MAKALAH TUGAS KIMIA MEDISINAL II ANALGETIKA NARKOTIK “MORFIN DAN MEPERIDIN”
`
Disusun oleh : Rose Graceana S.
(1041011133)
Rr. Putri Nugraheni
(1041011134 )
Septanti Ratna P.
(1041011138)
Septy Aliya Nur C.
(1041011139)
Septyo Dwi Haryono
(1041011140)
Sholikhatun
(1041011141)
PROGRAM STUDI S1 FARMASI SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI “YAYASAN PHARMASI”
SEMARANG 2012
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Tinjauan Pustaka
Analgetika merupakan suatu senyawa atau obat yang dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri (diakibatkan oleh berbagai rangsangan pada tubuh misalnya rangsangan mekanis, kimiawi dan fisis sehingga menimbulkan kerusakan pada jaringanyang memicu pelepasan mediator nyeri seperti brodikinin dan prostaglandin yang akhirnya mengaktivasi reseptor nyeri di saraf perifer dan diteruskan ke otak yang secara umum dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu analgetika non narkotik (seperti: asetosal, parasetamol) dan analgetika narkotik (seperti : morfin). Terkadang, nyeri dapat berarti perasaan emosional yang tidak nyaman dan berkaitan dengan ancaman seperti kerusakan pada jaringan karena pada dasarnya rasa nyeri merupakan suatu gejala, serta isyarat bahaya tentang adanya gangguan pada tubuh umumnya dan jaringan khususnya. Untuk mengurangi atau meredakan rasa sakit atau nyeri tersebut maka banyak digunakan obat-obat analgetik (seperti parasetamol, asam mefenamat dan antalgin)yang bekerja dengan memblokir pelepasan mediator nyeri sehingga reseptor nyeri tidak menerima rangsang nyeri. Terdapat perbedaan mencolok antara analgetika dengan anastetika umum yaitu meskipun sama-sama berfungsi sebagai zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri namun, analgetika bekerja tanpa menghilangkan kesadaraan. Nyeri sendiri terjadi akibat rangsangan mekanis, kimiawi, atau fisis yang memicu pelepasan mediator nyeri. Intensitas rangsangan terendah saat seseorang merasakan nyeri dinamakan ambang nyeri. (Tjay, 2002). Analgetika yang bekerja perifer atau kecil memiliki kerja antipiretik dan juga komponen kerja antiflogistika dengan pengecualian turunan asetilanilida. (Anonim, 2005).
Nyeri ringan dapat ditangani dengan obat perifer (parasetamol, asetosal, mefenamat atau aminofenazon). Untuk nyeri sedang dapat ditambahkan kofein dan kodein.Nyeri yang disertai
pembengkakan
sebaiknya
diobati
dengan
suatu
analgetikum
antiradang
(aminofenazon, mefenaminat dan nifluminat). Nyeri yang hebat perlu ditanggulangi dengan morfin. Obat terakhir yang disebut dapat menimbulkan ketagihan dan menimbulkan efek samping sentral yang merugikan. (Tjay, 2002)
Berdasarkan kerja farmakologisnya, analgetika dibagi dalam dua kelompok besar yaitu: 1. Analgetika perifer (non-narkotik), yang terdiri terdiri dari obat-obat yang tidak tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. 2. Analgetika narkotik, khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti pada fractura dan kanker. (Anonim, 2005)
Penggunaan analgetika perifer mampu meringankan atau menghilangkan rasa nyeri, tanpa mempengaruhi SSP atau menurunkan kesadaran, juga tidak menimbulkan ketagihan. Kombinasi dari dua atau lebih analgetika sering kali digunakan, karena terjadi efek potensiasi (Tjay, 2002)
Salah satu obat analgesik non opioid (perifer) adalah aspirin. Aspirin merupakan obat antidemam kuat dan mempunyai efek menghambat agregasi trombosit pada dosis rendah (40 mg) sehingga selain sebagai analgesik aspirin dewasa ini banyak digunakan sebagai alternatif dari antikoagulansia sebagai pencegah infark ke 2 setelah terjadinya serangan (Tjay dan Rahardja, 2002).
