TUGAS KELOMPOK KEPERAWATAN REPRODUKSI ‘’
’’
STUNTING
OLEH Dwi Rizqi Putri W.H
1510011
Tyas Solit Naomiah
1510053
PRODI S1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA 2018-2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT, berkat ridho, rahmat, dan hidayahnya kami dapat menyelesaikan
Makalah Seminar ini dengan judul:
“STUNTING . Makalah seminar ini merupakan salah satu syarat untuk memenuhi ”
tugas kelompok yang diberikan pada mata kuliah Keperawatan R eproduksi pada Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Hang Tuah Surabaya. Dalam penyusunan Makalah Seminar ini, saya mendapatkan banyak pengarahan dan bantuan dari berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini perkenankanlah saya mengucapkan banyak terima kasih kepada yang terhormat: 1.
Kolonel Laut (K/W) Wiwiek Liestyaningrum, M.Kep selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Hang Tuah Surabaya, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Ilmu Keperawatan.
2. Dwi Ernawati, M.Kep. selaku penanggung jawab mata kuliah Keperawatan Reproduksi di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Hang Tuah Surabaya yang telah bersedia mengorbankan waktu dan pikirannya untuk bimbingannya dalam penyelesaian Makalah seminar ini. 3.
Serta kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan Makalah Seminar ini. Saya sadari bahwa
Makalah Seminar ini jauh dari sempurna, tetapi saya
berharap Makalah Seminar ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan perkembangan ilmu keperawatan.
Surabaya, 07 April 2018
Penulis
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Stunting merupakan permasalahan yang semakin banyak ditemukan di negara berkembang, termasuk Indonesia.Menurut United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) satu dari tiga anak balita mengalami stunting. Sekitar 40% anak balita di daerah pedesaan mengalami pertumbuhan yang terhambat. Oleh sebab itu, UNICEF mendukung sejumlah inisiasi untuk menciptakan lingkungan nasional yang kondusif untuk gizi melalui peluncuran Gerakan Sadar Gizi Nasional (Scaling Up Nutrition – SUN) di mana program ini mencangkup pencegahan stunting (UNICEF, 2012). Stunting didefinisikan sebagai keadaan tubuh yang pendek dan sangat pendek hingga melampaui defisit -2 SD di bawah median panjang atau tinggi badan (Manary, et al., 2009). Stunting juga sering disebut sebagai Retardasi Pertumbuhan Linier (RPL) yang muncul pada dua sampai tiga tahun awal kehidupan dan merupakan refleksi dari akibat atau pengaruh dari asupan energi dan zat gizi yang kurang serta pengaruh dari penyakit infeksi, karena dalam keadaan normal, berat badan seseorang akan berbanding lurus atau linier dengan tinggi badannya (Sudirman, 2008). Masalah kurang energi protein (KEP) merupakan salah satu masalah utama gizi yang dapat berpengaruh pada proses tumbuh kembang anak. Kekurangan energi dan protein dalam jangka panjang akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan balita (Hardinsyah, et al., 1992), seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Fitri (2012), menunjukkan bahwa balita yangmempunyai asupan energi dan protein kurang, memiliki resiko menjadi stunting sebesar 1.2 kali dibanding balita yang mempunyai asupan energi dan protein yang cukup. Dalam penelitian Asrar, et al.,(2009) juga menunjukkan bahwa balita dengan asupan energi yang kurang beresiko mengalami stunting tiga kali lebih besar dibanding dengan balita yang asupan energinya cukup
