MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
POLIGAMI
oleh : Winda Winda Krisn Krisna a Ayund Ayundari ari Zulfaida Zulia Roudlotul Jannah Dini Dinia a Rizq Rizqii Dwi Dwija jaya yant ntii
(08109 (08109130 13057) 57) (105090100111001) (105090100111003) (105 (10509 0901 0100 0011 1110 1005 05))
JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2011
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Poligami merupakan permasalahan dalam perkawinan yang paling banyak diperdebatkan sekaligus controfersial. Poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan ketidakadilan gender. Para penulis barat sering mengklaim bahwa poligami adalah bukti bahwa ajaran Islam dalam bidang perkawinan sangat diskriminatif terhadap perempuan. Poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki sandaran normatif yang tegas dan dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena selingkuh dan prostitusi (Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, 2004: 156). Sebagian dari masyarakat kita kurang atau tidak setuju dengan poligami dan mereka menentang praktik poligami yang ada sekarang ini, karena efek negatifnya sangat besar bagi keluarga dan banyak menyakiti kaum perempuan. Namun, sebagian yang lain menyetujui poligami dengan alasan-alasan tertentu. Kelompok terakhir ini beralasan bahwa meskipun poligami memiliki banyak resiko, tetapi bukanlah sesuatu yang dilarang oleh agama, khususnya Islam. Terlepas dari pendapat pro dan kontra tentang poligami, yang jelas masalah poligami menjadi masalah yang menarik untuk didiskusikan. Praktik poligami semakin lama semakin banyak di tengah-tengah masyarakat kita. Dalam praktiknya, masih banyak di antara kaum poligam belum memenuhi ketentuan yang ada, baik secara hukum negara maupun hukum agama. Makalah ini mencoba mengkaji permasalahan poligami tersebut, terutama bagaimana Islam memandang poligami dan syarat-syarat poligami. 1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dari makalah ini adalah : Bagaimana Islam memandang poligami? •
•
Bagaimana syarat diperbolehkannya poligami?
1.3 Tujuan Tujuan disusunnya makalah ini adalah : •
Mengetahui pandangan islam tentang poligami
•
Mengetahui syarat-syarat poligami
1.4 Manfaat Manfaat yang dapat di ambi dari bahasan poligami adalah dapat megetahui makna poligami dalam ajaran agama islam. Menggali lebih dalam makna poligami dalam islam serta dapat belajar menjadi insan yang arif dan bijaksana untuk mengargai hidup dan bisa lebih menghargai perasaan pasangan kita.
BAB II PEMBAHASAN 2.1Poligami Poligami memiliki akar sejarah yang panjang dalam perjalanan peradaban manusia itu sendiri. Sebelum Islam datang ke Jazirah Arab, poligami merupakan sesuatu yang telah mentradisi bagi masyarakat Arab. Poligami masa itu dapat disebut poligami tak terbatas, bahkan lebih dari itu tidak ada gagasan keadilan di antara para istri. Suamilah menentukan sepenuhnya siapa yang ia sukai dan siapa yang ia pilih untuk dimiliki secara tidak terbatas. Isrti-istri harus menerima takdir mereka tanpa ada usaha memperoleh keadilan (Asghar Ali Engineer, 2003: 111). Secara etimologis (lughawi ) kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu gabungan dari dua kata: poli atau polus yang berarti banyak dan gamein dan gamos yang berarti perkawinan. Dengan demikian poligami berarti perkawinan yang banyak (Nasution, 1996: 84). Secara terminologis (ishthilahi ) poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan (KBBI, 2001: 885). Jika yang memiliki pasangan lebih dari satu itu seorang suami maka perkawinannya disebut poligini, sedang jika yang memiliki pasangan lebih dari satu itu seorang istri maka perkawinannya disebut poliandri. Namun dalam bahasa sehari-hari istilah poligami lebih populer untuk menunjuk perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri. Lawan dari poligami adalah monogami, yakni sistem perkawinan yang hanya membolehkan seorang suami memiliki seorang istri dalam satu waktu. 2.2 Sejarah Poligami Poligami sudah dipraktikkan umat manusia jauh sebelum Islam datang. Rasulullah Saw. membatasi poligami sampai empat orang istri. Sebelum adanya pembatasan ini para sahabat sudah banyak yang mempraktikkan poligami melebihi dari empat istri, seperti lima istri, sepuluh istri, bahkan lebih dari itu. Mereka melakukan hal itu sebelum mereka memeluk Islam, seperti yang dialami oleh Qais bin al-Harits. Ia berkata: “Aku masuk Islam dan aku mempunyai delapan istri, lalu aku datang kepada Nabi Saw. Dan
menyampaikan hal itu kepada beliau lalu beliau berkata: “Pilih dari mereka empat orang.” (HR. Ibnu Majah). Hal ini juga dialami oleh Ghailan bin Salamah al-Tsaqafi ketika memeluk Islam. Ia memiliki sepuluh istri pada masa Jahiliah yang semuanya juga memeluk Islam. Maka Nabi Saw. menyuruhnya untuk memilih empat orang dari sepuluh istrinya (HR. alTirmidzi). Jadi poligami sudah lama dipraktikkan oleh umat manusia jauh sebelum Nabi Muhammad Saw. melakukan poligami. Nabi-nabi sebelum Muhammad juga banyak yang melakukan poligami, seperti Nabi Daud a.s., Nabi Sulaiman a.s., dan begitu juga umatumatnya. Masyarakat Jahiliah dalam waktu yang cukup lama mentradisikan poligami dalam jumlah yang tidak terbatas hingga datangnya Islam. Sebagian dari orang Jahiliah ini kemudian memeluk Islam dan sudah berpoligami, sehingga harus tunduk kepada aturan Islam yang hanya membatasi poligami sampai empat istri saja.
