pengiklan dan perusahaan periklanan
20
meliputi media-media cetak, media elektronik, media bioskop dan media luar ruang, dan hubungan media rekaman dan pemesan. o
penerapan
dan
prosedur
pengawasan,
Bab
IV
mengatur
terdiri
dari
asas-asas
pengawasan, penerapan pengawasan, serta prosedur pengawasan. Bab V tentang bobot
o
pelanggaran dan pengenaan sanksi. Lampiran 1 memuat
o
ketentuan-ketentuan hukum yang harus diperhatikan insan periklanan dalam menjalankan fungsinya. Lampiran 2 memuat
o
ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan Komisi Periklanan Indonesia yang ditugasi untk menjalankan pembinaan kehidupan dan pertumbuhan periklanan nasional yang sehat dan bertanggung jawab. Pengawasan
tata krama dan tata cara periklanan ini diserahkan kepada badan tersendiri yaitu Komisi Periklanan Indonesia, yang dibentuk untuk mengembangkan dan mendayagunakan seluruh aset periklanan nasional untuk kepentingan seluruh masyarakat. Disamping itu Komisi mempunyai tugas pula untuk : o
Mengubah bentuk atau bobot sanksi yang akan dijatuhkan
asosiasi; o
Menjadi penengah perselisihan antar para anggota asosiasi yang
berbeda; o
Atas permohonan salah satu anggota asosiasi memberikan
pengesahan atas naskah atau materi periklanan; o
Memberikan rekomendasi kepada dewan pers, instansi pemerintah
atau lembaga-lembaga negara mengenai pelaksanaan, penegakan, dan pengawasan tata krama dan tata cara periklanan;
21
o
Wajib secara berkala melakukan pembinaan dan upaya perbaikan
tata krama dan tata cara periklanan.
MATERI KULIAH IV SEJARAH GERAKAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Gerakan Perlindungan Konsumen di Amerika Serikat dan Negara-Negara Maju Lainnya.
Menurut David A. Rice , sejarah gerakan perlindungan konsumen di
Amerika Serikat di bagi dalam 4 (empat) subbahasan : o
Regulation of Feudal Market Transactions
o
Legal Tradition of Caveat Emptor
o
Twentieth
Century
Judicial Limitation of Caveat
Emptor o
Development of Public Regulation
o
Contemporary Developments in Public Regulation.
1.
Regulation of Feudal Market Transactions Perkembangan gerakan perlindungan konsumen
•
di Amerika Serikat dipengaruhi oleh pemukim-pemukim pertama negara tersebut pada saat masih bermukim di Inggris, di mana pengaturan hukum dan kasus-kasus yang menyangkut transaksi perdagangan Inggris merupakan embrio bagi tumbuhnya kesadaran para imigran yang memasuki Benua Amerika. Pada tahun 1256 di Inggris diatur perlindungan
•
buat pembeli roti dan ale (sejenis bir) berdasarkan ketentuan gereja. Berdirinya Merchants Courts yaitu pengadilan
•
yang
bertugas
memeriksa
22
perkara
pelanggaran
transaksi
perdagangan dalam tingkat lokal, yang kemudian diperluas sehingga melingkupi transaksi perdagangan perkotaan dan juga pedagangpedagang dari luar Inggris. Diberlakukannya The Statute of Apprentices
•
pada tahun 1563, yang bertujuan mengurangi tindakan penipuan terhadap konsumen dan memaksa diterapkannya suatu standar kualitas atas produk-produk tertentu. (Lebih bersifat H publik).
2. •
Legal Tradition of Ceveat Emptor Sangat dipengaruhi oleh semangat Laissez Faire (bebas merdeka), yang menuntut adanya kebebasan dalam perdagangan (free enterprise) , superioritas dari pasar (The Superiority of The Market)
dan menolak adanya campur tangan pemerintah sebagai regulator.
(The Free Market Theory). •
Konsumen sebagai pribadi dianggap memiliki kemampuan untuk memutuskan produk apa yang akan dibelinya, serta dapat menjadi paduan bagi produsen dalam mengalokasikan sumber-sumber produksinya dalam persaingan pasar. Keinginan konsumen adalah panduan ekonomi untuk memproduksi barang dan jasa yang dihasilkan. (Theory of Consumer Sovereignty).
•
Pada masa ini konsumen ternyata tidak memperoleh perlindungan yang memadai dari praktek perdagangan yang tidak sehat (unfair trade practices)
yang dilakukan oleh pelaku usaha, ditambah
dengan dianutnya Asas hukum yang disebut Caveat Emptor atau Let The Buyer Beware,
di mana kepada konsumen diserahkan
sepenuhnya tanggung jawab untuk mempertahankan hak-haknya, jika ia kalah dalam memperoleh hak-haknya tersebut berarti itu karena kebodohan dan kesalahannya sendiri. •
Lahirnya Liga Konsumen di Amerika Serikat pada tahun 1891 di kota New York, yang dinilai positif untuk mempromosikan hak-hak
23
konsumen. Kemudian dibentuk Liga Konsumen nasional (The
National Consumer’s League). 3.
Twentieth Century Judicial Limitation of Caveat
Emptor •
Pada masa ini kapasitas produksi meningkat serta didukung
dengan sarana distribusi yang baik , muncullah Konsumen antara (intermediate consumers) seperti distributor, atau penyalur. •
Tradisi caveat emptor belum ditinggalkan, serta produsen sering
berlindung dari tanggung jawab dengan mempergunakan kontrak baku yang dirumuskan secara sepihak. Konsumen tinggal menerima atau menolak (take it or leave it) kontrak baku yang disodorkan oleh pelaku usaha. •
Penggunaan kontrak baku ini sejalan dengan dianutnya Prinsip
The Privity of Contract, di mana pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal tersebut baru dilakukan jika diantara mereka terdapat hubungan kontraktual. •
Prinsip The Privity of Contract
dipatahkan oleh keputusan
pengadilan dalam kasus Mc Pherson v. Buick Motor Co. Demikian pula penggunaan kontak baku dianulir oleh pengadilan, antara lain dalam kasus Henningsen v. Bloomfiled Motors Inc., dan kasus Unicp v. Owen.
4.
Development of public Regulation •
Perhatian terhadap perlunya perlindungan terhadap konsumen
telah mengugah Kongres Amerika Serikat melahirkan Peraturan tentang Makanan dan Obat-Obatan (The Food and Drugs Act) dan The Meat Inspection Act pada tahun 1906.
24
•
Pada tahun 1914 terbentuklah badan yang independen yang
bergerak dibidang perlindungan konsumen, yaitu The Federal
Trade Commission (FTC) yang mempunyai tugas mengawasi pelaksanaan The 1914 Federal Trade Commission Act.
5.
Contemporary
Developments
in
Public
Regulation. •
Pada priode 1930-1950-an, pemerintah federal telah mengeluarkan berbagai peraturan yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan peraturan-peraturan negara bagian. Antara lain Amandemen terhadap The 1914 Federal Commision Act , diundangkannya The Food, Drugs, and Cosmetic Act, The Woll Product Labeling Act 1940, The Food Product Labeling Act 1951, serta The Fiber Products Identification Act 1958, dan sebagainya.
•
Pada tahun 1962, Presiden Jhon F. Kennedy mengucapkan pidato kenegaraannya di hadapan Kongres Amerika Serikat yang berjudul “Special Massages of Protection The Consumer interest.” Di mana
dalam pidato kenegaraan ini, presiden mengemukakan beberapa hak konsumen :
a. The right to safety b. The right to be informed c. The right to choose d. The right to be heard •
Penganti Presiden Jhon F Kennedy, yaitu Presiden L.B. Johnson,
telah berjasa memperkenalkan suatu konsep baru dalam perlindungan konsumen yang sekarang lazim disebut
Product Warranty dan
Product Liability , serta berhasil mengajukan rancangan undang-
25
undang tentang Lending Charges, dan Packaging Practices yang disetujui oleh Kongres Amerika Serikat pada tahun 1967 dan 1968. Gerakan perlindungan konsumen juga merambah
negara-negara diberbagai belahan dunia dengan melahirkan aturanaturan khusus yang memberikan perlindungan terhadap konsumen, diantaranya : o
Singapura,
dengan
The
Consumer
Protection (Trade Description and Safety Requairement) Act 1975; o
Thailand, dengan Consumer Protection Act
1979; o
Jepang, dengan The Consumer Protection
Fundamental Act 1960; o
Australia, dengan Consumer Affairs Act
1978; o
Irlandia, dengan Consumer Information Act
1978; o
Finlandia, dengan Consumer Protection Act
1978; o
Inggris, dengan The Consumer Protection
Act 1970, seperti yang telah diamendir tahun 1971; o
Kanada, dengan The Consumer Protection
Act dan The Consumer Protection Amandement Act 1971; o
Amerika Serikat, dengan The Uniform
Trade Practise and Consumer Protection Act 1967, sebagaimana telah
diamendir tahun 1969, dan 1970, kemudian Unfair Trade Practice and Consumer Protection (Lousiana) 1973.
26
B.
Gerakan Perlindungan Konsumen di Indonesia Gerakan perlindungan konsumen di
Indonesia, benih-benihnya telah mulai terlihat pada peraturan perundangundangan dari masa Hindia Belanda, misalnya : Reglement
o
industriele
Eigendom, Stb. 1912 No. 545, Jo. Stb. 1913 No. 214. Loodwit
o
Ordonnantie
(Ordonansi Timbal Karbonat) Stb. 1931 No. 28. Hinder
o
ordonnantie
(Ordonansi Gangguan) Stb. 1926 No. 226 Jo. Stb. 1927 No. 449, Jo. Stb. 1940 No. 14 dan 450. Tin Ordonnantie (Ordonansi
o
Timah Putih), Stb. 1931 No. 28. o
Vuurwerk
Ordonnantie
Verpakkings
Ordonnantie
(ordonansi petasan) Stb. 1932 No. 143 o
(ordonansi kemasan) Stb. 1935 No. 161 Ordonnantie
o
Pp
de Slach
Belasting (Ordonansi Pajak Sembelih) Stb. 1936 No. 671. Sterwerkannde
o
Genoesmiddelen Ordonnantie (Ordonansi Obat Keras) Stb. 1937 No.
641. Bedrijfsreglementerings
o
Ordonnantie (Ordonansi Penyaluran Perusahaan) Stb. 1938 No. 86. Ijkordonnantie
o
(Ordonansi
Tera) Stb. 1949 No. 175. Gevaarlijke
o
Stoffen
Ordonnantie (Ordonansi Bahan-bahan Berbahaya) Stb. 1949 No.377
27
Pharmaceutische
o
Stoffen
Keurungs Ordonnantie, Stb. 1955 No. 660.
Setelah
merdeka,
perhatian
terhadap
perlindungan
Indonesia
konsumen
belum
mengembirakan, hal ini dapat dilihat dari masih kerap kali terjadinya korban-korban yang berjatuhan tanpa dibarengi sanksi yang tegas maupun pemberian ganti kerugian. Masih
diteruskannya
pola pengaturan perlindungan konsumen lama dengan dititipkan pada peraturan perundangan-undangan yang bersifat pluralistis dan ditujukan pada masyarakat umum, misalnya UU No. 9 tahun 1976 tentang Narkotika, UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, yang tentunya tidak memberikan perlindungan yang cukup kepada konsumen. Gerakan perlindungan
konsumen memasuki babak baru dengan berdirinya lembaga swadaya masyarakat yang bernama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang tahun 1988, Yayasan Lembaga Bina Konsumen Indonesia, yang
dapat
dijadikan
sebagai
sarana
bagi
konsumen
untuk
menyampaikan keluhan-keluhannya, dan untuk memperoleh pendidikan konsumen. Yayasan
Lembaga
Konsumen Indonesia mencatat prestasi sebagai salah satu pemrakarsa Undang-Undang Perlindungan Konsumen di Indonesia, yang kemudian disahkan mmenjadi UU No. 8 tahun 1999. YLKI juga berperan untuk melakukan advokasi kepada konsumen, dan mewakili konsumen untuk melakukan gugatan kelompok (class action).