dan asupan protein yang kurang beresiko mengalami stunting empat kali lebih besar dibanding dengan balita yang asupan proteinnya cukup. Manifestasi dari potensi KEP tersebut jika tidak diperbaiki sebelum usia 3 tahun (batita), maka akan menyebabkan penurunan kualitas fisik dan mental, di mana hal ini akan menghambat prestasi belajar dan produktivitas kerja, s eperti penelitian yang telah dilakukan oleh Rialihanto (2004) tentang Status Gizi Pada Umur di Bawah Dua Tahun (Baduta) Sebagai Prediksi Prestasi Belajar Remaja di mana hasil dari penelitian ini yaitu anak yang pada masa baduta mengalami stunting akan beresiko 3,75 kali lebih besar untuk tetap stunting pada masa remaja daripada baduta yang tidak stunted Menurut Sudirman (2008), proses menjadi pendek atau stunting pada anak di suatu wilayah atau daerah miskin dimulai sejak usia 6 bulan dan berlangsung terus hingga usia 18 tahun. Kejadian stunting terjadi pada dua hingga tiga tahun awal kehidupan. Periode dua tahun pertama kehidupan merupakan masa yang paling kritis dalam proses pertumbuhan. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Fitri (2012) yang menunjukkan bahwa proporsi kejadian stunting pada balita lebih banyak ditemukan pada kelompok umur 12-36 bulan dibandingkan kelompok umur 37-59 bulan. Menurut Ramli, et al, (2009) pertumbuhan tinggi badan dapat terhambat bila seseorang mengalami defisiensi protein (meskipun konsumsi energinya cukup) dalam jangka waktu yang lama. Hal ini juga sejalan dengan Suhardjo (2003) menyatakan bahwa kekurangan energi protein yang kronis menyebabkan pertumbuhan terlambat dan tampak tidak sebanding dengan umurnya. Permasalahan stunting di Indonesia sendiri menurut laporan yang dikeluarkan oleh UNICEF yaitu diperkirakan sebanyak 7,8 juta anak yang berusia dibawah lima tahun mengalami stunting, sehingga UNICEF memposisikan Indonesia masuk kedalam 5 besar negara dengan jumlah anak dibawah 5 tahun yang mengalami stunting tinggi. Selain itu juga, berdasarkan data dari Riskesdas (2013) diketahui bahwa balita di Indonesia yang dikatakan stunting sebanyak 37,2%. Hal ini menunjukkan bahwa prevalensi stunting tahun 2013
mengalami
peningkatan
dari
hasil
Riskedas
2010,
yaitu
sebesar
35,6%
(Atmarita,2010). Prevalensi kasus stunting di Jawa Tengah berdasarkan Riskesdas 2010 yaitu sebanyak 33,9% dan mengalami peningkatan di tahun 2013 yaitu sebesar 37%. Salah satu daerah di Jawa Tengah yang mendapat perhatian dalam penanganan kasus stunting dari UNICEF yaitu daerah Klaten melalui Program Keluarga Harapan (PKH Prestasi). Berdasarkan hasil pelaksanaan Kegiatan Operasi Timbang Balita Desa Jabung, Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten Klaten Bulan Agustus tahun 2013 tercatat bahwa balita yang mengalami stunting sebanyak 27,27%. Padahal secara kewilayahan, Desa Jabung merupakan ibukota kecamatan yang terdapat puskesmas di
dalamnya
(Puskesmas
Gantiwarno,
2014).Hal
inilah
yang
mendasari
dilakukannya penelitian terhadap kejadian stunting di Desa Jabung, Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten Klaten.
BAB 2 PEMBAHASAN I.
Definisi Stunting
Stunting merupakan bentuk lain dari kegagalan pertumbuhan atau keadaan tubuh yang pendek dan sangat pendek sehingga melampaui defisit -2 SD dibawah median panjang atau tinggi badan (Manary & Solomons, 2009). Stunting merupakan pertumbuhan linear yang gagal untuk mencapai potensi genetic sebagai akibat dari pola makan yang buruk dan penyakit (Fitri, 2012).
II.
Penyebab Stunting
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya keadaan stunting pada anak. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari diri anak itu sendiri maupun dari luar diri anak tersebut. Faktor penyebab stunting adalah asupan gizi dan adanya penyakit infeksi sedangkan penyebab tidak langsungnya adalah pola asuh, pelayanan kesehatan, ketersedian pangan, faktor budaya, ekonomi dan masih banyak lagi faktor lainnya (Bappenas R.I, 2013). A.
