3
MAKALAH PANCASILA
LEMBAGA NEGARA DAN HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA
MANAJEMEN 6
KELOMPOK 7
WINDI KUSUMAWATI (A10130231)
LUTHFI NUR RASYID (A10130239)
SARI RATNA (A10130244)
MAHARANI AYUNI (A10130252)
STIE EKUITAS
Kata Pengantar
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul "lembaga negara dan hubungannya " ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada ibu Dr. Nina Nuraini, SH.,M.Si. Selaku dosen mata kuliah Pendidikan Pancasila yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan berguna untuk menambah wawasan. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini masih terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang diharapkan Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata kami berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun agar dapat lebih baik lagi.
Bandung, 7 Desember 2013
Daftar Isi
Kata Pengantar 2
Bab 1 5
PENDAHULUAN 5
1.1 Latar belakang masalah 5
1.2 Rumusan Masalah 6
1.3 Tujuan penelitian 6
Bab 2 7
DASAR TEORI 7
2.1 Pengertian Umum Lembaga 8
2.2 Pembagian kekuasaan 9
2.3 Susunan Lembaga Negara Sebelum Amandenen UUD 1945 10
2.3.1 Pembukaan UUD 1945 10
2.3.2 Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 10
2.3.3 Mahkamah Agung 11
2.3.4 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 11
2.3.5 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 11
2.3.6 Presiden 12
2.4 Susunan Lembaga Negara Sesudah Amandemen UUD 1945 12
2.4.1 Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 13
2.4.2 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 13
2.4.3 Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 13
2.4.4 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 14
2.4.5 Presiden 14
2.4.6 Mahkamah Agung (MA) 14
2.4.7 Mahkamah Konstitusi (MK) 15
2.5 Lembaga-Lembaga Negara Berdasarkan UUD 1945 15
2.6 Hubungan Antar Lembaga-Lembaga Negara 19
2.7 Hubungan antar Lembaga Negara 20
2.7.1 MPR dengan DPR, DPD 20
2.7.2 DPR dengan Presiden, DPD, dan MK. 21
2.7.3 DPD dengan BPK 21
2.7.4 MA dengan lembaga negara lainnya 22
2.7.5 Mahkamah Konstitusi dengan Presiden, DPR, BPK, DPD, MA, KY 22
2.7.6 BPK dengan DPR dan DPD 23
2.7.7 Komisi Yudisial dengan MA 23
Bab 3 25
TINJAUAN KASUS 25
Bab 4 26
PEMBAHASAN 26
Bab 5 31
Kesimpulan dan Saran 31
Kesimpulan 31
SARAN / SOLUSI 32
Daftar pustaka 33
Bab 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah
Dalam tulisan ini saya menguraikan pembahasan mengenai Sistem penyelenggaraan kekuasaan Negara menggambarkan secara utuh mekanisme kerja lembaga lembaga Negara yang diberi kekuasaan untuk mencapai tujuan Negara. Penyelenggaraan pemerintahan suatu negara akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh lembaga-lembaga negara yang saling berhubungan satu sama lain sehingga merupakan satu kesatuan dalam mewujudkan nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan negara sesuai dengan kedudukan, peran, kewenangan dan tanggung jawabnya masing-masing . Sekarang ini dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika kehidupan nasional, regional dan internasional yang cenderung berubah sangat dinamis, aneka aspirasi kearah perubahan meluas di berbagai negara di dunia, baik di bidang politik maupun ekonomi. Perubahan yang diharapkan dalam hal ini perombakan terhadap format-format kelembagaan birokrasi pemerintahan yang tujuannya untuk menerapkan prinsip efisiensi agar pelayanan umum (public services) dapat benar-benar efektif.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang dikaji dalam makalah ini, yakni dapat dirumuskan sebagai berikut :
Apa definisi dari organisasi pemerintahan
Apa itu lembaga Negara
pembagian kekuasaan
Bagaimana lembaga Negara sebelum dan sesudah amandemen UUD'45
Hubungan antar lembaga negaranya
Tujuan penelitian
Untuk mengetahui bagaimana konsep tentang "Lembaga Negara" yang dimaksud oleh Undang-Undang Dasar 1945
Mengetahui dan memahami tentang hubungan antar lembaga Negara
Bab 2
DASAR TEORI
Penyelenggaraan pemerintahan suatu negara akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh lembaga-lembaga negara yang saling berhubungan satu sama lain sehingga merupakan satu kesatuan dalam mewujudkan nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan negara sesuai dengan kedudukan, peran, kewenangan dan tanggung jawabnya masing-masing. Sekarang ini dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika kehidupan nasional, regional dan internasional yang cenderung berubah sangat dinamis, aneka aspirasi kearah perubahan meluas di berbagai negara di dunia, baik di bidang politik maupun ekonomi. Perubahan yang diharapkan dalam hal ini perombakan terhadap format-format kelembagaan birokrasi pemerintahan yang tujuannya untuk menerapkan prinsip efisiensi agar pelayanan umum (public services) dapat benar-benar efektif.