2.3Poligami Menurut Islam Hukum Islam secara prinsip tidak mengharamkan (melarang) poligami, tetapi juga tidak memerintahkan poligami. Artinya, dalam hukum Islam poligami merupakan suatu lembaga yang ditetapkan sebagai jalan keluar untuk mengatasi adanya problem tertentu dalam suatu keluarga (rumah tangga). Sesuai dengan dua prinsip hukum Islam yang pokok, yakni keadilan dan kemaslahatan, poligami dapat dilakukan ketika terpenuhinya kedua prinsip tersebut. Poligami harus didasari oleh adanya keinginan bagi pelakunya untuk mewujudkan kemaslahatan di antara keluarga dan juga memenuhi persyaratan terwujudnya keadilan di antara suami, para istri, dan anak-anak mereka. Dengan demikian, jika poligami dilakukan hanya sekedar untuk pemenuhan nafsu, apalagi hanya sekedar mencari prestasi dan prestise di tengah-tengah masyarakat yang hedonis dan materialis sekarang, serta mengabaikan terpenuhinya dua prinsip utama dalam hukum Islam tersebut, maka tentu saja poligami tidak dibenarkan. Poligami dalam hukum Islam merupakan suatu solusi bagi sebagian orang (sedikit) untuk mewujudkan kesempurnaan dalam kehidupan keluarga yang memang tidak dapat dicapai dengan monogami. Problem ketiadaan anak yang mungkin disebabkan oleh kemandulan seorang istri, ketidakpuasan seorang suami karena kurangnya pelayanan yang prima dari seorang istri, atau tujuan-tujuan dakwah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. merupakan sederetan problem yang barangkali bisa dipecahkan oleh lembaga poligami ini. Namun yang perlu dicatat, jangan sampai upaya mengatasi berbagai problem dengan cara poligami malah menimbulkan problem baru yang lebih besar mafsadatnya daripada problem sebelumnya. Jika hal ini terjadi tentu poligami bukanlah suatu solusi yang dianjurkan, tetapi sebaliknya bisa jadi malah dilarang. Kalau kita perhatikan praktik poligami di tengah-tengah masyarakat kita, dapat kita simpulkan bahwa para poligam
masih banyak yang mengabaikan aturan-aturan poligami sebagaimana di atas. Kebanyakan dari mereka melakukan poligami hanya karena pemenuhan nafsu belaka, sehingga mengabaikan prinsip-prinsip pokok dalam hukum Islam, yakni terwujudnya keadilan dan kemaslahatan. Akibat poligami ini tidak sedikit para wanita (terutama istri pertamanya) dan anak-anak mereka menjadi terlantar karena hanya diabaikan begitu saja. Tentu saja hal ini dapat mengakibatkan perpecahan keluarga yang jauh dari tujuan suci dari lembaga pernikahan dalam Islam. Namun demikian, di antara mereka juga ada yang melakukan poligami dengan mengindahkan ketentuan yang ada, sehingga mereka tetap dalam prinsip untuk mewujudkan keluarga yang bahagia secara keseluruhan. Golongan yang terakhir ini jumlahnya sangat sedikit. 2.4 Pandangan Ulama tentang Poligami Allah Swt. Maha Bijaksana ketika menetapkan aturan poligami, sehingga tidak ada kesalahan dan cela. Islam tidak menjadikan poligami sebagai suatu kewajiban bagi lakilaki, sebagaimana tidak pula diwajibkan bagi perempuan dan keluarganya untuk menerima perkawinan dari laki-laki yang sudah beristri. Perlu ditegaskan di sini bahwa tujuan disyariatkannya hukum Islam adalah untuk kemaslahatan manusia. Dengan prinsip seperti ini, jelaslah bahwa disyariatkannya poligami juga untuk kemaslahatan manusia. Poligami bertujuan untuk mewujudkan keluarga yang baik, bukan semata-mata untuk menyenangkan suami. Dari prinsip ini juga dapat dipahami bahwa jika poligami itu tidak dapat mewujudkan kemaslahatan, maka poligami tidak boleh dilakukan. Karena itulah, Islam memberikan aturan-aturan yang dapat dijadikan dasar untuk pelaksanaan poligami sehingga dapat terwujud kemaslahatan tersebut. Para ulama berbeda pendapat mengenai ketentuan poligami, meskipun dasar pijakan mereka adalah sama, yakni mereka mendasarkan pada satu ayat dalam al-Quran, yaitu QS. al-Nisa’ (4): 3 seperti di atas. Menurut jumhur (kebanyakan) ulama ayat di atas turun setelah Perang Uhud selesai, ketika banyak