K at a P en ga nt ar
Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat, berkah, dan Karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah iniyang berjudul “Pemutusan Hubungan Kerja”. Makalah ini disusun agar dapat menambah referensi pustaka yang berhubungan dengan Pemutusan Hubungan Kerja dan sebagai salah satu pemenuhan tugas terstruktur dari mata kuliah Hukum Perburuhan/ Ketenagakerjaan Saya mengucapkan terima kasih kepada semua sumber-sumber media yang telah saya jadikan referensi untuk penyusunan makalah ini, semoga dapat memberikan terwujudnya generasi masa depan yang lebih baik. Saya berharap, semoga informasi yang ada dalam makalah ini dapat berguna bagi saya khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, masih ada kekurangan dan kesalahannya. Saya menerima kritik dan saran yang membantu guna penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
1.1 1.2 1.3 1.4
BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG RUMUSAN MASALAH MAKSUD DAN TUJUAN METODE PENULISAN
2.1 2.2 2.3. 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8
BAB II PEMBAHASAN PENGERTIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) FUNGSI DAN TUJUAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) PRINSIP-PRINSIP PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) JENIS-JENIS PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) MEKANISME DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN PHK PROSES DAN PROSEDUR PHK KOMPENSASI PHK PASAL-PASAL PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)
3.1 3.2
BAB III PENUTUP KESIMPULAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang
Sering kita mendengar mengenai karyawan, dimana karyawan adalah anggota dari sebuah organisasi peruasaan/lembaga yang bekerja dalam mencapai tujuan tertentu. Ada yang bekerja di lembaga kepemerintahan dan ada pula yang di lembaga swasta. Bagi mereka yang bekerja di lembaga kepemerintahan bias kita sebut sebagai Pegawai Negri Sipil (PNS) yang mereka bekerja untuk Negara dan di gajih pula oleh Negara dan diatur pula oleh aturan pemerintah. Kemudian ada yang bekerja di lembaga suasta dimana mereka di pekerjakan oleh perusahaan atau lembaga suata diman merka di atur oleh perusahaan dan oleh pemerintah.
Dalam mencapai tujuannya perusahaan sangat di pengaruhi oleh yang namanya karyawan. Dalam proses tersebut ada beberapa hal yang harus di perhatikan salah satunya adalah Pemutusan hubungan kerja (PHK). Di Indonesia sendiri Pemutusan hubungan kerja ini di atur dalam undang – undang ketenaga kerjaan yaitu dalam UU RI No.13 Tahun 2003, dimana disini di jelaskan aturan - aturan mengenai pemutusan hubungan kerja. Di Negara ini pun pernah terjadi PHK secara besar – besaran dimana pada waktu itu terjadi krisis moneter, yang mengakibatkan perusahaan tidak sanggup lagi menggaji karyawannya. Langkah ini terpakas di lakukan sebagai solusi dari perusahaan karna mengalami kerugian yang cukup besar. Sementara perusahaan harus memenuhi kewajibannya untuk mnggaji karyawan.
Dan pada waktu itu PHK menjadi momok besar yang sangat menakutkan. Para karyawan cemas akan nasibnya yang akan di berhentikan dari pekerjaanya. Hingga saat ini PHK menjadi pemikiran yang negatif karna di anggap sebagai pemecatan. Padahal PHK bukan itu tapi ini merupakan proses dari sebuah keberlangsungan perusahaan. Dan akan dibahas lebih jelasnya dalam pembahasan makalah ini.
1.2.
Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah : 1. Apa definisi dari PHK ? 2. Apa fungsi dan tujuan dari PHK ?
3. Jelaskan jenis – jenis dari PHK ! 4. Jelaskan mekanisme dan penyelesaian PHK ! 5. Dan bagai mana mekanisme dan apa penyebab terjadinya PHK di SMK Muhammadiyah 1 Kuningan?
1.3.
Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dibuatnya makalah yang membahas tentang pemutusan hubungan kerja ini adalah sebagai berikut :
1. 2. 3. 4.
Mengetahui definisi dari Pemutusan Hubungan Kerja ( PHK ) . Mengetahui fungsi dan tujuan pemutusan hubungan kerja ( PHK ) . Mengetahui jenis – jenis dan prinsip – prinsip dari Pemutusan Hubungan Kerja ( PHK ) . Mengetahui mekanisme pemberian PHK kepada karyawan dan cara penyelesaian perselisihan yang akan timbul setelah Pemutusan hubungan kerja dilakukan . 5. Mengetahui bentuk dari pemberian kompensasi kepada karyawan yang mendapatkan pemutusan hubungan kerja dari lembaga swasta . 4
METODE PENULISAN 1. OBJEK PENULISAN Objek penulisan dalam tugas ini adalah pengertian dan permasalahan mengenai pemutusan hubungan kerja.
2.
METODE PENGUMPULAN DATA Dalam pembuatan makalah ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah kaji pustaka terhadap bahan-bahan perpustakaan yang sesuai dengan permasalahan yang diangkat dalam makalah ini yaitu masalah mengenaipemutusan hubungan kerja. Sebagai referensi juga diperoleh dari berbagai media baik dari televisi, koran, dan media informasi yang membahas mengenai pemutusan hubungan kerja.
3.
METODE ANALISIS Penyusunan makalah ini berdasarkan metode deskriptif analistis, yaitu mengidentifikasi permasalahan berdasarkan fakta dan data yang ada, dan dengan data pend ukung lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN 2.1.
Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara karyawan dan perusahaan. Apabila kita mendengar istilah PHK, yang biasa terlintas adalah pemecatan sepihak oleh pihak perusahaan karena kesalahan karyawan. Karenanya, selama ini singkatan PHK memiliki konotasi negatif. Padahal, kalau kita tilik definisi di atas yang diambil dari UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, dijelaskan Pemutusan Hubungan kerja dapat terjadi karena bermacam sebab. Intinya tidak persis sama dengan pengertian dipecat. Tergantung alasannya,Pemutusan hubungan kerja mungkin membutuhkan penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI) mungkin juga tidak. Meski begitu, dalam praktek tidak semua Pemutusan Hubungan kerja yang butuh penetapan dilaporkan kepada instansi ketenagakerjaan, baik karena tidak perlu ada penetapan, Pemutusan Hubungan kerja tidak berujung sengketa hukum, atau karena karyawan tidak mengetahui hak mereka.
2.1.1
Pengadil an Hu bungan In dustri al
Pihak yang menolak anjuran mediator/konsiliator, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Pengadilan ini untuk pertamakalinya didirikan di tiap ibukota provinsi. Nantinya, PHI juga akan didirikan di tiap kabupaten/ kota. Tugas pengadilan ini antara lain mengadili perkara perselisihan hubungan industrial, termasuk perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja, serta menerima permohonan dan melakukan eksekusi terhadap Perjanjian Bersama yang dilanggar. Selain mengadili Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) mengadili jenis perselisihan lainnya: Perselisihan yang timbul akibat adanya perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat karyawan. Sebelum Pengadilan Hubungan Industrial berdiri pada 2006, perselisihan hubungan Industrial masih ditangani pemerintah lewat Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah(P4D) serta Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) memiliki berbagai pengertian, diantaranya : 1.
Menurut Mutiara S. Panggabean
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan pengakhiran hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha yang dapat disebabkan oleh berbagai macam alasan, sehingga berakhir pula hak dan kewajiban di antara mereka.
2.
Menurut Malayu S.P. Hasibuan
Pemberhentian adalah fungsi operatif terakhir manajemen sumberdaya manusia.Dan istilah ini mempunyai sinonim dengan separation, pemisahan atau pemutusan hubungan kerja (PHK). 3. Menurut Sondang P. Siagian Pemutusan hubungan kerja adalah ketika ikatan formal antara organisasi selaku pemakai tenaga kerja dan karyawannya terputus. 4.
Menurut Suwatno
Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. 6.
Menurut UU RI No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 ayat 25
Pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja atau buruh dan pengusaha. Maka dengan ini dapat disimpulkan bahwa Pemutusan Hubungan kerja (PHK) yang juga dapat disebut dengan Pemberhentian, Separation atau Pemisahan memiliki pengertian sebagai sebuah pengakhiran hubungan kerja dengan alasan tertentu yang mengakibatkan berakhir hak dan kewajiban pekerja dan perusahaan.
2.2.
Fungsi Dan Tujuan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Fungsi Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan adalah sebagaio berikut: 1. Mengurangi biaya tenaga kerja 2. Menggantikan kinerja yang buruk. Bagian integral dari manajemen mengidentifikasi kinerja yang buruk dan membantu meningkatkan kinerjanya.
adalah
3. Meningkatkan inovasi. PHK meningkatkan kesempatan untuk memperoleh keuntungan , yaitu : 1. Pemberian penghargaan melalui promosi atas kinerja individual yang tinggi. 2. Menciptakan kesempatan untuk level posisi yang baru masuk 3. Tenaga kerja dipromosikan untuk mengisi lowongan kerja sebgai sumber daya yang dapat memberikan inovasi/menawarkan pandangan baru. 4. Kesempatan untuk perbedaan yang lebih besar. Meningkatkan kesempatan untuk mempekerjakan karyawan dari latar belakang yang berbeda-beda dan mendistribusikan ulang komposisi budaya dan jenis kelamin tenaga kerja. Tujuan Pemutusan Hubungan Kerja memiliki kaitan yang erat dengan alasan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), namun tujuan lebih menitikberatkan pada jalannya perusahaan (pihak pengusaha). Maka tujuan PHK diantaranya: 1. Perusahaan/ pengusaha bertanggung jawab terhadap jalannya perusahaan dengan baik dan efektif salah satunya dengan PHK. 2. Pengurangan buruh dapat diakibatkan karena faktor dari luar seperti kesulitan penjualan dan mendapatkan kredit, tidak adanya pesanan, tidak adanya bahan baku produktif, menurunnya permintaan, kekurangan bahan bakar atau listrik, kebijaksanaan pemerintah dan meningkatnya persaingan. Tujuan lain pemberhentian yakni agar dapat mencapai sasaran seperti yang diharapkan dan tidak menimbulkan masalah baru dengan memperhatikan tiga faktor penting, yaitu faktor kontradiktif, faktor kebutuhan, dan faktor sosial.
2.3.
Prinsip – Prinsip Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Prinsip-prinsip dalam pemutusan hubungan kerja adalah mengenai alasan dan mekanisme pemutusan hubungan kerja.
Maka alasan pemutusan hubungna kerja (PHK) antara lain sebagai berikut: 1. Undang-Undang
Undang-undang dapat menyebabkan seseorang harus berhenti seperti karyawan WNA yang sudah habis izinnya. 2. Keinginan Perusahaan Perusahaan dapat memberhentikan karyawan secara hormat ataupun tidak apabila karyawan melakukan kesalahan besar 3. Keinginan karyawan Buruh dapat memutuskan hubungan kerja sewaktu-waktu karena alasan mendesak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 4. Pensiun Ketika seseorang telah mencapai batas usia tertentu sesuai dengan peraturan perusahaan yang disepakati. 5. Kontrak kerja berakhir 6. Kesehatan karyawan Kesehatan karyawan dapat dijadikan alasan pemberhentian karyawan. Ini bisa berdasarkan keinginan perusahaan atau keinginan karyawan yang juga telah diatur berdasarkan perundangundangan ketenagakerjaan yang berlaku.
