BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan sangat besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memerlukan organisasi tersendiri dan perlu kepala rumah tangga sebagai tokoh penting yang mengemudikan perjalanan hidup keluarga disamping beberapa anggota keluarga lainnya. Anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak merupakan suatu kesatuan yang kuat apabila terdapat hubungan baik antara ayah-ibu, ayah-anak dan ibu-anak. Hubungan baik ini ditandai dengan adanya keserasian dalam hubungan timbal balik antar semua pribadi dalam keluarga. Interaksi antar pribadi yang terjadi dalam keluarga ini ternyata berpengaruh terhadap keadaan bahagia (harmonis) atau tidak bahagia (disharmonis) pada salah seorang atau beberapa anggota keluarga lainnya. Sebuah keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan dan puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi atau aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik, mental, emosi dan sosial seluruh anggota keluarga. Sebaliknya, keluarga disebut disharmonis apabila ada seorang atau beberapa orang anggota keluarga yang kehidupannya diliputi konflik, ketegangan, kekecewaan dan tidak pernah merasa puas dan bahagia terhadap keadaan serta keberadaan dirinya. Keadaan ini berhubungan dengan kegagalan atau ketidakmampuan dalam penyesuaian diri terhadap orang lain atau terhadap lingkungan sosialnya Ketegangan maupun konflik dengan pasangan atau antara suami dan istri merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah tangga. Tidak ada rumah tangga yang berjalan tanpa konflik namun konflik dalam rumah tangga bukanlah sesuatu yang menakutkan. Apabila konflik dapat diselesaikan secara sehat maka masing-masing pasangan (suami-istri) akan mendapatkan pelajaran yang berharga, menyadari 1
dan mengerti perasaan, kepribadian, gaya hidup dan pengendalian emosi pasangannya sehingga dapat mewujudkan kebahagiaan keluarga. Penyelesaian konflik secara sehat terjadi bila masing-masing pihak baik suami atau istri tidak mengedepankan kepentingan pribadi, mencari akar permasalahan dan membuat solusi yang sama-sama menguntungkan melalui komunikasi dan kebersamaan. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui apa-apa saja masalah-masalah yang sering kali memicu konflik dalam institusi keluarga, agar dapat disikapi lebih dini sebelum masalah tadi berujung pada sebuah konflik yang dapat menghancurkan keutuhan keluarga. B. Rumusan Masalah 1. Apa Definisi Keluarga? 2. Apa itu Litigasi? 3. Apa itu Non Litigasi? 4. Bagaimana Strategi Advokasi Hukum?
C. Tujuan Penulisan 1. Mengetahui Apa Definisi Keluarga 2. Mengetahui Apa itu Litigasi. 3. Mengetahui Apa itu Non Litigasi. 4. Mengetahui Bagaimana Strategi Advokasi Hukum.
2
BAB II PEMBAHASAN A. Definisi Keluarga Definisi keluarga dikemukakan oleh beberapa ahli : 1. Reisner (1980) Keluarga adalah sebuah kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang masing-masing mempunyai hubungan kekerabatan yang terdiri dari bapak, ibu, adik, kakak, kakek dan nenek. 2. Logan’s (1979) Keluarga adalah sebuah sistem sosial dan sebuah kumpulan beberapa komponen yang saling berinteraksi satu sama lain. 3. Gillis (1983) Keluarga adalah sebagaimana sebuah kesatuan yang kompleks dengan atribut yang dimiliki tetapi terdiri dari beberapa komponen yang masing-masing mempunyai arti sebagaimana unit individu. 4. Duval Keluarga merupakan sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan
perkawinan,
meningkatkan
dan
adopsi,
kelahiran
mempertahankan
yang
bertujuan
untuk
budaya
yang
umum,
meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial dari tiap anggota. 5. Bailon dan Maglaya Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan, atau adopsi, hidup dalam satu rumah tangga, saling berinteraksi satu sama lainnya dalam perannya dan menciptakan dan mempertahankan suatu budaya. 6. Johnson’s (1992) Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan darah yang sama atau tidak, yang terlibat dalam kehidupan yang terus menerus, yang tinggal dalam satu atap, yang mempunyai ikatan emosional dan mempunyai kewajiban antara satu orang dengan orang yang lainnya. 7. Lancester dan Stanhope (1992) Dua atau lebih individu yang berasal dari kelompok keluarga yang sama atau yang berbeda dan saling menikutsertakan dalam kehidupan
3
yang terus menerus, biasanya bertempat tinggal dalam satu rumah, mempunyai ikatan emosional dan adanya pembagian tugas antara satu dengan yang lainnya. 8. Jonasik and Green (1992) Keluarga adalah sebuah sistem yang saling tergantung, yang mempunyai dua sifat (keanggotaan dalam keluarga dan berinteraksi dengan anggota yang lainnya). 9. Bentler et. Al (1989) Keluarga adalah sebuah kelompok sosial yang unik yang mempunyai kebersamaan seperti pertalian darah/ikatan keluarga, emosional, memberikan perhatian/asuhan, tujuan orientasi kepentingan dan memberikan asuhan untuk berkembang. 10. National Center for Statistic (1990) Keluarga adalah sebuah kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang berhubungan dengan kelahiran, perkawinan, atau adopsi dan tinggal bersama dalam satu rumah. 11. Spradley dan Allender (1996) Satu atau lebih individu yang tinggal bersama, sehingga mempunyai ikatan emosional, dan mengembangkan dalam interelasi sosial, peran dan tugas. B. Litigasi 1. Litigasi Advokasi Litigasi adalah salah satu bentuk advokasi hukum yang dilakukan melalui proses pengadilan, bahkan sebelum kasus atau satu perkara di sidangkan ke pengadilan, pendampingan klien atas pemeriksaan atau penyidikan di tingkat kepolisian, serta proses penuntutan di tingkat kejaksaan dapat juga dikatagorikan sebagai bentuk litigasi. Di dalam melaksanakan advokasi hukum dalam bentuk litigasi ini jelas dibutuhkan keahlian dan ketrampilan serta pengetahuan tentang prosedur hukum beracara mulai dari tingkat kepolisian, kejaksaan, hingga tingkat pengadilan. Lazimnya proses advokasi hukum yang demikian ini dilakukan oleh kelompok professional yang memiliki izin untuk itu, yang
4
biasanya dikenal dengan sebutan advokat atau penasehat hukum. Penasehat hukum biasanya dalam mengadvokasi kliennya mulai dari: a. Pemeriksaan Pendahuluan Adalah pemeriksaan tahap awal terhadap seorang tersangka yang dilakukan oleh penyidik. Kedudukan dari seorang tersangka dalam pemeriksan pendahuluan menurut sistem H.I.R, adalah sebagai obyeknya yang harus diperiksa atau obyek pemeriksaan artinya sebagai barang yang harus diperiksa wujudnya berhubung dengan adanya suatu persangkaan. b. Pemeriksaan Persidangan Adalah pemeriksaan terhadap seorang terdakwa didepan sidang pengadilan,
dimana
hakim
mengadili
perkara
yang
diajukan
kepadanya. Pemeriksaan persidangan ini berarti serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana. Pada persidangan ini terdakwa bebas memilih penasihat hukum untuk membantu terdakwa apabila hakim yang memeriksa menyalahi wewenang dan juga mengarah berat sebelah dengan penuntutan, sehingga akan merugikan hak azasi terdakwa dan terdakwa akan kehilangan hak azasinya. Peranan advokasi hukum dalam hal ini membantu melancarkan persidangan dan berusaha sekuat dan segala kemampuannya untuk membantu meringankan penderitaan terdakwa.
c. Pemeriksaan biasa Apabila pengadilan negeri berpendapat bahwa perkara yang diajukan kepadanya termasuk wewenangnya, maka ketua pengadilan negeri menunjuk hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut dan hakim yang bersangkutan menetapkan hari sidang, memeritahkan penuntut umum memanggil terdakwa dan saksi untuk datang dipersidangan dengan surat panggilan yang sah yang harus deterima yang bersangkutan selambat – lambatnya tiga hari sebelum sidang. ( pasal 145, pasal 146, pasal 152, UU, No.8 th 1981 ).