Faktor Langsung 1.
Asupan Gizi Balita
Saat ini Indonesia mengahadapi masalah gizi ganda, permasalahan gizi ganda tersebut adalah adanya masalah kurang gizi dilain pihak masalah kegemukan atau gizi lebih telah meningkat. Keadaan gizi dibagi menjadi 3 berdasarkan pemenuhan asupannya yaitu: a. Kelebihan gizi adalah suatu keadaan yang muncul akibat pemenuhan asupan zat gizi yang lebih banyak dari kebutuhan seperti gizi lebih, obesitas atau kegemukan. b. Gizi baik adalah suatu keadaan yang muncul akibat pemenuhan asupan zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan.
c. Kurang
gizi
adalah
suatu
keadaan
yang
muncul
akibat
pemenuhan asupan zat gizi yang lebih sedikit dari kebutuhan seperti gizi kurang dan buruk, pendek, kurus dan sangat kurus (Depkes R.I, 2008).
2.
Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penyebab langsung
stunting,
Kaitan
antara
penyakit
infeksi
dengan
pemenuhan asupan gizi tidak dapat dipisahkan. Adanya penyakit infeksi akan memperburuk keadaan bila terjadi kekurangan asupan gizi. Anak balita dengan kurang gizi akan lebih mudah terkena penyakit infeksi. Penyakit infeksi akan ikut menambah kebutuhan akan zat gizi untuk membantu perlawanan terhadap penyakit ini sendiri. Pemenuhan zat gizi yang sudah sesuai dengan kebutuhan namun penyakit infeksi yang diderita tidak tertangani akan tidak dapat memperbaiki status kesehatan dan status gizi anak balita. Untuk itu penanganan terhadap penyakit infeksi yang diderita sedini mungkin akan membantu perbaikan gizi dengan diiimbangi pemenuhan asupan yang sesuai dengan kebutuhan anak balita. Penyakit infeksi yang sering diderita balita seperti cacingan, Infeksi saluran pernafasan Atas (ISPA), diare dan infeksi lainnya sangat erat hubungannya dengan status mutu pelayanan kesehatan dasar khususnya imunisasi, kualitas lingkungan hidup dan perilaku sehat (Bappenas R.I, 2013). Ada beberapa penelitian yang meneliti tentang
hubungan
penyakit
infeksi
dengan
stunting
yang
menyatakan bahwa diare merupakan salah satu faktor risiko kejadian stunting pada anak usia dibawah 5 tahun. B. Faktor Tidak Langsung 1. Ketersediaan Pangan
Akses pangan pada rumah tangga menurut Bappenas adalah kondisi penguasaan sumberdaya (sosial, teknologi, finansial/keuangan, alam, dan manusia) yang cukup untuk memperoleh dan/atau ditukarkan untuk memenuhi kecukupan pangan, termasuk kecukupan pangan di rumah tangga. Masalah ketersediaan ini tidak hanya terkait masalah daya beli namun juga pada pendistribusian dan keberadaan pangan itu sendiri, sedangkan pola konsumsi pangan merupakan susunan makanan yang biasa dimakan mencakup jenis dan jumlah dan frekuensi dan jangka waktu tertentu. Aksesibilitas pangan yang rendah berakibat pada kurangnya pemenuhan konsumsi yang beragam, bergizi, seimbang dan nyaman di tingkat keluarga yang mempengaruhi pola konsumsi pangan dalam keluarga sehingga berdampak pada semakin beratnya masalah kurang gizi masyarakat (Bappenas R.I, 2013).