7. Meninggal dunia 8. Perusahaan dilikuidisasi 9. Karyawan dilepas jika perusahaan dilikuidisasi atau ditutup karena bangkrut. 2.4.
Jenis – Jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Pemutusan H ubungan kerja Pada Kondisi Tidak N ormal (T idak Sukarela)
Perkembangan suatu perusahaan ditentukan oleh lingkungan dimana perusahaan beroperasi dan memperoleh dukungan agar dirinya tetap dapat survive (Robbins, 1984). Tuntutan yang berasal dari dalam (inside stakeholder) maupun tuntutan dari luar (outside stakeholder) dapat memaksa perusahaan melakukan perubahan-perubahan, termasuk di dalam penggunaan tenaga kerja. Dampak dari perubahan komposisi sumber daya manusia ini antara lain ialah pemutusan hubungan kerja. Pada dewasa ini tuntutan lebih banyak berasal dari kondisi ekonomi dan politik global, perubahan nilai tukar uang yang pada gilirannya mempersulit pemasaran suatu produk di luar negeri, dan berimbas pada kemampuan menjual barang yang sudah jadi, sehingga mengancam proses produksi. Kondisi yang demikian akan mempersulit suatu perusahaan mempertahankan kelangsungan pekerjaan bagi karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut. Hal ini berdampak pada semakin seringnya terjadi kasus pemutusan hubungan kerja. Manulang (1988) mengemukakan bahwa istilah pemutusan hubungan kerja dapat memberikan beberapa pengertian, yaitu : . Termination: yaitu putusnya hubungan kerja karena selesainya atau berakhirnya kontrak kerja 1 yang telah disepakati. Berakhirnya kontrak, bilamana tidak terdapat kesepakatan antara karyawan dengan manajemen, maka karyawan harus meninggalkan pekerjaannya. 2.
Dismissal : yaitu putusnya hubungan kerja karena karyawan melakukan Tindakan pelanggaran disiplin yang telah ditetapkan. Misalnya : karyawan melakukan kesalahan-kesalahan, seperti mengkonsumsi alkohol atau obat-obat psikotropika, madat, melakukan tindak kejahatan, merusak perlengkapan kerja milik pabrik.
3.
Redundancy, yaitu pemutusan hubungan kerja karena perusahaan melakukan pengembangan dengan menggunakan mesin-mesin berteknologi baru, seperti : penggunaan robot-robot industri dalam proses produksi, penggunaan alat-alat berat yang cukup dioperasikan oleh satu atau dua orang untuk menggantikan sejumlah tenaga kerja. Hal ini berdampak pada pengurangan tenaga kerja. 4. Retrenchment , yaitu pemutusan hubungan kerja yang dikaitkan dengan masalah-masalah ekonomi, seperti resesi ekonomi, masalah pemasaran, sehingga perusahaan tidak mampu untuk memberikan upah kepada karyawannya
Flippo (1981) membedakan pemutusan hubungan kerja di luar konteks pensiun menjadi 3 kategori, yaitu : 1. Layoff , keputusan ini akan menjadi kenyataan ketika seorang karyawan yang benar-benar memiliki kualifikasi yang membanggakan harus dipurnatugaskan karena perusahaan tidak lagi membutuhkan sumbangan jasanya.
2.
Outplacement , ialah kegiatan pemutusan hubungan kerja disebabkan perusahaan ingin mengurangi banyak tenaga kerja, baik tenaga profesional, manajerial, maupun tenaga pelaksana biasa. Pada umumnya perusahaan melakukan kebijakan ini untuk mengurangi karyawan yang performansinya tidak memuaskan, orang-orang yang tingkat upahnya telah melampaui batas batas yang dimungkinkan, dan orang-orang yang dianggap kurang memiliki kompetensi kerja, serta orang-orang yang kurang memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan untuk posisi di masa mendatang. Dasar dari kegiatan ini ialah kenyataan bahwa perusahaan mempunyai tenaga kerja yang skillnya masih dapat dijual kepada perusahaan lain, dan sejauh mana kebutuhan pasar terhadap keahlian atau skill ini masih tersembunyi.
3.
Discharge, kegiatan ini merupakan kegiatan yang menimbulkan perasaan paling tidak nyaman di antara beberapa metode pemutusan hubungan kerja yang ada. Kegiatan ini dilakukan berdasar pada kenyataan bahwa karyawan kurang mempunyai sikap dan p erilaku kerja yang memuaskan. Karyawan yang mengalami jenis pemutusan hubungan kerja ini kemungkinan besar akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan baru di tempat atau perusahaan lain. Dari dua pengertian tersebut di atas, nampaknya masalah pemutusan hubungan kerja, penyebabnya dapat disebabkan oleh dua pihak. Baik penyebab yang berasal dari kualifikasi, sikap dan perilaku karyawan yang tidak memuaskan, atau penyebab yang berasal dari pihak manajemen yang seharusnya dengan keahliannya dan kewenangan yang diserahkan kepadanya diharapkan mampu mengembangkan perusahaan, walau dalam kenyataannya menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi perusahaan, dan harus mengambil keputusan untuk efisiensi tenaga kerja.
