MAKALAH HUKUM PERJANJIAN
Oleh: Fadhli Dzil Ikram
BP: 1410112002
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam membentuk
Rumusan Masalah
Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian
Dalam pasal 1313 KUHPerdata, yaitu bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Unsur dalam perjanjian ini:
Perbuatan
Penggunaan kata "Perbuatan" pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;
Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih,
Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.
Mengikatkan dirinya,
Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.
Pasal 1313 KUHPerdata mendapat kritikan dari para sarjana karena memiliki kelemahan yaitu di dalam prakteknya menimbulkan berbagai keberatan sebab di satu pihak batasan tersebut sangat kurang lengkap, namun di lain pihak terlalu luas. Rumusan pengertian tentang perjanjian menurut KUH Perdata tersebut memberikan konskuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selaluada dua pihak, di mana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor).
Menurut Prof Subekti, S.H, perjanjian adalah peristiwa dimana seseorang lain atau di mana dua orang itu saling saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, berpendapat bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih.
Sudikno, "perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasar kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum"
Syarat sahnya perjanjian
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian itu sah harus terpenuhi 4 syarat, yaitu:
Kesepakatan mereka yang mengikat dirinya
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Suatu pokok persoalan tertentu
Suatu sebab yang tidak dilarang
Dalam doktrin ilmu hukum, digolongkan ke dalam dua unsur pokok yang menyangkut subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subjektif) dan dua unsur pokok lainya yang berhubungan dengan obyek perjanjian (unsur objektif).
Kata Sepakat
Kata sepakat dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjianmengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, kapan melaksanakanya, kapan harusdilaksanakan, dan siapa siapa yang harus melaksanakan.
Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah persesuaian kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Dan dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya disebutkannya "sepakat" saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara (formalitas) apapun sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudahperjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Cakap dalam membuat perjanjian
Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan bahwa orang yang tidak cakap membuat perjanjian:
Orang yang belum dewasa
Mereka yang berada di bawah pengampuan/perwalian dan
Orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh Undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Mengenai orang yang belum dewasa diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata, dinyatakan bahwa "belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan sebelumnya belum kawin". Apabila perkawinan itu dibubarkannya sebelum umur mereka genap 21 (dua puluh satu) tahun, maka merekatidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.19
Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia maka perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum dipangku oleh orang tua yang Namun dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 39 dan 40 dinyatakan untuk penghadap dan saksi paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah. Dalam hal ini cakap bertindak untuk keperluan khusus. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan cukup umur untuk kawin adalah 18 tahun. Sehingga apabila seseorang belum berusia genap 21 tahun tetapi telah kawin menimbulkan konsekuensi menjadi cakap bertindak. Dengan demikian dasar usia cakap untuk bertindak, jika tidak untuk keperluan khusus (telah diatur dalam undang-undang tertenu) maka usia yang dipakai adalah dua puluh satu tahun atau telah menikah mendasarkan Pasal 1330 KUH Perdata. Mengenai pengampuan/perwalian telah diatur dalam Pasal 433 dan 345, bunyinya sebagai berikut:
Pasal 433: Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawa pengampuan, walaupun jika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirnya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.
Pasal 345: Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia maka perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum dipangku oleh orang tua yanghidup terlama, sekadar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuanya.
Selanjutnya untuk penjelasan tentang orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu, diatur pula dalam Pasal 108 KUH Perdata disebutkan bahwa seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya. Namun hal ini sudah tidak berlaku dengan adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni Pasal 31 yang menyatakan: hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
Soebekti menjelaskan bahwa dari sudut keadilan, perlulah bahwa orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, karena seorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat dengan harta kekayaannya.
Adanya suatu hal tertentu
Yang dimaksud dengan suat hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Di dalam KUH Perdata Pasal 1333 ayat (1) menyebutkan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak menjadi masalah asalkan di kemudian hari ditentukan (Pasal 1333 ayat 2).
