BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kawasan hutan terluas kedua di dunia setelah Brazilia. Namun demikian, sejak tiga dekade terakhir ini kawasan hutan di Indonesia mengalami degradasi yang sangat serius dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Hal ini selain karena jumlah penduduk yang mengandalkan hutan sebagai sumber penghidupan terus meningkat dari tahun ke tahun, juga terutama karena pemerintah secara sadar telah me-ngeksploitasi sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan dan devisa negara (state revenue) yang paling diandalkan setelah sumber daya alam minyak dan gas bumi. Dari sisi pembangunan ekonomi, eksploitasi sumber daya hutan yang dilakukan pemerintah telah memberi kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Melalui kebijakan pemberian konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH), atau konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) pemerintah mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional, meningkatkan pendapatan
dan
devisa
negara,
menyerap
tenaga
kerja,
menggerakan
roda
perekonomian dan meningkatkan pendapatan asli daerah.Tetapi, dari sisi yang lain, pemberian konsesi HPH dan HPHH serta HTI kepada pihak Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga menimbulkan bencana nasional, karena kerusakan sumber daya hutan akibat eksploitasi yang tak terkendali dan tak terawasi secara konsisten selain menimbulkan kerugian ekologi (ecological cost) yang tak terhitung nilainya, juga menimbulkan kerusakan social dan budaya (social and cultural cost), termasuk pembatasan akses dan penggusuran hak-hak masyarakat serta munculnya konflik-konflik atas pemanfaatan sumber daya hutan di daerah.[1]
Hukum kehutanan kehutanan merupakan masalah yang sangat menarik untuk dikaji dan di analisis karena berkaitan dengan dengan bagaimana norma, kaedah atau peraturan perundang-undangan perundang-undangan dibidang kehutanan dapat dijalankan dan dilaksanakan dengan baik.Kehutanan yang asal adalah hutan merupakan karunia dan amanah dari tuhan yang maha esa, merupakn harta kekeayaan yang diatur oleh pemerintah, memberikan kegunaan bagi umat manusia, oleh sebab itu wajib di jaga, ditangani, dan digunakan secara
maksimal
untuk
sebesar-besarnya
kemakmuran
rakyat
secara
berkesinambungan.Hutan sebagai salah satu penentu penyangga kehidupan dan sumber kesejahteraan rakyat, semakn menurun keadaannya, oleh sebab itu eksistensinya harus dijaga secara terus menerus, agara tetap abadi, dan ditangani dengan busi pekerti yang luhur, berkeadilan, berwibawa, transparan, dan professional serta bertanggung jawab.[2]
Makalah ini mencoba untuk memaparkan kronologi sejarah hukum pengelolaan sumber daya alam , khususnya Hukum kehutanan dan sumber daya hutan di Indonesia, yang dimulai dengan paparan mengenai produk hukum pada masa pemerintahan kolonial Belanda, pemerintahan bala tentara Dai Nippon Jepang, sampai instrumen hokum yang digunakan pemerintah pada masa pasca kemerdekaan Indonesia, termasuk pada masa pemerintahan orde lama, orde baru, dan masa pemerintahan orde reformasi. Kinerja untuk menelusuri sejarah perkembangan produk hukum pengelolaan sumber daya hutan dari masa ke masa paling tidak dapat memberi pema-haman tentang ideologi, politik hukum, bentuk dan subtansi hukum yang di-implementasikan pada masing-masing era pemerintahan, serta implikasi ekonomi, ekologi, sosial, dan budaya yang ditimbulkan dari implementasi instrumen hokum tersebut.Serta penjelasan tentang pengertian hutan, asas dan tujuan hutan, kawasan hutan, status dan fungsi hutan.
B.
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka agar permasalahan dapat dibahas secara operasional sesuai dengan yang diharapkan maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana sejarah hukum kehutanan di indonesia? 2. Apa pengertian hutan dan pemanfaatan kawasan hutan? 3. Bagaimana azas dan tujuan hukum kehutanan di diindonesia? 4. Bagaimana status dan fungsi hutan?
C.
Maksud dan tujuan 1.
Mengetahui bagaimana sejarah hokum kehutanan di Indonesia
2.
Untuk mengetahui definisi dari hutan dan cara pemanfaatan kawasan hutan.
3.