2. Status Gizi Ibu saat Hamil
Status gizi ibu saat hamil dipengaruhi oleh banyak faktor, faktor tersebut dapat terjadi sebelum kehamilan maupun selama kehamilan. Beberapa indikator pengukuran seperti 1) kadar hemoglobin (Hb) yang menunjukkan gambaran kadar Hb dalam darah untuk menentukan anemia atau tidak; 2) Lingkar Lengan Atas (LILA) yaitu gambaran pemenuhan gizi masa lalu dari ibu untuk menentukan KEK atau tidak; 3) hasil pengukuran berat badan untuk menentukan kenaikan berat badan selama hamil yang dibandingkan dengan IMT ibu sebelum hamil. a.
Pengukuran LILA
Pengukuran LILA dilakukan pada ibu hamil untuk mengetahui status KEK ibu tersebut. KEK merupakan suatu keadaan yang menunjukkan kekurangan energi dan protein dalam jangka waktu yang lama (Kemenkes R.I, 2013). Faktor predisposisi yang menyebabkan KEK adalah asupan nutrisi yang kurang dan adanya faktor medis seperti terdapatnya penyakit kronis. KEK pada ibu hamil dapat berbahaya baik bagi ibu maupun bayi, risiko pada saat prsalinan dan keadaan yang lemah dan cepat lelah saat
hamil sering dialami oleh ibu yang mengalami KEK (Direktorat Bina Gizi dan KIA, 2012). Pada wanita hamil dan WUS digunakan ambang batas LILA
<23,5
cm
dikategorikan
risiko
KEK
(Kemenkes
R.I,
2013).Pengukuran LILA ini dilakukan dengan mengukur lengan atas ibu hamil tangan yang jarang digunakan dengan menggunakan alat pengukur LILA. b.
Kadar Hemoglobin
Pemeriksaan darah dilakukan pada ibu hamil untuk mengetahui kadar Hb ibu sehingga dapat diketahui status anemia yang dialami ibu saat hamil. Anemia pada saat kehamilan merupakan suatu kondisi terjadinya kekurangan sel darah merah atau hemoglobin (Hb) pada saat kehamilan. Ada banyak faktor predisposisi dari anemia tersebut yaitu diet rendah zat besi, vitamin B12, dan asam folat, adanya penyakit gastrointestinal, serta adanya penyakit kronis ataupun adanya riwayat dari keluarga sendiri. Ibu hamil dengan anemia sering dijumpai karena pada saat kehamilan keperluan akan zat makanan bertambah dan terjadi perubahan-perubahan dalam darah dan sumsum tulang. Nilai cut-off anemia ibu hamil adalah bila hasil pemeriksaan Hb<11,0 g/dl (Kemenkes R.I, 2013). c.
Kenaikan Berat Badan Ibu saat Hamil
Menurut Almatsier, Ibu hamil akan membutuhkan tambahan energi dari pada ibu yang tidak hamil, penambahan tersebut dibedakan berdasarkan umur kehamilannya yaitu: 1) Trimester I ibu hamil membutuhkan tambahan energi 150- 200 kal/hari; 2) Trimester II ibu hamil membutuhkan tambahan energi 250-350 kal/hari; 3) Trimester III ibu hamil membutuhkan tambahan energi 400 kal/hari dan jumlah cairan yang dibutuhkan minimal 1500 ml/hari. Pada penelitian yang dilakukan oleh Yongky tahun 2004 menyatakan bahwa pertambahan berat badan saat hamil merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status kelahiran bayi (BBLR). Penambahan berat badan saat hamil perlu dikontrol karena apabila berlebih dapat menyebabkan obesitas pada bayi sebaliknya apabila kurang dapat menyebabkan bayi lahir
dengan berat badan rendah, prematur yang merupakan faktor risiko kejadian stunting pada anak balita. d.