Pemerintah adalah organisasi yang memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan dalam bentuk( penerapan hukum dan undang-undang) di kawasan tertentu. Kawasan tersebut adalah wilayah yang berada di bawah kekuasaan mereka. Pemerintah berbeda dengan pemerintahan. Pemerintah merupakan organ atau alat pelengkap jika dilihat dalam arti sempit pemerintah hanyalah lembaga eksekutif saja. Sedangkan arti pemerintahan dalam arti luas adalah semua mencakup aparatur negara yang meliputi semua organ-organ, badan atau lembaga, alat kelengkapan negara yang menjalankan berbagai aktivitas untuk mencapai tujuan negara. Lembaga negara yang dimaksud adalah lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
2.1 Pengertian Umum Lembaga
Lembaga negara bukan konsep yang secara terminologis memiliki istilah tunggal atau seragam. Di dalam kepustakaan Inggris, untuk menyebut lembaga negara di gunakan istilah Political instruction, sedangkan dalam terminologi bahasa Belanda terdapat istilah staat organen. Sementara itu, bahasa Indonesia menggunakan lembaga negara atau organ negara.
kata "lembaga" antara lain diartikan sebagai asal mula (yang akan menjadi sesuatu) bakal (binatang, manusia, tumbuhan) bentuk (rupa, wujud) yang asli acuan ikatan badan (oganisasi) yang tujuannya melakukan penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha dan pola perilaku manusia yang mapan, terdiri atas interaksi sosial berstruktur di suatu kerangka nilai yang relevan. Kamus tersebut juga memberi contoh frasa menggunakan kata lembaga, yaitu lembaga pemerintah yang diartikan 'badan-badan pemerintahan dalam lingkungan eksekutif. Kalau kata pemerintahan diganti dengan kata negara, diartikan 'badan-badan negara di semua lingkungan pemerintahan negara (khususnya di lingkungan eksekutif, yudikatif, dan legislatif).
Lembaga Negera terdiri dari :
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Dewan Perwakilan Daerah (DPRD)
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Majelis Agung (MA)
Mahkamah Konstitusi (MK)
Presiden
2.2 Pembagian kekuasaan
Pembagian kekuasaan pemerintah Republik Indonesia 1945 berdasarkan ajaran pembagian kekuasaan yang dikenal garis-garis besarnya dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia; tetapi pengaruh dari luar; diambil tindakan atas tiga kekuasaan, yang dinamai Trias Politica, seperti dikenal dalam sejarah kontitusi di Eropa Barat dan amerika Serikat.
Ajaran Trias Politica diluar negeri pada hakikatnya mendahulukan dasar pembagian kekuasaan, dan pembagian atas tiga cabang kekuasaan (Trias Politica) adalah hanya akibat dari pemikiran ketatanegaraan untuk memberantas tindakan sewenang-wenang pemerintah dan untuk menjamin kebebasan rakyat yang terperintah.
Ajaran Trias Politika dilahirkan oleh pemikir Inggris Jhon Locke dan oleh pemikir Perancis de Montesquieu dijabarkan dalam bukunya L'Espris des Lois, yang mengandung maksud bahwa kekuasaan masing-masing alat perlengkapan negara atau lembaga negara yang menurut ajaran tersebut adalah :
a. Badan legislatif, yaitu badan yang bertugas membentuk Undang-undang
b. Badan eksekutif yaitu badan yang bertugas melaksanakan undang-undang
c. Badan yudikatif, yaitu badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan Undang-undang, memeriksa dan megadilinya.
Pada kurun waktu tahun 1999-2002, Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami empat kali perubahan (amandemen).Perubahan (amandemen) Undang-Undang Dasar 1945 ini, telah membawa implikasi terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Dengan berubahnya sistem ketatanegaraan Indonesia, maka berubah pula susunan lembaga-lembaga negara yang ada.
2.3 Susunan Lembaga Negara Sebelum Amandenen UUD 1945
Sebelum diamandemen, UUD 1945 mengatur kedudukan lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara, serta hubungan antar lembaga-lembaga tersebut. Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi, kemudian kedaulatan rakyat diberikan seluruhnya kepada MPR (Lembaga Tertinggi). MPR mendistribusikan kekuasaannya (distribution of power) kepada 5 Lembaga Tinggi yang sejajar kedudukannya, yaitu Mahkamah Agung (MA), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Adapun kedudukan dan hubungan antar lembaga tertinggi dan lembaga-lembaga tinggi negara menurut UUD 1945 sebelum diamandemen, dapat diuraikan sebagai berikut:
2.3.1 Pembukaan UUD 1945
Dalam pembukaan UUD'45 " Bahwa sesungguhnya Kemerdekaaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan"
Pembukaan UUD 1945 tidak dapat dirubah karena di dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat tujuan negara dan pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia.Jika Pembukaan UUD 1945 ini dirubah, maka secara otomatis tujuan dan dasar negara pun ikut berubah.
2.3.2 Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Sebelum perubahan UUD 1945, kedudukan MPR berdasarkan UUD 1945 merupakan lembaga tertinggi negara dan sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.MPR diberi kekuasaan tak terbatas (Super Power). karena "kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR" dan MPR adalah "penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia" yang berwenang menetapkan UUD, GBHN, mengangkat presiden dan wakil presiden.
2.3.3 Mahkamah Agung (MA)
Mahkamah Agung (disingkat MA) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi dan bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya. Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara.