5
Acara pemeriksaan biasa dimulai dengan pembukaan sidang oleh hakim ketua sidang yang menyatakan sidang dibuka untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atau terdakwanya anak – anak yang menurut undang – undang harus disidangkan secara tertutup. Yang lebih dahulu diperiksa dalam sidang pengadilan adalah terdakwa, lalu saksi korban, lalu saksi – saksi lain baik yang meringankan maupun yang memberatkan terdakwa. Penuntut umum dan penasihat hukum mendapat kesempatan bertanya juga. Pada permulaan sidang, hakim ketua
menanyakan
identitas
terdakwa
secara
lengkap
dan
mengingatkan agar terdakwa memperhatikan segala yang didengar dan dilihat dalam sidang. Kemudian hakim ketua sidang minta kepada penuntut umum untuk membacakan surat dakwaan dan menanyakan kepada terdakwa apakah sudah mengerti tentang dakwaan itu. Apabila tidak mengerti, maka penuntut umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan yang diperlukan. Selanjutnya terdakwa atau penasihat hukumnya dapat mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang memeriksa perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan dan kepada penuntut umum diberi kekuasaan untuk menanyakan pendapatnya. Atas keberatan tersebut hakim
mempertimbangkan
dan
untuk
selanjutnya
mengambil
keputusan. Apabila hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, dan apabila tidak diterima atau hakim berpendapat hat tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan. Apabila penuntut umum berkeberatan terhadap keputusan hakim tersebut, maka ia dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri yang bersangkutan. Terdakwa atau penasihat hukumnya dapat juga mengajukan perlawanan terhadap keputusan hakim tersebut kepada pengadila tinggi dan dalam waktu empat belas hari sejak diajukannya perlawanan tersebut apabila pengadilan tinggi menerimanya, maka dengan surat 6
penetapannya
membatalkan
putusan
pengadilan
negeri
dan
memerintahkan pengadilan negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara itu. Perlawanan terdakwa tersebut dapat diajukan bersama – sama dengan permintaan banding. Apabila pengadilan yang berwenang memeriksa perkara itu berkedudukan didaerah hukum pengadilan tinggi lain, maka kejaksaan negeri mengirimkan perkara tersebut kepada kejaksaan negeri dalam daerah hukum pengadilan negeri yang berwenang ditempat itu. Keputusan hakim dapat berupa salah satu dari tiga kemungkinan, yaitu : 1) Pembebasan atau putusan bebas, jika kesalahan terdakwa tidak 2)
terbukti. Lepas dari tuntutan hukum, jika perbuatan terdakwa terbukti
3)
tetapi bukan merupakan tindak pidana. Pemidanaan atau pidan, jika kesalahan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan.
C. Non Litigasi 1. Non litigasi Di samping melalui Litigasi, juga dikenal Alternatif penyelesaian sengketa di Luar Pengadilan yang lazim disebut Non Litigasi. Alternatif penyelesaian sengketa Non Litigasi adalah suatu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau dengan cara mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. Dewasa ini cara penyelesaian sengketa melalui peradilan mendapat kritik yang cukup tajam, baik dari praktisi maupun teoritisi hokum. Peran dan fungsi peradilan,
dianggap
mengalami
beban
yang
terlampau
padat (overloaded), lamban dan buang waktu (waste of time), biaya mahal(very
expensif) dan
kurng
tanggap (unresponsive) terhadap
kepentingan umum, atau dianggap terlalu formalistis (formalistic) dan terlampau teknis (technically).