pejuang Muslim yang gugur menjadi syuhada’ . Sebagai konsekuensinya banyak anak yatim dan janda yang ditinggal mati ayah atau suaminya. Hal ini juga berakibat terabaikannya kehidupan mereka terutama dalam hal pendidikan dan masa depan mereka (Nasution, 1996: 85). Kondisi inilah yang melatarbelakangi disyariatkannya poligami dalam Islam. Ibnu Jarir al-Thabari sangat setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa makna ayat di atas merupakan kekhawatiran tidak mampunya seorang wali berbuat adil terhadap harta anak yatim. Maka jika sudah khawatir kepada anak yatim, mestinya juga khawatir terhadap perempuan. Maka janganlah menikahi mereka kecuali dengan perempuan yang kalian yakin bisa berbuat
adil, satu hingga empat orang. Sebaliknya, jika ada kekhawatiran tidak sanggup berbuat adil ketika berpoligami, maka cukup menikahi seorang istri saja (al-Thabari, 1978: 155). Dalam menafsirkan ayat di atas al-Zamakhsyari mengatakan, kata wa dalam ayat matsna wa tsulatsa wa ruba’ berfungsi sebagai penjumlahan ( li al-jam’i). Karena itu, menurutnya, perempuan yang boleh dinikahi oleh lakilaki yang bisa berbuat adil bukan empat, sebagaimana pendapat ulama pada umumnya, tetapi sembilan (al-Zamakhsyari, 1966, I: 496). Ketika menjelaskan makna ayat 129 dari surat al-Nisa’ yang berbunyi: ”Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatungkatung” , al-Zamakhsyari mengatakan bahwa tuntutan kemampuan berbuat adil terhadap para istri sesuai dengan kemampuan maksimal, sebab memaksakan diri dalam melakukan sesuatu di atas kemampuannya perbuatan zhalim (al-Zamakhsyari, 1966, I: 568). Ketika membahas kata aw ma malakat aimanukum al-Zamakhsyari mengatakan bahwa untuk halalnya hubungan seorang tuan dengan budaknya, maka harus dinikahi terlebih dahulu. Al-Qurthubi sepakat dengan al-Zamakhsyari dalam hal menikahi budak yang akan digauli oleh tuannya. Namun al-Qurthubi berbeda dengan al-Zamakhsyari dalam memahami jumlah maksimal perempuan yang dijadikan istri dalam berpoligami. Al- Qurthubi sepakat dengan apa yang ditegaskan oleh Nabi Saw. ketika menyuruh sahabat untuk menyisakan istrinya maksimal empat orang. Dengan demikian, menurut al- Qurthubi jumlah maksimal istri bagi suami yang berpoligami adalah empat orang (alQurthubi, 1967: 17). Al-Syaukani menyebutkan, bahwa sebab turunnya ayat al-Nisa’: 3 berhubungan dengan kebiasaan orang-orang Arab pra-Islam. Di antara kebiasaan mereka adalah para wali yang ingin menikahi anak yatim tidak memberikan mahar yang jumlahnya sama dengan mahar yang diberikan kepada perempuan lain. Karena itu, kalau tidak bisa memberikan mahar yang sama antara yang perempuan yang yatim dan non-yatim, Allah menyuruh untuk menikahi perempuan yang non-yatim saja maksimal empat orang dengan syarat dapat berbuat adil. Jika tidak dapat berbuat adil, maka cukup satu saja. Al-Syaukani juga menegaskan bahwa menikahi wanita lebih dari empat orang hukumnya haram karena bertentangan dengan sunnah Nabi dan bertentangan dengan pemahaman bahasa Arab yang umum (al-Syaukani, 1973: 420). Ketika menafsirkan ayat aw ma malakat aimanukum al- Syaukani menyatakan, untuk menjadikan budak sebagai istri tidak diharuskan menikahinya, karena budak disamakan dengan harta milik. Dalam menafsirkan QS. al-Nisa’: 129, sebagaimana umumnya para ahli tafsir, alSyaukani menegaskan, bagaimanapun usaha untuk berbuat adil, manusia