Aspirin adalah salah satu obat yang paling sering digunakan untuk meredakan nyeri ringan sampai sedang karena berbagai sebab. Aspirin bekerja dengan menghambat prostaglandin yaitu dengan menghambat enzim siklooksigenase (prostaglandin sintase)
secara irreversible. Pada dosis yang tepat, obat ini akan menurunkan pembentukan prostaglandin maupun tromboksan A2 tetapi tidak menghambat leukotrien. Selain itu, aspirin juga mempengaruhi mediator kimia system kalikrein sehingga menghambat perlekatan granulosit pada pembuluh darah yang rusak, menstabilkan membran lisosom, dan menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear dan makrofag ke tempat peradangan (Katzung, 1998)
Dosis terapi salisilat yang digunakan untuk analgesik dan antipiretik biasanya sangat sedikit menimbulkan efek samping. Tetapi penggunaan dosis besar pada anak-anak dapat menimbulkan toksisitas. Gejalanya antara lain kehausan, berkeringat, penglihatan kabur, tinitus, nausea, vomitus dan menyebabkan perubahan keseimbangan asam basa. Efek samping yang paling sering terjadi adalah tukak lambung atau tukak peptid yang kadangkadang disertai anemi sekunder akibat perdarahan saluran pencernaan. Keadaan ini terjadi melalui 2 mekanisme yaitu iritasi local dan iritasi atau perdarahan lambung yang bersifat sistemik melalui penghambatan biosintesis PGE2 dan PGI2. (Wilmana, 1995)
Analgetika narkotik merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau morfin. Meskipun memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain, golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri yang hebat. Meskipun terbilang ampuh, jenis ini dapat menimbulkan ketergantungan pada si pemakai. Seiring berjalannya waktu, ditemukannya obatyang bersifat campuran agonis dan antagonis jenis ini yang mampu meniadakan ketergantungan fisik, maka penggunaan istilah analgesik narkotik untuk pengertian farmakologik tidak sesuai lagi. (Anonim, 1995) Merupakan zat yang bekerja pada reseptor opioid khas di SSP, hingga persepsi nyeri dan respon emosional terhadap nyeri berubah (dikurangi) (Tjay dan Rahardja, 2002). Analgesik opioid memiliki sifat-sifat seperti opium a tau morfin (Sujatno, 1998)
Atas dasar cara kerjanya, obat-obat ini dapat dibagi dalam 3 kelompok, yaitu: 1. Agonis opiate, dapat dibagi menjadi alkaloida candu (morfin, kodein, heroin, nicomorfin, zat-zat sintesis, metadon dan derivatnya). 2. Agonis opiate: nalokson, nalorfin, pentazosin, buprenorfin dan nalbufin. 3. Kombinasi: zat-zat ini juga mengikat pada reseptor opioid tetapi tidak mengaktfiasi kerjanya dengan sempurna. Untuk memperoleh efek analgetik yang optimal dari suatu obat, diperlukan beberapa kriteria atau sifat-sifat farmakokinetik sebagai berikut:
Diabsorbsi dengan cepat dan sempurna, dengan ketersediaan hayati absolut (100%).
Terdistribusi secara cepat dan baik ke jaringan target dengan konsentrasi yang tidak terlalu tinggi di organ-organ untuk mengurangi efek samping.
Eliminasinya cepat, baik melalui hepar maupun ginjal untuk mencegah terjadinya penimbunan obat, khususnya pada penderita ginjal/ hepar.
Tidak toksik (toksisitas minimal), sedikit memberi interkasi terhadap obat-obat lain yang kemungkinan harus diberikan bersamaan serta harus mempunyai indeks terapeutik yang sempit. ( Day, 2000 )
Analgetik narkotik adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf pusat secara selektif, digunakan untuk mengurangi rasa sakit tanpa mempengaruhi kesadaran. Analgetika bekerja dengan meningkatkan nilai ambang persepsi rasa sakit. (Siswandono, 2000, hal : 283) Analgetik narkotik adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf pusat secara selektif, digunakan untuk mengurangi rasa sakit, yang moderat ataupun berat, seperti rasa sakit yang disebabkan oleh penyakit kanker, serangan jantung akut, sesudah operasi dan kolik usus atau ginjal. Analgetika narkotik sering pula digunakan untuk pramedikasi anestesi, bersamasama dengan atropin untuk mengontrol sekresi. Aktivitas analgetika narkotik jauh lebih besar dibanding golongan analgetik non narkotik, sehingga disebut pula analgetika kuat. Golongan ini pada umumnya menimbulkan euforia sehingga banyak disalahgunakan.
