MAKALAH FARMAKOTERAPI I
Penyakit Paru Obstruktif Menahun Klasifikasi, Patofisiologi, Manifestasi Klinik, dan Diagnosis
Disusun oleh: KELOMPOK 5 Dewi Puspita N., 0606070636 Pricellya, 0606070926 Tri Wahyuni, 0606071001
DEPARTEMEN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2009
Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM) / Chronic Obstructive Pulmonary Diseases (COPD) A. Definisi Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM) merupakan penyakit yang ditandai adanya obstruksi aliran udara progresif akibat bronkitis kronik dan emfisema. PPOM juga didefinisikan penyakit paru kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara di dalam saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif, biasanya disebabkan oleh proses inflamasi paru yang disebabkan oleh pajanan gas berbahaya yang dapat memberikan gambaran gangguan sistemik. Gangguan ini dapat dicegah dan dapat diobati. Gangguan aliran udara di dalam saluran napas disebabkan oleh proses inflamasi paru yang menyebabkan terjadinya kombinasi penyakit saluran napas kecil (small airway disease) dan destruksi parenkim (emfisema). B. Klasifikasi Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2007, dibagi atas 4 derajat: 1. Derajat I: PPOM ringan Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum). Keterbatasan aliran udara ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80% Prediksi). Pada derajat ini, orang tersebut mungkin tidak menyadari bahwa fungsi parunya abnormal. 2. Derajat II: PPOM sedang Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP < 70%; 50% < VEP1 < 80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas. Dalam tingkat ini pasien biasanya mulai mencari pengobatan oleh karena sesak nafas yang dialaminya. 3. Derajat III: PPOM berat
2
Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang semakin memburuk (VEP1 / KVP < 70%; 30% ≤ VEP1 < 50% prediksi). Terjadi sesak nafas yang semakin memberat, penurunan kapasitas latihan dan eksaserbasi yang berulang yang berdampak pada kualitas hidup pasien. 4. Derajat IV: PPOM sangat berat Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP 1 / KVP < 70%; VEP1 < 30% prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi, ditambah dengan adanya gagal nafas kronik dan gagal jantung kanan.
Bronkitis Kronik Definisi bronkitis kronik merupakan suatu definisi klinis yaitu batukbatuk hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan dalam 1 tahun dan terjadi paling sedikit selama 2 tahun berturut-turut. Beberapa penyakit lain juga memberikan gejala yang sama antara lain tuberkulosis paru, bronkiektasis, tumor paru, dan asma bronkial. Karena itu penyakit-penyakit tersebut harus disingkirkan dulu sebelum diagnosis bronkitis kronik dapat ditegakkan. Kadang-kadang sukar membedakan antara bronkitis kronik dan asma bronkial, dan keduanya dapat timbul bersamaan pada seorang pasien. Bronkitis kronik dapat dibagi atas: 1. Simple chronic bronchitis : bila sputum bersifat mukoid. 2. Chronic atau recurrent mucopurulent bronchitis : bila sputum bersifat mukopurulen. 3. Chronic obstructive bronchitis : bila disertai obstruksi saluran napas yang timbul apabila terpajan zat iritan atau ada infeksi saluran napas akut.
3
Emfisema Definisi emfisema paru merupakan suatu definisi anatomik, yaitu suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminal, yang disertai kerusakan dinding alveolus. Menurut American Thoracis Society (1962), emfisema dibagi atas: 1. Paracicatricial: terdapat pelebaran saluran udara dan kerusakan dinding alveolus di tepi suatu lesi fibrotik paru. 2. Lobular: pelebaran saluran udara dan kerusakan dinding alveolus di asinus/lobulus sekunder. Emfisema dibagi lagi menurut tempat proses terjadinya, yaitu: 1. Sentrolobular (centriacinar/centrilobular emphysema) : kerusakan terjadi di daerah sentral asinus. Daerah distalnya tetap normal. Sering ditemukan pada pasien pria perokok, biasanya pada lobus atas paru dan menyertai pasien bronkitis kronik. 2. Panlobular (panacinar/panlobular emphysema) : kerusakan terjadi di seluruh asinus. Terdapat pada pasien definisi alfa-1 anti tripsin dan sering menyertai proses degeneratif atau pasien bronkitis kronik. Timbul pada lobus bawah paru. 3. Tak dapat ditentukan : kerusakan terdapat di seluruh asinus, tetapi tidak dapat ditentukan dari mana mulainya.