Adanya suatu sebab/kausa yang halal
Yang dimaksud dengan sebab atau kausa di sini bukanlah sebab yang mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak,20
20 Sri Soedewi Masjchon, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum JAminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, (Yogyakarta, 1980), hal. 319 sedangkan sebagaimana yang telah dikemukakan Soebekti, adanya suatu sebab yang dimaksud tiada lain daripada isi perjanjian. Pada Pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa suatu sebab atau kausa yang halal adalah apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian yang tidak mempunyai sebab yang tidak halal akan berakibat perjanjian itu batal demi hukum. Pembebanan mengenai syarat subyektif dan syarat obyektif itu penting artinya berkenaan dengan akibat yang terjadi apabila persyaratan itu tidak terpenuhi. Tidak terpenuhinya syarat subyektif mengakibatkan perjanjian tersebut merupakan perjanjian yang dapat dimintakan pembatalannya. Pihak di sini yang dimaksud adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum dan pihak yang memberikan perizinannya atau menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas. Misalkan orang yang belum dewasa
Asas-Asas Perjanjian
Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnJadi, dalam pasal ini terkandung 3 macam asas utama dalam perjanjian, yaitu: asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, dan asas pacta sunt-servanda. Di samping asas-asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas kepribadian. a. Asas kebebasan berkontrak Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 KUH Perdata yang menerangkan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian.
Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, sebagaimana yang dikemukakan Ahmadi Miru, di antaranya:21
a. bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;
b. bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;
c. bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;ya.
d. bebas menentukan bentuk perjanjian; dan
e. kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat Buku III KUHPerdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.22
Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata penyebutnya tugas sedangkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditemukan dalam istilah "semua". Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.
b. Asas konsensualisme
Ada kalanya menetapkan perjanjian itu harus diadakan secara tertulis atau dengan akta Notaris, akan tetapi hal ini ada pengecualiannya yaitu undang-undang menetapkan formalitas-formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian karena adanya ancaman batal apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang dimaksud Pasal 1320 KUH Perdata, seperti perjanjian hibah harus dengan akta Perjanjian yang telah terbentuk dengan tercapainya kata sepakat (consensus) di antara para pihak. Perjanjian ini tidak memerlukan formalitas lain lagi sehingga dikatakan juga perjanjian ini sebagai perjanjian bebas bentuk. Jika perjanjian ini dituangkan dalam bentuk tertulis, maka tulisan itu hanya merupakan alat bukti saja dan bukan syarat untuk terjadinya perjanjian. Perjanjian tersebut dinamakan perjanjian konsensuil. notaris, perjanjian perdamaian harus secara tertulis. Perjanjian yang ditetapkan dengan suatu formalitas tertentu tersebut dengan perjanjian fonnil.
c. Asas Pacta Sunt Servanda Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian dan tersimpul dalam kalimat "berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya" pada akhir Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Jadi, perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para pembuatanya sebagai undang-undang. Dan kalimat ini pula tersimpul larangan bagi semua pihak termasuk di dalamnya "hakim" untuk mencampuri isi perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak tersebut. Oleh karenanya asas ini disebut juga asas kepastian hukum. Asas ini dapat dipertahankan sepenuhnya dalam hal:
1) Kedudukan para pihak dalam perjanjian itu seimbang;
2) Para pihak cakap untuk melakukan perbuatan hukum.
d. Asas itikad baik
Asas itikad baik terkandung dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian dan berlaku bagi debitur maupun bagi kreditur.
Menurut Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemui dalam hukum benda (pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) (pengertian obyektif).24
Dalam hukum benda, itikad baik, artinya kejujuran atau bersih. Seorang pembeli beritikad baik adalah orang jujur, orang bersih. Ia tidak mengetahui tentang adanya cacat-cacat yang melekat pada barang yang dibelinya, dalam arti cacat mengenai asal-usulnya. Sedangkan pengertian itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata adalah bahwa dalam pelaksanaan perjanjian harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.
Ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata juga memberikan kekuasaan pada hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan.
e. Asas kepribadian
Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana yang terikat pada perjanjian. Asas ini terkandung pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata.