Pemberian obat secara terus-menerus menimbulkan ketergantungan fisik dan mental atau kecanduan dan efek ini terjadi secraa cepat. Penghentian pemberian obat secara tiba-tiba menyebabkan sindrom abstinence abstinence atau gejala withdrawal . Kelebihan dosis dapat menyebabkan kematian karena terjadi depresi pernapasan. (Siswandono, 2000, hal : 283)
BAB II ISI II. 1. Mekanisme Kerja Analgetika Narkotik
Efek analgesik dihasilkan oleh adanya pengikatan obat dengan sisi reseptor khas pada sel dalam otak dan spinal cord . Rangsangan reseptor juga menimbulkan efek euforia dan rasa mengantuk. Reseptor turunan morfin mempunyai tiga sisi yang sangat penting untuk timbulnya aktivitas analgesik, yaitu : 1. Struktur bidang datar, yang mengikat cincin aromatik obat melalui ikatan van der Waals. 2. Tempat anionik, yang mampu berinteraksi dengan pusat muatan positif obat. 3. Lubang dengan orientasi yang sesuai untuk menampung bagian – bagian – CH CH2-CH2- dari proyeksi cincin piperidin, yang terletak di depan bidang yang mengandung cincin aromatik dan pusat dasar. II. 2. Morfin
Morfin didapat dari opium, yaitu getah kering tanaman Papaver somniferum. Opium mengandung tidak kurang dari 25 alkaloida, antara lain adalah morfin, kodein, noskapin, papaverin, tebain, dan narsein. Selain efek analgesik turunan morfin juga menimbulkan euforia sehingga banyak disalahgunakan. Oleh karena itu distribusi turunan morfin dikontrol secara ketat oleh pemerintah. Karena turunan morfin menimbulkan efek kecanduan, yang terjadi secara cepat, maka dicari turunan atau analognya yang masih mempunyai efek analgesik tetapi efek kecanduannya lebih rendah.
Struktur Kimia Morfin Hubungan Struktur dan Aktivitas
Hubungan struktur-aktivitas turunan morfin dijelaskan sebagai berikut :
Esterifikasi dan esterifikasi gugus hidroksil fenol akan menurunkan aktivitas analgesik, meningkatkan aktivitas antibatuk dan meningkatkan efek kejang.
Esterifikasi, esterifikasi, oksidasi, atau penggantian gugus hidroksil alkohol dengan halogen atau hidrogen dapat meningkatkan efek analgesik, meningkatkan efek stimulan, tetapi juga meningkatkan toksisitas.
Perubahan gugus hidroksil alkohol dari posisi 6 ke posisi 8 menurunkan aktivitas analgesik secara drastis.
Pengubahan konfigurasi hidroksil pada C 6 dapat meningkatkan aktivitas analgesik. Hidrogenasi ikatan rangkap C 7-C8 dapat menghasilkan efek yang sama atau lebih tinggi dibanding morfin.
Substitusi pada cincin aromatik akan mengurangi aktivitas analgesic.
Pemecahan jembatan eter antara C 4 dan C5 akan menurunkan aktivitas.
Pembukaan cincin piperidin menyebabkan penurunan aktivitas.
Demetilasi pada C 17 dan perpanjangan rantai alifatik yang terikat pada atom N dapat menurunkan aktivitas. Adanya gugus alil pada atom N menyebabkan senyawa bersifat antagonis kompetitif.