4
C. Patogenesis Ada 3 faktor utama yang mempengaruhi timbulnya bronkitis kronik dan emfisema paru, yaitu rokok, infeksi, dan polusi. Selain itu terdapat pula hubungan dengan faktor keturunan dan status sosial. Rokok Menurut buku Report of the WHO Expert Committee on Smoking Control, rokok adalah penyebab utama timbulnya bronkitis kronik dan emfisema paru. Terdapat hubungan yang erat antara merokok dan penurunan VEP (Volume Ekspirasi Paksa) 1 detik. Secara patologis, rokok berhubungan dengan hiperplasia kelenjar mukus bronkus dan metaplasia epitel skuamus saluran pernapasan. Juga dapat menyebabkan bronkokonstriksi akut. Menurut Crofton dan Douglas, merokok menimbulkan pula inhibisi aktivitas sel rambut getar, makrofag alveolar dan surfaktan.
5
Infeksi Infeksi menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejalanya pun lebih berat. Infeksi saluran pernapasan bagian atas pada seorang pasien bronkitis kronik hampir selalu menyebabkan infeksi paru bagian bawah, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah. Diperkirakan eksaserbasi bronkitis kronik paling sering diawali dengan infeksi virus, yang kemudian menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri. Bakteri yang diisolasi paling banyak adalah Haemophillus influenza dan Streptococcus pneumonia.
Polusi Insidensi dan angka kematian bronkitis kronik diperkirakan lebih tinggi di daerah industri. Sebagai faktor penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya tetapi bila ditambah merokok, risiko akan lebih tinggi. Eksaserbasi akut pada bronkitis sering ditimbulkan oleh polusi SO 2 yang
6
tinggi, sedangkan NO2 dapat menyebabkan obstruksi saluran napas kecil (bronkiolitis). Faktor Genetik Faktor genetik mempunyai peran pada penyakit paru kronik, terbukti pada survei terakhir didapatkan bahwa anak-anak dari orang tua yang merokok mempunyai kecenderungan mengalami penyakit paru kronik lebih sering dan lebih berat, serta insidensi penyakit paru kronik pada grup tersebut lebih tinggi. Faktor genetik tersebut diantaranya adalah atopi yang ditandai dengan adanya eosinofilia atau peningkatan kadar IgE serum, adanya hiperesponsif bronkus, riwayat penyakit obstruksi paru pada keluarga, dan defisiensi protein alfa-1 anti tripsin. Pasien dengan defisiensi alfa-1 anti tripsin (AAT) yaitu suatu kelainan ynag diturunkan secara autosom resesif, terutama pada pasien dengan gen S atau Z sering menderita emfisema. Alfa-1 anti tripsin merupakan suatu protein yang menetralkan enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan, termasuk jaringan paru. Dengan demikian AAT dapat melindungi paru dari kerusakan jaringan yang disebabkan enzim proteolitik. Orang yang mempunyai nilai AAT < 35 % normal, tidak mampu memberikan perlindungan yang adekuat dan kerusakan parenkim paru dapat terjadi. Hipotesis Elastase – Anti Elastase Di dalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan antielastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan akan menimbulkan kerusakan jaringan elastik paru. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema. Sumber elastase yang penting adalah pancreas, sel-sel PMN dan makrofag alveolar (Pulmonary Alveolar Macrophage). Perangsangan pada paru antara lain oleh asap rokok dan infeksi menyebabkan elastase bertambah banyak. Aktivitas sistem antielastase yaitu sistem alfa-1 protease inhibitor terutama enzim alfa-1 antitripsin (alfa-1
7
