BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masalah ketenagakerjaan menjadi hal yang sangat marak terjadi di indonesia, salah satunya adalah masalah kontak kerja atau perjanjian kerja antara pihak perusahaan dan pekerja yang bermasalah.
Masalah ini terkadang
diselesaikan dengan jalan damai dan tak jarang pula diselesaikan dengan cara anarkisme. Permasalahan ini jika dibiarkan berlarut-larut tentu akan menimbulkan dampak bagi opersional perusahaan, dan secara tidak langsung akan menimbulkan dampak bagi sistem perekonomian indonesia. Kita tentu ketahui bahwa suatu sistem akan bekerja dengan baik apabila semua unsur yang ada dalam sistem tersebut bekerja dengan baik. Begitu pula dengan sistem perekonomian Indonesia, ketika salah satu unsur dalam hal ini adalah perusahaan -perusahaan nasional yang tidak beroprasi tentu akan mengganggu jalannya sistem. Terlebih lagi kondisi perekonomian indonesia saat ini yang masih kurang stabil. Apabila terus t erus berlarut
– larut larut maka tidak menutup kemungkinan sistem tersebut akan rusak. Selain uraian diatas, masalah ini juga dapat memperburuk kepercayaa investor asing terhadap iklim berbisnis di Indonesia, karena mereka bisa saja mencap negara kita sebagai negara yang tidak aman dan nyaman untuk berbisnis. Hal ini juga berkaiatan dengan kekuatan hukum yang berlaku di Indonesia.
1
Salah satu contoh kasus yang berkaitan dengan perjanjian kerja ini adalah kasus PT X, di Batam. Kasus ini berkaitan dengan dengan adanya ketidak sepakatan antara pihak beberapa pekerja dengan pihak perusahaan berkaitan dengan status pekerja. Kasus inilah yang akan menjadi bahan pembahasan kita didalam makalah ini.
B. RUMUSAN MASALAH 1. Apa yang menjadi alasan PT X ingin mengubah status karyawan dari pekerja menjadi tenaga kontrak? 2. Apa yang menjadi alasan karyawan tidak menyetujui kontrak yang menyatakan pengalihan status dari pekerja menjadi tenaga kontrak?
C. TUJUAN PENULISAN 1. Untuk mengetahui alasan PT X ingin mengubah status karyawan dari pekerja menjadi tenaga kontrak 2.
untuk mengetahui alasan karyawan tidak menyetujui kontrak yang menyatakan pengalihan status dari pekerja menjadi tenaga kontrak
2
BAB II PEMBUKAAN A. PENGERTIAN PERJANJIAN Dalam kitab undang undang hukum Perdata terjenahan R. subekhi dan R. Tjitrosudibio tidak dipakai istilah perjanjian melainkan yang dipaki adalah perikatan sebagaimana disebut dalam pasal 1233 KUH Perdata Jadi kedua istilah tersrbut sama artinya . tetapi menurut pendapat R.Wirjno Prodjodikoro bahwa: Perjanjian dan persetujuan adalah berbeda. Persetujuan adalah suatu kata sepakat antara dua pihak atau lebih mengenai harta benda kekayaan mereka yang bertujuan mengikat kedua belah pihak ,sedangkan perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak ,dalam mana satu pihak berjanji atau di anggap berjanji ntuk melakukan sesuatu. Hal sedangkan pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu Dari kedua definisi yang di kemukakan aleh R. subekti dan R. Wirjono prodjodikoro pada dasarnya tidak ada perbedaan yang tidak prinsipil Adanya perbedaan tersebut hanya terletak pada redaksi kalimat yang dipilih untuk mengutarakan maksud dan pengertianya saja . yang pasti dari perjanjian itu kemudian akan menimbulkan suatu hubungan antara kedua orang atau keduapihak tersebut.