28
MATERI KULIAH V BEBERAPA PENGERTIAN DALAM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha
UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, memberikan
defenisi konsumen sebagai “setiap orang pemakai barang dan atau
jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kpentingan diri sendiri, keluarga, oarang lain, maupun mahluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan.” Dari defenisi tersebut terdapat suatu pemahaman yang pada umumnya dianut dalam UUPK diseluruh dunia, bahwa konsumen haruslah pemakai akhir dari suatu barang maupun jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan. Tetapi disisi lain UUPK tersebut tidak memberikan suatu ketegasan apakah badan hukum atau suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai akhir dapat dikategorikan sebagai konsumen.
Defenisi yang lebih luas diberikan oleh UUPK Spanyol yang
Any individual or company who mendefenisikan Konsumen sebagai “ the ultimate buyer or user of personal or real property, products, services, or activities, regardless of wheather the seller, supplier, or producer is a public or private entity, acting alone or collectively.”
Sebaliknya di Australia, pengertian konsumen malahan dibatasi
hanya dalam batas nominal tertentu, sebagai mana diatur dalam Consumer Wealth of Australia Trade Practice Act 1874/1977 article 48
29
(1)a., Konsumen adalah “setiap
orang yang mendapatkan barang
tertentu dengan harga yang ditetapkan (setinggi-tingginya A $ 15.000) atau kalau harganya melampaui maka (1) The goods were of a kind ordinarily acquired for personal domestic, or hause hold use consumption or the goods consisted of commercial road vechille, (2) The services were of a kind ordinarily acquaired for personal, domestic, or house hold use consumption.” Pasal 1 Butir (3) UUPK memberikan penjelasan mengenai pengertian
Pelaku Usaha, yaitu “setiap orang atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah Republik Indonesia , baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”. Menurut Penjelasan UU Perlindungan Konsumen pelaku usaha meliputi perusahaan, korporasi, badan usaha milik negara, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan sebaginya.
Jalinan hubungan yang tercipta antara Konsumen dan Pelaku usaha
dapat terbentuk melalui beberapa tahapan transaksi antara konsumen dengan produsen, yaitu : o
Tahapan Pratransaksi Konsumen
Dalam tahap pra transaksi konsumen ini, konsumen masih dalam proses
pencarian
informasi
atas
suatu
barang,
peminjaman,
penyewaan, atau leasing. Di sini konsumen membutuhkan informasi yang akurat tentang karakteristik suatu barang dan/atau jasa.
30
o
Tahap Transaksi Konsumen Konsumen melakukan transaksi dengan pelaku usaha dalam suatu perjanjian (jual beli, sewa menyewa, atau bentuk lainnya). Antara kedua belah pihak betul-betul harus beritikad baik sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Di negara-negara maju konsumen diberikan
kesempatan
untuk
mempertimbangkan
apakah
akan
memutuskan membeli / memakai suatu barang dan atau jasa dalam tengang waktu tertentu atau membatalkannya . o
Tahap Purna Transaksi Konsumen Tahap ini dapt disebut sebagai tahap purna jual atau after sake service, di mana penjual menjanjikan beberapa pelayanan cuma-cuma
dalam jangka waktu tertentu. Pada umumnya, penjual menjanjikan garansi atau servis gratis selama priode tertentu.
B. Hak dan kewajiban Konsumen
Hak konsumen sebagaimana dikemukakan Presiden Amerika Serikat
Jhon F Kennedy : 1.
Hak untuk memperoleh keamanan;
2.
Hak untuk memilih;
3.
Hak untuk mendapatkan informasi;
4.
Hak untuk didengar;
Kemudian International Organization of Consumer Union (IOCU) menambahkan dengan : 5.
Hak untuk meminta ganti rugi;
6.
Hak pendidikan konsumen.
31
Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa No.
39/248 pada Sidang Umum PBB ke 106 tanggal 9 April 1985 : menjabarkan beberapa hak konsumen : 1.
Perlindungan terhadap konsumen dari bahaya terhadap
kesehatan dan keamanannya; 2.
Promosi dan perlindungan pada kepentingan ekonomi
konsumen; 3.
Tersedianyan
informasi
yang
mencukupi
sehingga
memungkinkan dilakukannya pilihan yang sesuai dengan kehendak dan kebuthan; 4.
Pendidikan konsumen;
5.
Tersedianya cara-cara ganti rugi yang efektif;
6.
kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen dan
diberikannya
kesempatan
kepada
mereka
untuk
menyatakan
pendapat sejak saat proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan konsumen.
Pasal 4 Bab III Hak dan Kewajiban UUPK No. 8 tahun 1999
mengatur hak konsumen sebagai berikut : 1.
Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa; 2.
Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan
barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; 3.
Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur, mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; 4.
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
perlindungan kosumen secara patut; 5.
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
32
6.
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif; 7.
hak
untuk
mendapat
kompensasi,
ganti
rugi,
dan/atau
pengantian apabila barang dan /atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; 8.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.
KEWAJIBAN KONSUMEN
Selain hak kepada konsumen juga dibebankan suatu kewajiban yang harus
dipenuhi, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UUPK No. 8
tahun 1999 : 1.
Membaca atau megikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; 2.
Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa; 3.
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4.
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
C. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Secara tegas, UUPK telah mengatur hak dan kewajiban pelaku usaha dalam Pasal 6 UUPK, yang menentukan hak pelaku usaha adalah
sebagai berikut : 1.
Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai
dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 2.
Hak untuk memperoleh perlindungan hukum
dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
33
3.
Hak
untuk
melakukan
pembelaan
diri
sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; 4.
Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila
terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 5.
Hak-hak
yang
diatur
dalam
peraturan
perundang-undangan lainnya. Pada Masyarakat Ekonomi Eropa, pengertian Produsen
meliputi : 1.
Pihak yang menghasilkan produk akhir berupa
barang-barang manufaktur. Mereka ini langsung bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul dari barang yang mereka edarkan kepada masyarakat, termasuk bila kerugian yang timbul akibat cacatnya
barang yang merupakan komponen dalam proses
produksinya; 2.
Produsen bahan mentah atau komponen suatu
produk; 3.
Siapa saja yang dengan membubuhkan nama,
merek, ataupun tanda-tanda lain pada produk menampakkan dirinya sebagai produsen dari suatu barang. Salah satu hak yang dimiliki oleh Produsen yang diatur oleh
Masyarakat Ekonomi Eropa adalah “Hak untuk membebaskan Produsen dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, meskipun kerusakan timbul akibat cacat pada produk, yaitu apabila : 1.
Produk tersebut sebenarnya tidak diedarkan;
2.
Cacat timbul dikemudian hari;
3.
Cacat timbul setelah produk berada di luar
kontrol produsen; 4.
Barang yang diproduksi secara individuil tidak
untuk keperluan produksi;
34
5.
Cacat
timbul
sebagai
akibat
ditaatinya
ketentuan yang ditetapkan oleh penguasa; Di Amerika Serikat, pembebasan tanggung jawab diberikan
karena : 1.
Kelalaian si konsumen penderita;
2.
Penyalahgunaan produk yang tidak terduga
pada saat produk dibuat; 3.
Lewat jangka waktu penuntutan (daluwarsa)
yaitu 6 tahun setelah pembelian, atau 10 tahun sejak barang diproduksi; 4.
Produk pesanan pemerintah pusat;
5.
Kerugian
yang
timbul
(sebagian)
akibat
kelalaian yang dilakukan oleh Produsen lain dalam kerjasama produksi.
Kewajiban Pelaku Usaha ditentukan secara tegas dalam
Pasal 7 UUPK yang menentukan : 1.
Beritikad baik dalam menjalankan usaha;
2.
Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi, jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
3.
Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar, jujur, dan tidak diskriminatif;
4.
Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku; 5.
Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberikan jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;
35
6.
Memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
7.
Memberikan kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau manfaatkan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan. Untuk mengambarkan penerapan hak dan kewajiban yang dibebankan
oleh UU kepada konsumen maupun produsen secara bertimbal balik, patut disimak Kasus perjanjian jual beli sepeda motor yang disposisi perkaranya sebagai berikut : Oey Tjoeng Tjoen, konsumen yang bertempat tinggal di Sukabumi (Jawa Barat) memesan sepeda motor merk AJS pada pengusaha (penjual) NV. Super Radio Company di Jakarta. Karena pada saat diperjanjikan sepeda motor tersebut tidak dapat disediakan oleh penjual, terjadilah gugatan wanprestasi di Pengadilan Negeri Jakarta. Dalam gugatan konsumen yang diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta pada tanggal 6 Desember 1954, dikemukakan bahwa konsumen telah mengadakan pemesanan pembelian sepeda motor pada tanggal 6 april 1954 dengan mempergunakan Surat Pesanan dari penjual. Konsumen telah diwajibkan dan telah melunasi pembayaran uang muka sebesar Rp. 6500.- dan penjual berjanji akan menyerahkan sepeda motor tersebut dalam jangka waktu 4 bulan. setelah lampau tenggang waktu 4 bulan, penjual tidak memenuhi janjinya, juga setelah diberikan teguran oleh pembeli mengenai kelalaian tersebut. Dalam petitum gugatannya konsumen memohon agar penjual diperintahkan agar memenuhi kewajibannya, dan apabila masih juga lalai memenuhi kewajibannya juga dikenakan hukuman pengenaan uang paksa sebesar Rp. 100,setiap hari selama ia tidak melaksanakan perintah pengadilan tersebut. Pengadilan negeri mengabulkan gugatan konsumen pada tanggal 29
36
Juni 1955, dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi tanggal 26 juni 1957, dan Mahkamah Agung
menolak
kasasi penjual
dengan putusannya
tertanggal 26 Maret 1958 No. 24 K/Sip/1958. Yang menarik dalam kasus ini adalah bahwa pengadilan berpendapat formulir pemesanan kenderaan yang biasanya dipergunakan untuk memesan kenderaan, dipandang memiliki nilai sebagaimana halnya suatu kontrak, dan oleh karenanya mengikat kedua belah pihak.
C.
Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen Pasal
2
UUPK mengisyaratkan agar perlindungan konsumen
diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan atas 5(lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional : o
Asas manfaat : yang mengamanatkan agar segala upaya
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. o
Asas Keadilan : dimaksudkan agar partiipasi masyarakat
dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajiban secara adil; o
Asas keseimbangan : untuk memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spritual; o
Asas keamanan dan keselamatan konsumen :
dimaksudkan untuk memberikan jaminan keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. o
Asas kepastian hukum : baik pelaku usaha maupun
konsumen
menaati
hukum
dan
37
memperoleh
keadilan
dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Pasal 3 UUPK menegaskan tujuan perlindungan
konsumen sebagai berikut : o
Meningkatkan
kesadaran,
kemampuan,
dan
kemandirian konsumen untuk melindungi diri; o
Mengangkat harkat dan martabat konsumen
dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; o
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam
memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen. o
Menciptakan unsur perlindungan konsumen yang
mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; o
Menumbuhkan
kesadaran
pelaku
usaha
mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; o
Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang
menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
38
MATERI KULIAH VI PERBUATAN-PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Berkenaan dengan konsep pertanggungjawaban produk (product
liability) dan pertanggungjawaban dalam bidang jasa (profesional liability),
pelaku usaha berkewajiban untuk menjamin produk maupun jasa yang ditawarkan kepada konsumen memiliki standard mutu yang baik, tidak menimbulkan dampak yang dapat merugikan bagi keselamatan dan kesehatan konsumen, serta membuka akses bagi konsumen dalam memperoleh informasi secara benar dan jujur.