2.3.4 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Badan Pemeriksa Keuangan (disingkat BPK) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang memiliki wewenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.Menurut UUD 1945, BPK merupakan lembaga yang bebas dan mandiri.
Anggota BPK dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah, dan diresmikan oleh Presiden.
Pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945 menetapkan bahwa untuk memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hasil pemeriksaan itu disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
2.3.5 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Tugas dan wewenang DPR sebelum amandemen UUD 1945 adalah memberikan persetujuan atas RUU [pasal 20 (1)], mengajukan rancangan Undang-Undang [pasal 21 (1)], Memberikan persetujuan atas PERPU [pasal 22 (2)], dan Memberikan persetujuan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara [pasal 23 (1)].
UUD 1945 tidak menyebutkan dengan jelas bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan pengawasan.
2.3.6 Presiden
Presiden memegang posisi sentral dan dominan sebagai mandataris MPR, meskipun kedudukannya tidak "neben" akan tetapi "untergeordnet". Presiden menjalankan kekuasaan pemerintahan negara tertinggi (consentration of power and responsiblity upon the president). Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power), juga memegang kekuasaan legislative (legislative power) dan kekuasaan yudikatif (judicative power). Presiden mempunyai hak prerogatif yang sangat besar. Tidak ada aturan mengenai batasan periode seseorang dapat menjabat sebagai presiden serta mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya.
2.4 Susunan Lembaga Negara Sesudah Amandemen UUD 1945
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga dapat menimbulkan mulitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.
Sistem ketatanegaraan Indonesia sesudah Amandemen UUD 1945, dapat dijelaskan sebagai berikut : Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi dimana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut UUD. UUD memberikan pembagian kekuasaan (separation of power) kepada 6 lembaga negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar, yaitu Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
2.4.1 Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Lembaga tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi Negara lainnya seperti
Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK.
Menghilangkan supremasi kewenangannya.Menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN.
Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden
Tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD.
Susunan keanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan angota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih secara langsung melalui pemilu.
2.4.2 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Posisi dan kewenangannya diperkuat.
Mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan presiden, sedangkan DPR hanya memberikan persetujuan saja) sementara pemerintah berhak mengajukan RUU.
Proses dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan Pemerintah.
Mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga Negara.
2.4.3 Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah dalam badan perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan golongan yang diangkat sebagai anggota MPR.
Keberadaanya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan Negara Republik Indonesia.
Dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu.
Mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan kepentingan daerah.
2.4.4 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
Berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan daerah (APBD) serta menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
Berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.
Mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi pengawas internal departemen yang bersangkutan ke dalam BPK.
2.4.5 Presiden
Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara pemilihan dan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta memperkuat sistem pemerintahan presidensial.
Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR.
Membatasi masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode saja.
Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus memperhatikan pertimbangan DPR.
Kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR.
Syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil presiden menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat melui pemilu, juga mengenai pemberhentian jabatan presiden dalam masa jabatannya.
2.4.6 Mahkamah Agung (MA)
Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan [Pasal 24 ayat (1)].
Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-undangan di bawah Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang-undang.
Di bawahnya terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Badan-badan lain yang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain.
2.4.7 Mahkamah Konstitusi (MK)
Keberadaanya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the constitution).
Mempunyai kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut UUD.
Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing oleh Mahkamah Agung, DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh Presiden, sehingga mencerminkan perwakilan dari 3 cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif, legislatif, dan eksekuti
2.5 Lembaga-Lembaga Negara Berdasarkan UUD 1945
Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan non-departemen, atau lembaga negara saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh UUD, ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari UU, dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden. Hirarki atau ranking kedudukannya tentu saja tergantung pada derajat pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan UU merupakan organ UU, sementara yang hanya dibentuk karena keputusan presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya. Demikian pula jika lembaga dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan berdasarkan Peraturan Daerah, tentu lebih rendah lagi tingkatannya.
Dalam setiap pembicaraan mengenai organisasi negara, ada dua unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan functie. Organ adalah bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah isinya; organ adalah status bentuknya, sedangkan functie adalah gerakan wadah itu sesuai maksud pembentukannya. Dalam naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan ada pula yang disebutkan eksplisit hanya fungsinya. Ada pula lembaga atau organ yang disebut bahwa baik namanya maupun fungsi atau kewenangannya akan diatur dengan peraturan yang lebih rendah. Dilihat dari segi fungsinya Lembaga-Lembaga Negara ada yang bersifat utama/primer (primary constitutional organs), dan bersifat penunjang/sekunder (auxiliary state organs). Sedangkan dari segi hirarkinya lembaga negara itu dibedakan kedalam 3 (tiga) lapis yaitu
1. Organ lapis pertama disebut sebagai lembaga tinggi negara, dimana nama, fungsi dan kewenangannya dibentuk berdasarkan UUD 1945. Adapun yang disebut sebagai organ-organ konstitusi pada lapis pertama atau dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara yaitu ; Presiden an Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
2. Organ lapis kedua disebut sebagai lembaga negara saja, dimana dalam lapis ini ada lembaga yang sumber kewenangannya dari UUD, ada pula sumber kewenangannya dari Undang-Undang dan sumber kewenangannya yang bersumber dari regulator atau pembentuk peraturan dibawah Undang-Undang. Kelompok Pertama yakni organ konstitusi yang mendapat kewenangan dari UUD misalnya Menteri Negara, Komisi Yudisial (KY), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara, Komisi pemilihan umum, Bank Sentral ; Kelompok Kedua organ institusi yang sumber kewenangannya adalah Undang-Undang misalnya seperti Komnas HAM, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan lain sebagainya. Walaupun dasar/sumber kewenangannya berbeda kedudukan kedua jenis lembaga negara ini dapat di sebandingkan satu sama lain, hanya saja kedudukannya walaupun tidak lebih tinggi tetapi jauh lebih kuat. Keberadaannya disebutkan secara eksplisit dalam UUD, sehingga tidak dapat ditiadakan atau dibubarkan hanya karena kebijakan pembentukan Undang-Undang.