Farmakodinamik
Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung otot polos. Efek morfin pada system syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar. Stimulasi
termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiper aktif reflek spinal, konvulsi dan sekresi hormone anti diuretika (ADH). Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka. Morfin juga dapat mmenembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaharui mempen gaharui janin. Ekresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat. Efek samping
Efek samping morfin (dan derivat opioid pada umumnya) meliputi depresi pernafasan, nausea, vomitus, dizzines, mental berkabut, disforia, pruritus, konstipasi kenaikkan tekanan pada traktus bilier, retensi urin, dan hipotensi. II. 3. Meperidin
Meskipun strukturnya tidak berhubungan dengan struktur morfin tetapi masih menunjukkan kemiripan karenan mempunyai pusat atom C kuartener, rantai etilen, gugus N-tersier dan cincin aromatik sehingga dapat berinteraksi dengan reseptor analgesik. Meperidin (Pethidine=Dolantin), mempunyai efek analgesik antara morfin dan kodein. Meperidin digunakan untuk mengurangi rasa sakit pada kasus obsetri dan untuk pramedikasi pada anestesi. Sering digunakan sebagai obat pengganti morfin untuk pengobatan penderita kecanduan turunan morfin karena mempunyai efek analgesik seperti morfin tetapi kecenderungan kecanduan lebih rendah. Absorbsi obat dalam saluran cerna cukup baik, obat diikat oleh protein plasma ± 40-50%. Kadar plasma tertinggi obat dicapai dalam 1-2 jam, dengan waktu paro plasma ± 5 jam. Dosis oral, I.M dan S.C : 50-100mg, dapat diulang setiap 3-4 jam.
Meperidin termasuk dalam analgetik golongan narkotik. Pertama kali diperkenalkan pada tahun 1939 oleh Eisleb dan Schaumann. Rumus kimia dari meperidin adalah etil – etil – 1 – 1 – metil – metil – 4 – 4 – fenilpiperidin – karboksilat. Meperidin bekerja pada tempat spesifik pada susunan saraf pusat yang disebut dengan reseptor opioid, dimana tempat kerja meperidin secara spesifik adalah pada reseptor κ .8,9 Sampai saat ini telah teridentifikasi empat tipe reseptor opioid yaitu reseptor mu (μ, dengan subtipe μμ-1 dan μμ-2), reseptor kappa (κ), reseptor delta (δ) dan reseptor sigma (σ).21,25,2
Gambar : Rumus kimia dari meperidin. Farmakokinetik
Jalur pemberian meperidin sama seperti dengan morfin. Pada pemberian secara intramuskuler, meperidin diabsorbsi secara cepat dan komplit, dimana kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 20 – 20 – 60 menit. Bioavailabilitas secara oral mencapai 45% - 75%. Meperidin 64% terikat pada protein plasma, dengan lama kerja 2 – 4 jam dan waktu paruh eliminasinya adalah 3 – 4 jam. Rata – rata metabolisme meperidin adalah 17% per jam. Meperidin 80% dimetabolisir di hati melalui proses hidrolisis dan dimetilasi menjadi normeperidin dan asam meperidinat. Setelah mengalami konjugasi akan dikeluarkan melalui ginjal.21,28 Sebanyak 5% - 10% meperidin diekskresi melalui ginjal tanpa mengalami perubahan, sedangkan kurang dari 10% diekskresi melalui sistem bilier. Farmakodinamik
Meperidin mempunyai efek analgesia, sedasi, euforia dan depresi pernafasan. Efek yang menonjol adalah analgesia. Pada pemberian secara intramuskuler dengan dosis 50 – 50 – 75 75 mg, akan meningkatkan ambang nyeri sampai 50%. Analgesia timbul oleh karena terjadinya penghambatan pengeluaran pen geluaran substansi P di jalur nyeri dan traktus gastrointestinal. Tekanan darah akan mengalami sedikit penurunan pada pemberian meperidin dosis tinggi. Selain itu juga menyebabkan hipotensi orthostatik oleh karena hilangnya refleks sistem saraf simpatis kompensatorik. Pada penggunaan dosis besar, kontraktilitas otot jantung akan menurun, menurunkan volume sekuncup dan tekanan pengisian jantung akan meningkat. Meperidin juga menyebabkan peningkatan laju jantung. Pada sistem respirasi, frekuensi nafas kurang dipengaruhi. Depresi pernafasan terjadi terutama karena penurunan volume tidal dan penurunan