globulin) menjadi menurun. Akibat tidak ada lagi keseimbangan antara elastase dan antielastase akan terjadi kerusakan jaringan elastin paru dan kemudian emfisema. Faktor Sosial Ekonomi Bronkitis kronik lebih banyak didapat pada golongan sosial ekonomi rendah, mungkin karena perbedaan pola merokok, dan lebih banyak terpajan faktor risiko lain. Kematian pada pasien bronkitis kronik ternyata lebih banyak pada golongan sosial ekonomi rendah. Mungkin disebabkan faktor lingkungan dan ekonomi yang lebih jelek. Lingkungan Kerja Bronkitis kronik lebih sering terjadi pada pekerja yang terpajan zat inorganik, debu organik atau gas yang berbahaya. Pekerja yang terpajan zat tersebut mempunyai kemungkinan bronkitis 2-4 kali daripada pekerja yang tidak terpajan. Secara epidemiologi didapatkan penurunan fungsi paru pada pekerja-pekerja tersebut, seperti pekerja pabrik plastik yang terpajan toluene diisocyanate, pabrik katun, dan lain-lain. D. Patofisiologi Penyempitan saluran napas terjadi pada bronkitis kronik maupun pada emfisema. Bila sudah tmbul gejala sesak, biasanya sudah dapat dibuktikan adanya tanda-tanda obstruksi. Pada bronkitis kronik, sesak napas terutama disebabkan karena perubahan pada saluran napas kecil, yang diameternya < 2 mm, menjadi lebih sempit, berkelok-kelok dan kadang-kadang terjadi obliterasi. Penyempitan lumen terjadi juga oleh metaplasia sel goblet. Saluran napas besar juga berubah, terutama karena hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus, sehingga saluran napas lebih menyempit. Pada emfisema, penyempitan saluran napas terutama disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Pada paru-paru normal terjadi keseimbangan tekanan yang menarik jaringan paru ke luar, yaitu yang disebabkan tekanan intra pleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan yang menarik
8
jaringan paru ke dalam, yaitu elastisitas paru. Bila timbul keseimbangan antara kedua tekanan tersebut, volume paru yang terbentuk disebut sebagai KRF (Kapasitas Residu Fungsional) atau FRC (Functional Residual Capacity) yang normal. Bila elastisitas paru berkurang timbul keseimbangan baru dan menghasilkan KRF baru pula, yang lebih besar. Volume residu (VR) atau Residual Volume (RV) dan KTP (Kapasitas Total Paru) bertambah pula, tetapi KV (Kapasitas Vital) menurun. Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang, sehingga saluran napas bagian bawah paru akan tertutup. Pada pasien emfisema dan bronkitis kronik, saluran napas tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Cepatnya saluran napas menutup serta serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Tergantung pada kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan ventilasi kurang tidak ada, akan tetapi perfusi baik sehingga penyebaran udara pernapasan maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata. Atau dapat dikatakan juga tidak ada keseimbangan antara ventilasi dan perfusi di alveoli. Timbul hipoksia dan sesak napas. Lebih jauh lagi hipoksia alveoli menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah paru dan polisitemia. Terjadi hipertensi pulmonal, yang dalam jangka lama dapat menimbulkan kor-pulmonal. E. Manifestasi Klinik Tanda-tanda umum PPOM : 1) Batuk produktif Batuk produktif ini disebabkan oleh inflamasi dan produksi mukus yang berlebihan di saluran nafas. 2) Dispnea Terjadi secara bertahap dan biasanya disadari saat beraktivitas fisik. Berhubungan dengan menurunnya fungsi paru-paru dan tidak selalu berhubungan dengan rendahnya kadar oksigen di udara 3) Batuk kronik
9