Untuk memngetahui tujuan dan asas hokum kehutanan di Indonesia
4.
Untuk mengetahui status dan fungsi hutan
BAB II PEMBAHASAN
SEJARAH HUKUM KEHUTANAN DI INDONESIA
A.
Sejarah hukum kehutanan di Indonesia Pembahasan perkembangan hukum kehutanan Indonesia dapat dikategorikan dalam tiga historika, yaitu pengaturan kehutanan sebelum penjajahan, masa penjajahan Pemerintah Hindia Belanda, dan masa setelah kemerdekaan. 1.
Sebelum Penjajahan Pada masa sebelum penjajahan Belanda, persoalan kehutanan diatur oleh hokum adat masing-masing komunitas masyarakat. Sekalipun pada masa itu tingkat kemampuan tulis baca anggota masyarakatnya masih rendah, tetapi dalam setiap masyarakat tersebut tetap ada hukum yang mengaturnya. Von Savigny mengajarkan bahwa hukum mengikuti jiwa/semangat rakyat (volkgeist) dari masyarakat tempat hukum itu berlaku. Karena volkgeist masing-masing masyarakat berlainan, maka hukum masing-masing masyarakat juga berlainan.[3] Hukum yang dimaksudkan dan dikenal pada masa itu adalah hokum adat. Iman Sudiyat menyimpulkan, Hukum Adat itu hukum yang terutama mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungannya satu sama lain, baik berupa keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup dalam masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat.[4]
Era zaman sebelum masuknya pengaruh asing (Zaman Malaio Polinesia), kehidupan masyarakat di nusantara ini mengikuti adat istiadat yang dipengaruhi oleh alam yang serba kesaktian.[5] Alam kesaktian tidak terletak pada alam kenyataan yang dapat dicapai dengan pancaindera, melainkan segala sesuatunya didasarkan pada apa yang dialami menurut anggapan semata-mata terhadap benda kesaktian, paduan kesaktian, sari kesaktian, sang hyiang kesaktian, dan pengantara kesaktian.[6] Pada masa itu, pengantara kesaktian memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakatnya, termasuk dalam proses menemukan dan memberikan hukuman. Sedangkan pada zaman Hindu, tepatnya dimasa Raja Tulodong, Kerajaan Mataram yang meliputi wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan ibukotanya Medang (di Grobongan). Raja tersebut pernah mengeluarkan titah pada tahun 919 M yang mengatur hak raja atas tanah, bahwa tanah hutan yang diperlukan raja ditentukan oleh raja sendiri batasnya, tetapi apabila menyangkut tanah sawah hak milik rakyat maka raja harus membelinya lebih dahulu.[7] Hemat kami, inilah awal mulanya pengakuan resmi bahwa hutan dan segala isinya berada di bawah kekuasaan raja. Sejak masa tersebutlah dikenal istilah hutan kerajaan, yang kemudian terus populer di sebagian besar wilayah nusantara. Berbeda halnya dengan di Aceh, setelah masuknya Agama Islam pada tahun 1078 M di Peurlak dan Kerajaan Pasai, maka semua tatanan kehidupan masyarakatnya dipengaruhi oleh ajaran agama Islam, termasuk tatanan hukumnya. Hak tertinggi dalam penguasaan tanah dan hutan di Aceh bukanlah pada raja, melainkan pada Allah yang Maha Kuasa. Semua tanah dan hutan dalam wilayah kemukiman di Aceh selama belum berada dalam kekuasaan seseorang dinamakan tanoh hak kullah (hak Allah) atau uteun poeteu Allah. Setiap orang warga masyarakatnya
dapat dengan leluasa menebang kayu sekedar untuk bahan perumahannya, mengambil hasil hutan, berburu binatang dan mencari ikan. Apabila hal ini dilakukan sebagai mata pencaharian maka ada kewajiban memberikan sebagian hasil untuk desanya.[8] 2.
Masa Penjajahan Didalam masa penjajahan terdapat 3 (tiga) masa antara lain: a.
