PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan cukup besar dengan garis pantai (81.000,00 km) yang terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, memiliki lebih kurang 17.508 pulau dan luas perairan sekitar 5,80 juta km2. Sumberdaya perikanan pelagis merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang mempunyai peranan sangat penting terhadap perekonomian nasional karena potensi sumberdayanya yang berlimpah. Di Indonesia sumberdaya perikanan pelagis kecil merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang paling melimpah dan paling banyak ditangkap untuk dijadikan konsumsi masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan. Penyebaran ikan pelagis merata di seluruh perairan Indonesia. Jenis ikan pelagis yang banyak ditangkap di perairan adalah ikan spesies Lemuru (Sardinella longiceps), Tongkol (Euthynnus spp), Layang (Decapterus spp), Kembung (Rastrelinger sp), cakalang (Katsuwonus pelamis) dan jenis ikan pelagis lainnya. Perikanan merupakan salah satu sektor ekonomi potensial yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan manusia yang semakin sulit. Peningkatan pertumbuhan manusia tidak sebanding dengan peningkatan sumber daya alam yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Hal ini mendorong sektor perikanan untuk meningkatkan hasil tangkapannya. Indonesia merupakan negara perairan yang masih memiliki kendala dalam bidang penangkapan ikan. Salah satu kendala yang dihadapi oleh nelayan-nelayan Indonesia adalah keterbatasan pengetahuan dalam penentuan posisi penangkapan yang efisien atau daerah penangkapan ikan yang potensial. Indonesia dibagi dalam 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Pengetahuan yang tepat tentang pengelolaan sumberdaya di WPP dan kemampuan analisa sangat diperlukan dalam pemanfaatan potensi perikanan di WPP tersebut. Sementara, sumberdaya manusia di bidang penangkapan yang memadai baik dari segi jumlah maupun kualitas sangat diperlukan sebagai penentu keberhasilan pengelolaan perikanan, khususnya pada perikanan cakalang. Ikan cakalang (Katsuwanus pelamis) merupakan salah satu ikan ekonomis penting di Indonesia. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (2013) menyebutkan target pertumbuhan ekspor mencapai 19% dimana posisi ikan Tuna, Tongkol dan Cakalang sangat strategis dalam menghasilkan devisa negara, selain sebagai komoditas pencukupan sumber protein hewani untuk penduduk Indonesia. Laporan terkini menyebutkan bahwa kelompok TTC (Tuna Tongkol Cakalang) menyumbang
sebanyak 12% dari total 40% ekspor produk perikanan. Untuk itu status perikanan cakalang di WPP menjadi sangat penting untuk diketahui. Analisa mengenai indeks musim penangkapan, dan perkembangan hasil tangkapan sangat diperlukan. Di daerah tropis seperti Indonesia, satu alat tangkap dapat menangkap banyak spesies ikan dengan karakteristik ikan yang sangat berbeda, seperti ikan demersal dan ikan pelagis. Salah satu jenis sumberdaya ikan laut, yang mempunyai nilai ekonomis penting dan mempunyai prospek yang baik adalah ikan cakalang. Potensi ikan pelagis besar di wilayah pengelolaan perikanan (WPP 4) yaitu di Selat Makassar dan Laut Flores sebesar 193,60 (103 ton/tahun) dan produksinya sebesar 85,10 (103 ton/tahun), dengan tingkat pemanfaatan sebesar 43,96 %. Teknologi penangkapan yang umum digunakan di Indonesia untuk memanfaatkan potensi sumberdaya ikan cakalang adalah purse seine dan pancing ( pole and line, pancing tonda, pancing ulur dan long line). Potensi produksi ikan tangkap di Provinsi Sulawesi Selatan mencapai 900 ribu ton. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis L.) tergolong sumberdaya perikanan pelagis penting dan merupakan salah satu komoditi ekspor nir-migas. Ikan cakalang terdapat hampir di seluruh perairan Indonesia, terutama di Bagian Timur Indonesia. Kegiatan penangkapan ikan tuna termasuk cakalang telah berkembang di perairan Indonesia, khususnya perairan timur Indonesia sejak awal tahun 1970-an. Penangkapan cakalang di Indonesia dilakukan dengan menggunakan huhate (pole and line), pancing tonda (troll line), pukat cincin (purse seine), jaring insang, dan payang. Penangkapan cakalang tertinggi terdapat di Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan dengan menggunakan huhate dan pancing tonda. Peningkatan