7
Dalam pasal (1) angka (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, disebutkan bahwa masyarakat dimungkinkan memakai alternatif lain dalam melakukan penyelesaian sengketa. Alternatif tersebut dapat dilakukan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Berikut adalah contoh strategi dalam advokasi non litigasi bagi PTK-PNF oleh LKBH: Menurut Fiona Boyle et al., advokasi hukum tidak lain adalah seni tentang persuasi di dalam konteks hukum, yakni suatu persuasi yang berakar kepada pemahaman suatu kasus, dan pengetahuan yang cukup terhadap peraturan perundang-undangan, serta kemampuan persuasif sebelum kasus tersebut diperiksa di dalam pengadilan atau tribunal. Berdasarkan rumusan yang demikian ini kemampuan advokasi sangat erat dengan unsur pengetahuan dan pemahaman terhadap hukum yang berlaku. Kemampuan advokasi hukum lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan interview, menyusun ilustrasi kasus (kronologi kasus), serta kemahiran di bidang penelitian dan analisis kasus hukum. Kemampuan tersebut pada prinsipnya dapat memberikan arah dan fokus advokasi yang efektif, yakni menentukan apakah suatu kasus adalah kasus hukum atau bukan; bentuk advokasi hukum yang dibutuhkan; serta strategi mana yang dianggap paling sesuai untuk mencapai hasil yang diinginkan. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya di dalam proses advokasi adalah faktor persiapan yang sudah dilakukan oleh pihak yang akan melakukan advokasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan suatu advokasi sangat ditentukan oleh bagusnya persiapan yang dilakukan sebelum advokasi dilakukan. Hal ini kiranya sangat sesuai dengan ungkapan yang menyatakan bahwa persiapan yang memadai merupakan setengah langkah dari keberhasilan. Adapun jenis persiapan yang perlu dilakukan di dalam melakukan advokasi antara lain meliputi identifikasi kasus, yakni usaha untuk mendapatkan ilustrasi tentang anatomi kasus; menginventarisir bahan-bahan hukum; menganalisis alat-alat bukti;
8
menyusun atau mengkonstruksi advokasi hukum serta memprediksi berbagai kemungkinan yang bakal terjadi terhadap jalannya kasus. Di samping itu persiapan penting lainnya adalah mempersiapkan diri si pemberi advokasi bahwa dirinya benar-benar yakin dan memiliki waktu dan kemampuan untuk menyelesaikan kasus yang tengah dihadapainya, atau setidaknya dia memiliki referensi alternatif, manakala kasus yang ditangani tersebut terhenti di tengah jalan, maka advokasi substitusi sudah siap untuk menggantikannya. Untuk lebih jelasnya berikut ini akan diuraikan secara sederhana beberapa tahapan penting untuk dilakukan di dalam melakukan advokasi, yaitu: a. Identifikasi dan analisis kasus; b. pemberian pendapat hukum (legal memorandum); dan c. praktek pendampingan hukum.
2. Tahap Identifikasi dan Analisis Kasus Bahwa langkah pertama yang harus dilakukan di dalam proses advokasi hukum ialah melakukan identifikasi permasalahan atau kasus hukum yang hendak ditangani. Asumsinya adalah semakin awal diketahui seluruh aspek kasus hukum yang menjadi obyek advokasi, maka semakin fokus dan akurat advis dan langkah hukum yang akan dilakukan. Sebagaimana diketahui, bahwa setiap kasus hukum tidak selalu berdimensi tunggal, akan tetapi tidak jarang suatu kasus mencakup di dalamnya lebih dari satu dimensi hukum, baik dimensi pidana, perdata bahkan juga dimensi hukum administrasi. Sebagai contoh sederhana, kasus hukum kekerasan di dalam proses belajar-mengajar --pemukulan peserta didik yang dilakukan oleh oknum pendidik dengan dalih penegakan disiplin—- setidaknya ada tiga aspek hukum yang bisa dikenakan dalam kasus ini, yaitu aspek pidana (penganiayaan); aspek perdata (ganti rugi atas dasar pebuatan melawan hukum); serta aspek hukum administrasi (pemberian skorsing, penghentian sementara tugas mengajar). Akan tetapi tidak jarang pula suatu persoalan yang dimintakan advokasi hukum justru sama sekali bukan termasuk bidang garapan 9
advokasi hukum melainkan garapan bidang institusi lainnya. Misalnya permasalahan keinginan sejumlah PTK-PNF untuk diangkat statusnya menjadi pegawai negeri sipil. Jelas yang demikian ini bukan fokus advokasi hukum, melainkan bagian dari urusan biro kepegawaian. Oleh karena masalah tersebut bukan ranah hukum, akan tetapi masuk ke dalam katagori ranah administrasi. Berdasarkan hal demikian ini, langkah identifikasi aspek hukum suatu kasus adalah sangat penting di dalam proses advokasi hukum. Proses identifikasi yang akurat dan obyektif, akan menghasilkan langkah dan a.