Pada Pasal 1315 disebutkan bahwa pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya. Selanjutnya Pasal 1340 menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya, perjanjian itu tidak dapat membawa rugi atau manfaat kepada pihak ketiga, selain dalam hal yang diatur klaim Pasal 1317. Oleh karena perjanjian itu hanya mengikat para pihak yang membuatnya dan tidak dapat mengikat pihak lain.Maka asas ini dinamakan asas kepribadian.
Jenis-jenis Perjanjian
Mengenai perjanjian ini diatur dalam Buku III KUH Perdata, peraturan-peraturan yang tercantum dalam KUH Perdata ini sering disebut juga dengan peraturan pelengkap, bukan peraturan memaksa, yang berarti bahwa para pihak dapatmengadakan perjanjian dengan menyampingkan peraturan-peraturan perjanjian yang ada. Oleh karena itu di sini dimungkinkan para pihak untuk mengadakan perjanjian-perjanjian yang sama sekali tidak diatur dalam bentuk perjanjian itu:
1. Perjanjian bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata. Yang termasuk ke dalam perjanjian ini, misalnya: jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, dan lain-lain.
2. Perjanjian-perjanjian yang tidak teratur dalam KUH Perdata. Jadi dalam hal ini para pihak yang menentukan sendiri perjanjian itu. Dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh para pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi masing-masing pihak.25
3. Dalam KUH Perdata Pasal 1234, perikatan dapat dibagi 3 (tiga) macam, yaitu:
a. Perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang h. Perikatan untuk berbuat sesuatu c. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu. Lebih lanjut penjelasan dari perikatan di atas, adalah sebagai berikut:
a. Perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang
Ketentuan ini, diatur dalam KUH Perdata Pasal 1235 sampai dengan Pasal 1238. Sebagai contoh untuk perikatan ini, adalah jual beli, tukar menukar, penghibahan, sewa menyewa, pinjam meminjam, dan lain-lain.
b. Perikatan untuk berbuat sesuatu
Hal ini diatur dalam Pasal 1239 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apa si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga". Sebagai contoh perjanjian ini adalah perjanjian hutang.
c. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu
Hal ini diatur dalam Pasal 1240 KUH Perdata, sebagai contoh perjanjian ini adalah: perjanjian untuk tidak mendirikan rumah bertingkat, perjanjian untuk tidak mendirikan perusahaan sejenis, dan lain-lain.
Setelah membagi bentuk perjanjian berdasarkan pengaturan dalam KUH Perdata atau diluar KUH Perdata dan macam Perjanjian dilihat dari lainnya, disini R. Subekti,26
1) Perikatan bersyarat, adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi. Pertama mungkin untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu barulah akan lahir, apabila kejadian yang belum tentu timbul. Suatu perjanjian yang demikian itu, mengandung adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertanggung jawabkan (ospchoriende voorwade). Suatu contoh saya berjanji pada seseorang untuk membeli mobilnya kalau saya lulus dari ujian, di sini dapat dikatakan bahwa jual beli itu akan hanya terjadi kalau saya lulus dari ujian. membagi lagi macam-macam perjanjian yang dilihat dari bentuknya, yaitu:
2) Perikatan yang digantungkan pada suatu ketepatan waktu (tijdshcpaling), perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya, misalnya meninggalnya seseorang.
3) Perikatan yang memperbolehkan memilih (alternatif) adalah suatu perikatan, dimana terdapat dua atau lebih macam, prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau satu juta rupiah.
4) Perikatan tanggung menanggung (hooldelijk atau solidair) ini adalah suatu perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang bersama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam praktek.
5)Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi, apakah suatu perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil ke permukaan. Jika salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain. Hal mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang menyebabkan ia digantikan dalam segala hak-haknya oleh sekalian ahli
warisnya.
6) Perikatan dengan penetapan hukum (strafbeding), adalah untuk mencegah jangan sampai ia berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya, dalam praktek banyak hukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya. Hukuman ini, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu. Hakim mempunyai kekuasaan untuk meringankan hukuman apabila perjanjian telah sebahagian dipenuhi.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Pembedaan tersebut adalah sebagai berikut:27
1. Perjanjian timbal balik.
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual-beli.
2. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban.
Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya: hibah.28
Perjanjian atas beban adalah perjanjian di mana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontrak prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
3. Perjanjian khusus (benoend) dan perjanjian umum (onbenoend).
Perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V s/d XVIII KUH Perdata. Di luar perjanjian khusus tumbuh perjanjian umum yaitu perjanjian-perjanjian yang tdiak diatur di dalam KUH Perdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tak terbatas. Lahirnya perjanjian ini di dalam praktek adalah berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang berlaku di dalam Hukum Perjanjian. Salah satu contoh dari perjanjian umum adalah perjanjian sewa beli.
4. Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas sesuatu, kepada pihak lain. Sedangkan perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan)
5. Perjanjian konsensuil dan perjanjian riil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian di mana di antara kedua: belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan-perikatan.
6. Perjanjian-Perjanjian yang istimewa sifatnya.
a. perjanjian liberatoir: yaitu perjanjian di mana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang (kwijtschelding) pasal 1438 KUH Perdata;
b. perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst); yaitu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka.
c. perjanjian untung-untungan: misalnya prjanjian asuransi, pasal 1774 KUH Perdata.
d. Perjanjian publik: yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintah), misalnya perjanjian ikatan dinas.
Selanjutnya, berhubung dengan pembedaan perjanjian timbal balik dengan perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban, maka menurut Mariam Darus Badrulzaman, perlu dibicarakan perjanjian campuran. Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa-menyewa) tapi pula menyajikan makanan (jual beli) dan juga memberikan pelayanan. Terhadap perjanjian campuran itu ada berbagai faham, yaitu:29
Faham pertama: mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian khusus diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur dari perjanjian khusus tetap ada (contractus sui generic).
Faham kedua: mengatakan ketentuan-ketentuan yang dipakai adalah ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang paling menentukan (teori absorbsi).
Faham ketiga: mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan undang-undang yang diterapkan terhadap perjanjian campuran itu adalah ketentuan undang-undang yang berlaku untuk itu (teori combinatie).
E. Hapusnya suatu perjanjian Hapusnya perjanjian tidak sama dengan hapusnya perikatan. Suatu perikatan dapat hapus dengan pembayaran,tetapi perjanjian yang merupakan sumbernya mungkin belum hapus. Bila x dan y mengadakan jual beli perikatan dapat hapus dengan dibayarnya harga oleh y selaku pembeli. Tetapi mungkin perjanjiannya (yaitu memiliki barang) harus tercapai dulu. Jadi jika perikatan-perikatan yang terdapat. Bila perjanjian telah hapus seluruhnya barulah perjanjian dinyatakan telah berakhir. Ada beberapa cara hapusnya perjanjian :
a.Ditentukan dalam perjanjian oelh kedua belah pihak.
Misalnya : penyewa dan yang menyewakan bersepakat untuk mengadakan perjanjian sewa menyewa yang akan berakhir setelah 3 tahun.
b.Ditentukan oleh Undang-Undang.
Misalnya : perjanian untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan ditentunkan paling lama 5 tahun.
c.Ditentukan oleh para pihak dan Undang-undang.
Misalnya : dalam perjanjian kerja ditentukan bahwa jika buruh meninggal dunia perjanjian menjadi hapus.
d.Pernyataan menghentikan perjanjian.
Hal ini dapat dilakukan baik oleh salah satu atau dua belh pihak. Misalnya : baik penyewa maupun yang menyewakan dalam sewa menyewa orang menyatakan untuk mengakhiri perjanjian sewanya.
e.Ditentukan oleh Putusan Hakim.
Dalam hal ini hakimlah yang menentukan barakhirnya perjanjian antara para pihak.
f.Tujuan Perjanjian telah tercapai.
Misalnya : dalam perjanjian jual beli bila salah satu pihak telah mendapat uang dan pihak lain telah mendapat barang maka perjanjian akan berakhir.
g.Dengan Persetujuan Para Pihak.