Berat Badan Lahir
Berat
badan
lahir
sangat
terkait
dengan
pertumbuhan
dan
perkembangan jangka panjang anak balita, pada penelitian yang dilakukan oleh Anisa tahun 2012 menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara berat lahir dengan kejadian stunting pada balita di Kelurahan Kalibaru. Bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram, bayi dengan berat badan lahir rendah akan mengalami hambatan pada pertumbuhan dan perkembangannya serta kemungkinan terjadi kemunduran fungsi intelektualnya selain itu bayi lebih rentan terkena infeksi dan terjadi hipotermi (Direktorat Bina Gizi dan KIA, 2012). Banyak penelitian yang telah meneliti tentang hubungan antara BBLR dengan kejadian stunting diantaranya yaitu penelitian di Klungkung dan di Yogyakarta menyatakan hal yang sama bahwa ada hubungan antara berat badan lahir dengan kejadian stunting. Selain itu, penelitian yang dilakukan di Malawi juga menyatakan prediktor terkuat kejadian stunting adalah BBLR. e.
Panjang Badan Lahir
Asupan gizi ibu yang kurang adekuat sebelum masa kehamilan menyebabkan
gangguan
pertumbuhan
pada
janin
sehingga
dapat
menyebabkan bayi lahir dengan panjang badan lahir pendek. Bayi yang dilahirkan memiliki panjang badan lahir normal bila panjang badan lahir bayi tersebut berada pada panjang 48-52 cm (Kemenkes R.I, 2013). Penentuan asupan yang baik sangat penting untuk mengejar panjang badan yang seharusnya. Berat badan lahir, panjang badan lahir, usia kehamilan dan pola asuh merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian stunting . Panjang badan lahir merupakan salah satu faktor risiko kejadian stunting pada balita.
Menurut
Riskesdas
tahun
2013
kategori
panjang
badan
lahir
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu <48 cm, 48-52 cm, dan >52 cm, panjang badan lahir pendek adalah bayi yang lahir dengan panjang <48 cm (Kemenkes R.I, 2013). Panjang badan lahir pendek dipengaruhi oleh pemenuhan nutrisi bayi tersebut saat masih dalam kandungan. f.
ASI Eksklusif
ASI Eksklusif menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif adalah pemberian Air Susu Ibu (ASI) tanpa menambahkan dan atau mengganti dengan makanan atau minuman lain yang diberikan kepada bayi sejak baru dilahirkan selama 6 bulan (Kemenkes R.I, 2012). Pemenuhan kebutuhan bayi 0-6 bulan telah dapat terpenuhi dengan pemberian ASI saja. Menyusui eksklusif juga penting karena pada usia ini, makanan selain ASI belum mampu dicerna oleh enzim-enzim yang ada di dalam usus. Selain itu pengeluaran sisa pembakaran makanan belum bisa dilakukan dengan baik karena ginjal belum sempurna (Kemenkes R.I, 2013). Manfaat dari ASI Eksklusif ini sendiri sangat banyak mulai dari peningkatan kekebalan tubuh, pemenuhan kebutuhan gizi, murah, mudah, bersih, higienis serta dapat meningkatkan jalinan atau ikatan batin antara ibu dan anak. Penelitian yang dilakukan di Kota Banda Aceh menyatakan bahwa kejadian stunting
disebabkan oleh rendahnya pendapatan keluarga,
pemberian ASI yang tidak eksklusif, pemberian MP-ASI yang kurang baik, imunisasi yang tidak lengkap dengan faktor yang paling dominan pengaruhnya adalah pemberian ASI yang tidak eksklusif. Hal serupa dinyatakan pula oleh Arifin pada tahun 2012 dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa kejadian stunting dipengaruhi oleh berat badan saat lahir, asupan gizi balita, pemberian ASI, riwayat penyakit infeksi, pengetahuan gizi ibu balita, pendapatan keluarga, jarak antar kelahiran namun faktor yang paling dominan adalah pemberian ASI (Arifin dkk, 2013). Berarti dengan pemberian ASI eksklusif kepada bayi dapat menurunkan kemungkinan kejadian stunting pada balita, hal ini juga
tertuang pada gerakan 1000 HPK yang dicanangkan oleh pemerintah Republik Indonesia. g.