Masa Penjajahan oleh VOC (1602 – 1799) Sebelum dijajah oleh Pemerintah Hindia Belanda, nusantara ini, terutama Jawa dan Madura, berada dibawah penjajahan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC), yang lebih populer dengan sebutan kompeni. Kompeni ini melakukan penjajahan untuk mendapatkan komoditas dagang dengan biaya dan harga murah. Selain rempah-rempah, lada dan kopi, hasil hutan pun, terutama kayu jati Jawa juga menjadi andalan komoditi perdagangan mereka.Pada masa sebelum VOC berkuasa (1619), para raja di Jawa masih mempunyai kekuasaan dan kepemilikan atas tanah dan hutan di wilayah pemerintahannya. Raja mendistristribusikan tanah kepada pegawai-pegawai istana untuk membiayai kegiatan mereka dan sebagai pengganti gaji yang harus diterimanya. Tanah yang dibagikan oleh raja dan pejabat-pejabat istana kepada penduduk berfungsi sebagai sumber pendapatan dan sumbangan tenaga kerja untuk kerajaan.[9] Pada waktu VOC mulai terlibat dalam kegiatan penebangan kayu (timberm extraction), para pekerja dari penduduk desa sekitar hutan sudah mempunyai ketrampilan yang tinggi. Karenanya, VOC tinggal mengatur dan memanfaatkan ketrampilan penduduk tersebut untuk meningkatkan intensitas penebangan kayu agar lebih banyak uang yang diperoleh VOC.
Sejak tahun 1620 kompeni mengeluarkan larangan penebangan kayu tanpa izin, dan diadakan pemungutan cukai atas kayu dan hasil hutan. Besarnya cukai dimaksud adalah sepuluh persen (10%). Pada tanggal 10 Mei 1678, kompeni memberikan izin kepada saudagar Cina yang bernama Lim Sai Say untuk
menebang
kayu
di
seluruh
daerah
sekitar
Betawi,
dan
mengeluarkannya dari hutan untuk keperluan kota, asal membayar cukai sepuluh persen. Sekitar tahun 1760, hutan daerah Rembang sebagian besar sudah ditebang habis oleh kompeni. Kemudian kompeni memerintahkan orang-orangnya dari Rembang untuk menebang kayu di Blora, daerah kekuasaan susuhunan. Pada masa itu, kompeni menganggap bahwa sumber daya alam (hutan dan semua lahannya), baik yang diperolehnya karena penaklukan atau karena perjanjian adalah menjadi kepemilikannya. Suatu keputusan yang dicantumkan dalam Plakat tanggal 8 September 1803, yang berlaku untuk daratan dan pantai pesisir Timur Laut Pulau Jawa mulai dari Cirebon msampai ke pojok Timur, yang menegaskan bahwa semua hutan kayu di Jawa harus dibawah pengawasan kompeni sebagai hak milik (domein) dan hak istimewa raja dan para pengusaha (regalita). Tidak seorang pun, terutama terhadap hutan yang sudah diserahkan oleh Raja kepada kompeni, boleh menebang kayu, apalagi menjalankan suatu tindakan kekuasaan. Kalau larangan ini dilanggar, maka pelanggarnya akan dijatuhi hukuman badan.[10]Dari gambaran historis di atas, dapat dikemukakan beberapa hal. Pertama, sejak menguatnya kekuasaan VOC di Jawa telah menimbulkan implikasi pada beralihnya pemilikan dan penguasaan (domein) terhadap tanah (lahan) dari domein raja menjadi domeinnya kompeni. Raja tak lagi berdaya atas wilayah hutan dalam
kerajaannya.Namun pun demikian, hasil hutan berupa kayu masih dapat diperuntukkan bagi kepentingan raja dan bupati. Sedangkan rakyat jelata, tidak ada lagi hak atas hutan disekitarnya (gemeente). Kedua, pada masa kompeni sudah ada peraturan dan penerapan hukum kehutanan bagi masyarakat. Pemberlakuan hukum kehutanan pada masa itu lebih diutamakan untuk kepentingan kompeni dalam mengeksploitasi dan mengeksplorasi sumber daya alam.Pada waktu itu ada anggapan, bahwa hak rakyat atas hutan jati hanya dilimpahkan kepada kelompok orang tertentu, tidak kepada setiap orang. Hal ini seperti tertuang dalam Plakat tanggal 30 Oktober 1787 yang memberi izin kepada awak hutan (boskhvolkenen), yang bekerja sebagai penebang kayu untuk kepentingan kompeni. Ketiga, merujuk pada Surat Keputusan Kompeni tanggal 10 Mei 1678 