tidak akan mampu, lebih-lebih kalau dihubungkan dengan kemampuan membagi di bidang nonmateri. Karena itu, Allah melarang untuk condong kepada salah satu yang mengakibatkan yang lain menjadi terlantar. Dengan kata lain, harus ada upaya maksimal dari seorang suami untuk dapat berbuat adil kepada para istrinya ketika berpoligami (al-Syaukani, 1973: 521). Al-Maraghi menyatakan dalam kitab tafsirnya bahwa kebolehan poligami adalah kebolehan yang dipersulit dan diperketat. Menurutnya, poligami diperbolehkan dalam keadaan darurat yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar membutuhkan. Dia kemudian mencatat kaidah fiqhiyah “dar’u al-mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih ” (menolak yang berbahaya harus didahulukan daripada mengambil yang bermanfaat). Catatan ini dimaksudkan untuk menunjukkan betapa pentingnya untuk berhati-hati dalam melakukan poligami. Alasan yang membolehkan poligami, menurut al- Maraghi, adalah 1) karena istri mandul sementara keduanya atau salah satunya sangat mengharapkan keturunan; 2) apabila suami memiliki kemampuan seks yang tinggi sementara istri tidak mampu meladeni sesuai dengan kebutuhannya; 3) jika suami memiliki harta yang banyak untuk membiayai segala kepentingan keluarga, mulai dari kepentingan istri sampai kepentingan anak-anak; dan 4) jika jumlah perempuan melebihi jumlah laki-laki yang bisa jadi dikarenakan perang. Atau banyaknya anak yatim dan janda sebagai akibat perang juga membolehkan dilakukannya poligami (al-Maraghi, 1969, IV: 181-182). Al-Maraghi juga menegaskan hikmah pernikahan poligami yang dilakukan Nabi Muhammad Saw. yang menurutnya ditujukan untuk syiar Islam. Sebab jika tujuannya untuk pemuasan nafsu seksual, tentu Nabi akan memilih perempuan perempuan cantik dan yang masih gadis. Sejarah membuktikan bahwa yang dinikahi Nabi semuanya janda kecuali ‘Aisyah. Terkait dengan QS. al-Nisa’: 129 al-Maraghi mencatat, yang terpenting harus ada upaya maksimal untuk berbuat adil. Adapun di luar kemampuan manusia, bukanlah suatu yang harus dilakukan (al-Maraghi, 1969, V: 173). Sayyid Qutub memandang poligami sebagai suatu perbuatan rukhshat. Karena itu, poligami hanya bisa dilakukan dalam keadaan darurat yang benar benar mendesak. Kebolehan ini pun masih disyaratkan adanya sikap adil kepada para istri. Keadilan yang dituntut di sini termasuk dalam bidang nafkah, muamalah, pergaulan, serta giliran tidur malam. Bagi suami yang tidak mampu berbuat adil, maka cukup seorang istri saja (Sayyid Qutub, 1966, IV: 236). Ameer Ali juga berpendapat sama seperti Sayyid Qutub (Ali, 1922: 229). Sedang Fazlur Rahman mengatakan, kebolehan poligami merupakan satu pengecualian karena keadaan tertentu. Sebab kenyataannya, kebolehan itu muncul ketika terjadi perang yang mengakibatkan banyaknya anak yatim dan janda (Nasution, 1996: 101). Muhammad Abduh bahkan berkesimpulan bahwa poligami tidak diperbolehkan (haram). Poligami hanya
mungkin dilakukan seorang suami dalam keadaan tertentu, misalnya ketidakmampuan seorang istri untuk mengandung atau melahirkan. Dengan mengutip QS. al-Nisa’(4): 3, Abduh mencatat, Islam memang membolehkan poligami tetapi dituntut dengan keharusan mampu meladeni istri dengan adil. Abduh akhirnya sampai pada satu kesimpulan bahwa pada prinsipnya pernikahan dalam Islam itu monogami (Nasution, 1996: 103). Muhammad Rasyid Ridha sependapat dengan gurunya, Muhammad Abduh, mengenai haramnya berpoligami, jika suami tidak mampu berbuat adil kepada istriistrinya (Nasution, 1996: 104). Sementara itu Abdul Halim Abu Syuqqah (1997, 5: 390) menguraikan faktor-faktor yang dapat mendorong dilakukannya poligami, yakni: 1) memecahkan problema keluarga, seperti istri mandul, terdapat cacat fisik, dan istri menderita sakit yang berkepanjangan; 2) memenuhi kebutuhan yang mendesak bagi suami, seperti seringnya bepergian dalam waktu yang lama dan sulit disertai oleh istrinya karena sibuk mengasuh anak-anak atau karena sebab lain; 3) hendak melakukan perbuatan yang baik terhadap perempuan salih yang tidak ada yang memeliharanya, misalnya perempuan itu sudah tua, karena memelihara anak-anak yatim, atau sebab-sebab lainnya; dan 4) ingin menambah kesenangan karena kesehatannya prima dan kuat ekonominya. Semua faktor ini harus dipenuhi oleh suami yang berpoligami ditambah persyaratkan dapat berlaku adil, mampu memberi nafkah kepada istri- istri dan anak-anaknya, dan mampu memelihara istri-istri dan anak-anaknya dengan baik (Abu Syuqqah, 1997, 5: 388).