Sedangkan Kelompok Ketiga yakni organ konstitusi yang termasuk kategori Lembaga Negara yang sumber kewenangannya berasal dari regulator atau pembentuk peraturan di bawah Undang-Undang, misalnya Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman Nasional dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden.
3. Organ lapis ketiga merupakan lembaga daerah yaitu merupakan lembaga negara yang ada di daerah yang ketentuannya telah diatur oleh UUD 1945 yaitu : Pemerintah Daerah Provinsi; Gubernur; DPRD Provinsi; Pemerintahan Daerah Kabupaten; Bupati; DPRD Kabupaten; Pemerintahan Daerah Kota; Walikota; DPRD Kota, Disamping itu didalam UUD 1945 disebutkan pula adanya satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa yang diakui dan dihormati keberadaannya secara tegas oleh UUD, sehingga eksistensinya sangat kuat secara konstitusional.
2.6 Hubungan Antar Lembaga-Lembaga Negara
Hubungan antar alat-alat kelengkapan suatu negara atau yang lazim disebut sebagai lembaga negara merupakan hubungan kerjasama antar institusi-institusi yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi negara. Berdasarkan teori-teori klasik mengenai negara setidaknya terdapat beberapa fungsi negara yang penting seperti fungsi membuat kebijakan peraturan perundang-undangan (fungsi legislatif), fungsi melaksanakan peraturan atau fungsi penyelenggaraan pemerintahan (fungsi eksekutif), dan fungsi mengadili (fungsi yudikatif). Kecenderungan praktik ketatanegaraan terkini di Indonesia oleh banyak ahli hukum tata negara dan ahli politik dikatakan menuju sistem pemisahan kekuasaan antara ketiga fungsi negara tersebut (separation power).
Alat kelengkapan negara berdasarkan teori–teori klasik hukum negara meliputi kekuasaan eksekutif, dalam hal ini bisa presiden atau perdana menteri atau raja, kekuasaan legilatif, dalam hal ini bisa disebut parlemen atau dengan nama lain seperti dewan perwakilan rakyat, dan kekuasaan yudikatif seperti mahkamah agung atau supreme court. Setiap alat kelengkapan negara tersebut bisa memiliki organ-organ lain untuk membantu pelaksanaan fungsinya. Kekuasaan eksekutif, misalnya, dibantu wakil dan menteri-menteri yang biasanya memimpin satu departemen tertentu. Meskipun demikian, tipe-tipe lembaga negara yang diadopsi setiap negara berbeda-beda sesuai dengan perkembangan sejarah politik kenegaraan dan juga sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam negara yang bersangkutan.
Secara konseptual, tujuan diadakannya lembaga-lembaga negara atau alat-alat kelengkapan negara adalah selain menjalankan fungsi negara, juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual. Dengan kata lain, lembaga-lembaga itu harus membentuk suatu kesatuan proses yang satu sama lain saling berhubungan dalam rangka penyelenggaraan fungsi negara atau istilah yang digunakan Prof. Sri Soemantri adalah actual governmental process. Jadi, meskipun dalam praktiknya tipe lembaga-lembaga negara yang diadopsi setiap negara bisa berbeda-beda, secara konsep lembaga-lembaga tersebut harus bekerja dan memiliki relasi sedemikian rupa sehingga membentuk suatu kesatuan untuk merealisasikan secara praktis fungsi negara dan secara ideologis mewujudkan tujuan negara jangka panjang.
Sampai dengan saat ini, proses awal demokratisasi dalam kehidupan sosial dan politik dapat ditunjukkan antara lain dengan terlaksananya pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004 secara langsung, terbentuknya kelembagaan DPR, DPD dan DPRD baru hasil pemilihan umum langsung, terciptanya format hubungan pusat dan daerah berdasarkan perundangan-undangan otonomi daerah yang baru, dimana setelah jatuhnya Orde Baru (1996 - 1997), pemerintah merespon desakan daerah-daerah terhadap sistem pemerintahan yang bersifat sangat sentralistis, dengan menawarkan konsep Otonomi Daerah untuk mewujudkan desentralisasi kekuasaan, selain itu terciptanya format hubungan sipil-militer, serta TNI dengan Polri berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, serta terbentuknya Mahkamah Konstitusi.