tentang pemberian izin menebang kayu kepada saudagar Cina, dapatlah dipahami bahwa sejak pemerintahan zaman kompeni sudah ada kolaborasi antara etnis Cina dengan para penguasa dalam hal eksploitasi sumber daya hutan, terutama kayu. Mengingat telah terlalu lama etnis Cina berkiprah dalam bidang perhutanan, maka wajar saja kalau sebagian besar izin HPH (hak pemanfaatan hasil hutan) dipegang oleh kelompok mereka hingga sekarang ini.Banyaknya kasus kerusakan hutan di berbagai daerah di nusantara ini, terindikasi kuat akibat ulah para pengusaha tersebut, yang senyatanya dikuasai oleh kalangan nonpribumi. Karena hutan tempat resapan air telah digunduli, maka pribumi, masyarakat adat di pedesaan dan kelompok marginal perkotaan seringkali harus menjadi korban banjir. Keempat, yang penting dikemukakan dalam konstelasi hukum kita, adalah musnahnya hak ulayat (wewengkon) atas penguasaan hutan desa oleh
masyarakat desa di Jawa selama penjajahan VOC. Hutan di wewengkon desa tertentu hanya boleh ditebang atau dimanfaatkan oleh warga dari desa yang bersangkutan. Orang dari desa lain, kalau hendak mengambil kayu dari hutan, harus minta izin kepada demang (petinggi) desa tersebut. b.
Masa Penjajahan Hindia Belanda (1850 – 1942) Sekalipun pengaturan dalam bentuk peraturan tertulis tentang kehutanan sudah ada sejak berkuasanya VOC. Tetapi secara lebih meluas, momentum awal pembentukan hukum tentang kehutanan di Indonesia, dapat dikatakan dimulai sejak tanggal 10 September 1865, yaitu dengan diundangkannya pertama sekali Reglemen tentang Hutan (Boschreglement) 1865. Reglemen ini merupakan awal mula adanya pengaturan secara tertulis upaya konservasi sumber daya hayati. [11]
c.
Masa penjajahan Jepang (1942-1945) Begitu menduduki kepulauan nusantara dan mengusir kekuasaan kolonial Belanda yang telah menanamkan pengaruh berabad-abad lamanya, Pemerintah Militer Jepang membagi daerah yang didudukinya ini menjadi 3 (tiga) wilayah komando, yaitu (1) Jawa dan Madura, (2) Sumatera, dan (3) Indonesia bagian Timur. Pada tanggal 7 Maret 1942 Pemerintah Militer Jepang mengeluarkan Undang-undang (Osamu Sirei) Tahun 1942 Nomor 1 yang berlaku untuk Jawa dan
Madura,
dimaklumatkan
bahwa
seluruh
wewenang
badan-badan
pemerintahan dan semua hukum serta peraturan yang selama ini berlaku, tetap dinyatakan berlaku kecuali apabila bertentangan dengan Peraturanperaturan Militer Jepang.[12] Berdasarkan maklumat di atas, jelas bahwa semua hukum dan undang-undang yang berlaku pada masa kolonial Pemerintahan Hindia Belanda tetap diakui sah oleh Pemerintah Militer Jepang, sebagai penjajah
berikutnya. Sehubungan dengan pemberlakuan Osamu Sirei Tahun 1942 Nomor 1 tersebut, maka dalam bidang hokum kehutanan tetap berlaku ketentuan yang sudah ada pada masa kolonial Belanda, yaitu Boschordonantie atau Ordonansi Hutan 1927 beserta dengan berbagai peraturan pelaksanaannya (Boschverordening 1932) 3.
Masa setelah kemerdekaan Dalam masa ini terbagi menjadi 3 masa, yaitu : a)
Masa Pemerintahan Orde Lama (1945 – 1965) Perkembangan hukum di Indonesia dalam era pergolakan, antara tahun 19451950 menurut Soetandyo Wignyosoebroto, mengalami sedikit komplikasi. Runtuhnya kekuasaan Jepang pada akhir Perang Pasifik segera saja “mengundang pulang” kekuasaan Hindia Belanda yang mengklaim dirinya secara de jure sebagai penguasa politik satu-satunya yang sah di nusantara ini. Kekuasaan Republik Indonesia tidaklah diakuinya, kecuali kemudian diakui secara de facto.[13] Di daerah-daerah bekas kekuasaan Hindia Belanda – yang telah menamakan dirinya Indonesia – hukum warisan kolonial Hindia Belanda, termasuk hukum tentang kehutanan diteruskan berlakunya, tanpa perlu membuat aturan-aturan peralihan macam apapun.Produk perundang-undangan Pemerintah Militer Jepang dinyatakan tidak lagi berlaku.