Batuk kronis umumnya diawali dengan batuk yang hanya terjadi pada pagi hari saja kemudian berkembang menjadi batuk yang terjadi sepanjang hari. Batuk biasanya dengan pengeluaran sputum dalam jumlah kecil (<60ml/hari) dan sputum biasanya jernih atau keputihan. Produksi sputum berkurang ketika pasien berhenti merokok 4) Mengi Terjadi karena obstruksi saluran nafas 5) Berkurangnya berat badan Pasian dengan PPOM yang parah membutuhkan kalori yang lebih besar hanya untuk bernapas saja. Selain itu pasien juga mengalami kesulitan bernafas pada saat makan sehingga nafsu makan berkurangdan pasien tidak mendapat asupan kalori yang cukup untuk mengganti kalori yang terpakai. Hal tersebut mengakibatkan berkurangnya berat badan pasien. 6) Edema pada tubuh bagian bawah Pada kasus CPOD yang parah, tekanan arteri pulmonary meningkat dan ventrikel kanan tidak berkontraksi dengan baik. Ketika jantung tidak mampu memompa cukup darah ke ginjal dan hati akan timbul edema pada kaki, kaki bagian bawah, dan telapak kaki. Kondisi ini juga dapat menyebabkan edema pada hati atau terjadinya penimbunan cairan pada abdomen (acites) Bronkitis kronik dan emfisema adalah suatu penyakit menahun, terjadi sedikit demi sedikit bertahun-tahun. Biasanya mulai pada seorang pasien perokok berumur 15-25 tahun. Pada umur 25-35 tahun kemampuan kerja beratnya mulai menurun dan mulai timbul perubahan pada saluran napas kecil dan fungsi paru mulai pula berubah antara lain berupa kenaikan closing volume. Umur 35-45 tahun timbul batuk yang produktif dan VEP1 (volume ekspirasi paksa 1 detik) menurun. Sesak napas, hipoksemia, dan perubahan spirometri sudah terjadi pada umur 45-55 tahun. Pasien sering berulang-ulang mendapat infeksi saluran napas bagian atas sehingga sering atau sama sekali
10
tidak dapat bekerja. Pada umur 55-65 tahun sudah ada kor-pulmonal, yang dapat menyebabkan kegagalan napas dan meninggal dunia. Keluhan Pada bronkitis kronik keluhan utama adalah batuk berdahak dan sesak. Sedangkan pada emfisema keluhan utama adalah sesak napas, batuk berdahak tidak begitu mencolok. Menurut Burrows dkk. 75% bronkitis kronik mulai dengan batuk, 22% mulai dengan sesak. Rachmat Sumantri mendapatkan batuk 95%, sesak 95% dan mengeluarkan dahak 88%. Sedangkan Hardianto mendapatkan batuk 100%, sesak 49%, dan dahak 88,6%. Pasien dengan bronkitis kronik dominan biasanya mempunyai riwayat batuk-batuk dengan sputum yang produktif yang sering dikatakannya karena merokok. Pasien sendiri tidak menganggap sebagai keluhan, kecuali bila kita tanya langsung. Makin lama batuk makin sering, berlangsung lama dan makin berat, timbul siang maupun malam, sehingga pasien terganggu tidurnya. Bila timbul infeksi saluran napas, batuk-batuk bertambah hebat dan berkurang bila infeksi teratasi. Pasien dengan emfisema dominan biasanya mempunyai riwayat sesak napas dengan batuk kadang-kadang disertai sedikit sputum mukoid. Bila ada infeksi, sputum menjadi purulen atau mukopurulen dan kental. Bila disertai hemoptisis harus dipikirkan penyakit lain seperti tuberkulosis, bronkiektasis, atau tumor. Pada kedua penyakit tersebut, bila timbul infeksi, sesak napas akan bertambah, kadang-kadang disertai tanda payah jantung kanan, dan lama kelamaan timbul kor-pulmonal yang menetap. Pada hipoksemia/hiperkapnia berat, dapat timbul keluhan-keluhan neurologis seperti kesadaran yang menurun sampai koma, sakit kepala, tremor dan twitching. PPOM eksaserbasi 1. Peningkatan volume sputum
11
Terjadi karena produksi mukus yang berlebihan akibat displasia sel-sel penghasil mukus di bronkus. Silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia sehingga mengganggu sistem escalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus yang kental dalam jumlah yang besar dan sulit dikeluarkan. 2. Adanya sputum purulen Mukus dapat menjadi tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menyebabkan mukus tersebut menjadi purulen. 