MP-ASI
Kebutuhan anak balita akan pemenuhan nutrisi bertambah seiring pertambahan umurnya. ASI eksklusif hanya dapat memenuhi kebutuhan nutrisi balita sampai usia 6 bulan, selanjutnya ASI hanya mampu memenuhi kebutuhan energi sekitar 60-70% dan sangat sedikit mengandung mikronutrien sehingga memerlukan tambahan makanan lain yang biasa disebut makanan pendamping ASI (MP-ASI). Pengertian dari MP-ASI menurut WHO adalah makanan/minuman selain ASI yang mengandung zat gizi yang diberikan selama pemberian makanan peralihan yaitu pada saat makanan/ minuman lain yang diberikan bersamaan dengan pemberian ASI kepada bayi. Pemberian MP-ASI merupakan proses transisi dimulainya pemberian makanan khusus selain ASI secara bertahap jenis, jumlah, frekuensi maupun tekstur dan kosistensinya sampai seluruh kebutuhan gizi anak dipenuhi oleh makanan keluarga. Jenis MP-ASI ada dua yaitu MP-ASI yang dibuat secara khusus baik buatan rumah tangga atau pabrik dan makanan biasa dimakan keluarga yang dimodifikasi agar mudah dimakan oleh bayi. MP-ASI yang tepat diberikan secara bertahap sesuai dengan usia anak baik jenis maupun jumlahnya. Resiko terkena penyakit infeksi akibat pemberian MP-ASI terlalu dini disebabkan karena usus yang belum siap menerima makanan serta kebersihan yang kurang. Menurut Global Strategy for infant and Young Child Feeding ada 4 persyaratan pemberian MP-ASI yaitu : 1. Tepat waktu yaitu pemberian MP-ASI dimulai saat kebutuhan energi gizi melebihi yang di dapat dari ASI yaitu pada umur 6 bulan. 2. Adekuat yaitu pemberian MP-ASI harus cukup energi, protein, dan mikronutrien sesuai dengan kebutuhan.
3. Tepat cara pemberian yaitu pemberian MP-ASI sejalan dengan tanda lapar dan nafsu makan yang ditunjukkan serta frekuensi dan cara pemberiannya sesuai dengan umur. 4. Aman yaitu pemberian MP-ASI harus diawasi baik dari penyimpanan, persiapan, dan saat diberikan MP-ASI harus higienis. Penelitian yang dilakukan di Purwokerto, menyatakan bahwa usia makan pertama merupakan faktor resiko terhadap kejadian stunting pada balita. Pemberian MP-ASI terlalu dini dapat meningkatkan risiko penyakit infeksi seperti diare hal ini terjadi.
III.
Klasifikasi Stunting
Menurut Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Penilaian status gizi balita yang paling sering dilakukan adalah dengan cara penilaian antropometri. Secara umum antropometri berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) yang dinyatakan dengan standar deviasi unit z (Z- score). Stunting dapat diketahui bila seorang balita sudah ditimbang berat badannya dan diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar, dan hasilnya berada dibawah normal. Jadi secara fisik balita akan lebih pendek dibandingkan balita seumurnya. Penghitungan ini menggunakan standar Z score dari WHO. Normal, pendek dan Sangat Pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek) (Nailis, 2016). Berikut klasifikasi status gizi stunting berdasarkan indicator tinggi badan per umur (TB/U) :
1. Sangat pendek : Zscore < -3,0 2. Pendek : Zscore < -2,0 s.d. Zscore ≥ -3,0 3. Normal : Zscore ≥ -2,0 13
Di bawah ini merupakan klasifikasi status gizi stunting berdasarkan indikator TB/U dan BB/TB : 1. Pendek-kurus : -Zscore TB/U < -2,0 dan Zscore BB/TB < -2,0 2. Pendek-normal : Z-score TB/U < -2,0 dan Zscore BB/TB antara -2,0 s/d 2,0 3. Pendek-gemuk : Z-score ≥ -2,0 s/d Zscore ≤ 2,0
IV.