2.7 Hubungan antar Lembaga Negara
2.7.1 MPR dengan DPR, DPD
Keberadaan MPR dalam sistem perwakilan dipandang sebagai ciri yang khas dalam sistem demokrasi di Indonesia. Keanggotaan MPR yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD menunjukan bahwa MPR masih dipandang sebagai lembaga perwakilan rakyat karena keanggotaannya dipilih dalam pemilihan umum. Unsur anggota DPR merupakan representasi rakyat melalui partai politik, sedangkan unsur anggota DPD merupakan representasi rakyat dari daerah untuk memperjuangkan kepentingan daerah.
Sebagai lembaga, MPR memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan UUD, memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden, melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, dan kewenangan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Khusus mengenai penyelenggaraan sidang MPR berkaitan dengan kewenangan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, proses tersebut hanya bisa dilakukan apabila didahului oleh pendapat DPR yang diajukan pada MPR.
2.7.2 DPR dengan Presiden, DPD, dan MK.
Berdasarkan UUD NRI tahun 1945, kini MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD. Perbedaan keduanya terletak pada hakikat kepentingan yang diwakilinya, anggota DPR untuk mewakili rakyat sedangkan anggota DPD untuk mewakili daerah.
Pasal 20 ayat (1) menyatakan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Selanjutnya untuk menguatkan posisi DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif, maka pada Pasal 20 ayat (5) ditegaskan bahwa dalam hal RUU yang disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden, dalam waktu 30 hari semenjak RUU tersebut disetujui, secara otomatis sah menjadi UU dan wajib diundangkan.
Dalam hubungan DPR dengan DPD, terdapat hubungan kerja dalam hal ikut membahas RUU yang berkaitan dengan bidang tertentu. DPD dapat mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah (Lihat Pasal 22 D).
Dalam hubungannya dengan Mahkamah Konstitusi, terdapat hubungan tata kerja yaitu dalam hal permintaan DPR kepada MK untuk memeriksa pendapat DPR mengenai dugaan bahwa Presiden bersalah. Di samping itu terdapat hubungan tata kerja lain, misalnya dalam hal apabila ada sengketa dengan lembaga negara lainnya, dan proses pengajuan pendapat DPR yang menyatakan bahwa Presiden bersalah untuk diperiksa oleh MK.
2.7.3 DPD dengan BPK
Berdasarkan ketentuan UUD NRI 1945, DPD menerima hasil pemeriksaan BPK dan memberikan pertimbangan untuk pemilihan anggota BPK. Ketentuan ini memberikan hak kepada DPD untuk menjadikan hasil laporan keuangan BPK sebagai bahan dalam rangka melaksanakan tugas dan kewenangan yang dimilikinya, dan untuk turut menentukan keanggotaan BPK dalam proses pemilihan anggota BPK. Di samping itu, laporan BPK akan dijadikan sebagai bahan untuk mengajukan usul dan pertimbangan berkenaan dengan RUU APBN.
2.7.4 MA dengan lembaga negara lainnya
Pasal 24 ayat (2) menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ketentuan tersebut menyatakan puncak kekuasaan kehakiman dan kedaulatan hukum ada pada MA dan MK. Mahkamah Agung merupakan lembaga yang mandiri dan harus bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan yang lain.
Dalam hubungannya dengan Mahkamah Konstitusi, MA mengajukan 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk ditetapkan sebagai hakim di Mahkamah Konstitusi.
2.7.5 Mahkamah Konstitusi dengan Presiden, DPR, BPK, DPD, MA, KY
Selanjutnya, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi adalah untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD. Karena kedudukan MPR sebagai lembaga negara, maka apabila MPR bersengketa dengan lembaga negara lainnya yang sama-sama memiliki kewenangan yang ditentukan oleh UUD, maka konflik tersebut harus diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD NRI tahun 1945 adalah untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Di samping itu, MK juga wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Dengan kewenangan tersebut, jelas bahwa MK memiliki hubungan tata kerja dengan semua lembaga negara yaitu apabila terdapat sengketa antar lembaga negara atau apabila terjadi proses judicial review yang diajukan oleh lembaga negara pada MK.
2.7.6 BPK dengan DPR dan DPD
BPK merupakan lembaga yang bebas dan mandiri untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara dan hasil pemeriksaan tersebut diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD.
Dengan pengaturan BPK dalam UUD, terdapat perkembangan yaitu menyangkut perubahan bentuk organisasinya secara struktural dan perluasan jangkauan tugas pemeriksaan secara fungsional. Karena saat ini pemeriksaan BPK juga meliputi pelaksanaan APBN di daerah-daerah dan harus menyerahkan hasilnya itu selain pada DPR juga pada DPD dan DPRD.
Selain dalam kerangka pemeriksaan APBN, hubungan BPK dengan DPR dan DPD adalah dalam hal proses pemilihan anggota BPK.
2.7.7 Komisi Yudisial dengan MA
Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B ayat (1) menegaskan bahwa calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapat persetujuan. Keberadaan Komisi Yudisial tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan kehakiman. Ketentuan ini menjelaskan bahwa jabatan hakim merupakan jabatan kehormatan yang harus dihormati, dijaga, dan ditegakkan kehormatannya oleh suatu lembaga yang juga bersifat mandiri. Dalam hubungannya dengan MA, tugas KY hanya dikaitkan dengan fungsi pengusulan pengangkatan Hakim Agung, sedangkan pengusulan pengangkatan hakim lainnya, seperti hakim MK tidak dikaitkan dengan KY.