produksi ikan cakalang di perairan masih dapat ditingkatkan, apabila operasi penangkapannya dapat dilakukan dengan cara yang efektif dan efisien. Salah satu caranya ialah dengan mengetahui musim tangkap ikan, sehingga dapat dilakukan persiapan yang lebih baik untuk melakukan operasi penangkapan yang lebih terarah. Ikan Cakalang bernilai ekonomis tinggi. Dikatakan demikian karena spesies ikan ini digunakan sebagai bahan baku oleh berbagai jenis industri pengolahan seperti cakalang fufu, ikan kayu, ikan kaleng, abon cakalang, dan masih banyak lagi. Ikan cakalang juga tercatat sebagai komoditi ekspor baik dalam bentuk segar, beku maupun olahan. Dari kegiatan produk olahan yang menggunakan ikan cakalang sebagai bahan baku. Untuk mengolah berbagai produk tersebut memerlukan pula investasi untuk membangun kapal, pabrik pengolahan, pabrik es, gudang beku dan lembaga pemasaran. Ikan cakalang adalah nama dagang lokal daerah. Untuk wilayah pasar
yang lebih luas dipakai skipjack tuna sebagai nama dagang internasional. Nama ini diambil dari bahasa Inggris, sedangkan nama ilmiah di sebut Katsuwonus pelamis di ambil dari bahasa Jepang yang artinya ikan keras. Seperti halnya dengan sumberdaya perikanan laut lainnya sumberdaya perikanan cakalang dapat pulih kembali (renewable) namun demikian perlu mendapat perhatian yang sungguhsungguh dalam pengelolaan agar pengusahaan dan potensinya tetap lestari. Cakalang mempunyai kemampuan bergerak sangat cepat dan dapat beruaya jauh, bahkan menyeberangi lautan antar lintas negara. Hal ini menimbulkan penambahan dan pengurangan sediaan disuatu perairan yang berperan penting dalam sediaan lokal pada saat musim penangkapan di suatu daerah penangkapan. Seberapa jauh pengetahuan tentang ruaya dan pengelolaan sumberdaya ini tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri, akan tetapi membutuhkan kerjasama antar negara yang berbatasan dan mempunyai kepentingan yang sama. Perlu ditegaskan bahwa data statistik yang akurat mutlak perlu bagi terlaksananya pengkajian stok, karena kenyataannya masih banyak hambatan untuk memperoleh data sekunder yang terpercaya dan lengkap dilapangan sehingga menyulitkan pengkajiannya. Kekuatan industri pada dasarnya berbasis pada sumberdaya. Penyebaran cakalang di perairan Indonesia luas dengan potensi besar. Pemanfaatannya relatif masih rendah, namun teknologi dalam usaha penangkapan berkembang pesat. Produktivitas beberapa jenis alat penangkap cakalang yang telah biasa digunakan nelayan telah cukup tinggi seperti pole and line dan purse seine. Perkembangan teknologi pengolahan pesat dan kapasitas industri cukup tinggi. Dalam industri penunjang, persediaan bahan/material pembuatan kapal ikan dan rumpon memadai dan harga relatif murah. Demikian pula, tenaga kerja mudah diperoleh dan relatif murah. Kekuatan industri penangkapan cakalang sebagai komoditas bernilai ekonomi tinggi dan peluang pasar terbuka antara lain bahwa pangsa pasar industri penangkapan Indonesia dalam pasar Asia Tenggara cukup besar. Indonesia merupakan eksportir kedua setelah Thailand. Infrastruktur industri perikanan tersedia cukup baik dari pemerintah maupun swasta. Dari sisi pemerintah, sekurang-kurangnya akhir-akhir ini telah ada kemauan politik untuk memperbaiki kebijakan dalam bidang usaha perikanan termasuk cakalang. Kelemahan yang masih menjadi kendala bagi pengembangan industri antara lain pendugaan potensi sumberdaya yang dapat dieksplorasi belum didukung teknologi yang memadai, dan sistem informasi dan basis data belum akurat. Dalam semangat mengoptimalkan eksplorasi sumberdaya, pencapaian target produksi sering dilakukan dengan menerapkan teknologi yang
tidak berwawasan lingkungan sehingga merusak kelestarian lingkungan dan sumberdaya. Dominasi usaha penangkapan oleh nelayan tradisional di wilayah pantai menyebabkan gejala padat tangkap.
Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Untuk mengetahui distribusi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) di seluruh perairan dunia. 2. Untuk mengetahui bentuk morfologi, dan sistematika ikan cakalang (Katsuwonus pelamis). 3. Mengetahui hubungan bentuk tubuh ikan tersebut dengan kebiasaan makannya. 4. Memahami pengaruh faktor fisika dan kimia perairan laut terhadap penyebaran dan cara hidup ikan cakalang (Katsuwonus pelamis).