kepekaan pusat nafas terhadap CO2. Selain itu juga pemakaian meperidin akan dapat mengurangi spasme bronkus. Pada otak, penggunaan meperidin (dan opioid pada umumnya) akan mengurangi konsumsi oksigen otak, aliran darah otak dan menurunkan tekanan intra kranial. Tetapi, ada beberapa kasus dimana terjadi sedikit peningkatan tekanan intra kranial pada pasien dengan tumor otak atau trauma kepala. Dibandingkan dengan morfin, angka kejadian mual dan muntah lebih tinggi, tetapi durasinya lebih pendek. Kejadian ini oleh karena adanya stimulasi pada daerah medullary chemoreceptor trigger zone. zone. Meperidin menyebabkan spasme sfingter oddi dan meningkatkan tekanan intra bilier. Selain itu juga menurunkan tonus dan amplitudo kontraksi ureter. Meperidin sudah sering digunakan untuk terapi menggigil pasca anestesi. Penggunaan dosis kecil meperidin ( 10 – 10 – 25 mg ) setiap 5 – 10 menit efektif untuk mengatasi menggigil pasca anestesi. Mekanisme meperidin dalam mengatasi menggigil pasca anestesi diduga disebabkan karena efek obat pada reseptor κ yang akan yang akan menurunkan ambang menggigil. Untuk pencegahan menggigil, beberapa peneliti telah melakukan berbagai percobaan. Dosis meperidin yang digunakan adalah 0,3 mg/ kgBB8; 0,35 mg/kgBB13 dan 0,5 mg/kgBB30, yang ternyata dapat efektif untuk mencegah menggigil pasca anestesi. Efek samping obat
Penggunaan meperidin akan dapat menimbulkan efek samping diantaranya pusing, berkeringat, mulut kering, mual dan muntah, palpitasi, disfori, perasaan lemah, sedasi dan sinkop. Pada beberapa kasus atau keadaan dapat terjadi retensi urin dan obstipasi. Interaksi obat
Kombinasi meperidin dengan obat-obat penghambat monoamin oksidase (MAO inhibitors) dapat mengakibatkan henti nafas, hipotensi atau hipertensi, koma dan hiperpireksia. Pemakaian secara bersama-sama dengan barbiturat, benzodiazepin dan obat-obat depresan sistem saraf pusat akan mempunyai efek yang sinergis terhadap sistem kardiovaskuler, respirasi dan efek sedasi. Monoamin oksidase bertanggung jawab terhadap metabolisme intraneuronal dari simpatomimetik amin. Penghambat MAO bekerja menghambat deaminasi oksidatif dari pembentukan amin secara alamiah. Ada dua isoenzim MAO yaitu tipe A dan B. MAO A selektif terhadap serotonin, dopamin dan norepinephrin, sedangkan MAO B selektif untuk tiramin dan feniletilamin. Obat penghambat MAO yang ada saat ini seperti fenelzin, isokarboksazid dan transilpromin adalah penghambat MAO nonselektif, dimana obat ini akan berpengaruh juga
terhadap enzim selain monoamin oksidase. Efek samping yang dapat terjadi adalah hipotensi ortostatik, agitasi, tremor, kejang, kaku otot, retensi urin, parestesia dan jaundice. Penggunaan opioid pada pasien dengan terapi penghambat MAO harus dengan perhatian khusus, sejak reaksi yang serius akibat pemberian opioid pernah dilaporkan, meskipun jarang. Reaksi yang serius berhubungan dengan pemberian meperidin khususnya yaitu terjadinya hipertermia, hipertensi, kejang dan koma.
BAB III PENUTUP
III. 1 Kesimpulan
1. Analgetika merupakan senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf pusat secara selektif, digunakan untuk mengurangi rasa sakit tanpa mempengaruhi kesadaran. 2. Analgetika bekerja dengan meningkatkan nilai ambang persepsi rasa sakit. 3. Morfin merupakan . . . 4. Meperidin merupakan . . . III. 3. Saran
III. 2. Daftar Pustaka
Tjay, T. H., Rahardja, K. 2002. Obat-obat Penting Khasiat dan Penggunannya edisi 5. Jakarta : PT. Elex Media Computindo, 297-303. Siswandono dan Bambang Soekardjo. 2000. Kimia 2000. Kimia Medisinal Edisi 2. 2. Surabaya : Airlangga University Press Sujatno, H. R. M. 1998. Tinjauan farmakologik obat analgesik narkotik dan analgesik Non narkotik serta kombinasinya untuk rasa nyeri. nyeri. Jakarta: Kedokteran Indonesia., Indonesia., vol: 48, nomor:3, 135-139. Katzung, B. G. 1998. Farmakologi 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik (edisi (edisi 6). Jakarta : EGC, 293-295. Wilmana, P. F. 1995. Farmakologi 1995. Farmakologi dan Terapi edisi 3. Jakarta: Bagian Farmakologi Kedokteran Universitas Indonesia, 208-222.