Hubungan antar lembaga negara yang antara lain meliputi hubungan dalam bidang legislatif (pembuatan UUD) , bidang eksekutif (penyelenggaraan pemerintahan) , atas dasar sistem pengawasan , dan atas dasar sistem penilaian dapat dilihat pada skema berikut .
Undang- undang
Undang- undang
BPKDPRPresiden
BPK
DPR
Presiden
Hubungan lembaga Negaradengan bidang Legislatif
Hubungan lembaga Negara
dengan bidang Legislatif
DPRPRESIDEN
DPR
PRESIDEN
Hubungan lembaga Negara Dalam bidang Eksekutif
Hubungan lembaga Negara
Dalam bidang Eksekutif
PRESIDENDPRBPK
PRESIDEN
DPR
BPK
Hubungan lembaga Negara atas dasar Sistem Pengawasan
Hubungan lembaga Negara atas dasar Sistem Pengawasan
Produk LegislatifProduk Yudikatif Penggunaan uang Negara MABPK
Produk Legislatif
Produk Yudikatif
Penggunaan uang Negara
MA
BPK
Atas dasar system penilaian
Atas dasar system penilaian
Bab 3
TINJAUAN KASUS
3.1 SENGKETA LEMBAGA NEGARA ANTARA EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF
Pasca perubahan UUD 1945, memang masih menimbulkan pro dan kontra tentang pengaturan kelembagaan Negara berikut kewenangannya. Sebab, sekalipun dari segi substansinya, materi muatan UUD 1945 dinilai sudah mencerminkan paham kedaulatan rakyat tetapi dari segi sistem pemerintahan dan operasionalisasinya justru menimbulkan berbagai persoalan baru, baik menyangkut hubungan Presiden dengan DPR maupun dengan lembaga-lembaga Negara lainnya. Padahal seharusnya konstitusi mampu menciptakan suatu sistem yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan tata hubungan kelembagaan Negara itu dan upaya bangsa Indonesia mencapai tujuan nasionalnya. Namun yang terjadi, justru aroma konflik antar lembaga negara, yaitu antara Presiden dengan DPR dalam penetapan kebijakan negara, sengketa kewenangan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial tentang kekuasaan kehakiman, dan penyusunan kabinet dan hubungan Pusat dengan Daerah yang sampai kini tetap menjadi isu-isu politik yang strategis, bersifat laten dan tidak mudah menyelesaikannya secara tuntas, dan konflik-konflik lainnya yang tidak dapat dituliskan satu persatu di tulisan ini.
Bab 4
PEMBAHASAN
Salah satu tuntutan reformasi yang digulirkan sejak tahun 1998 adalah dibangunnya suatu sistem ketatanegaraan Indonesia yang berbasis secara murni dan konsekuen pada paham kedaulatan rakyat dan Negara hukum (rechstaat). Karena itu, dalam konteks penguatan sistem hukum yang diharapkan mampu membawa rakyat Indonesia mencapai tujuan bernegara yang di cita-citakan, maka perubahan atau amandemen UUD 1945 merupakan langkah strategis yang harus dilakukan dengan seksama oleh bangsa Indonesia. Berbicara tentang sistem hukum tentunya tidak terlepas dari persoalan politik hukum atau rechts politiek, sebab politik hukumlah yang menentukan sistem hukum yang bagaimana yang dikehendaki(Wiratma, 2002:140). Politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, dan isi hukum yang akan dibentuk (Wahjono, 1983:99)
Kebijakan dasar tersebut adalah Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945 (UUD1945) dan Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional (RPJMN 2004-2009). Dengan demikian UUD 1945 atau konstitusi Republik Indonesia menentukan arah politik hukum Negara Kesatuan Republik Indonsia yang berfungsi sebagai hukum dasar tertulis tertinggi untuk dioperasionalisasikan bagi pencapaian tujuan Negara.
Menurut Adnan Buyung Nasution (Forum, No.19, 16 Juni 2002, 70), hal ini disebabkan karena para tukang amandemen di MPR sama sekali tidak memiliki konsep atau desain yang jelas tentang sistem pemerintahan yang dinilai terbaik buat Indonesia. Sehingga pasal-pasal UUD 1945 hanya asal tempel saja, amburadul, sangat pragmatis, campur aduk, tumpang tindih, kontradiksi, dan berlubang-lubang, yang akan menimbulkan polemik berkepanjangan di kemudian hari.
Situasi dan kondisi setelah perubahan UUD 1945 (1999-2002) sangat berbeda dengan situasi dan kondisi sebelum perubahan UUD1945. Hal ini disebabkan dalam teks UUD 1945 hasil perubahan tidak secara eksplisit disebutkan mana yang termasuk lembaga tertinggi negara dan lembaga mana yang dikategorikan sebagai lembaga tinggi negara. Dalam teks perubahan UUD 1945 dijumpai adanya 2(dua) pasal yang menyebut secara eksplisit istilah Lembaga Negara, yaitu :
Pasal 24c ayat(1) tentang wewenang Mahkamah Konstitusi, antara lain : memustus sengketa kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar.
Dan dalam Pasal 11 Aturan Peralihan yang menyatakan : Semua Lembaga Negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.