3
Jadi perjanjian dapat menerbitkan perikatan di antara kedua orang atau kedua pihak yang membuatnya itu, didalam menampakkan atau mewujudkan bentuknya ,perjanjian dapat berupa suatu dangkain perkataan yang mengandung janji janji atau kesangupan yang diucapkan atau dituliskan. Dengan demikian hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah bahwa perjamjian itu dapat menimbulkan perikatan dikalangan para pihak yang mengadakan perjanjiawn itu. Jadi perjajian adalah merupakan salah satu sumber perikatan disamping sumber-sumber perikatan lainya, perjanjian disebut sebagai persepakatan atau persetujuan, sebab para pihak yang membuatnya tentunya menyepakati isi dari perjanjian yang dibuat untuk melaksanakan sesuatu prestasi tertentu.
B. SYARAT SAH PERJANJIAN Menurut Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, sahnya perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu: 1. Sepakat untuk mengikatkan diri Sepakat maksudnya adalah bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju untuk seia sekata mengenai segala sesuatu yang diperjanjikan. Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas, artinya tidak ada pengaruh dipihak ketiga dan tidak ada gangguan; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian berarti mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian atau mngadakan hubungan hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum;
4
3. Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian. Syarat ini diperlukan untuk dapat menentukan kewajiban debitur jika terjadi perselisihan. Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai suatu pokok yang paling sedikit ditetapkan jenisnya; 4. Sebab yang halal Sebab ialah tujuan antara dua belah pihak yang mempunyai
maksud
untuk
mencapainya.
Menurut
Pasal
1337
KUHPerdata, sebab yang tidak halal ialah jika ia dilarang oleh Undang Undang, bertentangan dengan tata susila atau ketertiban. Menurut Pasal 1335 KUHPerdata, perjanjian tanpa sebab yang palsu atau dilarang tidak mempunyai kekuatan atau batal demi hukum.
Dua syarat yang pertama yaitu kesepakatan dan kecakapan yang disebut syarat-syarat subyektif. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif, karena mengenai perjanjian itu sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan. Menetapkan kapan saat lahirnya perjanjian mempunyai arti penting bagi: a.
kesempatan penarikan kembali penawaran;
b.
penentuan resiko;
c.
saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa;
d.
menentukan tempat terjadinya perjanjian. Di dalam KUH Perdata tidak disebutkan secara jelas tentang momentun
terjadinya kontrak. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata hanya disebutkan cukup dengan adanya konsensus para pihak. Di berbagai literatur disebutkan empas teori
5
yang membahas momentum terjadinya kontrak, yaitu teori pernyataan. pengiriman, pengetahuan, dan penerimaan Keempat hal itu dijelaskan berikut ini. 1. Teori Perrnyataan (Uitingstheorie) Menurut teori pernyataan, kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat pihak yang menerima menawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu. Jadi, dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat baru menjatuhkan ballpoint untuk menyatakan menerima, kesepakatan sudah terjadi. Kelemahan teori ini adalah sangat teoretis karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis. 2. Teori Pengiriman (Verzending Theori) Menurut teori ini saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya kontrak. Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai patokan tanggal lahirnya kontrak. 3. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie) Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan. 4. Teori penerimaan (Ontvangtheorie) Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya jawaban, tak peduli apakahsurattersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saatsurattersebut sampai pada alamat si penerimasuratitulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya kontrak. Pelaksanaan Perjanjian Itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, artinya
6
pelaksanaan perjanjian harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk memperoleh hak milik ialah jual beli. Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja.
C. SYARAT BATALNYA PERJANJIAN Pembatalan Perjanjian Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian ataupun batal demi hukum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi karena: 1. Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki; 2. Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya; 3.