2.5 Hukum Poligami Hukum poligami (menikah lebih dari satu istri) bagi lelaki yang mampu dan tidak ada kekhawatiran akan terjerumus dalam perbuatan zhalim. Yang demikian itu dibolehkan karena mengandung banyak maslahat di dalam memelihara kesucian kehormatan, kesucian kehormatan wanita-wanita yang dinikahi itu sendiri dan berbuat ihsan kepada mereka, memperbanyak keturunan yang dengannya ummat Islam akan menjadi banyak dan makin banyak pula orang yang menyembah Allah swt semata. Dalil poligami ini adalah firman Allah Swt. :
Rasulullah Saw. pun mengawini lebih dari satu istri, dan Allah Swt. berfirman:
Rasulullah saw pun bersabda setelah ada beberapa orang sahabat yang mengatakan: “ Aku akan selalu shalat malam dan tidak akan tidur .” Yang satu lagi berkata: “ Aku akan terus berpuasa dan tidak akan berbuka .” Yang satu lagi berkata: “ Aku tidak akan mengawini wanita .” Ketika ucapan itu sampai kepada Nabi Saw., beliau langsung berpidato di hadapan para sahabatnya, seraya memuji Allah Swt., kemudian beliau bersabda :
Berpoligami itu mengandung banyak maslahat yang sangat besar bagi kaum laki-laki, kaum wanita dan Ummat Islam secara keseluruhan. Sebab, dengan berpoligami dapat dicapai oleh semua pihak tunduknya pandangan (Ghadhdhul bashar), terpeliharanya kehormatan, keturunan yang banyak, lelaki dapat berbuat banyak untuk kemaslahatan dan kebaikan para istri dan melindungi mereka dari berbagai faktor penyebab keburukan dan penyimpangan. Tetapi orang yang tidak mampu berpoligami dan takut kalau
tidak dapat berlaku adil, maka hendaknya cukup kawin dengan satu istri saja, karena Allah swt berfirman:
2.6 Syarat – Syarat Poligami Menurut pasal 5 UU Perkawinan menetapkan syarat-syarat poligami sebagai berikut : Adanya persetujuan dari istri/istri-istri Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka • •
•
Selain UU pasal 5 tentang perkawinan, syarat-syarat lain yang berkaitan dengan poligami antara lain adalah : 1. Membatasi jumlah istri yang akan dikahwininya. Syarat ini telah disebutkan oleh Allah (SWT) dengan firman-Nya, "Maka berkahwinlah dengan sesiapa yang kamu ber-kenan dari perempuan-perempuan (lain): dua, tiga atau empat." (Al-Qur'an, Surat an Nisa’ ayat 3) Ayat di atas menerangkan dengan jelas bahawa Allah telah menetapkan seseorang itu berkahwin tidak boleh lebih dari empat orang istri. Jadi, Islam membatasi kalau tidak beristri satu, boleh dua, tiga atau empat saja. Pembatasan ini juga bertujuan membatasi kaum lelaki yang suka dengan perempuan agar tidak berbuat sesuka hatinya. Di samping itu, dengan pembatasan empat orang istri, diharapkan jangan sampai ada lelaki yang tidak menemukan istri atau ada pula wanita yang tidak menemukan suami. Mungkin, kalau Islam membolehkan dua orang istri saja, maka akan banyak wanita yang tidak menikah. Kalau pula dibolehkan lebih dari empat, mungkin terjadi banyak lelaki tidak memperolehi istri. 2. Diharamkan bagi suami mengumpulkan wanita-wanita yang masih
ada tali persaudaraan menjadi istrinya. Misalnya, berkahwin dengan kakak dan adik, ibu dan anaknya, anak saudara dengan emak saudara baik sebelah ayah mahupun ibu. Tujuan pengharaman ini ialah untuk menjaga silaturrahim antara anggota-anggota keluarga. Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya kalau kamu berbuat