BIOGEOGRAFI IKAN CAKALANG
Kondisi Oseanografi yang Mempengaruhi Penyebaran Suhu permukaan laut dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menduga keberadaan organisme di suatu perairan, khususnya ikan. Hal ini karena sebagian besar organisme bersifat poikilotermik. Tinggi rendahnya suhu permukaan laut pada suatu perairan terutama dipengaruhi oleh radiasi. Perubahan intensitas cahaya akan mengakibatkan terjadinya perubahan suhu air laut baik horizontal, mingguan, bulanan maupun tahunan. Pengaruh suhu secara langsung terhadap kehidupan di laut adalah dalam laju fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologi hewan, khususnya derajat metabolisme dan siklus reproduksi. Secara tidak langsung suhu berpengaruh terhadap daya larut oksigen yang digunakan untuk respirasi biota laut. Pengaruh suhu terhadap tingkah laku ikan akan terlihat jelas pada waktu ikan melakukan pemijahan. Setiap ikan mempunyai kisaran suhu tertentu untukmelakukan pemijahan, bahkan mungkin dengan suatu siklus musiman yang tertentu pula. Aktifitas metabolisme serta penyebaran ikan dipengaruhi oleh suhu perairan dan ikan sangat peka terhadap perubahan suhu walaupun hanya sebesar 0,03 oC sekalipun. Suhu merupakan faktor penting untuk menentukan dan menilai suatu daerah penangkapan ikan. Berdasarkan variasi suhu, tinggi rendahnya variasi suhu merupakan faktor penting dalam penentuan migrasi suatu jenis ikan.
Pada suatu daerah penangkapan ikan cakalang, suhu permukaan laut yang disukai oleh jenis ikan tersebut biasanya berkisar antara 16-26 oC, walaupun untuk Indonesia suhu optimum adalah 2829 oC dan suhu yang ideal untuk melakukan pemijahan 280 C – 290 C. Penyebaran ikan cakalang di suatu perairan adalah pada suhu 17-23 oC dan suhu optimum untuk penangkapan adalah 20-22 o
C dengan lapisan renang antara 0-40 m. Ikan cakalang sensitif terhadap perubahan suhu,
khususnya waktu makan yang terikat pada kebiasaan-kebiasaan tertentu. Suhu yang terlalu tinggi, tidak normal atau tidak stabil akan mengurangi kecepatan makan ikan. Ikan cakalang dapat tertangkap secara teratur di Samudera Hindia bagian timur pada suhu 27-30 oC. Pengaruh suhu permukaan laut terhadap penyebaran cakalang untuk perairan tropis adalah kecil karena suhu relatif sama (konstan) sepanjang tahunnya. Walaupun demikian suhu dapat menandakan adanya current boundaries. Kemudian dijelaskan penyebaran tuna dan cakalang sering mengikuti penyebaran atau sirkulasi arus. Garis konvergensi di antara arus dingin dan arus panas merupakan daerah yang banyak makanan dan diduga daerah tersebut merupakan fishing ground yang baik untuk perikanan tuna dan cakalang. Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan dalam densitas air laut, gerakan gelombang panjang dan arus yang disebabkan oleh pasang surut. Angin yang berhebus di perairan Indonesia terutama adalah angin musim yang dalam setahun terjadi dua kali perbalikan arah yang mantap, masingmasing disebut angin barat dan angin timur. Penyebaran ikan cakalang sering mengikuti penyebaran atau sirkulasi arus. Daerah pertemuan antara arus panas dan arus dingin merupakan daerah yang banyak organisme dan diduga daerah tersebut merupakan fishing ground yang baik bagi perikanan cakalang. Kuat lemahnya arus menentukan arah pergerakan tuna dan cakalang. Pada kondisi arus kuat, tuna dan cakalang akan melawan arus dan pada arus lemah akan mengikuti arus. Peranan arus terhadap tingkah laku ikan adalah sebagai berikut : 1. Arus mengangkat telur-telur ikan dan anak-anak ikan dari spawning ground ke nursery ground dan selanjutnya dari nursery ground ke feeding ground. 2. Migrasi ikan dewasa dapat dipengaruhi oleh arus yaitu sebagai alat orientasi. 3. Tingkah laku ikan diurnal juga dipengaruhi oleh arus, khususnya oleh arus pasang surut. 4. Arus, khususnya pada daerah-daerah batas alih perairan berbeda mempengaruhi distribusi ikan dewasa dimana pada daerah tersebut terdapat makanan ikan.
5. Arus dapat mempengaruhi aspek-aspek lingkungan dan secara tidak langsung menentukan spesiesspesies tertentu dan bahkan membatasi distribusi spesies tersebut secara geografis. Ikan-ikan yang menginjak dewasa akan mengikuti arus balik ke masing-masing daerah pemijahan, tempat mereka akan melakukan pemijahan. Salinitas merupakan salah satu perameter yang berperan penting dalam sistem ekologi laut. Beberapa jenis organisme ada yang bertahan dengan perubahan nilai salinitas yang besar (euryhaline) dan ada pula organisme yang hidup pada kisaran nilai salinitas yang sempit (stenohaline). Salinitas dapat dipergunakan untuk menentukan karakteristik oseanografi, selanjutnya dapat dipergunakan untuk memperkirakan daerah penyebaran populasi ikan cakalang di suatu perairan. Ikan cakalang hidup pada perairan dengan kadar salinitas antara 33-35 o/oo. Cakalang banyak ditemukan pada perairan dengan salinitas permukaan berkisar antara 32-35 o/oo dan jarang ditemui pada perairan dengan salinitas rendah. Cakalang hidup pada perairan dengan kadar salinitas antara 33-35 o/oo dan jarang dijumpai pada perairan dengan kadar salinitas yang lebih rendah atau tinggi dari itu. Salinitas perairan yang biasa dihuni oleh beberapa jenis tuna berbeda-beda, yaitu 18-38 o/oo untuk madidihang dan tuna sirip biru, 33-35 o/oo untuk tuna albakor dan 32-35 o/oo untuk cakalang.