Tanda dan Gejala Stunting
Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Sumatra Selatan anak yang mengalami stunting ini memiliki ciri-ciri atau gejala-gejala sebagai berikut: 1. Anak yang stunted, pada usia 8-10 tahun lebih terkekang/tertekan (lebih pendiam, tidak banyak melakukan eye-contact) dibandingkan dengan anak non-stunted jika ditempatkan dalam situasi penuh tekanan. 2. Anak dengan kekurangan protein dan energy kronis (stunting) menampilkan performa yang buruk padat perhatian dan memori belajar, tetapi masih baik dalam koordinasi dan kecepatan gerak. 3. Pertumbuhan melambat, batas bawah kecepatan tumbuh adalah 5cm/tahun. 4. Tanda-tanda pubertas terlambat (payudara, menarche, rambut pubis, rambut ketiak, panjangnya testis). 5. Wajah tampak lebih muda dari umurnya. 6. Pertumbuhan gigi yang lambat.
V.
Risiko Kesehatan pada Anak Stunting
Berikut adalah beberapa risiko kesehatan pada anak stunting ialah : 1. Stunting dikaitkan
dengan
otak
yang
kurang
berkembang
dengan
konsekuensi berbahaya untuk jangka waktu lama, termasuk kecilnya kemampuan mental dan kapasitas untuk belajar, buruknya prestasi sekolah di masa kecil, dan mengalami kesulitan mendapat pekerjaan ketika dewasa
yang akhirnya mengurangi pendapatan, serta peningkatan risiko penyakit kronis terkait gizi seperti diabetes, hipertensi, dan obesitas. 2. Memiliki risiko yang lebih besar untuk terserang penyakit, bahkan kematian dini. 3. Kekerdilan dapat menurun pada generasi berikutnya, disebut siklus kekurangan gizi antar generasi. 4. Ketika dewasa, seorang wanita stunting memiliki risiko lebih besar untuk mengalami komplikasi selama persalinan karena panggul mereka lebih kecil, dan berisiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah.
VI.
Pencegahan Stunting
Stunting merupakan masalah kesehatan yang bias dicegah sejak dini, mulai dari dalam kandungan hingga masa periode emas pertumbuhan anak. Berikut ini tips mencegah stunting : 1. Pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil. Ibu hamil harus mendapatkan makanan yang cukup gizi, suplementasi zat gizi (tablet zatbesiatau Fe), dan terpantau kesehatannya. Namun, kepatuhan ibu hamil untukmeminum tablet tambah darahhanya 33%. Padahal mereka harus minimal konsumsi 90 tablet selama kehamilan. 2. ASI eksklusif sampai umur 6 bulan dan setelah umur 6 bulan diberi makanan pendamping ASI (MPASI) yang cukup jumlah dan kualitasnya. 3. Meningkatkan akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi, serta menjaga kebersihan lingkungan. 4. Sangatdianjurkan ketika bayi berusia tiga tahun atau sudah dapat anak makan dianjurkan mengkonsumsi 13 gram protein yang mengandung asam amino esensial setiaphari, yang didapat dari sumber hewani, yaitu daging sapi, ayam, ikan, telur, dan susu. 5. Rajin mengukur tinggi badan dan berat badan anaksetiap kali memeriksa kesehatan di Posyandu ataufasilita skesehatan lainnya untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan anak serta mendeteksi dini terjadinya gangguan pertumbuhan.
6. Untuk mencegah stunting, lakukan beberapa langkah berikut:
Seorang ibu harus mengonsumsi nutrisi yang dibutuhkan selama hamil dan nutrisi yang dibutuhkan selama menyusui.
Memberikan nutrisi yang baik kepada Si Buah Hati, seperti memberikan ASI eksklusif dan nutrisi penting lainnya seiring pertambahan usia.
Menerapkan pola hidup bersih dan sehat, terutama mencuci tangan sebelum makan, meminum air yang aman, mencuci peralatan makan dan peralatan dapur, membersihkan diri setelah buang air besar atau kecil, serta memiliki sanitasi yang ideal (toilet yang bersih).