Terkait resolusi atau perintah pengadilan;
4. Terlibat hukum;
D. BENTUK – BENTUK PERJANJIAN Berdasarkan pasal 1233 KUH Perdata dapat diketahui bahwa perikatan di bagi menjadi dua golongan besar yaitu: 1. Perikatan perikatan yang bersumber pada persetujuan (perjanjian); 2. Perikatan prikatan yang bersumber pada undang undang;
7
Selanjutnya menurut pasal 1352 KUH .Perdata terhadap perikatan perikatan yang bersumber pada undang undang di bagi lagi menjadi dua golongan yaitu: 1. Perikatan perikatan yang bersumber pada undang undang ,timbul dari undang undang sebaai akibat perbuatan orang; 2. Perikatan perikatan yang bersumber pada undang undang bedasarkan perbuatan seseorang manusia; Menurut pasal 1353 KUH Perdata perikatan tersebut diatas dapat dibagi lagi menjadi dua macam atau dua golongan yaitu sebagai berikut: 1. Perikatan perikatan yang bersumber pada undang undng berdasarkan perbuatan seseorang yang tidak melanggar hukum. Misalnya sebagai mana yang di atur dalam pasal 1359 KUH Perdata yaitu tentang mengurus kepentingan orang lain secara sukarela dan seperti yang si atur dalam pasal 1359 KUH Perdata tentang pembayaran yang tidak di wajibkan; 2. Perikatan perikatan yang bersumber pada undang-undang berdasarkan perbuatan seseorang yang melanggar hukum . hal ini diatur didalam pasal 1365 KUH Perdata. E. PERJANJIAN KERJA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN (UUTK) 1. Pengertian
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUTK) pada prinsipnya telah memberikan defenisi normatif mengenai perjanjian kerja. Pasal 1 angka 14 UUTK mendefenisikan perjanjian kerja
8
sebagai perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak, Atas pengertian tersebut, maka dapat dijelaskan beberapa unsur penting perjanjian kerja sebagai berikut: 1. Adanya perbuatan hokum/peristiwa hokum berupa perjanjian 2. Adanya
subjek
atau
pelaku
yakni
pekerja/buruh
dan
pengusaha/pemberi kerja yang masing-masing membawa kepentingan; 3. Memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak Peristiwa hokum perjanjian merupakan tindakan yang dilakukan oleh pekerja/buruh dan pengusaha/pemberi kerja untuk saling mengikatkan diri dalam suatu hubungan yang bersifat normative atau saling mengikat. Dalam berbagai teori ilmu hokum perikatan, perjanjian merupakan bentuk dari perikatan dimana 2 (dua) pihak mengikatkan diri untuk berbuat, memberikan sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu yang dituangkan dalam suatu perjanjian baik secara lisan maupun secara tertulis. Perjanjian selalu menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pelaku yang terlibat di dalamnya. Konsekuensi dari tidak terpenuhinya hak dan kewajiban tersebut dapat berupa batal atau kebatalan terhadap perjanjian tersebut dan bahkan memungkinkan menimbulkan konsekuensi penggantian kerugian atas segala bentuk kerugian yang timbul akibat tidak terpenuhinya prestasi yang diperjanjikan. Dalam
UUTK
hubungan
kerja
baru
dapat
timbul
setelah
pekerja/buruh dan pengusaha/pemberi kerja mengikatkan diri dalam suatu
9
perjanjian kerja. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 50 UUTK yang menyatakan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Dengan demikian tidak ada keterkaitan apapun yang menyangkut pekerjaan antara pekerja/buruh dan pengusaha tertentu apabila sebelumnya tidak ada perjanjian yang mengikat keduanya. Pelaku atau merupakan syarat subjektif untuk pemenuhan keabsahan suatu perjanjian. Dalam konteks ketenagakerjaan, pelaku berkedudukan sebagai pewujud perjanjian kerja. Tanpa pelaku, maka tentunya tidak akan ada perjanjian yang terjadi. Karena secara prinsip pelakulah yang berinisiatif, bertindak dan bertanggungjawab atas dimulainya keterikatan sampai pada berakhirnya keterikatan. 2. Bentuk dan Syarat Sahnya Perjanjian Kerja
Pada prinsipnya perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis maupun lisan. Berdasarkan ketentuan Pasal 51 angka 1 UUTK maka bentuk tertulis maupun lisan dari suatu perjanjian kerja dimungkinkan untuk dilakukan oleh para pihak yang menjadi pelaku. Meskipun demikian terdapat batasan-batasan yang harus terpenuhi dalam pembuatan perjanjian kerja baik lisan maupun tertulis tersebut. Perjanjian Kerja pada prinsipnya dapat dibuat secara lisan dan tertulis dengan syarat terpenuhinya syarat-syarat keabsahan perjanjian kerja sebagaimana dicantumkan dalam UUTK. Pasal 53 mensyaratkan beberapa hal untuk absahnya suatu perjanjian kerja sebagai berikut:
10
a.