Dari dua pasal tersebut di atas, untuk Pasal 24c ayat (1) UUD 1945 tidak jelas tentang kriteria Lembaga Negara, kecuali hanya disebutkan kriteria bahwa kewenangannya harus diberikan oleh UUD 1945. Sedangkan pasal 11 Aturan Peralihan dapat ditafsirkan meliputi Lembaga-Lembaga yang dahulu disebut oleh MPR dengan Lembaga Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara yang terdiri dari MPR, Presiden, DPR, DPA, MA dan BPK.
Selain ketidak jelasan tentang apa yang dimaksud dengan Lembaga Negara oleh UUD 1945 hasil perubahan, juga terjadi tumpang tindih dan ketidakjelasan kewenangan antara Lembaga-Lembaga tersebut, sehingga kemudian terjadi kontradiksi dan kompleksitas hubungan antar LembagaNegara. Contoh paling aktual dalam kasus ini adalah tentang kewenangan pengawasan yang dimiliki Komisi Yudisial. Dalam pasal 14 UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial menyebutkan Komisi Yudisial mempunyai kewenangan untuk menjaga dan mengawasi perilaku hakim.Sedangkan menurut UU No. 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung antara lain menyatakan MA berwenang melakukan pengawasan terhadap kecakapan hakim dan perbuatan tercela dari hakim.
Kemudian menurut pasal 23 ayat (3) UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dinyatakan Pengawasan Hakim Konstitusi ditentukan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Hal ini mengakibatkan timbulnya konflik antar Lembaga Negara yang mestinya tidak perlu terjadi apabila UUD 1945 hasil perubahan merumuskan dengan jelas kewenangan masing-masing lembaga tersebut.
Selain itu UUD 1945 perubahan juga memberikan kekuasaan yang lebih
besar kepada DPR dibandingkan UUD 1945 yang asli. Dengan kata lain, DPR yang ada sekarang ini telah menjadi super parlemen, merupakan lembaga perwakilan rakyat dengan kewenangan yang amat besar.
Dalam pasal 6a dan Pasal 17 ayat (2) dinyatakan: "Bahwa Presiden dan Wakil Presiden di pilih langsung oleh Rakyat dan Menteri diangkat serta diberhentikan oleh Presiden" . Apabila konsekuen dengan isi pasal tersebut, maka sudah semestinya UUD 1945 mengikuti pula tolok ukur sistem pemerintahan presidensial yang antara lain:
Kekuasaan bersifat tunggal (tidak bersifat kolegial) baik sebagai kepala Negara maupun kepala pemerintahan.
Kedudukan presiden dan parlemen sama kuatnya dan tidak bisa saling menjatuhkan
Masa jabatan presiden bersifat pasti (fix-term), tidak dapat diberhentikan kecuali melanggar konstitusi
Presiden dan Wakil Presiden tidak bertanggungjawab kepada parlemen, tetapi bertanggungjawab kepada rakyat
Presiden dipilih rakyat baik langsung maupun tidak langsung dengan suara mayoritas
Presiden dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh menteri-menteri dan menteri bertanggungjawab kepada Presiden.
Pertangungjawaban pemerintahan berada ditangan Presiden.
Oleh karena itu tidak tepat apabila DPR mencampuri kewenangan yang seharusnya menjadi domain Presiden, bahkan dalam UUD 1945 sekarang ini nampak adanya dominasi legislatif terhadap eksekutif. Antara lain dalam :
Pasal 5 ayat (1) : "Presiden hanya berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR". Sebaliknya Pasal 20 ayat (1): DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.. Perubahan ini jelas bertujuan untuk menggrogoti kekuasaan Presiden dari pada melaksanakan prinsip demokrasi.
Pasal 6A, Pasal 7A, dan Pasal 7B: "Sekalipun Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, akan tetapi tetap dapat diberhentikan dari masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR dan putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu: apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Perubahan ini, jelas sudah keblabasan, sebab Mahkamah Konstitusi diberikan kekuasaan peradilan pidana sekaligus peradilan politik (untuk perbuatan tercela atau tidak memenuhi syarat sebagai presiden yang dapat ditafsirkan secara politis). Padahal, setiap perbuatan tindak pidana seharusnya diadili di peradilan umum baik tindak pidana umum maupun pidana khusus, serta tidak mengenal adanya peradilan politik.
Pasal 13 ayat (2) yang menyatakan dalam hal ini mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat dan ayat (3) menyatakan Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat, Pasal 14 ayat (2) menyatakan Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 30 berkorelasi dengan Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000, Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI dan Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, Panglima TNI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
Jadi semuanya, mesti lewat persetujuan DPR. Apabila UUD 1945 asli dibandingkan dengan UUD 1945 perubahan, maka nampak bahwa berdasarkan UUD 1945 asli Presiden memiliki 11 (sebelas) kewenangan. Dari 11 (sebelas) kewenangan Presiden tersebut hanya 2 (dua) kewenangan yang tidak merupakan kategori hak prerogatif Presiden, yaitu : Pertama, Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Ke dua, Pasal 12 yang menyatakan presiden menyatakan keadaan bahaya, syarat-syarat dan akibatnya keadaaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. Sedangkan menurut UUD 1945 perubahan, telah ditetapkan 14 (empat belas) kewenangan Presiden, tetapi hanya 2 (dua) kewenangan yang berkategori hak prerogatif Presiden yaitu: Pertama, Pasal 10 yang menyatakan Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Ke dua, Pasal 17 ayat (2) yang menyatakan menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Dengan dipangkasnya dan dibatasinya kekuasaan Presiden tersebut, maka terjadi dominasi Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Presiden, sehingga Presiden tidak memiliki keleluasaan baik sebagai kepala negara maupun sebagai kepala pemerintahan. Di samping itu Presiden mengalami kesulitan untuk memperoleh dukungan DPR dalam membuat kebijakan dan mengimplementasikannya.