Gambar 1. Distribusi Vertikal ikan cakalang
Kondisi Geografis yang Mempengaruhi Penyebaran Penyebaran cakalang di perairan Samudra Hindia meliputi daerah tropis dan sub tropis, penyebaran cakalang ini terus berlangsung secara teratur di Samudra Hindia di mulai dari Pantai Barat Australia, sebelah selatan Kepulauan Nusa Tenggara, sebelah selatan Pulau Jawa, Sebelah Barat Sumatra, Laut Andaman, diluar pantai Bombay, diluar pantai Ceylon, sebelah Barat Hindia, Teluk Aden, Samudra Hindia yang berbatasan dengan Pantai Sobali, Pantai Timur
dan selatan Afrika. Penyebaran cakalang di perairan Indonesia meliputi Samudra Hindia (perairan Barat Sumatra, selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara), Perairan Indonesia bagian Timur (Laut Sulawesi, Maluku, Arafuru, Banda, Flores dan Selat Makassar) dan Samudra Fasifik (perairan Utara Irian Jaya). Secara garis besarnya, cakalang mempunyai daerah penyebaran dan migrasi yang luas, yaitu meliputi daerah tropis dan sub tropis dengan daerah penyebaran terbesar terdapat disekitar perairan khatulistiwa. Daerah penangkapan merupakan salah satu faktor penting yang dapat menentukan berhasil atau tidaknya suatu operasi penangkapan. Dalam hubungannya dengan alat tangkap, maka daerah penangkapan tersebut haruslah baik dan dapat menguntungkan. Dalam arti ikan berlimpah, bergerombol, daerah aman, tidak jauh dari pelabuhan dan alat tangkap mudah dioperasika. Musim penangkapan cakalang di perairan Indonesia bervariasi. Musim penangkapan cakalang di suatu perairan belum tentu sama dengan perairan yang lain. Penangkapan cakalang dan tuna di perairan Indonesia dapat dilakukan sepanjang tahun dan hasil yang diperoleh berbeda dari musim ke musim dan bervariasi menurut lokasi penangkapan. Bila hasil tangkapan lebih banyak dari biasanya disebut musim puncak dan apabila dihasilkan lebih sedikit dari biasanya disebut musim paceklik.
Gambar 2. Distribusi Geografis Ikan Cakalang
Daerah penyebaran ikan cakalang membentang disekitar 40º LU - 30º LS. Sebagian dari perairan Indonesia merupakan lintasan ikan cakalang yang bergerak menuju kepulauan Philipina dan Jepang. Itulah sebabnya ikan cakalang dijumpai hampir sepanjang tahun di perairan kita,
kelompok padat disekitar Kalimantan,Sulawesi, Halmahera, Kepulauan Maluku dan sekitar perairan Irian Jaya. Di Indonesia daerah penyebaran dari ikan yang menjadi tujuan penangkapan Pole and Line,
meliputi
seluruh
daerah
pantai,
lepas
pantai
perairan
Indonesia terutama peredaran Indonesia Timur, Selatan Jawa dan Sumatra barat. Cakalang adalah ikan perenang cepat dan hidup bergerombol (schooling) sewaktu mencari makan. kecepatan renang ikan dapat mencapai 50 km/jam. kemampuan renang ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan penyebarannya dapat meliputi skala ruang (wilayah geografis) yang cukup luas, termasuk diantaranya beberapa spesies yang dapat menyebar dan bermigrasi lintas samudera. Pengetahuan mengenai penyebaran tuna dan cakalang sangat penting artinya bagi usaha penangkapannya. Ikan cakalang bersifat epipelagis dan oseanik, peruaya jarak jauh. Cakalang sangat menyenangi daerah dimana terjadi pertemuan arus atau arus konvergensi yang banyak terjadi pada daerah yang mempunyai banyak pulau. Selain itu, cakalang juga menyenangi pertemuan antara arus panas dan arus dingin serta daerah upwelling. Penyebaran cakalang secara vertikal terdapat mulai dari permukaan sampai kedalaman 260 m pada siang hari, sedangkan pada malam hari akan menuju permukaan (migrasi diurnal). Penyebaran geografis cakalang terdapat terutama pada perairan tropis dan perairan panas di daerah lintang sedang. Ada tiga alasan utama yang menyebabkan beberapa jenis ikan melakukan migrasi yaitu : 1. Mencari perairan yang kaya akan makanan. 2. Mencari tempat untuk memijah. 3. Terjadinya perubahan beberapa faktor lingkungan perairan seperti suhu air, salinitas dan arus.