3. Dispnea akut Karena adanya mukus yang kental dan peradangan (bronkitis) serta hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus (emfisema), maka akan terjadi penghambatan ventilasi sehingga mengakibatkan kesulitan dalam pernapasan (dispnea) 4. Rasa sesak pada bagian dada Karena dispnea tersebut maka akan timbul kesulitan bernapas yang menyebabkan rasa sesak pada bagian dada. 5. Kebutuhan akan bronkodilator Karena terjadi spasme saluran napas yang sudah memburuk, maka kebutuhan pasien akan bronkodilator menjadi meningkat 6. Malaise dan fatigue Karena terdapatnya gangguan ventilasi maka kebutuhan oksigen untuk jaringa tubuh menjadi berkurang sehingga menyebabkan malaise dan fatigue pada penderita PPOM. 7. Penurunan toleransi aktivitas Akibat dari malaise dan fatigue sebelumnya, maka penderita PPOM akan membatasi aktivitas sehingga dapat dikatakan toleransi aktivitas menjadi menurun. Stadium eksaserbasi akut PPOM Cardinal symptom : Dispnea Peningkatan jumlah sputum
12
Peningkatan sputum purulen 1.
Tipe 1- MILD Menderita satu cardinal symptom Ditambah paling tidak diikuti oleh satu dari gejala dibawah ini: Infeksi saluran pernapasan atas selama 5 hari Panas tanpa sebab yang jelas Peningkatan wheezing Peningkatan batuk Peningkatan laju pernapasan atau irama jantung 20% lebih besar daripada kondisi normal
2.
Tipe 2- MODERATE Menderita 2 cardinal symptom
3.
Tipe 3- SEVERE Menderita 3 cardinal symptom Komplikasi yang berbahaya dari tipe ini adalah kegagalan pernapasan akut Di rumah sakit, arterial blood gasses biasa digunakan untuk memprediksi seberapa berat eksaserbasi seseorang
F.
Diagnosis PPOM 1. Anamnesis Anamnesis riwayat paparan dengan faktor resiko, riwayat penyakit sebelumnya, riwayat keluarga PPOM, riwayat eksaserbasi dan perawatan di RS sebelumnya, komorbiditas, dampak penyakit terhadap aktivitas, dll. 2. Pemeriksaan Fisik Pada stadium dini tidak ditemukan kelainan fisis. Hanya kadangkadang terdengar ronki pada waktu ekspirasi dalam. Bila sudah ada keluhan sesak, akan terdengar ronki pada waktu ekspirasi maupun inspirasi, kadang disertai bising mengi. Juga didapatkan tanda-tanda overinflasi paru seperti barrel chest, kifosis, diameter anteroposterior
13
dada bertambah, jarak tulang rawan krikotiroid dengan lekukan supra sterna kurang dari 3 jari, iga lebih horizontal dan sudut subkostal bertambah. Pada perkusi terdengar hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih kecil ke bawah, pekak jantung berkurang, suara napas dan suara jantung lemah. Kadang-kadang disertai kontraksi otot pernapasan tambahan. Sering didapatkan hernia inguinal. Bila sudah ada kenaikan tekanan pulmonal, suara jantung kedua akan lebih keras, terutama di ruang interkostal 2 dan 3 sebelah kiri. Pada pembesaran jantung kanan akan terlihat pulsasi di dada kiri bawah pinggir sternum. Pasien dengan bronkitis kronik yang lebih dominan, pada stadium lanjut biasanya terlihat gemuk dan sianosis. Sesak tidak begitu berat dan otot-otot pernapasan tambahannya pun tidak digunakan. Sering disertai tanda payah jantung kanan. PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau naik. Penurunan PaO2 menstimulasi eritropoiesis dan vasokontriksi pembuluh darah paru, sehingga kor-pulmonalnya bertambah berat. Pasien demikian dinamakan blue bloaters. Pasien dengan emfisema yang lebih dominan, pada stadium lanjut terlihat sebagai pasien yang kurus, sesak napas, terlihat menggunakan otot pernapasan tambahan. Bila duduk biasanya membungkuk dengan kedua tangannya diletakkan di muka sebagai penahan. Saturasi hemoglobin masih cukup, karena volume pernapasan permenit dinaikkan. Pasien tersebut dinamakan pink puffer. 3. Pemeriksaan Faal Paru Spirometri Dengan alat spirometri dapat diukur beberapa parameter faal paru yaitu: Kapasitas vital paksa (KVP) adalah jumlah udara yang bisa diekspirasi maksimal secara paksa setelah inspirasi maksimal. Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP 1) adalah jumlah udara yang bisa diekspirasi maksimal secara paksa pada detik pertama.