Menurut Mangkuprawira Pemutusan Hubungan kerja (PHK) ada 2 Jenis, yaitu pemutusan hubungan kerja sementara dan pemutusan hubungan kerja permanen. 1. Pemutusan Hubungan Kerja Sementara, yaitu sementara tidak bekerja dan pemberhentian sementara. 2. Sementara tidak bekerja
Terkadang para karyawan butuh untuk meningglakan pekerjaan mereka sementara. Alasannya bermacam-macam dapat berupa kesehatan, keluarga, melanjutkan pendidikan rekreasi dan lain sebagainya. Keadaan ini disebut juga dengan cutipendek atau cuti panjang namun karyawan tersebut masih memiliki ikatan dengan perusahaan dan memiliki aturan masing-masing. 1. Pemberhentian sementara Berbeda dengan sementara tidak bekerja pembertihan sementara memiliki alasan internal perusahaan, yaitu karena alasan ekonomi dan bisnis, misalnya kondisi moneter dan krisis ekonomi menyebabkan perusahaan mengalami chaos atau karena siklus bisnis. Pemberhentian
sementara dapat meminimumkan di beberapa perusahaan melalui perencanaan sumber daya manusia yang hati-hati dan teliti. 1. Pemutusan Hubungan Kerja Permanen, ada tiga jenis yaitu atrisi, terminasi dan kematian. 1. Atrisi atau pemberhentian tetap seseorang dari perusahaan secara tetap karena alasan pengunduran diri, pensiun, atau meninggal. Fenomena ini diawali oleh pekerja individual, bukan oleh perusahaan. Dalam perencanaan sumber daya manusia, perusahaan lebih menekannkan pada atrisi daripada pemberhentian sementara karena proses perencanaan ini mencoba memproyeksikan kebutuhan karyawan di masa depan. 2. Terminasi adalah istilah luas yang mencakup perpisahan permanen karyawan dari perusahaan karena alasan tertentu. Biasnya istilah ini mengandung arti orang yang dipecat dari perusahaan karena faktor kedisiplinan. Ketika orang dipecat karena alasan bisnis dan ekonomi. Untuk mengurangi terminasi karena kinerja yang buruk maka pelatihan dan pengembangan karyawan merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh karena dapat mengajari karyawan bagaimana dapat bekerja dengan sukses.
Menurut Sedarmayanti Jenis Pemberhentian Hubungan Kerja (PHK) ada 2 jenis, yaitu : 1. Permberhentian Sementara biasanya terjadi pada karyawan tidak tetap yang hubungan kerjanya bersifat tidak tetap, perusahaan yang bergerak pada produk musiman, Karyawan yang dikenakan tahanan sementara oleh yang berwajibkarena disangkatelah berbuat tindak pidana kejahatan. 2. Pemberhentian Permanen sering disebut pemberhentian, yaitu terputusnya ikatan kerja antara karyawan dengan perusahaan tempat bekerja.
Menurut Mutiara S. Panggabean Jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ada 4 Jenis, diantaranya : 1. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atas kehendak sendiri (Voluntary turnover ) hal ini terjadi jika karyawan yang memutuskan untuk berhenti dengan alasan pribadi. 2. Pemberhentian Karyawan karena habis masa kontrak atau karena tidak dibutuhkan lagi oleh organisasi(Lay Off). 3. Pemberhentian karena sudah mencapai umur pensiun Retirement). ( Saat berhenti biasanya antara usia 60 sampai 65 tahun. 4. Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan atas kehendak pengusaha. Dalam hal ini pengusaha mmutuskan hubungan kerja dengan pekerja mungkin disebabkan adanya pengurangan aktivitas atau kelalian pegawai atau pelanggaran disiplin yang dilakukan pekerja.
2.5. 1.
Mekanisme Dan Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Karyawan, pengusaha dan pemerintah wajib untuk melakukan segala upaya untuk menghindari PHK. Apabila tidak ada kesepakatan antara pengusaha karyawan/serikatnya, PHK hanya dapat dilakukan oleh pengusaha setelah memperoleh penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI). Selain karena pengunduran diri dan hal-hal tertentu dibawah ini, PHK harus dilakukan melalui penetapan Lembaga Penyelesaian Hubungan Industrial (LPPHI). Hal-hal tersebut adalah : 1. Karyawan masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya. 2. Karyawan mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali. 3. Karyawan mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan. 4. Karyawan meninggal dunia. 5. Karyawan ditahan. 6. Pengusaha tidak terbukti melakukan pelanggaran yang dituduhkan karyawan melakukan permohonan PHK. Selama belum ada penetapan dari LPPHI, karyawan dan pengusaha harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. Sambil menunggu penetapan, pengusaha dapat melakukan skorsing, dengan tetap membayar hak-hak karyawan. 2.
Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Perselisihan PHK termasuk kategori perselisihan hubungan industrial bersama perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat karyawan. Perselisihan PHK timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat antara karyawan dan pengusaha mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak. Perselisihan PHK antara lain mengenai sah atau tidaknya alasan PHK, dan besaran kompensasi atas PHK.
3.
Penyelesaian Perselisihan PHK
Mekanisme perselisihan PHK beragam dan berjenjang. 1. Perundingan Bipartit
Perundingan Bipartit adalah forum perundingan dua kaki antar pengusaha dan karyawan atau serikat pekerja. Kedua belah pihak diharapkan dapat mencapai kesepakatan dalam penyelesaian masalah mereka, sebagai langkah awal dalam penyelesaian perselisihan. Dalam perundingan ini, harus dibuat risalah yang ditandatangai para pihak. Isi risalah diatur dalam Pasal 6 Ayat 2 UU PPHI. Apabila tercapai kesepakatan maka Para pihak membuat Perjanjian Bersama yang mereka tandatangani. Kemudian Perjanjian Bersama ini didaftarkan pada PHI wilayah oleh para pihak ditempat Perjanjian Bersama dilakukan. Perlkunya menddaftarkan perjanjian bersama, ialah untuk menghindari kemungkinanslah satu pihak ingkar.Bila hal ini terjadi, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi. Apabila gagal dicapai kesepakatan, maka karyawan dan pengusaha mungkin harus menghadapi prosedur penyelesaian yang panjang melalui Perundingan Tripartit. 2. Perundingan Tripartit Dalam pengaturan UUK, terdapat tiga forum penyelesaian yang dapat dipilih oleh para pihak: 3. Mediasi Forum Mediasi difasilitasi oleh institusi ketenagakerjaan.Dinas tenagakerja kemudian menunjuk mediator. Mediator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan antar keduanya. Dalam hal tercipta kesepakatan para pihak membuta perjanjian bersama dengan disaksikan oleh mediator. Bila tidak dicapai kesepakatan, mediator akan mengeluarkan anjuran. 4. Konsiliasi Forum Konsiliasi dipimpin oleh konsiliator yang ditunjuk oleh para pihak. Seperti mediator, Konsiliator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan antar keduanya.Bila tidak dicapai kesepakatan, Konsiliator juga mengeluarkan produk berupa anjuran.