SISTEMATIKA IKAN CAKALANG
Istilah taksonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu taxis yang berarti susunan dan nomos yang berarti hukum. Jadi secara umum berarti penyusunan yang teratur dan bernoma mengenai organisme-organisme kedalam kelompok-kelompok yang tepat dengan menggunakan nama-nama
yang sesuai dan benar. Istilah ini diusulkan pertama kali oleh Condolle pada tahun 1813 untuk klasifikasi tumbuh-tumbuhan. Identifikasi, deskripsi, pengumpulan data tentang contoh organisme yang diamati atau diselidiki juga penelaahan pustaka mengenai organisme tersebut seperti: ekologi, adaptasi, distribusi termasuk dalam kegiatan yang dilakukan oleh seorang taksonom. Sesungguhnya, taksonomi sebagian besar berpijak pada persamaan ciri atau jenis organisme (misalnya serangga). Organisme yang memiliki ciri yang sama dimasukkan ke dalam kelompok yang sama, jadi dalam hal ini kita melakukan klasifikasi.
Gambar 3. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
Cakalang (Katsuwonus pelamis) adalah ikan berukuran sedang dari familia Scombridae (tuna). Satu-satunya spesies dari genus Katsuwonus. Ikan berukuran terbesar, panjang tubuhnya bisa mencapai 1 m dengan berat lebih dari 18 kg. Cakalang yang banyak tertangkap berukuran panjang sekitar 50 cm. Dalam bahasa Inggris dikenal sebagai skipjack tuna. Adapun klasifikasi cakalang
adalah
sebagai
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Actinopterygii
Ordo
: Perciformes
Famili
:Scombridae
Genus
: Katsuwonus
Spesies
: Katsuwonus pelamis
berikut,
Ada beberapa anggota marga lain dari suku Scombridae yaitu:
:
Allothunnus fallai.
Auxis rochei, tongkol lisong.
Auxis tongolis.
Auxis thazard, tongkol krai.
Euthynnus affinis, tongkol como.
Euthynnus alletteratus.
Euthynnus lineatus.
Gymnosarda unicolor.
Katsuwonus pelami, cakalang.
Thunnus lineaus.
Gambar 4. Beberapa spesies dari famili Scombridae
MORFOLOGI IKAN CAKALANG
Morfologi ikan sangat berhubungan dengan habitat ikan tersebut di perairan dan pengenalan struktur ikan tidak terlepas dari morfologi ikan yaitu bentuk luar ikan yang merupakan ciri-ciri yang mudah dilihat, diingat dalam mempelajari dan mengidentifikasi ikan. Bentuk luar ikan seringkali mengalami perubahan dari sejak larva sampai dewasa misalnya dari bentuk
bilateral simetris pada saat masih larva berubah menjadi asimetris pada saat dewasa. Bentuk tubuh ikan merupakan suatu adaptasi terhadap lingkungan hidupnya atau merupakan pola tingkah laku yang khusus. Ciri-ciri morfologi cakalang yaitu tubuh berbentuk fusiform, memanjang dan agak bulat, tapis insang (gill rakes) berjumlah 53- 63 pada helai pertama. Mempunyai dua sirip punggung yang terpisah. Pada sirip punggung yang pertama terdapat 14-16 jari-jari keras, jari-jari lemah pada sirip punggung kedua diikuti oleh 7-9 finlet. Sirip dada pendek, terdapat dua flops diantara sirip perut. Sirip anal diikuti dengan 7-8 finlet. Badan tidak bersisik kecuali pada barut badan (corselets) dan lateral line terdapat titik- titik kecil. Bagian punggung berwarna biru kehitaman (gelap) disisi bawah dan perut keperakan, dengan 4-6 buah garis-garis berwarna hitam yang memanjang pada bagian samping badan .Termasuk ikan yang hidup pada perairan Laut lepas namun dekat dengan garis pantai. Ikan-ikan muda sering masuk ke dalam teluk atau pelabuhan. Gerombolannya terbentuk bersama spesies lain, terdiri dari 100 sampai 5.000 ekor. Bagian tubuh ikan mulai dari anterior sampai posterior berturut – turut adalah : 1) Kepala (caput) : bagian tubuh mulai dari ujung mulut sampai bagian belakang operculum. 2) Tubuh (truncus) : bagian tubuh mulai dari Batas akhir operculum nnsampai anus. 3) Ekor (cauda) : dari anus sampai bagian ujung sirip ekor.
Gambar 5. Bentuk tubuh Fusiform Ikan Cakalang
Kebanyakan ikan memiliki bentuk tubuh streamline dimana tubuh bagian anterior dan posterior mengerucut dan bila dilihat secara transversal, penampang tubuh seperti tetesan air.