Kesepakatan kedua belah pihak;
b.
Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c.
Adanya pekerjaan yang diperjanjikan;
d.
Pekerjaan
yang
ketertiban
umum,
diperjanjikan kesusilaan,
tidak dan
bertentangan peraturan
dengan
perundang-
undangan yang berlaku. Kesepakatan diartikan sebagai bentuk persetujuan para pihak atas apa yang diperjanjikan dan hal-hal yang termuat dalam perjanjian. Apabila perjanjian itu dibuat dalam bentuk tertulis seperti kontrak, maka tentunya dinyatakan dalam draft kontrak tersebut. Namun apabila dibuat secara lisan, maka cukup dengan pernyataan yang secara bersama disetujui oleh kedua belah pihak dan sebaiknya disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi. Sepakat (konsensualitas) dalam teori hokum perjanjian merupakan azas yang sangat penting existensinya. Sebab suatu perjanjian belum dapat dikatakan utuh sebagai suatu perjanjian apabila tidak disepakati oleh pihak lainnya. Dengan kata lain subjektifitas perjanjian tersebut
belum
terpenuhi
seutuhnya
dan
tentunya
belum
dapat
diimplementasikan dan belum berkekuatan hokum. Oleh karena itu perjanjian tersebut belum dapat dianggap sebagai suatu peristiwa hokum yang secara otomatis belum menimbulkan hak dan kewajiban antara satu pihak dengan pihak lainnya. Syarat kedua yakni kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hokum memberikan batasan terhadap orang-orang yang belum
11
dapat mengemban tanggungjawab. Sebagai contoh adalah anak-anak atau orang yang belum dewasa dan masih dalam pengawasan atau pengampuan. Selanjutnya mengenai keharusan adanya objek yang diperjanjikan. Secara logis kita dapat menyimpulkan bahwa tidak mungkin akan ada kesepakatan apabila tidak ada hal yang disepakati. Dalam perjanjian kerja, yang menjadi substansi kesepakatan adalah pekerjaan dan berbagai hal yang terkait dengannya. Apabila substansi tersebut tidak dikemukakan maka tentunya tidak dapat dikatakan sebagai perjanjian kerja. Pasal 54 UUTK mensyaratkan pemenuhan hal-hal sebagai berikut untuk terpenuhinya keabsahan suatu perjanjian kerja: a. Nama, alamat perusahaan, dan jenis perusahaan; b. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh; c. Jabatan atau jenis pekerjaan; d. Tempat pekerjaan; e. Besarnya upah dan cara pembayarannya; f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh ; g. Memulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; h. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa perjanjian kerja dapat buat dalam bentuk tertulis dan lisan. UUTK memberikan batasan-batasan
12
tertentu mengenai pelaksanaan bentuk-bentuk perjanjian kerja sebagai bentuk perlindungan hokum terhadap para pihak dalam perjanjian. Berdasarkan
waktu
berlakunya
perjanjian,
UUTK
mengenal
perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). PKWT dan PKWTT diatur dalam Pasal 56 UUTK dan secara terperinci pelaksanaannya diatur dalam Kepmenakertrans No. 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah bentuk perjanjian kerja
antara
pekerja/buruh
dengan
pengusaha
untuk
mengadakan
hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu. UUTK maupun
Kepmenakertrans
memberikan
batasan
tertentu
terhadap
pelaksanaan bentuk perjanjian kerja ini. Pasal 59 UUTK membatasi halhal tertentu yang dapat diberlakukan dengan PKWT sebagai berikut: a.
Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b.
Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c.
Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d.
Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Pengaturan lebih lanjut mengenai PKWT dijabarkan lebih lanjut
dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
13
Secara garis besarnya terdapat beberapa jenis PKWT yang dapat diuraikan sebagai berikut: Pekerj aan yang sekal i selesai atau yang sementara si fatnya
Pasal 3 Kepmenakertrans No. 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu membatasi jenis pekerjaan dimaksud yang didasarkan atas selesainya pekerjaan te rtentu yang lamanya tidak melebihi masa 3 (tiga) tahun dengan pengecualian tertentu. Sebagai contoh adalah proyek pekerjaan tertentu yang masa penyelesaiannya dibatasi oleh waktu tertentu dan tidak melebihi 3 (tiga) tahun. Dalam jenis perjanjian kerja jenis ini, pengusaha diwajibkan untuk mencantumkan syarat
formil
perjanjian
kerja
tertulis
(Pasal
54
UUTK)
dan
batasan/indikator selesainya pekerjaan yang diperjanjikan. Jenis perjanjian kerja ini dapat diperpanjang dan apabila pekerjaan yang diperjanjikan tidak dapat terselesaikan dalam waktu yang telah disepakati, maka dimungkinkan untuk dilakukan pembaharuan PKWT. Pembaharuan sebagaimana dimaksud dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perjanjian kerja. Selama tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari tidak ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha. Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan maka PKWT tersebut putus demi hukum pada saat selesainya pekerjaan. PKWT untu k pekerj aan yang ber sif at musim an
14
Jenis pekerjaan ini sangat tergantung pada musim dan atau cuaca. PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu. Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu dapat dilakukan dengan PKWT sebagai pekerjaan musiman. PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan dimaksud hanya diberlakukan untuk pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan. Pengusaha diwajibkan untuk membuat daftar nama-nama pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan. Jenis PKWT ini tidak dapat diperbaharui. PKWT untu k pekerj aan yang ber hubu ngan dengan produk baru
Untuk jenis PKWT ini disyaratkan penerapannya pada pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru dan atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Jenis PKWT ini hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dengan kemungkinan dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali selama 1 (satu) tahun.
Perj anji an kerja hari an l epas
Jenis perjanjian kerja ini dapat diterapkan untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta
15
upah didasarkan pada kehadiran. Perjanjian kerja jenis ini mensyaratkan waktu bekerja yang kurang dari 21 (dua puluh satu) hari dalam sebulan. Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT. Dalam perjanjian kerja ini pengusaha diwajibkan untuk membuat perjanjian tertulis harian lepas dengan para pekerja/buruh dengan sekurang-kurangnya memuat hal-hal
sebagai
berikut: a. nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja; b. nama/alamat pekerja/buruh; c. jenis pekerjaan yang dilakukan; d. besarnya upah dan/atau imbalan lainnya. Sebagaimana jenis PKWT pertama,
maka pengusaha diwajibkan
membuat daftar yang kemudian disampaikan kepada instansi yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan.