b)
Masa Pemerintahan Orde Baru (1966 – 1998) Tak lama setelah Rezim Orde Baru berkuasa, tanggal 24 Mei 1967 diundangkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kehutanan (UUPK). Berlakunya UUPK produk bangsa Indonesia ini dimaksudkan demi kepentingan nasional, dan sekaligus pula
mengakhiri keberlakuan Boschordonantie 1927 yang telah berlaku selama 40 tahun lamanya c)
Masa Pemerintahan Reformasi (1998 – 2006) Rezim Reformasi berupaya menata kehidupan berbangsa dan bernegara dengan melakukan reformasi konstutisi, reformasi legislasi, dan reformasi birokrasi. Sebagai dampak dari reformasi legislasi, maka banyak peraturan perundang-undangan produk Orde Baru yang diganti dan disesuaikan dengan semangat reformasi. Salah satunya adalah dicabut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, yang diganti dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK).
B.
Pengertian hutan dan kawasan hutan Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undang-undang tersebut, Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalampersekutuan alam lingkungan, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.[14] Dari definisi hutan yang disebutkan, terdapat unsur-unsur yang meliputi : a)
Suatu kesatuan ekosistem
b)
Berupa hamparan lahan
c)
Berisi sumberdaya alam hayati beserta alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
d)
Mampu memberi manfaat secara lestari.
Keempat ciri pokok dimiliki suatu wilayah yang dinamakan hutan, merupakan rangkaian kesatuan komponen yang utuh dan saling ketergantungan terhadap fungsi ekosistem di bumi. Eksistensi hutan sebagai subekosistem global menenpatikan posisi penting sebagai paru-paru dunia. Untuk dapat dikategorikan hutan, sekelompok pohon-pohon harus mempunyai tajuk-tajuk yang cukup rapat, sehingga merangsang pemangkasan secara alami, dengan cara menaungi ranting dan dahan di bagian bawah, dan menghasilkan tumpukan bahan organic/seresah yang sudah terurai maupun yang belum, di atas tanah mineral. Terdapat unsur-unsur lain yang berasosiasi, antara lain tumbuhan yang lebih kecil dan berbagai bentuk kehidupan fauna.[15] Sedangkan kawasan hutan lebih lanjut dijabarkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, perubahan status dan fungsi kawasan hutan, yaitu wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Dari definisi dan penjelasan tentang kawasan hutan, terdapat unsur-unsur meliputi: a)
suatu wilayah tertentu
b)
terdapat hutan atau tidak tidak terdapat hutan
c)
ditetapkan pemerintah (menteri) sebagai kawasan hutan
d)
didasarkan pada kebutuhan serta kepentingan masyarakat.
Dari unsur pokok yang terkandung di dalam definisi kawasan hutan, dijadikan dasar pertimbangan ditetapkannya wilayah-wilayah tertentu sebagai kawasan hutan.
Kemudian,
untuk menjamin diperolehnya manfaat yang sebesar-besarnya dari hutan dan berdasarkan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat serta berbagai faktor pertimbangan fisik, hidrologi dan ekosistem, maka luas wilayah yang minimal harus dipertahankan sebagai kawasan hutan adalah 30 % dari luas daratan.
Berdasarkan kriteria pertimbangan pentingnya kawasan hutan,
maka sesuai dengan
peruntukannya menteri menetapkan kawasan hutan menjadi : a)
wilayah yang berhutan yang perlu dipertahankan sebagai hutan tetap
b)
wilayah tidak berhutan yang perlu dihutankan kembali dan dipertahankan sebagai hutan tetap.
Pembagian kawasan hutan berdasarkan fungsi-fungsinya dengan kriteria dan pertimbangan tertentu, ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah RI No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Pasal 5 ayat (2), sebagai berikut : a)
Kawasan Hutan Konservasi yang terdiri dari kawasan suaka alam (cagar alam dan Suaka Margasatwa), Kawasan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam), dan Taman Buru.