strategi yang tepat di dalam proses advokasi hukum, yaitu: Sejak dini sudah dapat dipastikan bahwa kasus tersebut perlu
b.
dilakukan advokasi hukum ataukah tidak; Bahwa jika kasus tersebut adalah kasus hukum, maka aspekhukum
c.
apakah yang perlu diprioritaskan advokasi hukumnya; Jika kasus tersebut di luar bidang keahliannya perlukah meminta
d.
bantuan tenaga yang lebih expert; Ataukah tidak sebaiknya kasus tersebut disarankan untuk ditangani oleh pihak yang lebih berkompeten, dan seterusnya. Selanjutnya langkah yang mesti ditempuh pasca identifikasi aspek hukum suatu kasus adalah fase analisis kasus (case analysis . Bahwa tahap analisis kasus ini dilakukan adalah untuk mengetahui secara obyektif duduk persoalan atau fakta empiris dari suatu kasus dengan cara mengumpulkan informasi dan berbagai alat bukti yang berkaitan dengan kasus tersebut. Kemudian setelah itu dilakukan pula proses inventarisasi peraturan hukum maupun jurisprudensi yang berhubungan dengan kasus yang perlu diadvokasi tersebut. Bahkan perburuan informasi melalui literatur dan studi kepustakaan adalah sesuatu yang niscaya di dalam menganalis suatu kasus, karena ada kemungkinan kasus yang tengah dihadapi ternyata pernah terjadi atau setidaknya mirip dengan kasus di tempat lain. Seterusnya jika dirasa perlu, konsultasi dengan kaum intelektual hukum yang ahli di bidangnya perlu dilakukan untuk memperoleh kejelasan suatu kasus. 10
Berdasarkan serangkaian investigasi fakta dan norma hukum tersebut, maka kasus tersebut setidaknya telah diketemukan jawabannya secara hipotetis atau secara apriori, yakni: 1)
tentang kedudukan klien, posisinya kuat (pihak yang benar) ataukah
2)
justru lemah (pihak yang salah); alat-alat bukti apakah yang mesti dihadirkan untuk memperkuat posisi
3) 4)
klien; strategi apakah yang perlu ditempuh di dalam proses advokasi tersebut; prediksi mengenai probabilitas berhasil tidaknya advokasi hukum itu, dan seterusnya. Berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan, bahwa langkah
identifikasi masalah dan analisis kasus pada dasarnya adalah ketrampilan hukum atau lebih tepatnya ketrampilandi bidang penelitian hukum. a. Tahap Pemberian Pendapat Hukum (Legal Memorandum) Pendapat hukum atau legal memorandum sesungguhnya adalah salah satu jenis penulisan esai yang berkenaan dengan isu hukum. Memo hukum ini biasanya ditulis bedasarkan hasil kajian dan penelusuran hukum oleh mahasiswa hukum maupun advokat. Isi memo hukum tersebut antara lain berkenaan dengan isu atau permasalahan hukum, kesimpulan, diskusi penerapan hukum terhadap suatu peristiwa, catatan atau kemungkinan implikasi hukum kasus tersebut, serta rekomendasi yang dihasilkan berdasarkan diskusi. Dalam kaitannya dengan tahapan advokasi sebelum ini, yaitu tahap identifikasi dan analisis kasus, maka pendapat hukum atau memo hukum ini tidak lain adalah catatan pihak pemberi layanan advokasi terhadap kliennya mengenai posisi kasus, prediksi kasus, catatan-catatan kritis atas kasus tersebut, serta rekomendasi yang disarankan untuk dilakukan oleh klien. Bahwa pemberian pendapat hukum ini harus diberikan secara obyektif dan tidak boleh ditutup-tutupi, termasuk konsekuensi atau dampak yang akan terjadi manakala kasus tersebut terpaksa diselesaikan melalui mekanisme advokasi hukum. Dengan demikian, diharapkan
11