yang demikian itu, akibatnya kamu akan memutuskan silaturrahim di antara sesama kamu." (Hadis riwayat Bukhari & Muslim) Kemudian dalam hadis berikut, Rasulullah Saw. juga memperkuatkan larangan ini, “ Bahawa Urnmu Habibah (istri Rasulullah) mengusulkan agar baginda menikahi adiknya. Maka beliau menjawab; "Sesungguhnya dia tidak halal untukku." (Hadis riwayat Bukhari dan Nasa'i) Seorang sahabat bernama Fairuz Ad-Dailamy setelah memeluk agama Islam, beliau memberitahu kepada Rasulullah bahawa beliau mempunyai istri yang kakak beradik. Maka Rasulullah menyuruhnya memilih salah seorang di antara mereka dan menceraikan yang satunya lagi. Jadi telah disepakati tentang haramnya mengumpulkan kakak beradik ini di dalam Islam. 3. Disyaratkan pula berlaku adil Sebagaimana yang difirmankan Allah Swt., "Kemudian jika kamu bimbang tidak dapat berlaku adil (di antara istri-istri kamu), maka (kahwinlah dengan) seorang saja, atau (pakailah) hamba-hamba perempuan yang kaumiliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat (untuk mencegah) supaya kamu tidak melakukan kezaliman." (Al-Qur'an, Surat an-Nisa’ ayat 3) Dengan tegas diterangkan serta dituntut agar para suami bersikap adil jika akan berpoligami. Andaikan takut tidak dapat berlaku adil kalau sampai empat orang istri, cukuplah tiga orang saja. Tetapi kalau itupun masih juga tidak dapat adil, cukuplah dua saja. Dan kalau dua itu pun masih khuatir tidak boleh berlaku adil, maka hendaklah menikah dengan seorang saja. Para mufassirin berpendapat bahawa berlaku adil itu wajib. Adil di sini bukanlah bererti hanya adil terhadap para istri saja, tetapi mengandungi erti berlaku adil secara mutlak. Oleh kerana itu seorang suami hendaklah berlaku adil sebagai berikut: a) Berlaku adil terhadap dirinya sendiri. Seorang suami yang selalu sakit-sakitan dan mengalami kesukaran untuk bekerja mencari rezeki, sudah tentu tidak akan dapat memelihara beberapa orang istri. Apabila dia tetap berpoligami, ini bererti dia telah menganiayai dirinya sendiri. Sikap yang demikian adalah tidak adil. b) Adil di antara para istri. Setiap istri berhak mendapatkan hak masing-masing dari suaminya, berupa kemesraan hubungan jiwa, nafkah berupa makanan, pakaian, tempat tinggal dan lain-lain perkara yang diwajibkan Allah kepada setiap suami. Adil di antara istri-istri ini hukumnya wajib,
berdasarkan firman Allah dalam Surat an-Nisa’ ayat 3 dan juga sunnah Rasul. Rasulullah (s.a.w.) bersabda, maksudnya; "Barangsiapa yang mempunyai dua istri, lalu dia cenderung kepada salah seorang di antaranya dan tidak berlaku adil antara mereka berdua, maka kelak di hari kiamat dia akan datang dengan keadaan pinggangnya miring hampir jatuh sebelah." (Hadis riwayat Ahmad bin Hanbal) c) Adil memberikan nafkah. Dalam soal adil memberikan nafkah ini, hendaklah si suami tidak mengurangi nafkah dari salah seorang istrinya dengan alasan bahawa si istri itu kaya atau ada sumber kewangannya, kecuali kalau si istri itu rela. Suami memang boleh menganjurkan istrinya untuk membantu dalam soal nafkah tetapi tanpa paksaan. Memberi nafkah yang lebih kepada seorang istri dari yang lain-lainnya diperbolehkan dengan sebab-sebab tertentu. Misalnya, si istri tersebut sakit dan memerlukan biaya rawatan sebagai tambahan. Prinsip adil ini tidak ada perbezaannya antara gadis dan janda, istri lama atau istri baru, istri yang masih muda atau yang sudah tua, yang cantik atau yang tidak cantik, yang berpendidikan tinggi atau yang buta huruf, kaya atau miskin, yang sakit atau yang sihat, yang mandul atau yang dapat melahirkan. Kesemuanya mempunyai hak yang sama sebagai istri. d) Adil dalam menyediakan tempat tinggal. Selanjutnya, para ulama telah sepakat mengatakan bahawa suami bertanggungjawab menyediakan tempat tinggal yang tersendiri untuk tiap-tiap