16
BAB II PEMBAHASAN A. ALASAN PT X MENGUBAH STATUS KARYAWAN Menurut pihak PT X, perusahaan mereka merupakan perusahaan musiman. Yakni perusahaan Jenis pekerjaan ini sangat tergantung pada musim dan atau cuaca. Sesuai undang-undang, perusahaan musiman dapat mempekerjakan karyawan dengan status sebagai pegawai kontrak dan bukan pegawai tetap. Dengan mempekerjakan karyawan dengan status sebagai karyawan kontrak dengan masa kontrak 6 bulan, perusahaan mendapatkan keuntungan yaitu perusahaan dapat melakukan pemutusan kontrak (PHK) tanpa memberikan pesangon kepada karyawaannya. Pihak perusahaan bepatokan pada undang-undang Tenaga Kerja tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Berdasarkan waktu berlakunya perjanjian, UUTK mengenal perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). PKWT dan PKWTT diatur dalam Pasal
56
UUTK
dan
secara
terperinci
pelaksanaannya
diatur
dalam
Kepmenakertrans No. 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah bentuk perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu. UUTK maupun Kepmenakertrans
17
memberikan batasan tertentu terhadap pelaksanaan bentuk perjanjian kerja ini. Pasal 59 UUTK membatasi hal-hal tertentu yang dapat diberlakukan dengan PKWT sebagai berikut: a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Seperti dijelaskan diatas PT Raja Tungga mengklaim perusahaan mereka masuk pada perusahaan yang besifat musima. Tetapi hingga saat berita tersebut diterbitkan belum ada kepastian dari pihak Mendakertrans tentang status perusahaan tersebut. Perusahaan
mengambil
langkah
seperti
ini
kemungkinan
untuk
mengantisipasi kemungkinan terburuk yaitu bangkrutnya perusahaan. Karena dengan mengubah status semua karyawan, perusahaan dapat melakukan penghematan
terhadap
pengeluaran
perusahaan,
apabila
sewaktu-waktu
perusahaan mengalami kebangkrutan.
B. ALASAN KARYAWAN MENOLAK TANDA TANGAN KONTRAK
18
Alasan mengapa karyawan ada yang menolak menandatangani kontrak adalah karena dengan status sebagai pegawai kontrak maka mereka akan kehilangan hak mereka mendapat pesangon jika mereka di PHK. Dengan alasan tersebut beberapa pegawai bersikeras mempertahankan status mereka, akibatnya mereka harus rela tidak bekerja selama sehari di perusahaan tersebut. Pesangon merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh pegawai tetap ketika mereka di PHK. Akan tetapi jika status mereka adalah pegawai kontrak, maka perusahaan akan bisa melakukan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PWKT). Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah bentuk perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu
atau
untuk
pekerja
tertentu.
UUTK
maupun
Kepmenakertrans
memberikan batasan tertentu terhadap pelaksanaan bentuk perjanjian kerja ini. jika PWKT ini berlaku, maka jika pekerja di PHK maka pekerja tidak akan mendapatkan pesangon. Namun banyak kejanggalan dari pernyataa pihak PT X tentang status mereka sebagai perusahaan musiman, sebab status itu mereka nyatakan secara sepihak dan tanpa persetujuan dari pihak Mendakertrans.
19
C. ANALISIS MASALAH Dalam permasalahan dalam artikel tersebut, pihak yang sangat dirugikan sebenarya adalah karyawan. Karyawan yang sejak awal masuk perusahaan tersebut menendatangani kontrak sebagai pegawai tetap di perusahaan tersebut secara sepihak dan tiba-tiba diminta menandatangani kontrak sebagai pegawai kontrak yang berakibat pada hilangnnya hak pesangon mereka. Selain itu pihak perusahaan juga melakukan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PWKT) yaitu selama 6 bulan. Itu artinya mereka hanya aka dipekerjakan selama 6 bulan kedepan dan setelah itu belum ada kepastian apakah kontrak mereka akan diperpanjang atau tidak. Jika melihat dari hal Pasal Undang – Undang Tenaga Kerja, tentang syarat sahnya perjanjian, kontak yang dilakukan oleh pihak PT Raja Tungga sebenarnya tidak dapat dinyatakan sah. Menurut Pasal 53 UUTK, suatu perjanjian dinyatakan sah apabila adanya kata sepakat oleh kedua belah pihak. Kontrak tersebut jelas tidak memenuhi persyaratan tersebut karena dibuat tanpa adanya pemberitahuan atau negosiasi dengan pihak buruh sndiri. Selain itu, jika memang pihak perusahaan menginginkan karyawan dengan status sebagai pegawai kontrak saja, semestinya mereka melakukan hal ini sejak awal perekkrutan karyawan. Dengan begitu karyawan yang bekerja mengetahui dengan pasti status mereka sebagai pegawai kontrak. Seperti yang telah dipaparkan diatas pihak yang paling dirugikan adalah pihak karyawan, berkaitan dengan penghapusan pesangon ketika mereka di PHK.