Bab 5
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Kesimpulan dari pembahasan tentang Kelembagaan Negara yang diatur dalam UUD 1945 perubahan seperti tersebut diatas, nampak bahwa perubahan UUD 1945 dilaksanakan tanpa melalui kajian yang mendalam. Hal ini dikarenakan suasana kebatinan saat itu ada pada kondisi bergeloranya kesuksesan reformasi (ditandai lengsernya Presiden Soeharto), yang ingin mengadakan perubahan terhadap segala sesuatu yang dinilai sebagai atribut Orde Baru. Sebagai akibat dari situasi dan kondisi tersebut di atas, maka dalam perubahan UUD 1945 nampak sangat situasional dan emosional, bahkan pengaturan yang semestinya sebagai materi muatan undang-undang dimasukkan ke dalam pasal- pasal UUD 1945. Di samping itu ternyata keberhasilan reformasi dalam menumbangkan Orde Baru, tidak disertai dengan manajemen reformasi, penegakkan hukum dan persiapan yang matang. Oleh karena itu sangat mendesak perlu diadakan penataan serta sinkronisasi dan harmonisasi tentang fungsi tugas pokok dan wewenang masing-masing lembaga negara agar tidak terjadi kontradiksi dan memunculkan kompleksitas hubungan antar lembaga negara. Terlebih fundamental lagi agar pengaturan bentuk negara dan sistem pemerintahan Negara Indonesia benar-benar taat asas serta konsekuen dan konsisten dengan nilai historis terbentuknya NKRI serta Pancasila sebagai dasar negara yang telah terpatrikan mantap di dalam pembukaan UUD 1945.
Salah satu perubahan yang akan saya tambahkan, yang saya usulkan, yaitu tentang perubahan Undang-Undang Dasar. Disini belum ada artikel tentang perubahan Undang-Undang Dasar dan itu menurut pendapat saya, masih perlu diadakan. Oleh karena itu sebenarnya perubahan terhadap UUD 1945 adalah merupakan hal yang wajar dalam rangka menampung dinamika masyarakat.
namun permasalahannya adalah perlu adanya tahapan yang harus dilalui agar perubahan UUD 1945 tidak menimbulkan permasalahan di kelak kemudian hari.Sebab apabila MPR keliru dalam mengambil keputusan maka dapat mengacaukan proses ketatanegaraan di masa yang akan datang.
SARAN / SOLUSI
Sebenarnya proses perubahan Undang-Undang Dasar 1945 akan lebih baik apabila melalui berbagai tahapan yaitu:
Perubahan apapun yang akan dilakukan tehadap pasal-pasal UUD 1945 haruslah disertai dengan pertimbangan-pertimbangan yang sangat matang,
Proses penyiapan dan pembahasannya harus dilakukan dalam waktu yang cukup panjang, mendalam, cermat dan teliti
Sebagai landasan dasar bagi pengelolaan kehidupan bangsa dan Negara Indonesia yang sangat heterogen, maka perubahan UUD 1945 rumusan-rumusannya harus menghindarkan masuknya kepentingan sempit golongan ataupun perorangan yang dapat menimbulkan konflik antar kepentingan dan antar kelompok masyarakat, sebaliknya harus dapat menjamin tetap kokohnya persatuan dan kesatuan dalam kemajemukan,
Perubahan UUD 1945 seharusnya dilakukan oleh suatu komisi yang independen dengan melibatkan Perguruan Tinggi,tokoh keagamaan, kaum professional, Oonop dan sebagainya yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan masalah yang akan diputuskan.
Hasil rancangan komisi tersebut diserahkan pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), untuk dibahas dalam Badan Pekerja MPR (BPMPR), Sidang Komisi MPR dan Sidang Paripurna MPR untuk diambil putusan. Selanjutnya,apabila kita telaah substansi UUD 1945 sebelum perubahan baik dalam Batang Tubuh maupun dalam penjelasannya, tidak diketemukan istilah lembaga negara secara eksplisit.
Daftar pustaka
http://peterrchandradinata.blogspot.com
http://ratnapharmasist.blogspot.com/
http://nusantarapermai.mywapblog.com
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997
Undang-Undang Dasar 1945
RI, LAN, SANKRI Buku I Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Negara, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, 2003
.SANKRI, Buku I Prinsip-prinsip Penyelenggaraa Negara, LAN RI, 2003
. Dikutip dari artikel Hubungan antar Lembaga, Indoskripsi.com
http://hukum.kompasiana.com
Darmonodiharjo, Darji; Dekker, Nyoman ,dkk. SANTAJI PANCASILA. Surabaya-indonesia: Usaha Nasional, 1981.
http://nasional.kompas.com/read/2012/08/02/01150735/Inilah.Lima.Tren.Pemberantasan.Korupsi.Masa.Depan