istri berserta anak-anaknya sesuai dengan kemampuan suami. Ini dilakukan semata-mata untuk menjaga kesejahteraan e) Anak-anak juga mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan, pemeliharaan serta kasih sayang yang adil dari seorang ayah. Oleh itu, disyaratkan agar setiap suami yang berpoligami tidak membeza-bezakan antara anak si anu dengan anak si anu. Berlaku adil dalam soal nafkah anak-anak mestilah diperhatikan bahawa nafkah anak yang masih kecil berbeza dengan anak yang sudah besar. Anakanak perempuan berbeza pula dengan anak-anak lelaki. Tidak kira dari ibu yang mana, kesemuanya mereka berhak memiliki kasih sayang serta perhatian yang seksama dari bapa mereka. Jangan sampai mereka diterlantarkan kerana kecenderungan si bapa pada salah seorang istri serta anak-anaknya saja. Keadilan juga sangat dituntut oleh Islam agar dengan demikian si suami terpelihara dari sikap curang yang dapat merosakkan rumahtangganya. Seterusnya, diharapkan pula dapat memelihara dari
terjadinya cerai-berai di antara anak-anak serta menghindarkan rasa dendam di antara sesama istri. Sesungguhnya kalau diperhatikan tuntutan syarak dalam hal menegakkan keadilan antara para istri, nyatalah bahawa sukar sekali didapati orang yang sanggup menegakkan keadilan itu dengan sewajarnya. Bersikap adil dalam hal-hal menzahirkan cinta dan kasih sayang terhadap istri-istri, adalah satu tanggungjawab yang sangat berat. Walau bagaimanapun, ia termasuk perkara yang berada dalam kemampuan manusia. Lain halnya dengan berlaku adil dalam soal kasih sayang, kecenderungan hati dan perkara-perkara yang manusia tidak berkesanggupan melakukannya, mengikut tabiat semulajadi manusia. Hal ini sesuai dengan apa yang telah difirmankan Allah dalam Surat an-Nisa’ ayat 129, "Dan kamu tidak sekali-kali akan sanggup berlaku adil di antara istri-istri kamu sekalipun kamu bersungguh sungguh (hendak melakukannya); oleh itu janganlah kamu cenderung dengan melampau-lampau (berat sebelah kepada istri yang kamu sayangi) sehingga kamu biarkan istri yang lain seperti benda yang tergantung (di awang-awang)." Selanjutnya Siti 'Aisyah (r.a.) menerangkan, “ Bahawa Rasulullah Saw. selalu berlaku adil dalam mengadakan pembahagian antara istri-istrinya. Dan beliau berkata dalam doanya: "Ya Allah, inilah kemampuanku membahagi apa yang ada dalam milikku. Ya Allah, janganlah aku dimarahi dalam membahagi apa yang menjadi milikku dan apa yang bukan milikku." Menurut Prof. Dr. Syeikh Mahmoud Syaltout; "Keadilan yang dijadikan syarat diperbolehkan poligami berdasarkan ayat 3 Surat an Nisa’. Kemudian pada ayat 129 Surat an-Nisa’ pula menyatakan bahawa keadilan itu tidak mungkin dapat dipenuhi atau dilakukan. Sebenamya yang dimaksudkan oleh kedua ayat di atas ialah keadilan yang dikehendaki itu bukanlah keadilan yang menyempitkan dada kamu sehingga kamu merasakan keberatan yang sangat terhadap poligami yang dihalalkan oleh Allah. Hanya saja yang dikehendaki ialah jangan sampai kamu cenderung sepenuh-penuhnya kepada salah seorang saja di antara para istri kamu itu, lalu kamu tinggalkan yang lain seperti tergantung-gantung." Kemudian Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shidieqy pula menerangkan; "Orang yang boleh beristri dua ialah yang percaya benar akan dirinya dapat berlaku adil, yang sedikit pun tidak akan ada keraguannya. Jika dia ragu, cukuplah seorang saja." "Adil yang dimaksudkan di sini ialah 'kecondongan hati'. Dan ini tentu amat sulit untuk dilakukan, sehingga poligami adalah suatu hal yang sukar untuk dicapai.