Penampang tubuh tersebut akan memberikan kemudahan ikan dalam menembus air sebagai media hidup. Bentuk tubuh tersebut biasanya dikatakan sebagai bentuk tubuh ideal (fusiform). Penampang tubuh ideal tersebut ditunjukkan pada Gambar di atas.
Gambar 6. Morfologi Ikan Cakalang
Cakalang memiliki tubuh yang padat, penampang bulat, lateral line melengkung ke bawah tepat di bawah sirip punggung kedua, sirip dada pendek dan berbentuk segitiga. Warna tubuh pada saat ikan masih hidup adalah biru baja (steel blue), tingled dengan lustrous violet di sepanjang permukaan punggung dan intensitasnya menyusut di sisi tubuh hingga ketinggian pada pangkal sirip dada. Sebagian dari badannya termasuk bagian abdomen, berwarna putih hingga kuning muda, garis-garis vetikal evanescent muda tampak di bagian sisi tubuhnya pada saat baru tertangkap. Jenis ikan cakalang secara normal adalah heteroseksual yaitu dapat dibedakan atas penentuan jenis kelamin jantan dan betina. Sesuai dengan pertumbuhan, maka ikan cakalang di bagi ke dalam enam tingkatan ekologi, yaitu: 1. Tingkat larva dan post larva, yaitu untuk ikan yang panjang kurang dari 15 mm. 2. Prajuvenil, yaitu ikan yang berukuran antara tingkatan post larva dengan tingkatan dimana ikan mulai diusahakan secara komersial. 3. Juvenil, yaitu ikan muda yang ada di perairan neritik dengan ukuran 15 cm. 4. Adolescent, yaitu ikan muda yang menyebar dari perairan neretik ke tengah lautan mencari makan. 5. Spawners, yaitu ikan yang sudah mencapai kedewasaan kelamin (seksual). 6. Spent fish, yaitu ikan yang sudah pernah memijah. Ukuran ikan cakalang di berbagai perairan dunia pada saat pertama kali memijah/ matang gonad adalah berbeda. Dalam perkembangannya, cakalang akan
mencapai tingkat dewasa pada tahap ke empat. Pada tahap ini cakalang dapat mencapai panjang 39.1 cm untuk jantan dan 40.7 untuk yang betina. Ikan cakalang mulai memijah ketika panjang sekitar 40 cm dan setiap kali memijah dapat menghasilkan 1.000.000 – 2.000.000 telur. Cakalang memijah sepanjang tahun di perairan ekuator atau antara musim semi sampai awal musim gugur untuk daerah subtropis. Masa pemijahan akan menjadi semakin pendek dengan semakin jauh dari ekuator. Cakalang umumnya berukuran 40-80 cm dengan ukuran maksimum 100 cm.
KEBIASAAN MAKAN IKAN CAKALANG
Cakalang termasuk ikan perenang cepat dan mempunyai sifat makan yang rakus. Ikan jenis ini sering bergerombol yang hampir bersamaan melakukan ruaya disekitar pulau maupun jarak jauh dan senang melawan arus, ikan ini biasa bergerombol diperairan pelagis hingga kedalaman 200 m. Ikan ini mencari makan berdasarkan penglihatan dan rakus terhadap mangsanya. Gerombolannya terbentuk bersama spesies lain, terdiri dari 100 sampai 5.000 ekor. Termasuk predator oportunistik dengan jenis makanan dari ikan kecil (Clupeidae dan Engraulidae), Cumi-cumi, Crustacea sampai Zooplankton.
Gambar 7 : Gerombolan Ikan Cakalang mencari makan
Kebiasaan cakalang bergerombol sewaktu dalam keadaan aktif mencari makan. Jumlah cakalang dalam suatu gerombolan berkisar beberapa ekor sampai ribuan ekor. Individu suatu schooling cakalang mempunyai ukuran yang relatif sama. Ikan yang berukuran lebih besar berada pada lapisan yang lebih dalam dengan schooling yang kecil, sedangkan ikan yang berukuran kecil berada pada lapisan permukaan dengan kepadatan yang besar. Ikan cakalang ukuran besar berbeda kemampuan adaptasinya dengan ikan cakalang ukuran kecil dalam mengatasi perubahan lingkungan. Dengan mengetahui ukuran ikan cakalang, maka dapat melihat sebagian sifat-sifatnya dalam mengatasi perubahan lingkungan.Di perairan Indonesia terdapat hubungan yang nyata antara kelimpahan cakalang dengan ikan pelagis kecil serta plankton. Dengan semakin banyaknya ikan kecil dan plankton, maka cakalang akan berkumpul untuk mencari makan. Ikan cakalang mencari makan berdasarkan penglihatan dan rakus terhadap mangsanya. Cakalang sangat rakus pada pagi hari, kemudian menurun pada tengah hari dan meningkat pada waktu senja. Secara umum makanan ikan cakalang dapat di golongkan atas 3 kelompok utama, yaitu ikan, crustacea dan moluska. Golongan ikan dapat dikelompokkan pula menjadi dua kelompok yaitu ikan umpan (ikan yang di pakai selama penangkapan) dan ikan lain selain ikan umpan. Ikan umpan yang sering digunakan adalah ikan puri/teri, stolephorus spp;ikan lompa, Thrysinabaelama dari famili Engraulidae ; ikan gosau dan pura-pura, Spratcloiders sp (Famili Cluipeidea). Dengan mengetahui ikan umpan yang digunakan pada saat penangkapan, maka isi lambung selain ikan umpan dapat digolongkan sebagai makanan alami ikan cakalang.