keputusan yang diambil klien betul-betul obyektif, tidak emosional dan tidak obsesif atau wishful thinking. b. Tahap Pendampingan Hukum Bahwa pada tahap ini, pihak penyedia layanan advokasi hukum (LKBH) telah menyatakan kesediaanya untuk melakukan advokasi hukum sebagaimana dikehendaki oleh pihak klien. Berkenaan dengan implementasi advokasi hukum ini ada baiknya diperhatikan, hal-hal yang perlu ditegaskan di dalam proses advokasi agar dapat berjalan efektif. Yaitu: 1) Aspek legitimasi proses advokasi hukum melalui pemberian surat kuasa; 2) Aspek kontraktual yang berisi kesepakatan mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak; 3) Aspek logistik atau yang berkenaan dengan masalah finansial yang dibutuhkan selama proses advokasi tersebut. Dalam kaitan ini, ada baiknya sebagai ilustrasi perbandingan, diketengahkan ketentuan, syarat, dilakukan oleh LKBH
prosedur advokasi hukum yang
Universitas Muhammadiyah Malang yang
menjadi partner Direktorat PTK-PNF, yakni antara lain: Bahwa advokasi hukum diberikan kepada: 1)
Tenaga pendidik yang masih berstatus PTK-PNF, yang dibuktikan dengan surat keputusan atau surat tugas PTK-PNF yang diterbitkan
2)
oleh pejabat yang berwenang; Terdapat permasalahan hukum atau permasalahan profesi yang terkait dengan pelaksanaan tugas sebagai PTK-PNF; dan Layanan advokasi hukum tidak dikenai biaya apapun.Sementara itu prosedur advokasi hukum diberikan kepada PTK-PNF dengan cara: PTK-PNF yang bersangkutan atas inisiatif sendiri atau atas permintaan asosiasi mengajukan permohonan advokasi hukum, baik secara lisan maupun secara tertulis; LKBH segera melakukan verifikasi terhadap permohonan yang diajukan; Jawaban atau rekomendasi dari LKBH diberikan secara tertulis paling lambat tujuh hari setelah permohonan masuk.
12
Selanjutnya penanganan kasus melalui advokasi hukum yang dilakukan LKBH, setidaknya harus memenuhi empat indicator, yakni: 1) 2) 3) 4)
Aspek kemendesakan (urgensi); Aspek tingkat ancaman; Aspek hasil analisis kasus; dan Aspek rekomendasi.
D. Strategi Advokasi Hukum Strategi yang digunakan di dalam proses advokasi hukum tentunya sangat ditentukan oleh pendekatan yang dilakukan di dalam keseluruhan proses advokasi. Strategi yang dipilih juga bergantung kepada cara pandang terhadap advokasi itu sendiri, yakni berkaitan dengan seberapa besar harapan yang akan diperoleh berupa konsesi, pemberian timbal balik, maupun solusi yang mungkin bisa dicapai. Dengan kata lain strategi dapat dimaknai sebagai taktik yang digunakan untuk mencapai hasil yang terbaik sesuai dengan yang diharapkan. Sesungguhnya di dalam literatur tidak dijumpai model strategi advokasi hukum, oleh karena proses advokasi hukum tidak berkaitan dengan teknik meyakinkan pihak lawan dengan bujukan, ancaman atau pun tawaran berupa pemberian suatu konsesi tertentu. Advokasi hukum justru melakukan persuasi kepada pihak lawan dengan menggunakan dalil-dalil hukum dan fakta-fakta obyektif untuk memaksa lawan melakukan tindakan tertentu. Model strategi yang dikenal dalam proses advokasi, justru dijumpai di dalam salah satu varian advokasi hukum yaitu proses negoisasi. Jika strategi negoisasi itu dianalogikan terhadap proses advokasi hukum, maka strategi advokasi hukum dibedakan atas lima macam, yakni: 1. Strategi Kompetitif Strategi ini menggunakan pendekatan diameteral atau saling berhadap-hadapan antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Kedudukan masing-masing pihak berada di antara posisi ekstrim yaitu menang atau kalah. Tujuan
yang hendak dicapai melalui strategi
kompetitif adalah untuk menghancurkan kepecayaan diri pihak lawan. Di
13
samping itu juga diharapkan memperoleh keuntungan sebanyak mungkin dari pihak lawan yang kalah. Kelebihan strategi adalah: a.