5. Arbitrase Lain dengan produk Mediasi dan Konsiliasi yang berupa anjuran dan tidak mengikat, putusan arbitrase mengikat para pihak. Satu-satunya langkah bagi pihak yang menolak putusan tersebut ialah permohonan Pembatalan ke Mahkamah Agung.Karena adanya kewajiban membayar arbiter, mekanisme arbitrase kurang populer.
6. Pengadilan Hubungan Industrial Pihak yang menolak anjuran mediator/konsiliator, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Pengadilan ini untuk pertamakalinya didirikan di tiap ibukota provinsi. Nantinya, PHI juga akan didirikan di tiap kabupaten/ kota. Tugas pengadilan ini antara lain mengadili perkara perselisihan hubungan industrial, termasuk perselisihan PHK, serta menerima permohonan dan melakukan eksekusi terhadap Perjanjian Bersama yang dilanggar. Selain mengadili Perselisihan PHK, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) mengadili jenis perselisihan lainnya: Perselisihan yang timbul akibat adanya perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat karyawan.
7. Kasasi (Mahkamah Agung) Pihak yang menolak Putusan PHI soal Perselisihan PHK dapat langsung mengajukan kasasi (tidak melalui banding) atas perkara tersebut ke Mahkamah Agung, untuk diputus. 2.6.
Proses Dan Prosedur PHK
Permberhentian Hubungan Kerja (PHK) oleh perusahaan harus dilakukan dengan baik dan sesuai dengan regulasi pemerintah yang masih diberlakukan. Namun karena terkadang pemberhentian terkadang terjadi akibat konflik yang tak terselesaikan maka menurut Umar (2004) pemecatan secara terpaksa harus sesuai dengan prosedur sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
Musyawarah karyawan dengan pimpinan perusahaan. Musyawarah pimpinan serikat buruh dengan pimpinan perusahaan. Musyawarah pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan dan wakil dari P4D. Musyawarah pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan dan wakil dari P4P. Pemutusan hubungan berdasarkan Keputusan Pengadilan Negeri.
Kemudian menurut Mutiara S. Panggabean Proses Pemberhentian hubungan kerja jika sudah tidak dapat dihindari maka cara yang diatur telah diatur dalam Undang-undang No.12 tahun 1964. Perusahaan yang ingin memutuskan hubungan kerja harus mendapatkan izin dari P4D (Panitia Penyelesaian Perburuhan Daerah) dan jika ingin memutuskan hubungan kerja dengan lebih dari sembilan karyawan maka harus dapat izin dari P4P (Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat) selama izin belum didapatkan maka perusahaan tidak dapat memutuskan hubungan kerja dengan karyawan dan harus menjalankan kewajibannya.
Namun sebelum pemberhentian hubungan kerja harus berusaha untuk meningkatkan efisiensi dengan: 1. 2. 3. 4. 5. 1.
Mengurangi shift kerja Menghapuskan kerja lembur Mengurangi jam kerja Mempercepat pension Meliburkan atau merumahkan karyawan secara bergilir untuk sementara Konsekwensi Pemutusan Hubungan Kerja
Konsekwensi dapat juga diartikan sebagai Kerugian, maka menurut balkin, Mejia dan Cardy (1995:231) terdiri atas hal-hal berikut: 1. Biaya recruitment, meliputi : 1. Mengiklankan lowongan kerja 2. Menggunakan karyawan recruitment yang professional sehingga banyak yang melamar untuk bekerja. 3. Untuk mengisi jabatan eksekutif yang tinggi secara teknologi diperlukan perusahaan pencarai yang umumnya menggunakan 30% dari gaji tahunan karyawan. 4. Biaya Seleksi, melliputi : 1. Biaya interview dengan pelamar pekerjaan. 2. Biaya testing/psikotes 3. Biaya untuk memeriksa ulang referensi 4. Biaya penempatan 5. Biaya Pelatihan, meliputi : 1. Orientasi terhadap nilai dan budaya perusahaan 2. Biaya training secara langsung 3. Waktu untuk memberikan training 4. Kehilangan produktivitas pada saat training 5. Biaya Pemutusan hubungan kerja, meliputi :
1. Pesangon untuk karyawan yang diberhentikan sementara tanpa kesalahan 2. Karyawan tetap mendapatkan tunjangan kesehatan sampai mendapatkan pekerjaan baru. 3. Biaya asuransi bagi karyawan yang di PHK namun belum bekerja lagi. 4. Wawancara pemberhentian dengan tujuan untuk mencari alasan mengapa tenaga kerja meninggalkan perusahaan. 5. Bantuan penempatan merupakan program diamana perusahaan membantu karyawan mendapatkan pekerjaan baru lebih cepat dengan memberikan training pekerjaan 6. Posisi yang kosong akan mengurangi keluaran atau kualitas jasa klien perusahaan atau pelanggan.
Pemerintah tidak mengharapkan perusahaan melakukan PHK tercantun dalam Pasal 153 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Thaun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang menyatakan pengusaha dilarang melakukan PHK dengan alasan : 1. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus 2. Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya Karena memenuhi kewajiban terhadap Negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku 3. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya 4. Pekerja/buruh menikah 5. Pekerja/burh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya. 6. Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkakwinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam 1 perusahaan, kecali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau PKB. 7. Pekeerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh melakukan kegiatan serikat/pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau PKB. 8. Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan 9. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik atau status perkawinan. 10. Pekerja. Buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibar kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penembuhannya belum dapat dipastikan .