14
Rasio VEPl/KVP. Arus puncak ekspirasi (APE). Apabila nilai VEP1 kurang dari 80% nilai dugaan, rasio VEP1/KVP kurang dari 75% menunjukkan obstruksi saluran napas. Bila digunakan spirometri yang lebih lengkap dapat diketahui parameter lain: Kapasitas vital (KV), jumlah udara yang dapat diekspirasi maksimal setelah inspirasi maksimal. Kapasitas paru total (KPT), yaitu jumlah total udara dalam paru pada saat inspirasi maksimal. Kapasitas residu fungsional (KRF), yaitu jumlah udara dalam paru saat akhir ekspirasi biasa. Volume residu (VR), jumlah udara yang tertinggal dalam paru pada akhir ekspirasi maksimal. Air trapping, selisih antara KV dengan KVP Pada pasien bronkitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang bertambah dan KTP yang normal. Pada emfisema terdapat penurunan VEP1, KV, dan KAEM (Kecepatan Arus Ekspirasi Maksimal) atau MEFR (Maximal Expiratory Flow Rate), kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP bertambah atau normal. Kelainan di atas lebih jelas pada stadium lanjut, sedang pada stadium dini perubahan hanya pada saluran napas kecil yang dapat dibuktikan dengan pemeriksaan KAEM, closing volume, flow volume curve dengan O2 dan gas helium dan N2 wash out curve. Pada emfisema, kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang. Dapat dibuktikan dengan pemeriksaan kapasitas difusi untuk CO. Uji Bronkodilator Uji bronkodilator adalah suatu pemeriksaan faal paru sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator untuk menilai reversibilitas penyakit.
15
Di Rumah Sakit Persahabatan uji bronkodilator dikerjakan sebagai berikut : Dilakukan pengukuran APE atau VEP1 pada pasien yang telah dibebaskan
dari
bronkodilator
sebelumnya.
Pemakaian
dihentikan selama 12 jam, untuk lepas lambat 24 jam. dibebaskan 12 jam dan inhalasi
2
2
2
teofilin
agonis oral
agonis inhalasi 8 jam. Kemudian diberikan
agonis sebanyak 8 semprot memakai alat nebuhaler atau
volumatik. 15 menit setelah pemberian inhalasi bronkodilator, dilakukan pemeriksaan faal paru kembali. Kemudian ditentukan persentase kenaikan nilai APE atau VEP1 (reversibilitas) dengan rumus berikut : Reversibili tas
=
VEP1 post bronkodilator - VEP1 pre bronkodilator VEP1 pre bronkodilator
x 100%
Apabila nilainya > 15% dianggap masih reversibel. 4. Pemeriksaan Radiologis Foto dada pada bronkitis kronik Bronkitis kronik bukan suatu diagnosis radiologis. Menurut Fraser dan Pare, lebih dari 50% pasien bronkitis kronik mempunyai foto dada yang normal, sedangkan Hardiarto mendapatkan 26% pasien. Tetapi secara radiologis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: a. Tubular shadows atau tram lines terlihat bayangan garis-garis yang paralel, keluar dari hilus menuju apek paru. Bayangan tersebut adalah bayangan bronkus yang menebal. Dari 300 pasien yang diperiksa Fraser dan Pare, ternyata 80% mempunyai kelainan tersebut. b. Corak paru yang bertambah. Menurut Gamsu dan Nadel kira-kira pada 0-20% pasien. Foto dada pada emfisema
16