Sangat membantu penyelesaian kasus terutama kasus kecil atau
b.
sederhana; Bersifat intimidatif, terutama dalam kondisi perimbangan kekuatan yang timpang; dan Efektif digunakan pada awal advokasi hukum, ketika pihak lawan belum mengetahui kekuatan atau kelemahan yang sesungguhnya. Sedangkan kekurangan strategi ini adalah: a. Tidak kreatif untuk mencari solusi alternatif; b. Tidak realistis; c. Sulit untuk dilakukan dalam waktu yang agak lama; d. Dapat menimbulkan reaksi yang tidak diharapkan. 2. Strategi Kooperatif; Pendekatan kooperatif di sini dimaksudkan untk memperoleh hasil yang terbaik dari masing-masing pihak. Para pihak bertujuan untuk membuat kesepakatan yang saling menguntungkan satu sama lain, dengan cara mengabaikan konflik, saling berusaha mempercayai, menawarkan konsiliasi, kemauan untuk saling memberi, saling terbuka. Adapun keuntungan strategi kooperatif antara lain: a. Kemustahilan terjadinya dead lock; b. Terjaganya hubungan baik para pihak; c. Minimnya ketegangan dan tingkat stress di antara para pihak. Sementara itu sisi kelemahannya pendekatan ini, ialah: a. b. c.
Para pihak dipersepsikan lemah tidak berdaya; Membutuhkan informasi yang memadai tentang pihak lain; Berisiko tinggi jika salah satu pihak beriktikad tidak baik sedangkan
kesepakatan belum selesai seluruhnya. 3. Strategi Pemecahan Masalah Strategi ini berkonsentrasi untuk menemukan solusi kreatif di dalam usahanya memberikan bagian atau interest kepada kedua belah pihak. Tujuan utama strategi ini ialah menganggap suatu pemasalahan itu dapat dipisahkan dari manusia – sebagaimana kata orang bijak, bahwa tidak ada persoalan yang tidak ada jalan keluarnya-- tentunya melalui berbagai
opsi
yang
dituangkan
Karakteristik strategi ini antara lain: 14
dalam
kesepakatan
kontraktual.
a. b. c. d. e.
Berusaha untuk memahami pihak lainnya secara emphati; Menghargai ikatan emosional di antara para pihak; Fokus terhadap masing-masing kepentingan pihak lain; Menekankan kepada komunikasi yang baik; dan Melahirkan solusi kreatif dan inovatif. Sementara itu keunggulan strategi ini ialah: a. Tidak saling menjatuhkan, dead lock dapat dihindari; b. Fokus kepada permasalahan utama; c. Kreatif. Sedangkan kelemahan stategi ini, adalah: a. Membutuhkan informasi lebih banyak ; b. Sulit dilakukan jika pihak lain tidak menghendaki strategi ini; c. Tidak realistis, agaknya sulit ditemui proses advokasi yang menghasilkan kepuasan di antara para pihak yang bertikai. 4. Strategi Mengelak (Avoiding) Strategi ini tujuan utamanya adalah mencari-cari alasan untuk menolak berbagai bentuk kemajuan riil yang dicapai dalam proses advokasi. Dalam praktek strategi sudah jarang dipakai, karena strategi ini digunakan dalam keadaan terdesak, dan sifatnya hanya mengulur-ulur waktu saja (buying time). Adapun kelebihan strategi ini ialah: 1. Dapat meletakkan pihak lawan dalam posisi di bawah tekanan (under pressure); 2. Memaksa pihak lawan untuk mengambil inisitif; 3. Dapat menunda pelaksanaan kesepakatan melalui cara mengulur waktu. Sedangkan keburukan strategi ini adalah: 1. Dapat memberikan keleluasan pihak lawan untuk mengendalikan pihak yang mengelak; 2. Adanya ancaman untuk diselesaikan lewat jalur pengadilan dengan kekuatan sita dan eksekusinya; 3. Bertentangan dengan hukum acara yang menganjurkan penyelesaian kasus secara sederhana dan tidak berbelit-belit; 4. Strategi ini tidak etis. 5. Strategi Akomodatif 15
Strategi ini sering dipadankan dengan strategi kooperatif yang dilakukan secara ekstrem. Strategi akomodatif melibatkan kesepakatan terhadap penawaran pihak lawan secara ekstrem. Yaitu kemungkinan penerimaan tawaran pihak lawan tanpa persyaratan apapun. Karakteristik strategi ini mungkin hanya digunakan oleh keompok advokasi hukum yang kurang berpengalaman. Kelebihan strategi ini tida ada, sedangkan kelemahannya terletak pada kegagalannya untuk meraih hasil yang baik, hampir-hampir tidak mungkin diperoleh.
