KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya, penyusun masih diberikan nafas dan kehidupan sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah – baiknya. dengan sebaik – baiknya. Tujuan penyusun membuat
makalah ini adalah sebagai
salah satu tugas yang
dilakukan mahasiswa/i sebagai salah satu penilaian di mata kuliah tersebut. Selain itu utuk menambah pengetahuan pengetahuan yang mendalam mengenai pokok bahasan dalam mata kuliah ini. Penyusun berharap makalah ini bermanfaat bagi para pembacanya dan penyusun berterima kasih atas segala kritik dan saran yang telah diberikan sehingga makalah ini dapat selesai pada waktunya.
Tangerang, 21 April 2012 Penyusun
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Tidak ada kemajuan selama lebih dari satu decade untuk mengakhiri kesenjangan upah karena perbedaan jenis kelamin, menurut laporan terbaru yang dibuat ITUC (Frozen in time: Gender pay gap unchanged for 10 years). Penemuan lain menunjukkan bukti bahwa diskriminasi terhadap perempuan banyak sekali terjadi pada fasilitas tanggungan keluarga. Di mana mayoritas pekerja laki-laki mendapatkan tunjangan untuk keluarga bahkan setelah mereka mencapai usia 40 tahun, sementara pekerja perempuan tidak mendapatkan fasilitas yang sama pada kelompok usia 3039 tahun. Kenyataan ini dianggap telah mengurangi upah pekerja perempuan yang berkaitan dengan tunjangan anak. Ini adalah waktu yang sangat tepat untuk serikat pekerja melakukan upaya yang sangat serius untuk menghentikan diskriminasi yang berkelanjutan terhadap perempuan. Konvensi ILO nomor 100 tentang Remunerasi yang ekual dan nomor 111 tentang Larangan Diskriminasi harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perundingan-perundingan yang dilakukan oleh serikat pekerja. Kedua konvensi ini bukan hanya merupakan konvensi utama ILO, tetapi juga adalah konvensi yang paling banyak diratifikasi oleh negara-negara di dunia, mencapai sekitar 168 dan 169 negara. Setiap analisis tentang pekerja wanita selalu mengandung pandangan yang umum berlaku, yakni apakah pekerjaan „domestik‟ masih dianggap sebagai satu-satunya tugas atau „karir‟ bagi wanita, atau pekerjaan publik sudah layaknya
bagi mereka. Dari data-data
empirik dan berbagai kritik yang ditujukan terhadap diskriminasi seks dalam pekerjaan, pada akhirnya membawa implikasi bahwa sudah saatnya dihentikan pandangan yang meremehkan pekerjaan domestic wanita, dan sebaliknya agar dilakukan formalisasi terhadap pekerjaan tanpa upah itu. Bagi kalangan akademis, segregasi pekerjaan wanita di
berbagai sector ekonomi
merupakan sumber perbedaan status wanita dengan pria. Segregasi pekerjaan dan tanggung jawab utama dalam pengasuhan anak mengakibatkan rendahnya status dan pengalaman kerja yang bisa dicapai oleh wanita. Memang status maternitas (keibuan) bisa memperkuat
pelindungan terhadap pekerja wanita, meskipun tidak jarang hal itu dihubung-hubungkan dengan pekerjaan „asli‟ mereka sebelumnya, yakni tugas-tugas rumah tangga. Sudah banyak bukti-bukti yang menunjukkan perbedaan upah wanita dengan pria di dalam dan antar sktor pekerjaan. Yang masih sulit dibuktikan adalah soal pengelompokan mereka ke
dalam
pekerjaan sejenis semasa hidup, pola-pola pengalaman kerja, mobilitas pekerjaan yang berkaitan dengan masamasa melahirkan, atau strategi pemilihan
pekerjaan antar periode
yang bisa memadukan tugas domestik dengan pekerjaan publiknya. Oleh karena itu, pemakalah ingin menganalisis faktor – faktor apa saja yang mendorong para wanita akhirnya meninggalkan tatanan dan tradisi lama mereka sebagai pengurus rumah tangga dan mulai bervolusi dan menunjukkan emansipasi para wanita untuk sejajar dengan pria, masalah – masalah apa saja yang terjadi pada wanita karir dan bagaimana cara untuk mengantisipasi permasalahan tersebut agar terciptanya keadaan dimana para wanita dapat melakukan hak mereka sebagai umat manusia yang memilik hak asasi mereka tanpa meninggalkan esensi murni sebagai wanita yang sesungguhnya I.2 Identifikasi Masalah
Masalah utama dari wanita karir / wanita pekerja adalah masih adanya paham pekerjaan “domestik” sehingga wanita masih dipandang sebelah mata dan walaupun wanita tersebut melakukan pekerjaan “publik”, posisi jabatan wanita tersebut masih tidak bisa menyamai prestasi dan jabatan yang ditempati oleh pria, walaupun dari segi intelegensa dan pengendalian kepribadian dan watak bisa sejajar atau bahkan melebih pria di posisi tersebut. Oleh karena itu, diperlukannya pemahan dan penjelasan tentang posisi dan kesejajaran wanita dengan pria agar diskriminasi tersebut dapat dikurangi atau dihilangkan demi terciptanya suasana yang kondusif dan saling mendukung potensi masing-masing individu tanpa dibedakan secara gender. Selain itu diperlukan penanganan dari permasalahan yang terjadi di kalangan wanita karir agar tidak terjadi penyelewengan / tindakan yang negatif kepada wanita karir akibat permasalahan yang terjadi, karena walau bagaimanapun, sesuai hukum dan undang-undang yang ada di Indonesia atau bahkan Negara lainnya terdapat penjelasan tentang hak asasi manusia yang tidak bisa dilanggar / direbut oleh oknum – oknum tertentu.