C. 1)
b)
Hutan Lindung
c)
Hutan Produksi
Asas dan tujuan hukum kehutanan Asas asas hokum kehutanan Sebelum membicarakan asas hokum kehutanan perlu dikemukakan pengertian asas hokum.Menurut Van Eikema homes asas hokum itu tidak boleh dianggap sebagai norma hokum konkret.Akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar umum atau petunjuk bagi hokum yang berlaku.Pembentukan hokum praktis perlu beroreintasi pada asas hokum tersebut.Dengan kata lain, asas hokum ialah dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hokum positif.[16] Asas bukanlah kaedah hokum yang konkrit melainkan merupakan latar belakang peraturan yang konkrit dan bersifat konkrit dan bersifat umum atau abstrak,.Pada umumnya asas peraturan yang konkrit dan yang dalam peraturan hokum konkrit[17]
Untuk menemukan asas-asas hokum tersebut harus dicari sifat umum dalam kaidah atau peraturan konkrit.Hal ini berarti menunjuk pada kesamaan yang terdapat dalam ketentuan yang konkrit itu.Dari hasil analisis terhadap berbagai peraturan prundangundangan kehutanan, dapat dikemukakan asas hokum kehutanan yang paling menonjol antara lain: a)
Asas Manfaat
Asas manfaaat mengandung makna bahwa pemanfaaatan sumber daya hutan harus dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk keakmuran rakyat banyak(lihat pasal 13 ayat (1) UU No 5 tahun 1967). b)
Asas kelestarian
Asas kelestarian mengandung pengertian bahwa pemanfaatan sumber daya hutan harus senantiasa memperhatikan kelestarian sumber daya alam hutan agar mampu memberiakan manfata yang terus-menerus(lihat pasal 13 ayat (2) UU no % tahun 1967 jo. Pasal 3 peraturan pemerintah nomor 7 tahun 1990 Hak pengusahaan hokum tanaman industri).tujuan asas kelestarian hutan adalah: a. Agar tidak terjadi penurunan atau kekosongan produksi (production gap) dari jenis kayu pergangan (commercial treepecies) pada rotasi(cutting cycle) yang berikut dan seterusnya b. Untuk penyelamatan tanah dan air (soil and water) c. Unutk perlindungan alam c)
Asas Perusahaan
Asas perusahaan adalah pengusaha harus mampu memberikan keuntungan financial yang layak(lihat pasal 13 ayat(2) UU nomor 5 tahun 1967 jo peraturan pemerintah nomor 7 tahun 1990
d)
Asas Perlindungan hutan
Asas perlindungan hutan adalah suatu asas yang setiap orang atau badan hokum harus ikut berperan serta untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia. 2)
Tujuan Hukum kehutanan
Tujuan hokum kehutanan adalah melindungi, memanfaatan, dan melestarikan hutan agar dapat berfungsi dan memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat secara lestari.Hukum kehutanan mempunyai sifat khusus (lex specialis) karena hokum kehuatan ini hanya mengatur hal-hal yang berakaitan dengan hutan dan kehutanan.Apabila ada peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur materi yang bersangkutan dengan hutan dan kehutanan maka akan diberlakukan lebih dahulu adalah hokum kehutanan.Oleh karena itu, hokum hokum kehutanan disebut sebagai lex specialis, sedangkan hokum lainnya seprti agraria dan hokum lingkungan sebagai hokum umum (lex specialis derogate legi generalis)
D. 1)
Status dan fungsi hutan Status hutan Menurut pasal 5 UU No 41 1999 tentang kehutanan, Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: a.
hutan Negara yaitu hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.
b.
hutan hak yaitu hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Hak atas tanah, misalnya hak milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), dan hak guna bangunan (HGB).
2)
Fungsi hutan
Hutan mempunyai tiga fungsi, menurut pasal 6 ayat (1) UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan yaitu: ·
fungsi konservasi,
·
fungsi lindung, dan
·
fungsi produksi.