16
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Keluarga merupakan wadah sosialisasi yang pertama, dan penting, karena akan sangat mempengaruhi terbentuknya perilaku seseorang. Anak yang tumbuh dalam sebuah keluarga akan mencerminkan pola pengasuhan yang diterapkan kepada dia, dalam kehidupannya sehari. Maka dari itu peran keluarga tempat tumbuh dan berkembangnya individu memegang peranan yang cukup central. Meskipun keluarga inti hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak, namun konflik-konflik atau masalah selalu mengikuti dinamika perkembangan keluarga. Beberapa masalah yang sering muncul sebagai pemicu konflik antara lain Namun, jika kita dapat menyikapi setiap masalah tadi dengan bijak, dan baik maka masalah tadi yang malah akan memperkuat keutuhan sebuah keluarga. Masalah tersebut akan melibatkan pemikiran-pemikiran, perasaanperasaan, serta kerjasama antar anggota keluarga dalam merumuskan sebuah solusi. Hal itu tentu akan mempererat persatuan, dan kesolitan sebuah keluarga. Sebagai sebuah catatan bahwa dalam upaya menyelesaikan masalah keluarga haruslah dipahami betul kompleksitas serta kerumitan masalah yang dihadapi. Semua harus sadar bahwa setiap masalah memiliki kompleksitas masing-masing sehingga tidak bisa begitu saja mengaplikasikan sebuah teori untuk menyelesaikannya. Semua juga harus ingat bahwa selain teori-teori 17
yang ada, sebenarnya masyarakat juga memiliki budaya sendiri dalam menyelesaikan masalahnya.
B. Saran Adapun saran yang bisa kami berikan adalah mari kita sebagai kalangan akademis
menjadi contoh dalam menggunakan teknologi dengan bijaksana,kita
cegah penyalahgunaan teknologi agar tidak mengancam kelangsungan hidup di bumi tercinta ini. Jika belum mampu mencegah dampak negatif yang besar setidaknya mari kita mulai dari diri kita sendiri dan keluarga kita.
18
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. (2002). Psikologi Sosial. Rineka Cipta: Jakarta. Meda Wahini. (2008). Keluarga Sebagai Tempat Pertama Dan Utama Terjadinya Sosialisasi Pada Anak. Pustaka Abadi : Palembang Ibnu Qasim. http://www.radarsemarang.com/daerah/kudus/2356kontrollingkungankeluarga-dan-sosial.html
19
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur hanya untuk Allah SWT. Yang telah memberikan taufik dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat dan salam senantiasa dicurahkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dan segenap keluarganya serta orang-orang yang meneruskan risalahnya sampai akhir zaman. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kebaikan makalah ini sangat diharapkan dari para pembaca. Akhir kata, semoga karya tulis sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Bengkulu, Maret 2016
Penulis
i 20
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL KATA PENGANTAR.....................................................................................
i
DAFTAR ISI...................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang....................................................................................... B. Rumusan Masalah.................................................................................. C. Tujuan....................................................................................................
1 2 2
BAB II PEMBAHASAN A. B. C. D.
Definisi Keluarga........................................................................ Litigasi......................................................................................... Non Litigasi................................................................................. Strategi Advokasi Hukum..........................................................`
3 4 8 14
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan............................................................................................ B. Saran ..................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA
ii
21
18 19