I.3 Maksud dan Tujuan 1. Maksud
Maksud dibuatnya makalah ini adalah untuk menjelaskan secara detail tentang apa yang terjadi di seputar permasalahan wanita yang bekerja menurut susunan yang baik dan mudah untuk dipahami. 2. Tujuan
Memberikan penjelasan kepada masyarakat bahwa wanita karir / pekerja bukan tindakan yang merugikan.
Menjelaskan pola – pola pekerjaan yang dapat dilakukan wanita dan mobilitas yang dimilikinya
Menjelaskan masalah – masalah apa saja yang terjadi pada wanita karir / pekerja dan penanganan apa saja yang dapat dilakukan untuk melindungi hak – hak wanita untuk bekerja
I.4 Manfaat
Dengan dibuatnya makalah ini, diharapkan masyarakat dapat mengerti alas an para wanita bekerja dan dasar – dasar apa saja yang dapat menguatkan para wanita untuk berhak melakukan pekerjaan yang mereka inginkan sehingga pola pemikiran bahwa wanita hanya boleh bekerja di dapur saja dapat dihilangkan dan para pria dapat mendukung dan membantu para wanita untuk berkarir agar produktifitas para wanita karir dapat berkembang dan dapat menguntungkan berbagai belah pihak.
II. ISI
Wanita bekerja, bukanlah suatu fenomena yang asing bagi
masyarakat Indonesia
pada saat ini, setelah lulus sekolah banyak wanita yang ingin bekerja. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa hasil penelitian yang mengungkapkan bahwa dengan bekerja, wanita juga dapat memperoleh rasa pemenuhan diri dan kepuasan yang dibutuhkannya. (Craig, 1986, Hoffman dan Nye, 1984) mengemukakan bahwa pekerjaan dapat menjadi sarana bagi wanita untuk menjadi kreatif, produktif, dan memperoleh harga diri serta rasa hormat. Peranan wanita dalam pasar kerja semakin lama dinilai semakin penting. Angkatan kerja wanita secara umum pada tahun 1990 adalah sekitar 36% dari seluruh angkatan kerja di dunia. Angkatan kerja wanita di Negara maju 41,4%. Di sebagian besar negara-negara di dunia, wanita baru menduduki 10%-30%, jabatan-jabatan manajemen dan kurang dari 5% jabatan puncak ( Mudzhar, Sajidah, dan Saparinah, 2001). Simanjuntak (1985) berpendapat jumlah angkatan kerja juga dapat dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang mengurus rumah tangga, semakin banyak anggota dalam
tiap-tiap keluarga yang
mengurus rumah tangga maka akan semakin kecil Tingkat Partisipasi Kerjanya (TPK). Hal tersebut dapat dilihat dari hasil survey pada tahun 1971 sebanyak 24.5 % dan pada tahun 1980 menjadi 21,3 % artinya TPK bagi penduduk yang mengurus rumah tangga semakin kecil. Besarnya jumlah wanita bekerja juga disebabkan meningkatnya jumlah wanita yang berpendidikan. Hal ini disebabkan adanya perbaikan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia serta kemajuan-kemajuan teknologi pada umumnya, memberi dorongan dan kesempatan bagi wanita untuk terus belajar (Sukadji, 2000). Seiring berjalannya usia, maka wanita pun memasuki tahap perkembangan selanjutnya dimana ia merasakan kebutuhan untuk berkeluarga sebagai salah satu tugas perkembangannya. Setelah berkeluarga ada beberapa yang memutuskan untuk tetap bekerja, hal ini menyebabkan di satu sisi ia menjadi pekerja, dan di sisi lain ia adalah seorang ibu yang juga memiliki kewajiban terhadap keluarga, ada berbagai alasan yang menyebabkan wanita bekerja. Pada awalnya,wanita bekerja sekedar untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya bila sang suami tidak bekerja, atau bila penghasilan sang 2suami tidak mencukupi. Tidak hanya itu wanita bekerja untuk berbagai alasan lain, misalnya untuk
mengembangkan keahlian lain yang dimilikinya selain pekerjaan rumah tangga yang biasa ia kerjakan. Hubungan yang monoton dengan anggota keluarga, pekerjaan rumah tangga yang membosankan, kurangnya kebebasan akan diri sendiri, perasaan terasing dari lingkungan sosial, tingkat kebisingan di rumah juga dapat menjadi alasan wanita bekerja di luar rumah. Selain itu, alasan wanita ingin bekerja khususnya pada wanita berkeluarga adalah karena bertumbuhnya anak-anak yang menyebabkan menurunnya kebutuhan mereka akan perhatian ibu (Williams, 1976). Keterlibatan wanita di sektor publik terutama di sektor industri, membawa dampak terhadap peranan wanita dalam kehidupan