Dalam hal ini para pihak masing-masing setuju untuk saling menhentikan perjanjiannya. Misalnya : perjanjian pinjaman pakai berakhir karena pihak yang meminjam telah mengembalikan barangnya.
HAPUSNYA PERIKATAN
Tentang hapusnya perikatan yang mengakibatkan berakhirnya perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata. Hapusnya persetujuan berarti menghapuskan semua pernyataan kehendak yang telah dituangkan dalam persetujuan dengan sendirinya menghapus seluruh perikatan, tetapi belum tentu dengan hapusnya perjanjian akan menghapus persetujuan hanya saja persetujuan itu tidak mempunyai kekuatan pelaksanaan, sebab ini berarti bahwa pelaksanaan persetujuan telah dipenuhi debitur.
Adapun cara-cara penghapusan perikatan diatur dalam Pasal 1381 KUH Perdata, yaitu:
a. Pembayaran
Pembayaran disini adalah pembayaran dalam arti luas, tidak saja pembayaran berupa uang, juga penyerahan barang yang dijual oleh penjual. Pembayaran itu sah apabila pemilik berkuasa memindahkannya. Pembayaran harus dilakukan kepada si berpiutang atau kepada seseorang yang dikuasakan untuk menerima.
Tiap-tiap perikatan dapat dipenuhi oleh siapa saja yang berkepentingan seperti seorang yang turut berutang atau seorang penanggung hutang. Suatu perikatan bahkan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga, yang tidak mempunyai kepentingan, asal saja pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utangnya si berhutang atau bertindak atas namanya sendiri asal ia tidak menggantikan hak-hak si berpiutang.
Mariam Darus Badrulzaman, mengatakan:
Yang dimaksud dengan "pembayaran" oleh Hukum Perikatan bukanlah sebagaimana ditafsirkan dalam bahasa pergaulan sehari-hari, yaitu pembayaran sejumlah uang, tetapi setiap tindakan pemenuhan prestasi, walau bagaimana pun sifat dari prestasi
itu. Penyerahan barang oleh penjual, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu adalah merupakan pemenuhan prestasi atau tegasnya adalah "pembayaran".30
30 Ibid., hal. 157. Pembayaran kepada orang yang tidak berkuasa menerima adalah sah apabila kreditur telah menyetujuinya atau nyata-nyata telah memperoleh manfaat karenanya (Pasal 1384, Pasal 1385, Pasal 1386 KUH Perdata). Pembayaran harus dilakukan di tempat yang telah ditentukan dalam perjanjian, dan jika tidak ditetapkan dalam perjanjian maka pembayaran dilakukan di tempat barang itu berada atau di tempat tinggal kreditur atau juga di tempat tinggal debitur. Jika objek perjanjian adalah sejumlah uang maka perikatan berakhir dengan pembayaran uang jika objeknya benda maka perikatan berakhir setelah adanya penyerahan benda.
b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan Dalam pembayaran dapat terjadi konsiyasi apabila debitur telah melakukan penawaran pembayaran dengan perantaraan Notaris atau Jurusita, kemudian kreditur menolak penawaran tersebut. Atas penolakan kreditur kemudian debitur menitipkan pembayaran kepada Panitera Pengadilan Negeri untuk disimpankan. Dengan adanya tindakan penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan, debitur telah bebas dari pembayaran yang berakibat hukum hapusnya perikatan. Prosedur konsiyasi ini diatur dalam Pasal 1405 sampai dengan 1407 KUH Perdata.
Pasal 1004 KUH Perdata menegaskan adanya penitipan untuk membantu pihak-pihak yang berhutang, apabila si berpiutang menolak menerima pembayaran dengan melakukan penitipan uang atau barang si Panitera Pengadilan. Dalam Pasal 1381 KUH Perdata menyatakan bahwa salah suatu cara menghapuskan perjanjian ialah dengan tindakan penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan konsiyasi. Penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan hanya mungkin terjadi dalam perjanjian yang berbentuk:
a. Pembayaran sejumlah uang
b. Penyerahan sesuatu benda bergerak.