REPRODUKSI IKAN CAKALANG
Ikan cakalang mulai memijah ketika panjang sekitar 40 cm. Setiap kali memijah cakalang dapat menghasilkan 1.000.000 – 2.000.000 telur. Fekunditas meningkat dengan meningkatnya ukuran tetapi sangat bervariasi, jumlah telur permusim pada ikan betina dengan ukuran fork length
41-48 cm antara 8.000 – 2.000.000 telur. Cakalang memijah sepanjang tahun di perairan khatulistiwa, antara musim semi sampai awal musim gugur di daerah sub tropis, dan waktu pemijahan akan semakin pendek dengan semakin jauh dari khatulistiwa. Pemijahan cakalang sangat dipengaruhi oleh perairan panas, sebagian besar larva cakalang ditemukan di perairan dengan suhu di atas 24 oC . Musim pemijahan cakalang ditentukan berdasarkan tingkat kematangan gonad dan ditemukannya larva di perairan tersebut. Perbedaan ukuran cakalang pertama kali matang gonad dipengaruhi oleh ketersediaan makanan, suhu perairan, letak lintang dan bujur serta kecepatan pertumbuhan.
‘ Gambar 8. Siklus hidup dari famili Scombridae Estimasi fekunditas dapat dipergunakan untuk menghitung besarnya sediaan dan potensi reproduksi. Selain faktor biologi, faktor ekologis dari perairan yang menjadi tempat hidup ikan tersebut juga mempengaruhi tigkat kelahiran dan pertumbuhan ikan. Ikan Cakalang jantan pertumbuhannya leboih cepat dibandingkan dengan ikan Cakalang betina. Ikan Cakalang termasuk tuna yang tidak selektif di dalam kebiasaan makannya, karena itu akan memakan apa saja yang dijumpai bahkan dapat memakan jenis-jenisnya sendiri. Tingkat kematangan gonad yang diamati secara morfologi pada ikan cakalang terdapat variasi kriterianya. Walaupun demikian, puncak pemijahan cakalang di Laut Banda dan sekitarnya, terjadi pada bulan Juni dan Desember dengan karakteristik sebagai ikan pemijah majemuk ( multi spawner ). Dalam penelitian ini ditemukan cakalang terkecil yang sudah matang gonad berukuran 43,6 cm FL jantan dan 42,8 cm FL . Di perairan sebelah Selatan Bali dan sebelah Barat Sumatera
adalah cakalang jantan dan betina terkecil yang sudah matang gonad berukuran 41,7 cm FL dan 42,8 cm FL. Sedangkan yang ditemukan di perairan Sorong berukuran 49 cm FL jantan dan 47 cm FL betina. Di perairan Philipina, cakalang betina yang pertama kali matang gonad hanya berukuran 34 cm FL, tetapi kebanyakan di atas 40 cm FL. Adanya diferensiasi panjang cakalang pertama kali matang gonad diduga karena adanya perbedaan kecepatan tumbuh sehingga ikan – ikan yang di tetaskan pada waktu yang sama akan mencapai tingkat kematangan gonad pada umur yang berbeda. Jenis kelamin (Sex ratio) ditentukan secara morfologis, yaitu mengamati bentuk dan warna gonad. Berdasarkan seluruh contoh gonad yang diamati, ternyata cakalang jantan dominan pada bulan September dan Desember; proporsi sebaliknya yaitu pada bulan Oktober. Apabila dikaitkan dengan tingkat kematangan gonad, maka fluktuasi perbandingan jenis kelamin ini diduga berkaitan dengan berlangsungnya aktivitas pemijahan dan mortalitas alami. Berdasarkan ukuran panjang tubuh, perbandingan jenis kelamin seimbang pada ikan yang berukuran 50,2 – 55,4 cm. Pada ukuran yang lebih kecil didominasi oleh ikan betina dan yang lebih besar dari ukuran tersebut didominasi oleh ikan jantan.