Berdasarkan tiga fungsi tersebut, pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok, yaitu hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. 1) Hutan Konservasi Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan konservasi terdiri atas kawasan hutan suaka alam dan kawasan hutan pelestarian alam. a)
Hutan Suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok
sebagai
kawasan
pengawetan
keanekaragaman
tumbuhan,
satwa
dan
ekosistemnya serta berfungsi sebagai wilayah penyangga kehidupan. Kawasan hutan suaka alam terdiri atas cagar alam, suaka margasatwa dan Taman Buru b)
Kawasan Hutan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik didarat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan pelestarian alam terdiri atas taman nasional, taman hutan raya (TAHURA) dan taman wisata alam
2)
Hutan Lindung Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan
3)
Hutan Produksi Hutan produksi adalah kawasan hutan yang diperuntukkan guna produksi hasil hutan untuk memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya serta pembangunan, industri, dan ekspor pada khususnya. Hutan produksi dibagi menjadi tiga, yaitu hutan produksi terbatas (HPT), hutan produksi tetap (HP), dan hutan produksi yang dapat dikonservasikan (HPK). Secara umum fungsi hutan adalah untuk kehidupan Sebagai bagian dari cagar lapisan biosfer, hutan memiliki banyak fungsi yang sangat bermanfaat bagi kehidupan makhluk di muka bumi.Tak hanya manusia, hewan dan tumbuhan pun sangat memerlukan hutan untuk kelangsungan hidupnya. Allah menciptakan hutan bukan sekedar melengkapi keindahan bumi-Nya, namun di sini lah kita akan menemukan fungsi hutan yang sangat penting bagi kehidupan makhluk di muka bumi. Ada beberapa fungsi hutan yang sangat vital bagi kehidupan makhluk di bumi, diantaranya adalah sebagai berikut;
1.
Menghasilkan Oksigen bagi Kehidupan Hutan adalah kumpulan pepohonan yang berperan sebagai produsen oksigen. Tumbuhan hijau akan menghasilkan oksigen dari hasil proses fotosintesis yang berlangsung di daun tumbuhan tersebut. Dengan jumlah pepohonan yang cukup luas, tentunya hutan akan memberikan suplay kebutuhan oksigen yang cukup besar bagi kehidupan di muka bumi ini. Bisa Anda bayangkan bagaimana bumi ini tanpa hutan. Sebagai contoh saat kita berada di kawasan padang tandus yang tidak ditumbuhi pepohonan hijau, apa yang Anda rasakan? Dan setelah itu cobalah berteduh di bawah
sebuah pohon yang rindang. Tentu akan terasa jelasperbedaan suasana yang kita rasakan. Begitulah fungsi hutan sebagai penyedia oksigen kehidupan.
2.
Menyerap Karbon Dioksida Karbon dioksida dibutuhkan oleh tumbuhan untuk proses fotosintesis.Sebuah keseimbangan alam yang luar biasa telah Allah ciptakan untuk kehidupan manusia. Karbon dioksida adalah gas berbahaya apabila dihirup secara berlebih oleh manusia. Sebagai contoh Anda menghirup asap kendaraan bermotor, ini jelas akan sangat membahayakan manusia.Namun ternyata di sisi lain tumbuhan memerlukan gas tersebut
untuk
menghasilkan
oksigen
yang
sangat
dibutuhkan
makhluk
bumi.Keberadaan hutan yang luas di muka bumi, akan memberikan peluang penyerapan karbon dioksida yang lebih besar. Akibatnya udara di muka bumi akan bersih dan jumlah oksigen yang dihasilkan hutan pun akan semakin besar.Inilah fungsi hutan yang cukup luar biasa Allah ciptakan untuk manusia.Anda tentu masih sangat familiar dengan istilah efek rumah kaca alias pemanasan global. Inilah peran tersebut. Gas penyebab efek rumah kaca adalah karbon dioksida (CO2).
3.
Mencegah Erosi Keberadaan kawasan hutan yang luas juga akan membantu mencegah erosi atau pengikisan tanah. Pengikisan tanah dapat disebabkan oleh air. Hutan yang luas akan menyerap dan menampung sejumlah air yang besar. Akibatnya banjir dan tanah longsor dapat dikembalikan. Kawasan yang tandus dan gersang biasanya akan rawan dengan bencana longsor. Inilah fungsi hutan yang lain dan kerap kita lupakan. Para penebang hutan secara liar melakukan penggundulan hutan tanpa rasa tanggung jawab
terhadap keselamatan bumi. Mereka sebenarnya tak hanya berkhianat kepada banyak orang, tapi juga kepada bumi sebagai tempat tinggal mereka. 4. Kawasan Lindung dan Pariwisata Hutan juga berfungsi sebagai tempat untuk melindungi aneka hewan dan tumbuhan langka. Habitat mereka dilestarikan di kawasan hutan khusus. Di samping itu hutan juga dapat berfungsi sebagai objek penelitian, tempat wisata dan berpetualang.[18]
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
Bedasarkan uraian tersebut diatas sehingga kesimpulan dan saran yang dapat dikemukakan dalam dalam rangka pelaksanaan atau penegakan hokum kehutanan di Indonesia adalah sebagai berikut: A.