keluarga. Di satu pihak, wanita bekerja dapat berperan membantu ekonomi keluarga dan sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga, di sisi lain peranannya dalam urusan rumah tangga (domestik) menjadi berkurang karena lamanya waktu yang digunakan untuk aktivitas di luar rumah tangga (publik) (Sunaryo, 2007) Dalam kesehariannya, wanita bekerja yang berkeluarga haruslah meninggalkan rumah dan keluarganya pada waktu tertentu dan melakukan aktivitas pekerjaannya di organisasi tempat ia bekerja. Ia dituntut untuk membagi waktu, perhatian dan tanggung jawab untuk keduanya. Keadaan tersebut dapat menimbulkan konflik dalam mengintegrasikan antara keluarga dan pekerjaan (Stevenson,1994). Dan stress tersebut akan menimbulkan dampak yang dikategorikan ke dalam dampak organisasi, yaitu keabsenan, pergantian karyawan, rendah produktivitasnya, keterasingan dari rekan sekerja, ketidakpuasan kerja, menurunnya keikatan dan kesetiaan terhadap organisasi (Suwarto, 1999). Berg (dalam Carolina, 2000) mengemukakan bahwa wanita yang harus berperan ganda mengalami kesulitan dalam membagi perhatiannya antara kerja dan keluarga. Sementara Chruden & Sherman (dalam Carolina, 2000) menyatakan bahwa wanita bekerja tidak dapat mengkoordinasikan karir dengan tuntutan keluarga. Dari bukti-bukti di atas, jelas bahwa wanita yang berperan ganda memang menghadapi konflik peran yang tidak sedikit, dan dapat menimbulkan ketegangan yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kondisi fisik dan psikologisnya, sehingga mempengaruhi produktivitas kerjanya. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa pada wanita yang berkarir dan berperan sebagai ibu rumah tangga dari anak-anaknya memiliki tanggung jawab yang terlalu banyak, kerja yang terlalu berat beban, atau perlunya membuat keputusan yang mempengaruhi hidup orang lain sehingga cenderung memperlemah kepuasannya terhadap kerja dan timbul menjadi sebuah konflik, dengan begitu maka akan mempengaruhi produktivitas kerjanya (Hurlock, 1997).
Terdapat berbagai macam faktor yang menyebabkan wanita terus bekerja setelah berkeluarga, dengan bekerja maka wanita yang menikah memiliki peran ganda yang harus ditanggung yaitu perannya di rumah dan di tempatnya bekerja. Bagi wanita yang tidak dapat menyeimbangkan tugasnya maka
akan menimbulkan konflik dan dapat mempengaruhi
produktivitas kerjanya, hal tersebutlah yang ingin diungkap dalam penelitian ini. : Data yang tersedia menunjukkan bahwa umumnya wanita menduduki pekerjaan kantor, pekerjaan domestik semi-terampil, dan pekerjaan pabrik semiterampil. Pada tahun 1980 persentase mereka pada masing-masing jenis itu
adalah 30, 11 dan 10 persen.
Ditunjukkan pula bahwa mengelompok pada jenis-jenis pekerjaan tertentu. Ini dapat dipandang sebagai indikator adanya segregasi pekerjaan wanita. Banyak peneliti mengakui penggolongan pekerjaan yang „tipikal‟ wanita dan stereotipe pekerjaan laki-laki. Jusenius (1976) menyebut pekerjaan yang tipikal wanita jika sekurang-kurangnya 41,3 persen pemegang jabatan adalah wanita. Hakim (1979) menyebut adanya segregasi vertikal dan horizontal. Yang pertama ialah pekerjaan yang sebagian besar pria bekerja pada pekerjaan tingkat yang kedua terjadi apabila wanita dan laki-laki sama-sama menduduki pekerjaan yang berbeda. Segregasi ini dapat terjadi antar dan inter pekerjaan (Blau, 1975). Untuk memudahkan penyelidikan segresi pekerjaan tadi dapat diidentifikasi berdasarkan: a) proporsi pekerjaan dimana proporsi wanita yang menduduki lebih besar daripada proporsi mereka dalam seluruh jumlah penduduk b) indeks segregasi berdasarkan indeks kesamaan dan ketidaksamaan dalam mobilitas sosial, dan c) proporsi pekerjaan dengan persentase tertentu pemegang jabatan adalah wanita. II.1 Alasan Wanita Bekerja
Wanita bekerja dengan berbagai alasan. Bagi yang sudah punya banyak uang, bekerja hanya sekedar untuk mengisi waktu luang, meningkatkan prestise atau gengsi, atau tempat mengaktualisasikan diri. Berbeda dengan mereka yang belum memiliki banyak uang, bekerja adalah kewajiban untuk dapat bertahan hidup, mencari penghasilan, atau agar dapat membantu keluarga/suami.