Realitas dilapangan masih banyak pelaku usaha yang nakal, dengan
melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Sebagai perbandingan berikut hasil survei YPKKI (Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia) berkerjasama dengan majalah Human Health terhadap 42 obat/jamu/suplemen penambah gairah pria yang paling banyak diminati konsumen : Jenis pelanggaran yang dilakukan antara lain :
39
NO
JENIS PELANGGARAN
1
Tidak mencantumkan No. Registrasi Depkes/Badan Pom Tidak mencantumkan nama produsen Tidak mencantumkan komponen pokok Tidak mencantumkan tata cara penggunaan Tidak mencantumkan tanda peringatan atau efek samping Tidak mencantumkan batas waktu daluarsa Tidak mencantumkan informasi dalam bahasa Indonesia
2 3 4 5 6 7
%
52,4 9,5 23,8 4,8
64,3 76,2 11,9
Pada garis besarnya perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha
terbagi atas 2 (dua) bagian, yaitu : o
Perbuatan
yang
berkenaan
kegiatan
produksi
dan/atau
perdagangan barang dan/atau jasa; o
Perbuatan yang berkenaan dengan penawaran, promosi, iklan
suatu barang dan/atau jasa;
A. Perbuatan Yang dilarang Berkenaan Dengan Kegiatan Produksi dan/atau Perdagangan Barang dan/atau Jasa.
Pasal 8 Ayat (1) UUPK menerangkan pelaku usaha dilarang
memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang : o
Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
40
o
Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih, atau netto, dan
jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; o
Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah
dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; o
Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau
kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; o
Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses
pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan dan/atau jasa tersebut; o
Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan, atau promosi penjualan barang dan/atau jasa; o
Tidak mencantumkan tanggal kedaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang palin baik atas barang tertentu; o
Tidak
mengikuti
ketentuan
berproduksi
secara
halal,
sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label. o
Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang
memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha, serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat; o
Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan
barang dalam bahasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 8 ayat (2) memuat larangan bagi pelaku usaha
untuk memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap, dan khusus bagi sediaan farmasi diatur dalam ayat (3).
41
B. Perbuatan Yang Dilarang Berkenaan Dengan Penawaran, Iklan, Maupun Promosi Barang dan/atau Jasa. Iklan merupakan sumber informasi produk sebagai bentuk nyata
pengakuan hak konsumen atas informasi, tetapi ternyata informasi telah dimanipulasi sedimikian rupa sehingga mengaburkan makna informasi yang sebenarnya, menimbulkan pola konsumsi yang didasarkan tidak pada kebutuhan, adanya iklan pancingan (bait and switch advertising) yang menawarkan barang-barang (semacam diskon)
padahal
tertentu dengan harga
pelaku usaha
tersebut tidak
khusus berniat
melakukannya atau melakukannya dalam jumlah yang tidak wajar.
Perbuatan-perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha berkenaan
dengan kegiatan penawaran, iklan, maupun promosi diatur dalam beberapa pasal UUPK, yaitu :
Pasal 9 ayat (1) UUPK, pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah : o
Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan
harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu; o
Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
o
Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau
memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja, atau aksesori tertentu; o
Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh suatu perusahaan
yang mempunyai sponsor, persetujuan, atau afiliasi; o
Barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
o
Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
42
o
Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
o
Barang tersebut berasal dari suatu daerah tertentu;
o
Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang
dan/atau jasa lain; o
Mengunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, atau
tidak berbahaya, tidak mengandung resiko, atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap; o
Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
Pasal 9 ayat (2) dan (3) UUPk melarang barang-barang seperti tersebut dalam ayat (1) untuk diperdagangkan, atau dilanjutkan penawaran, iklan, maupun promosinya. Pasal 10 UUPK melarang pelaku usaha dalam melakukan penawaran,
promosi,
maupun
iklan,
dilakukan
dengan
memberikan pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai : o
Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
o
Kegunaan barang dan/atau jasa;
o
Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu
barang dan/atau jasa; o
Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
o
Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
Pasal 11 UUPK melarang pelaku usaha yang melakukan penjualan dengan cara diobral atau lelang, disertai dengan tindakan mengelabui/menyesatkan konsumen : o
Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah
memenuhi standar mutu tertentu;
43
o
Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-oleh tidak
mengandung cacat tersembunyi; o
Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan
dengan maksud untuk menjual barang lain; o
Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah
yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain; o
Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam
jumlah yang cukup dengan maksud menjual jasa yang lain; o
Menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum
melakukan obral.
Pasal 12 UUPK melarang pelaku usaha untuk menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu tertentu, jika pelaku
usaha
tersebut
tidak
bermaksud
untuk
melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan. Pasal 13 ayat (1) UUPK melarang pelaku usaha untuk menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikantidak sebagai mana diperjanjikan. Sedangkan dalam Pasal 13 ayat (2) berkenaan dengan larangan
untuk
menawarkan,
44
mempromosikan,
atau
mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara memberikan hadiah berupa barang dan/atau jasa lain. Berkenaan dengan kegiatan penawaran barang dan/atau jasa yang disertai dengan pemberian hadiah melalui cara undian, maka pelaku usaha dilarang untuk : o
Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang
dijanjikan; o
Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa;
o
Memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
o
Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang
dijanjikan. (Pasal 14 UUPK).
Di samping itu pelaku usaha dilarang untuk menawarkan barang dan/atau jasa disertai dengan pemaksaan atau cara lainnya yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis. (Pasal 15). Dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa yang dilakukan melalui pesanan, pelaku usaha dilarang untuk : o
Tidak
menepati
pesanan
dan/atau
kesepakatan
waktu
penyelesaian sesuai yang dijanjikan. o
Tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.
(Pasal 16 UUPK)
45
Bagi pengusaha periklanan, dilarang untuk memproduksi iklan yang : o
Mengelabui konsumen mengenai
kualitas, kuantitas bahan,
kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa, serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa; o
Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
o
Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai
barang dan/atau jasa; o
Tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang
dan/atau jasa; o
Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang
berwenang atau persetujuan yang bersangkutan; o
Melanggar
etika
dan/atau
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan mengenai periklanan. (Pasal 17 ayat (1))
Dalam Pasal 17 ayat (2) ditentukan pengusaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar peraturan.
46
MATERI KULIAH VII KETENTUAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU
A. Pengertian Klausula Baku Menurut Prof Mariam Darus SH Perjanjian Baku adalah
perjanjian
yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Menurut Sutan Remi Sjahdeni mengartikan perjanjian baku sebagai
perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.
Perjanjian baku mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
47
o
Perjanjian dibuat secara sepihak oleh produsen yang posisinya
relatif lebih kuat dari konsumen; o
Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi
perjanjian; o
Dibuat dalam bentuk tertulis dan massal;
o
Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong
oleh kebutuhan.
Alasan pihak produsen masih mempergunakan kontrak
baku, selain karena alasan praktis dan efesien, penerapan perjanjian baku dalam praktek sehari-hari juga masih dalam koridor peraturan perundang-undangan yang ada yaitu Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal
1338
KUHPerdata
yang
mengayomi
Asas
kebebasan
berkontrak.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian standar itu bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab, terlebihlebih dengan asas-asas
hukum
nasional, di mana
kepentingan
masyarakatlah yang didahulukan.
B. Pembatasan Klausula Baku di Beberapa Negara.
Di Amerika Serikat pembatasan wewenang pelaku usaha
untuk membuat klausula baku lebih banyak diserakan kepada konsumen. Jika ada konsumen yang merasa dirugikan, berdasarkan Uniform
Commercial Code 1978 , ia dapat mengajukan gugatan ke pengadilan. Putusan-putusan pengadilan inilah yang kemudian dijadikan masukan perbaikan legislasi yang telah ada, termasuk sejauh mana pemerintah dapat campur tangan dalam penyusunan kontrak.
Di Belanda, dalam rangka pembuatan KUH Perdata yang baru
telah dilakukan re-intepretasi terhadap Asas Kebebasan Berkontrak guna
48
mencegah terjadinya ekploitasi pihak yang kuat kepada pihak yang lemah dalam klausula baku : Asas kebebasan berkontrak bukan lagi dipahami dalam
o
pengertian mutlak, tetapi dalam arti relatif. Artinya asas kebebasan berkontrak dapat diterapkan apabila kedudukan para pihak seimbang. Apabila tidak seimbang asas kebebasan berkotrak dapat diterapkan tetapi dengan adanya pengawasan Departemen Kehakiman. Dalam hal hukum perjanjian yang selain masuk ke
o
lapangan hukum privat, juga mengandung dimensi hukum publik, dalam pengertian isinya menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak, maka harus terdapat campur tangan negara. Dalam KUH Perdata Belanda yang baru, masalah perjanjian baku diatur dalam Pasal 6.5.2. dan 6.5.3. yang isinya : (1). Bidang-bidang usaha yang dapat menggunakan perjanjian baku ditentukan dengan peraturan; (2). Perjanjian baku dapat ditetapkan, diubah dan dicabut jika disetujui oleh menteri kehakiman, melalui panitia yang ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan cara kerja panitia diatur dengan undangundang. (3). Penetapan perubahan dan pencabutan perjanjian baku hanya mempunyai kekuatan, setelah ada persetujuan raja dan keputusan raja mengenai hal itu, diletakkan dalam berita negara; (4). Perjanjian baku dapat dibatalkan, jika pihak kreditur mengetahui atau seharusnya mengetahui pihak debitur tidak menerima perjanjian baku jika ia mengetahui isinya.
Di Indonesia, ketentuan yang membatasi kewenangan pembuatan
perjanjian baku baru ditemukan dalam UUPK. Tetapi memang dapat ditunjuk salah satu pasal dalam KUH Perdata yaitu Pasal 1337 KUH Perdata
yang menyatakan “bahwa suatu
perjanjian tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum”.
49
Namun demikian untuk menguji sejauh mana perjanjian tersebut bertentangan perlu proses gugatan pengadilan. Ketentuan pencantuman klasula baku ditentukan dalam Pasal 18 UUPK yang menegaskan : (1). Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan
untuk
diperdagangkan
dilarang
membuat
atau
mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila : o
Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
o
Menyatakan
bahwa
pelaku
usaha
berhak
menolak
penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; o
Menyatakan
bahwa
pelaku
usaha
berhak
menolak
penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; o
Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku
usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; o
Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan
barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; o
Memberikan hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi
manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; o
Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang
berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; o
Menyatakan bahwa konsumen memberikan kuasa kepada
pelaku usaha untuk membebankan hak tanggungan, hak gadai,
50
atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. (2). Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau pengungkapannya sulit dimengerti. (3). Setiap klausula baku yang ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. (4). Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini.
C. Beberapa Alternatif Dalam Mengatur Klausula Baku
Untuk mencegah penyalahgunaan klausula baku, terdapat
beberapa alternatif pengaturannya : o
Dengan mempergunakan pengaturan dalam UUPK, di mana
terdapat 1 (satu) bab khusus yang mengatur masalah perjanjian baku. Disini diatur antara lain bidang usaha apa saja yang dapat menggunakan perjanjian baku. o
Membentuk
badan/komisi
perjanjian
standar
di
bawah
departemen kehakiman. Tugas komisi, selain memberi lisensi kepada setiap perjanjian baku yang akan dipasarkan kepada masyarakat luas, juga melakukan pengawasan terhadap semua perjanjian baku yang beredar di pasaran. o
Mengatur perjanjian baku melalui undang-undang sektoral, di
Malaysia misalnya untuk sektor perumahan, materi sale and purchase agreement
antara konsumen dan developer diatur dalam The
Housing Act 1966.
51
MATERI KULIAH VIII TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
A. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Dalam Perlindungan Konsumen Sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, seorang
konsumen yang dirugikan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa, dapat mengugat pihak yang menimbulkan kerugian tersebut. Kualifikasi gugatan yang lazim dipergunakan di berbagai negara termasuk di Indonesia, adalah wanprestasi (default) atau perbuatan melawan hukum (tort). Dalam gugatan berdasarkan adanya wanprestasi, maka terdapat
hubungan kontraktual antara konsumen dengan pelaku usaha/produsen. Kerugian yang dialami oleh konsumen tidak lain adalah karena tidak
52
dilaksanakannya prestasi oleh pengusaha. Apabila tidak terdapat hubungan kontraktual antara konsumen dengan pengusaha, maka tidak ada tanggung jawab (hukum) pelaku usaha kepada konsumen. Hal inilah yang dikenal dengan Doktrin Privity of Contract yang mengandung prinsip “tidak ada hubungan kontraktual, tidak ada tanggung jawab” (no privity – no liability principle).
Dalam gugatan berlandaskan perbuatan melawan hukum, hubungan
kontraktual tidaklah disyaratkan. Dalam hal ini konsumen haruslah membuktikan adanya unsur-unsur : o
Adanya perbuatan melawan hukum;
o
Adanya kesalahan/kelalaian pelaku usaha;
o
Adanya kerugian yang dialami oleh konsumen;
o
Adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang dialami oleh konsumen.