Kesimpulan 1. Hukum kehutanan di Indonesia terutama berkaitan dengan pelaksanaan atau penegakan hokum dibidang kehutanan merupakan masalah yang sangat penting karena hutan merupakan berkah dan titipan dari Hukum kehutanan di Indonesia terutama berkaitan dengan pelaksanaan atau penegakan hokum dibidang kehutanan merupakan masalah yang sangat penting karena hutan merupakan berkah dan titipan dari Tuhan Yang Maha Esa, merupakan harta kekayaan yang diatur oleh pemerintah, memberikan kegunaan bagi umat manusia, oleh sebab itu wajib dijaga, ditangani, dan digunakan secara maksimal untuk sebesar-sebesarnya kemakmuran rakyat secara berkesinambungan 2. Hutan sebagai salah satu penentu penopang kehidupan dan sumber kemakmuran masyarakat, semakin menurun keadaannya, oleh sebab itu eksistensinya harus dijaga secara terus-menerus, agar tetap abadi, dan ditangani dengan budi pekerti yang luhur, berkeadilan, berwibawa, transparan, dan professional dan baertanggung jawab
B.
Saran Disarankan agar pemerintah perlu meningkatakan pelaksanaan dan penegakan hokum dibidang kehutanan meliputi profesionalisme sumber daya manusia, koordinasi, dan pengawasan antar instansipemerintah lainnya, dengan upaya-upaya yang direncanakan dan dibuat secara baik dan dapat dilaksanakan
Disarankan agar pengusaha hutan mengoptimalkan kapabilitas ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mendukung pengelolaan dan pemanfaatan potensi hutan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
1. SEJARAH HUKUM PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA , eprints.ums.ac.id/347/1/3._NYOMAN_NURJAYA.pdf Diakses pada tanggal 7 maret 2012 pukul 14.00 wib 2. Abdul Muis Yusuf, Hukum Kehutanan Di Indonesia, (Rineka Cipta, Jakarta 2011) 3. Pendapat Savigny ini dipengaruhi oleh pemikiran de Montesque dalam bukunya berjudul “LEsprit de Lois” yang mengemukakan adanya hubungan antara jiwa atau semangat (spirit) sesuatu bangsa dengan hukumnya. Lihat, Lili Rasyidi dan Ira Rasyidi, Dasar ‐Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001 4. 5. 6. 7.
Iman Sudiyat, Asas ‐Asas Hukum Adat, Liberty, Yogyakarta, 1985 Hilman Hadikusuma, Sejarah Hukum Adat Indonesia, Alumni, Bandung, 1983 H.M. Yamin, Tatanegara Madjapahit Sapta Parwa I, Prapanca, Djakarta, tt. T.I. El Hakimy, Hukum Adat Tanah Rimba di Kemukiman Leupung Aceh Besar, Pusat Studi Hukum Adat dan Islam, FH Unsyiah, Banda Aceh , 1984 8. Erman Rajagukguk, Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup, Chandra Pratama, Jakarta, 1995, 9. Bambang Pamulardi, Hukum Kehutanan & Pembangunan Bidang Kehutanan, Rajawali Pers, Jakarta 1999, 10. Salim, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal 11. Soetandyo Wignyosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional; Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1994 12. Soetandyo Wignyosoebroto, Op. Cit. 13. Undang-undang Nomor 41 tahun 2009 tentang kehutanan 14. DEFINISI DAN PENGERTIAN HUTAN MENURUT AHLI KEHUTANAN www.silvikultur.com/definisi_pengertian_hutan.html diakses tgl 5 maret 2012 pukul 15.30 wib 15. Sudikno mertokesumo op cit, Liberty yogyakarta, 1986 16. FUNGSI HUTAN :: Aneka Macam Fungsi Hutan, www.anneahira.com/fungsihutan.htm , diakses tanggal 16 Maret 2012 pukul 09.11 wib