Tidak peduli apapun alasan yang melatarbelakanginya, wanita bekerja kini merupakan pemandangan yang biasa. Emansipasi wanita, kata-kata tersebut di zaman ini mulai kabur penerapannya dalam kehidupan bermasyarakat kaum wanita. Di masa Raden Ajeng Kartini mungkin saja istilah tersebut merupakan alasan utama berkegiatan di luar rumah bagi wanita. Namun, di masa sekarang wanita punya alasan berkegiatan lebih dari sekedar emansipasi. Bukan sebatas penyejajaran derajat antara kaum wanita dengan kaum pria. Tapi kesempatan bagi wanita untuk menjadi diri sendiri. Menjadi manusia yang dapat diterima dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Menjadi orang yang dikasihani atau dikagumi bukan karena dia wanita, tapi karena kemampuan pribadinya. II.2 Alasan Meninggalkan Pekerjaan
Rasa tidak puas terhadap pekerjaan, kehamilan, (masing-masing pada 28 dan 19 persen wanita) merupakan alasan utama
mereka meninggalkan pekerjaannya sebelum
mengalami mobilitas ke strata pekerjaan lebih rendah. Sedangkan mereka yang sebelum melakukan mobilitas ke atas, menyebut ketidakpuasan dan pergantian majikan (masingmasing 40 persen dan 20 persen) sebagai alasan pokok. Pengaruh pembentukkan keluarga terhadap mobilitas vertikal tidak terjadi pada semua tipe pekerjaan. Terbukti bahwa 85 persen wanita yang sebelumnya berstatus sebagai guru, tetap menduduki posisi itu setelah mereka kawin dan melewati masa melahirkan. Demikian juga dengan wanita yang mempunyai tipe pekerjaan yang bersifat semi terampil di pabrik. Pergeseran yang menonjol terjadi pada tipe pekerjaan profesional, dimana mobilitas vertikal ke bawah cukup tajam. Mereka biasanya menerima jenis pekerjaan semi terampil dan part time. Dan yang mengalami beberapa kali kehamilan
dan persalinan lebih muda pula
mengalami mobilitas pekerjaan ke strata rendah, dibanding dengan yang satu kali melahirkan Meskipun pada dasarnya bukan merupakan unsur yang inheren dalam pekerjaan ia dapat berubah apabila
semakin bertambah
peluang wanita memasuki „pekerjaan atau
kedudukan laki-laki‟, khususnya yang bersifat profesional dan managerial namun segregasi tersebut selalu menampakkan diri. Berdasarkan data WES tadi, di Inggris terdapat 63 persen wanita yang menduduki pekerjaan „khas‟ wanita, dan 80 persen angkatan kerja laki-laki menempati pek erjaan
„khas‟
laki-laki
pula.
Segresasi
itu
berkembangnya tak penuh (part time) yang diduduki oleh wanita.
semakin
jelas
setelah
II.3 Segmentasi Pasar Tenaga Kerja
Analisa distribusi pekerjaan
dan lapangan kerja berdasarkan penggolongan jenis
kelamin diuraikan dengan baik melalui teori segmentasi psar tenaga kerja. Teori ini merupakan pemurnian pendekatan neo-klaik (Nasikun, 1990) untuk menjelaskan latar belakang perbedaan upah, segregasi pekerjaan, kemiskinan dan diskriminasi ras serta tenaga kerja yang berbeda, yakni sector primer yang dilindungi (Mazumdar, 1981) dans ektor sekunder yang tidak dilindungi, dimana
upah
pekerja pada kedua sektor itu berbeda,
meskipun kualitas pekerjanya relatif sama. Hipotesis dasar pasar tenaga kerja ganda ini ialah bahwa terdapat dua sektor yang berbeda. Yang pertama menawarkan pekrjaan deeengan upah relatif tinggi, kondisi kerja yang baik, peluang untuk promosi, peraturan kerja, dan pekerjaan yang stabil atau tetap. Sebaliknya pada sektor sekunder, upah dibayar lebih rendah, kondisi kerja buruk, peluang promosi kecil, hubungan pribadi yang sangat dekat antara pekerja dengan mandor sehingga terbuka peluang untuk menciptakan favoritisme pekerja dan disiplin kerja yang rendah serta kestabilan pekerjaan, maupun perpindahan (turnover) pekerja yang tinggi. Pekerjaan di sektor primer adalah jenis pekerjaan yang menuntut keahlian tertentu (firm-specific). Stabilitas tenaga kerja yang mantap penting artinya. Oleh kaena pekerja wanita biasanya (dipandang) tidak bekerja stabil karena alasan-alasanmenstruasi, hamil, melahirkan, maka
mereka sering terdesak kedalam pekerjaan di sektor sekunder tadi
(Nasikun, 1990). Dengan alasan itu pula sebagian besar pekerja wanita dibayar dengan gaji rendah. Dan sekali mereka masuk ke sektor sekunder, maka sulit untuk melakukan mobilitas kesektor primer. Dengan kata lain, hampir tidak terjadi mobilitas pekerjaan antar sektor tersebut (Manning, 1979; 1980). II.4 Analisa Kelas
Dalam pandangan sosiologi, wanita digolongkan sebagai kelas menengah baru, yang dalam kelas pekerja terdiri dari tenaga penjual, tenaga administrasi,pendidik, dan teknisi rendahan, walaupun tidak jelas bagaimana pembagian seperti itu mempengaruhi struktur masyarakat: apakah mereka akan berafiliasi ke dalam kelas borjuis baru atau bahkan masuk menjadi kelas proletariat. Giddens menyatakan bahwa ketergantungan wanita pada laki-laki di dalam keluarga menempatkan mereka pada tingkat keluarga maupun masyarakat menjadi kecil/lemah. Posisi