Pada umumnya konsumen akan mengalami kesulitan untuk membuktikan unsur ada tidaknya kesalahan/kelalaian pelaku usaha. Untuk itulah dianut doktrin Product Liability , di mana tergugat dianggap telah bersalah (presumtion of guilty) kecuali jika ia mampu membuktikan ia tidak melakukan kelalaian/kesalahan. Seandainya ia gagal membuktikan ketidaklalaiannya, maka ia harus memikul resiko kerugian yang dialami pihak lain karena mengkonsumsi/menggunakan produknya.
B. Doktrin-Doktrin Yang Berpangaruh Terhadap Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab
Let The Buyer Beware
Doktrin let the buyer beware atau caveat emptor , berasumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang, sehingga tidak diperlukan adanya proteksi apapun bagi konsumen. Dalam
53
suatu hubungan keperdataan, yang wajib berhati-hati adalah pembeli. Adalah kesalahan si pembeli (konsumen) jika ia sampai membeli dan mengkonsumsi barang-barang yang tidak layak. Dengan adanya UUPK, kecenderungan caveat emptor dapat mulai diarahkan menuju kepada caveat venditor, di mana pelaku usahalah yang harus berhati-hati dalam melaksanakan usahanya.
The Due Care Theory
Doktrin atau teori ini berpendapat, pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produk, baik barang maupun jasa. Selama ia berhati-hati dengan
produknya, ia
tidak dapat
dipersalahkan. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka untuk mempersalahkan si pelaku usaha, seseorang
(konsumen) harus
membuktikan pelaku usaha itu telah melanggar prinsip kehati-hatian. KUHPerdata dalam Pasal 1865 masih menganut prinsip ini, di mana dinyatakan “barang siapa mendalilkan mempunyai suatu hak
atau untuk meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain, atau menunjukkan suatu peristiwa, maka ia wajib membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.”
The Privity of Contract
Doktrin ini menyatakan, pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal tersebut baru dapat dilakukan jika di antara mereka terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan atas hal-hal di luar yang diperjanjikan, konsumen boleh menggugat berdasarkan adanya “wanprestasi”.
D.
Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan
54
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau based on fault), adalah prinsip yang umum dianut. Prinsip ini menyatakan
“seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika terdapat unsur kesalahan yang dilakukannya.” KUH Perdata menganut prinsip ini dalam beberapa pasal, khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367 KUH Perdata. Pasal 1365 KUHPerdata , yaitu pasal tentang Perbuatan Melawan Hukum
mengharuskan terpenuhinya 4 (empat) unsur pokok, yaitu : 1.
adanya perbuatan;
2.
adanya unsur kesalahan;
3.
adanya kerugian yang diderita;
4.
adanya hubungan kausal antara kerugian yang diderita dengan
adanya kesalahan. Berdasarkan prinsip ini konsumen diberikan tanggung jawab untuk membuktikan adanya unsur kesalahan pelaku usaha, yang tentunya memberatkan konsumen.
Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab
Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumtion of liability principle) , sampai ia dapat membuktikan ia tidak
bersalah. Jadi beban pembuktian diletakkan kepada tergugat (Pelaku usaha). Prinsip ini pernah dipergunakan dalam Hukum pengangkutan udara, sebagaimana dapat dilihat dalam Pasal 17, 18 ayat (1), Pasal 19 jo Pasal 20 Konvensi Warsawa 1929, atau Pasal 24, 25, 28, jo Pasal 29 Ordonansi Pengangkutan Udara No. 100 tahun 1939, yang dalam perkembangan selanjutnya dihapuskan dengan Protokol Guatemala 1971. UUPK menganut sistem pembuktian terbalik, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19, 22, dan 23 UUPK.
Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab
55
Prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip yang kedua, dimana pihak yang dibebankan untuk membuktikan kesalahan itu terdapat pada konsumen. Konsumen dianggap selalu bertanggung jawab, sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah.
Prinsip Tanggung Jawab Mutlak
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) adalah prinsip tanggung jawab
yang
menentukan,
menetapkan tetapi
masih
kesalahan terdapat
tidak suatu
sebagai
faktor
pengecualian
yang yang
memungkinkan dibebaskannya dari tanggung jawab, yaitu keadaan force majeure.
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) memiliki perbedaan dengan Prinsip tanggung jawab absolut, di mana prinsip tanggung jawab absolut merupakan prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Prinsip tanggung jawab mutlak ini secara umum dipergunakan untuk menjerat pelaku usaha, khususnya produsen barang yang memasarkan produk yang merugikan konsumen. Dalam perlindungan konsumen penerapan prinsip tanggung jawab mutlak ini dikenal sebagai Product
Liability.
Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan ini (limitation ability principle), sangat disenangi pelaku usaha, karena pelaku usaha dapat
membatasi secara maksimal tanggung jawabnya. Misalnya dalam perjanjian cuci cetak film, bila terdapat kerusakan pada film yang ingin dicuci cetak tersebut (termasuk sebagai akibat kesalahan petugas) maka konsumen akan diganti kerugiannya sebesar sepuluh kali harga satu rol film.
56
E.
Product Liability, Professional Liability Tanggung jawab produk (product liability) merupakan
“tanggung jawab para produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut.”
Dasar gugatan untuk tanggung jawab produk dapat dilakukan atas landasan adanya : o
Pelanggaran jaminan (breach of warranty)
o
Kelalaian (negligence)
o
Tanggung jawab mutlak (strict Liability).
Pelanggaran jaminan berkaitan dengan jaminan pelaku usaha, bahwa
barang yang dihasilkan atau dijual tidak mengandung cacat, yang dapat terjadi pada : •
konstruksi barang (construction defect),
•
desain (design defect);
•
atau pelabelan (labeling defect).
Adapun yang dimaksud dengan kelalaian (negligence) adalah bila si pelaku usaha yang digugat tersebut gagal menunjukkan ia cukup berhatihati (reasonable care) dalam membuat, mengawasi, memperbaiki, memasang label, atau mendistribusikan suatu barang. Misalnya kasus biskuit beracun CV Gabisco pada tahun 1989, yang bermula dari kelalaian pada saat menyimpan bahan amonium bicarbonat di gudang yang diletakkan berdekatan dengan racun anion nitrit.
Tanggung Jawab Profesional berkaitan
dengan tanggung jawab penyedia jasa profesional karena tidak memenuhi perjanjian yang mereka sepekati dengan klien mereka atau kelalaian
penyedia jasa tersebut yang mengakibatkan
perbuatan melawan hukum.
57
terjadinya
Jenis pekerjaan yang dilakukan dalam hubungannya antara tenaga profesional dengan kliennya dapat dibedakan dalam : Jasa yang menjanjikan untuk menghasilkan sesuatu (resultan
•
verbintenis),
misalnya tanggung jawab dokter gigi atas hasil
pekerjaannya menambal gigi pasien. Jasa
•
yang
memperjanjikan
untuk
mengupayakan
sesuatu
misalnya tanggung jawab profesional
(inspanningsverbintenis),
seorang pengacara untuk mengupayakan agar kepentingan kliennya dapat dilindungi seoptimal mungkin. Untuk menentukan apakah suatu tindakan menyalahi tanggung jawab profesional, perlu ada ukuran yang jelas. Hal tersebut indikatornya ditetapkan oleh Asosiasi profesi.
F.
Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam UUPK
Pada umumnya pertanggungjawaban pelaku
usaha yang diatur dalam UUPK telah mengakomodir prinsip-prinsip pertanggungjawaban
moderen
yang
lebih
dapat
memberikan
perlindungan terhadap konsumen, seperti Prinsip pertanggung jawaban mutlak, Asas pembuktian terbalik, product liability, profesional liability. Bentuk-bentuk
pertanggungjawaban
pelaku
usaha dalam UUPK dirumuskan sebagai berikut : o
Pasal 19 UUPK menetapkan tanggung jawab pelaku usaha untuk
memberikan ganti kerugian kepada konsumen sebagai akibat kerusakan,
pencemaran,
mengkonsumsi
barang
dan/atau dan/atau
kerugian jasa
yang
konsumen dihasilkan
karena atau
diperdagangkan (Pasal 19 ayat (1) UUPK). o
Ganti kerugian yang dapat diberikan dapat berupa pengembalian
uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara
58
nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan (Pasal 19 ayat (2). o
Tenggang waktu pemberian ganti kerugian dilaksanakan dalam 7
(tujuh) hari setelah tanggal transaksi (Pasal 19 ayat (3) o
Pemberian ganti kerugian tersebut ridak menghapus kemungkinan
adanya tuntutan pidana berdasrkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. (Pasal 19 ayat (4) UUPK ). o
Ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat (1) dan (2) tidak berlaku
apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. (Pasal 19 ayat (5) UUPK). Pasal 20 UUPK menegaskan tanggung jawab pelaku usaha periklanan
atas iklan yang diproduksinya dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
Pasal 21 UUPK menetapkan tanggung jawab importir mengenai
barang/atau jasa yang dipasarkannya : o
Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang
diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukab oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri (Pasal 21 ayat (1) UUPK). o
Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing,
apabila jasa asing tersebut todak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing (Pasal 21 ayat (2) UUPK). Pasal 22 UUPK menetapkan pembuktian terhadap ada tidaknya
kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.
59
Pasal 23 UUPK menetapkan bagi pelaku usaha yang menolak dan/atau
tidak memberikan tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Pasal 24 ayat (1) UUPK menetapkan tanggung jawab pelaku usaha yang
menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila : o
Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan
perubahan apapun atas barang dan/atau jasa tersebut; o
Pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui
adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi. Dalam Pasal 24 ayat (2) : pelaku usaha sebagaimana dimaksudkan
dalam ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut. Pasal 25 ayat (1) UUPK mewajibkan pelaku usaha untuk menyediakan
suku cadang atau fasilitas purna jual dalam jangka waktu 1 (satu) tahun bagi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan, serta wajib untuk memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan. Dalam ayat (2) Pelaku usaha bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan, atau tidak/gagal memenuhi jaminan atau garansi yang dijanjikan.
60
Pasal
26
UUPK
menegaskan
kewajiban
pelaku
usaha
yang
memperdagangkan jasa untuk memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau dijanjikan. Pasal 27 UUPK menetapkan hal-hal yang dapat membebaskan pelaku
usaha dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen, apabila : o
Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak
dimaksudkan untuk diedarkan; o
Cacat barang timbul di kemudian hari;
o
Cacat timbul sebagai akibat ditaatinya ketentuan mengenai
kualifikasi barang; o
Kelalaian yang diakibatkan konsumen;
o
Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang
dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan. Pasal 28 UUPK kembali ditegaskan bahwa pembuktian terhadap ada
tidaknya unsur kesalahan dalam tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
61
MATERI KULIAH IX PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Pembinaan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
UUPK meletakkan tanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen kepada Pemerintah, yang dapat menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha (Pasal 29 ayat (1).
Pembinaan penyelengaraan perlindungan konsumen oleh pemerintah ini dilaksanakan oleh menteri dan/atau menteri teknis terkait (Pasal 29
ayat (2) : o
Departemen
perindustrian
dan
Perdagangan
(Depperindag) melalui Direktorat Perlindungan Konsumen.
62
Departemen teknis terkait , misalnya :
o
•
Departemen Perhubungan;
•
Departemen Kesehatan; dsbnya.
Di Malaysia, pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen telah dilaksanakan oleh pejabat setingkat menteri yang secara khusus menangani masalah perlindungan konsumen, yaitu The Ministry of
Domestic Trade and Consumer Affair. Dengan adanya departemen/bagian dalam struktur kekuasaan yang secara khusus menangani masalah perlindungan konsumen, maka power untuk menangani perlindungan konsumen akan bertambah besar.
Pembinaan
penyelenggaraan
perlindungan
konsumen,
meliputi upaya untuk : o
Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen;
o
Berkembangnya
lembaga
perlindungan
konsumen
swadaya
masyarakat. o
Meningkatnya kulitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen. (Pasal 29 ayat (4) UUPK).
B. Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
Pengawasan
konsumen
serta
terhadap
penerapan
penyelenggaraan peraturan
diselenggarakan oleh (Pasal 30 ayat (1) : o
Pemerintah;
o
Masyarakat
63
perlindungan
perundang-undangannya
Lembaga
o
perlindungan
konsumen
swadaya
masyarakat Pengawasan yang dilakukan pemerintah dilaksanakan oleh menteri dan/atau menteri teknis yang terkait, misalnya melalui : o
Depperindag Cq. Direktorat Perlindungan Konsumen;
o
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)
Pengawasan
yang
dilakukan
oleh
masyarakat, misalnya
dapat
melalui : o
Majelis Ulama Indonesia mengenai sertifikasi label halal,
o
Organisasi independent yang menerbitkan Indonesia Costumer Satisfaction Award.
Pengawasan yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat, misalnya melalui : o
Yayasan Lembaga konsumen Indonesia;
o
Lembaga
Pembinaan
dan
Perlindungan
Konsumen (LP2K); o
Yayasan Jantung Indonesia;
o
Yayasan Kanker Indonesia;
o
Yayasan
Lembaga
Bina
Konsumen,
dan
sebagainya.
Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dilakukan
terhadap barang dan/ atau jasa yang beredar di tengah masyarakat
(Pasal 30 ayat (3) UUPK).
Hasil dari pemantauan tersebut dapat dipublikasikan kepada
masyarakat dan kepada menteri/menteri teknis terkait (Pasal 30 ayat
(5) UUPK.
64
dari
Apabila ternyata barang dan/atau jasa tersebut menyimpang peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku
dan
dapat
membahayakan konsumen, menteri dan/atau menteri teknis terkait dapat mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 30 ayat (4) UUPK).
MATERI KULIAH X BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL
A. Nama, Kedudukan, Fungsi, dan Tugas BPKN Untuk lebih mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) berkedudukan di Ibu kota Negara Republik Indonesia, Jakarta, serta bertanggung jawab
65
kepada Presiden. (Pasal 32 UUPK). Apabila diperlukan BPKN dapat membentuk perwakilan di ibu kota derah tingkat 1 untuk membantu pelaksanaan tugsanya (Pasal 40 UUPK). BPKN
mempunyai
pertimbangan
kepada
fungsi
untuk
pemerintah
memberikan dalam
upaya
saran
dan
memberikan
perlindungan kepada konsumen. (Pasal 33 UUPK). Berbeda dengan The Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat, FDA tidak sekadar bertugas memberikan rekomendasi kepada pemerintah, tetapi juga secara aktif menjalankan fungsi pengawasannya dengan menegur langsung perusahaan-perusahaan yang terbukti melanggar peraturan dan menetapkan standar pelabelan. Jika perusahaan tersebut tetap membandel, FDA dapat membawa perkara tersebut ke pengadilan, dan memaksa perusahaan tersebut untuk menghentikan penjualan dan memusnahkan produk yang ada. Bahkan sanksi pidana dapat dikenakan jika ditemukan adanya tindakan kriminal di dalamnya. Badan yang sama juga terdapat di Australia, yaitu The Australian
Competition and Consumer Commission (ACCC) yang dibentuk tahun 1995. Untuk menjalankan fungsi tersebut, BPKN mempunyai tugas
(Pasal
34 UUPK) : o
memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam
rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen; o
melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen; o
melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang
menyangkut keselamatan konsumen;
66
o
mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat; o
menyebarluaskan
informasi
melalui
media
mengenai
perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen; o
menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari
masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha; o
melakukan survei menyangkut kebutuhan pelaku usaha.
Dilihat dari fungsinya dan tugas
tersebut BPKN tidak didesain untuk
menjadi badan yang dapat memproduksi self regulation,
ia juga tidak
dapat memanggil dan melakukan investigasi terhadap dugaan-dugaan pelanggaran atas hak-hak konsumen, tugas ini dibebankan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang dibentuk pemerintah di setiap daerah tingkat II.
B. Susunan Organisasi dan Keanggotaan BPKN terdiri dari 15 orang sampai 25 orang anggota yang mewakili
unsur-unsur (Pasal 35 ayat (1) dan Pasal 36 UUPK) : o
Pemerintah
o
Pelaku usaha
o
Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
o
Akademisi
o
Tenaga ahli
Masa jabatan mereka adalah 3 (tiga) tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya (Pasal 35 ayat (3) UUPK) .
67
Keanggotaan BPKN diangkat oleh Presiden atas usul menteri (bidang
perdagangan) setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
(Pasal 35 ayat (2) UUPK). Syarat-syarat keanggotaannya menurut Pasal 37 UUPK adalah sebagai berikut : o
Warga negara Republik Indonesia;
o
Berbadan sehat;
o
Berkelakuan baik;
o
Tidak pernah dihukum karena kejahatan;
o
Memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen;
o
Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
Syarat diatas persis seperti yang berlaku untuk menjadi anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Bedanya adalah bahwa dalam keanggotaan BPKN dicantumkan secara tegas batas masa jabatannya, dan kapan yang bersangkutan dapat berhenti sebagai anggota. Aturan yang demikian
tidak ditemukan dalam keanggotaan
BPSK. Menurut
Pasal 38 UUPK , keanggotaan BPKN berhenti karena :
o
Meninggal dunia;
o
Mengundurkan diri;
o
Bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia;
o
Sakit secara terus menerus;
o
Berakhir masa jabatan sebagai anggota;
o
Diberhentikan.
Untuk melaksanakan tugasnya, BPKN dibantu oleh suatu sekretariat
yang dipimpin oleh seorang sekretaris yang diangkat oleh Ketua BPKN
(Pasal 39 ayat (1) dan (2) UUPK). Sekretariat ini paling tidak terdiri lima bidang yaitu :
68
o
Administrasi dan keuangan;
o
Penelitian;
o
Pengkajian dan pengembangan;
o
Pengaduan;
o
Pelayanan informasi;
o
Kerjasama internasional.
Tata kerja BPKN dalam pelaksanaan tugsanya diatur dengan
keputusan Ketua BPKN (Psal 41 UUPK), sedangkan biaya untuk pelaksanaan tugas tersebut dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan sumber lainnya.
MATERI KULIAH XI
69
LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN SWADAYA MASYARAKAT
A. Peranan YLKI dan LSM Lainnya Dalam Melindungi Konsumen YLKI memainkan peranan yang sangat penting sebagai perwakilan
konsumen (consumer representation) yang bersama-sama dengan
pemerintah mengawasi perilaku pelaku usaha, mengawasi peredaran barang dan/jasa, melakukan advokasi kepada konsumen, dan melakukan pelatihan kepada konsumen serta mengugat pelaku usaha yang nakal melalui mekanisme Class action , ataupun legal standing . Sebagai
organisasi yang mewakili konsumen, setidaknya YLKI
maupun organisasi swadaya masyarakat lainnya harus memegang teguh Prinsip
Kebebasan
(independence)
yang
penerapannya
dapat
dijabarkan sebagai berikut : o
Mereka harus secara ekslusif mewakili kepentingan-kepentingan konsumen;
o
Kemajuan perdagangan akan tidak ada artinya jika diperoleh dengan cara-cara yang merugikan konsumen;
o
Mereka harus non profit making dalam profil aktivitasnya;
o
Mereka tidak
boleh
menerima iklan-iklan
untuk alasan-alasan
komersial apapun dalam publikasi-publikasi mereka; o
Mereka tidak boleh mengizinkan ekploitasi atas informasi dan advis yang
mereka
berikan
kepada
konsumen
untuk
kepentingan
perdagangan; o
Mereka tidak boleh mengizinkan kebebasan tindakan dan komentar mereka dipengaruhi atau dibatasi pesan-pesan sponsor.
Dalam UUPK, Pemerintah memberikan pengakuan terhadap peran
aktif lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dalam
70
meujudkan perlindungan terhadap konsumen. (Pasal 44 ayat (1) dan
(2) UUPK).
Dalam menjalankan peran sertanya tersebut, lembaga perlindungan
konsumen
swadaya
masyarakat mempunyai tugas yang meliputi
kegiatan : o
Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
o
Memberikan nasehat kepada konsumen yang memerlukan;
o
Berkerjasama dengan instansi yang terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;
o
Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
o
Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
o
Melakukan
pengawasan
bersama
pemerintah
dan
masyarakat
terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
B. YLKI Sebagai Lembaga Yang Konsern Terhadap Perlindungan Konsumen
YLKI berdiri pada tanggal 11 Mei 1973 dan secara berkesinambungan
memusatkan perhatiannya dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen.
YLKI memiliki 3 (tiga) divisi di lini paling depan yang sekaligus sebagai
ujung tombak dalam memberdayakan konsumen : o
Divisi pertama, bidang Pengaduan dan Advokasi , yang
bertugas
menerima
sekaligus
menyelesaikan
berbagai
kasus
pengaduan konsumen. Dalam tingkat makro, divisi ini bertugas mengemas data lapangan berupa pengaduan konsumen menjadi
71
bahan yang dapat dipakai untuk advokasi, dengan target dapat mengubah
kebijaksanaan
yang
lebih
akomodatif
menampung
kepentingan konsumen. o
Divisi kedua, bidang penerbitan , produknya selain berupa
majalah bulanan “warta konsumen”, Indonesian Consumer Curent, juga buku-buku masalah perlindungan konsumen. o
Divisi
ketiga,
pendampingan
bidang
pendidikan ,
terhadap
tugasnya
kelompok-kelompok
melakukan konsumen,
mengkomunikasikan ide-ide gerakan konsumen melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Dalam operasionalnya sehari-hari, ketiga bidang tersebut di back up Pusat Dokumentasi dan Informasi Konsumen, serta Tim Riset dan Testing.
72
MATERI KULIAH XII PENYELESAIAN SENGKETA
Sengketa konsumen adalah sengketa berkenaan dengan
pelanggaran hak-hak konsumen, yang ruang lingkupnya mencakup semua segi hukum, baik keperdataan, pidana, maupun tata negara. A.Z. Nasution berpendapat sengketa konsumen adalah sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha (publik atau privat) tentang produk konsumen, barang dan/atau jasa konsumen tertentu.
UUPK membagi penyelesaian sengketa konsumen menjadi
2 (dua) bagian, yaitu : o
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan •
Penyelesaian sengketa secara damai;
•
Penyelesaian sengketa melalui BPSK dengan mempergunakan mekanisme ADR.
o
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan.
Menurut Az Nasution penyelesaian sengketa konsumen pada
umumnya dapat diselesaikan melalui 2 (dua) mekanisme, yaitu : o
Penyelesaian sengketa secara damai; o
Penyelesaian sengketa melalui lembaga atau instansi yang
berwenang, termasuk didalamnya :
•
Penyelesaian sengketa melalui BPSK;
•
Penyelesain sengketa melalui Pengadilan.
Pasal 45 ayat (1) UUPK menyatakan setiap konsumen yang
dirugikan dapat
menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang
73
bertugas menyelesaikan sengketa konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum Ketentuan ayat berikutnya
(Pasal 45 ayat (2) UUPK) mengatakan
penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
Kata sukarela harus diartikan sebagai pilihan para pihak, baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama untuk menempuh jalan penyelesaian di pengadilan atau di luar pengadilan, oleh karena upaya perdamaian di antara mereka telah gagal atau mereka tidak mau menempuh alternatif perdamaian.
.A. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan dapat ditempuh apabila
upaya perdamaian telah gagal mencapai kata sepakat, atau para pihak tidak mau menempuh alternatif perdamaian.
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan dapat pula
meliputi : o
Pengajuan
gugatan
perlindungan
konsumen
secara perdata; o
Penyelesaian sengketa konsumen secara pidana
o
Penyelesaian
instrumen Hukum
Peradilan tata
sengketa
konsumen
usaha negara, dan
melalui melalui
mekanisme Hukum Hak menguji materiel.
1. Pengajuan sengketa konsumen secara perdata Berdasarkan instrumen hukum acara perdata, konsumen dapat
berinisiatif mengajukan gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan
74
hukum (onrechtmatige daad) terhadap pelaku usaha atas pelanggaran norma-norma UUPK.
Dalam kasus perdata di pengadilan negeri,
pihak konsumen yang diberikan hak untuk mengjukan gugatan menurut
Pasal 46 UUPK adalah : Seorang konsumen yang dirugikan
o
atau ahli waris yang bersengkutan; Sekelompok
o
konsumen
yang
mempunyai kepentingan yang sama; Lembaga perlindungan konsumen
o
swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan
perlindungan konsumen
dan
melaksanakan
kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya; Pemerintah dan/atau instansi terkait
o
jika barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit. Pada klasifikasi kedua gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama, disebut dengan istilah Gugatan
Class Action. Gugatan pada klasifikasi ketiga, yang diajukan oleh lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, yang dikenal dengan istilah Legal
Standing.