2.7.
Kompensasi PHK
Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon (UP) dan atau uang penghargaan masa kerja (UPMK) dan uang penggantian hak (UPH) yang seharusnya diterima.UP, UPMK, dan UPH dihitung berdasarkan upah karyawan dan masa kerjanya.
1. Perhitungan Uang Pesangon (UP) paling sedikit sebagai berikut : Masa Kerja Uang Pesangon
Masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 (satu) bulan upah. Masa kerja 1 – 2 tahun, 2 (dua) bulan upah.
Masa kerja 2 – 3 tahun, 3 (tiga) bulan upah. Masa kerja 3 – 4 tahun 4 (empat) bulan upah. Masa kerja 4 – 5 tahun 5 (lima) bulan upah. Masa kerja 5 – 6 tahun 6 (enam) bulan upah. Masa kerja 6 – 7 tahun 7 (tujuh) bulan upah. Masa kerja 7 – 8 tahun 8 (delapan) bulan upah. Masa kerja 8 tahun atau lebih, 10 (sembilan) bulan upah.
2. Perhitungan uang penghargaan masa kerja (UPMK) ditetapkan sebagai berikut : Masa Kerja UPMK
Masa kerja 3 – 6 tahun 2 (dua) bulan upah. Masa kerja 6 – 9 tahun 3 (tiga) bulan upah. Masa kerja 9 – 12 tahun 4 (empat) bulan upah. Masa kerja 12 – 15 tahun 5 (lima) bulan upah. Masa kerja 15 – 18 tahun 6 (enam) bulan upah. Masa kerja 18 – 21 tahun 7 (tujuh) bulan upah. Masa kerja 21 – 24 tahun 8 (delapan) bulan upah. Masa kerja 24 tahun atau lebih 10 bulan upah.
3. Uang penggantian hak yang seharusnya diterima (UPH) meliputi :
1. 1. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur. 2. Biaya atau ongkos pulang untuk karyawan/buruh dan keluarganya ketempat dimana karyawan/buruh diterima bekerja. 3. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi s yarat. 4. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
2.8 Pasal-Pasal Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
UU Ketenagakerjaan (UUK) berkenaan dengan pemutusan hubungan kerja.Ketentuan Pasal 150 UUK menetapkan bahwa mencakup pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik Negara, maupun usaha-usaha sosial dan usahausaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Di samping itu, KUHPerdata juga memberikan sejumlah ketentuan tambahan berkaitan dengan pemutusan hubungan kerja. Kewajiban memberitahukan Menurut ketentuan Pasal 1603 g KUHPerdata, jika hubungan kerja diadakan untuk waktu yang tidak tentu atau sampai dinyatakan putus, tiap pihak berhak memutuskannya dengan pemberitahuan pemutusan hubungan kerja. Hal serupa berlaku dalam hal perjanjian untuk waktu tertentu, dalam hal pemberitahuan dipersyaratkan. Kendati begitu, baik KUHPerdata maupun UUK menambahkan sejumlah syarat tertentu sebelum pemberitahuan demikian dapat diberikan.
Pencegahan dan negosiasi/perundingan Ketentuan Pasal 151 UUK menetapkan tiga tahapan yang harus ditempuh dalam hal pengusaha berkehendak untuk memutuskan hubungan kerja den gan buruh/pekerja. Pertama, pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. Berdasarkan Penjelasan ketentuanini, frasa ‘dengan segala upa ya’ merujuk pada aktivitas atau kegiatan positif yang pada akhirnya dapat mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja, termasuk antara lain, pengaturan ulang jam kerja, tindakan penghematan, restrukturisasi atau reorganisasi metoda kerja, dan upaya untuk mengembangkan pekerja/buruh. Kedua, bilamana dengan segala upaya yang dilakukan, tidak dapat dihindari pemutusan hubungan kerja, maka maksud untuk memutuskan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/ buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/buruh. Terakhir, jika perundingan tersebut benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungankerja dengan peke rja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Prosedur di hadapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial Prosedur yang harus ditempuh dalam hal pengajuan permohonan untuk mendapatkan penetapan pemutusan hubungan kerja kehadapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial diatur di dalam ketentuan Pasal 152 UUK. Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya. Permohonan tersebut dap at diterima oleh lembaga itu hanya apabila telah dirundingkan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 151(2) UUK. Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya diberikan oleh lembaga tersebut, jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan , tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan. Patut dicermati bahwa ketentuan Pasal 152 UUK mengulang syarat wajib adanya perundingan terlebih dahulu sebelum permohonan pemutusan hubungan kerja dapat ditetapkan. Ketentuan ini, namun demikian, tidak memberikan kriteria atas dasar mana lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial akan menetapkan dikabulkan atau ditolaknya permohonan. Ketentuan Pasal 154 UUK menetapkan dalam situasi apa tidak disyaratkan perlunya penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial: a. Pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya; b. Pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis, atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan / intimidasi dari pengusaha; atau dalam hal berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertamakali; c. Pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau d. Pekerja/buruh meninggal dunia.
Pemutusan hubungan kerja (industrial) tanpa adanya penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial padahal hal itu dipersyaratkan/diwajibkan, akan batal demi hukum. Selama putusan dari lembaga tersebut belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan di atas adalah berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh (Pasal 155 UUK). Alasan-alasan yang dilarang
Hukum perburuhan Indonesia tidak memberikan kriteria yang dapat dirujuk untuk melakukan pemutusan hubungan kerja. Kendati begitu, ketentuan Pasal 153 UUK menguraikan alasan pemutusan hubungan kerja yang dilarang. Alasan-alasan yang dilarang meliputi:
a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus; b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya; d. pekerja/buruh menikah; e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan,atau menyusui bayinya; f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama; g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan; karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan; j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan. Ayat kedua dari ketentuan Pasal ini menetapkan bahwa pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.