pinggiran yang dimiliki oleh wanita juga terbentuk melalui penentuan laki-laki sebagai kepala keluarga. Oleh sebab itu, tanpa ada usaha menghilangkan pengakuan demikian, maka selain hak-hak yang makin terbatas, persamaan hak wanita dengan laki-laki pun semakin sulit terjadi. II.5 Profil Pekerjaan
Tinjauan secara cross-sectional terhadap distribusi
pekerjaan wanita hanya
memberikan gambaran sepintas tentang kedudukan mereka dalam sektorsektor pekerjaan. Sekiranya telah terjadi perubahan kedudukan tersebut, sulit dipastikan apakah kedudukan sekarang ini merupakan karir atau bukan. Konsep karir mengacu pada kemajuan yang dicapai melalui serangkaian pekerjaan atau pada suatu jabatan dari waktu ke waktu. Yang perlu diperhatikan dalam konsep ini ialah apakah pekerjaan yang diduduki itu berarti atau tidak bagi diri sendiri ataupun orang lain. Sebuah karir bisa disebut memberikan arti jika ia berkembang ke tingkat hirarki yang lebih tinggi dan maju. Dengan konsep seperti itu wanita bisa saja memiliki karir dengan dorongan keluarga ataupun menaikkan karirnya ke jenjang yang baru. Tetapi secara umum sebenarnya masalah karir wanita cenderung diabaikan dalam analisis sosiologis atas pekerjaan. Ada kalanya jika karir wanita berada pada lintasan antar lembaga, atau jika gerak maju mereka lebih lambat, maka hal itu dipandang dengan sepele. Dan di luar kriteria karir yang ditetapkan tadi, perkembangan kedudukan wanita tidaklah dianggap sebagai bagian dari karir, karena alasana bahwa mereka bukanlah berfungsi sebagai pekerja utma. Data dari WES menunjukkan hanya 17% pekerja wanita yang punya alasan bekerja untuk “melanjutkan karir”, 24% untuk bekerja penuh dan 7% untuk bekerja part-time. Ini menunjukkan
bahwa mereka tidak tertarik pada
suatu
karir. Barangkali juga hal itu
merupakan pencerminan dari pandangan realitas mereka atas kesempatan kerja yang terbatas, fungsi sebagai pengasuh anak, dan gangguan kerja khususnya dalam part-time. Wanita memandang sebuah pekerjaan sebagai karir
jika yang bersifat profesional; suatu hal
yangmemang hanya sedikit terjadi. (Dex, 1987). II.6 Penentuan Jenis Pekerjaan
Pemilihan pekerjaan atau jabatan bukanlah persoalan yang mudah bagi
wanita,
karena itu sangat bergantung pada kondisi objektif dan subjektifnya. Di Inggris, Dex menemukan berbagai variabel yang mempengaruhi pilihan tersebut. Yang paling berpengaruh
kuat ialah latar belakang etnis, daerah asal, dan pendidikan,sedangkan yang relatif lemah pengaruhnya meliputi faktor-faktor tertentu dalam keluarga. Pada tingkat individu variabel pokok mencakup intelegnsia, kepribadian, kepentingan, nilai-nilai, pengetahuan tentang pekerjaan, dan dalam beberapa hal juga soal perbedaan jenis kelamin. (Dex, 1987) Berdasarkan data WES, ada 12 komponen pekerjaan yang diduduki oleh wanita sejak mereka meninggalkan bangku sekolah. Berturut-turut adalah tenaga profesional, pendidik, perawat, pekerjaan non-manual menengah, tenaga administrasi, pramuniaga, pekerjaan yang memerlukan keahlian, pengasuh anak, pekerja pabrk setengah terampil, pekerjaan domestik setengah terlatih,pekerjaan lainnya yang sedikit memerlukan ketrampilan ketrampilan dan pekerjaan kasar. Tenaga Profesional Dari sampel sejumlah 5.320 wanita, hanya 33 orang atau 0,6% saja yang berhasil meraih jabatan profeisonal selama masa kerja mereka. Menarik untuk diketahui, bahwa yang tetap menduduki jabatan itu ialah wanita yang secara terus menerus bekerja di tempat yang sama, apakah mereka tidak kawin atau memiliki anak, atau karena kurang mengutamakan hal-hal yang berhubungan dengan fungsinya sebagai wanita. Tetapi mereka bisa juga masuk ke dalam
status pekerjaan yang lebih rendah setelah berhenti bekeja sebagai tenaga
profesional, akibat pekerjaan suami (“pindah tugas”), lalu masuk ke dalam pekerjaan lain seperti guru. Ada pula diantaranya yang meninggalkan jabatan itu secara sukarela karena merasa tidak puas, atau karena harus melanjutkan
pendidikan. Bukti-bukti ini cukup
menunjukkan bahwa ada kecenderungan wanita untuk lebih menyukai pekerjaan yang lebih „tipikal‟ wanita yang bisa akomodatif terhadap tugas „asli‟nya. Tenaga Semi Profesional Profil pekerjaan seperti ini lebih disenangi oleh wanita, khususnya guru, perawat dan tenaga administrasi (clerical). Frekuensi meninggalkan pekerjaan cukup rendah, demikian pula perpindahan kerja antar bidang(turnover). Tetapi mobilitas pekerjaan pada wanita yang sekarang berprofesi sebagai tenaga perawat cenderung lebih tinggi dibanding khususnya dari pekerjaan ketatausahaan atau pengasuh anak serta
guru,
pekerjaan setengah
terampil lainnya. Setelah menjadi perawatpun pergantian pekerjaan tetap berlangsung karena melanjutkan pendidikan sejenis, sifat pekerjaan yang temporer, atau perpindahan tugas suami.