PENUTUP
Kesimpulan 1. Cakalang mempunyai kemampuan bergerak sangat cepat dan dapat beruaya jauh, bahkan menyeberangi lautan antar lintas negara. 2. Sumberdaya perikanan cakalang dapat pulih kembali (renewable) namun demikian perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dalam pengelolaan agar pengusahaan dan potensinya tetap lestari. 3. Penyebaran ikan cakalang di suatu perairan adalah pada suhu 17-23 oC dan suhu optimum untuk penangkapan adalah 20-22 oC dengan lapisan renang antara 0-40 m, ikan cakalang sensitif terhadap perubahan suhu, khususnya waktu makan yang terikat pada kebiasaan-kebiasaan tertentu. 4. Cakalang banyak ditemukan pada perairan dengan salinitas permukaan berkisar antara 32-35 o/oo dan jarang ditemui pada perairan dengan salinitas rendah. 5. Cakalang memiliki tubuh yang padat, penampang bulat, lateral line melengkung ke bawah tepat di bawah sirip punggung kedua, sirip dada pendek dan berbentuk segitiga. Warna tubuh pada saat ikan masih hidup adalah biru baja (steel blue), tingled dengan lustrous violet di sepanjang permukaan punggung dan intensitasnya menyusut di sisi tubuh hingga ketinggian pada pangkal sirip dada.
Saran Dalam pengelolaan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), perlu diperhatikan aspek kehidupannya seperti habitat, cara makan, dan kemampuan pemijahannya yang berguna dalam pelestarian spesies ikan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, S. 2011. Potensi Perikanan Indonesia. http://repository.ipb.ac.id [20 November 2013]. Bahar, S., dan Priyanto R. 1987. Telaah Mengenal Panjang Cagak Ikan Cakalang (Katsuwonus Pelamis) Yang Tertangkap Di Indonesia Pada Tahun 1985. Jurnal Pendidikan Perikanan Laut. Vol. X, No. 41 : 11-17. Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta. Kekenusa, J. S., Victor, N. R., Watung, dan Djoni, H. Analisis Penentuan Musim Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus Pelamis) Di Perairan Manado Sulawesi Utara). Jurnal Ilmiah Sains. Vol. XII, No. 2 : 2–17. Universitas Sam Ratulangi, Manado. Limbong, M. 2008. Pengaruh Suhu Permukaan Laut Terhadap Jumlah Dan Ukuran Hasil Tangkapan Ikan Cakalang di Perairan Teluk Palabuhanratu Jawa Barat. http://repository.ipb.ac.id [20 November 2013]. Lumi, K. W, Eddy, M., dan Max, W. Nilai Ekonomi Sumberdaya Perikanan di Sulawesi Utara (Studi Kasus Ikan Cakalang, Katsuwonus pelamis). Jurnal Ilmiah Platax. ISSN: 2302-3589. Vol. X, No. 3 :1-5. Universitas Sam Ratulangi, Manado. Manik, N. 2007. Beberapa Aspek Biologi Ikan Cakalang (Katsuwonus Pelamis) Di Perairan Sekitar Pulau Seram Selatan Dan Pulau Nusa Laut. Jurnal Oseanologi dan Limnologi. ISSN 0125 – 9830. Vol. XII, No. 33 : 17-25. Pusat Penelitian Oseanografi- LIPI, Jakarta. Mukhlis. 2008. Pemetaan Daerah Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus Pelamis) Dan Tongkol (Euthynnus Affinis) Di Perairan Utara Nanggroe Aceh Darussalam. http://repository.ipb.ac.id [19 November 2013]. Nugroho, A. Ikan di Perairan Laut. http://wiadnyadgr.lecture.ub.ac.id [Oktober 2013]. Rafael, M. R. 2011. Ikan Domersal Perairan Laut. http://damandiri.or.id [5 November 2013]. Rasyid, M. A. 2010. Sistem Rangka Ikan. http://fpik.bunghatta.ac.id [03 November 2013]. Setiyawan, A., Setiya, T. H., dan Wijopriono. 2013. Perkembangan hasil tangkapan per upaya dan pola musim penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan Prigi, Provinsi JawaTimur). Jurnal Depik. ISSN 2089-7790. Vol. II, No. 2 : 76-81. Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi SDI, Jakarta. Simbolon, D. 2010. Eksplorasi Daerah Penangkapan Ikan Cakalang Melalui Analisis Suhu Permukaan Laut dan Hasil Tangkapan di Perairan Teluk Palabuharatu. Jurnal Mangrove dan Pesisir. ISSN: 1411-0679. Vol. X, No. 1 : 42-49. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Wibawa, T. A., Dian, N., dan Budi, N. 2012. Sebaran Spasial Kelimpahan Ikan Cakalang (Katsuwonus Pelamis) Berdasarkan Analisis Data Satelit Oseanografi. http://lipi.go.id [02 November 2013]. Wouthuyyzen, S., Teguh, P., dan Nardin, M. 2008. Makanan dan Aspek Reproduksi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Laut Banda : Suatu Studi Perbandingan. http://coremap.or.id [13 November 2013].