Uang pesangon Undang-undang Ketenagakerjaan memberikan aturan yang lengkap berkenaan dengan apa yang harus dibayarkan pengusaha dalam hal pemutusan hubungan kerja. Kewajiban tersebut meliputi pembayaran: a. Uang pesangon dan/atau b. Uang penghargaan masa kerja dan c. Uang penggantian hak yang seharusnya diterima (cuti yang tidak diambil, biaya perjalanan, tunjangan perumahan atau kompensasi lainnya yang disepakati). Jumlah atau besaran uang pesangon serta uang penghargaan lainnya yang harus dibayar dikaitkan pada upah bulanan dan lama masa kerja dari pekerja/buruh (Pasal 156 UUK). Upah dalam hal ini mencakup upah pokok dan segala macam tunjangan yang bersifat tetap dan diperhitungkan berdasarkan aturan yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 157 UUK.
Tenggang waktu untuk pemberitahuan pemutusan hubungan kerja KUHPerdata mengenal sistem yang jauh berbeda berkenaan dengan kompensasi yang diberikan dalam hal pemutusan hubungan kerja. Tidak diatur ihwal uang pesangon, namun hanya tentang tenggang waktu pemberitahuan. Karena KUHPerdata belum dicabut, maka kedua sistem yang ada harus dianggap berlaku berdampingan. Menurut KUHPerdata, tenggang waktu pemberitahuan pemu- tusan hubungan kerja sekurang-kurangnya satu bulan. Dalam suatu perjanjian atau dalam reglemen dapat ditetapkan bahwa tenggang waktu termaksud pada aliena yang lalu, bagi buruh dapat diperpanjang untuk waktu paling lama satu bulan, jika hubungan kerja pada waktu pemberitahuan pemutusan hubungan kerja itu telah sedikit-dikitnya dua tahun terus menerus. Tenggang waktu termaksud pada alinea pertama, bagi majikan diperpanjang berturut-turut dengan satu bulan, dua bulan atau tiga bulan, jika pada waktu pemberitahuan pemutusan, hubungan kerja telah berlangsung sedikit-dikitnya satu tahun tetapi kurang dari dua tahun, sedikit-dikitnya dua tahun tetapi kurang dari tiga tahun , atau sedikit- dikitnya tiga tahun terus menerus. Tiap perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan Pasal ini adalah batal (Pasal 1603i KUHPerdata). Hubungan kerja dengan pengusaha/majikan yang sama, yang terputus dalam waktu kurang dari empat minggu, atau yang segera bersambung dengan cara termaksud pada Pasal 1603 f , sepanjang mengenai tenggang waktu pernyataan termaksud Pasal 1603 i, dipandang sebagai hubungan kerja yang terus menerus (Pasal 1603i ter KUHPerdata).
Pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat Undang-undang Ketenagakerjaan juga memuat ketentuan-ketentuan tentang pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat yang dilakukan pekerja/buruh. Dalam hal demikian, maka pekerja/buruh hanya akan memperoleh uang penggantian hak, namun tidak uang pesangon atau uang penghargaan masa kerja. Pekerja/buruh dalam hal demikian diperkenankan untuk mengajukan gugatan pemutusan hubungan kerja seperti itu kehadapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Kendati demikian, ketentuan Pasal 158 dan 159 UUK telah dinyatakan batal demi hukum oleh Mahkamah Konstitusi (Putusan No. 012/PUU-I/2003). Di samping itu, KUHPerdata juga mengenal pemutusan hubungan kerja singkat tanpa pemberitahuan pemutusan kerja ( summary dismissal ). Menurut KUHPerdata, masing-masing pihak dapat memutuskan bubungan kerja tanpa pemberitahuan pemutusan hubungan k erja atau tanpa mengindahkan aturan-aturan yang berlaku bagi pemberitahuan pemutusan hubungan kerja tetapi pihak yang berbuat demikian tanpa persetujuan pihak lain, bertindak secara bertentangan dengan hukum, kecuali ia sekaligus membayar gantirugi kepada pihak lain atas dasar ketentuan Pasal 1063q, atau ia memutuskan hubungan kerja demikian dengan alasan mendesak yang seketika itu diberitahukan kepada pihak (Pasal 1603n KUHPerdata). Alasan mendesak bagi majikan/pengusaha diuraikan dalam bentuk contoh dalam ketentuan Pasal 1603o KUHPerdata sedangkan bagi buruh diuraikan dalam ketentuan Pasal 1603 p KUHPerdata. Tidaklah jelas, berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi di atas, apakah juga kedua ketentuan di atas harus dianggap batal.