Pergantian pekerjaan dari semi profesional ke tingkat yang lebih rendah terjadi akibat tugas suami (pindah kerja) atau karena masa kehamilan dan melahirkan. Biasanya memang wanita mempunyai pekerjaan rangkap sebelumnya. Tetapi begitu ikut suami yang pindah tugas, maka pekerjaan tadi terhenti sampai akhirnya tersedia pekerjaan yang lebih cocok, sesuai dengan fluktuasi pekerjaan suami. Tenaga administrasi Penerimaan jenis pekerjaan ini
biasanya karena sebelum itu wanita mengalami
kendala dalam pekerjaan terdahulu, misalnya karena kehamilan dan melahirkan. Di sisni mereka bekerja seusai menamatkan pendidikan sekolah tertentu, dan bertahan sampai 10 tahun. Pergantian pekerjaan dari jenis nonadministrasi ke tenaga administrasi hantya terjadi jika mereka sukses dalam pekerjaan terdahulu. Jabatan ini terhenti jika ada pemecatan atau kelebihan pekerja, perubahan status kawin, suami pindah tugas, atau karena sakit. Yang paling umum adalah alasan suami pindah tugas.
Mereka yang sebelumnya bekerja di sini dan kemudian karena alasan di atau
cenderung mengalami mobilitas pekerjaan ke tingkat yang lebih rendah. Kalaupun terjadi mobilitas ke tingkat lebih tinggi, jenis pekerjaannya tetap di sekitar pekerjaan non-manual menengah. Menjadi pekerja tetap jika tidak mempunyai anak memperbesar peluang wanita memasuki jenis pekerjaan yang lebih bergengsi, meskipun hal ini jarang terjadi. Pekerjaan terampil dan setengah terampil Wanita yang bekerja pada jenis pekerjaan yang menggunakan keterampilan khusus jarang ditemukan. Kalaupun ada, hal itu semata-mata karena kesediaan mereka bekerja fulltime seusai melahirkan. Adapun pekerjaan setengah terampil, biasanya diterima
setelah
pekerjaan sebelumnya terhenti akibat faktor-faktor yang disebut di atas. Pada umumnya pekerjaan seperti ini terdapat dalam pabrik tekstil. Mereka cenderung bertahan, terutama wanita yang pada mulanya memang sudah ditempatkan pada posisi yang sama. Perkecualian lain adalah jika sebelum menghabiskan
masa melahirkan, pekerja wanita tersebut
mempunyai dua atau lebih pekerjaan sejenis. Di sini mobilitas pekerjaan terjadi secara horizontal, yakni antar perusahaan sejenis. Sedangkan mobilitas vertikal menurun terjadi dari pekerjaan pabrik setengah terampil ke pekerjaan domestik setengah terampil, dan dari pekerjaan kasar ke pelayan toko.