Jelasnya, poligami itu diperbolehkan secara darurat bagi orang yang benar-benar percaya dapat berlaku adil." Selanjutnya beliau menegaskan, jangan sampai si suami membiarkan salah seorang istrinya terkatung-katung, digantung tak bertali. Hendaklah disingkirkan sikap condong kepada salah seorang istri yang menyebabkan seorang lagi kecewa. Adapun condong yang dimaafkan hanyalah condong yang tidak dapat dilepaskan oleh setiap individu darinya, iaitu condong hati kepada salah seorangnya yang tidak membawa kepada mengurangkan hak yang seorang lagi. Afif Ab. Fattah Tabbarah dalam bukunya Ruhuddinil Islami mengatakan; "Makna adil di dalam ayat tersebut ialah persamaan; yang dikehendaki ialah persamaan dalam hal pergaulan yang bersifat lahir seperti memberi nafkah, tempat tinggal, tempat tidur, dan layanan yang baik, juga dalam hal menunaikan tanggungjawab sebagai suami istri." 4. Tidak menimbulkan huru-hara di kalangan istri mahupun anak-anak. Jadi, suami mesti yakin bahawa perkahwinannya yang baru ini tidak akan menjejaskan serta merosakkan kehidupan istri serta anak-anaknya. Kerana, diperbolehkan poligami dalam Islam adalah untuk menjaga kepentingan semua pihak. Jika kepentingan ini tidak dapat dijaga dengan baik, maka seseorang yang berpoligami pada saat itu adalah berdosa. 5. Berkuasa menanggung nafkah. Yang dimaksudkan dengan nafkah di sini ialah nafkah zahir, sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda, "Wahai sekalian pemuda, sesiapa di antara kamu yang berkuasa mengeluarkan nafkah, maka hendaklah kamu berkahwin. Dan sesiapa yang tidak berkuasa, hendaklah berpuasa." Hadis di atas menunjukkan bahawa Rasulullah Saw. menyuruh setiap kaum lelaki supaya berkahwin tetapi dengan syarat sanggup mengeluarkan nafkah kepada istrinya. Andaikan mereka tidak berkemampuan, maka tidak digalakkan berkahwin walaupun dia seorang yang sihat zahir serta batinnya. Oleh itu, untuk menahan nafsu seksnya, dianjurkan agar berpuasa. Jadi, kalau seorang istri saja sudah kepayahan untuk memberi nafkah, sudah tentulah Islam melarang orang yang demikian itu berpoligami. Memberi nafkah kepada istri adalah wajib sebaik saja berlakunya suatu perkahwinan, ketika suami telah memiliki istri secara mutlak. Begitu juga si istri wajib mematuhi serta memberikan perkhidmatan yang diperlukan dalam pergaulan sehari-hari.
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau menikahi beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Hukum perkawinan dalam Islam membolehkan bagi seorang suami melakukan poligami dengan syarat yakin atau menduga kuat mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya, sebagaimana yang di isyaratkan oleh kata kunci 3 surat al-Nisa’: “Maka jika kamu takut tidak akan mampu berlaku adil, maka kawinlah seorang istri saja ”. Kebolehan poligami ini bukan anjuran tetapi salah satu solusi yang diberikan dalam kondisi khusus kepada mereka (suami) yang sangat membutuhkan dan memenuhi syarat tertentu. Artinya, dalam hukum Islam poligami merupakan suatu lembaga yang ditetapkan sebagai jalan keluar untuk mengatasi adanya problem tertentu dalam suatu keluarga (rumah tangga). Menurut pasal 5 UU Perkawinan menetapkan syarat-syarat poligami sebagai berikut adanya persetujuan dari istri/istri-istri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istriistri dan anak-anak mereka, adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qurthubi. 1967. Al-Jami’ li al-Ahkam al-Qur’an. Kairo: Dar al-Kitab al-‘Arabiyyah. Jilid V Al-Syaukani. 1973. Fath al-Qadir: al-Jami’ Bain Fann al-Riwayah wa al Dirayah min ‘Ilm al-Tafsir. Beirut: Dar al-Fikr. Jilid I Al-Thabari, Ibnu Jarir. 1978. Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. Beirut: Dar alFikr. Jilid IV Muchtar, Kamal, 1974, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta; Bulan Bintang. Marzuki. 1996. “Beberapa Aspek Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Mesir, dan Pakistan: Suatu Studi Perbandingan”. Tesis S-2 di Program Pascasarjana IAIN Syarif. Hidayatullah Jakarta Nasution, Khoiruddin, 1996, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, Jakarta; Pustaka Pelajar Nurudin, Amiur dan Tarigan, Ahmad Azhari, 2004, Hukum Perdata di Indonesia, Jakarta; Pernada Media