Marhainis Abdulhay, mengatakan:
Dengan dilakukannya penitipan di Panitera Pengadilan itu maka akan membebaskan siberutang dari perikatan dan berlakulah baginya sebagai pembayaran, asal penawaran itu telah dilakukan dengan cara menurut UU dan uang atau barang yang dititipkan di Panitera Pengadilan tetap akan menjadi tanggungan si berpiutang.
1984, Akibat hukum konsiyasi ialah debitur sudah dianggap melakukan kewajibannya untuk berprestasi. Sesudah tanggal itu ia bebas dan pembayaran bunga.
c. Pembaharuan hutang atau novasi Pembaharuan hutang lahir atas dasar persetujuan, para pihak untuk membuat persetujuan dengan jalan menghapuskan perjanjian lama dengan perjanjian baru. Dalam Pasal 1381 KUH Perdata yang menegaskan bahwa novasi merupakan salah satu cara penghapusan perjanjian.
Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 (tiga) macam jalan untuk melaksanakan suatu pembayaran utang atau novasi, yaitu:
1. Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan-utang baru guna orang menghutangkan kepadanya, yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya disebut novasi objelctif.
2. Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang yang berutang lama, yang oleh siberpiutang dibebaskan dari perikatan, dinarnakan dengan novasi subjektif
3. Apabila sebagai akibat dari suatu perjanjian baru seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur yang lama, terhadap siapa is berutang dibebaskan dari perikatan, ini disebut dengan novasi subjektif aktif.
Dalam Pasal 1414 KUH Perdata diterangkan bahwa pembaharuan hutang hanya dapat terlaksana antara orang yang cakap untuk mengadakan perikatan, dan dalam Pasal 1415 KUH Perdata ditegaskan bahwa pembaharuan hutang yang dipersangkakan kehendak seseorang untuk mengadakannya harus dengan tegas ternyata dalam perbuatannya.
d. Perjumpaan hutang atau kompensasi
Perjumpaan hutang sering disebut dengan perhitungan hutang (compensation). Ini adalah suatu cara penghapusan utang dengan jalan memperhitungkan utang piutang, secara timbal balik antara kreditur dan debitur (hal ini diatur dalam Pasal 1424 KUH Perdata). Salah satu fungsi lain dari kompensasi adalah untuk memberikan kepastian pembayaran dalam keadaan pailit.
Untuk terjadinya kompensasi undang-undang menentukan oleh Pasal 1427 KUH Perdata, yaitu utang tersebut:
1. Kedua-duanya berpokok sejumlah uang, atau
2. Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan. Yang dimaksud dengan barang yang dapat dihabiskan ialah barang yang dapat diganti.
3. Kedua-duanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.
Menurut ketentuan Pasal 1462 KUH Perdata, perjumpaan hutang ini terjadi demi hukum, bahkan tanpa sepengetahuan orang yang berhutang, sehingga dalam hal ini tidak perlu menuntut dan tidak perlu bantuan pihak ketiga. Setiap hutang ataupun sebabnya dapat diperjumpakan kecuali dalam 3 (tiga) hal yang disebabkan dalam Pasal 1429 KUH Perdata, yaitu:
1) Apabila dituntut pengembalian suatu barang yang secara berlawanan dengan hukum dirampas dari pemiliknya.
2) Apabila dituntut pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan.
3) Terhadap suatu barang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tidak dapat disita.
Seseorang telah membayar suatu utang, yang telah dihapuskan demi hukum karena perjumpaan, pada waktu menagih suatu piutang yang tidak telah diperjumpakan, tidak lagi dapat menggunakan hak-hak istimewa dan hipotik-hipotik yang melekat pada piutang ini untuk kerugian orang pihak ketiga, kecuali jika ada suatu alasan yang satu yang menyebabkan is tidak tahu tentang adanya piutang tersebut yang seharusnya dijurnpakan dengan utangnya (Pasal 1435 KUH Perdata). Selain ketentuan ini tersebut, yurisprudensi juga menetapkan bahwa perjumpaan hutang berikut ini tidak dimungkinkan.