Pemeriksaan radiologis pada emfisema paru telah diselidiki antara lain oleh Thurlbeck dkk., dan ternyata lebih khas daripada bronkitis kronik. Terdapat 2 bentuk kelainan foto dada pada emfisema, yaitu: a. Gambaran defisiensi arteri Terjadi overinflasi, pulmonary oligoemia dan bulae. Menurut Fraser dan Pare lebih sering didapat pada emfisema panlobular dan pink puffer. Overinflasi, hampir selalu terlihat diafragma yang rendah dan datar, bahkan kadang-kadang terlihat konkaf. Pada pemeriksaan sinar tembus gerakannya berkurang. Udara di ruang retrosternal bertambah (trapped air) yaitu jarak antara sternum dan pinggir depan aorta asendens. Juga sternum lebih melengkung, penambahan kifosis, tulang iga lebih mendatar dan melebar. Oligoemia,
penciutan
pembuluh
darah
pulmonal
dan
penambahan corakan ke distal. Mungkin disebabkan karena darah yang mengalir ke bagian bawah paru yang emfisema sangat berkurang, disebabkan karena darah dialirkan ke bagian atas paru. Bulae, sering terdapat pada pasien emfisema. b. Corakan paru yang bertambah (increased marking pattern) Lebih
sering
terdapat
pada
kor-pulmonal,
emfisema
sentrilobular dan blue bloaters. Overinflasi tidak begitu hebat. 5. Analisis Gas Darah Ventilasi yang hampir adekuat masih sering dapat dipertahankan oleh pasien emfisema paru sehingga PaCO2 rendah atau normal. Saturasi hemoglobin pasien hampir mencukupi. Sebaliknya pasien bronkitis kronik tidak dapat mempertahankan ventilasi dengan baik, sehingga PaCO2 naik. Saturasi hemoglobin menurun dan timbul sianosis. Terjadi juga vasokontriksi pembuluh darah paru dan penambahan eritropoiesis. Hipoksia yang kronik merangsang pembentukan eritropoietin sehingga menimbulkan polisitemia. Pada pasien yang berumur lebih dari 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja lebih
17
berat dan merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan timbul cepat. 6. Pemeriksaan EKG Pemeriksaan ini mencatat ada tidaknya serta perkembangan kor pulmonal (hipertrofi atrium dan ventrikel kanan)(Rubenstein, et.al., 2007). Pada pemeriksaan EKG, untuk penderita kor-pulmonal paru diperhatikan hal-hal seperti dibawah ini: 1) Adanya emfisema dapat menimbulkan perubahan-perubahan pada pemeriksaan EKG 2) Perubahan
pada
EKG
yang
ditimbulkan
oleh
emfisema
mengaburkan penilaian perubahan EKG yang disebabkan hipertrofi bilik kanan jantung 3) EKG bisa normal walaupun diagnosis kor-pulmonal telah jelas Emfisema dan hipertrofi bilik kanan jantung secara bersama-sama dapat menimbulkan perubahan pada EKG. Hal ini kadang-kadang dapat menimbulkan kesalahan dalam penilaian. 7. Pemeriksaan Laboratorium Darah Terjadi peningkatan jumlah sel darah putih.
18
DAFTAR PUSTAKA
Soemantri, E.S., Uyainah, A. 2001. Ilmu Penyakit Dalam : Bronkitis Kronik dan Emfisema Paru Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/08UjiFaalParu084.pdf/08UjiFaalParu084.ht ml http://72.14.235.132/search?q=cache:4ioH9lEjzzoJ:fkuii.org/tikidownload_wiki_attachment.php%3FattId%3D2292%26page %3DAktifitas+pedoman+penatalaksanaan+penyakit+paru+obstruktif+kroni s&cd=5&hl=id&ct=clnk&gl=id
19