Dalam beberapa hal terdapat kesamaan bukti-bukti tersebut dengan pekerjaan wanita di Indonesia. Manning (1979) menemukan bahwa tingkat labour turnover dalam berbagai industri, khususnya industri tekstil dan rokok kretek, cukup tinggi. Tetapi goal upah dan mobilitas pekerjaan mereka relatif rendah karena dikondisikan oleh pasar tenaga kerja yang terbagi (segmented). Penetapan upah dan terbentuknya mobilitas demikian erat juga kaitannya dengan anggapan bahwa wanita hanya sebagai pelengkap pencari nafkah dalam keluarga, khususnya di Jawa. Hubungan Rumah Tangga Sering terjadi bahwa wanita mengalami gangguan dalam pekerjaan ketika mereka memutuskan untuk kawin atau ikut suami. Menurut penelitian Robert dan Martin (1984), 3 persen waita yang tidak bekerja menyebut alasan ikut suami sebagai penyebabnya. Perlu diperhatikan bahwa angka-angka pada pekerjaan wanita itu menggambarkan keadaan setelah mereka mengikuti kepindahan suaminya. Dengan demikian dapat disebut di sini bahwa besar kemungkinan wanita mengalami mobilitas pekerjaan ke status yang lebih rendah setelah mereka berhenti dari pekerjaan semula akibat keharusan ikut suami. Jadi tetap posisi wanita jauh lebih lemah. Agaknya wanita dikondisikan untuk
memilih pekerjaan
tertentu (tenaga administrasi, tenaga terampil, setengah terampil dan semi profesional) yang terus terganggu karena, berbagai faktor. Namun demikian jelas akan keliru jika ketentuan dan komitmen mereka atas pekerjaan itu dianggap hanya karena kebetulan saja, atau murni ditentukan oleh permintaan pasar. Selama pekerjaan tersebut merupakan tujuan yang dikejar secara sadar, maka ia tetap dianggap
sebagai suatu karir, tidak goal apakah itu semi
profesional atau pekerjaan yang bersifat non-manual. II.7 Mobilitas Pekerjaan
Setelah
disinggung hambatan yang dihadapi wanita untuk memperthankan atau
meningkatkan status pekerjaannya, di sini akan diketengahkan beberapa bukti-bukti empiris yang menarik dibahas dalam kaitannya dengan mobilitas pekerjaan. Mobilitas Pekerjaan Secara Vertikal Mobilitas seperti ini kerapkali terjadi pada jenis pekerjaan klerikal menuju pekerjaan yang bersifat setengah terampil. Tetapi
ada pula
bukti yang menunjukkan terjadinya
mobilitas vertikal dari guru dan perawat ke tenaga administrasi dan pekerjaan yang bersifat
setengah terampil lainnya. Menarik untuk dicatat bahwa yang sering mengalami pergeseran tipe pekerjaan ke status yang lebih rendah adalah wanita yang mempunyai anak dan relatif berusia tua,sedangkan mereka yang tidak memiliki anak dan berusia muda cenderung mengalami mobilitas pekerjaan ke tingkat yang lebih tinggi. Ini perlu ditafsirkan hati-hati karena seolah-olah kelahiran anak menjadi penyebab turunnya status pekerjaan wanita. Data yang diperoleh memperlihatkan bahwa setelah dikontrol dengan waktu ketika mengalami mobilitas menurun
itu, ternyata pengaruh pemilikan anak sangat kecil, sekali. Sebagai
contoh, mobilitas ke bawah dialami oleh 50 persen wanita berusia
16-19 tahun ketika
menjelang kelahiran anak pertama, masing-masing 25% hal itu terjadi pada waktu kelahiran anak pertama dengan anak kedua, dan sesudah anak kedua. II.8 Hak – Hak Pekerja Wanita
Bila anda adalah seorang wanita yang bekerja atau anda mempekerjakan wanita dalam usaha anda, maka tulisan ini akan membantu kita memahami hak-hak yang wajib diberikan kepada tenaga kerja berjenis kelamin wanita. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah merinci secara mendetail mengenai ini namun tetap saja dalam prakteknya menemukan berbagai multi tafsir dikalangan pengusaha yang sebagian besar tujuannya adalah untuk meminimalis hak yang semestinya diberikan kepada pekerja wanita. Wanita diberikan keistimewaan hak-haknya atas pria disebabkan karena kaum wanita menjalani fungsi reproduksi yang tidak dimiliki oleh kaum pria. Haid, Hamil, melahirkan dan menyusui merupakan kodrat kaum wanita yang sudah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu diperlukan perlindungan khusus kepada wanita agar produktivitas di tempat kerja dan di rumah selalu terjaga. Hak-hak pekerja wanita yang dilindungi oleh undang-undang adalah sebagai berikut: 1. Pekerja wanita yang merasakan sakit pada saat haid dan memberitahukan keadaannya kepada pengusaha berhak untuk tidak bekerja pada hari pertama dan
kedua waktu haidnya (pasal 81 UU No. 13 Tahun 2003). 2. Pekerja wanita berhak atas istirahat selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter atau bidan (pasal 82 ayat
(1) UU No. 13 Tahun 2003).
3. Pekerja wanita yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan (pasal 82 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003). 4. Pekerja wanita yang anaknya masih menyusui berhak atas kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja (pasal 83 UU No. 13 Tahun 2003). 5. Pekerja wanita yang berusia dibawah 18 tahun berhak untuk t idak bekerja pada pukul 23.00 s.d 07.00 (pasal 76 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003). 6. Pekerja
wanita
yang hamil yang
menurut
keterangan
keselamatan dan kesehatan kandungan maupun
dokter berbahaya bagi
dirinya berhak
untuk
tidak
bekerjabekerja pada pukul 23.00 s.d 07.00 (pasal 76 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003). 7. Pekerja wanita yang bekerja antara pukul 23.00 s.d 07.00 berhak :
Mendapatkan makanan dan minuman bergizi
Terjaga kesusilaan dan keamanan selama ditempat kerja
Tersedia angkutan antar jemput bagi yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 s.d 05.00.