20
Jika dilihat sebenarnya ini merupakan strattegi perusahaan untuk menghemat biaya pesangon, karena mereka menyadari kondisi perusahaan mereka saat ini yang tidak sehat yang mungkin mengharuskan mereka akan melakukan PHK. Namun untuk mengurangi pengeluaran, sebelum melakukan PHK mereka mengubah status karyawan menjadi pegawai kontrak. Sampai artikel tentang masalah ini dimuat, pihak pekerja masih terus berjuang untuk mempertahankan hak mereka mereka melalui perundingan anara pihak serkat buruh, perusahaan dan Diknakertrans. Keputusan untuk memutuskan apakah perusahaan tersebut termasuk perusahaan musiman atau tidak diserahkan kepada Disnakertran. Disnakertrans memutuskan perusahaan termasuk musiman, status karyawan akan berubah menjadi kontrak, namun jika bukan perusahaan musiman, perusahaan harus tetap mempekerjakan buruh seperti biasanya.
21
BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Alasan Pihak PT X membuat kontrak pengubahan status karyawan dari pegawai tetap menjadi pegawai swasta adalah karena mereka mengklaim perusahaan mereka sebagai perusahaan yang bersifat musiman. Dengan hal tersebut perusahaan dapat mempekerjakan karyawan dengan status pegawai kontrak dan jika terjadi PHK maka karyawan tersebt tidak berhak memperoleh pesangon. Tentunya jika hal ini terjadi, maka perusahaan dapat menghemat pengeluarannya. 2. Alasan Pihak Karyawan menolak menandatangani kontrak tersebut adalah karena mereka merasa kontrak tersebut sangat merugikan terkait tentang pesangon mereka yang hilang. Selain itu kontrak ini dinilai tidak sah karena tidak dibuat melalui perundingan atau kesepakatan kedua belah pihak. Kontak tersebut juga dibuat secara sepihak oleh pihak persahaan.
B. SARAN Kasus yang dialami karyawan PT X hanyalah satu diantara banyak kasus sepura yang terjadi di Indonesia. Begitu banyak perlakuan tidak adil yang diterima oleh para buruh yang pada hakikatnya merupakan unsur yang paling menentukan berjalannya perekonomian. Itulah yang menyebabkan banyak dari tenaga kerja indonesia yang lebih memilik mencari pekerjaan di luar negeri.
22
Sebenarnya hal semacam ini dapat dihindari dengan adanya kontrol dari pemerintah. Pemerintah seharusnya menjadi penengah diatara pihak perusahaan dangan pihak tenaga kerja, melalui peratutan atau Undang – Undang yang dibuat. Peraturan dan Undang – Undang disini haruslah jelas, tegas dan tidak memihak. Peraturan seyogyanya dapat memberikan simbiosismutualisme antara kedua pihak. Selain itu peraturan dan Perundang – undangan tersebut haruslah dijalankan dan dipertegas sanksinya bagi yang melakukan pelanggaran Selain peran pemerintah peran dari lembaga – lembaga seperti serikat buruh haruslah terus aktif dan menjadi wadah bagi para buruh untuk memperjuangkan hak mereka. Serikat – serikat buruh seperti ini juga dibutuhkan agar para buruh tidak melakukan tindakan sepihak yang dapat merugikan pihak lain. Akan tetapi hal yang paling penting dilakukan adalah menyadarkan semua pihak akan tanggung jawab, hak dan kewajiban mereka masing – masing. Sehingga dengan begitu semua pihak akan melakukan hal – hal yang dapat merugikan pihak lain.
23