Hukum acara perdata warisan pemerintah
koloneal Het Herziene Indonesisch/Inlands Reglement/Rechtsreglement Buitengewesten
disingkat HIR/RBg, tidak dapat lagi menampung
perkembangan tuntutan keadilan bagi masyarakat, khususnya bagi upaya
75
perlindungan konsumen. Prisip-prinsip hukum acara perdata konvensional telah banyak diterobos dalam UUPK dengan misalnya menganut Sistem Beban Pembuktian Terbalik , sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUPK
yang berbunyi : “pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana di maksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23, merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha. ”
Bentuk ganti rugi tersebut dapat
berupa : o
pengembalian uang atau pengantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya atau perawatan, dan/atau
o
pemberian santunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku (Pasal 19 ayat (2) UUPK).
Ganti kerugian tersebut dapat pula ditujukan sebagai pengantian kerugian terhadap
keuntungan yang
kecelakaan,
atau
akan
kehilangan
diperoleh apabila
pekerjaan
atau
tidak terjadi
penghasilan
untuk
sementara atau seumur hidup akibat kerugian fisik yang diderita, dan sebagainya.
Gugatan
Class
Action
(Gugatan
Kelompok) o
Gugatan perwakilan/gugatan kelompok (Class Action) dimungkinkan bagi sejumlah konsumen yang memiliki keluhan-keluhan serupa (similar complaints) pada suatu saat. (Pasal 46 ayat (1) UUPK).
Lebih lanjut dikemukakan dalam penjelasan bahwa gugatan tersebut harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapt dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi . o
Gugatan class action maupun legal standing serta pemerintah harus diajukan kepada Peradilan umum.
76
o
Pada umumnya gugatan class action wajib memenuhi 4 (empat) syarat sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 23 US Federal Rule of Civil Procedure, keempat syarat tersebut adalah sebagai berikut :
•
Numerosity, maksudnya jumlah penggugat harus cukup
banyak,
jika
diajukan
secara
sendiri-sendiri
tidak
lagi
mencerminkan proses beracara yang efesien. •
Commonality,
artinya,
adanya
kesamaan
soal hukum
(question of law) dan fakta (question of fact) antara pihak yang
diwakilkan (class members) dan pihak yang mewakilinya (class representative). •
Typicality, adanya kesamaan jenis tuntutan hukum dan dasar
pembelaan yang dipergunakan antara class members dan representative. •
Adequacy
of
represebtation,
kelayakan
class
representative dalam mewakili kepentingan class members. Ukuran
kelayakan ini diserahkan kepada hakim. o
Dalam kasus padamnya listrik disebagian besar Jawa
dan Bali selama 10 jam pada tanggal 13 April 1997, YLKI selain bertindak untuk kepentingan dirinya sendiri, juga sekaligus mewakili masyarakat konsumen listrik lainnya yang menjadi korban dan mengalami kerugian mengajukan “gugatan perbuatan melawan hukum masyarakat konsumen listrik korban padamnya listrik tanggal 13 april”. Sayangnya gugatan class action ini ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Gugatan
Legal
Organisasi non-Pemerintah).
77
Standing (Hak
Gugat
Selain gugatan kelompok
o
(class action),
UUPK menerima kemungkinan proses beracara yang dilakukan oleh lembaga tertentu yang memiliki legal standing. Menurut pasal 46 ayat (1( butir c dan ayat
o
(2) UUPK, gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat diajukan Lembaga Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) di Peradilan Umum, dengan harus memenuhi syarat sebagai berikut : Berbentuk
•
badan
hukum
atau
yayasan; Di
•
dalam
anggaran
dasarnya
disebutkan secara tegas tujuan didirikannya organisasi tersebut untuk kepentingan perlindungan konsumen; Telah
•
melaksanakan
kegiatan
sesuai anggaran dasar. LPKSM tersebut diwajibkan untuk didaftarkan dan diakui oleh pemerintah , tanpa pendaftaran dan pengakuan tersebut, ia tidak
dapat menyandang hak sebagai para pihak dalam proses beracara di pengadilan, terutama berkaitan dengan pencarian legal standing LPKSM. (Pasal 1 angka (10) UUPK) : “Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen. ”
Menurut Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 59 tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, terdapat 2 (dua) syarat untuk mendapat pengakuan sebagai LPKSM, yaitu : •
Terdaftar pada Pemerintah Kabupaten/kota;
•
Bergerak dalam bidang perlindungan konsumen sebagaimana
tercantum dalam anggaran dasar LPKSM.
78
Berbeda dengan gugatan class action,
o
untuk melakukan gugatan legal standing, LPKSM yang menjadi wakil konsumen harus tidak berstatus sebagai korban dalam perkara yang diajukan . Inilah perbedaan pokok antara gugatan berdasarkan class action dengan NGO legal standing.
Dalam doktrin legal standing, tuntutan ganti
o
kerugian moneter tidak diperkenankan untuk diajukan, kecuali ganti kerugian sepanjang atau terbatas pada kerugian atau ongkos-ongkos yang diderita atau dikeluarkan oleh penggugat, bukan ganti kerugian yang mengatas namakan orang banyak, misalnya dalam petitum gugatan dapat dimintakan : •
Penghentian kegiatan;
•
Permintaan maaf;
•
Pembayaran uang paksa (Dwangsom).
Gugatan
Perdata
yang
Diajukan
Instansi
Pemerintah Menurut Pasal 46 ayat (1) butir d, dan ayat (2) UUPK,
o
gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat diajukan oleh pemerintah dan/atau instansi terkait. Pemerintah dan/atau instansi terkait baru dapat bertindak sebagai subyek pengugat jika konsumsi atau pemanfaatan terhadap suatu produk barang dan/atau jasa mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
Tetapi sayangnya, mekanisme gugatan pemerintah
o
ini tidak pernah dipergunakan dengan beberapa alasan : Pemerintah telah merasa cukup berbuat adil
•
terhadap
para
konsumen
yang
menjadi
mempergunakan instrumen hukum pidana.
79
korban
dengan
Pemerintah dan/atau instansi terkait tersebut
•
berkepentingan terhadap pelaku usaha Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), di mana pemerintah dan/atau instansi yang terkait tersebut sebagai pemegang saham; •
Pemerintah dan/atau instansi terkait tersebut
tidak membuat regulasi bagi pelaku usaha, pada hal pemerintah dan/atau instansi terkait tersebut berkewajiban untuk membuatnya berdasarkan amanat undang-undang. Sikap pemerintah yang proaktif untuk mengajukan
o
gugatan perdata, sebenarnya untuk kepentingan : •
Para korban dan/atau ahli warisnya;
•
Masyarakat secara keseluruhan agar kasus-kasus seperti ini tidak terulang di masa yang akan datang atau diminimalisasi dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dan kepatuhan pada standar prosedur keamanan dan keselamatan.
2. Penyelesaian sengketa Konsumen secara Pidana. o
Dalam
konteks
hukum
perlindungan
konsumen, posisi tersangka/terdakwa ada pada pelaku usaha, baik perorangan atau korporasi. Peran konsumen dalam sistem peradilan pidana adalah sebagai halnya korban-korban dalam perkara pidana lainnya, yaitu masih terbatas sebagai saksi korban. o
Saksi korban adalah korban peristiwa
tindak pidana yang memberikan keterangan tentang apa-apa yang ia dengar, lihat dan/atau alami sendiri guna untuk kepenttingan penyidikanm penuntutan, dan peradilan. (Pasal 1 butir 26 jo. Pasal
108 KUHAP).
80
UUPK telah memberikan paradigma baru
o
yang lebih berorentasi kepada kepentingan/ hak korban, sebagai penganti sistem KUH Pidana yang tidak memiliki orientasi hukum terhadap kepentingan/hak korban tindak pidana. Pasal 63 butir c UUPK
telah
menempatkan
pembayaran ganti rugi
hukuman
tambahan
berupa
dalam sistem pidana Indonesia atas
pelanggaran norma-norma perlindungan konsumen, disamping sanksisanksi pidana pokok berupa : •
pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun atau pidana denda maksimal Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah);
•
pidana penjara maksimal 2 (dua) tahun atau pidana denda maksimal Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Dengan paradigma baru ini, tanpa diajukannya tuntutan (gugatan) ganti rugi oleh saksi korban dan/atau pihak ketiga lainnya yang dirugikan akibat tindak pidana di bidang perlindungan konsumen, penuntut umum ketika mengajukan tuntutan pidana dipersidangan, semestinya mengajukan tuntutan tambahan berupa pembayaran ganti rugi. o
Instrumen hukum acara pidana dalam
UUPK mengedepankan suatu sistem beban pembuktian terbalik.
Pasal 22 UUPK berbunyi sebagai berikut : “pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20,
dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakuka pembuktian.” o
Pasal 19 ayat (4) UUPK menegaskan
“pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa tidaklah menghapus kemungkinan tuntutan pidana. ” Demikian
81
pula penyelesaian penyelesaian sengketa diluar diluar pengadilan pengadilan tiadk menghilangkan menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang.
(Pasal 45 ayat (3) UUPK). 3. Penyelesaian di Peradilan Tata Usaha Negara o
Konsumen jika diartikan secara luas, yakni
mencaku mencakup p juga juga penerim penerima a layana layanan n publik. publik. Tentun Tentunya ya peradil peradilan an tata tata usaha usaha negara negara seharus seharusnya nya patut patut juga juga melayan melayanii gugata gugatan n konsum konsumen en pener penerim ima a laya layanan nan publ publik ik terse tersebut but.. Masy Masyar araka akatt Indo Indone nesia sia serin sering g mengalami kesulitan akibat ketiadaan standar pelayanan publik yang jel jelas as,, masy masyara araka katt akan akan deng dengan an mudah mudah dija dijatu tuhi hi sank sanksi si jika jika yang yang bersangkutan terlambat menunaikan kewajibannya, tetapi sebaliknya sanksi yang sama tidak dapat diarahkan kepada pejabat tata usaha nega negara ra (Apa (Apara ratt BUMN BUMN// BUMD BUMD)) yang yang terl terlam amba batt mere mereal alis isas asik ikan an pelayanannya kepada masyarakat. o
Untu Untuk k
meng mengaj ajuk ukan an
tunt tuntut utan an
seng sengke keta ta
konsumen kepada peradilan tata usaha negara di syaratkan bahwa sengket sengketa a tersebu tersebutt berawal berawal dari dari adanya adanya penetap penetapan an tertul tertulis is bersifa bersifatt kongkret, individual, dan final. Kongkret Kongkret artinya obyek obyek diputu diputuska skan n dalam dalam keputu keputusan san TUN tidak tidak
abstrak, abstrak, tetapi tetapi berwujud berwujud,, terten tertentu, tu, dan dapat dapat ditent ditentuka ukan, n, misaln misalnya ya pemutusan aliran listrik di rumah konsumen oleh PT (persero) PLN. keputusan san TUN terseb tersebut ut tidak tidak dituju ditujukan kan untuk untuk Individual Individual berarti keputu umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju, misalnya sura suratt pemu pemutu tusa san n alir aliran an list listri rik k meny menyeb ebut utka kan n nama nama dan dan alam alamat at konsumen. akibat hukum hukum yang ditimb ditimbulk ulkan an serta serta maksud maksud dalam dalam Final Final berarti berarti akibat putusan TUN harus sudah merupakan akibat hukum yang defenitif.