1) Hutang-hutang negara berupa pajak.
2) Hutang-hutang yang timbul dari perikatan yang wajar.
e. Percampuran hutang Menurut Pasal 1436 KUH Perdata, percampuran hutang itu terjadi apabila kedudukan kreditur dan debitur menjadi satu yang berarti berada di tangan satu orang yang terjadi demi hukum atau secara otomatis sehingga hutang-piutang akan lenyap. Dan Pasal 1437 KUH Perdata menentukan bahwa percampuran hutang yang terjadi pada debitur utama berlaku juga untuk kepentingan penjamin hutang, tetapi percampuran yang terjadi pada seseorang penjamin hutang tidak sekali-kali mengakibatkan hapusnya hutang pokok.
Mariam Darus Badrulzaman, menyatakan percampuran hutang adalah "Percampuran kedudukan (kualitas) dari partai-partai yang mengadakan perjanjian sehingga kualitas sebagai debitur menjadi satu dengan kualitas dari debitur. Dalam hal ini demi hukum hapuslah perikatan yang semula ada diantara kedua belah pihak
Hal-hal yang menyebabkan terjadinya percampuran hutang adalah perkawinan, dengan percampuran harta antara si berpiutang dengan si berhutang, dan pencampuran hutang terjadi apabila si berhutang menggantikan hak si berpiutang karena warisan.
f. Penghapusan hutang
Penghapusan hutang terjadi bila dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dan debitur dan melepaskan hak atas pembayaran. Hal yang dibutuhkan adalah adanya kehendak kreditur disertai "menggugurkan" perjanjian itu sendiri. Dan yang dapat dikategorikan sebagai penghapusan hutang bila pembebasan itu merupakan penghapusan atau pelepasan hak kreditur terhadap debitur.
Menurut ketentuan Pasal 1438 KUH Perdata, pembebasan tidak boleh berdasarkan persangkaan melainkan haru dibuktikan misalnya: pengembalian surat piutang dari kreditur kepada debitur secara sukarela (Pasal 1439 KUH Perdata). Dalam Pasal 1441 KUH Perdata, diterangkan bahwa pengembalian barang yang dijaminkan dalam gadai tidak cukup dijadikan persangkaan tentang pembebasan hutang. Jadi keinginan atau kehendak kreditur itu terwujud dalam suatu tindakan. Akibat hukum penghapusan hutang ini tidak ada diatur undang-undang secara khusus, tetapi dengan pembebasan ini perikatan akan menjadi lenyap atau hapus.
g. Musnahnya barang yang menjadi hutang
Berdasarkan Pasal 1444 KUH Perdata, apabila barang tertentu yang menjadi objek perikatan itu musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang diluar kesalahan debitur ini tersimpul usaha-usaha yang telah dilakukan debitur untuk mencegah hilang atau musnahnya barang objek perjanjian. Meskipun debitur lalai menyerahkan barang, ia pun akan bebas dari perikatan itu, apabila ia dapat membuktikan bahwa hapusnya atau musnahnya barang disebabkan diluar kekuasaannya dan barang itu akan menemui nasib yang sama walaupun berada ditangan kreditur. Untuk mengatasi hal ini, masyarakat biasanya mengasuransikan perjanjian tersebut.
h. Lampau waktu (daluwarsa)
Menurut Pasal 1946 KUH Perdata yang dinamakan daluarsa (lewat waktu) adalah suatu upaya untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Daluarsa untuk memperoleh hak milik dinamakan daluarsa acquisitip, dan daluarsa untuk membebaskan sesuatu tuntutan disebut daluarsa ekstrinktip.
Dari sudut hukum lampau waktu diartikan sebagai sesuatu anggapan hukum, dengan lampaunya jangka waktu tertentu, dianggap:
1) Perjanjian telah hapus, sehingga debitur bebas dari kewajiban memenuhi perjanjian.
2) Dianggap seseorang telah memperoleh hak milik atas sesuatu setelah jangka waktu tertentu lewat.
Universitas
BAB III
PENUTUP