(pasal 76 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003).
8. Pekerja wanita berhak atas upah penuh selama ia menjalani cuti. Pada praktek di lapangan, sering dijumpai beberapa penyimpangan yang terjadi, diantaranya: 1. Pekerja wanita yang merasakan sakit pada saat haid hanya diberikan kesempatan untuk beristirahat di poliklinik ataupun ruangan khusus pelayanan kesehatan perusahaan saja. Ada pula pekerja wanita yang dipaksa untuk memperlihatkan darah haid sebagai bukti untuk mendapatkan cuti haid. Sebagian lagi pengusaha tidak keberatan pekerja wanita cuti haid tetapi tidak membayar upah selama tidak bekerja. 2. Pekerja wanita tidak diijinkan cuti hamil selama 1,5 bulan sebelum melahirkan tetapi diberikan ijin cuti melahirkan selama 3 bulan. Padahal cuti hamil diberikan untuk menjaga agar wanita hamil tidak membahayakan diri dan kandungannya selama bekerja. Ada juga sebagian pengusaha yang mengijinkan pekerja wanita cuti hamil dan melahirkan tetapi tidak membayar upah selama tidak bekerja. Bahkan banyak terdengar bahwa pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada pekerja wanita yang hamil ataupun melahirkan.
3. Pekerja wanita yang mengalami gugur kandungan tidak diberikan cuti dengan alasan menggugurkan dengan sengaja. Apabila pekerja tersebut tidak masuk kerja maka dianggap menjalani cuti tahunan. 4. Pekerja wanita tidak diberi kesempatan untuk menyusui. Andaipun diberikan kesempatan tetapi tidak diberikan tempat yang layak untuk menyusui. 5. Pekerja wanita yang bekerja antara pukul 23.00 s.d 07.00 tidak disediakan makanan bergizi dan angkutan antar jemput. Adapun sanksi hukum yang diberikan kepada pengusaha atas pelanggaran terhadap ketentuan diatas adalah: 1. Pengusaha yang tidak memberikan istirahat selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter atau bidandikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). 2. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja wanita antara pukul 23.00 s.d 07.00tetapi tidak memenuhi kewajibannya dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Sanksi hukum diatas diberikan tanpa mengurangi hak-hak pekerja wanita yang belum diberikan. Para pekerja wanita sudah sepantasnya merasa tersanjung dengan prioritas yang diberikan. Adalah tidak bijak bila memanfaatkan semua fasilitas yang diberikan untuk hal -hal yang tidak pada tempatnya. Wanita pekerja pantas disebut manusia separuh dewa bila berhasil meningkatkan produktivitas di tempat kerja tanpa menghambat produktivitas di rumah tangga. Semoga hari esok lebih baik dari hari ini.
III. PENUTUP
. KESIMPULAN
1. Semakin penting keberadaan pekerjaan domestik wanita untuk melakukan mobilitas pekerjaan
ke tingkat yang lebih tinggi. Pekerjaan domestik ini pun sudah mulai
dikategorikan sebagai bagian dari karir wanita. 2. (meskipun demikian) ternyata jumlah wanita yang menduduki pekerjaan dan jabatan yang bergengsi sangat kecil, dan lebih terkonsentrasi pada pekerjaan yang berciri semi-terampil dan semi profesional. 3. Mobilitas pekerjaan wanita sangat tinggi baik antar maupun inter lapangan pekerjaan yang ada. 4.Mobilitas yang tinggi itu lebih berorientasi ke pekerjaan-pekerjaan yang berstatus lebih rendah. 5.Menurunnya status pekerjaan tadi masih didominasi oleh akibat yang ditimbulkan oleh keluarga, seperti perkawinan, pengasuhan anak, dan terutama kerena suami pindah tugas. 6. Hak – hak wanita dilindungi oleh Undang – Undang yang berguna untuk menjaga wanita pekerja untuk terjaga dari masalah – masalah yang terjadi.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Manning, Chris, 1979, Wage Differentials and Labour Market Segmentation in Indonesian Manufacturing, (Disentralisasi Doktor) Australian National University. Manning, Chris, 1980. "Segmentasi Pasar Tenaga Kerja di Sektor Industri di Jawa; Beberapa Implikasi dari Studi Kasus Industri Tenun dan Kretek", dalam: Prisma, 11, halaman 85-92. Mazumdar, Dipak, 1981. The Urban Labour Market and Income Distribution; A Study of Malaysia., New York: Oxford University Press. Nasikun, 1990. "Peningkatan Peranan Wanita dalam Pembangunan: Teori dan Implikasi Kebijaksanaan", dalam Populasi, 1, halaman 1-11 http://harumteh.blogspot.com/2011/05/alasan-wanita-bekerja.html http://library.gunadarma.ac.id/repository/files/96505/10505268/bab-i.pdf http://sosbud.kompasiana.com/2012/01/24/wanita-pekerja-sangat-dilindungi-undang-undang/ http://www.gajimu.com/main/tips-karir/Tentang-wanita/hukum-bagi-pekerja-wanita