82
Untuk Untuk memu memudah dahka kan n akse akses s masy masyara arakat kat,,
o
khususnya konsumen dalam berhubungan dengan pelayanan aparat birokra birokrasi si negara negara,, di berbag berbagai ai negara negara didiri didirikan kan komisi komisi khusus khusus yang antara antara lain lain bert bertug ugas as mener menerim ima a peng pengadu aduan an dari dari masya masyara rakat kat atas atas kerug erugiian
yang ang
dideri eritanya
akibat
peri erilaku
peny enyelenggar gara
pemerintahan. pemerintahan. Dengan Kepr dibentuk uk Kepres es No. No. 44 tahu tahun n 2000 2000 , dibent
Komisi Ombudsman Nasional, sebagai sebagai instan instansi si indepen independent dent yang yang
dipe diperl rluk ukan an
untu untuk k
meng mengaw awas asii
admi admini nist stra rasi si
nega negara ra
guna guna
mewujudkan pemerintahan yang bersih dan baik berdasarkan asas negara hukum serta kepatutan dan penghormatan hak asasi manusia. Tugas pokok Komisi Ombudsman Nasional
o
adalah : •
Mela Melayan yanii kelu keluhan han masy masyara arakat kat atas atas keput keputusa usan n atau atau tinda tindaka kan n penyelenggara negara dan pemerintah yang dirasakan tidak adil, tidak patut, merugikan, atau melawan hukum;
•
Meni Mening ngka katk tkan an
peng pengaw awas asan an
terh terhad adap ap
inst instit itus usii
dan dan
inst instan ansi si
pemerintahan, termasuk peradilan, dengan memberikan klarifikasi, informasi, dan rekomendasi, kepada instansi terlapor yang diikuti dengan pengawasan pengawasan terhadap terhadap pelaksanaan pelaksanaan rekomendasi rekomendasi Komisi Komisi Ombudsman Nasional.
B. Penyelesaian Sengketa Konsumen di Luar Pengadilan
Untuk mengatasi keberlikuan proses pengadilan, pengadilan, UUPK memberikan memberikan jalan jalan alterna alternatif tif dengan dengan menyed menyediaka iakan n penyele penyelesai saian an sengket sengketa a di luar luar pengadilan. Menurut Pasal 45 ayat (4) UUPK : “jika telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan pengadilan hanya dapat ditempuh ditempuh jika upaya tersebut tersebut dinyatakan dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.”
83
Ini berarti penyelesaian di pengadilan tetap dibuka setelah para pihak gagal menyelesaikan sengketa mereka di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dapat dilakukan
melalui mekanisme : o
Penyelesaian sengketa secara damai
o
Penyelesaian sengketa melalui BPSK
1. Penyelesaian Sengketa Secara Damai o
dimaksudkan sebagai Penyelesa Penyelesaian ian sengketa sengketa secara secara damai damai dimaksudkan penyelesaian sengketa antar para pihak, dengan atau tanpa kuasa/ pendamp pendamping ing bagi bagi masing masing-mas -masing ing pihak pihak melalu melaluii cara-ca cara-cara ra damai. damai. Disebut
juga
seba sebag gai
Peny Penyel eles esai aian an
Seng Sengke keta ta
Seca Secara ra
Kekeluargaan. o
Dengan cara penyelesaian sengketa secara damai ini, sesungguhnya ingin diusahakan diusahakan bentuk penyelesaian penyelesaian sengketa yang mudah, murah, dan (relatif) lebih cepat.
o
Dasar hukum penyelesaian sengketa secara damai tersebut terdapat dalam KUH Perdata Indonesia Buku III, Bab 18, Pasal 1851-1854 tentang Perdamaian Perdamaian (dading) dan dalam UUPK No. 8 tahun 1999 Pasal 45 ayat (2) jo. Pasal 47.
84
MATERI KULIAH XIV BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK)
A. pengertian, Tugas, dan Kewenangan BPSK
Menurut Pasal 1 angka (11) UUPK, Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen adalah “ badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.”
Tugas dan wewenang BPSK (Pasal 52 UUPK jo. SK. Menperindag
No. 350/MPP/Kep/12/2001 tanggal 10 Desember 2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK) adalah : o
Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa
konsumen dengan cara konsiliasi, mediasi, dan arbitrase; o
Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
85
o
Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula
baku; o
Melaporkan kepada penyidik umum jika terjadi pelanggaran
UUPK; o
Menerima pengaduan tertulis maupun tidak dari konsumen
tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; o
Melakukan
penelitian
dan
pemeriksaan
sengketa
perlindungan konsumen; o
Melakukan pemanggilan pelaku usaha yang diduga telah
melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; o
Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau
setiap orang yang diduga mengetahui pelanggaran UUPK; o
Meminta bantuan kepada penyidik untuk menghadirkan
saksi, saksi ahli, atau setiap orang pada butir g dan butir h yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK; o
Mendapatkan, meneliti, dan/atau menilai surat, dokumen,
atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan. o
Memutuskan dan menetapkan ada tidaknya kerugian di
pihak konsumen; o
Memberitahukan keputusan kepada pelaku usaha yang
melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; o
Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar ketentuan UUPK.
Dalam menjalankan tugasnya tersebut BPSK dapat bertindak
proaktif dalam menegakkan norma-norma perlindungan konsumen, baik dengan cara-cara persuasif maupun dengan cara-cara represif untuk menguji kepatuhan pelaku usaha terhadap norma-norma perlindungan konsumen.
86
B. Kelembagaan, Kedudukan, Keanggotaan, Struktur, dan Pendanaan BPSK.
Institusi BPSK dibentuk di setiap daerah Tingkat II, dalam hal ini
Daerah Kota dan/atau Daerah Kabupaten berdasarkan ketentuan Pasal
49 ayat (1) UUPK untuk menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan. Sesuai dengan Surat Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 90 tahun 2001 , tanggal 21 Juli 2001, untuk pertama kalinya BPSK dibentuk pada setiap Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malangm dan Kota Makassar. Menurut Pasal 49 ayat (3) dan (4) UUPK, keanggotaan BPSK
terdiri dari 3 (tiga) unsur, yaitu : o
Unsur pemerintah (3 orang – 5 orang);
o
Unsur konsumen (3 – 5 orang);
o
Unsur pelaku usaha (3 – 5 orang).
Pengangkatan dan pemberhentian sebagai anggota BPSK ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag).
Untuk dapat diangkat sebagai anggota BPSK harus memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan dalam Pasal 49 ayat (2) UUPK , yaitu : o
warganegara Republik Indonesia;
o
berbadan sehat;
o
tidak pernah di hukum karena kejahatan;
o
memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen;
o
berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
87
Sesuai dengan ketentuan Pasal 50 UUPK, struktur BPSK terdiri
dari : o
Ketua merangkap anggota;
o
Wakil ketua merangkap anggota;
o
anggota
Pada setiap BPSK dibentuk Sekretariat Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen , yang terdiri atas Kepala Sekretariat dan anggota , yang pengangkatannya dan pemberhentiannya dilakukan oleh
Menperindag. (Pasal 51 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUPK.
Biaya pelaksanaan tugas BPSK dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). (Pasal 90 Kepres. No. 90 tahun 2001).
C. Ketentuan Berproses di BPSK 1. Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen Permohonan penyelesaian sengketa konsumen (PSK) diatur dalam
Pasal 15 sampai dengan Pasal 17 SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001. Bentuk permohonan PSK diajukan secara lisan atau tertulis kepada BPSK, melalui Sekretariat BPSK.
Dalam hal konsumen : o
Meninggal dunia;
o
Sakit atau telah lanjut usia;
o
Belum dewasa;
o
Orang asing (WNA), maka permohonan diajukan oleh
ahli waris atau kuasanya.
Isi permohonan PSK memuat secara benar dan lengkap :
88
o
identitas konsumen, ahli waris, atau kuasanya, disertai dengan bukti diri;
o
nama dan alamat pelaku usaha;
o
barang atau jasa yang diadukan;
o
bukti perolehan, keterangan tempat, waktu dan tanggal perolehan barang dan atau jasa yang diadukan;
o
saksi-saksi yang mengetahui perolehan barang dan atau jasa, fotofoto barang atau kegiatan pelaksanaan jasa apabila ada.
Permohonan penyelesaian Sengketa Konsumen ditolak,
apabila : o
Tidak memuat persyaratan-persyaratan isi permohonan PSK tersebut;
o
Permohonan gugatan bukan merupakan kewenangan BPSK.
Permohonan PSK secara administratif akan dicatat oleh Sekretariat BPSK, serta akan dibubuhi tanggal dan nomor registrasi, kepada pemohon akan diberikan bukti tanda terima.
2. Susunan Majelis BPSK dan Kepanitraan
Setiap penyelesaian sengketa konsumen dilakukan oleh Majelis yang
dibentuk oleh Ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan di bantu oleh Panitera. Susunan Majelis BPSK harus ganjil, dengan ketentuan minimal 3
orang yang mewakili semua unsur sebagai mana dimaksud dalam Pasal
54 ayat (2) UUPK , yaitu unsur pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha. Salah satu anggota majelis tersebut wajib berpendidikan dan
89
berpengetahuan di bidang hukum .
(Pasal 18 SK Menperindag No.
350/MPP/Kep/12/2001). Ketua Majelis BPSK harus dari unsur pemerintah, walaupun tidak berpendidikan hukum.
Panitera BPSK berasal dari anggota sekretariat yang ditetapkan oleh Ketua BPSK.
Tugas panitera, terdiri dari :
o
Mencatat jalannya proses penyelesaian sengketa konsumen;
o
Menyimpan berkas laporan;
o
Menjaga barang bukti;
o
Membantu majelis menyusun putusan;
o
Membantu penyampaian putusan kepada konsumen dan pelaku usaha;
o
Membuat berita acara persidangan;
o
Membantu
majelis
dalam
tugas-tugas
penyelesaian
sengketa
konsumen. Ketua majelis BPSK atau Anggota BPSK atau Panitera, berkewajiban
untuk mengundurkan diri apabila terdapat permintaan ataupun tanpa
permintaan Ketua BPSK, atau Anggota Majelis BPSK, atau pihak yang bersengketa, jika terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang bersengketa. (Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) SK
Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001). 3. Tata Cara Persidangan
Dalam tenggang waktu 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan PSK
diterima secara benar dan lengkap, dilakukan pemanggilan pelaku usaha untuk hadir dipersidangan BPSK. Pemanggilan dilakukan secara tertulis
90
disertai dengan copy permohonan penyelesaian sengketa. Dalam surat panggilan tersebut dicantumkan : o
Hari, tanggal, dan tempat persidangan;
o
Kewajiban pelaku usaha untuk memberikan jawaban terhadap permohonan PSK.
Jawaban
disampaikan
selambat-lambatnya
pada
persidangan
pertama, yaitu pada hari ke-7 (ketujuh) sejak diterimanya (secara formal) permohonan PSK oleh BPSK. Terdapat 3 (tiga) tata cara persidangan di BPSK
(Pasal 52 huruf (a)
UUPK, Pasal 54 ayat (4) UUPK jo. Pasal 26 sampai dengan Pasal 36 SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001) , yaitu : o
Persidangan dengan cara konsiliasi;
o
Persidangan dengan cara mediasi;
o
Persidangan dengan cara arbitrase.
a. Persidangan Dengan Cara Konsiliasi Sengketa konsumen diajukan kepada BPSK atas inisiatif salah
satu pihak atau para pihak, yang ditangani oleh Mejelis BPSK yang bersifat pasif dalam persidangan.
Majelis BPSK bertugas :
o
Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
o
Memanggil saksi atau saksi ahli apabila diperlukan; o
Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha
yang bersengketa; o
Menjawab pertanyaan konsumen dan pelaku usaha,
perihal peraturan
perundang-undangan di bidang
konsumen.
91
perlindungan
Terdapat 2 (dua) prinsip tata cara penyelesaian
sengketa dengan cara konsiliasi : o
Proses penyelesaian sengketa konsumen menyangkut bentuk maupun jumlah ganti kerugian diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, sedangkan Majelis BPSK bertindak pasif sebagai konsiliator;
o
Hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan BPSK.
b. Persidangan Dengan Cara Mediasi
Cara mediasi ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para
pihak, seperti halnya dengan cara konsiliasi.
Keaktifan Majelis BPSK sebagai pemerantara dan penasehat
PSK dengan cara mediasi dapat terlihat dari tugas Majelis BPSK, yaitu : o
Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
o
Memanggil saksi dan saksi ahli apabila diperlukan;
o
Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
o
Secara aktif mendamaikan konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
o
Secara akti memberikan saran atau anjuran penyelesaian sengketa konsumen sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen.