Penahanan Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka p engusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya pekerja/buruh/ (Pasal 160 UUK). Bantuan tersebut berkisar pada 25% dari upah untuk satu orang tanggungan sampai dengan 50% untuk empat tanggungan. Anggota keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya meliputi suami/isteri pekerja, anak-anak atau orang-orang lain yang menurut hukum yang berlaku (peraturan perusahaan, perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama) menjadi tanggungan pekerja/buruh (Penjelasan). Bantuan diberikan untuk paling lama 6 (enam) bulan takwin terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yan g setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena proses perkara pidana tersebut. Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali.Pemutusan hubungan kerja seperti di atas dapat dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja sebagai-mana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156(4) UUK. Pelanggaran lainnya Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut (Pasal 161 UUK). Surat peringatan tersebut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama Penjelasan ketentuan di atas menguraikan lebih lanjut sistem surat peringatan di atas. Setiap surat peringatan dapat diterbitkan secara berturut-turut atau tidak berturut-turut, sejalan dengan apa yang tertuang dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian/ kesepakatan kerja bersama. Dalam hal surat peringatan diterbitkan berturut-turut, maka surat peringatan pertama berlaku untuk jangka waktu 6 (enam) bulan. Jika pekerja/buruh kembali melakukan pelanggaran terhadap ketentuan di dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan tersebut, pengusaha dapat menerbitkan surat peringatan kedua, yang juga akan efektif untuk jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak diterbitkannya surat peringatan kedua. Apabila pekerja/buruh terus menerus melan ggar ketentuan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka pengusaha dapat menerbitkan surat peringatan ketiga (terakhir) yang berlaku e fektif sejak tanggal penerbitan surat ketiga tersebut. Jika dalam jangka waktu efektif surat peringatan ketiga, pekerja/buruh kembali melanggar ketentuan di bawah perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau kesepakatan kerja bersama, maka surat peringatan berikutnya yang diterbitkan pengusaha akan kembali menjadi surat peringatan pertama. Hal serupa berlaku pula dalam hal surat peringatan kedua dan ketiga. Apabila pekerja/buruh kembali melanggar ketentuan di dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka pengusaha dapat menerbitkan peringatan ketiga (terakhir), yang akan berlaku efektif selama 6 (ena m) bulan terhitung sejak diterbitkannya peringatan ketiga. Jika dalam jangka waktu tesebut, pekerja/buruh kembali melakukan pelanggaran, maka pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja. Jika dalam jangka waktu enam bulan sejak lewat waktu surat peringatan pertama dan pekerja/buruh kembali melanggar perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau kesepakatan kerja bersama, maka surat peringatan yang diterbitkan pengusaha akan dianggap sebagai surat peringatan pertama. Hal serupa juga berlaku bagi surat peringatan kedua dan ketiga. Perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau kesepakatan kerja bersama dapat mengatur penerbitan surat peringatan pertama dan terakhir untuk sejumlah pelanggaran tertentu. Maka dalam hal demikian, jika pekerja/buruh melanggar perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
kesepakatan kerja bersama dalam jangka waktu efektif surat peringatan pertama dan peringatan terakhir, pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh yang bersangkutan. Jangka waktu enam bulan dimaksud sebagai ikhtiar mendidik pekerja/buruh yang bersangkutan sedemikian sehingga ia memiliki cukup waktu memperbaiki sikap/perilakunya. Pada lain pihak, jangka waktu enam bulan memberikan pula pada pengusaha cukup waktu untuk mengevaluasi perilaku dan sikap pekerja/buruh tersebut. Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja atas alasan yang disebut di atas berhak untuk mendapatkan uang pesangon sejumlah 1 (satu) kali dari uang pesangon yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 156(2), uang penghargaan sejumlah 1 (satu) kali nilai yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 156(3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 176(4) UUK. Hal sama juga berlaku dalam hal peringatan kedua dan ketiga. Pengunduran diri pekerja/buruh Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak. Kompensasi tersebut diberikan sesuai ketentuan Pasal 156 (4) UUK. Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak me-wakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Pekerja/buruh yang mengundurkan diri harus memenuhi syarat : a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri. b. tidak terikat dalam ikatan dinas, dan c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri. Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
BAB III PENUTUP
3.1
KESIMPULAN Pemutusan Hubungan kerja sebagai manifestasi pensiun yang dilaksanakan pada kondisi tidak normal nampaknya masih merupakan ancaman yang mencemaskan karyawan. Dunia industri negara maju yang masih saja mencari upah buruh yang murah, senantiasa berusaha menempatkan investasinya di negara-negara yang lebih menjanjikan keuntungan yang besar, walaupun harus menutup dan merelokasi atau memindahkan pabriknya ke Negara lain. Keadaan ini tentu saja berdampak Pemutusan Hubungan kerja pada karyawan di negara yang ditinggalkan. Efisiensi yang diberlakukan oleh perusahaan pada dewasa ini, merupakan jawaban atas penambahan posisi-posisi yang tidak perlu di masa lalu, sehingga dilihat secara struktur organisasi, maka terjadi penggelembungan yang sangat besar. Ketika tuntutan efisiensi harus dipenuhi, maka restrukturisasi merupakan jawabannya. Di sini tentu saja terjadi pemangkasan posisi besar-besaran, sehinggaPemutusan Hubungan kerja masih belum dapat dihindarkan. Ketika perekonomian dunia masih belum adil, dan program efisiensi yang dilakukan oleh para manajer terus digulirkan, maka Pemutusan Hubungan kerja masih merupakan fenomena yang sangat mencemaskan, dan harus diantisipasi dengan penyediaan lapangan kerja dan pelatihan ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat (mantan karyawan).
3.2 SARAN Adapun saran yang dapat saya berikan dalam makalah ini adalah, hendaknya dalam melakukan Pemutusan hubungan kerja harus sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia agar tidak akan ada pihak-pihak yang merasa dirugikan
DAFTAR PUSTAKA
1.
Flippo, E.B., 1984. Personnel Management. 5th edition. Sydney: McGrawHill International Book Company.
2.
Manulang, S. H. 1988. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
3.
Pokok-Pokok
Hukum
Ketenagakerjaan
di
Indonesia.
Kumara, A., Utami, M.S., Rosyid, H.F., 2003. Strategi Mengoptimalkan Diri, Balai Pustaka, Jakarta. 4. WWW.GOOGLE.COM// Hukum perburuhan PHK
TUGAS KELOMPOK HUKUM PERBURUHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)
Di susun oleh: 1.SUGENG ADI SUSILO ( 11202204 ) 2.MUHAMMAD MASRUR FUADDY (1120163 ) 3. NURUL HIDAYAT (11202179)
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI JURUSAN TEKNIK MESIN INSTITUT TEKNOLOGI MEDAN