Prinsip tata cara PSK dengan cara mediasi ada 2
(dua) yaitu : o
Proses penyelesaian sengketa konsumen menyangkut bentuk maupun umlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, sedangkan Majelis BPSK bertindak aktif sebagai mediator dengan
92
memberikan nasehat, petunjuk, saran, dan upaya lain dalam menyelesaikan sengketa. o
Hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan BPSK.
c. Persidangan Dengan Cara Arbitrase
Pada
persidangan
dengan
cara
arbitrase,
para
pihak
menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis BPSK untuk memutuskan
dan menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi. Proses pemilihan Majelis BPSK dengan cara arbitrase ditempuh
melalui 2 (dua) tahap, yaitu : o
Para pihak memilih arbitor dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota Majelis BPSK.
o
Arbitor yang dipilih para pihak tersebut kemudian memilih arbitor ketiga dari anggota BPSK dari unsur pemerintah sebagai ketua Majelis BPSK.
Prinsip tata cara PSK dengan cara arbitrase dilakukan
dengan 2 (dua) persidangan yaitu : Persidangan Pertama : o
Kewajiban Majelis BPSK memberikan petunjuk tentang upaya hukum bagi kedua belah pihak;
o
Kewajiban Majelis BPSK untuk mendamaikan kedua belah pihak. Dalam hal tercapai perdamaian, maka hasilnya wajib dibuat penetapan perdamaian oleh Majelis BPSK.
o
Pencabutan gugatan konsumen dilakukan sebelum pelaku usaha memberikan jawaban, dituangkan dalam surat pernyataan, disertai dengan kewajiban Majelis BPSK mengumumkan pencabutan gugatan tersebut dalam persidangan.
93
o
Kewajiban Majelis BPSK untuk memberikan kesempatan yang sama bagi para pihak (asas audi et alteram partem).
o
Kesempatan yang sama untuk mempelajari berkas yang berkaitan dengan persidangan dan membuat kutipan seperlunya.
o
Pembacaan isi gugatan konsumen dan surat jawaban pelaku usaha, jika tidak tercapai perdamaian.
Persidangan Kedua : o
Kewajiban majelis BPSK untuk memberikan kesempatan yang terakhir sampai kepada persidangan yang kedua disertai kewajiban para pihak untuk membawa alat bukti yang diperlukan, bila salah satu pihak tidak hadir pada persidangan.
o
Persidangan kedua dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari kerja sejak hari persidangan pertama.
o
Kewajiban sekretariat BPSK untuk memberitahukan persidangan kedua dengan surat panggilan kepada para pihak.
o
Pengabulan gugatan konsumen, jika pelaku usaha tidak datang pada persidanga kedua (verstek) sebaliknya gugatan di gugurkan jika konsumen yang tidak datang.
Berlakunya UUPK yang disusul kemudian dengan UU arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UU No. 30 tahun 1999 , memberikan kesempatan kepada pelaku usaha dan konsumen untuk memilih diantara 2 (dua) macam arbitrase institusional, yaitu : o
Penyelesaian arbitrase berdasarkan UUPK;
o
Penyelesaian arbitrase berdasarkan Undang-Undang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
4. Alat Bukti dan Sistem Pembuktian
94
Dalam
melakukan pemeriksaan
dan
penelitian sengketa
konsumen, terdapat 2 (dua) hal yang harus diperhatikan : o
Penelitian dan pemeriksaan terhadap bukti surat, dokumen, bukti barang, hasil uji laboratorium, dan alat bukti lain yang diajukan baik oleh konsumen maupun pelaku usaha.
o
Pemeriksaan terhadap konsumen, pelaku usaha, saksi dan saksi ahli, atau terhadap orang lain yang mengetahui adanya pelanggaran terhadap ketentuan UUPK.
Pasal
Menurut
21
SK
Menperindag
No.
350/MPP/Kep/12/2001, alat-alat bukti yang dapat dipergunakan di BPSK, yaitu : o
Barang dan/atau jasa;
o
Keterangan para pihak;
o
Keterangan saksi dan/atau saksi ahli;
o
Surat dan/atau dokumen;
o
Bukti-bukti lain yang mendukung
Sistem pembuktian yang dipergunakan di BPSK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 UUPK , adalah Sistem Pembuktian Terbalik.
5. Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Putusan BPSK dijatuhkan paling lambat dalam waktu 21 (dua
puluh satu) hari kerja, sejak gugatan diterima di sekretariat BPSK (Pasal
55
UUPK
jo.
Pasal
38
SK
Menperindag
No.
350/MPP/Kep/12/2001).
mengikat
Menurut UUPK, isi putusan Majelis BPSK bersifat final dan (Pasal 54 ayat (3) UUPK). Kata final tersebut menurut
95
penjelasan Pasal 54 ayat (3) UUPK bahwa tidak ada upaya hukum banding dan kasasi atas putusan BPSK.
Isi putusan Majelis BPSK dalam hal permohonan penyelesaian
sengketa konsumen dikabulkan, yang antara lain berupa penjatuhan sanksi adminitratif maksimal Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah)
(Pasal 60 ayat (2) UUPK Jo. Pasal 37 ayat (5) SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001). Isi putusan Majelis BPSK yang
tidak berupa
penjatuhan saksi
administratif, dan merupakan hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi atau mediasi, telah dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh konsumen dan pelaku usaha, maka
perjanjian tersebut dikuatkan dengan keputusan Majelis BPSK yang ditandatangani oleh Ketua dan anggota majelis. (Pasal 37 ayat (1) dan
ayat (2) SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001). Dalam hal ternyata hasil penyelesaian sengketa konsumen dicapai melalui arbitrase , maka hasilnya dituangkan dalam bentuk putusan Majelis BPSK, yang ditandatangani oleh ketua dan anggota majelis
BPSK,
di mana
di dalamnya
diperkenankan penjatuhan
sanksi
administratif. (Pasal 37 ayat (4) dan ayat (5) SK Menperindag No.
350/MPP/Kep/12/2001). Proses dikeluarkannya putusan BPSK dilakukan dengan
tahapan : o
Didasarkan atas musyawarah untuk mencapai mufakat;
o
Apabila telah dilakukan dengan sunguh-sunguh, ternyata tidak tercapai mufakat, maka putusan dilakukan dengan cara voting/ suara terbanyak.
(Pasal
39
SK
Menperindag
350/MPP/Kep/12/2001)
Amar putusan BPSK terbatas pada 3 (tiga) alternatif, yaitu :
96
No.
o
Perdamaian;
o
Gugatan ditolak;
o
Gugatan dikabulkan. Jika gugatan dikabulkan, maka dalam amar keputusannya
ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha, yang dapat berupa : o
Ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dapat berupa : •
Pengembalian uang;
•
Penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara
nilainya; •
o
Perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan.
Sanksi adminitratif berupa penetapan ganti kerugian maksimal Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
UUPK tidak menentukan dalam waktu berapa lama putusan
BPSK diberitahukan kepada para phak. Mengenai hal tersebut diatur dalam SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 yang menentukan dalam 2(dua) pasal yang berbeda : o
Pasal 41 ayat (1) SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 menentukan bahwa “putusan BPSK diberitahukan secara tertulis kepada ke alamat para pihak dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan di bacakan.”
o
Pasal 13 ayat (1) SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 menentukan lain, yaitu pemberitahuan putusan BPSK dilakukan secara tertulis dan disampaikan ke alamat pelaku usaha dengan bukti penerimaan atau bukti pengiriman, selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja terhitung sejak putusan ditetapkan.”
97
Menurut Pasal 56 ayat
(1) UUPK, pelaku usaha wajib
melaksanakan keputusan BPSK dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan BPSK. Dalam hal ini tentunya apabila pelaku usaha tersebut menerima isi putusan BPSK tersebut, dan mau melaksanakannya secara sukarela.
6. Upaya Hukum
Putusan BPSK bersifat final dan mengikat, artinya tidak ada
upaya banding dan kasasi, namun, ternyata UUPK mengenal pengajuan keberatan kepada pengadilan negeri . Menurut
Pasal 56 ayat (2)
UUPK, para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan BPSK. Dengan tidak diajukannya keberatan oleh pelaku usaha dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, membawa akibat pelaku usaha dianggap menerima putusan BPSK. (Pasal 56 ayat
(3) UUPK).
Atas pengajuan keberatan dimaksud, pengadilan negeri wajib
mengeluarkan putusan (vonis) dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterimanya keberatan. (Pasal 58 ayat (1) UUPK). Atas keputusan pengadilan negeri tersebut, para pihak dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia paling lambat 14 (empat belas) hari. (Pasal 58 ayat (2) UUPK)
Mahkamah Agung Republik Indonesia, wajib mengeluarkan
putusan (Vonis) dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh)hari sejak menerima permohonan kasasi. (Pasal 58 ayat (3) UUPK).
Dengan dimungkinkannya diajukan banding, dan kemudian
kasasi, maka sebenarnya pembentuk undang-undang bersikap tidak konsisten.
98
Pasal
4
dan
Pasal
2
SK
Menperindag
No.
350/MPP/Kep/12/2001, menegaskan bahwa penyelesaian melalui BPSK bukan proses penyelesaian sengketa secara berjenjang . Untuk mengajukan penyelesaian sengketa konsumen ke pengadilan negeri tidak harus berproses terlebih dahulu di BPSK.
7. Eksekusi Putusan
Dalam hal pelaku usaha menyetujui diktum (amar,isi) putusan
BPSK, maka ia wajib melaksanakan putusan tersebut dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja, eterhitung sejak menyatakan menerima putusan BPSK.
Jika pelaku usaha tidak menggunakan upaya keberatan, maka
putusan BPSK menjadi berkekuatan hukum tetap. Tidak dilaksanakannya putusan tersebut, apalagi dengan telah diajukannya fiat eksekusi ke pengadilan negeri ditempat konsumen yang dirugikan,
berdasarkan
Pasal 57 UUPK , merupakan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen. Oleh karena itu, BPSK menyerahkan putusan BPSK tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Pasal 56 ayat (5) UUPK, putusan BPSK merupakan
bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.
PENYIDIKAN
Penyidik sebagaimana dimaksud Pasal 56 ayat (4) dan (5)
UUPK dalam kerangka Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku ( UU No. 8 tahun 1981 tentang Acara Pidana/KUHAP) , yaitu :
99
o
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia;
o
Pejabat Pegawai Negeri Sipil di lingkunag Departemen Perindustrian dan Perdagangan. (Pasal 59 ayat (1) UUPK).
Kewenangan yang dimiliki oleh penyidik pejabat
pegawai negeri sipil tersebut, yaitu : o
Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
o
Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
o
Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
o
Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
o
Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti serta melakukan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
o
Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan di bidang perlindungan konsumen. Kewenangan
penyidik
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
dilaksanakan dengan berkoordinasi dengan Penyidik POLRI. Koordinasi tersebut penting dilakukan dalam 2 (dua) hal : o
Pertama : Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil memberitahukan : •
Dimulainya penyidikan, lazim disebut Surat Pemberitahuan
Dilakukannya Penyidikan (SPDP); •
Hasil penyidikan kepada Penyidik POLRI, dapat berupa :
100
Cukup bukti sehingga perkara tindak pidana di bidang
perlindungan konsumen yang bersangkutan diteruskan pada tingkat penuntutan;
Tidak
cukup
bukti
sehingga
perlu
dikeluarkannya
perintah penghentian penyidikan. o
Kedua : penyampaian hasil penyidikan kepada penuntut umum dilakukan melalui Penyidik POLRI.
Hal-hal lain menyangkut penggunaan instrumen hukum pidana
berlaku ketentuan-ketentuan yang termuat dalam KUHAP sepanjang tidak dilakukan penyimpangan-penyimpangan dalam UUPK.
MATERI KULIAH XIV SANKSI
A. Sanksi Adminitratif
BPSK
memiliki
kewenangan
untuk
menjatuhkan
sanksi
adminitratif terhadap pelaku usaha berupa penetapan ganti kerugian paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). (Pasal 60 ayat
(1) dan (2) UUPK). B. Sanksi Pidana
Tuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha
dan/atau pengurusnya (Pasal 61 UUPK) . Hal ini ditujukan terhadap pelaku tindak pidana di bidang perlindungan konsumen yang dilakukan oleh Badan Usaha (Corporate Crime), maka dalam hal ini yang harus bertanggung jawab adalah pengurus badan usaha tersebut.
UUPK
telah
menempatkan
hukuman
tambahan
berupa
pembayaran ganti rugi dalam sistem pidana di Indonesia atas
101